Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu
perbuatan yang dilakukan seseorang. Misalnya, kita mengatakan orang itu baik dan orang itu
buruk. Masalahnya apakah yang disebut baik dan buruk itu? Apa saja aliran yang berkembang
mengenai baik dan buruk itu? Dan bagaimana pandangan Islam terhadap baik dan buruk serta
hal-hal yang terkait dengan keduanya itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dicarikan jawabannya sehingga pada saat kita menilai
sesuatu itu baik atau buruk memiliki patokan atau indikator yang pasti. Untuk itu pada
makalah ini akan dibahas pengertian baik dan buruk, aliran yang berkembang mengenai baik
dan buruk serta pandangan Islam mengenai baik dan buruk. Pembahasan masalah ini kita
masukkan disini karena berkaitan dengan pembahasan tentang akhlak, sehingga dikatakan
bahwa ilmu akhlak juga membahas tentang tingkah laku dan perbuatan manusia lalu
menetapkannya apakah baik atau buruk.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa pokok masalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian baik dan buruk?
2. Apa saja aliran yang berkembang mengenai baik dan buruk?
3. Bagaimana pandangan Islam terhadap baik dan buruk?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian baik dan buruk.
2. Mengetahui apa saja aliran yang berkembang mengenai baik dan buruk.
3. Mengetahui bagaimana pandangan Islam terhadap baik dan buruk.

1
2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Baik dan Buruk


1. Pengertian Baik
Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata “khair” dalam bahasa Arab atau
“good” dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam kitabnya, Munjid, mengatakan bahwa
yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan. Sementara itu, dalam
Webster’s New Twentieth Century Dictionary, dikatakan bahwa yang disebut baik adalah
sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian dan
seterusnya. Selanjutnya yang baik itu juga adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran
atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan. Yang baik itu juga dapat berarti
sesuatu yang sesuai dengan keinginan. Dan yang disebut baik dapat pula berarti sesuatu
yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Dan ada pula
pendapat yang mengatakan secara umum bahwa baik atau kebaikan adalah sesuatu yang
diinginkan, yang diusahakan, dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah
baik, jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan disebut nilai
(value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang konkret.
Beberapa kutipan tersebut di atas menggambarkan bahwa yang disebut baik atau
kebaikan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat,
menyenangkan, dan disukai manusia. 1
Definisi kebaikan tersebut terkesan antroposentris, yaitu memusat dan bertolak dari
sesuatu yang menguntungkan dan membahagiakan manusia. Pengertian demikian tidak
salah, karena secara fitrah manusia memang menyukai hal-hal yang menyenangkan dan
membahagiakan dirinya. Kesempurnaan, keharuan, kesesuaian, kesenangan, kebenaran,
mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang dan bahagia, merupakan sesuatu yang
dicari dan diusahakan manusia. Semua hal tersebut dianggap sebagai yang baik dan
mendatangkan kebaikan bagi dirinya.2

2. Pengertian Buruk
1
H. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Muliai, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), cet. 14, hal. 87-88.
2
Samsul Munir Amin, Ilmu Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2016), cet. 1, hal. 145.

2
3

Dalam bahasa Arab, yang buruk itu dikenal dengan istilah “syarr”, dan diartikan
sebagai sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam
kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral,
tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela,
lawan dari baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang
berlaku. Dengan demikian, yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang dinilai sebaliknya
dari yang baik, dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia.3 Beberapa ahli berbeda
pendapat dalam memberi penjelasan mengenai buruk. Berikut beberapa perbedaan
tersebut:
a) Ibnu Maskawaih (941-1030 M), keburukan adalah sesuatu yang diperlambat demi
mencapai kebaikan.
b) Louis Ma’luf, buruk adalah lawan baik dan buruk adalah kata yang menunjukkan
sesuatu yang tercela dan dosa.
c) Harun Nasution, buruk adalah perbuatan yang membawa pada kemudharatan dan
kesengsaraan.
Buruk adalah sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang rendah, hina,
menyusahkan dan dibenci manusia.4
Beberapa definisi tersebut di atas memberi kesan bahwa sesuatu yang disebut baik atau
buruk itu relatif sekali, karena bergantung pada pandangan dan penilaian masing-masing
yang merumuskannya. Dengan demikian, nilai baik atau buruk menurut pengertian tersebut
bersifat subjektif, karena bergantung kepada individu yang menilainya.
B. Aliran yang Berkembang Mengenai Baik dan Buruk
1. Aliran Adat-Istiadat (Sosialisme/Tradisionalisme)
Dalam aliran tradisionalisme, standar yang menjadi tolak ukur norma baik dan buruk,
ialah tradisi atau adat kebiasaan. Artinya, sesuatu dianggap baik jika sesuai dengan adat
kebiasaan, dan sebaliknya, sesuatu dianggap buruk jika menyalahi adat kebiasaan. Setiap
umat manusia mempunyai tradisi dan peraturan tertentu, yang dianggap baik untuk
dilaksanakan. Oleh karena itu, setiap manusia pasti terikat dan dipengaruhi oleh adat
kebiasaan di mana ia tinggal. Jadi, seandainya manusia itu menyalahi adat istiadat
golongannya (tempat ia tinggal), hal itu sangat dicela dan dianggap keluar dari
3
H. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Muliai, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), cet. 14, hal. 89.
4
Samsul Munir Amin, Ilmu Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2016), cet. 1, hal. 144.

