Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hijauan merupakan sumber pakan utama untuk ternak ruminansia, sehingga

untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia harus diikuti oleh peningkatan

penyediaan hijauan yang cukup baik dalam kuantitas maupun kualitas.

Beberapa faktor yang menghambat penyediaan hijauan, yakni terjadinya

perubahan fungsi lahan yang sebelumnya sebagai sumber tumbuhnya hijauan

pakan menjadi lahan pemukiman, lahan untuk tanaman pangan, dan tanaman

industri.

Hijuan pakan ternak terutama jenis rumput – rumputan dan limbah pertanian

merupakan bahan pakan yang mengandung serat kasar atau bahan yang tak

tercerna relatif tinggi. Namun ternak ruminansia membutuhkan sejumlah serat

kasar tersebut didalam ransumnya agar proses pencernaan berjalan secara

lancar dan optimal. Sumber utama serat kasar itu sendiri adalah rumput –

rumputan, baik jenis rumput unggul maupun rumput alam; sedangkan jenis

leguminosa merupakan pakan sumber protein. Ketersediaan hijauan pakan

ternak harus selalu ada mengingat kebutuhan ternak ruminansia terhadap

hijauan dalam bentuk segar adalah berkisar 10 – 15 % dari bobot badan hidup.

Disamping itu, kualitas hijauan pakan ternak juga perlu diperhatikan terutama

kandungan nutriennya harus dapat mmenuhi kebutuhan hidup pokok dan

produksi pada ternak ruminansia ketika mengkonsumsi pakan hijauan.

Keragaman hijauan pakan ternak kawasan perkebunan kelapa sawit

Kabupaten Kolaka merupakan salah satu langkah atau alternatif yang tepat

dalam memanfaatkan sumberdaya hijauan yang didukung oleh luasnya kawasan


2

perkebunan sebagai penunjang kawasan penyedia hijauan. khususmya masih

menggantungkan hijauan dari alam (rumput/leguminosa lokal) sehingga

ketersediaanya tidak kontinyu. Untuk mengetahui kualitas hijauan dan konsentrat

di daerah tersebut dapat dilakukan beberapa analisis. Analisis yang dapat

dilakukan yaitu analisis proksimat, analisis mineral dan analisis kecernaan in

vitro. Pengukuran kandungan nutrisi dan kecernaan bertujuan untuk

meningkatkan ketersediaan informasi kandungan nutrien pakan lokal dalam

kawasan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kolaka.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana keragaman hijauan pakan ternak dalam kawasan perkebunan

kelapa sawit di Kabupaten Kolaka..?

2. Bagaimana kandungan nutrien hijauan pakan ternak dalam kawasan

perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kolaka..?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis keragaman hijauan pakan ternak dalam kawasan

perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kolaka

2. Menganalisis kandungan nutrien hijauan pakan ternak dalam kawasan

perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kolaka

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkandalam penelitian ini adalah sebagai berikut


3

1. Bagi mahasiswa, agar dapat menambah khasanah pengetahuan tentang

karakteristik keragaman dan kandungan nutrien hijauan pakan ternak dalam

kawasan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kolaka.

2. Bagi pemerintah, sebagai bahan acuan dalam menentukan program dan

pengambilan kebijakan untuk pengembangan komuditi ternak pada kawasan

perkebunan kelapa sawit Kabupaten Kolaka.

3. Bagi peternak, sebagai bahan informasi dalam rangka pengembangan

ternak pada kawasan perkebunan kelapa sawit Kabupaten Kolaka.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hijauan Pakan Ternak

Pakan merupakan kebutuhan yang paling tinggi yaitu 60-70 % dari seluruh

biaya produksi. Mengingat tingginya biaya tersebut maka perlu adanya perhatian

dalam penyediaan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Tidak terkecuali bagi

ternak ruminansia, dimana pakan yang diperlukan berupa hijauan makanan

ternak. Kebutuhan pokok konsumsi hijauan makanan ternak setiap harinya

kurang lebih 10 – 15 % dari bobot badan ternak. Hijauan makanan ternak

merupakan salah satu bahan makanan ternak yang sangat diperlukan dan besar

manfaatnya bagi kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Oleh

sebab itu, hijauan makanan ternak sebagai salah satu bahan makanan

merupakan dasar utama untuk mendukung peternakan. Kebutuhan akan hijauan

pakan akan semakin banyak sesuai dengan bertambahnya jumlah populasi

ternak yang dimiliki. Jenis hijauan yang paling banyak dimakan berasal dari famili

Leguminosa, Gramineae atau disebut rumputan, dan limbah pertanian serta

ramban atau hijauan dari pohon-pohonan.

Pakan ternak mengandung nutrisi yang berguna untuk membangun energi

dalam tubuh sehingga ternak dapat berproduksi aktif dan sehat. Tanpa pakan,

mustahil ternak akan hidup dalam jangka waktu lama. Produktivitas ternak akan

meningkat apabila asupan pakan yang diberikan seimbang antara kandungan

gizi dan takarannya. Pakan yang berkualitas akan menetukan tingkat produksi

ternak. Hijauan segar adalah pakan utama untuk ternak yang bisa dikonsumsi

langsung oleh ternak dipadang penggembalaan atau diberika oleh manusia

dalam keadaan segar Pakan ternak diharapkan memiliki kualitas yang ditentukan
5

oleh daya cerna dan nilai gizi yang terkandung didalam pakan ternak tersebut.

Daya cerna tinggi akan cenderung meningkatkan pertumbuhan ternak yang

cepet sehingga nilai ekonomisnya pun ikut meningkat (Kementerian Pertanian,

2019).

Hijauan adalah segala bahan makanan yang tergolong pakan kasar yang

berasal dari pemanenan bagian vegetatif tanaman yang berupa bagian hijau

yang meliputi daun, batang, kemungkinan juga sedikit bercampur bagian

generatif, utamanya sebagai sumber makanan ternak ruminansia

(Reksohadiprodjo, 1985). Hijauan diartikan sebagai pakan yang mengandung

serat kasar, atau bahan yang tak tercerna, relatif tinggi. Lebih lanjut dijelaskan

bahwa ternak ruminansia membutuhkan sejumlah serat kasar dalam ransumnya

agar proses pencernaan berjalan secara lancar dan optimal. Sumber utama dari

serat kasar itu sendiri adalah hijauan (Siregar, 1994).

