Disusun Oleh :
Revania Radina Thirza
G4A018080
Pembimbing :
dr. Thianti Sylviningrum, M.Pd, Ked, M.Sc, Sp. KK
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disusun dan disetujui laporan Presentasi Kasus Bangsal yang berjudul:
“NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK”
Disusun oleh :
Revania Radina Thirza
G4A016102
Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Pembimbing,
I. PENDAHULUAN...........................................................................................1
II. LAPORAN KASUS........................................................................................3
A. Identitas Pasien.............................................................................................3
B. Anamnesis.....................................................................................................3
C. Pemeriksaan Fisik.........................................................................................4
D. Pemeriksaan Penunjang................................................................................5
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang....................................................................6
F. Resume..........................................................................................................6
G. Diagnosis Kerja.............................................................................................7
H. Diagnosis Banding........................................................................................7
I. Penatalaksanaan............................................................................................7
J. Prognosis.......................................................................................................8
III. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................9
A. Definisi.............................................................................................................9
B. Epidemiologi.................................................................................................9
C. Etiologi........................................................................................................10
D. Patogenesis..................................................................................................10
E. Manifestasi Klinis.......................................................................................12
F. Penegakan Diagnosis..................................................................................13
G. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................15
H. Tatalaksana..................................................................................................16
I. Diagnosis Banding......................................................................................20
J. Komplikasi..................................................................................................20
K. Prognosis.....................................................................................................20
IV. PEMBAHASAN............................................................................................22
A. Penegakan Diagnosis..................................................................................22
B. Diagnosis Banding......................................................................................22
C. Penatakalsanaan..........................................................................................22
D. Prognosis.....................................................................................................23
V. KESIMPULAN.............................................................................................24
I. PENDAHULUAN
1
2
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. W
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 35 tahun
Alamat : Ledug RT 08/RW 01, Kembaran, Banyumas
Agama : Islam
Tanggal Periksa : 19 Juni 2019
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kulit mengelupas di sekujur tubuh
2. Keluhan Tambahan
Nyeri dan panas
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Dilakukan aloanamnesis pada ibu pasien. Pasien datang ke IGD
RSMS pada 19 Juni 2019 dengan keluhan kulit mengelupas pada
bagian wajah, leher, telinga kiri, kedua tangan, ketiak, perut,
punggung, dan area genital. Keluhan dirasakan 1 jam SMRS.
Sebelumnya pasien sempat mengkonsumsi obat paracetamol karena
merasa demam. Segera setelah mengkonsumsi obat paracetamol
muncul keluhan kulit mengelupas. Pada awalnya kulit pasien berwarna
merah gelap, kemudian kulit mulai mengelupas. Keluhan kulit
mengelupas dirasakan semakin meluas dan memberat. Kulit yang
mengelupas berwarna merah kehitaman. Keluhan lain yang dirasakan
pasien yaitu nyeri dan panas pada kulit. Pasien juga agak sulit buang
air kecil karena nyeri dan sulit berbicara.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Pasien belum pernah merasakan keluhan yang serupa sebelumnya
b. Riwayat alergi disangkal
c. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, atau penyakit kronis lainnya
diasangkal.
d. Riwayat epilepsi dan pengobatan rutin dengan fenitoin bulan ke 3
3
4
Hematokrit 50 N 5
Hemoglobin 16,8 N g/dL
Hitung Jenis Leukosit
Leukosit 23510 H U/L
Limfosit 8,5 L %
MCH 29,9 N Pg/cell
MCHC 33,4 N %
MCV 89,5 N fL
Monosit 5,5 N %
MPV 8,8 L fL
Neutrofil 83 H %
RDW 13,4 N %
Segmen 82 H %
Trombosit 293.000 N u/L
F. Resume
Dilakukan aloanamnesis pada ibu pasien. Pasien datang ke IGD RSMS
pada 19 Juni 2019 dengan keluhan kulit mengelupas pada bagian wajah,
leher, telinga kiri, kedua tangan, ketiak, perut, punggung, dan area genital.
Keluhan dirasakan 1 jam SMRS. Sebelumnya pasien sempat
mengkonsumsi obat paracetamol karena merasa demam. Segera setelah
mengkonsumsi obat paracetamol muncul keluhan kulit mengelupas. Pada
awalnya kulit pasien berwarna merah gelap, kemudian kulit mulai
mengelupas. Keluhan kulit mengelupas dirasakan semakin meluas dan
memberat. Kulit yang mengelupas berwarna merah kehitaman. Keluhan
lain yang dirasakan pasien yaitu nyeri dan panas pada kulit. Pasien Pasien
belum pernah merasakan keluhan yang serupa sebelumnya. Riwayat alergi
7
I. Penatalaksanaan
1. Edukasi
a. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita adalah
dapat diakibatkan oleh obat yang dikonsumsi pasien.
b. Menjelaskan bahwa penyakit yang diderita pasien merupakan
kegawatdaruratan sehingga perlu dilakukan rawat inap.
c. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk menjaga
kebersihan mata dan mulut pasien.