3
4

golongannya. Harus diakui bahwa aliran ini banyak mengandung kebenaran, namun secara
ilmiah kurang memuaskan. Selain itu, seringkali adat kebiasaan dalam suatu masyarakat
dianggap baik, sedangkan dalam masyarakat lain dianggap tidak baik. Dengan demikian,
terjadilah bermacam-macam perbedaan adat kebiasaan di antara bangsa-bangsa. Bahkan
perbedaan ini kerap terjadi antara satu suku dengan suku yang lain dalam satu daerah. Oleh
karena itu, adat kebiasaan ini sulit untuk dijadikan norma yang berlaku umum.
Adapun yang menjadi sumber dari suatu adat kebiasaan (tradisi) sebagai berikut:
a) Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh nenek moyangnya, karena terdorong oleh
instingnya.
b) Perbuatan atau peristiwa yang terjadi secara kebetulan, meskipun tidak rasional.
c) Anggapan baik dari nenek moyangnya terhadap sesuatu perbuatan, yang akhirnya
diwariskan secara turun-temurun.
d) Perbuatan orang-orang terdahulu, yang mencoba melakukan berbagai perbuatan.
Sementara itu, adat kebiasaan yang berupa perintah atau larangan melakukan sesuatu,
terjadi karena beberapa hal berikut:
a) Pendapat umum, yaitu karena memuji para pengikut adat istiadat dan mengutuk orang-
orang yang menyalahinya.
b) Hal yang diriwayatkan secara turun-temurun.
c) Beberapa upacara, keramaian atau pertemuan yang menggerakkan perasaan dan
mendorong para hadirin untuk mengikuti maksud dan tujuan upacara tersebut.5
2. Aliran Hedonisme
Aliran hedonisme berpendapat bahwa tujuan terakhir kehidupan manusia adalah
kesenangan. Semua perbuatan manusia, semata hanya untuk mendapatkan kesenangan
tersebut. Adapun kesenangan yang dimaksud, adalah kebahagiaan, kelezatan dan bebas
dari penderitaan. Dalam aliran ini, yang menjadi tolak ukur baik dan buruknya sesuatu
adalah kebahagiaan. Oleh karena itu, suatu perbuatan dianggap baik apabila dapat
mendatangkan kebahagiaan, sebaliknya perbuatan dianggap buruk apabila mendatangkan
penderitaan. Aliran ini percaya bahwa setiap manusia selalu menginginkan kebahagiaan.
Sebab kebahagiaan merupakan tabiat manusia, yang menjadi tujuan akhir dari hidup. Oleh
karena itu, jalan yang mengantarkan ke arahnya, dipandang sebagai keutamaan atau

