Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Penatalaksanaan
Masalah Reproduksi pada Remaja dan Perempuan” Tidak lupa kami juga
mengucapkan terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Maternitas I pada
Semester ganjil (III) Fakultas Keperawatan, jurusan Ilmu Keperawatan tahun ajaran
2019/2020.Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi

Pekanbaru, September 2019


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah


kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit
atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan
fungsi-fungsinya serta proses-prosesnya (Harahap, 2003).

Pada era globalisasi dan modernisasi ini telah terjadi perubahan dan kemajuan
disegala aspek dalam menghadapi perkembangan lingkungan, kesehatan dan kebersihan,
dimana masyarakat dituntut untuk selalu menjaga kebersihan fisik dan organ atau alat
tubuh. Salah satu organ tubuh yang penting serta sensitif dan memerlukan perawatan
khusus adalah alat reproduksi.

Pengetahuan dan perawatan yang baik merupakan faktor penentu dalam memelihara
kesehatan reproduksi. Apabila alat reproduksi tidak dijaga kebersihannya maka akan
menyebabkan infeksi, yang pada akhirnya dapat menimbulkan penyakit (Harahap, 2003).
Pada diri seorang wanita di masa reproduksi biasanya mengalami beberapa gejala
psikologik yang negatif atau gejala fisik. Sifat gejalanya bervariasi dan cenderung
memburuk ketika saat-saat menjelang dan selama terjadinya proses perdarahan haid pada
tubuhnya. Keadaan ini tidak selalu terjadi pada setiap siklus haidnya dan
intensitasnyapun tidak sama. Beberapa wanita ada juga yang mengalami gejala alam
perasaan dan fisiknya berat, salah satunya adalah menyebabkan terjadinya keputihan
(Hendrik, 2006).

Keputihan merupakan gejala yang sering dialami oleh sebagian besar wanita.
Gangguan ini merupakan masalah kedua sesudah gangguan haid. Keputihan seringkali
tidak ditangani dengan serius oleh para remaja. Padahal keputihan bisa jadi indikasi
adanya penyakit. Hampir semua permpuan pernah mengalami keputihan. Pada umumnya,
orang menganggap keputihan pada wanita sebagai hal yang normal. Pendapat ini tidak
sepenuhnya benar, karena ada berbagai sebab yang mengakibatkan keputihan. Keputihan
yang normal memang merupakan hal yang wajar. Namun, keputihan yang tidak normal
dapat menjadi petunjuk adanya penyakit yang harus diobati (Kasdu, 2008).

Di Indonesia sendiri jumlah wanita yang mengalami keputihan ini sangat besar, yaitu
sebanyak 70% wanita Indonesia pernah mengalami keputihan paling tidak satu kali
dalam hidupnya, hal ini berkaitan erat dengan kondisi cuaca lembab yang mempermudah
wanita Indonesia mengalami keputihan, dimana cuaca lembab mempermudah
berkembangnya infeksi jamur (Depkes, 2004). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ayuningtyas (2011) tentang hubungan antara pengetahuan dan perilaku
menjaga kebersihan genetalia eksterna dengan kejadian keputihan pada siswi diperoleh
sebagian besar siswi memiliki pengetahuan menjaga kebersihan genetalia eksterna yang
buruk (95,3%).

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian kesehatan reproduksi?
2. Jelaskan penatalaksanaan masalah reproduksi pada wanita?
3. Jelaskan penatalaksanaan masalah reproduksi pada remaja wanita?
4. Jelaskan penatalaksanaan masalah reproduksi pada remaja pria?

C. Tujuan
1. Menjelaskan Pengertian kesehatan reproduksi
2. Menjelaskan penatalaksanaan masalah reproduksi pada wanita
3. Menjelaskan penatalaksanaan masalah reproduksi pada remaja wanita
4. Menjelaskan penatalaksanaan masalah reproduksi pada remaja pria
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kesehatan Reproduksi

Kesehatan Reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan
sistem, fungsi, dan proses reproduksi.

