Anda di halaman 1dari 8

Management of Burn Injury

Principles management pada pasien terkait dengan prioritas:

- Airway : Adanya kemungkinan untuk mengalami jejas inhalasi sehingga harus dipertahankan
airway dan oxigenasi. Serta adanya monitoring intensive pada tanda tanda obstruksi jalur
pernapasan (bisa disebabkan karena aspirasi cairan saat pasien tidak sadar, edema
pulmonary, bacterial pneumonia)
- Breathing : Dikarenakan adanya cimcumferential burn pada bagian dada pasien sehingga
mempersulit mekanikal dari pernafasan, hal ini merupakan indikasi untuk
escharotomy/fasciotomy. Prosedur ini dilakukan setelah informed consent pada pihak
keluarga.
- Circulation : Adanya syok hipovolemik atau dehidrasi sehingga dibutuhkan resusitasi cairan
untuk recover sirkulasi.
- Check the electrolyte level
- Debridement of the burn wound
- Pasien harus menjalani perawatan di rawat inap sesuai dengan criteria yang berlaku.

 Kriteria untuk Rawat Inap dan Burn Center


A. Kriteria bagi pasien yang mengalami cedera luka bakar untuk di rawat inap
(hospitalization) adalah:

1. Merupakan salah satu dari luka bakar major:


 Luka bakar derajat 2 - >15% TBSA pada orangdewasa
 Luka bakar derajat 3 - >5% TBSA pada orang dewasa
 Luka bakar derajat 3 - >10% TBSA pada anak-anak atau >5% TBSA pada infant.
 Luka bakar pada kepala, wajah, leher, kaki, tangan dan perineum
 Luka bakar respirasi atau inhalation injury (termasuk: smoke inhalation dan
keracunan carbon monoxide)
 Electrical Injury
 Chemical burns (seperti: luka bakar yang membutuhkan prolonged irrigation,
yang invasive dan biasanya luka bakar derajat 3)
2. Crushing burn
3. Circumferential burn
4. Tidak memungkinkan untuk dirawat sebagai pasien rawat luar
5. Luka bakar yang disertai dengan trauma atau jejas (ex: fracture, penetrating trauma)
6. Luka bakar >10% TBSA untuk pasien <10 tahun dan >50 tahun.
7. Luka bakar yang disertai dengan suatu penyakit serius tertentu (ex: DM, cirrhosis, AIDS)
8. Luka bakar yang disertai dengan infeksi
B. Kriteria untuk dirujuk ke burn center Berdasarkan American Burn Association adalah:

1.Partial thickness burns greater than 10% total body surface area (TBSA).

2. Luka bakar yang melibatkan wajah, tangan, kaki, alat kelamin, perineum, atau sendi
utama.
3. Luka bakar derajat III di semua kelompok umur.
4. Luka bakar listrik, termasuk cedera petir.
5. Luka bakar kimia.
6. Mengalami cedera inhalasi.
7. Luka bakar pada pasien dengan yang sudah ada sebelumnya gangguan medis yang bisa
menyulitkan manajemen, memperpanjang pemulihan, atau mempengaruhi kematian.
8. Setiap pasien dengan luka bakar dan trauma bersamaan (seperti patah tulang) di mana luka
bakar merupakan risiko terbesar morbiditas atau mortalitas. Dalam kasus tersebut, jika
trauma menimbulkan risiko langsung yang lebih besar, pasien sebaiknya menjalani stabilisasi
di pusat trauma sebelum dipindahkan ke unit luka bakar. Judgement dokter akan diperlukan
dalam beberapa situasi dan harus sesuai dengan medical control plan dan triase protocol
regional yang berlaku.
9. Anak yang mengalami luka bakar dan dirawat dirumah sakit yang tidak memiliki petugas
medis atau peralatan yang qualified.
10. Luka bakar pada pasien yang membutuhkan perhatian khusus baik sosial, emosional, atau
rehabilitasi khusus.

 Positioning dan Splinting


Posisi yang tepat dari pasien: hiperekstensi leher, abduksi bahu, ekstensi penuh dari siku,
pergelangan tangan, jari, pinggul dan lutut, serta pergelangan kaki harus dalam posisi netral.
Posisi ini harus beralih secara teratur setiap 2 jam, lalu disarankan untuk menggunakan
matras udara atau bantal yang berisi udara atau air pada posisi yang merupakan titik tekanan
yaitu: calcaneus, maleolus, sacrum, occiput/tengkuk, dan scapula.

Splinting sendiri adalah memberikan sanggahan dari rigid material untuk menyangga
beberapa bagian tertentu. Tujuannya adalah untuk membatasi posisi dan range of motion
(ROM).