5
Samsul Munir Amin, Ilmu Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2016), cet. 1, hal. 164-166

4
5

perbuatan mulia. Aliran ini mengajarkan agar manusia mencari kelezatan, karena pada
dasarnya setiap perbuatan itu mengandung kelezatan. Bahkan jika disuruh memilih antara
beberapa perbuatan, manusia wajib memilih yang paling besar kelezatannya.
Tokoh utama aliran hedonisme, Epicurus (341-270 SM) menyebutkan adanya tiga
macam kelezatan yaitu:
a) Kelezatan yang wajar dan diperlukan sekali, seperti makanan dan minuman.
b) Kelezatan yang wajar, tetapi belum diperlukan sekali, misalnya kelezatan makanan enak
yang lebih dari biasanya.
c) Kelezatan yang tidak wajar dan tidak diperlukan, yang dirasakan oleh manusia atas
dasar pikiran yang salah, misalnya kemegahan harta benda.
Selanjutnya, Epicurus menyatakan bahwa kelezatan yang harus dicari adalah kelezatan
yang sesungguhnya. Sebab di antara kelezatan tersebut, ada yang mempunyai akibat
bertentangan dengan kelezatan, yaitu mendatangkan penderitaan. Oleh karena itu, yang
dicari bukanlah kelezatan sesaat, namun harus berorientasi pada masa depan, yang akan
menghasilkan kelezatan hidup. Epicurus menyatakan bahwa kelezatan akal dan rohani itu
lebih penting dari kelezatan badan. Sebab badan hanya dapat merasakan, ketika kelezatan
dan penderitaan menimpanya. Ia tidak dapat mengenang kelezatan dan penderitaan yang
telah lalu, juga tidak dapat merencanakannya untuk masa yang akan datang. Dengan
demikian, tujuan etik Epicurus adalah mendidik dan memperkuat jiwa, untuk menghadapi
segala macam keadaan, baik suka maupun duka. Dalam segala kondisi, hendaknya ia tetap
berdiri sendiri dengan jiwa yang tenang dan pandai memelihara tali persaudaraan.
Aliran hedonisme terbagi menjadi dua yaitu:
a) Egoistic Hedonism, aliran ini menyatakan bahwa ukuran kebaikan, adalah kelezatan
pribadi orang yang berbuat. Oleh karena itu, aliran ini mengharuskan kepada para
pengikutnya agar mengarahkan segala perbuatannya untuk menghasilkan kelezatan
yang sebesar-besarnya.
b) Universalistic Hedonism, aliran ini mendasarkan ukuran baik dan buruk pada
kebahagiaan umum. Aliran ini mengharuskan manusia agar mencari kebahagiaan yang
sebesar-besarnya untuk sesama manusia, bahkan untuk seluruh makhluk yang
berperasaan. Jadi, baik atau buruknya sesuatu, didasarkan atas ada atau tidaknya
kesenangan bagi umat manusia. Apabila suatu hal memberikan lebih banyak kelezatan

5
6

dan kemanfaatan, hal itu dianggap baik. Sebaliknya, apabila suatu hal membawa
penderitaan, hal tersebut dianggap buruk.6
3. Aliran Utilitarianisme
Aliran utilitarianisme mendasarkan kebaikan atau keburukan pada asas manfaat. Artinya
suatu perbuatan dinilai baik atau buruk, diukur dari jumlah manfaat yang dihasilkannya.
Oleh karena itu, segala perbuatan manusia harus selalu mengarah pada perbuatan yang
membuahkan manfaat yang lebih besar. Menurut aliran ini, kemanfaatan, kelezatan, atau
kebahagiaan, adalah satu-satunya kebaikan tertinggi, yaitu menjadi senang dengan
sendirinya, karena tabiatnya, bukan karena akibat-akibatnya. Sebaliknya, kesusahan atau
penderitaan adalah keburukan. Kebahagiaan yang dicari menurut aliran ini, adalah
kebahagiaan atau kelezatan dengan arti yang lebih luas, yang mengandung kelezatan lahir
dan batin, tubuh dan akal, jasmani dan rohani. Aliran ini mempunyai jasa besar dalam
membangun pikiran-pikiran, dan menghendaki manusia agar tidak berat sebelah dalam
menetapkan suatu hukum. Aliran ini menghendaki agar manusia melihat kelezatan atau
kebahagiaan orang banyak, sebagaimana ia melihat kelezatan pada dirinya.7
4. Aliran Idealisme
Aliran idealisme berpendapat bahwa tujuan hidup adalah mencapai kesenangan. Akan
tetapi, kesenangan hidup di sini bukanlah memuaskan hawa nafsu duniawi. Kesenangan
hidup diperoleh dengan pengetahuan yang tepat tentang nilai kebendaan yang dituju. Di
bawah cahaya idea kebaikan, orang harus mencapai keadilan dan kebahagiaan hidup bagi
masyarakat. Manusia yang berakal budi, akan berakhlak baik untuk kepentingan dirinya
dan orang lain.
Aliran idealisme dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf
berkebangsaan Jerman. Adapun pokok-pokok pandangan etika idealisme, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a) Wujud terdalam dari kenyataan (hakikat), ialah kerohanian. Seseorang berbuat baik,
pada prinsipnya bukan karena dianjurkan oleh orang lain, melainkan atas dasar kemauan
sendiri atau rasa kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain, suatu perbuatan
baik akan dilakukan juga, karena adanya rasa kewajiban dalam rohani manusia.

