Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Penalaran Analogi


Pengertian analogi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:
44) yaitu persamaan atau persesuaian antara dua benda atau hal yang
berlainan. Seorang ahli terkemuka di bidang perubahan cara berpikir juga
mengungkapkan pendapatnya tentang pengertian dari analogi bahwa:
Pada hakekatnya suatu analogi adalah suatu ceritera atau situasi yang
sederhana. Ia menjadi suatu analogi hanya bilamana dibandingkan dengan
sesuatu yang lain. Ceritera atau sesuatu sederhana itu haruslah sesuatu yang
kita kenal. (Edward de Bono, 1991: 16)
Penalaran (reasoning) diartikan sebagai proses berpikir khususnya
berpikir logis atau berpikir memecahkan masalah. Kamus Besar Indonesia
menjelaskan penalaran sebagai proses berpikir yang bertolak dari pengamatan
indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan
pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis akan terbentuk  proposisi-
proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau
dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang
sebelumnya tidak diketahui, proses inilah yangdisebut menalar. Dalam
penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis
(antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi
(consequence). Hubungan antara premis dan konklusi
disebut konsekuensi. Penalaran juga berkaitan erat dengan proses berpikir
dalam mengambil suatu kesimpulandan merupakan ciri dari kegiatan
matematika. Krulick, Rudnick dan Milou (2003) mengungkapkan bahwa
penalaran merupakan bagian dari proses berpikir, namun seringkali berpikir
dan bernalar digunakan secara sinonim. Keterkaitan antara berpikir dan
bernalar disajikan pada gambar 1 berikut:

i
Gambar 1. Hirarki Berpikir
(Krulick, Rudnick, dan Milou, 2003)

Tahapan berpikir paling rendah adalah mengingat (recall). Pada


tahapan mengingat ini proses berpikir seseorang tidak sampai menggunakan
proses logis atau analitis, tetapi prosesberpikir berlangsung secara otomatis.
Tahapan berikutnya yaitu tahapan berpikir kedua adalahberpikir dasar (basic
thinking) merupakan bentuk yang lebih umum dari berpikir.
Kebanyakankeputusan dibuat dalam berpikir dasar. Tahapan berpikir ketiga
yaitu berpikir kritis (critical thinking) dimana sudah ditandai dengan
kemampuan menganalisa masalah, menentukankecukupan data untuk
menyelesaikan masalah, memutuskan perlunya informasi tambahan dalam
suatu masalah dan menganalisis situasi.
Dalam tahapan berpikir ini juga termasuk mengenalikonsistensi data
dan dapat menentukan kevalidan suatu kesimpulan. Tahapan berpikir
tertinggiadalah berpikir kreatif (creative thinking) yang ditandai
dengan kemampuan menyelesaikan suatumasalah dengan cara-cara yang
tidak biasa, unik dan berbeda. Proses berpikir yang mencakupberpikir kreatif
dan berpikir kritis disebut dengan berpikir tingkat tinggi (high order
thinking). Sedangkan proses berpikir yang mencakup berpikir kreatif, berpikir
kritis dan berpikir dasardisebut penalaran (reasoning). Penalaran analogi
merupakan kegiatan dan proses penyimpulan berdasarkan kesamaandata atau
fakta.
Pada penalaran analogi terdapat dua hal yang berlainan dan dua hal
yangberlainan itu dibandingkan. Dalam hal ini yang dicari adalah keserupaan

