Anda di halaman 1dari 18

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2020


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ENSEFALOPATI METABOLIK

DISUSUN OLEH:
Ismet Nur Mulyadi (C0141822xx)
Muhammad Fikri Hidayat (C0141822xx)
Nadya Juliani Rusdi (C014182245)
Fira Ramadhani (C0141822xx)

Pembimbing Residen
dr. Andi Ahwal Rauf

Dosen Pembimbing
Dr.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan
fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis.
Ensefalopati adalah disfungsi kortikal umum yang memiliki karakteristik
perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga beberapa hari), secara nyata terdapat
fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal, halusinasi dan delusi yang sering
dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum meingkat, akan tetapi
dapat menurun).1
Beberapa bentuk ensefalopati antara lain ensefalopati hepatikum,
hipoksik-iskemik ensefalopati, HIV ensefalopati, hipertensi ensefalopati, wernicke
ensefalopati, traumatik ensefalopati, metabolik ensefalopati, dan ensefalopati
bentuk lainnya. Ensefalopati metabolik terdiri dari serangkaian gangguan
neurologis yang disebabkan oleh kelainan struktural primer, namun juga akibat
penyakit sistemik seperti diabetes melitus, gagal ginjal, dan gagal jantung.
Ensefalopati metabolik biasanya timbul dalam bentuk akut maupun subakut serta
bersifat reversibel jika gangguan sistemik yang mendasari ditangani dengan baik.
Apabila penyakit sistemik yang mendasari tidak mendapatkan penanganan yang
adekuat, akan menimbulkan kelainan struktural sekunder pada otak.2
Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti,
penelitian dilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang
dilakukan di London, menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik
iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau berkisar 2,64%.
Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan angka
yang lebih tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%.
Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik
menjadi 60% pada negara berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik
iskemik intrapartum.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Ensefalopati metabolik merupakan serangkaian gangguan
neurologis yang tidak disebabkan oleh kelainan struktural primer;
sebaliknya, penyakit ini disebabkan oleh penyakit sistemik, seperti
diabetes, penyakit hati, gagal ginjal, dan gagal jantung. Ensefalopati
metabolik biasanya berkembang secara akut atau subakut dan reversibel
jika gangguan sistemik diobati. Namun, jika tidak diobati, ensefalopati
metabolik dapat menyebabkan kerusakan struktural sekunder pada otak.4
Ensefalopati metabolik adalah istilah umum yang mencakup segala
proses yang mempengaruhi fungsi kortikal global akibat perubahan fungsi
biokimia pada Ciri khas ensefalopati metabolik adalah onset bertahap,
tingkat kesadaran berfluktuasi, peningkatan aktivitas motorik spontan
(kegelisahan, tremor, mioklonus, kekakuan), dan refleks pupil dan okular
normal dengan gerakan mata konjugat.5
B. Epidemiologi
Ensefalopati metabolik umumnya terjadi pada pasien-pasien kritis
akibat penyakit metabolik. Faktor risiko mencakup penyakit sistemik akut,
usia lanjut, komorbid medis, dan gangguan kognitif sebelumnya.
Pengobatan seperti obat sedasi, penggunaan ventilasi mekanik, ataupun
blokade neuromuscular junction dapat memudarkan manifestasi klinis dari
ensefalopati metabolik. 6
Jumlah pasien dengan ensefalopati meningkat setelah usia 65
tahun. Pasien usia diatas 75 tahun, yang tinggal di panti jompo memiliki
peluang 60% untuk mengembangkan ensefalopati, sedangkan dalam
populasi yang lebih muda dari 55 tahun, proporsi ini adalah 1,1%.
