Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS BANGSAL

“NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK”

Disusun Oleh :
Revania Radina Thirza
G4A018080

Pembimbing :
dr. Thianti Sylviningrum, M.Pd, Ked, M.Sc, Sp. KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disusun dan disetujui laporan Presentasi Kasus Bangsal yang berjudul:
“NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK”

Disusun oleh :
Revania Radina Thirza
G4A016102

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Juni 2019

Pembimbing,

dr. Thianti Sylviningrum, M.Pd, Ked, M.Sc, Sp. KK


NIP. 19790622 201012 2 001
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN...........................................................................................1
II. LAPORAN KASUS........................................................................................3
A. Identitas Pasien.............................................................................................3
B. Anamnesis.....................................................................................................3
C. Pemeriksaan Fisik.........................................................................................4
D. Pemeriksaan Penunjang................................................................................5
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang....................................................................6
F. Resume..........................................................................................................6
G. Diagnosis Kerja.............................................................................................7
H. Diagnosis Banding........................................................................................7
I. Penatalaksanaan............................................................................................7
J. Prognosis.......................................................................................................8
III. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................9
A. Definisi.............................................................................................................9
B. Epidemiologi.................................................................................................9
C. Etiologi........................................................................................................10
D. Patogenesis..................................................................................................10
E. Manifestasi Klinis.......................................................................................12
F. Penegakan Diagnosis..................................................................................13
G. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................15
H. Tatalaksana..................................................................................................16
I. Diagnosis Banding......................................................................................20
J. Komplikasi..................................................................................................20
K. Prognosis.....................................................................................................20
IV. PEMBAHASAN............................................................................................22
A. Penegakan Diagnosis..................................................................................22
B. Diagnosis Banding......................................................................................22
C. Penatakalsanaan..........................................................................................22
D. Prognosis.....................................................................................................23
V. KESIMPULAN.............................................................................................24
I. PENDAHULUAN

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah reaksi mukokutan akut yang


ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis > 30% luas permukaan
badan (LPB), disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Lesi berupa
makula eritem, terutama pada badan dan tungkai atas, berkembang progresif
menjadi lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis (Sulistyo et al.,
2017).
Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan NET
diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET dapat
terjadi pada semua usia tapi insidensinya bertambah di atas dekade ke-4 dan
sering terjadi pada wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6 (Thomas et
French, 2010). Obat merupakan penyebab tersering SSJ dan NET, 77-95%
penyebab SSJ dan NET disebabkan oleh obat. Selain obat, SSJ dan NET dapat
disebabkan oleh infeksi, imunisasi, keganasan, paparan bahan kimia dari
lingkungan, dan radiasi. Obat tersering penyebab kasus SSJ dan NET ialah
antibiotik, antikonvulsan, non-steroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs), dan
allopurinol (Rahmawati et Indramaya, 2016).
Menurut PERDOSKI (2017) terdapat beberapa kriteria untuk menegakkan dia
gnosis dari Nekrosis Epidermolisis antara lain riwayat penggunaan obat sistemik
(jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian, lama pemberian, urutan pemberian obat).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kelainan kulit yaitu ebrupa eritema, vesikel,
papul, erosi, eskoriasi, krusta kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis.
Tanda Nikolsky positif. Kemudian adanya keterlibatan mukosa (setidaknya pada
dua tempat) di mata, mulut, dan/atau genital.
NET merupakan kegawatdaruratan dalam bidang kulit. Untuk itu perlu
dilakukan penatalaksanaan segera. Penatalaksanaan NET dapat berupa deteksi
dini dan penghentian sementara obat tersangka, perawatan suportif di rumah sakit,
dan perawatan spesifik. Komplikasi yang sering terjadi pada penyakit NE dapat
berupa sepsis, gagal organ multisistem (>30%), komplikasi paru (>15%),
komplikasi mata (20-75%) (yang merupakan komplikasi lambat, akibat gangguan
fungsi epitel konjungtiva sehingga terjadi kekeringan gangguan lakrimasi dengan