6
Ibid., hal. 166-170.
7
Ibid., hal. 170-171.

6
7

b) Faktor paling penting yang memengaruhi manusia adalah kemauan, yang melahirkan
tindakan konkret. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kemauan yang baik.
c) Dari kemauan yang baik itulah, dihubungkan dengan suatu hal yang
menyempurnakannya, yaitu rasa kewajiban.
Dengan demikian, menurut aliran ini, kemauan merupakan faktor terpenting dari
terwujudnya sebuah tindakan nyata. Oleh karena itu, kemauan yang baik menjadi dasar
dalam etika idealisme. Menurut Kant, untuk dapat merealisasikan tindakan dari kemauan
yang baik, maka kemauan tersebut perlu dihubungkan dengan satu hal yang akan
menyempurnakannya, yaitu perasaan kewajiban. Dengan demikian, dari kemauan yang
baik, disertai dengan perasaan kewajiban menjalankan suatu perbuatan, terwujudlah
perbuatan yang baik. Rasa kewajiban tersebut terlepas dari kemanfaatan. Artinya, apabila
kita mengerjakan sesuatu karena perasaan kewajiban, kita tidak boleh memikirkan apa
untung dan ruginya dari pekerjaan atau perbuatan tersebut. Jadi, rasa kewajiban itu tidak
dapat dipecahkan lagi menjadi elemen-elemen yang lebih kecil, dalam arti kewajiban itu
hanya untuk kewajiban semata.8
5. Aliran Naturalisme
Aliran naturalisme berpendapat bahwa norma atau ukuran baik dan buruknya perbuatan
manusia, adalah sesuai atau tidaknya dengan natur (fitrah) manusia itu sendiri. Jadi, apabila
perbuatan itu sesuai dengan fitrah manusia, perbuatan tersebut adalah baik. Sebaliknya
apabila perbuatan itu bertentangan dengan fitrah manusia, perbuatan tersebut dianggap
buruk. Dalam hal ini, suatu perbuatan harus sesuai dengan fitrah lahir maupun batin. Aliran
naturalisme berpendirian bahwa kebahagiaan yang menjadi tujuan setiap manusia, dapat
dicapai dengan menuruti panggilan natur (fitrah) dari kejadian manusia itu sendiri.
Perbuatan yang sesuai dengan naturnya, akan membawa kebahagiaan yang sempurna, yang
merupakan tujuan kehidupan dunia. Oleh karena itu, tugas manusia dalam hidupnya adalah
menggunakan akal pikirannya untuk memenuhi kebutuhan naturnya, demi memperoleh
kebahagiaan. Etika menurut naturalisme, merupakan dasar-dasar umum untuk bertindak
dan hidup yang tepat. Pelaksanaan yang tepat dari dasar-dasar tersebut, adalah jalan untuk
mengatasi segala kesulitan, dan memperoleh kesenangan dalam hidup.9
6. Aliran Pragmatisme
8
Ibid., hal. 172-173.
9
Ibid., hal. 174-175

7
8

Pragmatisme adalah aliran yang berpendapat bahwa kriteria kebenaran dilihat dari
kegunaannya bagi kehidupan nyata. Pragmatisme berpandangan bahwa substansi
kebenaran, adalah segala sesuatu yang memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan.
Misalnya, beragama sebagai kebenaran, jika agama memberikan kebahagiaan. Secara
umum, pragmatisme adalah pemikiran yang dipengaruhi oleh kepentingan situasi dan
kondisi yang ada. Dengan demikian, pemikiran pragmatisme akan berubah setiap saat.
Adapun yang tidak berubah, adalah mempertahankan kepentingan itu sendiri. Jadi,
pragmatisme adalah pemikiran yang tidak teratur, sebab kepentingan individu itu sendiri
tidak teratur. Aliran ini menitikberatkan pada hal-hal yang berguna dari diri sendiri, baik
yang bersifat moral maupun materil. Adapun titikberatnya adalah pengalaman. Oleh karena
itu, penganut paham ini tidak mengenal istilah kebenaran, sebab kebenaran bersifat abstrak
dan tidak akan diperoleh dalam dunia empiris.10
7. Aliran Intuisionisme (Humanisme)
Aliran ini berpandangan bahwa setiap manusia memiliki kekuatan naluri batiniyah,
yang dapat membedakan sesuatu sebagai baik atau buruk, hanya dengan selintas pandang.
Dalam hal ini, sumber pengetahuan tentang perbuatan yang baik atau buruk adalah
kekuatan naluri, yaitu kekuatan batin atau bisikan hati nurani yang ada pada setiap
manusia. Oleh karena itu, apabila seseorang melihat suatu perbuatan, pada dirinya timbul
semacam ilham yang memberi petunjuk tentang nilai perbuatan itu. Selanjutnya,
ditetapkanlah hukum perbuatan tersebut, sebagai baik atau buruk. Dengan demikian,
kebanyakan manusia sependapat atas keutamaan sifat benar, dermawan, berani dan
semacamnya. Sebaliknya, mereka juga sepakat terhadap sifat-sifat kebalikannya, yang cela
dan keji. Para pengikut aliran intuisi berpendapat, bahwa manusia mengerti hal-hal yang
baik dan yang buruk secara langsung dengan melihatnya sekilas. Perbuatan-perbuatan baik
dan buruk diukur dengan daya tabiat batiniyah. Oleh karena itu, dikatakan bahwa benar
adalah wajib, karena benar termasuk sifat utama, bukan karena darurat dan karena
pendirian orang banyak atau jaminan kemewahan, serta bukan berarti sebab di luar dari
tabiatnya. Demikian pula pencurian adalah buruk, karena dalam tabiatnya termasuk sifat
melampaui batas atau permusuhan pada orang lain, dan merampas kekuasaannya dengan
tanpa hak.11
10
Ibid., hal. 175-176
11
Ibid., hal. 176-177