Ensefalopati terjadi pada 10-40% dari pasien rawat inap lebih tua dari 65
tahun, sedangkan 8–70% pasien mengalami ensefalopati septik. Menurut
data dari Amerika Serikat, ensefalopati telah didaftarkan pada 100-
200.000 pasien dengan anoksia dan 12-16% pasien dengan defisiensi
tiamin, setiap tahun. Pada pasien dengan sirosis, ensefalopati hepatik
berkembang di 45–80% kasus, tergantung pada tingkat keparahan
kerusakan hepar.7
Penelitian yang dilakukan di London, menunjukkan bahwa angka
kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran
hidup atau berkisar 2,64%. Sedangkan penelitian yang dilakukan di
Australia Timur menunjukkan angka yang lebih tinggi 164 per 43 ribu
kelahiran hidup atau berkisar 3,8%. Diperkirakan berkisar 30% kasus
ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik menjadi 60% pada negara
berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.3
Sebagian besar kasus adalah onset akut, tetapi ensefalopati
sistemik portal dan ensefalopati uremik sering berkembang secara
tersembunyi dengan penurunan bertahap pada fungsi otak sehingga sulit
untuk menilai defisit. Tidak seperti kebanyakan ensefalopati metabolik,
hipoglikemia berkelanjutan dan defisiensi tiamin (ensefalopati Wernicke)
dapat mengakibatkan kerusakan permanen, sehingga membutuhkan
diagnosis dan tatalaksana dini. 6
Ensefalopati metabolik adalah diagnosis eksklusi dan harus
dibedakan dari cedera struktural seperti cedera otak, stroke, atau tumor
otak, dan dari berbagai delirium akut seperti penggunaan alkohol,
meningitis, ensefalitis, atau kejang.6
C. Etiologi
Ada dua penyebab utama ensefalopati metabolik4 :
1. Bekurangnya glukosa, oksigen, dan kofaktor metabolik, seperti
hipoglikemia, iskemik, hipoksia, hiperkapni, defisiensi vitamin
2. Penurunan fungsi organ periferm seperti ensefalopati
hepatikum dan ensefalopati uremikum.
D. Patofisiologi
Semua penyebab terjadinya ensefalopati metabolik berhubungan
dengan terganggunya fungsi ascending reticular activating system
(ARAS) dan proyeksinya pada korteks serebri. Hal ini akan
mengakibatkan gangguan gairah dan kesadaran. Mekanisme neurofisiologi
pada ensefalopati metabolic meliputi gangguan jalur polysinaps dan
ketidakseimbangan asam amino eksitatorik-inhibitorik. Gangguan
elektrolit juga menyebabkan gangguan eksitabilitas.8
E. Manifestasi Klinis
Ensefalopati metabolic berkorelasi dengan keparahan gangguan
metabolic penyebabnya. Manifestasi klinis bervariasi dari perubahan
gangguan perilaku yang halus seperti lupa ataupun menghayal sampai
gangguan kesadaran yang berat seperti stupor atau koma, ataupun
gangguan personalitas seperti hiperaktivitas psikomotor, agitasi,
halusinasi, dan ilusi. Dapat juga terjadi gangguan orientasi dan mood,
gangguan memori, penurunan intelektual, demensia, depresi. Gejala paling
utama pada ensefalopati metabolik adalah delirium.7
Gejala dan tanda neurologis fokal dan global bisa saja terjadi
namun jarang bahkan tidak ada. Pada kondisi awal, gejala neurologis
global dapat didapatkan seperti gangguan kesadaran, konfusi, disorientasi,
dan delirium. Gejala saraf autonom kemungkinan ada seperti insomnia,
mual, gangguan irama jantung, dan masalah pernapasan. Seiring
meningkatnya progretivitas penyakit maka gejala akan semakin terlihat
seperti kejang, reflex patologis, mioklonis, tremor, dan koma.7
Gejala neurologis fokal berkaitan dengan gangguan pada hemisfer
dan batang otak. Hemisfer memberikan gejala gangguan penglihatan,
apraksia, afasia, hemispasitas, hemiataksia, dan sindrom hemisensorik
serta reflex patologis. Gejala batang otak akan bermanifestasi pada nervus
