Anda di halaman 1dari 25

TEORI BELAJAR PIAGET DAN IMPLEMENTASINYA DALAM

PEMBELAJARAN MATEMATIKA SD MATERI GEOMETRI

Disusun oleh:
Kelompo 1 :
1. Firmanila Kurnia Ulfa (4101417006)
2. Erika Dwi Anggraeni (4101417007)
3. Khosi’atun Khoiriyah (4101417019)
4. Dewi Ayu Winda Sari (4101417022)
5. Retno Fatmanola (4101417038)
Rombel : A – Pendidikan Matematika 2017

JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2019
KATA PENGANTAR

Kami mengucapkan puji dan syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa
dengan segala rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
yang berjudul “Teori Belajar Piaget dan Implementasinya dalam
Pembelajaran Matematika SD Materi Geometri”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar-dasar
Proses Pembelajaran Matematika 1.Tujuan makalah ini adalah untuk memberikan
pengetahuan kepada para mahasiswa tentang belajar dan pembelajaran menurut
teori belajar Piaget.
Kami sangat menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, untuk itu segala saran dan masukan demi perbaikan makalah ini
sangat kami harapkan. Terima kasih.

Semarang, Oktober 2019


Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................I
KATA PENGANTAR.............................................................................................II
DAFTAR ISI..........................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................3
C. Tujuan.............................................................................................................3
D. Manfaat...........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Belajar Piaget........................................................................................4
B. Konsep Teori Belajar Piaget...........................................................................5
C. Implementasi Teori Belajar Piaget dalam Pembelajaran Matematika Materi
Geometri Di Sekolah Dasar……..................................................................16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................20
B. Saran.............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tingkat perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai berbagai
ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini tidak lepas dari peranan
matematika. Matematika bukan hanya untuk keperluan perhitungan, tetapi
lebih dari itu matematika telah banyak digunakan untuk pengembangan
berbagai ilmu pengetahuan lain, seperti yang dikemukakan oleh Soedjadi
bahwa matematika sebagai salah satu ilmu dasar, baik aspek terapannya
maupun aspek penalarannya mempunyai peranan yang penting dalam upaya
penguasaan ilmu dan teknologi (Soedjadi, 2004 : 28). Mengingat peranan
matematika yang begitu besar, maka matematika perlu dikuasai oleh segenap
warga Indonesia dalam bentuk penerapannya maupun pola pikirnya. Untuk
mewujudkan hal di atas, matematika diajarkan sebagai salah satu mata
pelajaran di setiap jenjang pendidikan. Matematika dikenal sebagai
matematika sekolah (school mathematics).
Menurut Soedjadi (2004 : 28) matematika sekolah adalah unsur-unsur
atau bagian-bagian matematika yang dipilih atas dasar makna kependidikan
yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian peserta didik, dan
tuntutan perkembangan yang nyata dari lingkungan hidup yang senantiasa
berkembang seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Sesuai dengan
pengertian ”matematika sekolah”, sasaran pengajaran matematika sekolah
diupayakan tidak hanya siswa terampil menggunakan matematika tetapi juga
harus ada peningkatan pada aspek kognitif dan aspek afektifnya.
Geometri merupakan salah satu pokok bahasan matematika sekolah.
Dalam geometri dibahas objek-objek yang berhubungan dengan ruang dari
berbagai dimensi. Di samping menonjol pada objek yang abstrak dan struktur
berpola deduktif, geometri juga menonjol pada teknik-teknik geometri yang
efektif dalam membantu penyelesaian problema dari banyak cabang
matematika, sehingga sering dikatakan bahwa geometri esensial bagi setiap
pokok bahasan matematika sekolah pada setiap jenjang pendidikan. Sesuai
dengan pengajaran matematika, tujuan pengajaran geometri di setiap jenjang

