Anda di halaman 1dari 24

Terminologi :

1. Fluktuasi : kondisi dimana ada cairan yang teraba dalam pembengkakan. Cairan didalamnya
labil.
2. Palpasi : metode pemeriksaan dimana penguji merasakan ukuran, kekuatan atau letak suatu dari
bagian tubuh

Rumusan masalah :

1. Apakah kemungkinan diagnosis pada kasus tersebut?


2. Mana keluhan yang seharusnya ditangani terlebih dahulu?
3. Bagaimana prosedur pemeriksaan untuk kasus tersebut?
4. Apa tindakan yang harus dilakukan dari pertanyaan nomor 2?
5. Apa kemungkinan penyebab dari kasus tersebut?
6. Apa dampak nya jika keluhan yang dirasakan pasien dibiarkan? Apakah ada bahaya lain?
7. Bagaimana perawatan pada penyakit scenario diatas? (penyakit secara menyeluruh)
8. Apakah diperlukan pemeriksaan penunjang untuk kasus diatas? Kapan kita memerlukan
pemeriksaan penunjang?

Hipotesis

1. Diagnosis :
 Kista rongga mulut. Karakteristik dari benjolan yang ada harus diketahui terlebih dahulu
 Penurunan gusi di gigi 14 dan 15, yang akhirnya mengarah ke resesi gingiva
 Gigi 16 dan 27 karies oklusal dengan pulpitis reversible
2. Yang harus ditangani terlebih dahulu:
 Kista – pulpitis – resesi (dimulai dari penyakit terberat)
 Pulpitis – kista – resesi (dilihat dari sakit atau tidaknya/conditional)
3. Pemeriksaan fisik (anamnesis, pemeriksaan objektif) dan pemeriksaan penunjang (tes darah,
foto radiografi panoramic, CT/SCAN, MRI, pemeriksaan patologi anatomi)
4. Penanganan kista
 enukleasi yaitu pengangkatan seluruh kista termasuk epitel dan kapsul pembungkusnya
dari dinding kavitas tulang dengan tidak menyisakan jaringan patologisnya. Resikonya
merusak banyak pembuluh darah dan jaringan syaraf. Memiliki potensi kekambuhan
lebih besar dari eksisi blok.
 Marsupialisasi merupakan pengangkatan kista yang lebih sederhana dengan
mengangkat dinding kista dan seluruh lapisannya. Resikonya jaringan untuk
histopatologisnya tidak banyak sehingga hasil tidak representative.
 Eksisi blok merupakan eksisi kista, hanya untuk kista yang kecil.
 Osteotomy periperal merupakan eksisi yang komplit tapi pada waktu yang sama suatu
jarak tulang untuk memelihara kontunuitas rahang dipertahankan
 Kauterisasi merupakan pengeringan lesi. Tidak umum digunakan sebagai terapi primer,
tapi lebih efektif dibandingkan kuretase.
 Reseksi mandibular. Dilakukan jika kista atau tumor mencakup seluruh ketebalan
mandibular.
Penanganan pulpitis
 Tentukan jenis pulpitis. Klo reversible dengan penambalan (apakah langsung
ditambal?), di psa terlebih dahulu. Karena dalam kasus hanya sampai dentin maka
dilakukan pulp capping. Pulp capping bertujuan untuk membentuk dentin reparative.
klo irreversible dengan PSA, dilakukan devitalisasi terlebih dahulu.
Penanganan resesi gingiva
 Terapi bedah : dengan soft tissue graft, flap periodontal
 Terapi non bedah : dengan gingiva artificial/denture liner
(kapan menggunakan terapi bedah dan non bedah?)
5. Penyebab:
 Sisa enamel, dental lamina, sel epitel Mallasez
 Sisa epitel kista dentigerous
 Epitel heterotropik dari kelenjar hipofisis
 Sel basal dari epitel pembentuk rahang
 Embriogenetik yang menyebabkan kista non-odontogenik
 Pulpitis karena lubang yang tidak ditangani sehingga terjadi peradangan sampai ke pulpa
 Karies karena gigi yang patah / fraktur sehingga terbukanya pulpa
 Kebiasaan buruk yang menjadikan gigi aus sehingga pulpa terbuka
 Resesi gingiva (fisiologis karena bertambahnya umur , patologis seperti malposisi, cara
sikat gigi yang salah, radang gingiva, perlekatan frenulum terlalu tinggi, penggunaan gigi
tiruan yang tidak adekuat)
 Resesi gingiva juga disebabkan karena oh yang buruk, sehingga akumulasi plak terjadi
cepat, akhirnya juga dapat menyebabkan gingivitis.
6. Dampak jika dibiarkan
 Kista dapat menyebabkan kerusakan tulang mandibular. Belum tentu menyebabkan
kematian kecuali terjadi infeksi dan menjadi ganas. Pasien menjadi susah makan
sehingga asupan nutrisi berkurang.
 Pulpitis menyebabkan nyeri dan menjadi focus infeksi
 Resesi gingiva dapat menyebabkan gigi kehilangan perlekatan.
7. Anamnesis, pemerksaan subjektif dan objektif, pemeriksaan penunjang. Konsultasikan ke bagian
yang berkaitan dengan penyakit yang diderita (kista ke BM, pulpitis ke KG, resesi ke perio)
8. Perlu. Karena dilakukan untuk menambahkan data penunjang, sehingga dapat memberikan info
tambahan untuk menetapkan diagnosis. Dilakukan ketika data medis yang didapat kurang untuk
menetapkan diagnosis.