kranialis.7
Gejala klinis juga mungkin melibatkan ekstrapiramidal seperti
ataksia serbellum, meskipun ini jarang didapatkan.7
F. Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat medis seperti demam terakhir, penyakit terdahulu, obat
yang dikonsumsi, pajanan racun, riwayat konsumsi alcohol ataupun
obat terlarang. Pada pasien dengan kemungkinan perjalanan penyakit
yang kronik dan perlahan seperti gangguan ginjal kronik atau
gangguan hepar perlu ditanyakan adanya letargi, iritabilitas perilaku,
gangguan atensi dan konsentrasi, riwayat gangguan tidur. 9
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik komperensif pada pasien dengan konfusi dan
tidak koperatif sulit dilakukan. Namun beberapa pemeriksaan masih
tetap bisa dilakukan sepeti tanda vital, status hidrasi, kondisi kulit, dan
curiga potensi infeksi dapat dilakukan. Pemeriksaan neurologis serial
harus dilakukan pada semua pasien. 9
Adanya jaundice dapat terjadi pada pasien gangguan hati, napas
berbau uremik atau keton. Hiperventilasi atau napas kussmaul dapat
terjadi pada pasien asidosis metabolic. Takikardi, berkeringat, pupil
dilatasi dapat terjadi pada gangguan system autonomy.9
Pemeriksaan status mental penting dilakukan pada pasien
ensefalopati. Pemeriksaan motoric juga dapat dilakukan untuk
menghilangkan kemungkinan adany lesi structural pada otak.9
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan darah lengkap
termasuk koagulasi dan elektrolit. Pemeriksaan lanjut dapat
disesuaikan dengan penyakit dasar.9
4. Neuroimaging
Pemeriksaan radiologi dilakukan secara selektif tapi dibutuhkan
jika diagnosis belum jelas. Neuroimaging dilakukan jika kondisi tidak
membaik setelah penyakit dasar diobati. CT scan atau MRI
diindikasikan jika ditemukan tanda pada pemeriksaan fisik, atau untuk
mengeluarkan diagnosis stroke dan lesi inflamasi multifocal.10
5. Electroencephalography (EEG)
EEG digunakan untuk memastikan penyebab kejang sebagai akibat
dari penurunan status mental. EEG juga dapat digunakan untuk
mendiagnosis ensefalopati metabolik tertentu atau ensefalopati infeksi
yang memiliki pola EEG khas dan untuk mendeteksi disfungsi otak
global. Ensefalopati metabolik dapat menunjukkan perlambatan
bilateral pada irama latar, gelombang triphasic, dan aktivitas delta
rhythmic yang dominan secara frontal. Pemantauan EEG setelah 48
jam direkomendasikan untuk dilakukan.9
G. Klasifikasi
1. Ensefalopati hipoglikemik
Hipoglikemia merupakan suatu terminologi klinis yang digunakan
untuk keadaan yang disebabkan oleh menurunnya kadar glukosa dalam
darah sampai pada tingkat tertentu sehingga menimbulkan keluhan dan
gejala. Gejala klinis biasanya muncul pada kadar glukosa darah
<60mg/dL, meskipun pada orang tertentu sudah dirasakan diatas kadar
tersebut (<70mg/dL). Tapi pada umumnya kadar <50mg/dL telah
memberikan dampak pada fungsi serebral, kondisi ini disebut
neuroglikopeni.11
Hipoglikemia biasanya terjadi karena overdosis insulin, penyakit
hepar yang mengakibatkan penurunan glukoneogenesis hepar atau
penyakit ginjal. Gejala awal hipoglikemia ditandai dengan bergeringat,
takikardi, cemas, dan rasa lapar. Gejala ini lah yang dapat memberi
jalan bagi kelainan pada sistem saraf pusat yang lebih serius seperti
pusing, letargi, dan delirium yang bisa diikuti kejang dan koma.
Sehingga hipoglikemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan
kerusakan otak yang irreversible. Hal ini disebabkan selama terjadinya
ensefalopati hipoglikemik, ketika glukosa dalam darah menurun,
keadaan dimana gejala pusing, letargi, hingga delirium dapat terjadi.
