Anda di halaman 1dari 3

ALTRUISME DALAM SOCIAL CROWDFUNDING

“Where there is love there is life”


Ketika ada cinta, di situlah ada kehidupan (Mahatma Gandhi)

Peristiwa dalam kehidupan tanpa bisa diprediksi. Ada suka dan ada duka
dalam meniti suatu kehidupan. Manusia diciptakan untuk saling cinta kasih, rasa
saling tolong menolong sesama umat manusia tanpa melihat latar belakang, memiliki
rasa empati dan simpati. Aristoteles menyebutnya bahwa manusia adalah zoon
politicon atau makhluk sosial.
Dalam konteks sosial kehidupan antar manusia dan terlebih lagi di era
teknologi internet atau internet of things (IoT) ini, merubah mindset untuk
mempermudah saling berbagi tanpa ada keterbatasan ruang dan waktu. Berbuat untuk
sesuatu hal yang sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi mereka yang memerlukan
uluran bantuan adalah suatu keniscayaan sebagai umat manusia.
Hal ini yang diungkapkan Burhan Bungin (2006) bahwa, kemajuan teknologi,
khususnya teknologi informasi secara sadar membuka ruang kehidupan manusia
semakin luas, semakin tanpa batas dengan indikasi manusia sebagai penguasa
(khalifah) di planet bumi dan galaksinya. Teknologi Informasi (Information
Technology) berkembang pesat dan merambah hampir semua sisi kegiatan manusia,
di manapun berada, baik di desa maupun kota.
Sebagai contoh, kisah Rafi atau M, Rafi Alwaris, seorang anak berumur 8
tahun asal Cianjur Jawa Barat. Di usia 5 tahun sudah ditinggal ayahnya, dan di asuh
oleh nenek dan ibunya yang bekerja serabutan dengan penghasilan yang tak menentu.
Seiring berjalannya waktu di usia 8 tahun, Rafi juga kehilangan ibunya karena
meninggal dunia. Seorang anak yang masih kecil harus menjadi yatim piatu dan
kehilangan sosok kedua orang tuanya. Kini Rafi hidup di asrama Rumah Yatim agar
bisa sekolah dan tentunya belajar agama. Kisah lengkapnya diinisiasi Rumah Yatim
melalui Kitabisa .com (2019).
Kisah di atas hanyalah sebagian kecil dari peristiwa kehidupan manusia dan
masih banyak lagi kisah-kisah kehidupan manusia yang membutuhkan bantuan antar
sesama. Hadirnya platform online yang berbasis social crowdfunding atau
penggalangan/urun dana ini merupakan salah satu solusi tercepat untuk menyalurkan
donasi sesuai peruntukkannya. Crowdfunding sendiri menurut Sullivan (2006),
terinspirasi dari crowdsourcing dideskripsikan sebagai kerjasama kolektif, perhatian
dan kepercayaan dari orang-orang yang terhubung dan mengumpulkan uang bersama,
biasanya melalui internet, dalam mendukung usaha yang diinisiasi oleh orang lain
atau organisasi).
Dikutip dari laman marketeers.com (2017) yang dijelaskan Vikra Ijas selaku
Co-Founder dan CMO KitaBisa.com, platform crowdfunding berbasis donasi.
Diluncurkan pada tahun 2013, Kitabisa.com berawal dari proyek yang digagas Rumah
Perubahan, besutan Profesor Rhenald Kasali. Setelah melakukan validasi selama dua
tahun, barulah KitaBisa menjadi lembaga independen dengan memiliki yayasan dan
perusahaan. Selain KitaBisa, layanan serupa bisa ditawarkan startup GandengTangan,
AyoPeduli, dan Crowdtivate. Servis yang ditawarkan adalah menyediakan platform
penggalangan dana secara online melalui website atau aplikasi smartphone. Sehingga,
penggalangan dana untuk proyek-proyek sosial menjadi lebih sederhana, flexible, dan
viral.
Sebagai gambaran bahwa donasi yang dikelola para social crowdfunding tidak
sedikit jumlahnya, misal data yang disajikan Kitabisa.com yang telah
menghubungkan lebih dari 1 juta orang dan menyalurkan Rp. 500 miliar lebih donasi
bagi pihak yang membutuhkan dan laporan keuangan dari ACT (Aksi Cepat Tanggap)
di tahun 2018 sudah tersalurkan Rp. 500-an miliar lebih melalui berbagai program
bantuannya seperti bencana alam, kemanusiaan global, edukasi dan mitigasi bencana,
wakaf dan sebagainya.
Oleh karena itu sangatlah wajar khususnya di Indonesia lembaga-lembaga
nirlaba ikut berperan aktif dan tumbuh kembangnya start up berbasis sosial ini makin
marak karena memang memiliki tujuan untuk saling berbagi yang berlandaskan
kemanusiaan. Charities Aid Foundation (CAF) sebuah lembaga nirlaba yang
berkedudukan di Inggris setiap tahunnya melakukan survey kedermawanan negara
yang disajikan dalam World Giving Index Report (WGI). Survey tersebut menjelaskan