Peta konsep

Penyakit rongga mulut pada


orang dewasa
Kista Penyakit pulpa Resesi gingiva

Tanda dan gejala, penegakan


diagnosis, diagnosis kasus, dan
diferential diagnosis,
tatalaksana

Sasaran belajar

1. Menjelaskan definisi dan klasifikasi dari kista rongga mulut, penyakit pulpa dan resesi
gingiva!
2. Menjelaskan perbedaan pembengkakan karena infeksi, tumor, ataupun etiologi lain!
3. Menjelaskan pemeriksaan objektif dan penunjang untuk masing-masing kasus
pada skenario!
4. Menjelaskan diagnosis dan diferential diagnosis pada tiap kasus yang ada di scenario!
5. Menjelaskan tatalaksana untuk tiap kasus yang ada pada scenario!
6. Menjelaskan prosedur rujukan!

Belajar Mandiri

1. KISTA RONGGA MULUT :


 Definisi
Kista adalah rongga patologik yang dibatasi oleh epitelium. Kista berisi cairan atausetengah
cairan yang bukan berasal dari akumulasi pus maupun darah. Lapisanepitelium itu sendiri
dikelilingi oleh jaringan ikat fibrokolagen.
 Etiology
Kista rongga mulut disebabkan oleh infeksi pada gigi. Pulpa yang mengalami prosesnekrosis
akan mengeluarkan toxin pada apical gigi dan memicu inflamasi periapikalsehingga terbentuklah
periodontal granuloma yang akan merangsang epitel malassezsehingga terbentuklah kista
 Klasifikasi

Klasifikasi kista odontogenik menurut WHO tahun 1992:


1. Developmental
 Kista dentigerous
 Kista erupsi

 Kista odontogenik keratosis

 Kista orthokeratinisasi odontogenik


 Kista gingival (alveolar) pada bayi
 Kista gingival pada dewasa
 Kista lateral periodontal

 Calcifying odontogenic cyst


 Kista glandular odontogenik
2. Inflammatory
 Kista periapikal
 Kista residual periapical (radikular)
 Buccal bifurcation cyst
Kista non-odontogenik:
 Globullomaxillary lessions
 Kista nasolabial
 Median mandibular cyst
 Nasopalatine canal cyst
Pseudokista:
 Aneurysmal bone cyst
 Static bone cyst
Kista retensi:
 Mucous
 Ranula