1
pendidikan dasar mengacu pada penataan nalar dan pembentukan sikap, juga
pada penerapan dan keterampilan geometri. Dengan kata lain, tujuan
pengajaran geometri adalah menumbuhkembangkan lima kemampuan dasar
siswa, yaitu: visual, verbal, menggambar, berlogika dan penerapan.
Pengenalan geometri di sekolah dasar (SD) mempunyai tujuan dasar untuk
memberikan suatu kesempatan kepada murid untuk menganalisis lebih jauh
dunia tempat hidupnya, serta memberikan sejak dini landasan berupa konsep-
konsep dasar dan peristilahan yang diperlukan untuk studi lebih lanjut.
Pemahaman konsep dasar sangat menentukan keberhasilan belajar
selanjutnya.
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa masih banyak ditemui
penguasaan geometri siswa baik di SD maupun di sekolah menengah. Hal ini
disebabkan kesulitan siswa dalam memahami konsep/prinsip geometri dan
pemahaman konsep yang masih mengandung miskonsepsi. Miskonsepsi
adalah ketidaksesuaian antara pengetahuan awal siswa tentang suatu konsep
dengan konsep yang akan dipelajarinya. Miskonsepsi siswa yang keliru sering
ditemukan dalam geometri di SD antara lain persegi disebut kubus, bangun
jajar genjang dianggap sebagai persegi dan sebagainya. Ini terjadi karena
ketidakmampuan siswa dalam mengenal konsep bangun datar segiempat dan
terbatasnya pengetahuan siswa tentang konsep segiempat itu sendiri.
Banyak faktor yang dijadikan sebagai penyebab rendahnya
penguasaan siswa tentang fakta dan konsep geometri. Salah satu faktor
penyebabnya menurut Soejono adalah kemampuan intelektual siswa (2010:
14). Selanjutnya berdasar pada teori Piaget, menurut Orthon (1993: 65)
mengatakan bahwa anak tidak siap menerima matematika jika ia belum
mencapai tahap perkembangan intelektual yang sesuai dengan tuntutan materi
yang akan dipelajarinya.
Berdasarkan hal tersebut, berikut ini dibahas tentang penerapan teori
Piaget dalam pembelajaran geometri bangun datar. Bahasan yang
dikemukakan meliputi konsep dalam matematika, teori belajar dari Piaget,
dan penerapan teori Piaget terhadap pembelajaran geometri bangun datar di
sekolah dasar.

2
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu teori belajar Piaget?
2. Bagaimana konsep dari teori belajar Piaget?
3. Bagaimana implementasi teori belajar Piaget dalam pengembangan
pembelajaran matematika?

C. TUJUAN
1. Menjelaskan pengertian dari teori belajar Piaget.
2. Mengetahui konsep teori belajar Piaget.
3. Mengetahui implementasi teori belajar Piaget dalam pengembangan
pembelajaran matematika.

D. MANFAAT
1. Bagi pembaca menambah wawasan tentang teori belajar Piaget dan
implementasinya dalam pengembangan pembelajaran matematika.

3
BAB II
PEMBAHASAN

Jean Piaget merupakan seorang psikolog dan pendidik berkebangsaan


Swiss, terkenal karena teori pembelajaran berdasarkan tahap yang berbeda-beda
dalam perkembangan intelegensi anak. Jean Piaget lahir pada 9 Agustus 1896 di
Neuchatel, Swiss. Ia adalah anak seorang sejarawan. Masa kanak-kanak Jean
Piaget banyak dipengaruhi oleh apa yang ia lihat pada ayahnya, seorang pria yang
berdedikasi pada penelitian dan pekerjaannya. Karenanya, sejak kanak-kanak dia
sangat suka belajar, terutama dalam hal ilmu pengetahuan alam.

A. TEORI BELAJAR PIAGET


Menurut Piaget, Al Rasyidin & Wahyudin (2011:33) perkembangan
kognitif merupakan suatu proses genetika, yaitu proses yang didasarkan atas
mekanisme biologis, yaitu perkembangan sistem syaraf. Dengan
bertambahnya umur maka susunan syaraf seseorang akan semakin kompleks
dan memungkinkan kemampuannya akan semakin meningkat. Jean Piaget
meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927
sampai 1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget
menyatakan bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang secara
kuantitatif, tetapi juga berbeda secara kualitatif jika dibandingkan dengan
orang dewasa. Piaget juga menyatakan bahwa perubahan umur sangat
mempengaruhi kemampuan belajar individu.
Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif yang cukup
dominan selama beberapa dekade. Dalam teorinya Piaget membahas

4
pandangannya tentang bagaimana anak belajar. Menurut Jean Piaget, dasar
dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial
dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial.
Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu
terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan
sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak
dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan
pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain,
seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu
yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif.
Proses belajar haruslah di sesuaikan dengan perkembangan saraf
seorang anak, dengan bertambahnya umur maka susunan saraf seorang akan
semakin kompleks dan memungkinkan kemampuannya semakin meningkat.
Karena itu proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap
perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Perjenjangan ini bersifat
hierarki, yaitu melalui tahap-tahap tertentu sesuai dengan umurnya.
Seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu yang diluar kemampuan
kognitifnya.

B. KONSEP TEORI BELAJAR PIAGET


Aspek Perkembangan Intelektual
Dalam perkembangan intelektual ada tiga aspek yang diteliti oleh Piaget
yaitu struktur, isi, dan fungsi.
a. Aspek struktur
Ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental
dan perkembangan berfikir logis anak-anak. Tindakan-tindakan menuju
pada perkembangan operasi-operasi, dan selanjutnya menuju pada
perkembangan struktur-struktur. Struktur yang juga disebut skemata atau
juga biasa disebut dengan konsep, merupakan organisasi mental tingkat
tinggi. Struktur intelektual terbentuk pada individu waktu ia perlu
interaksi dengan lingkungannya. Struktur yang terbentuk lebih
memudahkan individu menghadapi tuntutan yang makin meningkat dari