Seperti diketahui secara umum, ternak tidak dapat melangsungkan

kehidupannya tanpa adanya asupan pakan. Produktivitas ternak tinggi jika

asupan pakannya seimbang yakni tercukupi baik dari segi kualitas maupun

kuantitas pakan. Pakan memiliki peran yang penting bagi ternak, baik bagi

pemenuhan kebutuhan hidup pokok, bunting, laktasi, produksi (telur, daging dan

susu) maupun untuk kepentingan kesehatan ternak yang bersangkutan. Karena

ternak jika salah diberi pakan juga dapat menimbulkan penyakit yang merugikan

bagi ternak dan peternak. Jenis pakan yang umumnya diberikan pada ternak

adalah hijauan dan konsentrat (Kanisius, 1983).

Salah satu jenis pakan ternak yaitu hijauan segar. Hijauan segar merupakan

bahan pakan ternak yang diberikan pada ternak dalam bentuk segar, baik

dipotong dengan bantuan manusia atau langsung disengut langsung oleh ternak
6

dari lahan hijauan pakan ternak. Hijauan segar umumnya terdiri dari daun-

daunan yang berasal dari rumput-rumputan (Gramineae) dan tanaman biji-bijian

atau kacang-kacangan (Leguminosa) (AAK, 1983).

Hijauan merupakan makanan utama bagi ternak ruminansia dan berfungsi

tidak hanya sebagai pengenyang tetapi juga berfungsi sebagai sumber nutrisi,

yaitu protein, energi, vitamin dan mineral Hijauan yang bernilai gizi tinggi cukup

memegang peranan penting karena dapat menyumbangkan zat pakan yang lebih

ekonomis dan berhasil guna bagi ternak (Herlinae, 2003).

Perry (1980), menyatakan bahwa perbedaan antar legum dan non legume

pada kandungan protein kasar dan serat kasar, legum juga cendrung

menghasilkan lebih banyak bahan kering yang dapat dicerna (digestible dry

matter) per hektar dibanding kebanyakan rumput tropik padang pengembalaan.

Bagaimanapun juga legum lebih memerlukan tanah yang lebih subur dan

memerlukan biaya yang lebih tinggi untuk menghasilkan per unit berat bahan

kering.

Komposisi kimia hijauan bervariasi dan dipengaruhi oleh jenis dan varietas

tanaman, tingkatan umur tanaman, iklim dan musim, tipe tanah serta pemupukan

(input nutrient) kapur, dan sewage sludge, sementara itu produksi hijauan

makanan ternak dipengaruhi oleh musim, penggunaan lahan dan topografi

(Budiasa, 2005). Setiana (2000) melaporkan bahwa hijauan makanan ternak

merupakan bagian penting dalam sistem produksi peternakan terutama sebagai

pakan ternak ruminansia, karena lebih dari 75% pakannya berasal dari hijauan.

Keberhasilan produksi suatu peternakan sangat tergantung kepada kualitas

pakan dan jenis ternak yang dipelihara, oleh karena itu ketersediaan hijauan
7

pakan sepanjang masa dan memilih hijauan yang berkualitas unggul adalah

sangat penting.

2.1.1 Rumput (Gramineae)

Rumput merupakan tumbuhan monokotil, mempunyai sifat tumbuh, yaitu

membentuk rumpun, tanaman dengan batang merayap pada permukaan,

tanaman horisontal dengan merayap tetapi tetap tumbuh ke atas dan rumpun

membelit (Siregar, 1994).

Rumput dalam pengelompokkannya dibagi menjadi dua yaitu rumput

potong dan rumput gembala. Yang termasuk dalam kelompok rumput potongan

adalah rumput yang memenuhi persyaratan: memiliki produktivitas yang tinggi,

tumbuh tinggi secara vertikal dan banyak anakan serta responsif terhadap

pemupukan.Termasuk kelompok ini antara lain: Pennisetum perpureum,

Pannicum Maximum, Euchlaena Mexicana, Setaria Sphacelata, Pannicum

Coloratum dan Sudan grass (AAK, 1983).

Rumput gembala merupakan jenis rumput yang memiliki ciri-ciri antara lain

: tumbuh pendek atau menjalar dengan stolon, tahan terhadap renggutan atau

injakan, memiliki perakaran yang kuat dan tahan kekeringan. Termasuk

kelompok ini antara lain: Brachiaria brizhantha, Brachiaria ruziziensis, Brachiaria

mutica, Brachiaria Humidicola, Paspalum dilatatum, Digitaria decumbens, Choris

gayana, African star grass (Cynodon plectostachyrus) (AAK, 1983).

Tanaman rumput mempunyai adaptasi yang lebih baik terhadap

temperature dan curah hujan dibandingakan dengan family tanaman yang

lainnya, baik di daerah panas (tropik), daerah dingin, kawasan gersang (kering)

maupun di dataran tinggi. 75% spesies tanaman rumput ini digunakan sebagai

hijauan makanan ternak (Moser dan Nelson, 2003). Rumput dikelompokan ke


8

dalam 650-785 genus yang memiliki sekitar 10.000 spesies. Family rumput

kebanyakan merupakan tanaman C4 (C4 photosynthetic pathway) yang

dikarakteristikkan sebagai rumput musim panas (warm-season grass) dan

tanaman C3 (cool-season grass) yang dikarakteristikkan sebagai tanaman musin

dingin (Moser & Nelson, 2003).

Rumput yang digunakan sebagai pakan ternak berasal dari rumput yang

tumbuh bebas (tidak sengaja ditanam) dan rumput yang sengaja ditanam

(rumput unggul). Sebagai pakan utama ternak ruminansia rumput mempunyai

beberapa kelebihan diantaranya adalah: (1) sebagian rumput adalah palatabel

bila umurnya belum tua; (2) hanya sedikit yang bersifat toksik; dan (3)

mempunyai kemampuan tumbuh yang baik (Kamal, 1998). Rumput dapat

dipanen dengan cara pemotongan dan grazing yang selanjutnya dimanfaatkan

oleh ternak secara langsung ataupun setelah penyimpanan. Secara umum output

pemanfaatan rumput diekspresikan ke dalam bentuk energi (Hopkins, 2000).

Mahyuddin (2007), menunjukkan bahwa kandungan protein kasar pada

bagian daun rumput secara umum adalah nyata lebih tinggi dari bagian batang.