PENYAKIT PULPA :
Terminologi diagnosis penyakit pulpa yang disepakati oleh American Association of Endodontics
dan the American Board of Endodontics:
1. Normal pulp
Merupakan suatu kategori diagnosis klinis dimana pulpa symptom-free dan merespon
secara normal terhadap pengetesan pulpa. Walaupun secara histologis gambaran pulpa
dapat terlihat normal, suatu pulpa normal secara klinis menunjukkan respon ringan-
sedang terhadap tes vitalitas berupa tes dingin, berakhir tidak lebih dari 1-2 detik
setelah stimulus dihilangkan. Kemungkinan diagnosis pulpa tidak dapat ditegakkan
tanpa membandingkan gigi yang diperiksa dengan gigi yang ada di dekatnya dan
kontralateral. Hal terbaik yang dapat dilakukan pertama adalah melakukan tes pada gigi
yang ada di dekatnya dan kontralateral terlebih dahulu, sehingga pasien dapat merasa
familiar terhadap pengalaman respon normal terhadap dingin.
2. Reversible pulpitis
Pulpitis reversibel didasarkan pada temuan subyektif dan obyektif yang
menunjukkan bahwa peradangan harus diselesaikan dan pulpa kembali normal
setelah manajemen etiologi yang tepat. Ketidaknyamanan dialami ketika suatu
rangsangan seperti ketika gigi berkontak dengan stimulus dingin atau manis dan
hilang dalam beberapa detik setelah stimulus dihilangkan. Etiologi yang khas
mungkin termasuk dentin yang terpapar (sensitivitas gigi), karies atau restorasi
yang dalam. Tidak ada perubahan radiografi yang signifikan di daerah periapikal
gigi yang dicurigai dan rasa sakit yang dialami tidak terjadi secara spontan. Selain
manajemen etiologi (mis. pengangkatan karies plus restorasi; menutupi dentin
yang terbuka), gigi juga memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan
apakah “pulpitis reversibel” telah kembali ke status normal. Meskipun sensitivitas
dentin bukanlah suatu proses inflamasi, semua gejala dari entitas ini meniru gejala
pulpitis reversibel.
3. Symptomatic irreversible pulpitis
Didasarkan pada penemuan subjektif dan objektif bahwa pulpa vital yang terinlamasi
tidak dapat kembali pulih dan hal ini mengindikasikan perlunya perawatan saluran akar.
Karakteristik yang timbul berupa nyeri yang tajam saat terdapat stimulus termal, nyeri
yang dirasakan tidak kunjung hilang (sering kali berdurasi 30 detik atau lebih setelah
stimulus dihilangkan), terjadi secara spontan (nyeri yang terjadi tanpa sebab) dan terjadi
reffered pain (nyeri yang dirasakan terjadi di area lain dari nyeri awal yang juga
disebbakan oleh nyeri awal). Biasanya nyeri yang dirasakan akan semakin berat oleh
karena posisi tubuh tertentu seperti berbaring atau membungkuk dan analgesic yang
dijual bebas di pasaran biasanya tidak efektif untuk menghilangkan rasa nyeri. Etiologi
umum mungkin termasuk karies yang dalam, restorasi yang luas, atau fraktur yang
menyebabkan tereksposnya jaringan pulpa. Gigi dengan symptomatic irreversible
pulpitis mungkin sulit untuk ditegakkan diagnosisnya akibat inflamasi yang terjadi belum
mencapai periapikal, sehingga ketika diperkusi tidak menunjukkan rasa sakit atau rasa
yang tidak nyaman. Dalam beberapa kasus, riwayat dental dan tes termal merupakan
sarana utama untuk menilai status pulpa.
4. Asymptomatic irreversible pulpitis
Merupakan suatu diagnosis klinis yang didasarkan pada penemuan subjektif dan objektif
dimana pulpa vital yang terinflamasi tidak dapat pulih kembali dan mengindikasikan
untuk dilakukan perawatan saluran akar. Pada kasus ini tidak terdapat gejala/tanda
klinis dan biasanya merespon secara normal terhadap tes termal, tetapi mungkin
memiliki trauma atau karies yang dalam yang kemungkinan akan menghasilkan paparan
setelah pengangkatan.
5. Pulp necrosis
Merupakan suatu kategori diagnosa klinis yang mengindikasikan kematian dari pulpa
gigi, memerlukan perawatan saluran akar. Pulpa gigi tidak responsive terhadap tes pulpa
dan asimtomatik. Nekrosis pulpa sendiri tidak menyenanlan periodontitis apical (nyeri
terhadap perkusi dan gambaran radiografis kerusakan tulang) meskipun saluran akar
terinfeksi. Beberapa gigi mungkin nonresponsive terhadap tes pulpa karena mengalami
kalsifikasi, riwayat trauma, atau bahkan karena gigi yang memang tidak merespon. Oleh
karena itu, seluruh pengetesan harus bersifat komparatif (mis. pasien mungkin tidak
menanggapi tes termal pada gigi apa pun)
6. Previously treated
Merupakan suatu kategori diagnose klinis yang mengindikasikan bahwa gigi telah
dirawat secara endodontic dan saluran akar telah diobturasi dengan berbagai macam
bahan pengisi selain medikamen intrakanal. Biasanya gigi tidak merespon terhadap tes
termal atau tes elektrik pada pengetesan pulpa.
7. Previously initiated therapy
Merupakan suatu kategori diagnose klinis yang mengindikasikan gigi telah dilakukan
perawatan sebelumnya dengan endodontic parsial seperti pulpotomi atau pulpektomi.
Bergantung pada tingkatan terapi, gigi mungkin akan merespon atau bahkan tidak
merespon terhadap modalitas pengetesan pulpa.

RESESI GINGIVA :
Resesi gingiva merupakan keadaan atau kondisi tepi gingiva yang lebih

kearah apical dari CEJ dan biasanya disertai dengan terbukanya permukaan

akar gigi (Krismariono, 2014)

Klasifikasi resesi gingiva berdasarkan keadaan marginal gingiva

terhadap CEJ dan mucogingival junction menurut Miller yaitu :

1) Kelas I

Resesi pada marginal gingiva yang belum meluas ke

mucogingiva junction. Pada kelas ini belum terjadi kehilangan

tulang atau jaringan lunak di daerah interdental. Resesi ini dapat

berukuran kecil atau besar.

2) Kelas II

Resesi pada marginal gingiva meluas ke mocogingiva

junction, tetapi belum terjadi kehilangan tulang atau jaringan


lunak di daerah interdental. Resesi ini dapat berukuran kecil atau

besar.

3) Kelas III

Resesi pada marginal gingiva meluas ke mocogingiva junction

disertai dengan kehilangan tulang dan jaringan lunak di daerah

interdental atau terdapat malposisi gigi yang ringan.

4) Kelas IV

Resesi pada marginal gingiva meluas ke mocogingiva junction

disertai dengan kehilangan tulang dan jaringan lunak yang parah

di daerah interdental atau terdapat malposisi gigi yang parah.

Dafpus : Jain, Sanjeev dkk. 2017. Classification systems of gingival recession: An


update. Punjab, India : Department of Periodontology, Guru Nanak Dev Dental College and Research
Institute

2.
3. Pemeriksaan objektif dan penunjang pada masing-masing kasus

Sebelum melakukan pemeriksaan objektif, tentunya harus dilakukan pemeriksaan subjektif


terlebih dahulu, yaitu dengan melakukan anamnesis pada pasien untuk mengetahui keterangan sebanyak-
banyaknya mengenai keluhan pasien dan untuk menunjang penegakkan diagnosis. Anamnesis yang baik
harus mengacu pada pertanyaan sistematis yaitu berpedoman pada The Fundamental Four dan The Sacred
Seven (tujuh butir mutiara anamnesis).