5
linkungannya. Dengan  diperolehnya suatu skemata berarti telah terjadi
suatu perubahan dalam perkembangan intelektual anak.
b.  Aspek isi
Yang  dimaksud isi di sini ialah pola perilaku anak khas yang
tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau
situasi yang dihadapinya. Perhatian Piaget tertuju pada isi pikiran anak,
misalnya perubahan anak dalam kemampuan penalaran semenjak kecil
hingga besar, konsepsi anak tentang alam sekitarnya yaitu pohon-pohon,
matahari, bulan dan konsepsi anak tentang beberapa peristiwa alam
seperti bergeraknya awan dan sungai. Kemudian perhatian ditujukan
lebih dalam lagi yaitu analisis proses-proses yang melandasi dan
menentukan isi pikiran anak itu.
c. Aspek fungsi
Fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat
kemajuan intelektual. Perkembangan intelektual didasarkan pada dua
fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan organisme
kemampuan untuk mensistematikan atau mengorganisasikan proses-
proses fisik atau proses-proses psikologis menjadi sistem yang teratur
dan berhubungan. Dengan organisasi, struktur fisik dan struktur
psikologis diintegrasikan menjadi struktur tingkat tinggi. Fungsi kedua
yang melandasi perkembangan intelektual adalah adaptasi. Semua
organisme lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau
beradaptasi pada lingkungan. Cara adaptasi ini berbeda antar organisme
yang satu dengan organisme yang lainnya. Adaptasi terhadap lingkungan
dilakukan melalui dua peroses yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam
proses asimilasi seseorang menggunakan stuktur atau kemampuan yang
sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapi dalam
lingkungannya. Dalam proses akomodasi seseorang memerlukan
modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respon terhadap
tantangan lingkungan.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam

6
skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang
sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan
kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan
perubahan/pergantian skema melainkan perkembangan skema. Asimilasi
adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru.
Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok
dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu. Dalam menghadapi rangsangan
atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan
pengalaman yang baru dengan skema yang telah dipunyai. Pengalaman
yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah
ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi.
Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara
asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak
dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah
ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidakseimbangan itu maka
terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami
perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual
ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan
dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi
kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi
daripada sebelumnya (equilibrasi).

7
Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif
Tahap-tahap perkembangan kognitif dalam teori Piaget mencakup
tahap sensorimotor, preoperasonal, dan operasional.

Operasional
Formal
Operasional
Kongkrit
Tahap Perkembangan

Intuitif

Pra-operasional
Simboli
s
Sensori
Motori

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15+
Usia Kronologis

a. Tahap Sensorimotorik. (0-2 tahun)


Pada tahap ini bayi menyusun pemahaman dunia dengan
mengordinasikan pengalaman indera (sensori) mereka (seperti melihat dan
mendengar) dengan gerakan motorik (otot) mereka (menggapai,
menyentuh). Pada awal tahap ini, bayi hanya memperlihatkan pola
reflektif untuk beradaptasi dengan dunia dan dan menjelang akhir tahap ini
bayi menunjukkan pola sensorimotorik yang lebih kompleks.
Selama dalam tahap ini, pengetahuan bayi tentang dunia adalah
terbatas pada persepsi yang diperoleh dari penginderaannya dan kegiatan
motoriknya. Perilaku yang dimiliki masih terbatas pada respon motorik
sederhana yang disebabkan oleh rangsangan penginderaan. Anak
menggunakan keterampilan dan kemampuannya yang dibawa sejak lahir,
seperti melihat, menggenggam dan mendengar untuk mempelajari
lingkungannya.
Piaget membagi tahap sensorimotorik menjadi sub-tahap sebagai
berikut:

8
Sub-tahap Usia Deskripsi
Reflek sederhana Lahir Koordinasi penginderaan dan
sampai tindakan melalui perilaku refleksi
1 bulan
Tahap reaksi 1-4 Koordinasi penginderaan dua jenis
sirkulasi primer dan bulan skema, yaitu: kebiasaan (refleks) dan
kebiasaan pertama reaksi melingkar primer (reduksi
peristiwa yang pada mulanya terjadi
karena kebetulan). Fokus utamanya
masih terdapat tubuh bayi.
Masa reaksi sirkuler 4-8 Perkembangan kebiasaan. Bayi
sekunder bulan menjadi berorientasi pada objek,
bergerak keluar dari kebiasaan yang
mengasikkan, dan mengulang-ulang
kegiatan yang membawa hasil yang
menarik dan menyenangkan.
Koordinasi tahap 8-12 Koordinasi penglihatan dan sentuhan
sirkuler sekunder bulan (koordinasi mata dengan tangan), dan
koordinasi skema dengan kesengajaan
dalam bertindak.
Reaksi sirkuler 12-18 Bayi dibangkitkan minatnya oleh
tertier, baru, dan bulan karakteristik objek dan oleh beberapa
ingin tahu benda yang dapat dijadikan sebagai
objek, dan mencoba perilaku baru.
Internalisasi skema 18-24 Bayi mengembangkan kemampuan
bulan menggunakan simbol primitif dan
membentuk representasi mental yang
abadi.