1
2

konsekuensi terjadi radang kronis, fibrosis, ektropion, trikiasis, simblefaron, ulkus


kornea dan kebutaan) (Thaha, 2010).
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. W
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 35 tahun
Alamat : Ledug RT 08/RW 01, Kembaran, Banyumas
Agama : Islam
Tanggal Periksa : 19 Juni 2019
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kulit mengelupas di sekujur tubuh
2. Keluhan Tambahan
Nyeri dan panas
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Dilakukan aloanamnesis pada ibu pasien. Pasien datang ke IGD
RSMS pada 19 Juni 2019 dengan keluhan kulit mengelupas pada
bagian wajah, leher, telinga kiri, kedua tangan, ketiak, perut,
punggung, dan area genital. Keluhan dirasakan 1 jam SMRS.
Sebelumnya pasien sempat mengkonsumsi obat paracetamol karena
merasa demam. Segera setelah mengkonsumsi obat paracetamol
muncul keluhan kulit mengelupas. Pada awalnya kulit pasien berwarna
merah gelap, kemudian kulit mulai mengelupas. Keluhan kulit
mengelupas dirasakan semakin meluas dan memberat. Kulit yang
mengelupas berwarna merah kehitaman. Keluhan lain yang dirasakan
pasien yaitu nyeri dan panas pada kulit. Pasien juga agak sulit buang
air kecil karena nyeri dan sulit berbicara.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Pasien belum pernah merasakan keluhan yang serupa sebelumnya
b. Riwayat alergi disangkal
c. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, atau penyakit kronis lainnya
diasangkal.
d. Riwayat epilepsi dan pengobatan rutin dengan fenitoin bulan ke 3

3
4

5. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Keluhan serupa yang dialami oleh keluarga disangkal.
b. Tidak ada riwayat, diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit kronis
lain pada keluarga pasien.
c. Riwayat alergi di keluarga pasien tidak diketahui.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bertiga bersama ibu dan adik pasien. Sehari-hari
pasien berada di rumah dan tidak bekerja.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : Baik BB: 68 kg, TB: 165 cm
Vital Sign : Tekanan darah : 125/95
Nadi : 86 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 37,2°C
Kepala : Mesochepal, simetris, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-)
Telinga : Simetris, sekret (-), discharge (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-), mukosa mulut sulit
dinilai
Tenggorokan: sulit dinilai
Thorax : Simteris. Retraksi (-)
Jantung : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-).
Paru : SD vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Datar, supel, timpani, BU (+) normal
Kelenjar Getah Bening: tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas: Akral hangat, edema (-) , sianosis (-), kaku (+)
Genital : nyeri (+) saat buang air kecil, lesi kulit (+)
2. Status Dermatologis
5

a. Eflorosensi : Bula dan makula eritematosa disertai erosi dan


ekskoriasi generalisata
b. Lokasi : Regio auricular sinistra, fascialis, cervical, thorax anterior,
thorax posterior, abdomen, ekstremitas superior dextra et sinistra,
cruris.
c. Nikolsky Siign (+)

Gambar 2.1 Lokasi dan Efloresensi Lesi Kulit


D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil Satuan Interpretasi
Albumin 3,45 N g.dL
Darah Lengkap
Basofil 0,5 N %
Eosinofil 2,5 N %
Eritrosit 5,6 N 10^6/uL
6

Hematokrit 50 N 5
Hemoglobin 16,8 N g/dL
Hitung Jenis Leukosit
Leukosit 23510 H U/L
Limfosit 8,5 L %
MCH 29,9 N Pg/cell
MCHC 33,4 N %
MCV 89,5 N fL
Monosit 5,5 N %
MPV 8,8 L fL
Neutrofil 83 H %
RDW 13,4 N %
Segmen 82 H %
Trombosit 293.000 N u/L

E. Usulan Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan kadar glukosa serum, bikarbonat serum, dan BUN, serta
pemeriksaan histopatologi.

F. Resume
Dilakukan aloanamnesis pada ibu pasien. Pasien datang ke IGD RSMS
pada 19 Juni 2019 dengan keluhan kulit mengelupas pada bagian wajah,
leher, telinga kiri, kedua tangan, ketiak, perut, punggung, dan area genital.
Keluhan dirasakan 1 jam SMRS. Sebelumnya pasien sempat
mengkonsumsi obat paracetamol karena merasa demam. Segera setelah
mengkonsumsi obat paracetamol muncul keluhan kulit mengelupas. Pada
awalnya kulit pasien berwarna merah gelap, kemudian kulit mulai
mengelupas. Keluhan kulit mengelupas dirasakan semakin meluas dan
memberat. Kulit yang mengelupas berwarna merah kehitaman. Keluhan
lain yang dirasakan pasien yaitu nyeri dan panas pada kulit. Pasien Pasien
belum pernah merasakan keluhan yang serupa sebelumnya. Riwayat alergi
7

disangkal. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, atau penyakit kronis


lainnya diasangkal. Pasien memiliki riwayat penyakit epilepsy dan sedang
melaksanakan pengobatan rutin fenitoin bulan ketiga. Riwayat keluhan
serupa, alergi, atau penyakit kronis pada keluarga disangkat. Pasien tinggal
bersama ibu dan adiknya. Pasien tidak bekerja.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas
normal. Status dermatologis bula dan makula eritematosa disertai erosi dan
ekskoriasi generalisata di regio auricular sinistra, fascialis, cervical, thorax
anterior, thorax posterior, abdomen, ekstremitas superior dextra et sinistra,
cruris. Lesi kulit melibatkan sekitar 50 % luas permukaan tubuh. Nikolsky
Sign (+).
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan leukosit meningkat
(leukositosis).
G. Diagnosis Kerja
Nekrolisis Epidermal Toksik
H. Diagnosis Banding
Sindrom Steven Johnson