2. Medikamentosa
a. Menghentikan konsumsi obat paracetamol dan obat antiepilepsi
yaitu fenitoin untuk sementara.
b. Kortikosteroid sistemik : dexamethason 3x1 i.v
3. Non-medika mentosa
a. Pemberian cairan intravena : IVFD RL 24 TPM
8
J. Prognosis
Prognosis pasien belum dapat dievalusi menggunakan SCORTEN sebab
belum dilakukan pemeriksaan BUN, glukosa serum, dan bikarbonat
serum.
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah reaksi mukokutan akut yang
ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis > 30% luas permukaan
badan (LPB), disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Lesi
berupa makula eritem, terutama pada badan dan tungkai atas, berkembang
progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis
(Sulistyo et al., 2017). Karena kesamaan dalam temuan klinis dan
histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme terjadinya penyakit, SSJ dan
NET mewakili keparahan varian dari proses identik yang berbeda hanya
dalam persentasi luas permukaan tubuh yang terlibat, maka kedua penyakit
dikelompokkan sebagai nekrolisis epidermal (NE). Nekrolisis epidermal
diklasifikasi dalam 3 kelompok berdasarkan luas permukaan tubuh total di
mana epidermis mengalami epidermolisis, yaitu SSJ (luas permukaan tubuh
yang terkena 30%) (Wolff et al., 2012).
K. Epidemiologi
Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan
NET diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET
dapat terjadi pada semua usia tapi insidensinya bertambah di atas dekade ke-4
dan sering terjadi pada wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6 (Thomas
et French, 2010).
Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN,
yaitu pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi
umum, dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV
positif. Perbedaan regional pada peresepan obat, latar belakang genetik dari
pasien (HLA, enzim metabolism), koeksistensi kanker, atau bersama dengan
radioterapi dapat berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit
tersebut 10% untuk SJS, 30% untuk SJS / NET, dan lebih dari 30% untuk
NET. Dalam analisa kelangsungan hidup SJS / NET dengan angka mortalitas
secara keseluruhan adalah 23% pada enam minggu, 28% pada tiga bulan dan
34% pada satu tahun. Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan, yang
9
10
N. Manifestasi Klinis
1. Anamnesis
NE secara klinis timbul dalam 8 minggu (4-30 hari) setelah pajanan
obat, kecuali pada pasien yang pernah menderita NE kelainan klinis dapat
timbul dalam beberapa jam. Keluhan non-spesifik (demam, sefalgia,
rhinitis, dan myalgia) timbul 1-3 hari sebelum lesi mukokutan. Selanjutnya
secara progresif, timbul keluhan sakit menelan dan rasa terbakar pada
mata, mengawali terkenanya mukosa. Kisaran 1/3 kasus dimulai dengan
gejala non-spesifik, 1/3 dengan gejala mukosa, dan 1/3 dengan eksantema
(Thaha, 2010).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Lesi Kulit
Awalnya, erupsi terdistribusi simetrsis di wajah, tubuh bagian atas,
dan ekstremitas bagian proksimal. Erupsi selanjutnya dalam beberapa
jam sampai beberapa hari menyebar ke bagian tubuh lain. Lesi kulit
awal ditandai macula dusky red, purpuric, ireguler, dan secara
progresif akan berkonfluen. Lesi target atipik dengan bagian sentral
gelap sering dijumpai. Penggabungan lesi nekrotik menimbulkan
eritem difus dan luas. Tanda Nikolsky positif pada zona eritematosa.
Pada stadium ini, lesi berkembang menjadi lepuh flaksid, yang
menyebar bila ditekan dan mudah pecah. Epidermis yang nekrotik
mudah terlepas pada tempat yang mendapat tekanan atau trauma
gesekan, menampakkan area dermis luas yang terbuka, merah, kadang
membasah (Thaha, 2010).
Pasien diklasifikasi dalam 1 dari 3 kelompok berdasarkan total area
epidermis yang yang terkelupas (Nikolsky sign positif). SSJ bila BSA
yang terkena <10%, SSJ/NET overlap bila BSA antara 10-30%, dan
NET bila >30% (Thaha, 2010).
b. Lesi Mukosa
Keterlibatan mukosa (minimal 2 lokasi) ditemui pada 90% kasus
dan dapat mendahului atau mengilarti erupsi kulit. Lesi dimulai dengan
eritema dilanjutkan dengan erosi yang nyeri pada mukosa mulut, mata
13
1. Anamnesis
a. Penyebab terpenting adalah penggunaan obat.
b. Riwayat penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian,
lama pemberian, urutan pemberian obat), serta kontak obat pada kulit
yang terbuka (erosi, eskoriasi, ulkus) atau mukosa.
c. Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul kelainan
kulit (segera, beberapa saat atau jam atau hari atau hingga 8 minggu).
d. Identifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma pneumoniae,
virus), imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang belakang.
