Anda di halaman 1dari 8

A.

    Latar Belakang Masalah


Dalam buku Ensiklopedia Islam Jilid 3 halaman 245 dijelaskan bahwa muamalah merupakan
bagian dari hukum islam yang mengatur hubungan antar seseorang dengan orang lain, baik
seseorang itu pribadi tertentu maupun berbentuk badan hukum, sepeti peresoan, firma,
yayasan, dan negara. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah, seperti jual beli, sewa
menyewa, perserikatan dibidang pertanian dan perdagangan, serta usaha perbankan dan
asuransi islami.
Dari pengertian muamalah tersebut ada yang berpendapat bahwa muamalah hanya
menyangkut permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi anatara seseorang
dengan orang lain atau anatara seseorang dan badan hukum, atau antara badan hukum yang
satu dan badan hukum yang lain.

Pengertian Waris di Indonesia


Warisan merupakan segala sesuatu peninggalan (bisa asset dan bisa
utang) yang ditinggalkan oleh pewaris (orang yang meninggal) dan
diwasiatkann kepada Ahli waris. Wujud warisan tersebut dapat berupa
harta (harta yang bergerak dan harta tidak bergerak) dan termasuk
juga diwarisi utang (kewajiban). Harta yang bergerak seperti kendaraan,
logam mulia, sertifikat deposito dan lain sebagainya. Harta tidak
bergerak seperti rumah dan tanah. Utang seperti utang kepada pihak ke
bank, saudara dan lain sebagainya.

Jadi warisan tidak selalu hal-hal yang indah yang dapat


mensejahterakan yang mewarisinya, namun berupa tanggung jawab
yang belum selesai yang harus diselesaikan oleh ahli warisnya. Warisan
dapat menyelesaikan masalah atau justru dapat menambah masalah
dalam keluarga besar. Hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan
pendapat mengenai pembagian tanggung jawab hingga pembagian
harta waris.

Terkait dengan pembagian warisan, pewaris tidak boleh seenanknya


sendiri dalam membagi waris. Ahli waris juga tidak bisa menuntut untuk
minta bagian tertentu atau lebih besar. Anda perlu tahu, waris juga ada
aturan mainnya dan hukumnya. Pada saat membuat surat wasiat,
pewaris harus tahu aturan pembagian waris menurut hukum waris.

Pembagian waris menurut hukum waris selalu berusaha membagi


secara adil. Terkadang kata adil tidak sama dengan kesamaan, contoh
jika seseorang pewaris memiliki 3 orang anak, bisa jadi anak yang satu
mendapatkan bagian lebih banyak dibandingkan dengan anak lain. Jika
pembagian waris sudah mengikuti hukum waris, diharapkan ahli waris
dapat memahami dan berlapang dada menerima keputusan.

Definisi Hukum Waris merupakan sebuah aturan yang mengatur harta


kekayaan serta kedudukannya setelah pewaris meninggal dunia hingga
tata cara berpindahnya  harta tersebut kepada ahli waris, menurut Prof.
Dr. Wirjono Prodjodikoro. Aturan tersebut tercatat dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata. Jadi secara hokum aturannya jelas dan dapat
diperkarakan dipengadilan bila ternyata tidak dapat menemui
kesepakatan dalam mengambil keputusan mengenai pembagian
Warisan Tersebut.
 

Hukum Waris di Indonesia


Tahukah Anda di Indonesia ada tiga jenis hukum waris yang berlaku,
yaitu hukum waris perdata, hukum waris adat dan hukum waris menurut
Ajaran Agama Islam. Warga Negara Indonesia (WNI) wajib memilih
salah satu hukum waris yang akan digunakannya dan ditulis dalam surat
wasiat (testamen). Ketiga jenis hukum waris tersebut berbeda-beda
dalam mengatur tentang warisan, berikut uraiannya lebih jelas, antara
lain :
 

#1 Hukum waris Adat


Hukum waris adat adalah hukum waris yang diyakini dan dijalankan oleh
suku tertentu di Indonesia. Beberapa hukum waris adat aturannya tidak
tertulis, namun sangat dipatuhi oleh masyarakat pada suku tertentu
dalam suatu daerah, dan bila ada yang melanggarnya akan diberikan
sanksi. Jenis hukum ini banyak dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan
serta stuktur kemasyarakatannya. Selain itu jenis pewarisannya pun
juga beragam, antara lain :

