Anda di halaman 1dari 33

Case Report Session

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK


EKSASERBASI AKUT

Oleh:

dr. Muhammad Rafi

Pembimbing:

dr. Elvidawati, Sp.PD-FINASM

KEPANITERAAN KLINIK INTERNSIP


BAGIAN INSTALASI RAWAT INAP
RSUD AHMAD RIPIN
MUARO JAMBI
2019

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati,

ditandai dengan hambatan aliran napas persisten, yang biasanya progresif dan ditandai dengan

peningkatan respon inflamasi kronik pada saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas

berbahaya1.PPOK adalah ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat

progressif nonreversibel atau reversibel parsial2.

Secara umum, faktor risiko utama pada PPOK adalah merokok. Pada beberapa negara,

polusi diluar ruangan, ditempat kerja ataupun didalam ruangan juga dapat menjadi faktor risiko

PPOK1. Pada perokok berat kemungkinan untuk mendapatkan PPOK menjadi lebih tinggi, selain

itu juga dapat terjadi penurunan dari refleks batuk3.

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit

tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini

disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko,

seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya

jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan

maupun di luar ruangan dan di tempat kerja2.

Pasien dengan dyspnea, batuk kronik, produksi sputum dan riwayat paparan faktor risiko

dapat dicurigai sebagai PPOK.Spirometri diperlukan untuk mendiagnosis klinis dari PPOK1.

Dalam keadaam eksaserbasi, dapat dilihat terjadinya batuk yang hebat disertai atau tidak dengan

sputum, bahkan dapat terancam terjadi kegagalan pernapasan. Pasien secara fisik diagnostik

tampak dalam keadaan dyspnea yang berat, takikardi, lemah dan konfusi.Dapat terjadi kegagalan

napas, perubahan pH, keseimbangan asam basa dan elektrolit3.

2
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah progresivitas dari

penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas, meningkatkan status

kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, dan

menurunkan angka kematian1,2.

1.2 Batasan Masalah

Pembatasan pada case report ini akan dibatasi pada diagnosis dan penatalaksanaan ppok

1.3 Tujuan penulisan

Adapun tujuan penulisan case report ini adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan dasar penegakan diagnosis ppok.

2. Menjelaskan tatalaksana ppok.

3. Menjelaskan penyulit dan komplikasi ppok.

1.4 Metode penulisan

Metode yang dipakai pada penulisan case report ini adalah tinjauan kepustakaan yang merujuk

dari beberapa literatur.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Definisi PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik

adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau

reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang

berbahaya1.

Dahulu PPOK, terdiri dari dari bronkitis kronik dan emfisema ataupun gabungan

keduanya, karena penyakit tersebut sering ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki

proses yang berbeda2,3.Akan tetapi menurut PDPI 2016, bronkitis kronik dan emfisema tidak

dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan

emfisema merupakan diagnosis patologi. Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan

hambatan aliran udara dalam saluran nafas.

2.2 Epidemiologi PPOK

Lebih dari 90% kematian akibat PPOK terjadi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Penyebab utama PPOK adalah paparan asap tembakau (baik merokok aktif atau
perokok pasif)8. Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat
mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000
meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke
empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vascular.Biaya yang dikeluarkan
untul penyakit ini mencapai $ 24 milyar pertahunnya. World Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat4,6.
Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup

kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto

dkk.(2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007

menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun.

Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita

4
dengan proporsi sebesar 90,83%. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki.Hal ini disebabkan

lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita.

2.3 Faktor Risiko PPOK2

a) Asap rokok

Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala

respirasi dan gangguan fungsi paru. Perokok adalah seseorang ang dalam

hidupnya pernah menghisap rokok sebanyak 100 batang atau lebih dan saat ini

masih merokok sedangkan bekas perokok adalah seseorang yang telah

meninggalkan kebisaan merokok selama 1 tahun. Risiko PPOK tergantung dari

dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan

lamanya perokok (Indeks Brinkman).

Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman yaitu : perkalian jumlah

rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam

setahun. Ringan : 0-200 , sedang : 201-600, berat : >600.

b) Polusi udara

 Polusi dalam ruangan

- Asap rokok

- Asap dapur (kompor, kayu, arang dll)

 Polusi diluar ruangan

- Gas buangan kendaraan bermotor

- Debu jalanan

 Polusi ditempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

c) Infeksi saluran nafas bawah berulang

5
Infeksi saluran nafas berat pada saat anak, akan menyebabkan penurunan

fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa sehingga

menyebabkan hiperreaktivitas bronkus.

d) Sosial ekonomi

Belum dapat dijelaskan secara pasti tetapi pajanan polusi didalam dan luar

ruangan, pemukiman yang padat, nutrisi yang buruk, peningkatan daya beli

menyebabkan peningkatan kendaraan bermotor di indonesia meningkat, kemajuan

ekonomi menyebabkan berkembangnya berbagai industri dengan dampak

peningkatan pulusi udara.

e) Genetik

Fator risiko genetik yang paling sering terjadi adalah mutasi gen serpina-1 yang

mengakibatkan kekurangan alva-1 antitripsin sebagai inhibitor dari protease serin.

f) Jenis kelamin

Faktor risiko lebih banyak pada laki-laki di bandingkan perempuan karena laki-

laki banyak yang merokok.

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi PPOK 1,2,5,7

Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dan respons inflamasi

normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Inflamasi paru diperberat oleh stress oksidatif dan

kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis

pada PPOK. Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan, yang melibatkan

peningkatan jumlah sel CD8+ (sitotoksik) limfosit Tc 1 yang hanya terjadi pada perokok

bersama sel neutrofil, makrofag melepaskan mediatro inflamasi dan enzim yang berinteraksi

dengan sel saluran nafas, parenkim paru danvaskuler paru

6
Stress oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam ppok. Stress

oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan

partikulat yang dihirup lainnya yang dilepaskan oleh sel-sel inflamasi diaktifkan. Stress oksidatif

berkontribusi dalam aktivasi gen inflamasi, inaktivasi protease, stimulasi sekresi mukus dan

stimulasi eksudasi plasma meningkat yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural

akibat cedera dan perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural saluran

napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit walaupun sudah berhenti

merokok.

Keterbatasan Aliran Udara dan Air Trapping

Tingkat peradangan, fibrosis dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil berkorelasi

dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP. Penurunan VEP1 merupakan gejala khas pada

PPOK, obstruksi jalan nafas ini menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan

hiperinflasi. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil

mukus bronkus. Obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap (air trapping)

dan mengakibatkan hiperinflasi.

Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual

fungsional, khususnya selama aktivitas (hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai sesak napas

dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan

mekanisme utama timbulnya sesak pada aktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran nafas

perifer mengurangi perangkap udara, sehingga mengurangi volume paru residu dan gejala serta

meningkatkan kapasitas inspirasi dan latihan.

Mekanisme Pertukaran Gas

7
Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan hiperkapnia

yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum, pertukaran gas akan memburuk selama

penyakit berlangsung. Tingkat keparahan emfisema berkorelasi dengan PO2 arteri dan tanda lain

dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA/Q). Obstruksi jalan nafas menghasilkan

ketidakseimbangan VA/Q. Gangguan fungsi otot pada penyakit yang sudah parah akan

mengurangi ventilasi. Kedua hal ini akan menyebabkan retensi karbon dioksida. Kelainan pada

ventilasi alveolar dan berkurangnya pembuluh darah paru memperburuk kelainan VA/Q.

Hipersekresi mukus

Hipersekresi mukus akan mengakibatkan batuk produktif kronik, adalah gambaran dari

bronkitis kronik tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan aliran darah, karena mtaplasia

mukosa yang meningkatkan jumlah sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sebagai

respon terhadap iritasi kronik saluran nafas oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya.

Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus melalui aktivasi reseptor faktor

EGFR. Namun tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi mukus.

Eksaserbasi

Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respons inflamasi dalam saluran napas

pasien PPOK. Keadaan ini dipicu oleh infeksi bakteri atau virus polusi lingkungan. Infeksi

bakteri dan virus memiliki karakteristik peningkatan respon inflamasi. Selama eksaserbasi gejala

sesak meningkat karena peningkatan hiperinflasi, air trapping, dan penurunan aliran darah.

Eksaserbasi juga menyebabkan penurunan VA/Q yang menyebabkan hipoksemia berat.

2.5 Diagnosis PPOK

8
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang.Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat

menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat

menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.

A. Anamnesis

1. Faktor risiko

Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat

pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polus i tempat kerja. Kebiasaan

merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting

dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan

apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas

perokok.Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu

perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam

tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat

(>600) (PDPI, 2003).

2. Gejala klinis

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa

dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses

penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang

dengan pengobatan yang diberikan.Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak

terus menerus tanpa disertai batuk.Selain itu, sesak napas merupakan gejala yang sering

dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas.Sesak progresif, bertambah

9
berat dengan aktivitas, persiten dan pasien seperti sukar bernapas.Seringkali pasien

sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga

sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup

digunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research

Council (MRC)(GOLD, 2015).