ii
atau keidentikkan daridua hal yang berbeda. Analogi tidak hanya
menunjukkan keserupaan kedua hal yang berbeda, akan tetapi juga menarik
kesimpulan atas dasar keserupaan tersebut.
Penalaran analogi menurut Helmar Gust and Kai-Uwe Kunhnberger
(2006) adalah kemampuan penting dari kognisi manusia, karena analogi dapat
digunakan untuk menjelaskan banyak aspek kreativitas kognitif,
produktivitas, dan adaptivitas. Belajar dengan analogi merupakan faktor
penting untuk adaptivitas manusia tanpa input data yang besar. Sedangkan
menurut Erzsébet Antal (2004) menjelaskan bahwa penalaran analogi dalam
arti lebih luas, dapat diartikan sebagai penalaran yang berdasarkan kesamaan,
sedangkan penalaran analogi dalam arti sempit diartikan sebagai penalaran
tentang hubungan antara unsur-unsur kesamaan.
Penalaran analogi menurut Joseph (1989) adalah proses mendapatkan
dan mengadaptasi penyelesaian lama untuk menyelesaikan masalah baru.
Kerja dalam penalaran analogi lebih menekankan pemetaan masalah sumber
ke masalah target. Penalaran analogi memiliki empat tahapan utama, yaitu:
(1) representasi masalah, (2) pencarian, (3) pemetaan dan (4) adaptasi
prosedural. Representasi masalah adalah bagian penting dalam penalaran
analogi. Representasi masalah yang berbeda tergantung pada seberapa baik
mereka memahami domain masalah. Kemampuan dalam menafsirkan
masalah dapat meningkatkan efektivitas pemecahan masalah.
Setelah representasi masalah, tahapan berikutnya yaitu pencarian.
Pencarian adalah mungkin diperlukan untuk menemukan keidentikkan dalam
menyelesaikan masalah target. Tahapan yang ketiga yaitu pemetaan,
pemetaan adalah proses memilih dan menyalin informasi yang identik
darimasalah sumber ke masalah target. Pemetaan menetapkan korespondensi
antara domain pengetahuan yang mengandung beberapa kesamaan. Tahapan
terakhir yaitu adapatasi prosedural, adaptasi prosedural adalah modifikasi
elemen informasi yang telah dipetakan jika terdapatanalogi inkonsisten.
Menurut Poespoprodjo dan Gilarso (1999: 242) Pikiran itu berangkat
dari suatu kejadian khusus ke sesuatu kejadian khusus lainnya yang semacam

iii
dan menyimpulkan bahwa yang benar pada yang satu juga akan benar pada
yang lain. Maksudnya analogi adalah suatu proses penalaran yang bertolak
dari dua peristiwa khusus yang mirip satu sama lain, kemudian
menyimpulkan bahwa apa yang berlaku untuk suatu hal akan berlaku pula
untuk hal yang lain hal ini dipertegas menurut Analogi pada dasarnya
membandingkan dua hal, dan mengambil kesamaan dari dua hal tersebut
(Karomani,2009: 112). Contoh:
Sheila berwajah putih karena memakai bedak padat.
Keysia juga ikut memakai bedak padat agar berwajah putih.
Dari contoh di atas Keysia menggunakan penalaran analogi induktif
karena, ia menarik simpulan jika memakai bedak padat maka wajahnya akan
putih seperti Sheila.
Adapun analogi berkaitan dengan kreativitas intelektual dalam dalam
eksplanasi sejarah berpotensi menimbulkan kekeliruan,maka dipertegas oleh
(Syamsuddin,2007:220) Analogi, meskipun suatu alat untuk menjelaskan
peristiwa sejarah, kedudukannya hanya alat bantu (auxiliary) dalam
pembuktian. Contoh :
G30/S/PKI alat razim Orde Baru.
Orde baru juga memakai G/30/S/PKI.
Hal diatas Analogi tersebut dapat terlihat salah satunya pada peristiwa
doktrin politik pada masa razim orde baru diantaranya tercantum dalam
penulisan buku teks sejarah ( peristiwa G30/S/PKI)
B. Macam-Macam Analogi
Mundiri (2010 : 159-160) mengklasifikasikan analogi menjadi dua
macam, yaitu :
1. Analogi Induktif
Analogi induktif yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan
prinsipal yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan
bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena
kedua. Contoh analogi induktif dalam matematika misalnya persegi
panjang pada bidang datar mempunyai kesamaan dengan balok pada