Tingkat metabolisme otak untuk glukosa (CMRglc) turun lebih cepat
daripada laju metabolisme otak untuk oksigen (CMRO2) sebuah
temuan yang menandakan pemanfaatan substrat selain glukosa oleh
otak. Substrat semacam itu termasuk intermediet siklus asam
trikarboksilat (TCA) serta asam amino, khususnya glutamin dan
glutamat. Namun, substrat ini cepat habis dan mendukung kebutuhan
energi otak hanya beberapa menit tanpa adanya glukosa. Ketika
konsentrasi glukosa darah turun di bawah, electroencephalogram
(EEG) awalnya menunjukkan peningkatan amplitudo dan penurunan
frekuensi, diikuti oleh penurunan amplitudo dan frekuensi ketika
konsentrasi glukosa darah mendekati 1 mm. Di bawah 1 mm
konsentrasi glukosa darah, kadar ATP otak berkurang. EEG menjadi
isoelektrik dan koma berkembang.4

Efek buruk hipoglikemia pada sintesis neurotransmitter asam


amino GABA dan glutamat yaitu Pemanfaatan asam amino seperti
glutamat dan glutamin sebagai substrat energi alternatif dalam
hipoglikemia sedang hingga berat menghasilkan akumulasi aspartat
dan amonia di otak. Hipoglikemia juga menghasilkan peningkatan
sementara substansial dalam konsentrasi ekstraseluler glutamat,
GABA dan dopamin, yang diukur dengan menggunakan mikrodialisis
serebral in vivo. Perubahan neurotransmisi tersebut yang dimediasi
oleh ACh, glutamat, GABA dan atau dopamin (DA) berkontribusi
pada tanda-tanda dan gejala neurologis yang menjadi ciri ciri
hipoglikemia sedang.4
Hipoglikemia berat dan berkepanjangan dapat menghasilkan
peningkatan pelepasan glutamat di otak, yang menyebabkan
depolarisasi membran. Keadaan ini diikuti oleh kegagalan energi otak
dan kematian sel saraf, terutama di hippocampus. Neurotoksisitas
glutamat dengan demikian ikut dalam patogenesis kematian neuron
yang berkurang hipoglikemi, dan protein kinase II yang tergantung
Ca2 +. Sehingga calmodulin-dependent protein kinase menjadi salah
satu target intraseluler untuk neurotoksisitas glutamat pada
hipoglikemia.4
Penatalaksanaan pada pada pasien neuroglikopeni pada dasarnya
adalah dengan mengembalikan kadar glukosa menjadi normal. Antara
lain dengan :
a. Infus larutan dextrose, dianggap sebagai first ine treatment
karena efektif dalam waktu cepat.
b. Bila tidak berhasil, ditambahkan suntikan glucagon intravena
atau intramuskuler. Biasanya dalam 10 menit akan
mengembalikan kesadaran penderita.11
2. Ensefalopati Hipoksia
Hipoksia merujuk pada kadar oksigen arteria yang kurang dari
normal dan iskemia. Merujuk pada aliran darah ke sel atau organ tidak
mencukupi untuk mempertahankan fungsi normalnya. Penyebab
terjadinya keadaan hipoksia dapat dibagi menjadi dua yaitu saat di
dalam kandungan dan setelah dilahirkan. Ensefalopati hipoksik
iskemik merupakan penyebab cedera permanen yang penting pada sel
sistem saraf pusat yang mengakibatkan kematian neonatus atau
nantinya, jejas dapat bermanifestasi sebagai pals serebral atau
defisiensi mental.12
Secara khas, ensefalopati hipoksia pada neonates memiliki
karakteristik edema serebral, nekrosis kortikal, dan keterlibatan ganglia
basalis. Kedua lesi dapat menyebabkan atropi kortikal, retardasi mental
dan kuadriplegi atau diplegispastika. Sesudah lahir, kombinasi
hipoksia janin kronis dan jejas hipoksik iskemik mengakibatkan
neuropatologi spesifik sesuai umur kehamilan. Bayi cukup bulan
memperlihatkan nekrosis neuron korteks dan jejas iskemia parasagital.
