Anda di halaman 1dari 16

Makalah

DINAMIKA PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH


DALAM KONTEKS HUKUM NASIONAL
Untuk melengkapi makalah matakuliah studi syariat islam di Aceh

Oleh :

T. AL-FURQANULHAD
Nim: 170603244
ADE CANDRA
Nim: 160603232

PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
2018
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN...................................................................................................2

LATAR BELAKANG...........................................................................................................2

RUMUSAN MASALAH.......................................................................................................2

TUJUAN MAKALAH ..........................................................................................................3

BAB II : PEMBAHASAN....................................................................................................4

A. PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH ..................................................4


1. Pengertian syari’at islam......................................................................................4
2. Pengertian hokum syari’at...................................................................................6
3. Pengertian hokum nasional (positif)....................................................................7
B. PELAKSANAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH BERDASARKAN HUKUM
NASIONAL...............................................................................................................8
1. Penerapan syari’at islam di Indonesia..................................................................8
2. Penerapan syari’at islam di aceh..........................................................................9
C. DINAMIKA PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH DALAM
KONTEKS HUKUM NASIONAL...........................................................................10

BAB III : PENUTUP.............................................................................................................14

KESIMPULAN......................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................15

1
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Aceh sebagai salah satu provinsi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia mempunyai arti penting bagi keutuhan Indonesia. Aceh memiliki
keistimewaan dalam bidang agama, selain memang merupakan daerah pertama
datangnya Islam di Indonesia, juga merupakan salah satu pusat perkembangan
peradaban Islam di Asia Tenggara dengan penduduk mayoritas Islam, jumlah pemeluk
Islam di Aceh adalah 4.356.624 atau 98,8 persen dari total penduduknya.
Aceh dengan julukannya sebagai seramou mekkah telah diakui oleh kebanyakan
orang bahwa telah menerapkan syariat islam di dalam kehidupannya. Hal ini di dasari
kepada telah berkembangnya ajaran agama islam yang telah ada sejak kerajaan aceh
berdiri. seiring berkembangnya zaman, syariat islam di aceh telah sedikit memudar,
namun pada tahun 2002 akhirnya dengan disahkannya Qanun Nomor 11 Tahun 2002
tentang pelaksanaan syariat islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syir’ar Islam, maka
muncullah kembali pelaksanaan syariat islam itu secara kaffah.
Qanun itu berlaku tentu saja berdasarkan keinginan rakyat aceh untuk
menerapkan syariat islam. Dengan adanya hokum tersebut telah membuat perubahan
besar dan signifikan di dalam kehidupan bermasyarakat di aceh sendiri. Namun
bagaimana dengan hokum Indonesia yang telah berlaku sebelumnya di aceh dan apakah
dengan adanya qanun baru tersebut akan berbenturan dengan undang-undang yang telah
ada terlebih dahulu. Untuk menjawab itu, pemakalah ingin sedikit membahas dinamika
kehidupan syariat islam di aceh berdasarkan hubungannya dengan hokum di Indonesia

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah yang dimaksud dengan penarapan syariat islam
2. Bagaimanakah pelaksanaan dan perkembangan syariah islam di aceh

2
3. Bagaimanakah pelaksanaan syariat islam di aceh berdasarkan ketentuan hokum
nasional
4. Bagaimanakah perubahan dan perkembangan syariat islam di aceh setelah
terbentuknya qanun serta kaitannya dengan hokum nasional
5. Bagaimanakah hubungan antara qanun dan hokum nasional terhadap penerapan
syariat islam dalam kehidupan bermasyarakat di aceh

TUJUAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui penerapan syariat islam di Indonesia terkhususnya di daerah
Aceh.
2. Untuk mempelajari praktik syariat islam di Aceh berdasarkan hukum nasional
yang telah berlaku di Indonesia.
3. Untuk memahami hubungan antara hukum syariat Islam dan hokum nasional
(positif).
4. Untuk mempelajari dinamika sosial dan kemasyarakan terhadap penerapan
syariat islam di Aceh berdasarkan konteks hokum nasional.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH


1. Pengertian Syariat Islam
Kata “syariat” yang sudah baku dalam bahasa Indonesia diartikan dengan
“hukum agama, atau yang bertalian dengan agama Islam”. Etimologi berasal dari kata
shara’a (bahasa Arab) yang bermakna “yang ditetapkan atau didekritkan”. Dalam arti
lain syariat adalah “jalan atau cara” menuju Allah melalui jalur ibadah, muamalah dan
etika Keseharian.
Syariat sering dipahami sebagai ketentuan atau hukum yang berasal dari Tuhan
sehingga perlu diaktualisasikan dalam kehidupan. Syariat selalu dipahami sebagai fikih
(pemahaman atau ilmu tentang hukum Islam). Syariat dan fikih merupakan dua hal
yang berbeda, tetapi memiliki kesamaan dan saling berkaitan yaitu fokus kepada
Persoalan ibadah dan mu’amalah. Ibadah mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-
Nya seperti ketentuan shalat, puasa, zakat, haji, zikir dan sebagainya. Sedangkan
mu’amalah mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam
lingkungannya.1
Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang
harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan
kepada Allah dibutuhkan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur
sedemikian rupa oleh syariah islam. Syariah Islam mengatur perbuatan seorang muslim,
didalamnya terdapat hukum-hukum yang terdiri atas :
1. Wajib, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika
ditinggalkan mendapat dosa.
2. Sunah, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila
ditinggalkan tidak berdosa. Sunah dibagi menjadi dua, yaitu :
3. Mubah, yaitu suatu perkara yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan karena tidak
diberi pahala dan tidak berdosa.
1. Nata, Abuddin, Study Islam Komprehensif, (Jakarta, Kencana, 2011)

4
4. Makruh, yaitu suatu perkara apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika
dikerjakan tidak berdosa, seperti : makan bawang mentah.
5. Haram, yaitu suatu perkara yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika
dikerjakan berdosa. Contohnya : zinah, mencuri, dan sebagainya.
Sumber Hukum Islam merupakan sumber yang dimana semua hokum dan
peraturan yang dijalankan oleh kaum muslimin berasal. Berikut ini sumber hokum di
dalam islam :
1. Al-Quran
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia
hingga akhir zaman. Selain sebagai sumber ajaran Islam, Al Quran disebut juga sebagai
sumber pertama atau asas pertama syarak.
Al Qur'an merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci
lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Qur'an dari
waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al Qur'an namun tidak ada
yang saling bertentangan.
2. Al-Hadis
Hadis terbagi dalam beberapa derajat keasliannya, di antaranya adalah:
 Sahih
 Hasan
 Daif (lemah)
 Maudu' (palsu)
Hadis yang dijadikan acuan hukum hanya hadis dengan derajat sahih dan hasan,
kemudian hadis daif menurut kesepakatan Ulama salaf (generasi terdahulu) selama
digunakan untuk memacu gairah beramal (fadilah amal) masih diperbolehkan untuk
digunakan oleh umat Islam. Adapun hadis dengan derajat maudu dan derajat hadis yang
di bawahnya wajib ditinggalkan, namun tetap perlu dipelajari dalam ranah ilmu
pengetahuan.

5
3. Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha para ulama, untuk menetapkan sesuatu putusan
hukum Islam, berdasarkan al Quran dan al Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi
Muhammad wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada dia tentang sesuatu
hukum maupun perihal peribadatan. Namun, ada pula hal-hal ibadah tidak bisa di
ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain :
 Ijma', kesepakatan para ulama
 Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
 Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat
 'Urf, kebiasaan.