I. Penatalaksanaan
1. Edukasi
a. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita adalah
dapat diakibatkan oleh obat yang dikonsumsi pasien.
b. Menjelaskan bahwa penyakit yang diderita pasien merupakan
kegawatdaruratan sehingga perlu dilakukan rawat inap.
c. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk menjaga
kebersihan mata dan mulut pasien.
2. Medikamentosa
a. Menghentikan konsumsi obat paracetamol dan obat antiepilepsi
yaitu fenitoin untuk sementara.
b. Kortikosteroid sistemik : dexamethason 3x1 i.v
3. Non-medika mentosa
a. Pemberian cairan intravena : IVFD RL 24 TPM
8

J. Prognosis
Prognosis pasien belum dapat dievalusi menggunakan SCORTEN sebab
belum dilakukan pemeriksaan BUN, glukosa serum, dan bikarbonat
serum.
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah reaksi mukokutan akut yang
ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis > 30% luas permukaan
badan (LPB), disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Lesi
berupa makula eritem, terutama pada badan dan tungkai atas, berkembang
progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis
(Sulistyo et al., 2017). Karena kesamaan dalam temuan klinis dan
histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme terjadinya penyakit, SSJ dan
NET mewakili keparahan varian dari proses identik yang berbeda hanya
dalam persentasi luas permukaan tubuh yang terlibat, maka kedua penyakit
dikelompokkan sebagai nekrolisis epidermal (NE). Nekrolisis epidermal
diklasifikasi dalam 3 kelompok berdasarkan luas permukaan tubuh total di
mana epidermis mengalami epidermolisis, yaitu SSJ (luas permukaan tubuh
yang terkena 30%) (Wolff et al., 2012).
K. Epidemiologi
Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan
NET diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET
dapat terjadi pada semua usia tapi insidensinya bertambah di atas dekade ke-4
dan sering terjadi pada wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6 (Thomas
et French, 2010).
Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN,
yaitu pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi
umum, dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV
positif. Perbedaan regional pada peresepan obat, latar belakang genetik dari
pasien (HLA, enzim metabolism), koeksistensi kanker, atau bersama dengan
radioterapi dapat berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit
tersebut 10% untuk SJS, 30% untuk SJS / NET, dan lebih dari 30% untuk
NET. Dalam analisa kelangsungan hidup SJS / NET dengan angka mortalitas
secara keseluruhan adalah 23% pada enam minggu, 28% pada tiga bulan dan
34% pada satu tahun. Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan, yang

9
10

luasnya permukaan tubuh yang terlibat berkaitan dengan prognosis yang


buruk. Di Amerika Serikat, evaluasi dari kematian menunjukkan resiko tujuh
kali lebih tinggi pada orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih
(Wolff et al, 2012).
L. Etiologi
Obat merupakan penyebab tersering SSJ dan NET, 77-95% penyebab SSJ
dan NET disebabkan oleh obat. Selain obat, SSJ dan NET dapat disebabkan
oleh infeksi, imunisasi, keganasan, paparan bahan kimia dari lingkungan, dan
radiasi. Obat tersering penyebab kasus SSJ dan NET ialah antibiotik,
antikonvulsan, non-steroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs), dan
allopurinol. Dengan meningkatnya jumlah pasien human immunodeficiency
virus (HIV) dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) yang
membutuhkan penggunaan obat anti-retroviral (ART), nevirapin merupakan
obat tersering penyebab SSJ dan TEN pada penderita HIV dan AIDS. Faktor
penyebab lain yang pernah dilaporkan adalah infeksi human
immunodeficiency virus (HIV), limfoma, leukemi dan lupus eritematus
sistemik (Rahmawati et Indramaya, 2016).
Tabel 3.1 Jenis Obat dan Risiko NE (Thaha, 2010)
Risiko Tinggi Risiko Lebih Risiko Risiko tidak
Rendah Meragukan terbukti
Alopurinol NSAID Paracetamol Aspirin
Sulfametoksazol (diklofenak) Pirazolon Sulfonylurea
Sulfadiazine Aminopenisilin Kortikosteroid Tiazid
Sulfapiridin Sfalosporin NSAID lain Furosemid
Sllfadoksin Quinolon Sertralin Aldakton
Karbamazepin Cyclins Calcium
Lamotigrin Makrolid channel
Fenobarbital Blocker
Fenitoin Angiotensin-
Fenilbutazon converting
Nevirapin enzyme
NSAID oksikan inhibitors
Tiasetazon Statin
Hormon
Vitamin
M. Patogenesis
Patofisiologi NE masih belum jelas, tetapi telah terbukti bahwa obat
merupakan faktor penyebab terpenting. Terdapat beberapa penelitian yang
11