tingkat kedermawan negara-negara yang diukur dalam tiga indikator yakni helping
strangers (kerelaan menolong orang asing/belum dikenal), donate money
(mendonasikan uang), dan volunteering time (meluangkan waktu untuk terlibat
kegiatan kerelawanan).
Pada laman cafonline.org (2019) disajikan data negara-negara yang memiliki
tingkat kedermawanan dalam 10 tahun terakhir atau edisi 1 dekade. Berdasarkan tiga
indikator tersebut CAF melakukan survey terhadap 128 negara di dunia. Laporan
keseluruhan WGI per Oktober 2019 telah menempatkan Indonesia sebagai negara
paling dermawan rangking 10 dengan skor 50% dan diatasnya adalah negara Srilanka
dengan rangking ke 9 skor 51%. Sementara berdasarkan indikator WGI, pertama,
helping strangers, Indonesia mendapatkan skor rendah yakni 42% yang menempatkan
Indonesia di rangking 86. Kedua, dalam hal donate money, Indonesia meraih rangking
6 dengan skor 69% yang masih tertinggal oleh Myanmar mendapatkan rangking 1
dengan skor tertinggi 86%. Sedangkan indikator ketiga, yakni volunteering time,
Indonesia menempati peringkat ke 7 dengan skor 40% dan rangking pertamanya
Srilanka dengan skor 46%.
Realitas di atas memberikan ekspektasi bahwa Indonesia memiliki potensi
sosial yang sangat masif. Bersosialisasi dalam sikap gotong royong bukan saja
sebagai budaya atau identitas bangsa saja akan tetapi elan dari kegotong royongan
itulah yang dapat mewujudkan solidaritas sosial yang memiliki nilai moralbersifat
altruistik. Meminjam istilah solidaritas sosial yang dikemukakan Emile Durkheim
bahwa, solidaritas sosial adalah kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan
hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral
dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama.
Lebih lanjut berbicara sosial crowdfunding atau penggalangan atau urun dana
tidak terlepas dari cerita menarik. Pada laman online cnnindonesia.com (2017), Budi
Utomo alias Cak Budi sempat membuat heboh dalam satu pekan terakhir karena
menggunakan uang donasi untuk membeli ponsel iPhone 7 dan mobil Fortuner.
pemilik akun penggalangan donasi melalui media sosial (cakbudi_) itu lalu
menceritakan alasan kenapa ia membeli iPhone 7 dan Mobil Toyota Fortuner.
Dikatakan Cak Budi di sela-sela kunjungannya di kantor Kementerian Sosial bahwa
"Saya butuh mobil yang besar karena jangkauannya ini terjal, gunung, pelosok desa.
Kalau mobil pendek nanti kecantol." sedangkan handphone digunakan karena kualitas
kamera bagus dan memori besar untuk mengabadikan momen. Sehingga,
dokumentasi itu nantinya bisa diunggah di akun Instagramnya.
Dan ternyata dia memang tidak tahu cara mengelola dan mengatur bantuan
atau donasi yang masuk dari para donatur. Termasuk soal penggunaan dana dari para
donatur tersebut. Pada akhirnya semua barang tersebut dijual kembali dan hasilnya
diserahkan ke lembaga sosial Aksi Cepat Tanggap (ACT). Total uang donasi yang ia
serahkan itu senilai Rp1.774.388.531.
Belajar dari kasus di atas bahwa peran pemerintah selaku regulator tak bisa
tinggal diam. Diharapkan untuk merevisi aturan baik undang-undang maupun
peraturan pemerintah yang berkaitan pelaksanaan pengumpulan sumbangan. Bisa jadi
pemerintah melibatkan pegiat social crowdfunding untuk merumuskan rule of game
sehingga apa yang dihasilkan bisa efektif dan efisien agar kedepan pengelolaan dana-
dana dari donatur lebih transparan dan akuntabel, profesional dalam penyaluran
bantuan, dan tidak terjebak dalam kepentingan pribadi maupun golongan.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan, adalah pertama, peran aktif dan positif
dari platform online berupa start up yang berbasis social crowdfunding dan organisasi
nirlaba merubah mindset donasi ke arah yang simple, cepat dan mudah, transparan
serta akuntabel. Kedua, sikap saling berbagi berlandaskan kemanusiaan mewujudkan
Indonesia menjadi salah satu negara yang dermawan. Ketiga, elan kegotong royongan
membentuk solidaritas sosial bersifat altruistik. Keempat, pemerintah lebih concern
baik dari sisi regulasi (termasuk law enforcement) maupun kolaborasi dengan pegiat
sosial.”Try not to become a man of success, but rather try to become a man of
value.”(Cobalah untuk tidak menjadi orang sukses, melainkan mencoba menjadi
orang yang berharga-Albert Einstein).

Anda mungkin juga menyukai