2. Pemeriksaan fisik
SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa.
a. Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi, krusta
kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis. Tanda
Nikolsky positif.
b. Kelainan mukosa (setidaknya pada dua tempat): biasanya dimulai
dengan eritema, erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata, dan genital.
Kelainan mata berupa konjungtivitis kataralis, purulenta, atau ulkus.
Kelainan mukosa oral berupa erosi hemoragik, nyeri yang
tertutup pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan genital be
rupa erosi yang dapat menyebabkan sinekia (perlekatan.
c. Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan lemah badan, keterlibatan organ dalam
seperti paru-paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan
pernapasan dan batuk, sertakomplikasi organ digestif seperti
diare masif, malabsorbsi, melena, atau perforasi kolon.3. Kriteria SSJ,
SSJ overlap
3. NET, dan NET berdasarkan luas area epidermis yang terlepas(epidermolisi
s), yaitu: SSJ (<10% luas permukaan tubuh), SSJ overlap NET (10-
30%), dan NET(>30%). Penentuan daerah yang terlibat dapat dilakukan
dengan menggunakan Hukum Sembilan (Wallace Rules of Nine).
15
P. Pemeriksaan Penunjang
1. Histopatologi
Gambaran histopatologik NET berupa apoptosis epidermal yang
berkaitan dengan degenerasi hidropik sel basal atau vesikulasi
subepidermal. Terdapat eksositosis limfosit dan nekrosis sel satelit. Epitel
kelenjar keringat dan folikel rambut juga terkena, tetapi lebih jarang.
Terdapat infiltrat perivaskular dari limfosit, makrofag, dan melanofag pada
bagian superfisial dermis, yang kadang disertai edema. Kadang-kadang
dapat ditemukan eosinofil.8 Pada pasien ini tidak dilakukan biopsi kulit
untuk pemeriksaan histopatologik karena riwayat dan lesi klinis berupa
epidermolisis yang mengenai 30% luas permukaan tubuh sudah jelas
(Gunawan et al., 2017).
2. Laboratorium Darah
Pada pemeriksaan laboratorium penderita NET bisa didapatkan
ketidakseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia, renal
azotemia, anemia, leukositosis ringan, dan trombositopeni (Gunawan et
al., 2017).
16
Q. Tatalaksana
NET merupakan penyakit yang mengancam nyawa yang membutuhkan
tatalaksana yang optimal berupa: deteksi dini dan penghentian sementara obat
tersangka, perawatan suportif di rumah sakit, dan perawatan spesifik. Sangat
disarankan untuk merawat pasien NET di ruang perawatan khusus (Sulistyo et
al., 2017).
Terapi SSJ dan NET terdiri dari penghentian obat sedini mungkin, terapi
suportif dan terapi spesifik. Secepatnya menghentikan obat yang diduga
(mengeliminasi obat) akan menurunkan angka mortalitas dari 26% menjadi
5% (Rahmawati et Indramaya, 2016)..
1. Pengobatan Simptomatik Suportif
Penanganan simptomatik suportif yaitu bertujuan untuk
mempertahankan keseimbangan hemodinamik, dan mencegah terjadi
komplikasi yang mengancam jiwa (Thaha, 2010). Pada pasien NET terjadi
kehilangan cairan melalui erosi yang dapat mengakibatkan hipovolemia
dan gangguan keseimbangan elektrolit (Sulistyo et al., 2017).
Perawatan suportif mencakup:
a. Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi
SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan
dikarenakan erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan
ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian ulang cairan harus dimulai
secepat mungkin dan disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus
biasanya kurang dari luka bakar pada tingkat keparahan yang sama,
karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran vena perifer lebih
disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran sentral
sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi (Tyagi et
al, 2010).
Hal lain yang perlu dijaga adalah temperatur lingkungan,
sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah
pengeluaran kalori yang berlebihan karena kehilangan epidermis.
Penggunaan pelembab udara saat tidur meningkatan rasa nyaman
17
pasien. Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi
sehingga memerlukan tambahan nutrisi (Tyagi et al, 2010).
Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan luas area tubuh
yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral
karena dapat ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan
pemasukan kalori lebih banyak. Sedangkan terapi parenteral
membutuhkan akses vena sentral dan meningkatkan resiko sepsis.
Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila terdapat lesi mukosa
mulut (Wolff et al, 2012).
b. Antibiotik
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin
dapat menyebabkan resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas.
Pasien diberikan antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi.
Tanda-tanda tersebut antara lain perubahan status mental, mengigil,
hipoterimia, menurunnya pengeluaran urin dan penurunan kondisi
klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri pada kultur kulit.
Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat
disarankan. Penyebab utama dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah
Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Spesies
Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya sama dengan yang
dikultur dari kulit (Tyagi et al, 2010).
c. Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif
dan agresif tidak direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis
permukaan bukanlah halangan untuk reepitelisasi, dan justru dapat
mempercepat proliferasi sel-sel stem berkenaan dengan sitokin
peradangan (Wolff et al, 2012).
Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan,
elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan
dengan pemberian analgetik dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit
dibersihkan dengan antiseptic yang ringan dan solusio antibiotik
18
R. Diagnosis Banding
NET dibedakan dengan Sindrom Steven Johnson (SSJ) dari luas
permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. SSJ dan NET ditandai
dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa. Karena kemiripan penemuan
klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta mekanisme, SSJ dan NET ini
dianggap variasi dan kontinu penyakit yang dibedakan dengan melihat
tingkat keparahan serta persentase permukaan tubuh yang terlibat lecet dan
erosi kulit. Beberapa kepustakaan menggunakan stilah eritema multiforme
mayor untuk SSJ dan NET. SSJ menampilkan kondisi yang kurang parah,
yang mana pelepasan kulit < 10% dari permukaan tubuh NET melibatkan
perluasan > 30% dari luas permukaan tubuh. SSJ/NET menampilkan pasien
dengan perluasan kulit 10-30% dari luas permukaan tubuh (Sulistyo et al.,
2017).
S. Komplikasi
Komplikasi primer yang didapatkan pada pasien SSJ dan NET yakni
bercak hipopigmentasi dan hiperpigmentasi, komplikasi sekunder yakni
kelainan pada mata (keratitis, lagoftalmus, simblefaron, erosi kornea) dan
komplikasi tersier adalah kelainan pada liver, yakni didapatkan peningkatan
serum transaminase. Penurunan sistem pertahanan tubuh, luasnya
epidermolisis akan menurunkan fungsi kulit sebagai barrier tubuh sehingga
dapat sebagai pintu masuknya kuman ke dalam tubuh, hal ini dapat
menyebabkan sepsis (Rahmawati et Indramaya, 2016)..
Komplikasi yang sering terjadi pada penyakit NE dapat berupa sepsis,
gagal organ multisistem (>30%), komplikasi paru (>15%), komplikasi mata
(20-75%) (yang merupakan komplikasi lambat, akibat gangguan fungsi epitel
konjungtiva sehingga terjadi kekeringan gangguan lakrimasi dengan
konsekuensi terjadi radang kronis, fibrosis, ektropion, trikiasis, simblefaron,
ulkus kornea dan kebutaan) (Thaha, 2010).
T. Prognosis
Penentuan prognosis pasien SSJ dan NET penting dilakukan. Penilaian
prognosis dengan menggunakan SCORTEN. Penilaian prognosis dengan
21
23
24
25
26
DAFTAR PUSTAKA
Chung WH, Hung SI. Genetic markers and danger signals in stevens Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Allergology International,
2010;59:325-32
Gunawan,., Wibawa, A,S., Pietes, L.S., Nurdjannah, J.N. 2017. Satu Nekrolisis
Epidermal Toksik yang diduga disebabkan oleh Kotrimoksazol. Jurnal
Biomedik, 9(1) : 52-57.
Harr Thomas, et French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson
syndrome. Dalam: Orphanet Journal of rare disease 2010:1-11
Perdoski. 2017. Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitan Pelayanan Primer.
Jakarta
Rahmawati, Y.W., et Indramaya, D.M. 2016. Studi Retrospektif : Sindrom
Steven-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Periodical of Dermatology
and Venerology, 28(2) : 68-76.
Sulistyo, G., Yulisna, Indria, D. 2017. Nekrolisis Epidermal Toksik : Laporan
Kasus pada Pasien Geriatri. J AgromedUnila, 3(1) : 156-159.
Thaha, M.A. 2009. SIndrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik di
RSUP MH Palembang Periode 2006-2008. Media Medika Indonesia, 45(5) :
234-239.
Tyagi S, Kumar S, Kumar A, Singla M, Singh A. Stevens Johnson Syndrome-A
life threatening disorder: A review. Dalam: J Chem Pharm Res 2010,2(2):618-
26
Wolff, K., Lefell, D.J., Paller, A.S., Gilchrest, B.A., Katza, S.I., Goldsmith, LA.
2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. McGraw Hill, New
York.