2. Pengertian Hukum Syariat


Hukum Syari'ah adalah suatu peraturan yang bermuatan nilai dan norma Islam
yang bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang berlaku di suatu daerah. Dalam kajian
hukum Islam istilah Syari'ah dibedakan antara syari'ah arti sempit dan syari'ah arti luas.
Syari'ah dalam arti sempit berarti teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut masalah
hukum normatif. Sedang dalam arti luas adalah teks-teks wahyu atau hadis yang
menyangkut aqidah (keyakinan), hukum dan akhlak.
Dalam konteks Perda (peraturan daerah) terhadap syari'ah nampaknya yang
digunakan adalah syari'ah dalam arti sempit. Namun hal ini tetap saja berbeda
pengertian syari'ah tersebut, karena yang dimaksud syari'ah adalah teks wahyu atau
hadis yang tidak ada intervensi manusia.2 Sedangkan yang dijadikan perda syari'ah
tidaklah teks-teks wahyu atau hadist, akan tetapi sudah merupakan pemahaman atau
penafsiran dari teks tersebut yang dilakukan oleh manusia.
Produk hukum yang sudah diintervensi manusia tidak lagi bernama syari'ah.
Dalam terminologi hukum Islam hukum ini disebut fiqh. Dalam hal ini fiqh merupakan
hasil ijtihad ulama atau fukaha yang mengacu pada dalil Alqur'an dan Sunnah (syari'ah).
Dalam konteks kehidupan bernegara hasil ijtihad ini dijadikan hukum positif atas dasar

2. Hamid, Arifin, Hukum Islam perspektif Keindonesiaan, (Makassar, Umitoha Ukhuwah Grafika, 2011)

6
kesepakatan legislatif. Hukum ini dikenal dengan qanun, yang dalam bahasa Indonesia
disebut undang-undang.
Istilah syari'ah ini di Indonesia tidak lagi mengacu pada makna aslinya, akan
tetapi suatu istilah yang ingin memperlihatkan secara nyata mana aturan yang
bersumber dari ajaran Islam dan mana pula yang tidak bersumber dari ajaran Islam,
yang dalam hal ini dari pemikiran manusia belaka. Pemahaman fikih menjadi kunci
dalam menjabarkan implementasi syariah dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan
akhir disyariatkannya Islam untuk mencapai kehidupan manusia yang bermaslahat dan
berkeadilan.3

3. Pengertian Hokum Nasional (Positif)


Istilah “hukum” di Indonesia berasal dari bahasa Arab “qonun” atau “ahkam”
atau “hukm” yang mempunyai arti “hukum”. Adapun hukum menurut kamus besar
bahasa indoneia adalah “peraturan atau adat yang secara resmi mengikat, yang
dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah”. 4 Hokum positif di Indonesia terbuat
kedalam bentuk undang-undang, ketetapan dan peraturan daerah. Beberapa definisi
hukum menurut para ahli hukum adalah sebagai berikut :
 Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang
diadakan untuk melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
 Paul Scholten dalam bukunya “Algemeen Deel” menyatakan bahwa,
hukum itu suatu petunjuk tentang apa yang layak dikerjakan  apa yang
tidak, jadi hukum  itu bersifat suatu perintah.5
 Hukum adalah sebagai rangkaian peraturan-peraturan  mengenai tingkah
laku orang-orang sebagai suatu anggota masyarakat.

3. Musa, Muhammad yusuf, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, (Jakarta, Rajawali Press, 1988)
4. syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum., (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999)
5. ibid