Sementara kandungan Neural Detergent Fiber (NDF), Acid Detergent Fiber

(ADF), dan lignin pada batang adalah lebih tinggi dari pada daun. Berdasarkan

hal ini Mahyuddin (2007) menyarankan bahwa rasio antara batang dan daun

dapat dijadikan salah satu faktor untuk seleksi pada rumput tropis.

2.1.2 Legum (Leguminosae)

Leguminosa (Fabaceae) secara umum adalah termasuk tumbuhan semak

dan pohon yang dapat dijumpai di daerah tropik. Legum ini termasuk salah satu

famili terbesar dari tumbuhan berbunga (flowering plant) dan dikelompokkan ke

dalam 400 genus yang terdiri dari 10.000 spesies (Carr, 2010).
9

Leguminosae terdiri dari 3 sub-famili, yaitu Faboideae (Papilionoideae,

tumbuhan berbunga kupu-kupu), Caesalpinioideae dan Mimosoideae.

Caesalpinioideae dan Mimosoideae pada umumnya merupakan tumbuhan

daerah tropis dan sedikit peranannya sebagai tanaman pertanian, sedangkan

Faboideae sebagian besar merupakan tanaman pertanian dan mempunyai

spesies yang terbesar di daerah tropis dan sub-tropis (Setiana, 2000).

Berdasarkan sifat tumbuhnya, leguminosa dibedakan menjadi leguminosa

pohon, dan leguminosa menjalar. Leguminosa menjalar umumnya ditanam di

lahan perkebunan sebagai penutup tanah atau sebagai penguat bibir dan

tampingan teras di lahan-lahan yang miring. Adapun leguminosa yang

pertumbuhannya menjalar di antaranya adalah sentro (Centrosema pubescens;

C.plumieri), kalopo (Calopogonium mucunoides; C.caeruleum), puero atau kudzu

(Pueraria javanica; P.thunbergiana), lablab (Lablab pupereus) dan Arachis

perennial (Arachis pintoi; A. glabrata) (Prawiradiputra et. al, 2006).

Daun leguminosa merupakan sumber nutrien yang baik, tetapi batangnya

mempunyai nilai nutrisi yang rendah terutama pada yang dewasa. Perubahan

komposisi nutrisi pada legum terjadi akibat semakin meningkatnya proses

lignifikasi dan meningkatnya serat pada batang serta penurunan imbangan

(rasio) antara daun dan batang (Kamal, 1998). Prawiradiputra et.al, (2006)

menambahkan bahwa mutu leguminosa ditentukan oleh berbagi faktor, baik

faktor dalam (genetis) maupun faktor luar. Faktor genetis yang utama adalah

jenis dan spesies leguminosa.

Legum yaitu tanaman kayu dan herba ciri khas berbentuk bunga kupu-

kupu. Hijauan pakan jenis leguminosa (polong-polongan) memiliki sifat yang

berbeda dengan rumput-rumputan, jenis legume umumnya kaya akan protein, Ca


10

dan P. Leguminosa memiliki bintil-bintil akar yang berfungsi dalam pensuplai

nitrogen, dimana di dalam bintil-bintil akar inilah bakteri bertempat tinggal dan

berkembang biak serta melakukan kegiatan fiksasi nitrogen bebas dari udara,

itulah sebabnya penanaman campuran merupakan sumber protein dan mineral

yang berkadar tinggi bagi ternak, disamping memperbaiki kesuburan tanah.

Contohnya: Kaliandra (Calliandra callothyrsus), Siratro (Macroptilium

antropurpureum), Gamal (Gliricidia sepium), Lamtoro (Leucaena glauca),

Banhinia (Rufescens lam) dan Turi (Sesbania Grandivora) (Tillman et. al, 1991).

2.1.3 Polong Polongan (Fabaceae)

Suku polong-polongan merupakan suku ketiga terbesar tumbuhan

berbunga setelah suku Orchidaceae dan Asteraceae atau Compositae. Suku

polong-polongan mempunyai habitus herbaceous hingga semak, berkayu

merambat (liana), pohon dan sebagian kecil merupakan tumbuhan air (aquatic).

Suku polong-polongan merupakan komponen mayor dari vegetasi dunia dan

sering ditemui pada lahan marginal karena kemampuannya untuk memfiksasi

nitrogen dari atmosfer melalui bintil akar (Lewis et. al, 2005). Suku ini terdiri dari

18.000 jenis dan 630 marga. Anggota suku polong-polongan mudah dikenal dari

bentuk buahnya yang berbentuk polong. Polong tersebut ada yang pecah saat

masak dan ada juga yang tidak. Suku polong-polongan dibagi menjadi 3 suku

yaitu Mimosaceae, Caesalpiniaceae, dan Papilionaceae (Ariati et. al, 2001).

Masing-masing dari suku tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda. Suku

Papilionaceae mempunyai bunga yang bentuknya seperti kupu-kupu sedangkan

pada Mimosaceae karakter bunganya berbentuk bongkol.


11

2.2 Hijauan Pakan Ternak Perkebunan Kelapa Sawit

Jenis tumbuhan di bawah perkebunan kelapa sawit, bervariasi antara

perkebunan satu dengan yang lain. Umur kelapa sawit kemungkinan akan

mempengaruhi keragaman tumbuhan yang di bawah perkebunan kelapa sawit.

Jenis tumbuhan di bawah tanaman kelapa sawit antara lain rumput-rumputan,

tumbuhan berdaun sempit, tumbuhan berdaun lebar yang dikelompokkan dalam

gulma. Namun, ada juga tumbuhan leguminosa. Tumbuhan ini walaupun tumbuh

liar tapi bermanfaat untuk tanaman pokoknya karena mempunyai kemampuan

mendapatkan senyawa nitrogen untuk hidup, bahkan dapat berkontribusi

nitrogen untuk lingkungan maupun tanaman pokok, bila dapat menambah N2

udara secara efektif (Adriadi, 2012).

Jenis leguminosa ini juga dibudidayakan di bawah tanaman kelapa sawit

saat tanaman masih muda dan berfungsi sebagai penutup tanah, maka penutup

tanah di perkebunan berfungsi untuk menjaga kelembaban tanah dan menjaga

kesuburan tanah. Istilah lain gulma adalah tumbuhan pengganggu, yang

mengandung pengertian semua jenis tumbuhan yang menghambat dari berbagai

jenis tanaman yang diusahakan atau dibudidayakan baik oleh petani maupun

usaha pertanian swasta. Gulma tersebut perlu diberantas, namun gulma dapat

menjadi tanaman yang sangat dibutuhkan oleh ternak sebagai sumber hijauan.