Bayi preterm memperagakan LPV (nantinya diplegia spastik), status
marmoratus ganglia basalis dan PIV. Bayi cukup bulan, lebih sering
dari pada bayi preter, memperlihatkan infark korteks setempat atau
multifokal yang menghasilkan kejang kejang setempat (fokal) dan
hemiplegia. Perangsangan asam amino dapat memainkan peranan
penting dalam patogenesis asfiksia jejas otak.12
Pencegahan dan pengobatan nantinya diarahkan pada keadaan
dasar yang menyebabkannya, kematian dan kecacatan kadang-kadang
dapat dicegah melalui pengobatan terhadap gejala yang timbul dengan
memberikan oksigen atau pernafasan buatan dan koreksi disfungsi
multiorgan terkait. Edema otak dapat timbul pada 24 jam berikutnya
dan mengakibatkan depresi batang otak yang berat. Selama waktu ini
dapat terjadi aktivitas kejang yang mungkin berat dan kejang ini
refrakter terjadap dosis biasa antikonvulsi. Lorazepam (0,05-0,1
mg/kgBB/iv) dapat digunakan selama kejang akut, sedangkan untuk
mensupresi kejang secara terus menerus mungkin memerlukan dosis
pembebanan i.v. 20- 25mg/kgBB fenobarbital atau 20mg/kgBB
fenitoin. Walaupun sebagian besar kejang sering merupakan akibat
dari ensefalopati hipoksik iskemik, kejang pada bayi baru lahir yang
mengalami asfiksia dapat juga disebabkan oleh hipokalsemi atau
hipoglikemia. Pada keadaan hipoksik iskemik terjadi turunnya suhu
berkisar 20oC. Terapi hipotermia lebih bermaksud pada resusitasi
dibandingkan dengan neuroprotektor. Pada bayi dengan respon
minimal pada resusitasi konvensional, ditempatkan pada tempat berisi
air dingin berkisar 23-30oC dan didiamkan hingga ia menangis.12
3. Ensefalopati Uremikum
Ensefalopati uremikum merupakan kelainan otak yang disebabkan
oleh penumpukan ureum dalam otak, dapat diakibatkan oleh gagal
ginjal akut maupun gagal ginjal kronik.13
Uremia adalah sindrom klinis yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan cairan, elektrolit, hormon dan kelainan metabolik,
yang berkembang secara parallel dengan penurunan fungsi ginjal.
Penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease) lebih sering
berkembang menjadi uremia terutama stadium lanjut CKD, tetapi juga
dapat terjadi dengan gagal ginjal akut (AKI) jika hilangnya fungsi
ginjal dengan cepat. Disebut Uremia bila kadar ureum didalam darah
di atas 50 mg/dl.13
Ketika ginjal tidak berfungsi sebagaimana mestinya, gangguan
dapat terjadi pada proses homeostasis asam-basa, regulasi cairan dan
elektrolit, produksi dan sekresihormon, dan eliminasi zat-zat sisa.
Patogenesis uremia merupakan kombinasi efek toksik dari akumulasi
produk-produk yang secara normal diekskresi oleh ginjal, produk
normal seperti hormon yang akan meningkat, dan kehilangan produk
normal dari ginjal. Kegagalan eksresi akan membuat perubahan
elektrolit dimana terjadi peningkatan Na+ intrasel dan air serta
penurunan K+ intrasel. Perubahan ini akan mengganggu fungsi enzim-
enzim, sistem transpor, dan lain-lain. Terlepas dari etiologinya, CKD
memiliki banyak efek terhadap sistem organ lain sehingga merupakan
penyakit sistemik. Banyak faktor yang dapat berkontribusi untuk
menjadi suatu ensefalopati uremikum. Hal ini menjadikan komplikasi
dari CKD bersifat multifaktorial.14,15
a. Gangguan hormone
Produksi hormon, khususnya paratiroid akan meningkat pada
pasien dengan gangguan ginjal yang disebut sebagai
hiperparatiroid sekunder. Secara fisiologis, hormon paratioroid
(PTH) akan mengurangi level fosfat dengan mengurangi
reabsorbsi fosfat dari tubulus priksimal yang akan
meningkatkan eksresi fosfat dalam urin. Pada gangguan ginjal
dengan penurunan glomerular filtration rate (GFR), ekskresi
fosfat juga akan menurun menyebabkan kenaikan kadar fosfat
dalam darah yang selanjutnya akan berikatan dengan kalsium
membentuk CaHPO4 dan menurunkan kadar serum kalsium
sehingga dikompensasi dengan produksi tinggi PTH. CKD juga
akan menurunkan aktivitas 1-α-hydroxylase sehingga
menurunkan 1,25-OH vitamin D. Kurangnya 1,25-OH vitamin
D akan menghambat absorpsi kalsium lewat gastrointestinal
yang akan merangsang kelenjar paratiroid. Hiperparatiroidisme
akan meningkatkan absorbsi kalsium lewat gastrointestinal dan
meningkatkan
aktivasi osteoklas untuk mengompensasi rendahnya kadar
serum kalsium. Kadar kalsium yang berlebih akan selanjutnya
mempengaruhi proses intra dan ekstrasel tubuh termasuk sel-
sel neuron pada otak membuat deficit neurologis. 14,15
b. Akumulasi metabolit
Gangguan ginjal membuat akumulasi dari berbagai racun
uremik. Di antara toksik tersebut adalah beberapa komponen
guanidin (GC). Empat jenis GC terlihat dapat meningkat pada
serum, cairan serebrospinal, dan otak pada pasien uremik.