7
B. PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH BERDASARKAN HOKUM
NASIONAL
1. Penerapan Syariat Islam di Indonesia
Secara historis, pemberlakuan syariat sebagai sistem hukum di Indonesia sudah
mempunyai landasan sejarah yang kuat, yaitu sejak Islam masuk ke Indonesia pada
abad 1 hijriah dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, maka yang berlaku sebagai
hukum nasional pada waktu itu adalah hukum syariah. Sedangkan sistem peradilan yang
dipakai adalah juga sistem peradilan islam, Hal ini berlangsung hingga datangnya
penjajah eropa ke nusantara.
Tetapi sesudah penjajah Eropa tersebut masuk dan menguasai wilayah-wilayah
Indonesia, maka alur sejarah itu mereka potong dan hukum syariat mereka hapus
walaupun Belanda sempat menerbitkan peraturan Resolutie der Indische Regeering
yang mana dalam perarturan tersebut Belanda hanya mengakui berlakunya hukum Islam
dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) saja. Dan Sebagai
penggantinya, mereka paksakan hukum Eropa yang sangat bertentangan dengan kaidah
Islam. Bahkan bukti-bukti historis tetang pelaksanaan syariat pun mereka lenyapkan.
Pada masa Orde Lama hukum Islam tidak mengalami perkembangan yang
berarti dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bahkan dikatakan pada masa itu
hukum Islam berada pada masa yang suram. Namun menyusulnya gagasannya kudeta
PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang
sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukan Islam
sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU No. 14
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditetapkan. Dan secara perlahan pada era
reformasi hukum Islam mulai menepati posisinya. Lahirlah Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
Undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang
berlandaskan hukum Islam.6
6 . Indonesia, Tap MPR RI, Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 beserta Perubahan Pertama atas
UUD Negara RI Tahun 1945, (Jakarta: BP Panca Usaha. 1999)

8
2. Penerapan Syariat Islam di Aceh
Penerapan syariat Islam di Aceh dalam konteks hukum negara telah
diberlakukan sejak 1999, ketika pemerintah Republik Indonesia mengesahkan UU
No.44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. UU ini direvisi lagi pasca MoU
Helsinki menjadi UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Satu
kewenangan yang diberikan Pemerintah Pusat dalam UUPA yaitu penerapan syariat
Islam secara kaffah, meliputi; akidah, ibadah, muamalah, syariah, pembelaan Islam dan
syiar Islam.7
UUPA Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh tersebut telah
membawa perubahan besar tentang hukum yang berlaku di Aceh. Lahirnya qanun-
qanun dan upaya pelaksanaan syariat Islam yang berwacana secara kaffah (utuh dan
menyeluruh) telah memperpanjang rangkaian jenis hukum yang berlaku di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini telah menunjukkan suatu fenomena tersendiri
dalam perkembangan hukum yang berlaku di Indonesia.
Pengaturan Syariat Islam di Aceh didasarkan pada Undang-undang Nomor 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh UUPA). Dalam
UU No. 44/1999 disebutkan, ada empat keistimewaan yang diberikan kepada Aceh
yaitu kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan,  dan peran ulama dalam
penetapan kebijakan daerah. Keistimewaan di bidang kehidupan beragama, menurut
undang-undang ini, diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi
pemeluknya dalam bermasyarakat (Pasal 4 ayat 1).  Syariat Islam dimaksud adalah
tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan (Pasal 1 angka  10).
Dengan Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tersebut,  keistimewaan Aceh,
yang pernah diberikan pada tahun 1959 melalui Surat Keputusan Wakil Perdana
Menteri Hardi, yang terkenal dengan Kesepakatan Missi Hardi 1959. Direalisasikan
secara lebih jelas dan mantap. Berdasarkan undang-undang ini, Aceh diberi izin

7. Serambi News Paper, sabtu 17 maret 2017

9
melaksanakan Syari`at Islam dalam semua aspek kehidupan, sebagaimana disebutkan
dalam penjelasan umumnya: “Undang-undang yang mengatur mengenai
penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh ini dimaksudkan untuk
memberikan landasan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dalam mengatur urusan-
urusan yang telah menjadi keistimewaannya melalui kebijakan Daerah“.
Dengan diundangkannya undang-undang Nomor 11 tahun 2006, kedudukan
Syariat Islam di Aceh menjadi semakin kuat. Pasal 125 menyatakan bahwa pelaksanaan
Syariat Islam diatur dengan Qanun Aceh dan, konsekuensinya setiap pemeluk agama
Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan Syariat Islam dan Setiap orang yang
bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan Syariat Islam
(Pasal 126).
Syariat Islam yang dimaksud meliputi semua bidang dalam Islam sebagaimana
dikemukakan pada Pasal 125: Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi
aqidah, syar’iyah dan akhlak (Pasal 1) dan Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum
perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’(peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah,
syiar, dan pembelaan Islam (Pasal 2).8