2.2 Penatalaksanaan Masalah Reproduksi pada Wanita (Vulvavaginitis)

Kandidiasis vulvovaginalis (KVV) merupakan infeksi mukosa vagina dan atau


vulva (epitel tidak berkeratin) yang disebabkan oleh jamur spesies Candida. Infeksi
dapat terjadi secara akut, sub akut, dan kronis. Didapat baik secara endogen maupun
eksogen yang sering menimbulkan keluhan pada tubuh. Umumnya infeksi pertama
timbul di vagina disebut vaginitis dan dapat meluas sampai vulva (vulvitis). KVV
merupakan salah satu infeksi yang paling banyak dikeluhkan wanita. Sekitar 70 – 75%
wanita setidaknya sekali terinfeksi KVV selama masa hidupnya, paling sering terjadi
pada wanita usia subur, pada sekitar 40-50% cenderung mengalami kekambuhan atau
serangan infeksi kedua. KVV merupakan penyakit urutan kedua dari seluruh infeksi
vagina.
Berdasarkan data morbiditas di Divisi Infeksi Menular Seksual (IMS) gejala KVV
yang umumnya ditemukan adalah rasa sakit di daerah vagina, iritasi, rasa panas,
dispareunia, dan sakit apabila buang air kecil yang diawali keluhan pruritus akut dan
keputihan (fluor albus). KVV merupakan sebuah gangguan ginekologis dengan
manifestasi cairan putih, kental, dan kadang-kadang berbau. Penyebab terbanyak KVV
adalah spesies Candida Albican 80-90% ( Nwadioha, Egah,et al., 2010 ).
Banyak faktor resiko yang diakui sebagai faktor predisposisi, namun pada sebagian
besar kasus, pemahaman dasar tentang mekanisme patogenik perubahan kolonisasi
spesies Candida dari bentuk komensal menjadi patogen belum diketahui. Dampak
infeksi candida pada kesehatan harus menjadi perhatian karena sangat merugikan
perempuan seperti timbulnya rasa gatal yang menimbulkan lecet dan hubungan seks
yang tidak nayman, selain itu kandidiasis juga dapat memfasilitasi infeksi Human
immunodeficiency virus (HIV). Upaya preventif dengan pemberian informasi yang tepat
kepada perempuan sangat diperlukan mengingat sampai saat ini perempuan masih
menganggap keputihan sebagai suatu hal yang normal yang sebetulnya bisa jadi
merupakan gejala kandidiasis vulvovaginalis. Pemahaman yang belum benar mengenai
hal tersebut diperburuk dengan pengobatan yang tidak tepat sehingga kandidiasis di
Indonesia menjadi masalah tersendiri baik bagi pasie, pasangan seksual, maupun dokter.

Beberapa faktor yang merupakan predisposisi atau faktor resiko, khusunya yang
berkaitan dengan dua hal, yaitu meningkatnya karbohidrat, termasuk peningkatan dan
penurunan Ph. Hal ini erat hubungannya dengan :

a. Kehamilan
b. Obesitas
c. Lingkungan yang lembap dan hangat
d. Pakaian atau pakaian dalam yang ketat
e. Pemakaian oral kontrasepsi
f. Pemasangan IUD ( Intra Uterine Device )
g. Pemakaian antibiotika spektrum luas
h. Menderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol
i. Pemakaian obat yang mengandung kortikosteroid
j. Pemakaian pencuci vagina
k. Penyakit infeksi dan keganasan yang menekan daya tahan tubuh
(Pudjiati, Soedarmadi. 2009)

Penataksanaan Kandidiasi Vulvovaginitis :

Kandidiasis mungkin merupakan penyakit yang tidak ditularkan melalui hubungan


seksual dari wanita, tetapi 20% wanita dengan KVV pasangan prianya memiliki koloni
Candida sp. Pada penis dengan/ tanpa gejala. Bila ada gejala, pada wanita biasanya
karena faktor predisposisi seperti hamil, penggunaan antibiotika, diabetes,
immunosupresi atau penggunaan kontrasepsi oral.

Adapun beberapa tatlaksana Kandidiasis Vulvovaginitis :