Komponen-komponen ini adalah kreatinin, guanidin, asam
guanidinosuksinik GSA), dan metilguanidine (MG).
Komponen ini merupakan perangsang konvulsan pada otak,
dan menunjukkan klinis kejang tonik-klonik pada mencit.14,15
c. Ketidakseimbangan neurotransmitter eksitatorik-inhibitorik
Gangguan ginjal menyebabkan alterasi biokimia dan
metabolik. Penelitian mengemukakan pengaruh serotonin,
katekolamin, GABA dan glisin. Semuanya berperan dalam aksi
kovulsi pada otak.13
d. Gangguan metabolisme intermediet
Terdapat gangguan metabolisme akibat penurunan kreatin
fosfat, adenosine trifosfat (ATP), dan glukosa, dan peningkatan
kadar adenosin monofosfat (AMP) dan adenosin difosfat
(ADP), serta laktat. Perubahan ini akan membuat penurunan
kecepatan metabolik otak dan kosumsi oksigen serebral dan
konsisten dengan penurunan penggunaan energi otak. Lebih
jauh, aktivitas kreatin kinase dihambat pada korteks prefrontal,
serebral, dan hipokampus dimana area ini penting sebagai
proses kognitif.14
Pasien disarankan untuk dilakukan hemodialisa. Indikasi
hemodialisa segera adalah bila ditemukan kegawatan ginjal berupa
keadaan klinis. uremik berat, oligouria (produksi urine <200 ml/12
jam), anuria (produksi urine 50 ml/12 jam), hiperkalemia, asidosis
berat, uremia (BUN >150 mg/dL), ensefalopati uremikum,
neuropati/miopati uremikum, perikarditis uremikum, disnatremia berat
(Na >160 atau <115 mmol/L), hipertermia serta keracunan akut
(alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membrane dialisis.16,17
Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan
dalam menangani kejang yang berhubungan dengan uremia adalah
benzodiazepine untuk kejang myoklonus, konvulsif atau non-konvulsif
parsial kompleks atau absens; ethosuximide, untuk status epileptikus
absens; Fenobarbital, untuk status epileptikus konvulsif. Sementara itu,
gabapentin dapat memperburuk kejang myoklonik pada end stage
renal disease.16,17
Benzodiazepin (BZD) dan Fenobarbital bekerja meningkatkan
aktivitas GABA dengan berikatan pada kompleks reseptor GABA A,
sehingga memfasilitasi GABA untuk berikatan dengan reseptor
spesifiknya. Terikatnya BZD menyebabkan peningkatan frekuensi
terbukanya channel klorida, menghasilkan hiperpolarisasi membran
yang menghambat eksitasi selular.18
4. Ensefalopati Hepatikum
Ensefalopati hepatikum adalah sindrom reversible dari gangguan
fungsi otak yang terjadi pada pasien gagal hati atau penyakit hati lanjut.
Belum diketahui penyebab pastinya, tetapi hal ini berfokus pada peran
neurotoksin, gangguan transmisi saraf karena perubahan metabolisme pada
gagal hati dan perubahan sawar darah otak. Ensefalopati hepatikum dapat
bermanifestasi ke neurologis dan gangguan jiwa non spesifik. dan dapat
didiagnosis dengan psikotest abnormal. Jalannya klinis ensefalopati
hepatikum bermula dari disorientasi kesadaran ruang dan waktu,
mengantuk, pingsan dan akhirnya akan koma. Ensefalopati hepatikum
diklarifikasikan berdasarkan penyakit yang mendasarinya, derajat
keparahan, lamanya keparahan dan adanya faktor pencetus.19
Sudah banyak penilitan bagaimana terjadinya ensefalopati hepatikum.
Sebagian eksperimen yang sudah banyak dilakukan jauh dari kata
sempurna. mekanisme yang menyebabkan disfungsi otak pada gagal hati
masih belum diketahui. Faktor-faktor ini berhubungan langsung dengan
gagal hati, kecuali penyakit hati yang mendasari berhasil diobati.