 Anamnesis (Pemeriksaan Subjektif)


Sebelum menanyakan pertanyaan sistematis, harus menanyakan identitas pasien terlebih dahulu
yaitu nama, umur, alamat, pekerjaan, jenis kelamin, agama, status perikahan.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Hal ini meliputi keluhan utama dan anamnesis lanjutan. Keluhan utama adalah keluhan
yang membuat seseorang datang ke tempat pelayanan kesehatan untuk mencari pertolongan,
misalnya : demam, sesak nafas, nyeri pinggang, dll. Keluhan utama ini sebaiknya tidak lebih
dari satu keluhan. Kemudian setelah keluhan utama, dilanjutkan anamnesis secara sistematis
dengan menggunakan tujuh butir mutiara anamnesis, yaitu :

1. Lokasi
- Lokasi sakit dimana?
- Apakah ada penjalaran?
- Dapatkah Anda keluhan secara tepat?

2. Onset / awitan dan kronologis


- Bagaimana awalnya hingga keluhan tersebut muncul?
- Sejak kapan?
- Sudah berapa lama?
- Timbul mendadak atau perlahan-lahan?

3. Kuantitas keluhan
- Ringan/sedang/berat
- Bila menggunakan skala 1-10, nilainya berapa?
- Apakah sampai mengganggu aktivitas harian? Apakah mengganggu pekerjaan?

4. Kualitas keluhan
- Seperti apa keluhan tersebut?
- Apakah pusingnya cekot-cekot atau berputar?
- Bagaimana rasanya?
- Apakah hilang-timbul atau terus menerus muncul?

5. Faktor-faktor yang memperberat keluhan.


6. Faktor-faktor yang meringankan keluhan.
7. Analisis sistem yang menyertai keluhan utama (gejala penyerta)
 Riwayat Penyakit Dahulu
Ditanyakan adakah penderita pernah sakit serupa sebelumnya, bila dan kapan
terjadinya dan sudah berapa kali dan telah diberi obat apa saja, serta mencari penyakit
yang relevan dengan keadaan sekarang dan penyakit kronik (hipertensi, diabetes
mellitus, dll), perawatan lama, rawat inap, imunisasi, riwayat pengobatan dan riwayat
menstruasi (untuk wanita)

 Riwayat Penyakit Keluarga


Anamnesis ini digunakan untuk mencari ada tidaknya penyakit keturunan dari
pihak keluarga (diabetes mellitus, hipertensi, tumor, dll) atau riwayat penyakit yang
menular

 Riwayat sosial dan ekonomi


Hal ini untuk mengetahui status sosial pasien, yang meliputi pendidikan,
pekerjaan pernikahan, kebiasaan yang sering dilakukan (pola tidur, minum alkohol atau
merokok, obatobatan, aktivitas seksual, sumber keuangan, asuransi kesehatan dan
kepercayaan)

Pemeriksaan Objektif
Ekstraoral
 Inspeksi : melihat kondisi wajah dan TMJ pasien
 Palpasi : meraba wajah pasien dan kelenjar limfe sekitar leher pasien apakah ada
pembengkakan disertai rasa sakit atau tidak
Intraoral
 Mukosa oral
 Inspeksi : melihat keadaan sekitar rongga mulut pasien bagaimana warnanya, normal
atau terlihat hiperemi, adakah pembengkakan berupa bejolan atau ulkus
 Palpasi : apakah ada tanda-tanda radang, jika ada ukurannya berapa, saat dipalpasi
apakah mudah berdarah/tidak, sakit/tidak, terasa lunak/halus/berbenjol-
benjol, fluktuasinya apakah positif atau negatif

 Jaringan Penyangga atau Gusi


 Inspeksi : Bagaimana warnanya merah muda, merah, atau merah tua?
Adakah pembengkakan?
Bagaimana permukaannya licin, atau kasar?
Apakah terdapat resesi gingiva?
 Palpasi : Permukaan teraba keras atau lunak?
Saat dipalpasi, mudah berdarah/tidak, sakit/tidak
Bila ditekan keluar pus dari sulkus gingiva/tidak
 Probing : Memakai sonde untuk mengetahui kedalaman sulkus gingiva, normal <
2 mm, apakah mudah berdarah atau tidak

 Gigi
 Sondasi : memakai sonde untuk mengetahui kedalaman kerusakan gigi (karies)
serta mengetahui reaksi ketika dilakukan sondasi apakah sakit/ngilu/tidak terasa
 Perkusi : mengentuk halus dengan handle untuk mengetahui peradangan telah
meluas melewati gigi ke jaringan periodontal, apakah terasa sakit atau tidak
 Palpasi : untuk mengetahui kelainan jaringan penyangga gigi
 Tekanan : mengetahui kelainan/keradangan apikal dengan reaksi sakit/tidak
 Tes vitalitas pulpa : Dingin: ethyl chloride, air dingin, dry ice, dll
Panas: gutta-percha, burnisher dipanaskan
Tidak ada reaksi  pulpa non vital
Bereaksi ringan s.d. moderat 1-2 detik : normal
Sakit keras 1-2 detik : pulpitis reversibel
Sakit sangat keras melanjut dan menetap lama bahkan setelah rangsangan
dihilangkan : pulpitis irreversible
 . Mobilitas gigi
mobilitas gigi  terjadi karena proses fisiologis ? Atau patologis ?
Gigi goyang:
Derajat 0 : horisontal < 0,2 mm
Derajat 1 : horisontal 0,2 – 1 mm
Derajat 2 : horisontal 1 – 2 mm
Derajat 3 : horisontal dan vertikal > 2 mm

 Tes Kavitas
Kaviti dipreparasi sampai atap pulpa tanpa asestesi tanpa pendingin air dengan
putaran lambat
Bereaksi  pulpa masih vital
Tidak bereaksi  diteruskan dengan pengambilan atap pulpa  pulpa non vital

Pemeriksaan Penunjang
Radiografi

Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis


ameloblastoma yaitu CT scan dan MRI.