1) Melakukan pemeriksaan Laboratorium yang meliputi pemeriksaan
mikroskopik maupun kultur biakan sekresi vagina.
2) Lakukan pemeriksaan screening atau screening test secara teratur.
3) Berikan empati dan dukungan psikologis terhadap penderita.
4) Nilai faktor-faktor resiko kandidiasis vulvovaginitis.
5) Jika cairan yang keluar dari vagina abnormal, kadang pembilasan dengan air
bisa membantu mengurangi jumlah cairan.
6) Cairan vagina akibat vaginitis perlu diobati secara khusus sesuai dengan
penyebabnya.
7) Jika penyebabnya adalah infeksi, diberikan antibiotik, anti-jamur atau anti-
virus, tergantung pada organisme penyebabnya.
8) Untuk mengendalikan gejalanya bisa dilakukan pembilasan vagina dengan
campuran cuka dan air. Tetapi pembilasan ini tidak boleh dilakukan terlalu
lama dan terlalu sering karena bisa meningkatkan resiko terjadinya
peradangan panggul.
9) Jika akibat infeksi labia (lipatan kulit di sekitar vagina dan uretra) menjadi
menempel satu sama lain, bisa dioleskan krim estrogen selama 7-10 hari.
10) Selain antibiotik, untuk infeksi bakteri juga diberikan jeli asam propionate
agar cairan vagina lebih asam sehingga mengurangi pertumbuhan bakteri.
11) Pada infeksi menular seksual, untuk mencegah berulangnya infeksi, kedua
pasangan seksual diobati pada saat yang sama.
12) Penipisan lapisan vagina pasca menopause diatasi dengan terapi sulih
estrogen. Estrogen bisa diberikan dalam bentuk tablet, plester kulit maupun
krim yang dioleskan langsung ke vulva dan vagina.
13) Penderita KVV sebaiknya memakai pakaian dalam yang tidak terlalu ketat
dan menyerap keringat sehingga sirkulasi udara tetap terjaga (misalnya
terbuat dari katun) serta menjaga kebersihan vulva (sebaiknya gunakan sabun
gliserin).
14) Untuk mengurangi nyeri dan gatal-gatal bisa dibantu dengan kompres dingin
pada vulva atau berendam dalam air dingin.
15) Untuk mengurangi gatal-gatal yang bukan disebabkan oleh infeksi bisa
dioleskan krim atau salep corticosteroid dan antihistamin per-oral (tablet).
16) Untuk mengurangi nyeri bisa diberikan obat pereda nyeri.

Tatalaksana Kandidiasis Vulvovaginitis secara Farmakologi :

Candida albicans. Pada vagina digunakan klotrimazol 100 mg atau mikonazol 100
mg per vagina selama 7 hari atau nystatin 100.000 – 1.000.000 IU selama 7 hari.
Untuk infeksi kambuhan ketokonazol 200 mg po taip hari selama 5 hari, sedangkan
untuk balanopostitis digunakan imidazole topical 2 dd selama 7 hari.

a. Pengobatan Topikal:

1) Clindamycin (krim vagina) 5 gram waktu tidur, selama 7 hari

2) Metronidazol gel 5 gram bid waktu tidur selama 7 hari.

3) Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.

4) Triple sulfonamide cream (Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7%


dan Sulfatiazol      3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini
dilaporkan angka penyembuhannya hanya 15 – 45 %.

b. Pengobatan Oral :
1) Metronidazol 500 mg selama 7 hari atau 2 gram dosis tunggal,
keberhasilan      penyembuhan lebih dari 90%.  Metronidazol dapat
menyebabkan mual dan urin menjadi      gelap. Jika pengobatan ini
gagal, maka diberikan ampisilin oral (atau amoksisilin) yang
merupakan pilihan kedua dari pengobatan, keberhasilan penyembuhan
sekitar 66%.
2) Clindamycin 300 mg bid selama 7 hari, kaberhasilan penyembuhan
sekitar 94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil
klindamisin dapat menembus ASI,      oleh karena itu sebaiknya
menggunakan pengobatan intravagina untuk perempuan menyusui.
3) Amoksilav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x
sehari selama 7 hari.      Cukup efektif untuk wanita hamil dan
intoleransi terhadap metronidazol.
4) Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari.
5) Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari.
6) Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
7) Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.

2.3 Disfungsi Ereksi Pada Remaja

a. Pengertian disfungsi ereksi

Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidak mampuan organ reproduksi pria


untuk melakukan hubungan seksual akibat tidak terjadinya ereksi pada penis. DE
merupakan masalah yang signifikan dan umum dibidang medis, merupakan
kondisi medis yagn tidak berhubungan dengan proses penuaan walaupun
prevalensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Pria dengan
diabetes, penyakit jantung iskemik dan penyakit vaskuler perifer lebih banyak
menderita DE. Dengan mengetahui penyebab DE secara dini, pengobatan data
diberikan secara dini, dan kemungkinan fungsi tubuh reversibel, fungsi seksual
menjadi lebih baik dan kualitas hidup dapat ditingkatkan. Metode penulisan ini
adalah merangkum dari berbagai referensi dan mengkaji bahan-bahan
kepustakaan kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan. Hasil
penelusuran kepustakaan ditemukan bahwa gangguan disfungsi ereksi paling
umum terjadi pada pria di segala usia, etnis dan latar belakang budaya dan
diperkirakan mempengaruhi 322 juta pada 2025. Kondisi DE meningkat dengan
umur. DE merupakan tanda awal dari beberapa penyakit tertentu, adanya kondisi
medis yang mendasari disfungsi efeksi yang dapat menggangu berbagai aspek
hidup pasien, termasuk kualitas hidup dan hubungan interpersonal.pada
umumnya disfungsi ereksi pada penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit
kardiovaskular, hati, ginjal, diabetes, depresi, kanker prostat.
b. Penatalaksanaan disfungsi ereksi
Penanganan DE pertama kali dilakukan dengan cara pemberian
medikamentosa yaitu dengan menggunakan Sildenafil ( Viagra), jika tidak
berhasil dilakukan pembedahan. DE yang sebelumnya sulit diobati, ternyata dapat
ditangani dengan sildenafil ( Viagra), sehingga harapan masa depan dalam
meningkatkan kualitas hidup berjuta- juta pria dengan pasangannya. Dengan
mengetahui penyebab DE sejak dini, pengobatan dapat diberikan sejak awal,
sehingga kemungkinan fungsi tubuh kembali secara reversible, fungsi seksual
menjadi lebih baik dan kualitas hidup dapat ditingkatkan. Kesimpulannya adalah
DE adalah ketidak mampuan organ reproduksi pria untuk melakukan hubungan
seksual akibat tidak terjadinya ereksi enis. Penanganan DE secara dini perlu
ditindak lanjuti terutama penyakit sistemik. Sildenafil siltrat (Viagra) merupakan
terapi vasoaktif yang dapat menangani DE secara dini