Pada akhir periode sensorimotorik, objek terpisah dari diri sendiri


dan bersifat permanen. Objek permanen adalah pemahaman dimana
objek itu terus-menerus ada walaupun objek itu tidak dapat dilihat,
didengar, atau bahkan disentuh. Perolehan pengetahuan tentang objek
permanen itu merupakan prestasi yang sangat penting bagi bayi.

9
b. Praoperasional (2-7 tahun)
Tahap pemikiran ini lebih bersifat simbolis, egoisentries dan
intuitif, sehingga tidak melibatkan pemikiran operasional. Pemikiran
pada tahap ini terbagi menjadi dua sub-tahap, yaitu simbolik dan intuitif.
 Sub-tahap Simbolis (2-4 tahun)
Pada tahap ini anak secara mental sudah mampu
mempresentasikan objek yang tidak nampak dan penggunaan bahasa
mulai berkembang ditunjukkan dengan sikap bermain, sehingga
muncul egoisme dan animisme. Egosentris ini terjadi ketika anak
tidak mampu membedakan antara perspektif yang dimiliki dengan
perspektif yang dimiliki oleh orang lain. Anak-anak cenderung
mengambil pandangan tentang objek seperti yang dia lihat, dan tidak
dapat memahami pandangan orang lain pada objek yang sama.
Animisme merupakan keyakinan bahwa objek yang tidak bernyawa
adalah mampu bertindak dan memiliki kualitas seperti kehidupan.
 Sub-tahap Intuitif (4-7 tahun)
Pada tahap ini anak mulai menggunakan penalaran primitif dan
ingin tahu jawaban dari semua pertanyaan; disebut intuitif karena
anak merasa yakin akan pengetahuan dan pemahaman mereka,
namun tidak menyadari bagaimana mereka bias mengetahui cara-cara
apa yang mereka ingin ketahui. Mereka mengetahui tetapi tanpa
menggunakan pemikiran rasional.
c. Tahap Operasional Kongkrit (7-11 tahun)
Pada tahap ini anak mampu mengoperasikan berbagai logika,
namun masih dalam bentuk benda konkrit. Penalaran logika
menggantikan penalaran intuitif, namun hanya pada situasi konkrit dan
kemampuan untuk menggolong-golongkan sudah ada namun belum bisa
memecahkan masalah abstrak. Sebagai contoh, untuk menguji kekekalan,
anak diminta mengamati volume air yang berada di dalam bentuk yang
berbeda, air dituang ke dalam gelas, kemudian dipindahkan ke dalam
mangkok; anak diminta berpendapat mengenai banyaknya volume air
yang berada di dalam gelas atau mangkok. Pemikiran anak pada tahap

10
pengoperasional hanya berfokus pada tinggi atau lebarnya tempat, namun
untuk pemikiran anak pada tahap ini sudah mengkoordinasikan ke dua
dimensi tadi, yaitu mengklasifikasikan atau membagi sesuatu menjadi
sub yang berbeda-beda dan memahami hubungannya.
Pada contoh ke dua, guru menggambar beberapa tongkat dari
ukuran yang terpanjang sampai yang terpendek. Anak diminta untuk
mengurutkan tongkat yang terpendek sampai yang terpanjang. Anak pada
tahap ini mampu melakukan, karena anak dalam berpikirnya sudah
mampu menyusun rangkaian (seriation), yakni operasi konkrit untuk
mengurutkan dimensi kuantitatif, dan pengalihan (transtivity), yakni
kemampuan untuk mengkombinasikan hubungan-hubungan secara logis
guna memahami kesimpulan tertentu. Seperti pada contoh tadi, siswa
mampu memahami perbandingan yang ada antara panjang dan pendek.
d. Tahap Operasional Formal (7-15 tahun)
Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak, idealis dan
logis. Pemikiran operasional formal tampak lebih jelas dalam pemecahan
problem verbal, seperti anak dapat memecahkan problem walau disajikan
secara verbal (A=B dan B=C). Anak juga mampu berpikir spekulatif
tentang kualitas ideal yang mereka inginkan dalam diri mereka dan diri
orang lain. Pemikiran ini bias menjadi fantasi, sehingga mereka
seringkali menunjukkan keinginan untuk segera mewujudkan cita-
citanya. Disamping itu anak sudah mampu menyusun rencana untuk
memecahkan masalah dan secara sistematis menguji solusinya.
Kemampuan berpikir seperti ini oleh Piaget disebut sebagai hypothetical-
deductive-reasoning, yakni mengembangkan hipotesis untuk
memecahkan problem dan menarik simpulan secara sistematis.