Tabel 2.1 Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

B. Pemeriksaan Fisik

 Inspeksi

o Bentuk dada seperti tong (barrel chest)

o Cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup). Sikap ini terjadi

sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO 2 yang terjadi

pada gagal napas kronik

o Penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas

o Pelebaran sela iga

o Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan

edema tungkai

 Palpasi

10
o Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

 Perkusi

o Pada emfisema ditemukan adanya hipersonor, batas jantung mengecil, letak

diafragma rendah hepar terdorong kebawah

 Auskultasi

o Suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang.

Terdapat ronki, dan mengi pada waktu bernapas biasa atau ekspirasi

paksa.

C. Pemeriksaan Penunjang

a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1

merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan

memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin

dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan

memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.

b. Radiologi (foto toraks)

Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi

atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, jantung

pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil

pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis

ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau

menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.

11
c. Laboratorium darah rutin

d. Analisa gas darah

PaO2 < 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau Sa O2 < 90% dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7 kPa

(50 mmHg), saat bernafas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya gagal nafas.

PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO 2 > 9,3 kPa (70 mmHg) dan pH < 7,30, member

kesan episode ang mengancam jiwa dan perlu monitor ketat serta penanganan intensif.

e. Mikrobiologi sputum

f. Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan

untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran

napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada pasien PPOK di

Indonesia.

g. Kadar α-1 antitripsin

Kadar α-1 antitripsin sebagai inhibitor dari protease serin rendah pada pasien PPOK

herediter.

2.6 Klasifikasi PPOK

12
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi (derajat)

PPOK, yaitu :

Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK


Derajat Klinis Faal Paru
Derajat I Gejala batuk krinik dan produksi sputum VEP1/KVP <70%
PPOK ringan ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini VEP1≥80% prediksi
pasien sering tidak menyadari bahwa faal
paru telah menurun
Derajat II Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas VEP1/KVP <70%
PPOK sedang dan kadang ditemukan gejala batuk dan 50% < VEP1< 80%
produksi sputum. Pada derajat ini biasanya prediksi
pasien mulai memeriksakan kesehatannya
Derajat III Gejala sesak lebih berat, penurunan VEP1/KVP <70%
PPOK berat aktivitas, rasa lelah dan serangan 30% < VEP1< 50%
eksaserbasi semakin sering dan berdampak prediksi
pada kualitas hidup pasien
Derajat IV Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal VEP1/KVP <70%
PPOK sangat berat napas atau gagal jantung kanan dan VEP1<30% prediksi
ketergantungan oksigen. Pada derajat ini atau VEP1< 50%
kualitas hidup pasien memburuk dan jika prediksi disertasi gagal
terjadi eksaserbasi dapat mengancam jiwa napas kronik

2.7 Diagnosis Banding PPOK

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru, namun

seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik.

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan

elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang

menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-

batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan

napas yang luas, bervariasi dan seringkali  bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor

lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk

berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin
13
dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/

predisposisi  asma  untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan

atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap.

Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3

Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma bronkial dan
gagal jantung kronik

2.8 Penatalaksanaan PPOK

Tujuan penatalaksanaan PPOK stabil, yaitu:

1. Mengurangi gejala

 Menghilangkan gejala

 Memperbaiki toleransi latihan

 Memperbaiki kualitas hidup

2. Mengurangi risiko

 Mencegah progresivitas penyakit

 Mencegah dan mengobati eksaserbasi

 Mengurangi kematian

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

14
1. Edukasi

2. Obat - obatan

3. Terapi oksigen

4. Ventilasi mekanik

5. Nutrisi

6. Rehabilitasi

1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK

stabil.Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.Karena PPOK adalah

penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan

keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.Berbeda dengan

asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat

adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal

3. Mencapai aktiviti optimal

4. Meningkatkan kualitas hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang

pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.Edukasi

dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU

dan di rumah.Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling,

karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga.Edukasi yang tepat

15
diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup

walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan

salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.

Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat

penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah

1. Pengetahuan dasar tentang PPOK

2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya

3. Cara pencegahan perburukan penyakit

4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)

5. Penyesuaian aktiviti

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan

skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :

1. Berhenti merokok

Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan

2. Pengunaan obat – obatan

- Macam obat dan jenisnya

- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )

- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau

perlu saja )

- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

3. Penggunaan oksigen

- Kapan oksigen harus digunakan

16
- Berapa dosisnya

- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

Tanda eksaserbasi :

- Batuk atau sesak bertambah

- Sputum bertambah

- Sputum berubah warna

6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung

ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu.Pemberian edukasi sebaiknya

diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali

pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada

PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel

17
Tabel 2.4. Pemberian Edukasi berdasarkan derajat penyakit

2. Obat - obatan

a. Bronkodilator

Bronkodilator merupakan obat utama dalam mencegah dan mengatasi gejala

PPOK.Dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.Pemilihan bentuk obat diutamakan

inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat

diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long

acting). Inhalasi long acting bronkodilator mengurangi eksaserbasi dan mengurangi

gejala dibandingkan inhalasi short acting bronkodilator.

Macam - macam bronkodilator :

- Golongan agonis beta - 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah

penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Bentuk nebuliser dapat

digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan

jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

18
- Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator

juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena

keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat

kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

- Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,

terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi

sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi

akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

Metilxantin kurang efektif dan kurang dapat ditoleransi dibandingkan dengan

inhalasi long acting bronkodilator dan tidak direkomendasikan apabila obat tersebut

tidak tersedia.Penambahan theofilin ke salmeterol meningkatkan FEV1 dibandingkan

dengan penggunaan tunggal dari salmeterol.

b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral (prednison 40mg/hari

dosis tunggal selama maksimal 2minggu) atau injeksi intravena, berfungsi menekan

inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.Bentuk inhalasi

sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu

terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

Penggunaan steroid oral jangka panjang tidak direkomendasikan.

19
c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi.Infeksi pada umunya disebabkan oleh

Strptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza dan Mycoplasma. Antibiotik yang

digunakan adalah antibiotik yang berspektrum luas.

d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -

asetilsistein.Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak

dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat

perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.

Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai

pemberian rutin.

f. Antitusif

Diberikan dengan hati - hati

20
21
3. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan

kerusakan sel dan jaringan.Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting

untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot

maupun organ - organ lainnya.

Indikasi :

Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90% - Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2

> 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal

jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain

Pemberian oksigen jangka panjang dpat meningkatkan survival rate (angka

kelangsungan hidup), oksigen, exercise (olahraga), toleransi, dan menggurangi sesak dan

keadaan terbangun pada malam hari.

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil

terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian

oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan

mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.

Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan

meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau

pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.

4. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,

gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan

22
napas kronik.Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di

rumah.

Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :

- ventilasi mekanik dengan intubasi

- ventilasi mekanik tanpa intubasi

5. Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya

kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia

kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.

Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan

derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah

Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah

karbohidrat.Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan

ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan

hiperkapni.Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat

menyebabkan kelelahan.

6. Rehabilitasi PPOK

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki

kualiti hidup penderita PPOK

Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah

mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :

- Simptom pernapasan berat

- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat

23
- Kualiti hidup yang menurun

2.9. Komplikasi PPOK

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut

pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan

oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat

normal.Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa

sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun.Pada pasien

PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini

memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh

menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor

pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal

jantung kanan.

24
BAB 3

LAPORAN KASUS

Ilustrasi kasus

Nama : Tn. S Status perkawinan : Menikah

Jenis kelamin : Laki-laki Negeri asal : Jambi

Usia : 60 tahun Agama : Islam

Pekerjaaan : Petani Nama Ibu kandung : Ny. Astiah

No. RM : 66 18 05 Suku : Melayu

Alamat : Bukit Baling, Muaro jambi Tanggal masuk : 21 November 2019

Keluhan utama : Sesak nafas meningkat sejak 3 hari yang lalu

Riwayat penyakit sekarang :

 Sesak nafas meningkat sejak 2 hari yang lalu, sesak menciut, sesak tidak dipengaruhi

cuaca, makanan, dan emosi. Sesak nafas meningkat dengan aktivitas. Riwayat sesak

sudah dirasakan sejak ± 2 tahun yang lalu. Pasien pernah didiagnosis PPOK dan dirawat

di rumah sakit Raden Mattaher± 2 tahun yang lalu, setelah itu pasien rutin berobat dan

diberi obat semprot yaitu inhaler Berotec dan inhaler bulat berwarna ungu (Seretide

diskus).

 Batuk (+) meningkat sejak 3 hari yang lalu, batuk berdahak berwarna putih kekuningan,

dahak dirasa sukar dikeluarkan, batuk hilang timbul.

 Batuk darah (-), riwayat batuk darah (-).