Tujuan dari positioning dan splinting:

 Mencegah kerusakan jaringan


 Melindungi perbaikan jaringan lunak dan bagian yang mengalami trauma seperti
fraktur.
 Mencegah kontraktur dan deformitas.
 Rehabilitasi
Burn rehabilitation merupakan salah satu rehabilisi yang sulit dan memakan waktu yang lama
untuk mengembalikan fungsi organ dalam jangka panjang. Sehingga rehabilitasi ini akan
dilakukan diluar waktu burn care. Tujuan dari rehabilitasi ini bergantung pada usia, tingkat
keparahan pasien dan comorbidity.

Modern burn dapatdibagimenjadi 4 phase general ,yaitu :

a. First phase
Initial evaluation dan resuscitation, dilakukan pada hari ke 1-3 dan memerlukan
keakuratan yang tinggi.
b. Second phase
Initial wound excision dan penutupan luka.
c. Third phase
Definitive wound closure
d. Fourth phase
Rehabilitasi, rekonstruksi dan reintegrasi

Treatment Goals and Planning

Goals utamadari rehabilitasi ini adalah untuk mengurangi adanya pengurangan ROM (range of
Movement) yang biasanya banyak terjadi pada pasien yang pernah memiliki history burn injury.
Data menunjukan bahwa 68 dari 93 pasien yang mengalami burn injury mengalami pengurangan
ROM pada leher , tangan dan axilla.

Selain mengurangi adanya pengurangan ROM ,pencegahan adanya kontraktur dan juga edema
juga perlu dikurangin. Untuk pencegahan kontraktur dilakukan melalui positioning dan splinting
sebanyak 2 kali dalamsehari pada therapy session.

Ada 3 principal priorities yang akandilakukanoleh burn therapist pada masa rehabilitasi ,yaitu :

1. Melakukan passive ROM


2. Splinting dan antideformity positioning
3. Melakukan long term relationship denganpasien

 Passive ROM

Dilakukan sebanyak 2 kali sehari dan dilakukan pada semua joints. Therapist harus peka
terhadap rasa sakit ,dan kecemasan pasien. Procedur ROM ini harus dilakukan sambil
berkoordinasi dengan pihak ICU untuk menyediakan alat-alat untuk berjaga. Seperti ETT
,nasogastic tubes dan arterial dan venous catheters untuk mencegah hal yang tak diinginkan.
Passive ROM ini juga dilakukan untuk mencegah adanya contractures.

Pada pasien yang mengalami kontrakture pada kaki selain passive ROM, minta pasien untuk
berjalan independent tanpa bantuan. Tujuannya agar mencegah pembengkakan extremitas bawah
dan mencegah disuse atrophy.

 Antideformity positioning and Splinting

Prosedur ini dilakukan untuk meminimalisir adanya shortening dari tendon, collateral ligament
dan joint capsul dan juga untukmengecilkan edema.

1. Flexion neck deformities


Untuk mencegah adanya contracture pada leher, dilakukan dengan cara meletakan
leher pasien dengan keadaan slight extention.

2. Axillary adduction contractures


Untuk mencegah contracture pada axillary, dilakukan dengan cara meletakkan
bahu pasien pad aposisi widely abducted position.

3. Elbow flexion contractures


Elbow contracture dapat diminimalisir dengan melakukan elbow extenstion.
4. Hip and knee flexion contracture
Flexion contracture banyak terjadipada area hips dan knees dan sering terjadi
pada anak-anak. Namun hal tersebut dapat dicegah dengan prone position dan juga knee
immobilizer.

Upper extremity Burn Rehabilitation

Semakin baik 3 principal yang dilakukan tadi maka akan semakin minim rekontruksi yang
diperlukan. Namun ada beberapa upper extremities yang sering muncul yaitu dorsal hand dan
web space contractures.

1. Dorsal hand contracture


Dapat dicegah dengan melakukan proper positioning baik saat presurgical maupun
postsurgical.

2. Web space contracture


Dapat dicegah dengan early surgery dan compressive gloves.
3. Elbow contracture
4. Axillary contracture
Lower Extremity Burn Rehabilitation
Lower extremity deformity yang kerap terjadi pada pasien adalah dorsal foot extensition
contractures, popliteal flexion contractures dan hip flexion contractures.

Pasien yang telah recover dari acute burns, biasanya dapat mengalami hypertrophic scar
sekaligus pruritus, erythema, pain, penebalan kulit dan contracture. Pada scar ini juga terjadi
peningkatan respon inflamasi sehingga meningkatkan kejadian neovaskularisasi, produksi
kolagen berlebihan dan pembentukan struktur abnormal dari matrix. Treatment untuk scar ini
dalam bentuk nonsurgical therapy salah satunya adalah menggunakan tight-fitting pressure
garments , silicone gel sheeting, massage, physical therapy dan corticosteroid.

 Long-term relationship dengan pasien

Selain rehabilitasi fisik, didapatkan juga rehabilitasi psychological yang sangat penting pada
pasien luka bakar. Depresi, posttraumatic stress disorder, kekhawatiran tentang image dan
kecemasan akan tanggapan sosial merupakan hal-hal umum yang sering terjadi. Maka dari itu
juga dibutuhkan hubungan yang lama dengan pasien sehingga pasien dapat nyaman dan
mengalami peningkatan kepercayaan diri.