8
9

8. Aliran Vitalisme
Vitality artinya kekuatan, daya hidup. Oleh karena itu, menurut aliran vitalisme, tolak
ukur baik dan buruk adalah daya hidup. Orang yang kuat sehingga dapat memaksakan
kehendaknya dan dipatuhi orang lain adalah baik. Aliran ini berpandangan bahwa ukuran
baik dan buruknya perbuatan manusia, ditentukan oleh ada atau tidaknya daya hidup untuk
bertindak. Orang yang kuat bertahan hidup, adalah orang yang paling baik. Dengan
demikian, seorang penguasa yang dengan kekuatannya mengatur dan menundukkan
masyarakat demi kepentingan hidupnya, adalah orang yang memegang kebaikan hidupnya.
Aliran ini menganjurkan kepada manusia agar menggunakan vitalitasnya secara maksimal,
yang dapat mengendalikan segala perbuatan, sehingga akan mencerminkan kekuatan dalam
hidupnya. Kekuatan dan kekuasaan yang dapat menaklukkan yang lemah menjadi tolak
ukur kebaikan. Jadi, manusia yang berkuasa, itulah manusia yang baik.
Keganjilan dalam aliran ini tampak jelas, sebab standar baik dan buruknya memang
tidak berlaku umum. Selain itu, paham ini mengingatkan kepada binatang, yang
berpedoman bahwa “siapa yang menang, itulah yang baik”. Di samping itu, realitasnya
manusia memiliki suara hati nurani yang memberi tuntunan dalam bertindak, yang tidak
membenarkan keinginan memaksa dan berkuasa terhadap orang lain.12
9. Aliran Eksistensialisme
Aliran ini berpandangan bahwa eksistensi di atas dunia selalu terkait pada keputusan-
keputusan individu. Artinya, andaikan individu tidak mengambil suatu keputusan, pasti
tidak ada yang terjadi. Individu sangat menentukan terhadap suatu yang baik, terutama
bagi kepentingan dirinya. Ungkapan dari aliran ini adalah “Truth is sujectifity” (Kebenaran
terletak pada pribadinya), yaitu suatu perbuatan dinilai baik jika baikbagi pribadinya.
Sebaliknya, apabila keputusan itu tidak baik bagi pribadinya, itulah yang buruk.13

10. Aliran Religiosisme


Menurut aliran ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak
Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak
Tuhan. Dalam paham ini keyakinan teologis, yaitu keimanan kepada Tuhan sangat
memegang peranan penting, karena tidak mungkin orang mau berbuat sesuai dengan
12
Ibid., hal. 177-178
13
Ibid., hal. 178-179