Faktor-faktor Penunjang Perkembangan Intelektual


Berdasarkan hasil studinya, Piaget mengemukakan bahwa ada 5 faktor yang
mempengaruhi transisi tingkat perkembangan tingkat intelektual yaitu:
1. Kedewasaan

11
Perkembangan sistem saraf sentral, otak, koordinasi motorik, dan
manifestasi fisik lainnya memengaruhi perkembangan kognitif. Walaupun
kedewasaan merupakan faktor penting dalam perkembangan intelektual
namun kedewasaan tidak cukup menerangkan perkembangan intelektual
ini. Seandainya dapat menjelaskan perkembangan intelektual maka peranan
guru sangat kecil dalam memengaruhi perkembangan intelektual anak.
2. Pengalaman Fisik
Interaksi dengan lingkungan fisik digunakan anak untuk
mengabstraksi berbagai sifat fisik dari benda-benda. Jika seorang anak
menjatuhkan suatu benda dan menemukan bahwa benda itu pecah, atau bila
ia menempatkan benda itu dalam air kemudian melihat bahwa benda itu
terapung maka ia sudah terlibat dalam proses abstraksi, yaitu abstraksi
sederhana atau empirik. Pengalaman ini disebut pengalaman fisik, untuk
membedakannya dari pengalaman logika matematik. Akan tetapi secara
paradoks pengalaman fisik ini selalu melibatkan asimilasi pada struktur –
struktur logika matematik. Pengalam fisik ini meningkatkan kecepatan
perkembangan anak, sebab observasi benda-benda itu merangsang
timbulnya pikiran yang lebih kompleks.
3. Pengalaman Logika Matematika
Ketika seorang anak mengamati benda-benda selain pengalaman
fisik anak juga akan memperoleh pengalaman lain ketika mengkonstruk
hubungan anatara objek-objek. Misalnya anak yang sedang menghitung
berapa kelereng yang dimilikinya, dan ia menemukan sepuluh kelereng,
konsep sepuluh bukanlah sifat dari kelereng-kelereng itu melainkan suatu
konstruksi dari pikiran anak itu. Pengalamn dari konstruksi itu dan
komstruksi-konstruksi lain yang serupa disebut pengalaman logika
matematik, untuk membedakannya dari pengalaman fisik. Proses
konstruksi biasanya disebut abstraksi reflektif. Piaget membuat perbedaan
penting antara abstraksi reflektif dan empiris. Dalam abstraksi empiris,
anak memperhatikan sifat fisik tertentu dari benda dan tidak mengindahkan
hal-hal lain. Misalnya ketika ia mengabstrak warna dari suatu benda, ia
sama sekali tidak memperhatikan sifat-sifat yang lain seperti massa dan

12
dari bahan apa benda itu terbuat. Sebaliknya, abstraksi reflektif melibatkan
pembentukan hubungan-hubungan antara benda-benda. Hubungan itu,
seperti konsep sepuluh yang telah dikemukaakan di atas tidak terdapat pada
kelereng manapun atau dimana saja di alam nyata ini. Sepuluh itu hanya
terdapat dalam kepala anak yang sedag menghitung kelereng-kelereng itu.
Mungkin lebih baik digunakan istilah abstraksi konstruktif daripada istilah
abstraksi reflektif, sebab istilah itu menunjukkan bahwa abstraksi itu
merupakan suatu konstruksi sungguh-sungguh oleh pikitan.
4. Transmisi Sosial
Pengetahuan yang diperoleh anak dari pengalamn fisik diabstraksi
dari benda-benda fisi. Dalam hal pengalaman logika matematik,
pengetahuan dikonstruksi dari tindakan-tindakan anak dalam transmisi
sosial, pengetahuan itu datang dari orang lain. Dalam pengaruh bahasa,
instruksi formal, dan membaca begitu pula interaksi dengan teman-teman
dan orang-orang dewasa termasuk faktor transmisi sosial dan memegang
peranan dalam perkembangan intelektual anak.
5. Proses Keseimbangan
Proses keseimbangan untuk mencapai kembali keseimbangan
selama periode ketidakseimbangan. Keseimbangan merupakan suatu proses
untuk mencapai tingkat-tingkat berfungsi kognitif yang lebih tinggi melalui
asimilasi dan akomodasi, tingkat demi tingkat.

Bentuk-Bentuk Pengetahuan
Dalam teori Piaget, ada tiga bentuk pengetahuan-pengetahuan fisik
(physical knowledge), pengetahuan logika-matematik (logico-mathematical
knowledge), dan pengetahuan sosial (sosial knowledge) yang dapat dibedakan
menurut sumber-sumber utamanya, serta cara penstrukturannya. Tetapi, perlu
diperhatikan bahwa trikotomi ini hanya merupakan suatu perbedaan teoritis.
Dalam kenyataan psikologi anak itu, menurut Piaget, ketiga bentuk
pengetahuan ini terdapat bersama-sama, tidak terpisah-pisah, kecuali dalam
matematika murni dan logic. (Kamii, 1979).