Gulma yang ada di perkebunan sawit, dapat menjadi sumber hijauan pakan

ternak, walaupun tidak semua tumbuhan disukai ternak. Ternak akan memilih

yang disukai dan tidak mengandung racun (Ginting, 2011).

Gulma merupakan tumbuhan yang hadir secara alami, keberadaannya

mengganggu tanaman budidaya dan menghambat kegiatan pemeliharaan

maupun panen sehingga menyebabkan menurunnya keuntungan dalam sistem


12

usahatani. Sifat alami dari gulma adalah tumbuh agresif dan mempunyai

adaptasi yang tinggi dalam penggunaan faktor pertumbuhan (unsur hara, air,

cahaya, dan CO2). Persaingan merupakan pengaruh saling merugikan antara

tanaman atau tumbuhan dalam pemanfaatan sumber daya yang terbatas.

Pengendalian gulma diakui sebagai suatu komponen utama dan hampir semua

sistem produksi, karena pertumbuhan dan hasil tanaman dipengaruhi secara

nyata oleh keberadaan gulma. Secara umum biaya untuk mengendalikan gulma

pada tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan maupun yang sudah

menghasilkan dikategorikan tertinggi kedua setelah pemupukan (Prawirosukarto,

et. al, 2005).

Vegetasi alam dapat diperoleh dari Hijauan Antara Tanaman (HAT) yang

tumbuh liar di antara tanaman utama (kelapa sawit). Rumput yang tumbuh

seperti digitaria milangiana, stylosanthes guianensis menunjukkan toleransi yang

baik pada umur tanaman kelapa sawit 4 (empat) tahun, sementara paspalum

notatum dan arachis glabarata menunjukkan toleransi yang baik dengan semakin

meningkatnya umur tanaman kelapa sawit 8 (delapan) tahun dan 12 (dua belas)

tahun serta invasi gulma (tanaman pengganggu) semakin tinggi dengan

meningkatnya umur tanaman kelapa sawit. Jenis leguminosa yang sering

digunakan adalah collopogonium mucunoides, centrocema pubescent, pueraria

javanica dan collopogonium caerulium. Tanaman pengganggu (gulma) yang

sering dijumpai di areal perkebunan kelapa sawit adalah azonopus compresus,

ottochloa nodosa dan paspalum conyugatum dapat digunakan sebagai hijauan

pakan ternak, rumput basah lapangan mengandung 23.7% bahan kering

(Syahputra, 2011).
13

Jumlah vegetasi hijauan antara tanaman yang dapat diperoleh tergantung

pada umur tanaman utama, karena semakin tua umur kelapa sawit maka

semakin berkurang intensitas sinar matahari yang dapat mencapai permukaan

tanah sehingga produktivitas vegetasi alam semakin berkurang. Introduksi

tanaman hijauan dapat dilakukan di antara dan pada saat tanaman kelapa sawit

berumur relatif muda, yaitu sebelum berumur 5 tahun. Hijauan makanan ternak di

kawasan perkebunan kelapa sawit terbagi atas tiga hal, yaitu: (1) karakteristik

vegetasi alam, (2) kandungan nutrisi vegetasi alam di perkebunan kelapa sawit,

dan (3) kapasitas tampung.

2.3 Karakteristik Vegetasi Alam

Spesies vegetasi alam yang terdiri dari rerumputan berdaun sempit dan

berdaun lebar, didominasi oleh paspalum conjugatum (45,2%), ottochloa nodosa

(35,2%), diikuti oleh asistasia intrusa (5,7%). Tingginya proporsi P. Conjugatum

dan O. nodusa menunjukkan bahwa spesies ini lebih toleran terhadap naungan

dibandingkan dengan kesembilan spesies lainnya. Rosli (2003), melaporkan

terdapat 32 spesies dalam areal percobaannya yang menggunakan herbisida

berspektrum luas untuk memberantas gulma, 25 spesies di antaranya berdaun

lebar dan 7 spesies berdaun sempit. Berdasarkan karaktristik yang dimiliki gulma

dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu gulma rerumputan (grasses), teki-tekian

(sedges), dan berdaun lebar (broad leaf). Meskipun jenis-jenis tanaman yang

tumbuh di bawah pohon kelapa sawit umumnya sebagai gulma, tanaman

tersebut sangat disukai dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan pakan

bagi ternak sapi potong (Taufan, 2014).

Vegetasi alam yang sering disebut dengan gulma oleh pihak perkebunan

adalah tanaman yang kehadirannya tidak diinginkan pada lahan pertanian atau
14

perkebunan karena menurunkan produksi yang bisa dicapai oleh tanaman

utama. Komposisi gulma adalah proporsi rerumputan terhadap seluruh tanaman

yang tumbuh bersamanya dan umumnya sangat dipengaruhi oleh beberapa

faktor, antara lain umur kelapa sawit, curah hujan dan letak geografis (Liang,

2007).

2.4 Kandungan Nutrisi Vegetasi Alam di Perkebunan Kelapa Sawit

Wong dan Chin (1998), melaporkan vegetasi alam sebagai sumber hijauan

yang terdapat pada perkebunan kelapa sawit dengan umur yang berbeda, cukup

untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (protein dan energi metabolisme) ternak

selama penggembalaan. Spesies rumput tergolong tanaman C4 yang berasal

dari daerah tropika dan fotosintesis lebih mampu ditingkatkan pada tingkat

cahaya penuh. Pada umur tanaman yang masih muda (3-5 tahun) komposisi

botani tertinggi terdapat pada jenis rerumputan, dikotil dan legum. Namun untuk

jenis pakisan banyak terdapat pada tanaman sawit yang sudah tua (>10 tahun).

Demikian pula dengan komposisi kimia yang diperoleh berupa kandungan energi

dan protein tertinggi juga terdapat tanaman yang masih muda (3-5 tahun).