Pemeriksaan Panoramik adalah salah satu foto Rontgen yang digunakan


dalam kedokteran gigi untuk mendapatkan gambaran gigi dan jaringan lunak di
sekitarnya. Pemeriksaan panoramik merupakan pemeriksaan non invasif dan
merupakan prosedur ekstraoral sederhana yang menggambarkan daerah rahang
atas dan rahang bawah pada satu film. Radiografi panoramik merupakan
langkah pertama dalam mendiagnosis ameloblastoma dengan gambaran
radiografi yang bervariasi tergantung tipe tumor, selain itu dapat pula
melihat gambaran kavitas karies yang terbentuk pada gigi pasien.

Pemeriksaan CT disarankan bila pembengkakan keras dan terfiksir ke


jaringan di sekitarnya. Pemeriksaan CT biasanya berguna untuk
mengidentifikasi kontur lesi, isi lesi, dan perluasan ke jaringan lunak yang
membantu penegakan diagnosis. MRI esensial dalam menentukan perluasan
ameloblastoma maksilar/mandibula sehingga menentukan prognosis untuk
pembedahan.
Gambaran radiografi ameloblastoma multikistik yang paling
sering yaitu lesi multilokular, yang sering dides kripsikan sebagai gambaran
soap bubbles bila lesi besar dan gambaran honeycomb bila lesi kecil. Sering
didapati ekspansi oral dan cortical lingual dan resorpsi akar gigi yang
berdekatan dengan tumor. Sedangkan ameloblastoma unikistik tampak
sebagai lesi lusen unilokular berbatas tegas disekeliling corona gigi yang
tidak erupsi.

Daftar pustaka
Chung W, Cox D, Ochs M. Odontogenic cysts,tumors, and related jaw lesions. Head and neck
surgery—otolaryngology, 4th edn Lippincott Williams & Wilkins Inc, Philadelphia. 2006;p.
1570–1584.

Gumgum S, Hosgoren B. Clinical and radiologic behaviour of ameloblastoma in 4 cases.


Journal-Canadian Dental Association. 2005;71(7):481.

Burns EA, Korn K, Whyte J, Thomas J, Monaghan T. Oxford American Handbook of Clinical Examination
and Practical Skills. New York: Oxford University Press; 2011.

4. Diagnosis dan diferential diagnosis


A. Ameloblastoma
Differential diagnosisnya :
- Dentigerous cyst
- Odontogenic ceratocyst
- Odontogenic myxoma
- Aneurysmal bone cyst
- Fibrous dysplasia
- Hard odontoma
- Osteosarcoma
- Globulomaxillary cyst
B. Pulpitis reversible (penyakit pulpa)
Differential diagnosisnya :
- Musculoskeletal pain
- Neurovascular pain
- Neuropathic pain
- Pain caused by a distant pathology (cardiovascular, cranial, throat, neck)
- Psychogenic pain
C. Resesi gingiva
Differential diagnosisnya : -

5.

Tatalaksana Ameloblastoma :

No Lokasi Anatomi Lesi Unikistik Lesi Multikistik/Lesi Padat


.
1. Mandibula anterior Kuretase/enuklease Reseksi marginal
(kuspid-kuspid) Lesi kecil < 3, enuklease dengan
osteotomi perifer
2. Mandibula posterior Kuretase/ osteoktomi Reseksi marginal tanpa defek
(bicuspid-kondilus) perifer kontinuitas (1-2 cm batas
inferior/posterior)
Reseksi segmental dengan defek
kontinuitas -> penipisan batas
inferior/posterior
3. Maksila anterior Maksilektomi parsial Maksilektomi parsial
(kuspid-kuspid)
4. Maksila posterior Maksilektomi total Maksilektomi total
(lempeng pterygoid
bikuspid)

Beberapa prosedur operasi yang mungkin digunakan untuk mengobati

ameloblastoma antara lain:

1. Enukleasi

Enukleasi merupakan prosedur yang kurang aman untuk dilakukan. Weder (1950)

pada suatu diskusi menyatakan walaupun popular, kuretase merupakan prosedur yang paling

tidak efisien untuk dilakukan. Enukleasi menyebabkan kasus rekurensi hampir tidak dapat

dielakkan, walaupun sebuah periode laten dari pengobatan yang berbeda mungkin

memberikan hasil yang salah. Kuretase tumor dapat meninggalkan tulang yang sudah diinvasi

5
oleh sel tumor.

Teknik enukleasi diawali dengan insisi, flap mukoperiostal dibuka. Kadang-kadang

tulang yang mengelilingi lesi tipis. Jika dinding lesi melekat pada periosteum, maka harus

dipisahkan. Dengan pembukaan yang cukup, lesi biasanya dapat diangkat dari tulang.