13
Dalam membicarakan berbagai pengalaman yang merupakan faktor yang
menunjang pengembangan intelektual anak, telah disinggung sedikit tentang
ketiga macam pengetahuan ini. Sekarang akan diberikan pembahasan yang
agak lebih terurai.
1. Pengetahuan Fisik dan Pengetahuan Logika-matematik
Pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang benda-benda,
yang ada “di luar” dan dapat diamati dalam kenyataan eksternal. Mengenal
fakta, bahwa sebuah bola memantul bila dijatuhkan ke lantai, sedangkan
suatu gelas pecah bila jatuh ke lantai, merupaka pengetahuan fisik. Berat
dan warna dari suatu benda juga merupakan contoh-contoh dari
pengetahuan fisik. Sumber pengetahuan fisik terutama terdapat dalam
benda itu sendiri, yaitu dalam cara benda itu memberikan pada subjek
kesempatan-kesempatan untuk pengamatan.
Pengetahuan logika-matematik terdiri atas hubungan-hubungan yang
diciptakan subjek dan diintroduksikan pada objek-objek. Contoh suatu
hubungan ialah perbedaan antara bola merah dan bola biru. Hubungan
“perbedaan” tidak terdapat pada bola biru maupun pada bola merah,
demikian pula tidak dapat ditemukan di mana saja dalam kenyataan
eksternal. “Perbedaan” itu hanya terdapat dalam kepala anak itu yang
menempatkan kedua objek itu dalam hubungan ini, dan bila anak itu tidak
dapat menciptakan hubungan ini, perbedaan itu tidak akan ada padanya.
Anak itu dapat pula menempatkan ke dua bola itu dalam hubungan “sama”
(sebab kedua bola itu ialah bola bilyard). Kesamaan ini pun tidak terdapat
baik pada bola biru maupun pada bola merah, tetapi dala pikiran anak yang
menganggap kedua bola itu dalam hubungan “dua”, yang juga tidak
terdapat pada bola-bola itu.
2. Pengetahuan Sosial
Pengetahuan sosial, seperti fakta, bahwa hari Minggu anak-anak
tidak bersekolah, didasarkan pada perjanjian sosial, suatu penyajian atau
kebiasaan yang dibuat oleh manusia. Tidak seperti pengetahuan fisik dan
pengetahuan logika-matematik, pengetahuan sosial membutuhkan manusia.

14
Tanpa interaksi dengan manusia, tak mungkin bagi seorang anak untuk
memperoleh pengetahuan sosial.
Pengetahuan sosial dan pengetahuan fisik serupa dalam hal
keduanya merupakan pengetahuan tentang isi (content), dan bersumber
terutama dari kenyataan eksternal. Di sini dikatakan “terutama”, sebab
kedua pengetahuan itu dikonstruksi tidak langsung dari kenyataan nyata,
tetapi dari dalam melalui kerangka logika-matematik dalam berinteraksi
dengan lingkungan (Kamii, 1979 : 37). Tanpa kerangka logika-matematik,
anak tidak akan dapat mengerti perjanjian apapun, seperti ia tidak akan
dapat mengenal suatu benda kuning terbuat dari kayu sebagai sebuah janji.
Dari uraian di atas dapat terlihat, bahwa pengetahuan fisik dan
pengetahuan sosial terutama merupakan pengetahuan empiris, sedangkan
pengetahuan logika-matematika mewakili pengetahuan menurut tradisi
rasionalis.

Prinsip – Prinsip Pembelajaran Kognitif


Menurut Piaget terdapat 3 prinsip utama dalam pembelajaran kognitif, yaitu :
1. Belajar Aktif
Proses pembelajaran adalah proses aktif, karena pengetahuan terbentuk
dari dalam subyek belajar. Untuk membantu perkembangan kognitif anak,
maka perlu diciptakan suatu kondisi belajar yang memungkinkan anak
belajar sendiri, misalnya melakukan percobaan, memanipulasi simbol-
simbol, mengajukan pertanyaan dan mencari jawab sendiri dengan
penemuan temannya.
2. Belajar Lewat Interaksi Sosial
Dalam belajar perlu diciptakan suasana yang memungkinkan terjadinya
interaksi diantara sesama, anak-anak maupun dengan orang dewasa yang
dapat membantu perkembangan kognitif mereka. Tanpa interaksi sosial
perkembangan kognitif anak akan tetap bersifat egosentris. Sebaliknya,
lewat interaksi sosial, perkembangan kognitif anak akan mengarah ke
banyak pandangan, artinya khasanah kognitif anak akan diperkaya dengan
macam-macam sudut pandang dan alternatif pendidikan.

15
3. Belajar Lewat Pengalaman Sendiri
Perkembangan kognitif anak akan lebih berarti apabila didasarkan pada
pengalaman nyata daripada menggunakan bahasa komunikasi. Bahasa
memang memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif,
namun bila menggunakan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi
tanpa pernah merujuk pada pengalaman ssendiri, maka perkembangan
kognitif anak cenderung mengarah ke verbalisme. Pembelajaran di sekolah
hendaknya dimulai dengan memberiakan pengalaman-pengalaman nyata
daripada dengan pemberitahuan-pemberitahuan, atau pertanyaan-
pertanyaan yang jawabannya harus persis seperti yang diinginkan
pendidik. Disamping akan mmebelenggu anak dan tiadanya interaksi
sosial, belajar verbal tidak menunjang perkembangan kognitif anak. Oleh
karena itu, Piaget sependapat dengan prinsip pendidikan dari konkrit ke
abstrak atau dari khusus ke umum.