C. DINAMIKA PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH DALAM KONTEKS


HOKUM NASIONAL
Isu syariat Islam dalam politik islam di Indonesia secara umum dan di aceh
khususnya bukanlah persoalan yang baru muncul. Sebagai negara berdasar atas hukum
yang berfalsafah Pancasila, negara melindungi agama, penganut agama, bahkan
berusaha memasukkan hukum agama ajaran dan hukum agama Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sehingga dengan kemajuan dunia saat ini, khususnya negara
Indonesia, maka penerapan hukum pidana Islam yang mulai diberlakukan seperti di

8. Abu Bakar, Al yasa’, Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam - Paradigma, Kebijakan
Dan Kegiatan. (Banda aceh , Dinas Syariat Islam, 2006)

10
Aceh harus mengikuti perubahan zaman, tidak semata-mata lahirnya produk hukum
seperti qanun penerapan syariat Islam lebih pada kepentingan politik para kelompok.
Namun bagaimana qanun – qanun syariat Islam atau peraturan daerah tentang
syariat Islam dapat menjawab kondisi kekinian, bukan mengakibatkan kemunduran
sektor kemajuan daerah tersebut. Secara singkat, titik berat penerapan hukum pidana
Islam dan syariat Islam harus memiliki serta menawarkan konsep hukum yang lebih
universal dan mendasarkan pada nilai-nilai esensial manusia. Selama ini hukum
Indonesia terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar sub-sistem hukum yaitu sistem
hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-
sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.9 
Di Aceh sendiri pelaksanaan syariat islam mempunyai banyak sekali tantangan
tersendiri. Bahkan Wakil Presiden Yusuf Kalla pernah mengatakan “walaupun Aceh
dapat menerapkan syariat Islam seperti ditegaskan dalam Undang-undang nomor 18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, tetapi aturan dan implementasinya tidak boleh
bertentangan dengan hukum nasional.”
Menarik disimak, pelaksanaan Syariat Islam di Aceh beberapa waktu lalu,
terdapat beberapa keluhan terkait dengan metode penerapan Syariat Islam yang
cenderung dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di
berbagai kabupaten dan kota di Aceh, dan pihak pelaksana Syariat Islam seperti tidak
berdaya mencegah meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-
media lokal di Aceh. Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pelanggar qanun lalu
kemudian direspon oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yang dalam beberapa
kasus berakhir ricuh, main hakim sendiri dan hal yang lainnya.
Salah satu masalah yang sering menjadi sorotan dalam pelaksanaan Syariat
Islam di Aceh adalah hukuman cambuk dan rajam yang dinilai bertentangan dengan
peraturan perundangan yang lebih tinggi, yaitu UU No. 1 Tahun 1946  UU No. 73
Tahun 1958 tentang Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Penilaian ini

9 . Amal, Taufik Adnan, Samsul Rizal, Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Sampai Nigeria, Jakarta,
Pustaka Alvabet, 2004