Gunakan sisi yang konveks dari kuret dengan tarikan yang lembut. Saraf dan pembuluh darah

biasanya digeser ke samping dan tidak berada pada daerah operasi. Ujung tulang yang tajam

dihaluskan dan daerah ini harus diirigasi dan diperiksa. Gigi-gigi yang berada di daerah tumor

jinak biasanya tidak diperlukan perawatan khusus. Jika devitalisasi diperlukan, perawatan

15
endodontik sebelum operasi dapat dilakukan.

2. Eksisi Blok
Kebanyakan ameloblastoma harus dieksisi daripada dienukleasi. Eksisi sebuah

bagian tulang dengan adanya kontinuitas tulang mungkin direkomendasikan apabila

ameloblastomanya kecil. Insisi dibuat pada mukosa dengan ukuran yang meliputi semua

bagian yang terlibat tumor. Insisi dibuat menjadi flap supaya tulang dapat direseksi di bawah

tepi yang terlibat tumor. Lubang bur ditempatkan pada outline osteotomi, dengan bur leher

panjang Henahan. Osteotom digunakan untuk melengkapi pemotongan. Sesudah itu, segmen

tulang yang terlibat tumor dibuang dengan tepi yang aman dari tulang yang normal dan tanpa

merusak border tulang. Setelah meletakkan flap untuk menutup tulang, dilakukan penjahitan

untuk mempertahankan posisinya. Dengan demikian eksisi tidak hanya mengikutkan tumor

saja tetapi juga sebagian tulang normal yang mengelilinginya. Gigi yang terlibat tumor

5
dibuang bersamaan dengan tumor. Gigi yang terlibat tidak diekstraksi secara terpisah.

Gambar 11: Eksisi Blok (Thoma KH, Vanderveen JL.


Oral Surgery. 5th Ed.Saint Louis;The C.V. Mosby
Company,1969: 993)
3. Hemimandibulektomi

Merupakan pola yang sama dengan eksisi blok yang diperluas yang mungkin saja

melibatkan pembuangan angulus, ramus atau bahkan pada beberapa kasus dilakukan

pembuangan kondilus. Pembuangan bagian anterior mandibula sampai ke regio simfisis

tanpa menyisakan border bawah mandibula akan mengakibatkan perubahan bentuk wajah

16
yang dinamakan ” Andy Gump Deformity”.

Reseksi mandibula dilakukan setelah trakeostomi dan diseksi leher radikal (bila

diperlukan) telah dilakukan. Akses biasanya diperoleh dengan insisi splitting bibir bawah.

17
Bibir bawah dipisahkan dan sebuah insisi vertikal dibuat sampai ke dagu. Insisi itu

kemudian dibelokkan secara horizontal sekitar ½ inchi dibawah border bawah mandibula.

Kemudian insisi diperluas mengikuti angulus mandibula sampai mastoid. Setelah akses

diperoleh, di dekat foramen mentale mungkin saja dapat terjadi pendarahan karena

adanya neurovascular.

Gambar 12: Pola Insisi pada

Hemimandibulektomi (Keith DA.

Atlas of Oral and Maxillofacial

Surgery.Philadelphia;W.B.Saunder

Company, 1992: 243).


Permukaan dalam mandibula secara perlahan-lahan dibuka dengan mendiseksi mukosa

oral. Dengan menggunakan gigli saw pemotongan dilakukan secara vertikal di daerah

mentum. Hal ini akan memisahkan mandibula secara vertikal. Mandibula terbebas dari

otot yang melekat antara lain muskulus depressor labii inferior, depressor anguli oris dan

platysma. Bagian mandibula yang akan direseksi dibebaskan dari perlekatannya dari

mukosa oral dengan hati-hati. Setelah itu, komponen rahang yang mengandung massa

18
tumor dieksisi dengan margin yang cukup. Bagian margin dari defek bedah harus

dibiopsi untuk pemeriksaan untuk menentukan apakah reseksi yang dilakukan cukup atau

tidak. Jika bagian itu bebas dari tumor, bagian ramus dan kondilus mandibula harus

dipertahankan untuk digunakan pada rekonstruksi yang akan datang. Ramus paling baik

dipotong secara vertikal. Ketika mandibula disartikulasi, maka ada resiko pendarahan

karena insersi temporalis dan otot pterygoid lateral dipisahkan. Hal ini dapat dihindari

dengan membiarkan kondilus dan prosessus koronoid berada tetap in situ. Setelah

hemimandibulektomi, penutupan luka intraoral biasanya dilakukan dengan penjahitan

17
langsung.

Gambar 13: Tipe umum dari reseksi mandibula A. Dengan


keterlibatan kondilus B.Tanpa pembuangan kondilus (Keith DA.
Atlas of Oral and Maxillofacial Surgery. Philadelphia; W.B.
Saunders Company, 1992: 244)

4. Hemimaksilektomi
Akses ke maksila biasnya diperoleh dengan insisi Weber Fergusson. Pemisahan

bibir melalui philtrum rim dan pengangkatan pipi dengan insisi paranasal dan infraorbital

menyediakan eksposure yang luas dari wajah dan aspek lateral dari maksila dan dari

ethmoid.

Gambar 14: Pola Insisi Weber

Fergusson (Booth PW, Schendel SA,


Hausamen JE. Maxillofacial Surgery.

2nd Ed.Missouri;Churhill Livingstone

Elsevier, 2007:431)

Setelah diperoleh eksposure yang cukup, dilakukan pemotongan jaringan lunak

dan ekstraksi gigi yang diperlukan. Kemudian dilakukan pemotongan dengan oscillating

saw dari lateral dinding maksila ke infraorbital rim kemudian menuju kavitas nasal

melalui fossa lakrimalis. Dari kavitas nasal dipotong menuju alveolar ridge. Setelah itu,

dilakukan pemotongan pada palatum keras. Kemudian pemotongan lateral dinding nasal

yang menghubungkan lakrimal dipotong ke nasofaring dengan mengunakan chisel dan


gunting Mayo dan kemudian dilakukan pemotongan posterior. Pembuangan spesimen dan

10
packing kavitas maksilektomi yang tepat diperlukan untuk mengkontrol pendarahan.

Gambar 15: Pemotongan tulang pada subtotal

maksilektomi (Booth PW, Schendel SA,


Hausamen JE. Maxillofacial Surgery. 2nd Ed

Missouri; Churhill Livingstone Elsevier, 2007

:432)

Setelah hemostasis terjadi, manajemen maksilektomi yang tepat dapat membantu

ahli prostodonsia untuk merehabilitasi pasien. Semua bagian tulang yang tajam

dihaluskan. Prosesus koronoid harus diangkat, karena dekat dengan margin lateral defek

yang akan menyebabkan penutup protesa lepas ketika mulut dibuka. Flap yang ada pada

mukosa dikembalikan menutupi margin medial tulang. Skin graft kemudian dijahit ke tepi

luka, lebih baik hanya lembaran tunggal. Permukaan dibawah flap pipi, tulang, otot

periorbita dan bahkan dura semuanya ditutup. Graft dipertahankan dengan packing

iodoform gauze yang diisi benzoin tincture. Packing yang cukup digunakan untuk

mengisi kembali kontur pipi. Obturator bedah yang sudah dibuat oleh ahli prostodonsi

direline dengan soft denture reliner sehingga dapat mendukung packing dan menutup
defek. Obturator dapat dipasangkan ke gigi-gigi secara fixed atau tidak, tergantung

17
kondisi individual pasien. Flap pipi kemudian dikembalikan dan menutup lapisan.

5. Rekontruksi pasca bedah

a. Pemakaian protesa obturator

Pemasangan protesa palatal secara imidiate telah menjadi perawatan standard

setelah dilakukan maksilektomi atau palatektomi, kecuali digunakan rekonstruksi free

flap. Cacat bedah dapat memberikan efek samping terhadap kesehatan fungsional dan

psikologis pasien. Tujuan dari rekonstruksi adalah untuk mengembalikan fungsi bicara,

fungsi pencernaan, menyediakan dukungan terhadap bibir dan pipi dan membangun

19
kembali proyeksi midfacial.

Pasien yang menjalani reseksi maksila akan direhabilitasi dalam tiga fase masng-

masing fase memerlukan protesa obturator yang akan mendukung kesembuhan pasien.

Ketiga obturator protesa ini adalah obturator bedah, obturator interim, dan obturator

definitif.

b. Pengunaan plat

Tujuan dari rekonstruksi mandibula adalah membangun kontinuitas mandibula,

membangun osseus alvelolar bases dan koreksi terhadap defek jaringan lunak. Pada

umumnya kehilangan mandibula yang diakibatkan karena proses patologis akan

meninggalkan jaringan lunak yang akan sembuh. Bila dilakukan mandibulektomi akan

menghasilkan defek tulang yang besar dan jaringan lunak. Defek pada mandibula bagian

lateral lebih dapat ditoleransi dan tidak membutuhkan rekonstruksi. Kebalikannya defek

pada anterior mandibula akan menimbulkan kecacatan fungsional dan kosmetik yang

parah. Waktu yang tepat untuk melakukan rekonstruksi masih diperdebatkan.


Tatalaksana penyakit pulpa

 Pulpitis reversible

Tatalaksananya :

Penatalaksanaan seluruh kasus pulpitis adalah pemberian analgetik,

perawatan saluran akar, dan menghilangkan factor penyebab dengan

pulpektomi. Peradangan mereda jika penyebabnya di obati. Jika pulpitis

diketahui pada stadium dini maka penambalan sementara yang megandung

obat penenang saraf bisa menghilangkn nyeri. Tambalan ini bisa dibiarkan

sampai 6-8 minggu kemudian diganti dengan tambalan permanen. Jika terjadi

kerusakan pulpa yang luas dan tidak dapat diperbaiki, satu-satunya cara untuk

menghilangkan nyeri adalah dengan mencabut pulpa, baik melalui pengobatan

saluran akar maupun dengan pencabutan gigi.