9
10

kehendak Tuhan, jika yang bersangkutan tidak beriman kepada-Nya. Menurut


Poedjawijatna, aliran ini dianggap yang paling baik dalam praktik. Namun, terdapat pula
keberatan terhadap aliran ini, yaitu ketidakumuman dari ukuran baik dan buruk yang
digunakannya.14
11. Aliran Evolusi (Evolution)
Paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mengalami evolusi,
yaitu berkembang dari apa adanya menuju kepada kesempurnaannya. Dalam sejarah
paham evolusi, Darwin (1809-1882) adalah seorang ahli pengetahuan yang paling banyak
mengemukakan teorinya. Dia memberikan penjelasan tentang paham ini dalam bukunya
“The Origin of Species”. Dikatakan bahwa perkembangan alam ini didasari oleh ketentuan-
ketentuan berikut:
a) Ketentuan alam (selection of nature);
b) Perjuangan hidup (struggle for life);
c) Kekal bagi yang lebih pantas (survival for the fit test).
Yang dimaksud dengan ketentuan alam adalah bahwa alam ini menyaring segala yang
maujud (ada) mana yang pantas dan bertahan akan terus hidup, dan mana yang tidak
pantas dan lemah tidak akan bertahan hidup. Berdasarkan ciri-ciri hukum alam yang
terus berkembang ini dipergunakan untuk menentukan baik dan buruk. Namun, ikut
sertanya berubah dan berkembangnya ketentuan baik buruk sesuai dengan
perkembangan alam ini akan berakibat menyesatkan, karena ada yang dikembangkan itu
boleh jadi tidak sesuai dengan norma yang berlaku secara umum dan telah diakui
kebenarannya.15

C. Baik dan Buruk Menurut Ajaran Islam


Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT, Al-Qur’an yang dalam
penjabarannya dilakukan oleh hadis Nabi Muhammad SAW. Menurut ajaran Islam,
penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan hadis. Jika kita
perhatikan Al-Qur’an maupun hadis dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada

14
H. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Muliai, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), cet. 14, hal. 98.
15
Ibid., hal. 98-100.

10
11

baik, dan ada pula istilah yang mengacu kepada yang buruk.16 Di antara istilah yang mengacu
kepada yang baik misalnya:
1. Al-hasanah, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Raghib, al-hasanah adalah istilah yang
digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Lawan dari al-
hasanah adalah al-sayyiah. Yang termasuk al-hasanah misalnya keuntungan, kelapangan
rezeki, dan kemenangan. Sedangkan yang termasuk al-sayyiah misalnya kesempitan,
kelaparan, dan keterbelakangan. Pemakaian kata al-hasanah dapat kita jumpai dalam ayat
yang berbunyi:
‫ع إِلَ ٰى َسبِي ِل َربِّكَ بِ ۡٱل ِح ۡك َم ِة َو ۡٱل َم ۡو ِعظَ ِة ۡٱل َح َسنَ ۖ ِة‬
ُ ‫ۡٱد‬
“Ajaklah manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS An-
Nahl [16]: 125).
2. Al-thayyibah, digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan
kepada pancaindra dan jiwa, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Lawannya
adalah al-qabihah artinya buruk. Hal ini terdapat pada ayat yang berbunyi:

ۚۡ‫زَق ٰنَ ُكم‬


ۡ ‫ت َما َر‬ ْ ُ‫ى ُكل‬rٰۖ ‫َوأَن َز ۡلنَا َعلَ ۡي ُك ُم ۡٱل َم َّن َوٱلس َّۡل َو‬
ِ َ‫وا ِمن طَيِّ ٰب‬
“Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-
baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 57).
3. Al-khair, digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia,
seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat. Lawannya adalah al-
syarr. Hal ini terdapat pada ayat yang berbunyi:
‫خَي ٗرا فَإِ َّن ٱهَّلل َ َشا ِك ٌر َعلِي ٌم‬
ۡ ‫َو َمن تَطَ َّو َع‬
“Barangsiapa yang melakukan sesuatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka
sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah
[2]: 158).
4. Al-mahmudah, digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari
melakukan sesuatu yang disukai Allah SWT. Dengan demikian, kata al-mahmudah lebih
menunjukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual. Hal ini dinyatakan dalam
ayat yang berbunyi:

16
Akhmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), cet. 10, hal. 98.

11
12

ٗ ‫ك َمقَ ٗاما َّم ۡح ُم‬


٧٩ r‫ودا‬ َ َ‫َو ِمنَ ٱلَّ ۡي ِل فَتَهَج َّۡد بِِۦه نَافِلَ ٗة لَّكَ َع َس ٰ ٓى أَن يَ ۡب َعث‬
َ ُّ‫ك َرب‬
Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud mudah-mudahan Allah “
.mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji.” (QS Al-Isra’ [17]: 79)
5. Al-karimah, digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang
ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata al-karimah ini biasanya
digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang skalanya besar, seperti menafkahkan
harta di jalan Allah, berbuat baik pada kedua orang tua dan lain sebagainya. Allah SWT
berfirman:
ّ ٖ ُ‫فَاَل تَقُل لَّهُ َمٓا أ‬
٢٣ ‫ف َواَل ت َۡنهَ ۡرهُ َما َوقُل لَّهُ َما قَ ۡواٗل َك ِر ٗيما‬

“Dan janganlah kamu mengucapkan kata “uf-cis” kepada kedua orang tua, dan
janganlah membentaknya, dan ucapkanlah pada keduanya ucapan yang mulia.” (QS Al-
Isra’ [17]: 23).