11
disebabkan beberapa hal. Pertama, qanun dianggap sama dengan perda sehingga ia
harus mengikuti hierarki peraturan perundang- undangan.
Menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-
undangan Pasal 7 ayat (5) mengemukakan: kekuatan hukum Peraturan Perundang-
undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (1)
yang dimaksud menyatakan: Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
c. Peraturan Pemerintah.
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan Daerah.
Tindakan seperti inilah yang selalu menjadi perhatian publik baik di Indonesia
maupun dunia internasional, munculnya isu-isu yang berkaitan dengan pelanggaran
HAM menjadi santapan media nasional maupun internasional, bahkan mereka
mengatakan qanun yang sudah diterapkan di aceh tidaklah sesuai dengan hokum
Indonesia yang sudah ada sejak dulu. Disini terjadi benturan antara hokum positif
Indonesia dengan qanun yang sudah mulai di berlakukan di aceh.
Juga contoh lainnya, jika seorang pelanggar hokum masihlah di bawah umur ,
maka Anak-anak yang berumur di bawah 18 tahun nantinya tunduk kepada undang-
undang anak walau melakukan pelanggaran syariat dan mereka harus diproses melalui
pengadilan anak. Disini terjadi tumpang tindih antara dua hokum yang berlaku dan
perbedaan proses penyelesaian masalah yang harus dihadapi.
Maka, tidak mengherankan apabila masih dijumpai banyaknya kesalahpahaman
yang menyebabkan perbedaan pendapat antara pihak aceh dengan kaum nasionalis.
Setiap pihak memiliki dasar yang kuat untuk menekan pihak yang lainya. Tetapi pihak
pemerintah aceh tidak bergeming sedikit pun terhadap hal-hal yang dikatakan oleh
pihak nasionalis, mereka tetap menjalankan qanun sesuai dengan yang telah ditetapkan.

12
Hal ini membutuhkan pemecahan masalah dan solusi yang harus dilakukan oleh
pemerintah Indonesia.
Sejauh ini, memanglah penerapan Syariat Islam belum menghasilkan perubahan
ke arah yang lebih positif dalam tata kehidupan masyarakat. Namun dengan adanya
qanun-qanun yang berlaku diharapkan kedepannya masyarakat aceh dapat menjalankan
syariat islam secara kaffah dan menjadi warga Negara yang baik dan berwibawa.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Syariat adalah “jalan atau cara” menuju Allah melalui jalur ibadah, muamalah
dan etika Keseharian. Perda (peraturan daerah) Syari'ah adalah suatu peraturan yang

13
bermuatan nilai dan atau norma Islam yang bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang
berlaku di suatu daerah.
Aceh sebagai salah satu provinsi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia mempunyai arti penting bagi keutuhan Indonesia. . Aceh memiliki
keistimewaan dalam bidang agama, selain memang merupakan daerah pertama
datangnya Islam di Indonesia, juga merupakan salah satu pusat perkembangan
peradaban Islam di Asia Tenggara dengan penduduk mayoritas Islam.
Penerapan syariat Islam di Aceh dalam konteks hukum negara telah
diberlakukan sejak 1999, ketika pemerintah Republik Indonesia mengesahkan UU
No.44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. Dengan diundangkannya undang-
undang Nomor 11 tahun 2006, kedudukan Syariat Islam di Aceh menjadi semakin kuat.
Sehingga dibuatlah qanun-qanun yang mengatur tentang peraturan syariat di aceh.
Pada pelaksanaannya, banyak dari qanun tersebut dipermasalahkan oleh
berbagai pihak dikarenakan berbenturan dengan hokum nasional,namun pemerintah
aceh tetap menjalankan qanun yang telah diberlakukan. Maka dibutuhkan solusi yang
jitu dari pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan hal ini.

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, Study Islam Komprehensif, Jakarta, kencana, 2011

Hamid, Arfin, Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan, Makassar, Umitoha Ukhuwah

Grafika, 2011

Musa, Muhammad Yusuf, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, Jakarta, Rajawali Press,

1988

14
Amal, Taufik Adnan, Samsul Rizal, Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Sampai

Nigeria, Jakarta, Pustaka Alvabet, 2004

Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999

Indonesia, Tap MPR RI, Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 beserta Perubahan

Pertama atas UUD Negara RI Tahun 1945, Jakarta: BP Panca Usaha. 1999

Abu Bakar, Al yasa’, Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam -

Paradigma, Kebijakan Dan Kegiatan. Banda aceh , Dinas Syariat Islam, 2006

Serambi News Paper, Pentingnya Blue Print syariah Di Aceh, sabtu 17 maret 2017

Http.//www.google.com/studi syariat islam/penerapan syariat islam di aceh/

Http.//www.wikipedia.co.id/studi syariat islam/syariat islam/

15

Anda mungkin juga menyukai