Sementara Ca dan P tertinggi diperoleh pada umur tanaman yang sudah tua

(>10 tahun). Meskipun jenis rerumputan adalah komposisi tertinggi dari masing-

masing umur tanaman kelapa sawit yang nilai proteinnya sangat rendah (6-8%),

namun dengan eksisnya tanaman leguminosa berkombinasi sehingga

kandungan protein meningkat (11-12%), dan baik dimanfaatkan sebagai pakan.

2.6 Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit

Kelapa sawit menjadi komoditi yang penting bagi bangsa Indonesia, tanpa

disadari bahwa setiap hari tidak lepas dari produk kelapa sawit, dari minyak

goreng, sabun, hingga berbagai produk oleokimia dan pangan yang setiap hari
15

kita pergunakan. Industri kelapa sawit juga memberi alternatif saat timbul

kekhawatiran semakin menipisnya minyak bumi, karena minyak sawit dapat

diproses menjadi biodiesel, bahan bakar terbaru yang tidak pernah habis.

Belakangan pada saat isu krisis daging sapi melanda Indonesia, karena setiap

tahun negara mengimpor sapi dari Australia, maka kelapa sawit memberikan

alternatif solusi yang menarik melalui integrasi sawit, sapi dan energi/ISSE.

Agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu sektor yang sangat potensial.

Pasokan bahan pakan ternak pada perkebunan kelapa sawit yang tersedia

sepanjang tahun menjadi jaminan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pakan yang

dihasilkan. Pada pola integrasi ini, tanaman kelapa sawit sebagai komponen

utama sedangkan ternak sebagai komponen pelengkap. Melalui pola integrasi

sawit-sapi dan energi (ISSE) ini, pelepah kelapa sawit akan menjadi komponen

hijauan, sementara bungkil dan lumpur sawit sebagai pengganti konsentrat yang

dapat diperoleh dari bungkil kedelai, rapeseed meal, dan corn gluten meal yang

selama ini diimpor 100% dari luar negeri (Dirjenbun, 2012).

2.6.1 Luas Lahan Kelapa Sawit Kabupaten Kolaka

Perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kolaka memiliki luas areal 12.887.32

Ha yang dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu tanaman belum menghasilkan

3.596.84 Ha dan tanaman menghasilkan 9.258.11 Ha. Kemudian terbagi di

beberapa lokasi Kecamatan di antaranya, Kecamatan Watubangga 2454,75 Ha.

Di Kecamatan Watubangga terbagi menjadi dua bagian, yaitu tanaman belum

menghasilkan sebesar 2430,75 Ha dan tanaman menghasilkan sebesar 24,00

Ha. Kecamatan Tanggetada 877,00 Ha terbagi atas dua bagian, yaitu tanaman

belum menghasilkan sebesar 730,00 Ha dan tanaman menghasilkan sebesar

147,00 Ha. Kecamatan Toari 875,70 Ha terbagi atas dua bagian, yaitu tanaman
16

belum menghasilkan dengan luas area sebesar 441,05 Ha dan tanaman

menghasilkan seluas 434,65 Ha. Kecamatan Samaturu tanaman belum

menghasilkan seluas 162,27 Ha dan luas tanaman menghasilkan 46,30 Ha.

Kecamatan Polinggona luas kawasan kelapa sawit 493,00 Ha dan Kecamatan

Pomalaa luas kawasan kelapa sawit sebesar 325.00 Ha. (Badan Pusat Statistik

Kabupaten Kolaka, 2018).

2.7 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan pada studi pustaka, terdapat beberapa judul penelitian yang

telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dan dan dapat dijadikan sebagai acuan

dalam pelaksanaan penelitian ini. Penelitian terdahulu tersebut sebagai berikut :

Nurhayati 2015, melakukan penelitian berjudul Ketersediaan Sumber

Hijauan diBawahPerkebunan Kelapa Sawit untuk Penggembalaan Sapi

menunjukkan bahwa laju pertambahan kebun kelapa sawit di Indonesia sejak

tahun 2008-2011 mencapai 6,92%, yaitu meningkat dari 7.363.703 menjadi

7.873.384 ha. Vegetasi yang tumbuh di area perkebunan kelapa sawit

merupakan gulma bagi tanaman pokoknya. Perkebunan kelapa sawit ini

mempunyai peluang untuk usaha peternakan sistem integrasi kelapa sawit-sapi

telah dikenal dan banyak diaplikasikan, melalui penggunaan limbah kebun kelapa

sawit, limbah pengolahan sawit, pelepah sawit sebagai pakan ternak dan pupuk

kandang sebagai pupuk tanaman kelapa sawit. Pengelolaan kebun kelapa sawit

termasuk padat modal, antara lain untuk perawatan tanaman, pengendalian

gulma, pengadaan pupuk organik dan pupuk anorganik. Adanya penggembalaan

sapi di perkebunan sawit, biaya pengelolaan kebun sawit dapat diminimalisir dan

input produksi kelapa sawit dapat ditekan. Salah satu sistem integrasi kelapa

sawit-sapi yang mempunyai prospek untuk dikembangkan adalah sistem


17

penggembalaan dengan rotasi. Jenis tumbuhan di bawah tanaman kelapa sawit

antara lain rumput-rumputan dan tumbuhan berdaun sempit maupun berdaun

lebar. Tumbuhan tersebut ada yang disukai ternak, ada yang tidak disukai atau

beracun untuk ternak. Ketersediaan tumbuhan di bawah kelapa sawit bervariasi

tergantung dari umur kelapa sawit. Salah satu cara untuk meningkatkan

ketersediaan dan kualitas hijauan dibawah kelapa sawit antara lain dengan

introduksi tanaman pakan ternak (TPT) unggul di sela-sela tanaman kelapa

sawit. Kapasitas tampung vegetasi di bawah perkebunan kelapa sawit bervariasi.

Beberapa studi yang telah dilakukan melaporkan bahwa integrasi kelapa sawit-

sapidengansistemgrazingsecara ekonomi feasible.

Hutwan Syarifuddin (2011) dalam penelitian yang berjudul komposisi dan

struktur hijauan pakan ternak di bawah perkebunan kelapa sawit

mengemukakan bahwa struktur dan komposisi vegetasi pada suatu wilayah

dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya yang saling berinteraksi, sehingga

vegetasi yang tumbuh secara alami pada wilayah tertentu sesungguhnya

merupakan pencerminan hasil interaksi berbagai faktor lingkungan dan dapat

mengalami perubahan drastik karena pengaruh anthropogenik kehadiran

vegetasi pada suatu landscape akan memberikan dampak positif bagi

keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas. Secara umum peranan

vegetasi dalam suatu ekosistem adalah untuk pengaturan keseimbangan

karbondioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis

tanah, pengaturan tata air tanah dan lain-lain.