Penanganan DE secara dini perlu diketahui 3 faktor, yaitu:

1) Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan organ reproduksi pria untuk


melakukan hubungan seksual akibat tidak terjadinya ereksi penis.
2) Penanganan DE secara dini perlu ditindaklanjuti terutama pada penyakit-
penyakit sistemik seperti: hipertensi, diabetes militus, dan kardiovaskuler,
lessi upper dan lower motor neuron, penyakit ginjal, penyakit neurologis
( saraf dan otak) dan kanker prostat.
3) Sildenafil sitrat ( Viagra) merupakan terapi vasoaktif yang dapat menangani
DE secara dini pada pria.

c. Etiologi
Banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya disfungsi
ereksi,walaupun secara garis besar faktor penyebabnya dibagi menjadi penyebab
psikogenikdan organik, tetapi belum tentu salah satu faktor tersebut menjadi
penyebab tunggaldisfungsi ereksi. yang termasuk penyebab organik adalah :
1) Penyakit kronik (aterosklerosis, diabetes dan penyakit jantung)
2) Obat-obatan (antihipertensi terutama diuretik thiazid dan
penghambat beta), antiaritmia(digoksin),, antidepresan dan antipsikotik (teru
tamaneuroleptik), antiandrogen, antihistamin II( simetidin), alkohol
atauheroin.
3) Pembedahan/operasi misal operasi daerah pelvis dan prostatektomi radikal
4) Radioterapi pelvis 

Diantara sekian banyak penyebab organik, gangguan vaskular


adalah penyebab yang paling umum dijumpai, sedangkan faktor psikogenik
meliputi depresi,stres, kepenatan, kehilangan, kemarahan dan gangguan hubungan
personal pada priamuda, faktor psikogenik ini menjadi penyebab tersering dari
disfungsi ereksiintermiten. Stres dapat menyebabkan disfungsi ereksi pada pria
dewasa awal dan stresyang datang pada setiap individu berbeda satu dengan yang
lainnya. Apabilakomponen psikis terganggu karena stres, maka perjalanan
stimulus erotis (rangsangerotis) tidak dapat diterima dengan sempurna oleh otak
kemudian rangsang yangkurang sempurna tersebut akan diteruskan oleh
hypothalamus otak yang merupakan pusat reseptor rangsang dari hypotalamus
dialirkan melalui medulla spinalis tepatnya pada Onuf’s Nucleus yang merupakan
pusat rangsang erotis dan rangsang tersebutdilairkan ke penis, terjadi vasodilatasi
yang kurang optimal sehingga mengalamidisfungsi ereksi.(Susanto, 2010).