menduga terjadinya reaksi sitotoksik yang diperantarai sel melawan


keratinosit dan menyebabkan apoptosis yang masif. Reaksi ini dicetuskan sel
T CD4+ dan CD 8+ yang menghasilkan mediator sitotoksik yang berakibat
apoptosis keratinosit. Penelitian imunopatologis dijumpai adanya CD8+ killer
lymphocytes (sel NK) pada epidermis dan CD4+ pada dermis pada reaksi
bulosa yang berat, dijumpai sel CD8+ pada epidermis. Jumlah sel CD4+ ini
dijumpai meninggi pada darah perifer penderita SSJ ataupun NET (Chung et
Hung, 2010).
Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih kontroversial. Fas dikatakan
menyebabkan kematian sel melalui ikatannya. Tampaknya makin jelas saat ini
bahwa peningkatan level FasL dapat ditemukan pada serum pasien dengan
SSJ dan NET, dan levelnya meningkat secara konsisten ketika sebelumnya
terdapat pelepasan kulit. Aktivasi Fas diduga menyebabkan apoptosis
keratinosit. Ketika limfosit T sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi
aktivasi kaskade enzim intraseluler yang disebut kaspase yang kemudian
menyebabkan kematian sel. Limfosit T sitotoksik dapat menginduksi kaskade
kaspase melalui perforin/granzyme atau jalur Fas-Fas-L. Fas-L akan
menginduksi perubahan pada Fas yang menyebabkan pengambilan FADD
(Fassociated Death Domain Protein). FADD merupakan molekul yang
melekat pada Fas dan prokaspase 8, yang fungsinya membawa bersama-sama
cetakan-cetakan prokaspase 8. Cetakan ini kemudian mengalami autoaktivasi
membentuk kaspase 8 yang selanjutnya mengaktifkan kaskade kaspase yang
berujung pada apoptosis keratinosit (Chung et Hung, 2010).
Jalur lainnya yaitu melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali,
sel T sitotoksik mengeluarkan perforin yang akan membuat saluran 16 nm
pada membran sel target. Kemudian granzyme B melewati saluran ini dan
mengaktifkan kaskade kaspase. Obat-obatan dapat mengaktifkan sel T dengan
bertindak sebagai hapten, prohapten atau dengan interkasi farmakologi
langsung antar obat, molekul MHC dan reseptor sel T (Chung et Hung, 2010).
12

N. Manifestasi Klinis
1. Anamnesis
NE secara klinis timbul dalam 8 minggu (4-30 hari) setelah pajanan
obat, kecuali pada pasien yang pernah menderita NE kelainan klinis dapat
timbul dalam beberapa jam. Keluhan non-spesifik (demam, sefalgia,
rhinitis, dan myalgia) timbul 1-3 hari sebelum lesi mukokutan. Selanjutnya
secara progresif, timbul keluhan sakit menelan dan rasa terbakar pada
mata, mengawali terkenanya mukosa. Kisaran 1/3 kasus dimulai dengan
gejala non-spesifik, 1/3 dengan gejala mukosa, dan 1/3 dengan eksantema
(Thaha, 2010).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Lesi Kulit
Awalnya, erupsi terdistribusi simetrsis di wajah, tubuh bagian atas,
dan ekstremitas bagian proksimal. Erupsi selanjutnya dalam beberapa
jam sampai beberapa hari menyebar ke bagian tubuh lain. Lesi kulit
awal ditandai macula dusky red, purpuric, ireguler, dan secara
progresif akan berkonfluen. Lesi target atipik dengan bagian sentral
gelap sering dijumpai. Penggabungan lesi nekrotik menimbulkan
eritem difus dan luas. Tanda Nikolsky positif pada zona eritematosa.
Pada stadium ini, lesi berkembang menjadi lepuh flaksid, yang
menyebar bila ditekan dan mudah pecah. Epidermis yang nekrotik
mudah terlepas pada tempat yang mendapat tekanan atau trauma
gesekan, menampakkan area dermis luas yang terbuka, merah, kadang
membasah (Thaha, 2010).
Pasien diklasifikasi dalam 1 dari 3 kelompok berdasarkan total area
epidermis yang yang terkelupas (Nikolsky sign positif). SSJ bila BSA
yang terkena <10%, SSJ/NET overlap bila BSA antara 10-30%, dan
NET bila >30% (Thaha, 2010).
b. Lesi Mukosa
Keterlibatan mukosa (minimal 2 lokasi) ditemui pada 90% kasus
dan dapat mendahului atau mengilarti erupsi kulit. Lesi dimulai dengan
eritema dilanjutkan dengan erosi yang nyeri pada mukosa mulut, mata
13