Ida Ketut Mudhita (2019) dalam penelitiannya potensi hijauan diareal

perkebunan kelapa sawit perusahaan, kelompok tani dan perkebunan rakyat

sebagai tanaman pakan sapi potong dikabupaten kota waringin barat kalimantan
18

tengah mengemukakan bahwa produksi hijauan perkebunan kelompok tani lebih

dominan yaitu: 3.882,4 kg/ha bahan kering, dari produksi hijauan perkebunan

rakyat sebesar 1.877,8 kg/ha bahan kering (BK) dan perkebunan perusahaan

yaitu 1.337,9 kg/ha BK. Kandungan nutrien hijauan terutama protein kasar

tertinggi terdapat di perkebunan perusahaan yaitu sebesar 19,91% kemudian

kelompok tani 12,52% dan perkebunan rakyat sebesar 5,33%, sedangkan serat

kasar dengan nilai tinggi terdapat di perkebunan rakyat diikuti perusahaan

kemudian kelompok tani dengan masing-masing sebesar 39,92%, 33,92% dan

31,22%. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa hijauan di bawah tanaman utama

perkebunan kelapa sawit di perusahaan, kelompok tani dan perkebunan rakyat

memiliki potensi yang baik sebagai pakan hijauan untuk ternak sapi potong

dengan nilai nutrien terbaik pada perkebunan milik perusahaan.


19

BAB III

KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Pikir Penelitian

Hijauan merupakan sumber pakan utama ternak ruminansia, sehingga

untuk meningkatkan produksi ternak harus diikuti peningkatan penyediaan

hijauan yang cukup baik dalam kuantitas maupun kualitas. Pertambahan

populasi ternak ruminansia menyebabkan peningkatan kebutuhan pakan hijauan.

Sumber pakan hijauan umumnya dari padang rumput/padang penggembalaan

yang luasnya semakin lama semakin berkurang karena secara bertahap telah

terjadi perubahan fungsi dari padang rumput menjadi pemukiman penduduk,

kawasan industri, serta perkebunan.

Keterbatasan areal yang digunakan untuk penanaman hijauan makanan

ternak mengakibatkan produksi ternak menurun. Di lain pihak, lahan marginal

seperti lahan di bawah naungan pohon, lahan di pinggiran hutan, dan lahan di

bawah naungan tanaman perkebunan belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal

ini disebabkan karena terbatasnya ketersediaan faktor pertumbuhan tanaman

seperti unsur hara, air, dan radiasi matahari pada lahan tersebut, sehingga petani

peternak membiarkan lahannya ditumbuhi oleh tanaman liar atau rumput alam.

Lahan yang berpotensi menjadi sumber hijauan pakan adalah lahan

perkebunan. Lahan perkebunan yang cocok digunakan sebagai sumber pakan

hijauan adalah perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi, untuk mengetahui

kandungan nutrisi yang terkandung kedalam hijauan tersebut maka perlu

dilakukan pengamatan nutrisi dengan analisis proksimat untuk mengetahui

kandungan kadar air, abu, protein kasar, lemak kasar dan serat kasar pada
20

hijauan yang terdapat pada lahan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kolaka.

Untuk lebih jelasnya kerangka piker penelitian ini disajikan pada gambar 1.

Perkebunan Kelapa Sawit


Kabupaten Kolaka

Luas Kawasan Kelapa Sawit


12.887.32 Ha

Watubangga – 414.40 Ha
Tanggetada – 518.00 Ha Kerapatan Vegetasi
Polinggona- 177 Ha

Legum, Rumput, Hijauan

Evaluasi Kualitas Nutrien Legum, Rumput, Hijauan

Berat Kering Bahan Organik Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar

Gambar. 1 Kerangka Pikir Penelitian


21

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan

Oktober 2020 di Kabupaten Kolaka dan Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan

Ternak Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo Kendari.

4.2. Bahan

Bahan penelitian yang digunakan adalah hijauan yang tumbuh di area

perkebunan sawit Kabupaten Kolaka. Peralatan yang digunakan yaitu alat tulis,

log book, koran, kuadran berukuran 1 m x 1 m, pisau, timbangan, gunting,

kamera, label, kantong sampel, spidol permanen, kalkulator, GPS, meteran,

kantong sampel dan seperangkat peralatan laboratorium lainnya.

4.3. Prosedur Penelitian

1. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode observasi lapang yaitu eksplorasi dan

pengambilan sampel di area perkebunan sawit yang telah ditentukan, identifikasi

jenis hijauan, analisis komposisi botani, menghitung produksi hijauan segar dan

pengamatan nutrisi hijauan.

2. Sampling Hijauan Pakan

Sampling hijauan pakan dilakukan di areal perkebunan sawit yang ada di

Kabupaten Kolaka. Lokasi pengambilan sampel adalah Kecamatan Tanggetada,

Kecamatan Watubangga dan Kecamatan Polinggona. Setiap kecamatan

dibedakan berdasarkan umur sawit yaitu umur 3 tahun, 9 tahun dan 15 tahun.
22

3. Identifikasi Hijauan Pakan

Identifikasi hijauan pakan menggunakan metode herbarium hijauan pakan

dengan mengikuti metode Stone (1983) yaitu dengan melakukan eksplorasi dan

koleksi herbarium. Hijauan diambil dari setiap lokasi penelitian dan berdasarkan

umur sawit, selanjutnya jenis hijauan diidentifikasi dengan membandingkan ciri-

ciri fisik pada pustaka terkait dan tenaga ahli herbarium untuk menemukan nama

latinnya.

4. Komposisi Botani

Metode yang digunakan dalam analisis komposisi botani adalah metode Dry

weight Rank (Mannetje dan Haydock 1963) dengan cara mencatat jenis-jenis

hijauan yang ada di lahan perkebunan sawit, kemudian data dikumpulkan untuk

mendapatkan perbandingan antar spesies hijauan yang menempati peringkat

pertama, kedua dan ketiga. Kemudian setiap peringkat tersebut dikalikan dengan

koefisien. Tempat pertama dikalikan 8,04; tempat kedua dikalikan 2,41 dan

tempat ke tiga dikalikan 1. Analisis Komposisi Botani ini dilakukan dengan cara

membuat kuadran berukuran 1 m x 1 cm kemudian dilempar acak sebanyak 25

kali disetiap umur di tiga desa dan dilihat komposisi botani hijauannya.