d. Patofisiologi
Disfungsi ereksi (DE) dapat mengakibatkan kelainan pada salah satu
dariempat sistem yang diperlukan untuk ereksi penis normal atau dari kombinasi
kelainan. pembuluh darah, saraf, atau hormonal etiologi disfungsi ereksi (DE)
disebut sebagai disfungsi ereksi (DE) organik. Kelainan dari empat
sistem (pasien penerimaan psikologis terhadap rangsangan seksual)
disebut sebagai disfungsi ereksi (DE) psikogenik (Dipiroet al ., 2009). Disfungsi
ereksi dapat terjadi karena tiga mekanisme dasar yaitu, adanya kegagalan
menginisiasi (psikogenik, endokrinologik, atau neurogenik), kegagalan untuk
mengisi (arteriogenik), atau kegagalan dalam menyimpan volume darah yang
adekuat di dalam jaringan lankunar (disfungsi venooklusif). Faktor psikogenik
umumnya sering terjadi bersamaan dengan faktor etiologi lain. Diabetes,
ateroskerosis merupakan penyebab lebih dari 80% kejadian DE pada pria dewasa
(Fauci et al ., 2008) Penyebab disfungsi ereksi (DE) organik termasuk penyakit
yang membahayakan aliran pembuluh darah ke corpora cavernosum (penyakit
vaskular perifer, arterisclorosis, hipertensi esensial)
mengganggu nere konduksi ke otak (cedera tulang belakang, stroke) dan berkaitan
dengan hipogonadisme (prostat ataukanker testis, hipotalamus atau gangguan
hipofisis). Penyebab disfungsi ereksi (DE) organik meliputi malaise, depresi
reaktif atau kecemasan kinerja, sedasi, penyakitalzhemier, hipotiroidisme, dan
gangguan mental. Pasien dengan disfungsi ereksi (DE) pshycogenik umumnya
memiliki tingkat respon yang lebih tinggi untuk intervensi pasien dengan
disfungsi ereksi (DE) organik (Dipiro et al ., 2009).