dan genital yang menyebabkan gangguan makan, fotofobia sinekia


konjungtiva, dan nyeri buang air kecil. Rongga mulut dan vermillion
border bibir hampir selalu terkena (hampir 100%) dan menampakkan
kelainan berupa erosi yang nyeri dan hemoragik dan dilapisi
pseudomembran putih keabuan dan krusta pada bibir. Kisaran 85%
pasien didapati lesi konjungtiva, ditandai hiperemi, erosi, chemosis,
fotofobia, dan laksimasi. Bulu mata dapat terlepas. Pada keadaan lebih
berat dapat terjadi ulkus kornea, uveitis anterior, dan konjungtivitis
purulent. Sinekia antara kelopak mata dan konjungtiva sering terjadi
(Thaha, 2010).
c. Gejala ekstrakutan
NE disertai demam tinggi, nyeri dan kelemahan. Komplikasi paru
awal didapati pada 25% pasien, ditandai sesak nafas, hipersekresi
bronkial, hipoksemia, hemoptysis dan ekspektorasi bronchial
mucosal casts. Keterlibatan bronchial pada NE tidak berkorelasi
dengan luas lesi kulit atau obat penyebab. Gagal pernafasan akut yang
timbul depat setelah timbul kelainan kulit, biasanya prognosisnya
jelak Pada kasus dengan abnormalitas pernafasan, bronkoskopi
fiberoptic merupakan prosedur sederhana untuk membedakan
pelepasan epitel spesifik dalam bronkus dari pneumonitis infeksi,
yang prognosisnya lebih baik (Thaha, 2010).
O. Penegakan Diagnosis
Diagnosis NET ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pada hasil anamnesis pasien mengeluhkan kulit melepuh pada seluruh bagian
tubuh, riwayat konsumsi obat-obatan (Sulistyo et al., 2017)..
Terdapat 3 gejala utama NET yaitu keterlibatan kulit yang ditandai dengan
pasien mengeluhkan kulit terasa seperti melepuh, nyeri dan terbakar,
keterlibatan mukosa yang ditandai dengan sariawan di mulut dan nyeri saat
berkemih, dan keterlibatan mata dimana pasien mengeluhkan matanya terasa
kering (Sulistyo et al., 2017).
Menurut (PERDOSKI, 2017) terdapat beberapa kriteria untuk menegakkan 
diagnosis dari Nekrosis Epidermolisis antara lain :
14

1. Anamnesis
a. Penyebab terpenting adalah penggunaan obat.
b. Riwayat penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian,
lama pemberian, urutan pemberian obat), serta kontak obat pada kulit 
yang terbuka (erosi, eskoriasi, ulkus) atau mukosa.
c. Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul kelainan
kulit (segera, beberapa saat atau jam atau hari atau hingga 8 minggu).
d. Identifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma pneumoniae,
virus), imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang belakang.
2. Pemeriksaan fisik
SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa.
a. Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi, krusta
kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis. Tanda
Nikolsky positif. 
b. Kelainan mukosa (setidaknya pada dua tempat): biasanya dimulai
dengan eritema, erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata, dan genital.
Kelainan mata berupa konjungtivitis kataralis, purulenta, atau ulkus.
Kelainan mukosa oral berupa erosi hemoragik, nyeri yang
tertutup pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan genital be
rupa erosi yang dapat menyebabkan sinekia (perlekatan.
c. Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan lemah badan, keterlibatan organ dalam
seperti paru-paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan
pernapasan dan batuk, sertakomplikasi organ digestif seperti
diare masif, malabsorbsi, melena, atau perforasi kolon.3. Kriteria SSJ,
SSJ overlap
3. NET, dan NET berdasarkan luas area epidermis yang terlepas(epidermolisi
s), yaitu: SSJ (<10% luas permukaan tubuh), SSJ overlap NET (10-
30%), dan NET(>30%). Penentuan daerah yang terlibat dapat dilakukan
dengan menggunakan Hukum Sembilan (Wallace Rules of Nine).
15

Gambar 2.1 Rule of Nine (Wolff et al., 2012).