 Nyeri dada (-), riwayat nyeri dada (-).

25
 Demam (-), riwayat demam (+) 3 hari yang lalu, hilang timbul dan tidak tinggi, riwayat

menggigil (-)

 Keringat malam (-)

 Penurunan nafsu makan (-), penurunan berat badan (-)

 Nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-)

 BAB dan BAK tidak ada kelainan

Riwayat penyakit dahulu :

 Riwayat minum OAT (-)

 Riwayat DM (+) rutin kontrol

 Riwayat hipertensi (+)

 Riwayat Asma (+)

Riwayat penyakit keluarga :

 Riwayat anggota keluarga meminum OAT (-)

 Riwayat keluarga yang DM (-)

 Riwayat keluarga yang hipertensi (-)

 Riwayat keluarga dengan atopi (-)

Riwayat kebiasaan, sosial, dan pekerjaan :

 Pasien bekerja sebagai pekebun, sebelumnya pasien pernah bekerja di pabrik.

 Riwayat merokok (+) 12 batang/hari selama ± 25 tahun dengan IB sedang dan berhenti

sejak 1 tahun yang lalu, narkoba (-), alkohol (-)

26
PEMERIKSAAN UMUM

Vital sign :

 Keadaan umum : sedang  Frekuensi nafas : 22x /menit

 Kesadaran : CMC  Frekuensi nadi : 108x /menit

 Suhu : 36,60  Tinggi badan : 160 cm

 Tekanan darah : 170/90  Berat badan : 68 kg

Kepala : tidak ada kelainan

Mata : konjungtiva tidak anemis -/-, sklera tidak ikterik -/-

Leher :

JVP : 5-2 cmH2O

Trakea : tidak ada deviasi

KGB : tidak ada perbesaran

Jantung:

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari lateral LMCS RIC IV

Perkusi : batas jantung atas : RIC II

batas kiri : 1 jari lateral LMCS RIC IV

batas kanan : linea sternalis dextra RIC IV

Auskultasi : bunyi jantung S1 S2 normal, gallop (-), murmur (-)

Paru :

Inspeksi : simetris ki = ka (statis)

pergerakan dinding dada simetris ki = ka (dinamis)

Palpasi : fremitus ki = ka

27
Perkusi : ki dan ka sonor

Auskultasi : suara nafas ekspirasi memanjang, wh +/+, rh +/+

Abdomen:

Inspeksi : perut tidak membuncit

Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Genitalia : tidak diperiksa

Ekstremitas : akral hangat, edema - - , clubbing finger - / -


- -

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Faal Ginjal

Kreatinin : 1,8 mg/dl

Ureum : 21 mg/dl

Kesan: faal ginjal dalam batas normal

Diagnosis kerja : PPOK eksaserbasi akut + Hipertensi grade 2

Diagnosis banding : Asma eksaserbasi akut

Tindakan pengobatan :

Oksigen 3 L NRM

IVFD NaCl 0,9% 1 kolf/8 jam

Drip aminofilin 1 ampul

Combivent 6 x 2,5 ml

Injeksi Dexametason 2 ampul

Injeksi N asetil sistein 2 x 1 ampul

28
Injeksi Ceftriaxon 1 x 2 gr

Anjuran:

Pemeriksaan spirometri setelah stabil

Pemeriksaan BTA

29
BAB 4
DISKUSI

Telah dilaporkan pasien laki-laki berumur 60 tahun datang ke IGD AHMAD RIFIN

pada tanggal 21 November 2019 dengan keluhan utama sesak nafas meningkat sejak 3 hari yang

lalu.

Berdasarkan anamnesis didapatkan sesak nafas yang dialami pasien menciut dan tidak

dipengaruhi dengan cuaca, makanan, dan emosi. Sesak nafas dirasa meningkat ketika pasien

melakukan aktivitas seperti saat bekerja. Riwayat pasien sesak nafas sudah dirasakan sejak ± 2

tahun yang lalu dan pasien pernah didiagnosis PPOK dan dirawat di rumah sakit Raden

Mattaher, setelah itu pasien rutin berobat dan diberi obat semprot yaitu inhaler Berotec dan

inhaler Seretide diskus. Pasien juga mengeluhkan batuk sebelum sesak napas. Batuk dirasa

meningkat sejak 3 hari yang lalu dan berdahak berwarna putih kekuningan, sukar dikeluarkan,

dan hilang timbul. Riwayat demam sebelumnya ada, 3 hari yang lalu, hilang timbul dan tidak

tinggi. Batuk darah, nyeri dada, keringat malam, nyeri ulu hati, penurunan nafsu makan,

penurunan berat badan, mual, muntah tidak ada. Riwayat minum OAT (-). Riwayat asma ada.