e. Pengobatan
1) Terapi non-farmakologi
Modifikasi Gaya Hidup Pasien yang mengalami disfungsi ereksi
harus menjalani gaya hidup sehatsecara berkesinambungan. Hidup sehat
yang disarankan untuk menunjang terapidisfungsi ereksi antara lain
mengatur diet makanan (mengurangi makanan berkolesterol), rajin
berolahraga untuk menjaga kebugaran fisik, menjaga berat badan badan
ideal, mengurangi intensitas merokok dan minum minuman beralkohol,
mengendalikan pikiran agar tidak mengalami stres, dan tidakmenggunakan
obat-obatan terlarang (Chisholm-Burns, 2008).
2) Psikoterapi
Psikoterapi merupakan pendekatan pengobatan yang tepat untuk
pasiendengan disfungsi psikogenik atau campuran. Psikoterapi dilakukan
untukmengatasi penyebab disfungsi dan diharapkan pasangan dapat
berpartisipasidengan menghadiri sesi psikoterapi. Dalam mengobati
disfungsi organik, psikoterapi tidak dapat bekerja secara efektif
kecuali dikombinasikan dengan terapi lain. Keuntungan dari psikoterapi
adalah non-invasi dan mitrapartisipasi,sementara kerugian meliputi
peningkatan biaya dan komitmen waktu (Chisholm-Burns, 2008).
3) Vaccum Erection Devices
Perangkat VEDs ini dapat meningkatkan kemampuan ereksi
denganmenggunakan suatu vakum di sekitar penis (Chisholm-Burns, 2008).
Adapun 3komponen utama VEDs ini antara lain sebuah pompa yang
menghasilkan tekananvakum negatif, sebuah silinder yang salah satunya
ujungnya ditutup, dan tabungyang menghubungkan pompa dan silinder.
Pasien memasukkan bagian penissampai menyentuh bagian bawah perut ke
bagian ujung silinder yang terbukamenciptakan ruang vakum. Kemudian
pasien mengaktifkan pompa untukmenghasilkan tekanan vakum, yang
menarik darah ke dalam arteriol corporacavernosa. Untuk memperpanjang
ereksi, pasien dapat menggunakan bandkonstriksi yang dipasang di dasar
penis untuk menjaga aliran darah arteriol darahdan mengurangi aliran darah
vena dari penis (Dipiro et al ., 2008).VEDs adalah salah satu pengobatan
yang paling efektif untuk disfungsi ereksi.Alat ini memiliki tingkat
keberhasilan > 90% dalam memperoleh ereksi yangcukup untuk koitus dan
dianggap sebagai lini pertama terapi. Onset kerja VEDs inicukup lambat
sekitar 30 menit sehingga membutuhkan kesabaran dari
kedua pasien dan pasangan seksual. Kekakuan noninvasif dapat ditingkatka
n dengan menggunakan teknik pompa ganda di mana vakum digunakan
selama beberapa menit, dihentikan sebentar, kemudian digunakan kembali
selama beberapa menit.Tingkat keberhasilan yang lebih tinggi juga dapat
dicapai dengan menggabungkanVEDs dengan terapi lain (Chisholm-Burns,
2008).Terapi VEDs terkadang digunakan sebagai terapi lini kedua pada
pasien yangtidak merespon pengobatan oral atau pengobatan injeksi untuk
disfungsi ereksi.Kombinasi VEDs dengan alprostadil intrakavernosa atau
intraurethra memberikantingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan
hanya menggunakan VEDs. Nyeri pada saat ejakulasi atau ketidakmampuan
untuk ejakulasi adalah salah satu efek samping yang dialami pasien
menggunakan VEDs. Terapi VEDs inidikontraindikasikan pada orang
dengan penyakit  sickle cell dan digunakan secara hati-hati pada pasien
yang sedang menggunakan antikoagulan oral atau yang memiliki gangguan
perdarahan (Dipiro et al ., 2008).
4) Terapi Farmakologi
a) Penghambat fosfodiesterase (Inhibitor fosfodiesterase)
Sildenafil bekerja secara kompetitif menghambat enzim PDE,
sehingga perombakan cGMP yang terbentuk dengan terlepasnya NO aki
bat stimulasi seksualakan terhambat. Dengan demikian akan terjadi
relaksasi otot polos korpora kavernosa yang cukup lama untuk suatu
ereksi yang memuaskan. Dengan dosis yang dianjurkan, sildenafil tidak
akan berfungsi bila tidak ada rangsangan seksual.Sildenafil bekerja
selektif terhadap PDE5 dibandingkan terhadap PDE yang lain.Dengan
demikian, efek utamanya adalah terhadap korpus kavernosus di penis,
namunkarena PDE5 juga terdapat pada pembuluh darah maka pengaruh
sildenafil terhadap pembuluh darah juga tidak bisa diabaikan.Sildenafil,
tadanafil, dan vardenafil dikontraindikasikan pada terapi dengannitrat,
kelainan aktivitas seksual, infark miokardia atau stroke, hipotensif,
neuropatioptik iskemi non arteritik arterior. Efek samping sildenafil,
tadanafil, dan vardenafil meliputi dispepsia, sakit kepala, kemerahan
pada wajah, pusing, mialgia, gangguan penglihatan, kongesti hidung,
tekanan intraokular, dan reaksi hipersensitif. Sildenafil,tadanafil, dan
vardenafil sebaiknya digunakan hati-hati pada penyakit
kardiovaskuler,deformasi anatomi pada penis (misalnya angulasi,
fibrosis kavenosal, penyakit peyronie) (BPOM, 2008).Sildenafil,
tadanafil, dan vardenafil adalah penghambat fosfodiesterase
yangdirekomendasikan untuk digunakan pada pengobatan disfungsi
ereksi. Obat-obat initidak boleh diberikan bersamaan dengan obat-obat
lain untuk pengobatan disfungsiereksi. Pasien sebaiknya dievaluasi
dengan tepat sebelum diberikan sildenafil,tadanafil, dan vardenafil.
Karena pemberiannya oral, maka potensial terjadinyainteraksi obat
(Dipiro et al.,2008).
b) Testoterone replacement regimens
Regimen pengganti testosteron didapatkan secara eksogen dan
digunakan untuk mengembalikan kadar serum testosteron dalam kisaran
normal (300 sampai1100 ng/dL). Dengan dilakukannya penggantian
regimen testosteron maka gejala hipogonadisme dapat diatasi, gelaja
tersebut meliputi malaise, kehilangan kekuatanotot, mood depresi, dan
libido menurun. Testosteron secara langsung dapat merangsang reseptor
androgen pada sistem saraf pusat dan dianggap bertanggung jawab
dalam menjaga dorongan seksual yang normal (Dipiro et al.,2008).
c) Alprostadil
Alprostadil, juga dikenal sebagai prostaglandin E1, dapat
merangsang adenylsiklase, sehingga peningkatan produksi cAMP,
messenger sekunder yangmenyebabkan relaksasi otot polos pembuluh
darah arteri dan jaringan sinusoidaldalam corpora tersebut. Hal ini
mengakibatkan peningkatan aliran darah (Dipiro et al ., 2008).

2.4 Penatalaksanaan Masalah Reproduksi Remaja (Dismenore)

a. Menstruasi

Menstruasi merupakan perdarahan akibat proses pelepasan dinding rahim


(endometrium). Setiap bulan wanita akan mengalami menstruasi secara berulang
kecuali wanita pada masa kehamilan (Warianto, 2011). Dismenore adalah salah
satu gangguan menstruasi yang dialami oleh perempuan (Lestari, 2013).
Dismenore adalah nyeri yang disebabkan karena adanya ketidakseimbangan
hormon prostaglandin di dalam darah (Puji, 2009). Salah satu terjadinya
dismenore karena di temukannya perubahan kadar PGE2 dan PGF2a dalam
endometrium dan darah wanita yang menderita dismenore dengan kadar yang
sangat tinggi. Efek mual, muntah, bahkan diare akan terjadi apabila
dilepaksannya jumlah prostglandin dalam darah (Pickles dkk,1965).
1. Etiologi Dismenore