Prognosisnya hanya kelangsungan hidup yang buruk dan risiko
kekambuhan yang tinggi, bahkan prognosis ringannya dapat mengurangi
kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dan faktor risik untuk
serangan kembali.
A. Neurotoksin
Amonia adalah neurotoksin yang dihubungkan dengan ensefalopati
hepatikum. Mekanisme hiperammonaemia menyebabkan ensefalopati
masih belum terlalu jelas, penelitian menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan kadar ammonia pada sel hepatosit yang mengakibatkan
perubahan pada neurotransmiter terutama agonis GABA, sehingga
menyebabkan kegagalan penyediaan energi untuk otak. Detoksifikasi
ammonia pada astrosit menyebabkan akumulasi glutamine, yang
merupakan penyebab utama terjadinya pembengkakan astrosit. Pada
hepatitis akut, pembengkakan glial juga ditemukan ketika adanya
pembengkakan otak. Pasien dengan ensefalopati hepatik memiliki kadar
serum ammonia lebih dari 90%, dan menurunnya kadar serum ammonia
berhubungan dengan perbaikan tingkat ensefalopati hepatik. Penelitian
eksperimental menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
kadar. glutamine pada cairan serebro spinal dengan derajat ensefalopati
hepatik, tetapi kerusakan fungsi kognitif seperti memori episodik,
perhatian berkesinambungan yang terjadi pada ensefalopati hepatik
menunjukkan hubungan dengan kadar ammonia serum ketika diperiksa
dengan tes psikometrik komputer.20

B. Neurotransmitter
Neurotransmiter serebral diregulasi oleh konsentrasi asam amino dan
prekusornya pada sistem saraf pusat. Pada pasien dengan disfungsi hepar
berat, konsentrasi sirkulasi plasma dari asam amino aromatik (AAA) yaitu
triptopan, tyrosin dan phenilalanin meningkat sedangkan konsentrasi asam
amino rantai ganda (leucine,isoleucine dan valine) menurun, akibatnya
terjadi produksi neurotransmiter yang salah (octopamide dan
phenilethanolamide) yang kemudian berkembang menjadi ensefalopati
hepatik.

Pengobatan yang banyak dilakukan pada pasien dengan


ensefalopati metabolik adalah perawatan suportif, identifikasi dan
pengobatan terhadap faktor yang mempercepat, mereduksi produk
nitrogen oleh usus dan identifikasi pasien yang membutuhkan terapi
jangka panjang. Identifikasi dan menghilangkan faktor presipitasi yaitu
infeksi. Kultur cairan tubuh dapat menjadi penanda infeksi. Pasien dengan
asites sebaiknya dilakukan parasentesis diagnostik. Setelah dilakukan
resusitasi, maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah keseimbangan
cairan. Tujuan penting yang ingin dicapai adalah normovolumik, karena
adanya hidrasi yang kurang 16 maupun lebih akan mengganggu.
Pemberian cairan yang sering dilakukan pertama kali adalah pemberian
cairan kira kira 70% dari maintenance.Status hidrasi sebaiknya dimonitor
dengan menggunakan tekanan vena sentral,dengan target 6-8cm
H2O.Monitoring urin juga diperlukan untuk memonitoring hidrasi,dan
indikator fungsi renal.Pemberian 19 cairan secara intra vena sebagai media
pemberian elektrolit dan glukosa dimana pada keadaan ensefalopati
terganggu.21

BAB III
PENUTUP

Ensefalopati metabolik merupakan serangkaian gangguan neurologis yang


tidak disebabkan oleh kelainan struktural primer; sebaliknya, penyakit ini
disebabkan oleh penyakit sistemik, seperti diabetes, penyakit hati, gagal ginjal,
dan gagal jantung. Ensefalopati metabolik biasanya berkembang secara akut atau
subakut dan reversibel jika gangguan sistemik diobati. Namun, jika tidak diobati,
ensefalopati metabolik dapat menyebabkan kerusakan struktural sekunder pada
otak.
Ensefalopati metabolik umumnya terjadi pada pasien-pasien kritis akibat
penyakit metabolik. Faktor risiko mencakup penyakit sistemik akut, usia lanjut,
komorbid medis, dan gangguan kognitif sebelumnya. Pengobatan seperti obat
sedasi, penggunaan ventilasi mekanik, ataupun blokade neuromuscular junction
dapat memudarkan manifestasi klinis dari ensefalopati metabolik.