iv
bangun ruang. Sisi – sisi persegi panjang memiliki kemiripan sifat dengan
sisi – sisi pada balok, yaitu sisi yang berhadapan pada persegi panjang
maupun balok adalah sama panjang.
2. Analogi Deklaratif
Analogi deklaratif atau analogi penjelas yaitu analogi yang digunakan
untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau
masih samar, dengan sesuatu hal lain yang sudah di kenal. Sejak zaman
dahulu analogy deklaratif merupakan cara yang amat bermanfaat untuk
menjelaskan masalah yang hendak diterangkan.
C. Cara Menilai Analogi
Sebagaimana generalisasi, keterpercayaannya tergantung kepada
terpenuhi tidaknya alay-alat ukur yang telah kita ketahui, maka demikian pula
analogi. Untuk mengukur derajat keterpercayaannya sebuah analogi dapat
diketahui dengan alat berikut :
1. Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogikan. Semakin besar
peristiwa sejenis yang dianalogikan, semakin besar pula taraf
kepercayaannya. Apabila pada suatu ketika saya mengirimkan baju saya
pada seorang tukang penatu dan ternyata hasilnya tidak memuaskan, maka
atas dasar analogi, saya bisa menyarankan kepada kawan saya untuk tidak
mengirimkan pakaian kepada tukang penatu tadi.. analogi saya menjadi
lebih kuat setelah B kawan saya juga mendapat hasil yang menjengkelkan
atas bajunya yang di kirim ke tukang penatu yang sama.
2. Sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar analogi. Ambillah
contoh yang telah kita sebut, yaitu tentang sepatu yang telah kita beli pada
sebuah toko. Bahwa sepatu yang baru saja kita beli tentu akan awet dan
enak di pakai. Analogi ini menjadi kuat lagi misalnya diperhitungkan juga
persamaan harganya, mereknya, dan bahannya.
3. Sifat dari analogi yang kita buat. Apabila kita memiliki mobil dan satu liter
bahan bakarnya dapat menempuh 10 km, kemudian kita menyimpulkan
bahwa mobil B yang sama dengan mobil kita akan bisa menpuh jarak 10
km setiap liternya, maka analogi demikian cukup kuat. Analogi ini akan

v
lebih kuat jika kita mengatakan bahwa mobil B akan menempuh jarak 8
km setiap bahan bakarnya, dan menjadi lemah jika kita mengatakan bahwa
mobil B akan dapat menempuh 15 km setiap liter bahan bakarnya. Jadi
semakin rendah taksiran yang kita analogikan semakin kuat analogi itu.
4. Mempertimbangkan ada tidaknya unsure-unsur yang berbeda pada
peristiwa yang dianalogikan. Semakin banyak pertimbangan atas unsure-
unsurnya yang berbeda semakin kuat keterpercayaan analogikanya.
Konklusi yang kita ambil bahwa Zaini pendatang baru di universitas X
akan menjadi sarjana yang ulung karena beberapa tamatan dari universitas
tersebut juga merupakan sarjana ulung. Analogi ini menjadi menjadi lebih
kuat jika kita mempertimbangkan juga perbedaan yang ada pada para
lulusan seblumnya. A, B, C, D dan E yang mempunyai latar belakang yang
berbeda dalam ekonomi, pendidikan SLTA, daerah, agama, pekerjaan
orang tua toh semuanya adalah sarjana yang ulung.
5. Relevan dan tidaknya masalah yang dianalogikan. Bila masalah yang
dianalogikan itu relevan, maka semakin kuat analogi itu. Bila tidak,
analoginya tidak kuat dan bahkan bisa gagal. Analogi yang relevan
biasanya terdapat pada peristiwa yang mempunyai hubungan kausal.
Misalnya, kita tahu bahwa sambungan rel kereta api dibuat tidak rapat
untuk menjaga kemungkinan mengembangnya. Bila kena panas, rel tetap
pada posisinya. Maka ketika hendak membangun rumah, kita menyuruh
tukang untuk memberikan jarak pada tiap sambungan besi pada rangka
rumah. Disini kita hanya mendasarkan pada suatu hubungan kausal bahwa
karena besi memuai bila kena panas, maka jarak yang dibuat antara dua
sambungan besi akan menghindarkan bangunan dari bahaya melengkung.
Analogi yang mendasarkan pada suatu hal yang relevan jauh lebih
kuat daripada analogi yang mendasarkan pada selusin persamaan yang tidak
relevan. Analogi yang relevan biasanya terdapat pada peristiwa yang
mempunyai hubungan kausal. Meskipun hanya mendasarkan pada satu atau
dua persamaan, analogi ini cukup terpercaya kebenarannya.
D. Analogi yang Pincang