P. Pemeriksaan Penunjang
1. Histopatologi
Gambaran histopatologik NET berupa apoptosis epidermal yang
berkaitan dengan degenerasi hidropik sel basal atau vesikulasi
subepidermal. Terdapat eksositosis limfosit dan nekrosis sel satelit. Epitel
kelenjar keringat dan folikel rambut juga terkena, tetapi lebih jarang.
Terdapat infiltrat perivaskular dari limfosit, makrofag, dan melanofag pada
bagian superfisial dermis, yang kadang disertai edema. Kadang-kadang
dapat ditemukan eosinofil.8 Pada pasien ini tidak dilakukan biopsi kulit
untuk pemeriksaan histopatologik karena riwayat dan lesi klinis berupa
epidermolisis yang mengenai 30% luas permukaan tubuh sudah jelas
(Gunawan et al., 2017).
2. Laboratorium Darah
Pada pemeriksaan laboratorium penderita NET bisa didapatkan
ketidakseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia, renal
azotemia, anemia, leukositosis ringan, dan trombositopeni (Gunawan et
al., 2017).
16

Q. Tatalaksana
NET merupakan penyakit yang mengancam nyawa yang membutuhkan
tatalaksana yang optimal berupa: deteksi dini dan penghentian sementara obat
tersangka, perawatan suportif di rumah sakit, dan perawatan spesifik. Sangat
disarankan untuk merawat pasien NET di ruang perawatan khusus (Sulistyo et
al., 2017).
Terapi SSJ dan NET terdiri dari penghentian obat sedini mungkin, terapi
suportif dan terapi spesifik. Secepatnya menghentikan obat yang diduga
(mengeliminasi obat) akan menurunkan angka mortalitas dari 26% menjadi
5% (Rahmawati et Indramaya, 2016)..
1. Pengobatan Simptomatik Suportif
Penanganan simptomatik suportif yaitu bertujuan untuk
mempertahankan keseimbangan hemodinamik, dan mencegah terjadi
komplikasi yang mengancam jiwa (Thaha, 2010). Pada pasien NET terjadi
kehilangan cairan melalui erosi yang dapat mengakibatkan hipovolemia
dan gangguan keseimbangan elektrolit (Sulistyo et al., 2017).
Perawatan suportif mencakup:
a. Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi
SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan
dikarenakan erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan
ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian ulang cairan harus dimulai
secepat mungkin dan disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus
biasanya kurang dari luka bakar pada tingkat keparahan yang sama,
karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran vena perifer lebih
disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran sentral
sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi (Tyagi et
al, 2010).
Hal lain yang perlu dijaga adalah temperatur lingkungan,
sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah
pengeluaran kalori yang berlebihan karena kehilangan epidermis.
Penggunaan pelembab udara saat tidur meningkatan rasa nyaman
17

pasien. Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi
sehingga memerlukan tambahan nutrisi (Tyagi et al, 2010).
Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan luas area tubuh
yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral
karena dapat ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan
pemasukan kalori lebih banyak. Sedangkan terapi parenteral
membutuhkan akses vena sentral dan meningkatkan resiko sepsis.
Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila terdapat lesi mukosa
mulut (Wolff et al, 2012).
b. Antibiotik
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin
dapat menyebabkan resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas.
Pasien diberikan antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi.
Tanda-tanda tersebut antara lain perubahan status mental, mengigil,
hipoterimia, menurunnya pengeluaran urin dan penurunan kondisi
klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri pada kultur kulit.
Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat
disarankan. Penyebab utama dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah
Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Spesies
Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya sama dengan yang
dikultur dari kulit (Tyagi et al, 2010).
c. Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif
dan agresif tidak direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis
permukaan bukanlah halangan untuk reepitelisasi, dan justru dapat
mempercepat proliferasi sel-sel stem berkenaan dengan sitokin
peradangan (Wolff et al, 2012).
Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan,
elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan
dengan pemberian analgetik dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit
dibersihkan dengan antiseptic yang ringan dan solusio antibiotik
18