1. Sistem Keturunan, pada ystem ini dibedakan menjadi tiga


macam yaitu garis keturunan bapak, garis keturunan ibu, serta
garis keturunan keduanya
2. Sistem Individual, merupakan jenis pembagian warisan
berdasarkan bagiannya masing-masing, umumnya banyak
diterapkan pada masyarakat suku Jawa.
3. Sistem Kolektif, Merupakan system pembagian warisan dimana
kepemilikannya masing-masing ahli waris memiliki hak untuk
mendapatkan warisan atau tidak menerima warisan. Umumnya
bentuk warisan yang digunakan dengan jenis ini adalah barang
pusaka pada masyarakat tertentu.
4. Sistem Mayorat, merupakan system pembagian warisan yang
diberikan kepada anak tertua yang bertugas memimpin keluarga.
Contohnya pada masyarakat lampung dan Bali.

#2 Hukum Waris Islam


Hukum Waris Islam hanya berlaku pada masyarakat yang memeluk
agama Islam, dimana sistem pembagian warisannya menggunakan
prinsip individual bilateral. Jadi dapat dikatakan ahli waris harus berasal
dari garis ayah atau ibu. Selain itu makna warisan adalah jika harta atau
aset yang diberikan orang yang memberikan sudah meninggal dunia,
jika orangnya masih hidup istilahnya disebut Hibah bukan warisan. Hal
yang terpenting juga adalah orang yang menjadi ahli waris harus yang
memiliki hubungan keluarga atau hubungan keturunan. Sebagai contoh
paman, anak, cucu, dan lain sebagainya.

#3 Hukum Waris Perdata


Hukum waris perdata adalah hukum waris yang paling umum di
Indonesia dan beberapa aturannya mirip dengan budaya barat. Warisan
dapat diberikan kepada ahli waris yang terdapat surat wasiat atau
keluarga yang memiliki hubungan keturunan atau kekerabatan, seperti
anak, orang tua, saudara, kakek, nenek hingga saudara dari keturunan
tersebut.

Sistem atau prinsip yang digunakan dalam hukum bagi waris jenis ini
menggunakan system individual yang artinya setiap individu ahli waris
berhak mendapatkan harta warisan berdasarkan bagiannya masing-
masing. Sedangkan bila menggunakan surat wasiat maka orang yang
berhak menjadi ahli waris hanya yang ditentukan dan tercatat dalam
surat wasiat tersebut. Syarat untuk membuat surat wasiat ini memang
harus sudah berusia lebih dari delapan belas tahun dan sudah menikah.

Dari beberapa jenis hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa


kehidupan masyarakat di Indonesia tidak dapat menggunakan hukum
waris perdata secara nasional, karena beragamnya suku dan budaya di
Indonesia. Akan tetapi dari semua jenis hukum tersebut semua
mengajak untuk membagi harta warisan secara Adil dan merata agar
tidak ada kecemburuan sosial dengan prinsip-prinsip yang berlaku
secara adat hingga Agama yang diyakininya.
 
Pembagian Waris
Pembagian waris memang membutuhkan kesabaran, kehati-hatian dan
disesuaikan dengan hukum yang berlaku. Oleh karenanya selalu
konsultasikan dengan orang-orang yang ahli dibidangnya, seperti
notaris, ahli hukum (hukum perdata, hukum adat atau hukum Islam) dan
perencana keuangan. Libatkan juga seluruh anggota keluarga,
setidaknya libatkan istri tercinta.

Para ahli tersebut akan membantu membuat perhitungan yang akurat,


adil dalam membagi harta dan legal secara hukum. Warisan yang aman,
adil dan legal tentu saja dapat menjadi berkah bagi ahli waris.
Sebaliknya warisan yang tidak dipersiapkan bisa saja menjadi musibah
dan bom waktu bagi ahli waris.

Selalu komunikasikan beragam hal pada masing-masing ahli waris untuk


mendapatkan pemahaman yang sama. Dengan saling menjaga
kepercayaan tersebut selain akan mencapai hasil mufakat mengenai
hak waris, juga akan senantiasa menjaga hubungan silaturahmi yang
tetap erat antara anggota keluarga yang lainnya. Dengan selalu didasari
dengan niat baik akan menghasilkan keputusan yang baik untuk
masing-masing ahli waris.