vi
Meskipun analogi merupakan corak penalaran yang popular, namun
tidak semua penalran analogi merupakan penalaran induktif yang benar. Ada
masalah yang tidak memenuhi syarat atau tidak dapat di terima, meskipun
sepintas sulit bagi kita menunjukkan kekeliruannya. Kekeliruan ini terjadi
karena membuat persamaan yang tidak tepat. Kekeliriau pertama adalah
kekeliruan pada analogi induktif contohnya adalah;
“Saya heran mengapa orang takut bepergian dengan pesawat
terbang karena sering terjadi kecelakaan pesawat terbang dan
tidak sedikit meminta korban. Bila demikian sebaiknya orang
jangan tidur di tempat tidur karena hampir semua manusia
menemui ajalnya di tempat tidur.”
Di sini naik pesawat terbang ditakuti karena sering menimbulkan
petaka yang menyebabkan maut. Sedangkan orang tidak takut tidur di tempat
tidur karena jarang sekali atau boleh dikatakan tidak pernah ada orang yang
menemui ajalnya karena kecelakaan tempat tidur. Orang meninggal di tempat
tidur bukan disebabkan kecelakaan tempat tidur tetapi karena penyakit yang
diidapnya. Jadi di sini orang menyamakan dua hal yang sebenarnya berbeda.
“Antara kita dan binatang mempunyai persamaan-persamaan
yang sangat dekat. Binatang bernafas, kita juga bernafas,
binatang merasa kita juga merasa, binatang kawin kita juga
kawin, binatang tidur dan istirahat kita juga tidur dan istirahat.
Jadi dalam keseluruhan binatang adalah sama dengan kita.”
Di sini si pembicara hendak meyimpulkan bahwa manusia adalah
sama dengan binatang dengan mempertimbangkan persamaan-persamaan
yang ada pada keduanya, padahal yang disamakan itu bukan masalah yang
pokok.
“Kita seharusnya menjauhkan diri dari kebodohan. Karena
semakin banyak belajar semakin banyak hal yang tidak
diketahui, jadi semakin banyak kita belajar kita semakin
bodoh. Karena itu sebaliknya kita tidak usah belajar.”

vii
Kebodohan hanya dapat dihindari dengan belajar. Meskipun dengan
belajar kita menjadi tahu ketidaktahuan kita tetapi toh kita menjadi tahu
banyak hal. Tanpa belajar kita tidak akan mengetahui banyak hal dan dengan
belajar kita dapat mengetahui beberapa hal. Kesalahan si pembicara di sini
karena menyamakan arti ‘kebodohan’ yang harus kita tinggalkan dan
‘kebodohan’ sebagai sesuatu yang tidak bisa kita hindari.
Kekeliruan kedua adalah kekeliruan pada analogi deklaratif, misalnya :
“Negara kita sudah sangat banyak berhutang. Dengan
pembangunan lima tahun kita harus menumpuk hutang terus-
menerus dari tahun ke tahun. Pembangunan lima tahun ini
memaksa rakyat dan bangsa Indonesia seperti naik perahu yang
sarat yang semakin tahun semakin sarat (dengan utang) dan
akhirnya tenggelam. Saudara-saudara, kita tidak ingin
tenggelam dan mati bukan? Karena itu kita lebih baik tidak naik
kapal sarat itu. Kita tidak perlu melaksanakan pembangunan
lima tahun.”
Di sini seseorang tidak setuju dengan pembangunan lima tahun yang sedang
dilaksanakan dengan analogi yang pincang. Memang negara kita perlu
melakukan peminjaman untuk membangun. Pinjaman itu digunakan
seproduktif mungkin sehingga dapat meningkatkan devisa negara. Dengan
demikian penghasilan per kepala akan meningkat disbanding sebelumnya,
demikian seterusnya dari tahu ke tahun sehingga peningkatan kesejahteraan
rakyat akan tercapai. Pembicara di sini hanya menekankan segi utangnya saja,
tidak memperhitungkan segi-segi positif dari kebijaksanaan menempuh
pinjaman.
“Khutbah itu tidak perlu kita terjemahkan dalam bahasa kita.
Biarlah dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab. Bila
diterjamahkan dalam bahasa kita tidak bagus lagi sebagaimana
kopi susu yang dicampur terasi. Kopi susu sendiri sudah lezat
dan bila kita campur dengan terasi tidak bisa di minum bukan?
Karena itulah saya tidak pernah berkhutbah dengan terjemahan