seperti sabun povidone iodine, chlorhexidine, silver nitrate untuk


mengurangi pertumbuhan bakteri (Wolff et al, 2012).
d. Perawatan Mata
Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering
terhadap SSJ/NET. Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami
komplikasi ocular akut yang sama pada SSJ maupun NET dengan
keterlibatan berat sebesar 25%. Gejala sisa kronis terjadi pada sekitar
35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar konjungtiva. Permasalahan
residual pada mata yang paling sering dilaporkan adalah
fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien
penyakit ocular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan
mata, inflamasi episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva
progresif yang menyerupai pemfigoid membran mukosa. Perawatan
mata meliputi pembersihan kelopak mata dan memberi pelumas setiap
hari dengan obat tetes atau salep mata (Tyagi et al, 2010).
Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga
kebersihan rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan
antiseptik dan mengoleskan topikal anestesi seperti xylocaine,
lignocaine sebelum makan sehingga dapat mengurangi sakit waktu
menelan. Tindakan ini hanya direkomendasikan bila penderita tidak
mengalami pharyngealdysphagia. Hindari makanan yang terlalu panas
atau dingin, makanan yang asam dan kasar. Sebaiknya makanan yang
halus dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi pada mulut. Kadang-
kadang diberikan obat anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-
kumur soda bikarbonat, hydrogen peroksida dengan konsentrasi
ringan. Pemberian topikal pada bibir seperti vaselin, lanolin (Tyagi et
al, 2010).
2. Pengobatan Spesifik
Kortikosteroid sistemik (KS). Pemakaian KS sistemik masih
kontroversi, Pemberian KS akan memperlambat penyembuhan lesi kulit,
meningktatkan risiko infeksi, menutupi tanda awal infelki, menyebabkan
perdarahan gasfointerstinal, dan meningkatkan kematian, sehingga
19

sebagian besar peneliti menyimpulkan KS tidak terbukti menguntungkan


pada awal penyakit dan jelas memperparah bila diberikan pada stadium
lanjut NE. Sampai saat ini belum ada obat pilihan utama untuk pengobatan
SSJ. Beberapa penelitian menemukan bahwa pemberian kortikosteroid
pada awal penyakit dapat mencegah perluasan penyakit. Penelitian lainnya
menyimpulkan bahwa steroid tidak dapat mencegah progresi penyakit,
bahkan sebaliknya meningkatkan mortalitas dan efek samping sepsis
(Thaha, 2010). Berdasarkan panduan pelayanan medis dokter spesialis
kulit dan kelamin dikatakan pemberian deksametason 4-6 x 5 mg/hari, dan
setelah masa kritis diatasi (2-3 hari) dosis diturunkan dengan cepat (5
mg/hari), dan setelah dosis rendah dapat diganti peroral (prednison 2x20
mg) (Gunawan et al., 2017).
Pengobatan menggunakan intravenous immunoglobulin (IVIG)
didasarkan pada kemampuannya mencegah kematian sel melalui aktivitas
anti-Fas. Hasil penelitian menggunakan IVIG masih saling bertentangan
sehingga tidak dapat dianggap sebagai terapi standar, selain dapat
menyebabkan nefrotoksisitas (Thaha, 2010).
Siklosporin adalah agen imunosupresif kuat disertai efek biologik yang
secarri teoritis dapat berguna dalam pengobatan NE (re-epitelialisasi lebih
cepat, gagal multiorgan dan kematian lebih sedikit). Siklosporin
mengaktifkan sitokin tipe Th2, menghambat efek sitotoksik sel T CD8+,
anti-apoptosis melalui hambatan pada Fas ligand (FasL), nuclear factor
kappa beta (NFkB) dan tumor nekrosis faktor- (TNF-).1 Beberapa studi
menunjukkan keberhasilan siklosporin, walaupun demikian diperlukan
penelitian prospektif untuk membuktikan kelebihan dan tidak adanya efek
samping (Thaha, 2010).
N-acetylcystein (NAC) dapat meningkatkan pembersihan beberapa
obat dan metabolitnya. NAC tidak saja menginaktivasi obat penyebab
tetapi obat lain yang berguna bagi pasien. Peneliti tidak menemukan bukti
efektivitas klinis NAC pada TEN. Peneliti lain, berpendapat bahwa NAC
dosis tinggi efektif pada TEN. Dosis NAC pdalah 3 x 200 mg/hari, oral,
sampai 4 x 2 g/hari, i.v (Thaha, 2010).
20