 Treatment untuk Burns Wound


-Topical therapy yang sering digunakan adalah: silver sulfadiazine yang merupakan broad
spectrum antimicrobial. Biasanya digunakan sebagai prophylaxis akan infeksi pada luka bakar.
Obat ini tergolong murah dan mudah digunakan. Namun obat ini dapat menghancurkan
transplantasi kulit sehingga kontraindikasi bagi pasien penerima donor yang baru mengalami
transplantasi, serta obat ini dapat menganggu migrasi epitel saat penyembuhan luka yang
cenderung dalam.
-Mafenide acetae adalah effective topical microbial. Obat ini tetap efektif meskipun ada
keberadaan eschar dan bisa digunakan baik saat mengobati maupun mencegah infeksi luka. Ini
baik untuk orang yang baru mengalami transplantasi. Namun memiliki efek samping utama yaitu
dapat menyebabkan asidosis metabolic hasil dari inhibisi carbonic anhydrase.
-Pada luka bakar yang hampir sembuh, salep topica seperti bacitracin, neomycin, dan polymyxin
B dapat digunakan. Obat ini dapat diaplikasikan dan dibiarkan terbuka tanpa harus di dressing.

A closed dressing could be used:

Generally we use ActicoatTM  or Acticoat 7TM(as per consultant choice) moisten with sterile
water, covered with IntraSite ConformableTM, cling film (eg Gladwrap), and crepe bandage.
Secure with Hyperfix and Tubigrip.    
 

 1- Apply moisten Acticoat  to the burn wound     

2- Cover the Acticoat   with a layer of Intrasite Conformable

3- Secure the Intrasite Conformable with Hypafix tape to prevent slipping

4- Cover the Intrasite Conformable with a layer of cling wrap to keep moisture within the
dressing
5- Secure the entire dressing with Hypafix / Mefix tape

6- Apply Tubigrip / bandage over the dressing for support


Daily treatment

1. Ganti dressing sebanyak 2 x sehari (jika memungkinkan) atau akan lebih baik jika
sesering mungkin jika memang di perlukan.
2. Periksa apakah terdapat adanya discoloration ataupun hemorrhage , yang menandakan
adanya infeksi
3. Fever tidak menjadi tanda-tanda adanya infeksis elama burn wound masih belum
tertutup.
4. Berikan antibiotic sistemik jika terdapat indikasi infeksi dari haemolytic streptococcal
atau jika sudah mencapai septicaemia
5. Infeksi Pseudomonal aeruginosa sering menyebabkan adanya septicaemia dan berujung
pada kematian. Namun hal ini dapat dilakukan treatment dengan memberikan systemic
aminoglycosides
6. Berikan antibiotic chemotherapy setiaphari , biasanya yg diberikan adalah silver nitrate
7. Gunakan silver sulfadiazine (antibiotic) di tambahkan pada single layer dressing.
8. Mafenide acetate (antibiotic) di gunakan without dressing
9. Lakukan special care ini pada hands untuk mengembalikan fungsinya kesemula :
 Cover hands dengan silver sulfadiazine dan place them in loose polythene gloves.
 Elevate hands selama 48 jam dan setelah itu mulai lakukan latihan.
 Setidaknya gantilah glovesnya ,bersihkan tangannya dan inspeksi burn areanya
ditambahkan silver sulfadiazine lagi. Lakukan semuanya setidaknya sehari sekali.
 Lakukan skin grafting jika diperlukan.
Healing phase

1. Tingkat kedalaman dan luas permukaan dari burn damagenya akan menentukan durasi
dari healing phase. Healing phase akan lebih cepat jika tidak terjadi infeksi
2. Lakukan skin grafts pada full thickness burns setelah munculnya healthy granulation
tissue.
3. Lakukan perencanaan long term care pada pasien.
4. Burn scars akan mengalami maturasi. Pertama-tama ia akan memerah, lalu akan
menyebabkan lesi yang menimbul dan membuat kita uncomfortable. Burn scar ini kerap
kali meninggalkan bekas berupa hypertrophic scar dan juga keloids. Namun keduanya
akan flatten, dan akan fading seiring berjalannya waktu. Proses ini memerlukan kurang
lebih 1-2 tahun.
5. Pada anak-anak
 Scars tidak akan meluas seiring pertumbuhan dan dapat menyebabkan adanya
contracture (permanent shortening of a muscle or joint.)
 lakukan surgical release of contracture sebelum ia mengganggu pertumbuhan
anaknya
6. burn scar pada wajah dapat menyebabkan adanya cosmetic deformity , ectropion dan
contractures pada lips. Ectropion (outward turning) dapatmenyebabkan keratitis dan
blindness.

Anda mungkin juga menyukai