5. Produksi Hijauan Segar dan Kering

Analisis Produksi Hijauan dilakukan dengan memotong hijauan didalam plot

berukuran 1 m x 1 m dan menimbangnya, setelah itu, hijauan tersebut dijemur

lalu dioven 60C dan ditimbang kembali untuk mengetahui berat basah dan berat

kering. Untuk menghitung produksi hijauan per hektar digunakan rumus P = C x

10.000 – (LP x JS), dimana P adalah produksi hijauan per hektar (kg), C adalah

rata-rata berat hijauan per m2 , LP adalah luas piringan pada pohon sawit dan JS

adalah jumlah pohon sawit dalam 1 hektar (Daru et al. 2014).


23

6. Pengamatan Nutrisi Hijauan Pakan

Pengamatan nutrisi dilakukan dengan analisis proksimat (AOAC 2005) untuk

mengetahui kandungan kadar air, abu, protein kasar, lemak kasar dan serat

kasar pada hijauan yaitu sebagai berikut:

Kadar Air Cawan porselen bersih dikeringkan dalam oven suhu 105 0C

selama 15 menit dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator bersilika selama 5

menit atau sampai cawan tidak panas lagi dan ditimbang beratnya (A). Sampel

sebanyak 5 g ditimbang ke dalam cawan porselen (X) menggunakan timbang

analitik lalu dikeringkan di dalam oven dengan suhu 105 0C selama 8 jam. Cawan

berisi sampel dikeluarkan dari oven didinginkan dalam desikator lalu ditimbang

(Y). Kadar air (%) dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

(𝐗−𝐘)
𝐊𝐚𝐝𝐚𝐫 𝐚𝐢𝐫(%) = x 100%
(𝐘−𝐀)

Kadar Abu, Cawan porselen yang telah diketahui beratnya diisi sampel

dengan berat 3 sampai 5 g, dibakar di dalam tanur dengan suhu 600 oC selama 6

jam. Cawan berisi sampel dikeluarkan dari tanur dimasukkan ke dalam desikator

selama 15 menit (sampai tidak panas lagi) lalu ditimbang untuk mengetahui berat

abu. Kadar abu dihitung dengan rumus sebagai berikut :

𝑩𝒐𝒃𝒐𝒕 𝒂𝒃𝒖
Kadar abu (%) = 𝑩𝒐𝒃𝒐𝒕 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍 𝐱 𝟏𝟎𝟎%

Kadar Lemak Kasar, Sampel ditimbang sebanyak 2 sampai 3 g, disebar di atas

kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk thimble lalu

dimasukan ke dalam tabung soxchlet. Kemudian diekstraksi selama 6 jam

dengan pelarut lemak (heksana) sebanyak 150 ml. Lemak yang diekstrak

kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 0C selama 1 jam. Kadar

lemak dihitung dengan rumus:


24

𝐁𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐥𝐞𝐦𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐫𝐞𝐤𝐬𝐭𝐫𝐚𝐤


Kadar lemak (%) = 𝐁𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐒𝐚𝐦𝐩𝐞𝐥
𝐱 𝟏𝟎𝟎%

Kadar Protein Kasar, Sampel ditimbang sebanyak 0.10 g dimasukkan ke dalam

labu kejeldhal 30 ml dan ditambahkan 2.5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis dan batu

didih. Sampel dididihkan selama 1.0 sampai 1.5 jam atau sampai larutan terlihat

jenih. Labu yang berisi larutan sampel didinginkan, dipindahkan ke dalam alat

destilasi dan ditambahkan dengan 15 ml larutan NaOH 50% kemudian dibilas

dengan air suling. Labu erlenmeyer berisi HCl 0.02 N diletakkan di bawah

kondensor dengan terlebih dahulu ditambahkan dengan 2 sampai 4 tetes larutan

indikator (campuran metil merah 0.02% dalam alkohol dan metil biru 0.02%

dalam alkohol dengan perbandingan 2:1). Ujung tabung kondensor harus

terendam dalam labu yang mengandung larutan HCl. Selanjutnya didestilasi

sampai diperoleh sekitar 25 ml destilat berwarna kebiruan. Proses destilasi

dihentikan kemudian destilat dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi

perubahan warna biru menjadi ungu. Prosedur yang sama dilakukan untuk

blanko. Kadar nitrogen dihitung dengan rumus :

(𝐘−𝐙) 𝐱 𝐍 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐱 𝟎.𝟎𝟏𝟒 𝐱 𝟔.𝟐𝟓


Kadar Protein (%) = 𝐱𝟏𝟎𝟎%
𝐖

Keterangan :
Y : Ʃ ml NaOH titer yang digunakan pada blanko.
Z : Ʃ ml NaOH titer yang digunakan pada sampel perlakuan.
W : Bobot Sampel.
N : normalitas NaOH0.014, 1 ml alkali equivalen dengan 1 ml
larutan N mengandung 0.014.
6,25 : faktor koreksi.

Kadar Serat Kasar, Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam gelas piala,

ditempatkan dalam alat heater extract, ditambahkan 50 ml H2SO4 0.3 N

selanjutnya diekstraksi selama 30 menit. Hasil ekstraksi kemudian ditambahkan

25 ml NaOH 1.5 N dan diekstraksi kembali selama 30 menit. Kertas saring


25

Whatman No. 41 yang telah dipanaskan dalam oven suhu 105 0C selama 1 jam,

ditimbang (a). Cairan ekstraksi disaring menggunakan kertas saring Whatman

No.41 yang ditempatkan di atas corong buchner. Penyaringan dilakukan

menggunakan labu pengisap yang dihubungkan dengan pancar air. Sampel

dicuci berturut-turut menggunakan 50 ml air panas, 50 ml H 2SO40.3 N dan 25 ml

aceton. Kertas Whatmanno.41 dan isinya dimasukkan ke dalam cawan porselen,

selanjutnya keringkan dalam oven dengan suhu 105 0C selama 1 jam. Cawan

porselen dikeluarkan dari oven dinginkan di dalam desikator kemudian timbang

beratnya (Y). Cawan yang berisi sampel kemudian dibakar dalam tanur

dengan suhu 600 0C selama 6 jam. Cawan porselen berisi sampel dikeluarkan

dari tanur, didinginkan di dalam desikator dan ditimbang (Z). Kadar serat kasar

di hitung dengan rumus :