Penyebab utama dismenore primer adalah adanya prostaglandin F2a


(PGF2a) yang dihasilkan oleh endometrium. PGF2a merupakan hormon
yang diperlukan untuk menstimulasi kontraksi uterus selama menstruasi
(Varney, 2008). Menurut Nugroho dan Utama (2014), penyebab dismenore
dibedakan, menurut klasifikasinya, wanita lebih sering mengalami
dismenore primer, sedangkan wanita dengan nyeri hebat kemungkinan
sekitar 50%. Nyeri pada dismenore primer diduga karena adanya
rangsangan oleh prostaglandin yang berasal dari kontrasksi rahim. Saat
bekuan darah atau potongan jaringan lapisan rahim melewati serviks (leher
rahim) terjadi nyeri yang sangat hebat, terutama jika saluran serviknya
sempit. Pertambahan usia dan kehamilan mempengaruhi hilangnya nyeri
dismenore, hal ini di duga adanya kehilangan sebagian saraf pada akhir
kehamilan yang diakibatkan oleh kemunduran saraf rahim.

Penyebab dismenore skunder yaitu karena adanya masalah


penyakit fisik seperti endometritis, polip uteri, leiomioma, stenosis
serviks, atau penyakit radang panggung (PID) (Bickley, 2009).

2. Tanda dan gejala Dismenore

Menurut Nugroho dkk (2014), dismenore menyebabkan nyeri


yang dirasakan hilang timbul dan terjadi terus-menerus yang terasa pada
perut bagian bawah. Nyeri yang dirasakan akan terjadi sebelum dan
selama menstruasi. Gejala klinis dismenore adalah nyeri paha, nyeri
punggung, muntah, dan mudah tersinggung (Manuaba, 2010).

3. Klasifikasi Dismenore
Karim (2013) menyebutkan bahwa dismenore dapat dibagi menjadi
dua yaitu dismenore primer dan dismenore sekunder.
a) Dismenore primer

Dismenore primer adalah nyeri yang banyak dialami oleh remaja


tanpa kelainan pada alat genital (Lestari, 2013). Menurut
(Yustianingsih 2004) menyatakan bahwa usia 15 tahun – 25 tahun
wanita akan mengalami dismenore primer dan akan menghilang setalah
usia 30 tahun.

b) Dismenore sekunder
Dismenore sekunder terjadi karena adanya masalah penyakit
fisik akibat endometritis, polip uteri, stenosis serviks atau penyakit
radang punggung (PID) (Bickley, 2009).

4. Penatalaksanaan Dismenore
Terdapat dua penanganan untuk mengatasi nyeri dismenore yaitu
penanganan farmakologi dan penanganan non farmakologi. Penanganan
farmakologi dapat dilakukan dengan mengunakan obat-obatan analgesik
untuk menurunkan rasa nyeri. Penanganan non farmakologi yaitu dengan
cara relaksasi yoga dan mengontrol pikiran untuk mengurangi rasa nyeri
(Hutomo, 2014). Sedangkan menurut (Proverawati & Misaroh 2009) untuk
mengatasi nyeri perut dapat dilakukan dengan latihan aerobik (bersepeda,
jalan kaki, berenang) dapat membantu untuk memproduksi bahan alami
yang dapat mengurangi rasa sakit pada perut, pakai kompres panas atau
dingin pada daerah perut pada saat nyeri, pastikan tidur yang cukup selama
periode menstruasi, latihan relaksasi atau dengan yoga cukup membantu
mengurangi rasa nyeri pada perut.

Jenis jalan kaki yang disarankan yaiutu jalan kaki cepat selama 45
menit yang dilakukan setiap hari atau minimal 3 kali semingggu. Gunanya
untuk menguatkan otot perut agar kram tersebut tidak kambuh lagi.
Peregangan yang disarankan adalah peregangan otot-otot perut dan panggul.
Dengan melakukan diharapkan otot-otot tersebut akan menjadi lemas dan
nyeri berkurang(Andira,2012).
Cara melakukan peregangan:

a.) Tidur terlentang dengan posisi punggung menempel rata pada lantai

b.) Luruskan tangan keatas kepala dan lunjurkan kaki

c.) Tarik kedua lutut ke arah dada dan bantu dengan memegang kedua
lutut

d.) Tarik perlahan kearah dada tanpa menggerakkan dada, leher atau
mengangkat kepala

e.) Setelah mencapai posisi paling tinggi yang bisa di capai tahan hingga
hitungan kelima

f.) Selanjutnya lepaskan pegangan dan kembalikan posisikan kaki kearah


awal. Gerakan ini dilakukan 3 sampai 4 kali. Gerakan ini dapat
dilakukan dengan satu lutut secara bergantian.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Dismenore


a) Usia
1) Konsep Usia
Menurut Depkes (2013) menyatakan usia adalah alat ukur
yang di gunakan untuk mengukur waktu hidup ataupun mati
seseorang.
2) Jenis Usia
- Usia kronologis
Usia yang di hitung dari seseorang dilahirkan sampai
sesorang itu meninggal.