C. IMPLEMENTASI TEORI PIAGET DALAM PEMBELAJARAN


MATEMATIKA MATERI GEOMETRI DI SEKOLAH DASAR
Pada kurikulum sekolah dasar, pokok bahasan geometri sub pokok
bahasan bangun datar dicantumkan pada kelas III. Di Indonesia, anak SD
kelas III usianya 8-11 tahun, sehingga apabila dikaitkan dengan tahap berpikir
yang dikemukakan oleh Piaget, tingkat perkembangan intelektual mereka
dapat dimasukkan pada tahap operasi konkrit.
Untuk melaksanakan proses belajar mengajar yang sesuai dengan teori
Piaget di sekolah dasar disarankan melalui beberapa prinsip sebagai berikut:
a. siapkan benda-benda nyata untuk digunakan para siswa,
b. pilih pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak,
c. perkenalkan kegiatan yang layak, menarik dan berilah para siswa
kebebasan untuk menolak saran-saran guru,
d. tekankan penciptaan pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah
sekaligus pemecahan-pemecahannya,
e. anjurkan para siswa untuk saling berinteraksi,
f. hindari istilah-istilah teknis dan tekankan berpikir,

16
g. anjurkan siswa untuk berpikir dengan cara mereka sendiri,
h. perkenalkan ulang materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa
tahun.
Berdasarkan saran tersebut diatas, pembelajaran geometri bangun
segiempat di kelas III Sekolah Dasar dapat disusun sebagai berikut:
1) Tujuan khusus pembelajaran yaitu agar siswa dapat:
a. mengklasifikasikan bangun segiempat dan bukan segiempat;
b. mengungkapkan ciri-ciri atau sifat-sifat bangun segiempat;
c. mengungkapkan pengertian bangun segiempat; dan
d. memberikan alasan suatu bangun bukan merupakan bangun segiempat.
2) Pembelajaran dimulai dengan tanya jawab antara guru dan siswa tentang
segiempat dengan tujuan mengetahui lebih jelas tentang konsepsi awal
siswa dan melatihagar siswa mau berbicara atau mengungkapkan
pendapatnya tentang suatu konsep. Pertanyaan yang dapat diajukan guru
antara lain sebagai berikut:
G : Pada pertemuan ini kita akan mempelajari tentang segiempat.
Pernahkahkamu mendengar kata segiempat ?
S:......
G : Menurut kamu apakah bangun segiempat itu ?
S:......
G : Dari benda-benda yang ada di kelas ini manakah yang berbentuk
segiempat?
S: ....
G : Mengapa?
Selanjutnya siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan
diberikan lembaran yangberisi gambar-gambar bangun datar, misalnya
seperti pada gambar berikut :

17
Gambar 1. Contoh bangun geometri
3) Siswa diminta untuk mengamati gambar tersebut, selanjutnya siswa
diminta untuk mengklasifikasikan mana yang merupakan bangun
segiempat dan bukan segiempat.
4) Agar siswa terlibat langsung dengan pembelajaran siswa diminta
menggambar, mengkonstruk atau mengkreasi bangun dengan peragaan
baik yang merupakan contoh maupun non contoh.
5) Kegiatan selanjutnya siswa diminta mendaftarkan semua ciri-ciri dari
bangun segiempat berdasarkan pengamatannya terhadap unsur-unsur
bangun yaitu banyak rusuk, bentuk serta banyak sudut.
Dari jawaban siswa yang diberikan, guru dapat melihat apakah siswa
sudah memahami konsep segiempat atau masih mengalami miskonsepsi.
Jika siswa masih mengalami miskonsepsi, maka guru mengarahkan siswa
untuk mendiskusikan gagasan tersebut baik dengan teman sekelompoknya,
dengan guru maupun dengan kelompok lain. Pada tahap ini, guru
menunjukkan kembali bangun-bangun (berupa benda konkret atau
gambar) yang merupakan contoh maupun non contoh tanpa menjelaskan
mengapa bangun tersebut merupakan segiempat atau bukan segiempat.
6) Selanjutnya siswa mendiskusikan kembali gagasan yang mereka tulis
dengan jawaban yang sesuai dengan pengetahuan guru. Dengan bimbingan
guru seperlunya siswa membangun sendiri gagasan atau pengetahuan baru
sesuai dengan konsep yang dipelajarinya.