(𝐘−𝐙−𝐚 )
Kadar serat kasar = 𝑿
𝐱𝟏𝟎𝟎%

Keterangan :
X : berat sampel (g).
a : berat kertas Whatman setelah dipanaskan (g).
Y : berat kertas Whatman, sampel dan cawan setelah dipanaskan(g).
Z : berat sampel dan cawan setelah ditanur (g).
26

DAFTAR PUSTAKA

Adriadi A., Chairul dan Solfiyeni. 2012. Analisis vegetasi gulma pada perkebunan
kelapa sawit (Elais quineensis jacq.) di Kilangan, Muaro Bulian, Batang Hari.
Jurnal BiologiUniversitas Andalas (J. Bio. UA.) 1(2)–Desember2012:108-115

AAK. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja dan Perah. Yogyakarta: Yayasan
Kanisius. 1983.

AOAC [Association of Official Analytical Chemists]. 2005. Official Methods of


Analysis. Washington DC: AOAC.

Ariati, S.R., T. Yulistyarini, dan A. Suprapto. 2001. Koleksi Polong-polongan


Kebun Raya Purwodadi. Kebun Raya Purwodadi - Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Pasuruan.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka, 2018. Luas perkebunan kelapa sawit
Kabupaten Kolaka. 2018.

Budiasa, I. K. M. 2005. Ketersediaan Hijauan Sumber Pakan Sapi Bali


Berdasarkan Penggunaan Lahan dan Topografi di Kabupaten Jembrana
Provinsi Riau. Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Carr, G. 2010. Fabaceae (Leguminosae). University of Hawaii. www. botany.


hawaii.edu/ faculty/carr/fab.htm. Diakses 2 Desember 2010.

Daru, T. P., A. Yulianti dan E. Widodo. 2014. Potensi Hijauan di Perkebunan


Kelapa Sawit Sebagai Pakan Sapi Potong di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Media Sains 7 (1): 79-86.

Ditjenbun. 2012. Statitistik Perkebunan Indonesia 2009-2011. Kementerian


Pertanian Indonesia. Ginting, 2011.

Herlinae, 2003. Evaluasi nilai nutrisi dan potensi hijauan asli lahan gambut
pedalaman di Kalimantan Tengah sebagai pakan ternak. Tesis, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 120 hal.

Hopkins, A. 2000. Grass. Its production and utilization. Ed. Ke-3. UK. The British
Grassland Society. Blackwell Science.153 p.

Hutwan Syarifuddin 2011. Komposisi Dan Struktur Hijauan Pakan Ternak Di


Bawah Perkebunan Kelapa Sawit. Laboratorium Hijauan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Jambi. AGRINAK. Vol. 1 Sep No.1 2011 :
25 – 30

Ida Ketut Mudhita 2019. Potensihijauan Diareal perkebunan kelapa sawit


Perusahaan,Kelompok tani dan perkebunan rakyat sebagai Tanaman pakan
sapi potong dikabupaten kota waringin barat Kalimantan tengah.
27

Kamal, M. 1998. Bahan pakan dan ransum ternak. Fakultas Peternakan


Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Indonesia. 88 hal.

Kanisius, A. A. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja dan Perah. Yogyakarta:


Erlangga. 1983.

Kementerian Pertanian, 2019. Luas perkebunan Kelapa Sawit Indonesia.

Liang JB. 2007. An overview of the use of oil palm byproducts as ruminant feed
in Malaysia. In: Darmono, Wina E, Nurhayati, Sani Y, Prasetyo LH,
Triwulanningsih E, Sendow I, Natalia L, Priyanto D, Indranigsih, et al.,
penyunting. Akselerasi Agribisnis Peternakan Nasional melalui
Pengembangan dan Penerapan IPTEK. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 21-22 Agustus 2007. Bogor
(Indonesia): Puslibangnak. hlm. 8.

Mahyuddin, K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis. Penebar Swadaya : Jakarta.

Mannetje, L.’t, and Haydock, K.P., 1963. The Dry-Weight-Rank Method for The
Botanical Analysis of Pasture. J. Br. Grassld. Soc., 18: 268-275.

Moser, L.E. and Nelson C.J. 2003. Structure and morphology of grass. In: Barnes
RF, Nelson CJ, Collins M and Moore KJ, editor. Forage. An introduction to
grassland agriculture. Ed ke-6. USA. Iowa State University Press. PP 25-50.

Perry, T. W. 1980. Beef Cattle Feeding and Management.5 th ed. MacMIIIan


Publishing.

Prawiradiputra BR, Endang S, Sajimin, Achmad F. 2006. Hijauan Pakan Ternak


Untuk Lahan Sub-Optimal. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian 2012. ISBN : 978-602-8475-68-6. IAARD Press.
Bogor.

Prawirosukarto S, Syamsuddin E, Darmosarkoro W, Purba A. 2005. Tanaman


Penutup Dan Gulma Paad Kebun Kelapa Sawit. Buku I. Medan (Indonesia):
Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Reksohadiprodjo, Soedomo, 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak


Tropik, Edisi Ketiga. Penerbit BPFE Yogyakarta.

Siregar, S. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta.

Syahputra, E. 2011. Weeds Assessment Di Perkebunan Kelapa Sawit Lahan


Gambut. J. Tek. Perkebunan & PSDL 1, (1): 37-42.

Taufan p, Daru, Arliana Y, Eko W. 2014. Potensi Hijaun Diperkebunan Kelapa


Sawit Sebagai Pakan Ternak Sapi Potong Di Kutai Kartanegara j pastura.
3.94-98.
28

Tillman, A. D., S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo.


1991. Ilmu Makanan Ternsak Dasar Cetakan ke-5. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

Wong, C. C., Chin, F. Y. 1998. Meeting Nutritional Requirement of Cattle from


Natural Forages in oil plantation. National Seminar Livestock and Crop
Integration in Oil Palm Towards Sustainability, PORIM, 12-14 May 1998.
Keluang, Malaysia.

Anda mungkin juga menyukai