- Usia biologis

Usia yang dihitung berdasarkan kematangan


biologis.
6. Hubungan usia dengan Dismenore
Menurut teori Bare dan Smeltzer tahun 2002 menyatakan bahwa
semakin tua usia wanita yang mengalami menstruasi akan menyebabkan
pelebaran leher rahim, sehingga kejadian dismenore pada wanita usia tua
jarang ditemukan. Hubungan usia dengan dismenore terjadi pada usia
menarche. Usia wanita sangat mempengaruhi terjadinya dismenore
(Wiknjosastro, 2005). Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh novia
dan puspitasari 2008 menyatakan bahwa usia wanita muda akan beresiko
terjadinya dismenore. Hal ini karena alat reproduksi yang belum sempurna
belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga pada saat menstruasi
akan menyebabkan nyeri haid. (Lestari, 2013).

7. Konsep Wanita Usia Subur (WUS)


Wanita Usia Subur (WUS) adalah wanita yang masih dalam usia
reproduktif (sejak mendapat haid pertama dan sampai berhentinya haid),
yaitu antara usia 15 – 49 tahun, dengan status belum menikah, menikah,
atau janda, yang masih berpotensi untuk mempunyai keturunan (Novitasary,
Mayulu, & Kawengian, 2013). Wanita usia subur (WUS) adalah wanita
yang keadaan organ reproduksinya berfungsi dengan baik antara umur 20 –
45 tahun. Wanita usia subur berlagsung lebih cepat dari pada pria. Puncak
kesuburan ada pada rentang usia 20 – 29 tahun. Pada usia ini wanita
memiliki kesempatan 95 % untuk hamil. Pada usia 30-an presentasenya
menurun sehingga 90%. Sedangkan memasuki usia 40 tahun kesempatan
untuk hamil hingga menjadi 40% setelah usia 40 tahun hanya punya
maksimal 10% kesempatan untuk hamil (Suparyanto, 2011). Wanita usia
subur merupakan populasi yang berisiko untuk mengalami dismenore
karena gejala dismenore bisa dialami oleh setiap wanita yang masih
menstruasi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kelainan sistem reproduksi karena gangguan hormon pada wanita dapat
menyebabkan berbagai masalah karena proses reproduksi wanita dipengaruhi oleh
hormone seperti estrogen, progesteron, dan  prolaktin. Estrogen adalah hormon yang
berfungsi untuk perkembangan sifat seksual wanita. Hormon progesterone
berfungsi untuk persiapan hamil. Prolaktin merupakan hormon untuk  persiapan
menyusui.
Kelainan congenital sistem reproduksi dapat disebabkan oleh faktor lingkungan,
nutrisi, penyakit metabolik, infeksi virus, obat teratogenik, dan lain-lain yang terjadi
pada masa kehamilan. Banyak dari kelainan tersebut tidak melibatkan ovarium atau
genitalia eksterna sehingga gejala tidak nampak sebelum menarche atau menikah.
Kelainan kongenital tersebut juga dapat disebabkan oleh kelainan kromosom khususnya
kromosom seks dan gangguan hormonal.

B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi  pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kekurangan atau referensi yang ada hubungannya
dengan judul makalah ini. Kami sekelompok berharap para pembaca bisa memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada kelompok kami demi sempurnanya
makalah ini. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan penulis khususnya
dan pembaca umumnya mengenai kelainan uterus.
DAFTAR PUSTAKA

Garg A, Kundu R. 2012. Yeast infections: Candidiasis, tinea (pityriasis) versicolor and
malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Woff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Pltzpatric’s dermatology in general medicine 8ͭ ͪ.
New York: McGgraw-Hill.

Gispen, W. 2010. Leiden Cytologi and pathologi Laboratory Leiden Netherland, Vulvovaginal
Candida, 41-60.

Harnindya D. Retrospective Study: Diagnosis and Management of Vulvovaginalis Candidiasis.

Lailatul Rahdania. 2018. Pengaruh Menarche terhadap Aktivitas Belajar Siswi SDN Wedi
Gedongan Sidoarjo. Skripsi Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai