Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
Pembimbing:
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati,
ditandai dengan hambatan aliran napas persisten, yang biasanya progresif dan ditandai dengan
peningkatan respon inflamasi kronik pada saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas
berbahaya1.PPOK adalah ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
Secara umum, faktor risiko utama pada PPOK adalah merokok. Pada beberapa negara,
polusi diluar ruangan, ditempat kerja ataupun didalam ruangan juga dapat menjadi faktor risiko
PPOK1. Pada perokok berat kemungkinan untuk mendapatkan PPOK menjadi lebih tinggi, selain
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit
tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko,
seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya
jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan
Pasien dengan dyspnea, batuk kronik, produksi sputum dan riwayat paparan faktor risiko
dapat dicurigai sebagai PPOK.Spirometri diperlukan untuk mendiagnosis klinis dari PPOK1.
Dalam keadaam eksaserbasi, dapat dilihat terjadinya batuk yang hebat disertai atau tidak dengan
sputum, bahkan dapat terancam terjadi kegagalan pernapasan. Pasien secara fisik diagnostik
tampak dalam keadaan dyspnea yang berat, takikardi, lemah dan konfusi.Dapat terjadi kegagalan
2
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah progresivitas dari
kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, dan
Pembatasan pada case report ini akan dibatasi pada diagnosis dan penatalaksanaan ppok
Metode yang dipakai pada penulisan case report ini adalah tinjauan kepustakaan yang merujuk
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1 Definisi PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik
adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya1.
Dahulu PPOK, terdiri dari dari bronkitis kronik dan emfisema ataupun gabungan
keduanya, karena penyakit tersebut sering ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki
proses yang berbeda2,3.Akan tetapi menurut PDPI 2016, bronkitis kronik dan emfisema tidak
dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan
emfisema merupakan diagnosis patologi. Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan
Lebih dari 90% kematian akibat PPOK terjadi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Penyebab utama PPOK adalah paparan asap tembakau (baik merokok aktif atau
perokok pasif)8. Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat
mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000
meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke
empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vascular.Biaya yang dikeluarkan
untul penyakit ini mencapai $ 24 milyar pertahunnya. World Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat4,6.
Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup
kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto
dkk.(2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007
menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun.
Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita
4
dengan proporsi sebesar 90,83%. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki.Hal ini disebabkan
a) Asap rokok
respirasi dan gangguan fungsi paru. Perokok adalah seseorang ang dalam
hidupnya pernah menghisap rokok sebanyak 100 batang atau lebih dan saat ini
dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan
rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam
b) Polusi udara
- Asap rokok
- Debu jalanan
5
Infeksi saluran nafas berat pada saat anak, akan menyebabkan penurunan
fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa sehingga
d) Sosial ekonomi
Belum dapat dijelaskan secara pasti tetapi pajanan polusi didalam dan luar
ruangan, pemukiman yang padat, nutrisi yang buruk, peningkatan daya beli
e) Genetik
Fator risiko genetik yang paling sering terjadi adalah mutasi gen serpina-1 yang
f) Jenis kelamin
Faktor risiko lebih banyak pada laki-laki di bandingkan perempuan karena laki-
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dan respons inflamasi
normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Inflamasi paru diperberat oleh stress oksidatif dan
kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis
pada PPOK. Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan, yang melibatkan
peningkatan jumlah sel CD8+ (sitotoksik) limfosit Tc 1 yang hanya terjadi pada perokok
bersama sel neutrofil, makrofag melepaskan mediatro inflamasi dan enzim yang berinteraksi
6
Stress oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam ppok. Stress
oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan
partikulat yang dihirup lainnya yang dilepaskan oleh sel-sel inflamasi diaktifkan. Stress oksidatif
berkontribusi dalam aktivasi gen inflamasi, inaktivasi protease, stimulasi sekresi mukus dan
stimulasi eksudasi plasma meningkat yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural
akibat cedera dan perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural saluran
napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit walaupun sudah berhenti
merokok.
Tingkat peradangan, fibrosis dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil berkorelasi
dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP. Penurunan VEP1 merupakan gejala khas pada
PPOK, obstruksi jalan nafas ini menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan
mukus bronkus. Obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap (air trapping)
fungsional, khususnya selama aktivitas (hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai sesak napas
dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan
mekanisme utama timbulnya sesak pada aktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran nafas
perifer mengurangi perangkap udara, sehingga mengurangi volume paru residu dan gejala serta
7
Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan hiperkapnia
yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum, pertukaran gas akan memburuk selama
penyakit berlangsung. Tingkat keparahan emfisema berkorelasi dengan PO2 arteri dan tanda lain
ketidakseimbangan VA/Q. Gangguan fungsi otot pada penyakit yang sudah parah akan
mengurangi ventilasi. Kedua hal ini akan menyebabkan retensi karbon dioksida. Kelainan pada
ventilasi alveolar dan berkurangnya pembuluh darah paru memperburuk kelainan VA/Q.
Hipersekresi mukus
Hipersekresi mukus akan mengakibatkan batuk produktif kronik, adalah gambaran dari
bronkitis kronik tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan aliran darah, karena mtaplasia
mukosa yang meningkatkan jumlah sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sebagai
respon terhadap iritasi kronik saluran nafas oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya.
Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus melalui aktivasi reseptor faktor
EGFR. Namun tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi mukus.
Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respons inflamasi dalam saluran napas
pasien PPOK. Keadaan ini dipicu oleh infeksi bakteri atau virus polusi lingkungan. Infeksi
bakteri dan virus memiliki karakteristik peningkatan respon inflamasi. Selama eksaserbasi gejala
sesak meningkat karena peningkatan hiperinflasi, air trapping, dan penurunan aliran darah.
8
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat
A. Anamnesis
1. Faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat
pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polus i tempat kerja. Kebiasaan
merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting
dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan
apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam
tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat
2. Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa
dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses
penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang
terus menerus tanpa disertai batuk.Selain itu, sesak napas merupakan gejala yang sering
9
berat dengan aktivitas, persiten dan pasien seperti sukar bernapas.Seringkali pasien
sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga
sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup
digunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research
Tabel 2.1 Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
B. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
o Cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup). Sikap ini terjadi
o Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan
edema tungkai
Palpasi
10
o Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Auskultasi
Terdapat ronki, dan mengi pada waktu bernapas biasa atau ekspirasi
paksa.
C. Pemeriksaan Penunjang
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1
merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis
ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau
11
c. Laboratorium darah rutin
PaO2 < 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau Sa O2 < 90% dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7 kPa
(50 mmHg), saat bernafas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya gagal nafas.
PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO 2 > 9,3 kPa (70 mmHg) dan pH < 7,30, member
kesan episode ang mengancam jiwa dan perlu monitor ketat serta penanganan intensif.
e. Mikrobiologi sputum
f. Bakteriologi
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada pasien PPOK di
Indonesia.
Kadar α-1 antitripsin sebagai inhibitor dari protease serin rendah pada pasien PPOK
herediter.
12
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi (derajat)
PPOK, yaitu :
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru, namun
seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik.
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-
batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor
lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin
13
dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/
Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma bronkial dan
gagal jantung kronik
1. Mengurangi gejala
Menghilangkan gejala
2. Mengurangi risiko
Mengurangi kematian
14
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil.Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang
pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.Edukasi
dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU
dan di rumah.Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling,
karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga.Edukasi yang tepat
15
diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup
walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau
perlu saja )
3. Penggunaan oksigen
16
- Berapa dosisnya
Tanda eksaserbasi :
- Sputum bertambah
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung
diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali
pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel
17
Tabel 2.4. Pemberian Edukasi berdasarkan derajat penyakit
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
PPOK.Dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
18
- Golongan antikolinergik
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
- Golongan xantin
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi
sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
inhalasi long acting bronkodilator dan tidak direkomendasikan apabila obat tersebut
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral (prednison 40mg/hari
dosis tunggal selama maksimal 2minggu) atau injeksi intravena, berfungsi menekan
sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
19
c. Antibiotika
d. Antioksidan
e. Mukolitik
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.
f. Antitusif
20
21
3. Terapi Oksigen
kerusakan sel dan jaringan.Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
Indikasi :
Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90% - Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2
> 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal
kelangsungan hidup), oksigen, exercise (olahraga), toleransi, dan menggurangi sesak dan
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian
oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau
pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan
22
napas kronik.Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di
rumah.
5. Nutrisi
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia
ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan
hiperkapni.Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat
menyebabkan kelelahan.
6. Rehabilitasi PPOK
Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
23
- Kualiti hidup yang menurun
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut
pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan
oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat
normal.Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa
sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun.Pada pasien
PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini
memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor
pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal
jantung kanan.
24
BAB 3
LAPORAN KASUS
Ilustrasi kasus
Sesak nafas meningkat sejak 2 hari yang lalu, sesak menciut, sesak tidak dipengaruhi
cuaca, makanan, dan emosi. Sesak nafas meningkat dengan aktivitas. Riwayat sesak
sudah dirasakan sejak ± 2 tahun yang lalu. Pasien pernah didiagnosis PPOK dan dirawat
di rumah sakit Raden Mattaher± 2 tahun yang lalu, setelah itu pasien rutin berobat dan
diberi obat semprot yaitu inhaler Berotec dan inhaler bulat berwarna ungu (Seretide
diskus).
Batuk (+) meningkat sejak 3 hari yang lalu, batuk berdahak berwarna putih kekuningan,
25
Demam (-), riwayat demam (+) 3 hari yang lalu, hilang timbul dan tidak tinggi, riwayat
menggigil (-)
Riwayat merokok (+) 12 batang/hari selama ± 25 tahun dengan IB sedang dan berhenti
26
PEMERIKSAAN UMUM
Vital sign :
Leher :
Jantung:
Paru :
Palpasi : fremitus ki = ka
27
Perkusi : ki dan ka sonor
Abdomen:
Perkusi : timpani
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Faal Ginjal
Ureum : 21 mg/dl
Tindakan pengobatan :
Oksigen 3 L NRM
Combivent 6 x 2,5 ml
28
Injeksi Ceftriaxon 1 x 2 gr
Anjuran:
Pemeriksaan BTA
29
BAB 4
DISKUSI
Telah dilaporkan pasien laki-laki berumur 60 tahun datang ke IGD AHMAD RIFIN
pada tanggal 21 November 2019 dengan keluhan utama sesak nafas meningkat sejak 3 hari yang
lalu.
Berdasarkan anamnesis didapatkan sesak nafas yang dialami pasien menciut dan tidak
dipengaruhi dengan cuaca, makanan, dan emosi. Sesak nafas dirasa meningkat ketika pasien
melakukan aktivitas seperti saat bekerja. Riwayat pasien sesak nafas sudah dirasakan sejak ± 2
tahun yang lalu dan pasien pernah didiagnosis PPOK dan dirawat di rumah sakit Raden
Mattaher, setelah itu pasien rutin berobat dan diberi obat semprot yaitu inhaler Berotec dan
inhaler Seretide diskus. Pasien juga mengeluhkan batuk sebelum sesak napas. Batuk dirasa
meningkat sejak 3 hari yang lalu dan berdahak berwarna putih kekuningan, sukar dikeluarkan,
dan hilang timbul. Riwayat demam sebelumnya ada, 3 hari yang lalu, hilang timbul dan tidak
tinggi. Batuk darah, nyeri dada, keringat malam, nyeri ulu hati, penurunan nafsu makan,
penurunan berat badan, mual, muntah tidak ada. Riwayat minum OAT (-). Riwayat asma ada.
Riwayat merokok ada sebanyak 12 batang/hari selama ± 25 tahun dan berhenti sejak 1 tahun
Berdasarkan pemeriksaan fisik toraks, pada paru depan dan belakang ditemukan
simetris kanan dan kiri saat keadaan statis, pergerakan paru simetris kanan dan kiri, fremitus
kanan dan kiri sama, perkusi kanan dan kiri sonor, dan saat auskultasi terdengar suara nafas
ekspirasi memanjag, terdengar wheezing dan rhonki di kedua lapangan paru. Pemeriksaan
30
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dapat ditegakkan diagnosis
PPOK eksaserbasi akut. PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel
parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Tanda
eksaserbasi pada pasien ini yaitu terdapat batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah dan
berubah warna. Pada pasien ini memiliki riwayat merokok sebanyak 12 batang/hari selama ± 25
tahun dengan indeks Brinkman sedang dan berhenti sejak 1 tahun yang lalu. Merokok
merupakan salah satu faktor yang paling penting yag berperan dalam penyakit PPOK.
Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus.
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme
penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema
jaringan.
Diagnosis banding pada keluhan pasien ini adalah asma eksaserbasi akut. Tetapi asma
eksaserbasi akut disingkirkan karena sesak nafas yang dialami pasien tidak dipengaruhi cuaca,
makanan, dan emosi. Selain itu, sesak pada penderita asma tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik,
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi edukasi obat - obatan, terapi oksigen,
ventilasi mekanik, nutrisi, dan rehabilitasi. Pada pasien ini diberikan tindakan pengobatan berupa
Oksigen 3 L NRM, IVFD NaCl 0,9% 1 kolf/8 jam, drip aminofilin 1 ampul, combivent 6 x 2,5
ml, injeksi Dexametason 2 ampul, injeksi N asetil sistein 2 x 1 ampul, dan injeksi Ceftriaxon 1 x
2 gr. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
31
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik
yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan
utama dalam mencegah dan mengatasi gejala PPOK, bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Anti inflamasi injeksi intravena diberikan
bila terjadi eksaserbasi akut yang berfungsi menekan inflamasi yang terjadi. Antibiotik diberikan
bila terdapat infeksi. Mukolitik dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
biasanya digunakan N – asetilsistein. Pemeriksaan anjuran untuk pasien ini adalah pemeriksaan
spirometri. Spirometri dapat dengan akurat digunakan untuk mendiagnosis PPOK dan menilai
derajat obstruksi saluran napas. Spirometri menjadi gold standard untuk mendiagnosis PPOK.
Pada pengukuran spirometri penderita PPOK, dapat ditemukan penurunan volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP 1) dan penurunan kapasitas vital paksa (KVP) dan nilai VEP1/KVP
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas
akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.
32
Daftar Pustaka
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2016. Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Barcelona: Medical Communications Resources. Available from:
http://www.goldcopd.org.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), Pedoman
Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PT. Markindo Anugerah
Citra Pratama, 2016.
3. Rab, Tabrani. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta:Trans Info Media, 369-411
4. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V, Jakarta : Interna Publishing, 2009
5. Helmersen, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C., 2002. Risk Factors. In:
Bourbeau, J., ed. Comprehensive Management of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. London: BC Decker Inc, 33-44
7. Fishman A, Elias J.A, Fishman J.A, Grippi M.A, Senior R.M, Pack A.L. 2008. Fishman’s
Pulmonary Disease dan Disorders. US: The Mac Graw-Hill Company
33