Secara umun pengertian Fiqih muamalah adalah hukum-hukum yang


berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan keduniaan, misalnya
dalam persoalan jual beli, hutang piutang, kerja sama dagang, perserikatan,
kerja sama dalam penggarapan tanah, dan sewa menyewa.

Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-Iltizam bi


Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002) mengatakan, “Fiqh
muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam.
Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu
hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim.
Husein Shahhatah, selanjutnya menulis, “Dalam bidang muamalah maliyah
ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah
sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah
maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau
syubhat, tanpa ia sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada
Allah swt, Harus berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal
shaleh dan ikhlas untuk Allah semata” Memahami/mengetahui hukum
muamalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun un-tuk menjadi expert
(ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah. Oleh karena itu, Khalifah
Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :
“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah
me-ngerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi).
Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan Muamalat adalah
inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia.
Menurut Wahbah Zuhaili, hukum muamalah itu terdiri dari hukum keluarga,
hukum kebendaan, hukum acara, perundang-undangan, hukum
internasional, hukum ekonomi dan keuangan.

4 Prinsip Muamalah dalam Islam

1. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang


ditentukan oleh al-qur’an dan sunnah rasul. Bahwa hukum islam
memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam
muamalat baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup
masyarakat.
2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela , tanpa mengandung unsur
paksaan. Agar kebebasan kehendak pihak-pihak bersangkutan
selalu diperhatikan.
3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan
manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
Bahwa sesuatu bentuk muamalat dilakukan ats dasar pertimbangan
mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup
masyarakat.
4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan,
menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan
kesempatan dalam kesempitan. Bahwa segala bentuk muamalat
yang mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan.
5 Batasan Muamalah dalam Islam
Setelah mengenal secara umum apa saja yang dibahas dalam fiqh
muamalat, ada prinsip dasar yang harus dipahami dalam berinteraksi. Ada 5
hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan
berinteraksi. Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa transaksi
yang dilakukan sah atau tidak, lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB,
yaitu Maisir, Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.

1. Maisir

Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir


berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering
dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat
memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang
dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi. Padahal islam mengajarkan
tentang usaha dan kerja keras. Larangan terhadap maisir / judi sendiri sudah
jelas ada dalam AlQur’an (2:219 dan 5:90)
2. Gharar
Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Terdapat juga mereka yang
menyatakan bahawa gharar bermaksud syak atau keraguan.[3] Setiap
transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam
kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Boleh dikatakan
bahwa konsep gharar berkisar kepada makna ketidaktentuan dan
ketidakjelasan sesuatu transaksi yang dilaksanakan, secara umum dapat
dipahami sebagai berikut :
sesuatu barangan yang itu wujud atau tidak;
– barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan atau tidak;
– transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas atau akad dan
kontraknya tidak jelas, baik dari waktu bayarnya, cara bayarnya, dan lain-
lain.
Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak
yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang
bersifat gharar. Atau kegiatan para spekulan jual beli valas.
3. Haram
Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi nya
mnejadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.
4. Riba
Pelarangan riba telah dinyatakan dalam beberapa ayat Al Quran. Ayat-ayat
mengenai pelarangan riba diturunkan secara bertahap. Tahapan-tahapan
turunnya ayat dimulai dari peringatan secara halus hingga peringatan secara
keras.
Tahapan turunnya ayat mengenai riba dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, menolak anggapan bahwa riba tidak menambah harta justru
mengurangi harta. Sesungguhnya zakatlah yang menambah harta. Seperti
yang dijelaskan dalam QS. Ar Rum : 39 .
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya)”
Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras
kepada orang Yahudi yang memakan riba. Allah berfiman dalam QS. An
Nisa : 160-161 .
“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Allah menunjukkan karakter dari riba dan keuntungan
menjauhi riba seperti yang tertuang dalam QS. Ali Imran : 130.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
Keempat, merupakan tahapan yang menunjukkan betapa kerasnya Allah
mengharamkan riba. QS. Al Baqarah : 278-279 berikut ini menjelaskan
konsep final tentang riba dan konsekuensi bagi siapa yang memakan riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
5. Bathil
Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada
kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-
sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang
terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar
bisa tercipta hubungan yang selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran,
menutupi cacat barang, mengurangi timbangan tidak dibenarkan. Atau hal-
hal kecil seperti menggunakan barang tanpa izin, meminjam dan tidak
bertanggungjawab atas kerusakan harus sangat diperhatikan dalam
bermuamalat.

Anda mungkin juga menyukai