6. Al-birr, digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau memperbanyak


melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut kadang digunakan sebagai sifat Allah, dan
terkadang juga untuk sifat manusia. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka
maksudnya adalah bahwa Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan jika
digunakan untuk manusia, maka yang dimaksud adalah ketaatannya. Misalnya pada ayat
berikut yang berbunyi:
ٓ
‫ب َو ٰلَ ِك َّن ۡٱلبِ َّر َم ۡن َءا َمنَ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ِر َو ۡٱل َم ٰلَئِ َك ِة‬
ِ ‫ق َو ۡٱل َم ۡغ ِر‬ ۡ
ِ ‫م قِبَ َل ٱل َم ۡش ِر‬rۡ‫وا ُوجُوهَ ُك‬ْ ُّ‫س ۡٱلبِ َّر أَن تُ َول‬ َ ‫لَّ ۡي‬
‫يل َوٱلسَّٓائِلِينَ َوفِي‬ ِ ِ‫ال َعلَ ٰى ُحبِِّۦه َذ ِوي ۡٱلقُ ۡربَ ٰى َو ۡٱليَ ٰتَ َم ٰى َو ۡٱل َم ٰ َس ِكينَ َو ۡٱبنَ ٱل َّسب‬ َ ‫ب َوٱلنَّبِ ۧ‍يِّنَ َو َءاتَى ۡٱل َم‬ ِ َ‫َو ۡٱل ِك ٰت‬
‫ء‬rِ ‫ضرَّٓا‬ َّ ‫صبِ ِرينَ فِي ۡٱلبَ ۡأ َسٓا ِء َوٱل‬ ْ ۖ ‫صلَ ٰوةَ َو َءاتَى ٱل َّز َك ٰوةَ َو ۡٱل ُموفُونَ بِ َع ۡه ِد ِهمۡ إِ َذا ٰ َعهَد‬
َّ ٰ ‫ُوا َوٱل‬ َّ ‫ب َوأَقَا َم ٱل‬ ِ ‫ٱلرِّ قَا‬
ۡ ۡ
ِ ۗ ‫َو ِحينَ ٱلبَأ‬
‫س‬
“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi
kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir),
peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan sholat dan
menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang

12
13

sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan.” (QS Al-Baqarah
[2]: 177).
Selanjutnya tentang al-birr ini dijelaskan, bahwa seorang sahabat Nabi SAW bernama
Wabishah bin Ma’bad berkunjung kepada Nabi SAW, lalu beliau menyapanya dengan
bersabda:
ْ ‫ت إِلَ ْي ِه النَّ ْفسُ َو‬
، ُ‫اط َمأ َ َّن إِلَ ْي ِه ْالقَ ْلب‬ ْ ‫ ْالبِرُّ َما‬،‫ك‬
ْ َّ‫اط َمأَن‬ َ َ‫ت قَ ْلب‬
ِ ‫ اِ ْستَ ْف‬: ‫ قَا َل‬،‫ نَ َع ْم‬: ‫ت‬ُ ‫ِج ْئتَ تَسْأ ُل ع َِن ْالبِرِّ قُ ْل‬
َ‫ َوإِ ْن أَ ْفتَاكَ النَّاسُ َوأَ ْفتَوْ ك‬،‫ص ْد ِر‬ ِ ‫ك فِي النَّ ْف‬
َّ ‫س َوتَ َر َّد َد فِي ال‬ َ ‫َو ْا ِإل ْث ُم َما َحا‬
“Engkau datang menanyakan tentang al-birr (kebaikan)? ”Benar, wahai Rasul” Jawab
Wabishah. “Tanyailah hatimu!” Al-birr (kebaikan) adalah sesuatu yang tenang terhadap
jiwa, dan yang tenteram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan
membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa.” (HR Ahmad dan Ad-
Darimi).
Dalam hadis tersebut kata al-birr dihubungkan dengan ketenangan jiwa dan akhlak yang
baik dan merupakan lawan dari dosa. Ini menunjukkan bahwa al-birr dekat artinya dengan
akhlak yang mulia, atau al-birr ini termasuk salah satu akhlak yang mulia.17
Adanya berbagai istilah kebaikan yang demikian variatif yang diberikan Al-Qur’an dan
hadis menunjukkan bahwa penjelasan tentang sesuatu yang baik menurut ajaran Islam jauh
lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan dengan arti kebaikan yang dikemukakan
sebelumnya. Berbagai istilah yang mengacu kepada kebaikan itu menunjukkan bahwa
kebaikan dalam pandangan Islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani,
jiwa, kesejahteraan di dunia dan di akhirat serta akhlak yang mulia.18
Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu Islam memberikan tolak ukur yang jelas,
yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapatkan keridhaan Allah
yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas. Perbuatan akhlak dalam Islam baru
dikatakan baik apabila perbuatan itu dilakukan dengan sebenarnya dan dengan kehendak
sendiri atas dasar ikhlas karena Allah. Untuk itu peranan niat yang ikhlas sangat penting.
Allah berfirman:
ْ ‫َو َمٓا أُ ِمر ُٓو ْا إِاَّل لِيَ ۡعبُد‬
ِ ِ‫ُوا ٱهَّلل َ ُم ۡخل‬
‫صينَ لَهُ ٱل ِّدينَ ُحنَفَٓا َء‬

17
H. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Muliai, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), cet. 14, hal. 100-107.
18
Mahmud Shaltat, Aqidah dan Syari’at Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), cet. 16, hal. 88.

13
14

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]: 5).
Dalam hadis juga dinyatakan:
ِ ‫إِنَّ َما ْاألَ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬
ٍ ‫ت َوإِنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬
 ‫ئ َما ن ََوى‬

“Segala perbuatan selalu mempunyai niat. Dan perbuatan itu dinilai sesuai dengan niatnya.”
(HR Bukhari-Muslim).

Berdasarkan petunjuk tersebut, maka penentuan baik atau buruk dalam Islam tidak semata-
mata ditentukan berdasarkan amal perbuatan yang nyata saja, tetapi lebih dari itu adalah
niatnya. Seseorang yang berniat baik, tapi dalam melakukannya menempuh cara yang salah,
maka perbuatan tersebut dipandang tercela. Selain itu perbuatan yang dianggap baik dalam
Islam adalah perbuatan yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan hadis, dan perbuatan
yang buruk adalah perbuatan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis itu. Namun
demikian, Al-Qur’an dan hadis bukanlah sumber ajaran yang eksklusif atau tertutup. Kedua
sumber ini bersifat terbuka untuk menghargai bahkan menampung pendapat akal pikiran,
adat-istiadat dan sebagainya yang dibuat oleh manusia, dengan catatan semuanya itu tetap
sejalan dengan petunjuk Al-Qur’an dan hadis. Ketentuan baik dan buruk yang didasarkan
pada logika dan filsafat dengan berbagai alirannya, dan tertampung dalam istilah etika atau
ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada istilah adat-istiadat tetap dihargai dan diakui
keberadaannya. Ketentuan baik buruk yang terdapat dalam etika dan moral dapat digunakan
sebagai sarana atau alat untuk menjabarkan ketentuan baik dan buruk yang ada dalam Al-
Qur’an.19

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sesuatu yang disebut baik atau buruk itu relatif sekali, karena bergantung pada pandangan
dan penilaian masing-masing yang merumuskannya dan pengertian ini bersifat subjektif,

19
Muhammad Al-Baqir, Membentuk Akhlak Mulia, (Bandung: Bumi Karisma, 1994), cet. 13, hal. 92.

14
15

karena bergantung pada individu yang menilainya. Beberapa aliran-aliran filsafat yang
mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk diantaranya :
1. Aliran Adat-Istiadat (Sosialisme/Tradisionalisme)
2. Aliran Hedonisme
3. Aliran Utilitarianisme
4. Aliran Idealisme
5. Aliran Naturalisme
6. Aliran Pragmatisme
7. Aliran Intuisionisme (Humanisme)
8. Aliran Vitalisme
9. Aliran Eksistensialisme
10. Aliran Religiosisme
11. Aliran Evolusi (Evolution)
B. Saran
Dalam menjalani kehidupan sekarang ini, pembaca disarankan dalam menentukan baik dan
buruknya segala sesuatu harus berpegang pada Al-Qur’an dan hadis karena Al-Qur’an sebagai
pedoman hidup yang berlaku sepanjang masa dan hadis sebagai penjelas dan penguat Al-
Qur’an.

15

Anda mungkin juga menyukai