viii
karena saya tahu saudara semua tidak ingin minum kopi susu
yang dicampur dengan terasi.”
Di sini pembicaraan yang dikritik khutbahnya karena selalu menggunakan
bahasa Arab membuat pembelaan bahwa khutbah dengan terjemahan adalah
sebagaimana kopi susu dicampur terasi. Sekilas pembelaan ini seperti benar,
tetapi bila kita amati mengandung kekeliruan yang serius. Analogi yang
dibuatnya timpang karena hanya karena mempertimbangkan kedudukan
bahasa Arab dan bahasa terjemahan. Padahal ada yang lebih penting dari
sekedar itu yang harus diperhatikan yaitu: pemahaman pendengar. Apakah
dengan bahasa Arab tujuan khutbah menyampaikan pesan bisa dimengerti
oleh sebagian besar pendengar? Alasan pembicara di atas dapat di bantah
dengan analogi yang tidak pincang, misalnya:
“Berkhutbah dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh para
pendengarnya sama dengan member kalung emas pada seekor
ayam. Bukankah ayam lebih suka diberi beras daripada diberi
kalung. Ayam akan memilih beras sebagaimana pendengar tentu
akan memilih khutbah dengan bahasa yang dimengertinya.”
Analogi yang pincang karena hal-hal tersebut di atas amat banyak
digunakan dalam perdebatan maupun dalam propaganda untuk menjatuhkan
pendapat lawan maupun mempertahankan kepentingan sendiri. Karena
sifatnya seperti benar, analogi ini sangat efektif pengaruhnya terhadap
pendengar.

1. Analisis Kritis
Secara umum, analogi merupakan proses penalaran dengan cara
mencari persamaan di antara dua hal yang berbeda. Analogi banyak
dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Sebagai
penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaan. Secara tidak
sadar, sebenarnya kita sangat sering menggunakan analogi. Tidak sedikit
orang yang menggunakan analogi dalam memberikan penjelasan, karena
dengan analogi maksud dan tujuan lebih mudah untuk diterima. Begitu

ix
juga dalam pembelajaran. Seringkali pendidik menggunakan analogi
dalam menyampaikan pelajaran kepada peserta didik.
Sebelum saya menyusun makalah ini, saya kurang menyadari akan
penggunaan analogi yang kerap kali digunakan. Kemudian ketika saya
menyusun makalah berjudul Analogi ini, saya menjadi lebih tahu
mengenai analogi dan macam-macamnya. Semenjak itulah saya mencoba
memperhatikan dosen-dosen saya dengan seksama ketika mereka
berbicara, menjelaskan materi kuliah, ternyata tidak sedikit dosen yang
menggunakan analogi.
Setelah jauh memahami analogi ternyata tidak semua analogi itu bisa
diterima atau dipercaya begitu saja. Oleh karena analogi ini banyak
dimanfaatkan dalam sebuah penjelasan dan sangat efektif pengaruhnya
terhadap pendengar, maka perlu diketahui mana analogi yang sesuai aturan
dan mana analogi yang timpang. Analogi yang timpang, dalam beberapa
buku disebut sebagai analogi palsu atau kesesatan analogi atau analogi
yang pincang. Kekeliruan dalam analogi disebabkan oleh beberapa faktor,
baik faktor subyektif maupun faktor obyektif. Faktor subyektif itu terletak
pada diri manusia yang berpikir dan berupa kondisi-kondisi tertentu, yang
bersifat pribadi dan tidak disadari. Misalnya karena tergesa-gesa,
kecerobohan, prasangka, atau terlalu memaksakan dalam membuat
analogi. Sedangkan faktor obyektifnya ada beberapa macam. Faktor
obyektif ini dapat digunakan sebagai alat ukur probabilitas suatu
analogi. Pertama, Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang
dianalogikan. Kedua, Sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar
analogi. Ketiga, Sifat dari analogi yang kita buat. Keempat,
Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada
peristiwa yang dianalogikan. Kelima, Relevan dan tidaknya masalah yang
dianalogikan.
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut maka bisa diketahui
apakah analogi yang dihasilkan cukup kuat untuk dipercaya atau malah
sebaliknya, analogi yang dihasilkan adalah analogi yang pincang.