18
7) Guru menguatkan kembali gagasan siswa atau konsep yang mereka
peroleh dengan memberikan umpan balik. Pada langkah ini diharapkan
siswa dapat mengubah konsep awal mereka sesuai dengan konsep atau
pengetahuan baru.
8) Untuk mengakhiri kegiatan pembelajaran, siswa diarahkan untuk membuat
rangkuman tentang konsep segiempat.
Hal serupa juga dilakukan pada pembelajaran untuk kelompok bangun
segiempat seperti persegi dan persegi panjang. Dari susunan pembelajaran
tersebut di atas, siswa dapat terlibat secara aktif dan pengetahuan yang
diperolehnya merupakan hasil dari pengkonstruksiannya sendiri. Dalam
benak siswa terjadi proses asimilasi dan akomodasi yaitu misalnya pada saat
siswa mendapatkan informasi baru tentang segiempat yang langsung menyatu
dengan konsep awal yang dimilikinya maka terjadi proses asimilasi. Jika
informasi baru tersebut tidak sesuai dengan konsep awal yang dimilikinya
(terjadi miskonsepsi) maka pada benak siswa terjadi penstrukturan kembali
kognitif yang telah dimiliki karena informasi baru tadi, ini berarti terjadi
akomodasi.

19
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Menurut Piaget, ada tiga aspek pertumbuhan intelektual, yaitu
struktur, isi, dan fungsi. Tindakan-tindakan menuju pada perkembangan
operasi-operasi, dan operasi-operasi selanjutnya menuju pada perkembangan
struktur-struktur. Operasi-operasi merupakan tindakan-tindakan yang
terinternalisasi, reversible, selalu tetap, dan tidak ada operasi yang berdiri
sendiri. Struktur-struktur merupakan organisasi-organisasi mental tingkat
tinggi, satu tingkat lebih tinggi dari operasi-operasi. Isi pertumbuhan
intelektual ialah pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon
yang diberikannya terhadap berbagai masalah yang dihadapinya.
Perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu
organisasi dan adaptasi. Adaptasi dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur yang
sudah ada dalam mengadakan respon terhadap tantangan lingkungan,
sedangkan dalam proses akomodasi seorang memerlukan modifikasi dari
struktur yang ada untuk tujuan yang sama. Adaptasi merupakan
kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi, dan inilah yang diterapkan
dalam belajar di kelas.
Semua individu melalui empat tingkat perkembangan intelektual,
yaitu tingkat-tingkat sensori-motor, pra-operasional, operasional konkrit, dan
operasional formal, dengan urutan yang sama, tetapi dengan kecepatan
masing-masing.
Perkembangan intelektual dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu
kedewasaan, pengalaman fisik, pengalaman logika matematik, transmisi
social, dan proses keseimbangan.
Menurut piaget,ada tiga bentuk pengetahuan: pengetahuan fisik,
pengetahuan logika matematik, dan pengetahuan social. Pengetahuan sosial
dapat dipindahkan dari pikiran guru ke pikiran siswa, sedangkan pengetahuan
fisik dan pengetahuan logika matematik harus dibangun sendiri oleh anak.
Salah satu cara untuk membangun pengetahuan ialah dengan equilibrasi.

20
Menurt Piaget ada tiga prinsip utama dalam pembelajaran kognitif :
belajar aktif, belajar lewat interaksi sosial, belajar lewat pengalaman sendiri.
Salah satu implementasi teori belajar piaget dalam matematika yaitu
pada materi geometri sekolah dasar kelas III.

B. SARAN
Meskipun teori piaget dapat diterapkan dalam praktek pembelajaran
matematika di Indonesia, namun masih diperlukan kajian kritis dalam
memahami dan memaknai teori tersebut. Dalam hal ini, teori ini diaplikasikan
melalui proses adaptasi dengan memperhatikan konteks sosial budaya
masyarakat Indonesia. Dengan demikian, harapan akan suksesnya pendidikan
matematika di Indonesia yang sekaligus memperkuat jati diri bangsa dapat
diwujudkan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Dahar, Ratna Wilis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan


dan Kebudayaan.
__________. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer. Bandung:
JICA UPI.
Danoebroto, Sri Wulandari. 2015. Teori Belajar Konstruktivis Piaget dan
Vygotsky. Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education. Vol.
2 No. 3 Hal. 191-198.
Mursalin. 2016. Pembelajaran Geometri Bidang Datar di sekolah Dasar
Berorientasi Teori Belajar Piaget. Jurnal Dikma. Vol. 4 No. 2 Hal. 255.
Orthon, A. 1993. Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom
Practices. New York: Cambridge University Press.
Rasyidin, Al dan Wahyudin Nur Nasution. 2011. Teori Belajar dan
Pembelajaran. Medan: Perdana Publishing.
Rifa’i RC, Achmad dan Catharina Tri Anni . 2016. Psikologi Pendidikan.
Semarang: Unnes Press.
Shadiq, Fajar dan Nur Amini. 2011. Penerapan Teori Belajar dalam
Pembelajaran Matematika di SD. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.
Soedjadi, R. 2004. Pokok-Pokok Pikiran tentang Orientasi Masa Depan
Matematika Sekolah di Indonesia. Surabaya: PPs IKIP Surabaya.
Soejono. 2010. Diagnosis Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial
Matematika. Jakarta : P2LPTK.

22

Anda mungkin juga menyukai