Pengobatan yang banyak dilakukan pada pasien dengan ensefalopati
metabolik adalah perawatan suportif, identifikasi dan pengobatan terhadap faktor
yang mempercepat, mereduksi produk nitrogen oleh usus dan identifikasi pasien
yang membutuhkan terapi jangka panjang. Identifikasi dan menghilangkan faktor
presipitasi yaitu infeksi. Kultur cairan tubuh dapat menjadi penanda infeksi
DAFTAR PUSTAKA
1. Charles Patrick Davis, MD, PhD. Encephalopathy. Available in
https://www.medicinenet.com/encephalopathy/article.htm. Diakses pada
01 februari 2020
2. Bates D. The prognosis of medical coma. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2001
3. Kurinczuk JJ, White-Koning M, Badawi N. Epidemiology of neonatal
encephalopathy and hypoksic ischemic encephalopathy. Early Human
Development. 2010
4. Siegel GJ, Agranoff BW, Albers RW, et al., Basic Neurochemistry:
Molecular, Cellular and Medical Aspects. 8th edition. Philadelphia:
Lippincott-Raven; 2011.
5. John Beca, David Sidebotham. Neurologic Dysfunction, in Cardiothoracic
Critical Care. Philadelpia: Butterworth-Heinemann, an imprint of Elsevier
Inc. 2007
6. J. Angel and G. B. Young, “Metabolic Encephalopathis,” Neurol Clin, vol.
29, pp. 837-882, 2011.
7. Berisava Ivana, et al. How to recognize and treat metabolic
encephalopathy in Neurology intensive care unit. Neurology India. 2017.
8. F. M. Wijdicks, Metabolic Encephalophaty: Behind the
Name,Neurocritical Care, pp. 1-3, 5 January 2018.
9. Krishnan, L. Y. Leung and L. R. Caplan, “A neurologist’s approach to
delirium: diagnosis and management of toxic metabolic
encephalopathies,” European Journal of Internal Medicine, vol. 25, pp.
112-116, 2014.
10. Daroff, G. Fenichel, J. Jankovic and J. Mazziotta, “Toxic and Metabolic
Encephalopathies,” in Bradley’s Neurology in Clinical Practice. 6th
Edition, Phildelphia, PA, Elsevier/Saunders, 2012
11. Asman Manaf. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2015
12. Clinical Neuropathology, Catherine Haberland, Rosalind Franklin
University. North chicago; 2009.
13. McCandless DW. Metabolic encephalopathy. Edisi 1. Springer. 2009
14. Deguchi T, Isozaki K, Yousuke K, Terasaki T, Otagiri M. Involvement of
organic anion transporters in the efflux of uremic toxins across the blood-
brain barrier. J Neurochem. Feb 2016
15. De Deyn PP, Vanholder R, Eloot S, et al. Guanidino compounds as uremic
(neuro)toxins. Semin Dial. Jul-Aug 2015
16. Krishnan V, Murray P. Pharmacological issues in the critically ill. Clin
Chest Med 2013
17. Zhang C, Glenn DG, Bell WL, O'Donovan CA. Gabapentin-induced
myoclonus in end-stage renal disease. Epilepsia 2005
18. Neal MJ. At a glance: Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta: Penerbit
Erlangga.2016.
19. Ferenci P. Pathogenesis of hepatic encephalopathy.
Uptodate, www.uptodate.com (accessed 29 March 2017).
20. 6. Aldridge DR, Tranah EJ, Shawcross DL. Pathogenesis of hepatic
encephalopathy: role of ammonia and systemic inflammation. J Clin Exp
Hepatol 2015;5(Suppl 1):S7–20.
21. Schafer DF, Jones EA. Hepatic encephalopathy and the gamma-
aminobutyric-acid neurotransmitter system. Lancet1982;1:18
22. Panickar KS, Jayakumar AR, Rama Rao KV. et al.Downregulation of the
18-kDa translocator protein: effects on the ammonia-induced
mitochondrial permeability transition and cell swelling in cultured
astrocytes. Glia2007;55:1720–7

Anda mungkin juga menyukai