x
Akhirnya, perlu diketahui bahwasanya pengetahuan mengenai
analogi penting untuk dikaji dalam rangka menghindari kekeliruan dalam
membuat analogi. Karena analogi yang salah bisa menyebabkan
pemahaman yang salah terhadap fenomena yang dianalagikan. Analogi
yang pincang amat banyak digunakan dalam perdebatan maupun dalam
propaganda untuk menjatuhkan pendapat lawan maupun mempertahankan
kepentingan sendiri. Karena sifatnya seperti benar, analogi ini sangat
efektif pengaruhnya terhadap pendengar.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam membuat sebuah perbandingan, orang mencari persamaan dan


perbedaan di antara hal-hal yang diperbandingkan. Jika dalam perbandingan
itu orang hanya memperhatikan persamaannya saja tanpa melihat

xi
perbedaannya, maka timbullah analogi, persamaan di antara dua hal yang
berbeda. Analogi adalah suatu perbandingan yang mencoba membuat suatu
gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan gagasan lain
yang mempunyai hubungan dengan gagasan yang pertama. Ada dua macam
analogi, yaitu analogi induktif dan analogi deklaratif. Untuk menguji apakah
analogi yang dihasilkan cukup kuat untuk dipercaya, dapat kita gunakan
beberapa analisa berikut. Pertama, Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang
dianalogikan. Kedua, Sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar
analogi. Ketiga, Sifat dari analogi yang kita buat. Keempat,
Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada peristiwa
yang dianalogikan. Kelima, Relevan dan tidaknya masalah yang dianalogikan.
Analogi yang pincang amat banyak digunakan dalam perdebatan
maupun dalam propaganda untuk menjatuhkan pendapat lawan maupun
mempertahankan kepentingan sendiri. Karena sifatnya seperti benar, analogi
ini sangat efektif pengaruhnya terhadap pendengar. Oleh karena itu,
pengetahuan mengenai analogi penting untuk dikaji dalam rangka
menghindari kekeliruan dalam membuat analogi. Karena analogi yang salah
bisa menyebabkan pemahaman yang salah terhadap fenomena yang
dianalagikan.
B. Saran
Demikianlah pembahasan mengenai analogi. Hendaknya para pembaca
lebih teliti dalam membuat suatu analogi agar tidak diperoleh analogi yang
pincang. Makalah ini tidak lebih hanyalah suatu kumpulan pemikiran dan teori
dari berbagai sumber. Kami menyadari malakah ini masih jauh dari sempurna,
maka saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga
bermanfaat untuk para pembaca.

xii
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:


Balai Pustaka.
De Bono, Edward. 1991. Berpikir Lateral. Jakarta: Erlangga
Lailiyah, Siti. (2014, 1 Desember). Penalaran Analogi: Tinjauan Tipe dan
Komponennya. Dikutip 31 Oktober 2019 dari Academia:
https://www.academia.edu/33269288/Penalaran_Analogi_Tinjauan_Tipe_
Dan_Komponennya.
Mundiri. 2010. Logika. Jakarta: Rajawali Pers.

xiii
Nurhidayah, Ajeng Dyta. 2016. Deskripsi Kemampuan Berpikir Analogi.
Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Nurmala, Siska. (2017, 30 Oktober). Filsafat Ilmu: Logika Menalar dan
Silogisme. Dikutip 31 Oktober 2019 dari Scribd:
https://id.scribd.com/document/362991456/Makalah-Filsafat-Ilmu.
Poedjawijatna, R. 2015.Logika Filsafat Berfikir. Rineka Cipta: Jakarta.
Poespoprodjo, W. & T. Gilarso. 1999. Logika Ilmu Menalar. Pustaka Grafika:
Bandung.

xiv

Anda mungkin juga menyukai