TATALAKSANA RESESI GINGIVA

Resesi gingiva dapat dirawat secara bedah maupun non bedah. Tujuan kedua macam
perawatan ter-sebut adalah menghilangkan keluhan penderita, baik secara estetik, fungsi maupun
bila ada keluhan rasa sakitnya.
Perawatan non bedah untuk mengatasi masalah estetis dapat dilakukan dengan memberi
tumpatan sewarna dengan gingiva pada area akar yang terbuka maupun memberi gingiva tiruan
yang diaplikasikan pada area resesi.Sedangkan untuk mengatasi masalah hipersensitivitas dentin
dapat dilakukan pengulasan bahan desensitisasi, misalnya: fluoride, chloride, potassium nitrat,
atau dapat pula dengan bahan varnish maupun komposit untuk melapisi akar yang terbuka.
Perawatan resesi gingiva secara bedah meliputi berbagai teknik bedah mukogingiva
antara lain: coronally positioned flap, laterally positioned flap, semilunar coronally positioned
flap, modified semilunar coronally positioned flap, free gingival graft, connective tissue graft.
Bahan graft yang di-gunakan dapat berasal dari individu yang sama maupun diperoleh dari
tissue bank yang telah tersedia.

DAFTAR PUSTAKA
-Tagtekin D, Yanikoglu F, Ozyoney G, Noyan N, Hayran O. Clinical Evaluation of a gingiva-
coloured material, Comp Natur: A 3-year longitudinal study. The Chinese J Dent Res 2011;
14(1): 59-66.
-Krismariono A. Artificial gingiva as alternative treatment for gingival recession.
Periodontic J 2009; 1(1): 1-12.
-Krismariono A, Wibisono PA. Perawatan resesi gingiva dengan modifikasi teknik
semilunar. J Kedokteran Gigi Indonesia 2002; edisi khusus: 1-4.
-Sedon CL, Breault LG, Covington LL, Bishop BG. The subephitelial connective tissue graft:
Part I. Patient selection and surgical techniques. J Contemp Dent Pract 2005; 6 (1): 146-62.
-Remya V, Kumar KK, Sudharsan S, Arun KV. Free gingival graft in the treatment of class III
gingival recession. Indian J Dent Res 2008; 19 (3): 247-52.
-Chrysanthakopoulos NA. Occurrence, extension and severity of the gingival recession in a
Greek adult population sample. J Periodontol Implant Dent 2010; 2(1): 37-42.
-Bartold PM. Dentinal hypersensitivity: a review. Australian Dent J 2006; 51(3): 212-8.

6. prosedur rujukan
Tugas faskes tingkat pertama
1. Menyelenggarakan kesehatan dasar masyarakat melalui pelayanan kesehatan dasar
bersarkan kompetensi & kewenangannya.
2. Mengatur pelayanan kesehatan lanjutan melalui sistem rujukan.
3. Penasehat, konselor, dan pendidik untuk mewujudkan keluarga sehat.
4. Manajer sumber daya

Fungsi faskes tingkat pertama

1. Kontak pertama pasien


2. Penapis rujukan
3. Kendali mutu dan biaya

Sistem Rujukan Berjenjang BPJS Kesehatan

Definisi Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik
vertikal maupun horizontal yang wajib dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi
kesehatan sosial, dan seluruh fasilitas kesehatan.

Ketentuan Umum

Berdasarkan panduan praktis Sistem Rujukan Berjenjang BPJS Kesehatan, ketentuan umum
dari sistem rujukan berjenjang adalah:

1) Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:

a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama;


b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.

2) Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh
fasilitas kesehatan tingkat pertama.

3) Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan
oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi
kesehatan spesialistik.

4) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang
dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan
dan teknologi kesehatan sub spesialistik.

5) Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat
lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

6) Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem rujukan dapat
dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat
dibayarkan oleh BPJS Kesehatan.

7) Fasilitas Kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka BPJS Kesehatan akan melakukan
recredentialing terhadap kinerja fasilitas kesehatan tersebut dan dapat berdampak pada kelanjutan
kerjasama

8) Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.

9) Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu
tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau
menetap.

10) Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda
tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih
tinggi atau sebaliknya.

11) Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih
tinggi dilakukan apabila:

a. pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;


b. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien
karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan.

12) Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang lebih
rendah dilakukan apabila :

a. permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang
lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;
b. kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam
menangani pasien tersebut;
c. pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan
kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka
panjang; dan/atau
d. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien
karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.

Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang

Berdasarkan panduan praktis Sistem Rujukan Berjenjang BPJS Kesehatan, tata cara
pelaksanaan sistem rujukan berjenjang adalah:

1) Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan medis,
yaitu:

a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama
b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke fasilitas
kesehatan tingkat kedua
c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas rujukan
dari faskes primer.
d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas rujukan dari
faskes sekunder dan faskes primer.

2) Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier hanya untuk
kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan
hanya tersedia di faskes tersier.

3) Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:

a. terjadi keadaan gawat darurat; Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku
b. bencana; Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah
c. kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana
terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan
d. pertimbangan geografis; dan
e. pertimbangan ketersediaan fasilitas

4) Pelayanan oleh bidan dan perawat

a. Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan
tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
b. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi
pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan kekhususan
permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter dan/atau dokter
gigi pemberipelayanan kesehatan tingkat pertama

5) Rujukan Parsial
a. Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi pelayanan kesehatan
lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang merupakan satu
rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut
b. Rujukan parsial dapat berupa:
1) pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan
2) pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang
c. Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan pasien dilakukan
oleh fasilitas kesehatan perujuk

7.

Anda mungkin juga menyukai