Riwayat merokok ada sebanyak 12 batang/hari selama ± 25 tahun dan berhenti sejak 1 tahun

yang lalu. Riwayat atopi keluarga tidak diketahui.

Berdasarkan pemeriksaan fisik toraks, pada paru depan dan belakang ditemukan

simetris kanan dan kiri saat keadaan statis, pergerakan paru simetris kanan dan kiri, fremitus

kanan dan kiri sama, perkusi kanan dan kiri sonor, dan saat auskultasi terdengar suara nafas

ekspirasi memanjag, terdengar wheezing dan rhonki di kedua lapangan paru. Pemeriksaan

laboratorium AGD, elektrolit, dan faal ginjal dalam batas normal.

30
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dapat ditegakkan diagnosis

PPOK eksaserbasi akut. PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya

hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel

parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Tanda

eksaserbasi pada pasien ini yaitu terdapat batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah dan

berubah warna. Pada pasien ini memiliki riwayat merokok sebanyak 12 batang/hari selama ± 25

tahun dengan indeks Brinkman sedang dan berhenti sejak 1 tahun yang lalu. Merokok

merupakan salah satu faktor yang paling penting yag berperan dalam penyakit PPOK.

Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus.

Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator

mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit

dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme

penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema

jaringan.

Diagnosis banding pada keluhan pasien ini adalah asma eksaserbasi akut. Tetapi asma

eksaserbasi akut disingkirkan karena sesak nafas yang dialami pasien tidak dipengaruhi cuaca,

makanan, dan emosi. Selain itu, sesak pada penderita asma tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik,

pada pasien ini, sesak meningkat bila pasien melakukan aktivitas.

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi edukasi obat - obatan, terapi oksigen,

ventilasi mekanik, nutrisi, dan rehabilitasi. Pada pasien ini diberikan tindakan pengobatan berupa

Oksigen 3 L NRM, IVFD NaCl 0,9% 1 kolf/8 jam, drip aminofilin 1 ampul, combivent 6 x 2,5

ml, injeksi Dexametason 2 ampul, injeksi N asetil sistein 2 x 1 ampul, dan injeksi Ceftriaxon 1 x

2 gr. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.

31
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik

yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan

mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat

reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan

pengobatan dari asma. Obat-obatan untuk penatalaksanaan PPOK berupa bronkodilator,

antiinflamasi, antibiotik, antioksidan, mukolitik, dan antitusif. Bronkodilator merupakan obat

utama dalam mencegah dan mengatasi gejala PPOK, bentuk nebuliser dapat digunakan untuk

mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi

subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Anti inflamasi injeksi intravena diberikan

bila terjadi eksaserbasi akut yang berfungsi menekan inflamasi yang terjadi. Antibiotik diberikan

bila terdapat infeksi. Mukolitik dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,

biasanya digunakan N – asetilsistein. Pemeriksaan anjuran untuk pasien ini adalah pemeriksaan

spirometri. Spirometri dapat dengan akurat digunakan untuk mendiagnosis PPOK dan menilai

derajat obstruksi saluran napas. Spirometri menjadi gold standard untuk mendiagnosis PPOK.

Pada pengukuran spirometri penderita PPOK, dapat ditemukan penurunan volume ekspirasi

paksa detik pertama (VEP 1) dan penurunan kapasitas vital paksa (KVP) dan nilai VEP1/KVP

kurang dari 70% dari nilai prediksi.

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas

akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.

32
Daftar Pustaka

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2016. Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Barcelona: Medical Communications Resources. Available from:
http://www.goldcopd.org.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), Pedoman
Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PT. Markindo Anugerah
Citra Pratama, 2016.
3. Rab, Tabrani. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta:Trans Info Media, 369-411

4. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V, Jakarta : Interna Publishing, 2009

5. Helmersen, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C., 2002. Risk Factors. In:
Bourbeau, J., ed. Comprehensive Management of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. London: BC Decker Inc, 33-44

6. Kamangar, N., 2010. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. EMedicine.com.


Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/297664-overview

7. Fishman A, Elias J.A, Fishman J.A, Grippi M.A, Senior R.M, Pack A.L. 2008. Fishman’s
Pulmonary Disease dan Disorders. US: The Mac Graw-Hill Company

8. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD), 2016. Available from:


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/.

33

Anda mungkin juga menyukai