R. Diagnosis Banding
NET dibedakan dengan Sindrom Steven Johnson (SSJ) dari luas
permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. SSJ dan NET ditandai
dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa. Karena kemiripan penemuan
klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta mekanisme, SSJ dan NET ini
dianggap variasi dan kontinu penyakit yang dibedakan dengan melihat
tingkat keparahan serta persentase permukaan tubuh yang terlibat lecet dan
erosi kulit. Beberapa kepustakaan menggunakan stilah eritema multiforme
mayor untuk SSJ dan NET. SSJ menampilkan kondisi yang kurang parah,
yang mana pelepasan kulit < 10% dari permukaan tubuh NET melibatkan
perluasan > 30% dari luas permukaan tubuh. SSJ/NET menampilkan pasien
dengan perluasan kulit 10-30% dari luas permukaan tubuh (Sulistyo et al.,
2017).
S. Komplikasi
Komplikasi primer yang didapatkan pada pasien SSJ dan NET yakni
bercak hipopigmentasi dan hiperpigmentasi, komplikasi sekunder yakni
kelainan pada mata (keratitis, lagoftalmus, simblefaron, erosi kornea) dan
komplikasi tersier adalah kelainan pada liver, yakni didapatkan peningkatan
serum transaminase. Penurunan sistem pertahanan tubuh, luasnya
epidermolisis akan menurunkan fungsi kulit sebagai barrier tubuh sehingga
dapat sebagai pintu masuknya kuman ke dalam tubuh, hal ini dapat
menyebabkan sepsis (Rahmawati et Indramaya, 2016)..
Komplikasi yang sering terjadi pada penyakit NE dapat berupa sepsis,
gagal organ multisistem (>30%), komplikasi paru (>15%), komplikasi mata
(20-75%) (yang merupakan komplikasi lambat, akibat gangguan fungsi epitel
konjungtiva sehingga terjadi kekeringan gangguan lakrimasi dengan
konsekuensi terjadi radang kronis, fibrosis, ektropion, trikiasis, simblefaron,
ulkus kornea dan kebutaan) (Thaha, 2010).
T. Prognosis
Penentuan prognosis pasien SSJ dan NET penting dilakukan. Penilaian
prognosis dengan menggunakan SCORTEN. Penilaian prognosis dengan
21

SCORTEN sebaiknya dilakukan dalam 24 jam pasien dirawat. Dengan


mengetahui prognosis pasien SSJ dan NET sejak awal, para klinisi akan
mengetahui persentasi angka mortalitas, dan lebih holistik dalam melakukan
perawatan pasien SSJ dan NET. Semakin tinggi nilai SCORTEN semakin
tinggi risiko mortalitas pasien tersebut (Rahmawati et Indramaya, 2016).
Gambar 2. 1 Evaluasi terhadap prognosis menggunakan Severity of Illness
for TEN (SCORTEN) (Sulistyo et al., 2017).
22
IV. PEMBAHASAN
A. Penegakan Diagnosis
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah reaksi mukokutan akut yang
ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis > 30% luas permukaan
badan (LPB), disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Lesi
berupa makula eritem, terutama pada badan dan tungkai atas, berkembang
progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis
(Sulistyo et al., 2017). Penegakkan diagnosis didasarkan pada kriteria
diagbosis menurut Perdoski (2017), yaitu :
1. Terdapat lesi kulit berupa bula dan makula eritematosa disertai erosi dan
ekskoriasi generalisata di regio auricular sinistra, fascialis, cervical,
thorax anterior, thorax posterior, abdomen, ekstremitas superior dextra et
sinistra, cruris.
2. Adanya keterlibatan 2 mukosa yaitu mukosa oral dan genital.
3. Lesi kulit melibatkan sekitar 50 % luas permukaan tubuh. Nikolsky Sign
(+).
B. Diagnosis Banding
NET dibedakan dengan Sindrom Steven Johnson (SSJ) dari luas
permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. SSJ dan NET ditandai
dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa. Karena kemiripan penemuan
klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta mekanisme, SSJ dan NET ini
dianggap variasi dan kontinu penyakit yang dibedakan dengan melihat
tingkat keparahan serta persentase permukaan tubuh yang terlibat lecet dan
erosi kulit. Beberapa kepustakaan menggunakan stilah eritema multiforme
mayor untuk SSJ dan NET. SSJ menampilkan kondisi yang kurang parah,
yang mana pelepasan kulit < 10% dari permukaan tubuh NET melibatkan
perluasan > 30% dari luas permukaan tubuh. SSJ/NET menampilkan pasien
dengan perluasan kulit 10-30% dari luas permukaan tubuh (Sulistyo et al.,
2017).
C. Penatakalsanaan
1. Edukasi

23
24

a. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita adalah dapat


diakibatkan oleh obat yang dikonsumsi pasien.
b. Menjelaskan bahwa penyakit yang diderita pasien merupakan
kegawatdaruratan sehingga perlu dilakukan rawat inap.
c. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk menjaga kebersihan
mata dan mulut pasien.
2. Medikamentosa
a. Menghentikan konsumsi obat paracetamol dan obat antiepilepsi
yaitu fenitoin untuk sementara.
b. Kortikosteroid sistemik : dexamethason 3x1 i.v sebagai
antiinflamasi dan termasuk ke dalam terapi spesifik
3. Non-medika mentosa
a. Pemberian cairan intravena : IVFD RL 24 TPM untuk
menyeimbangkan hemodinamik sebagai terapi suportif.
D. Prognosis
Prognosis pasien belum dapat dievalusi menggunakan SCORTEN sebab
belum dilakukan pemeriksaan BUN, glukosa serum, dan bikarbonat serum.
V. KESIMPULAN

1. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah reaksi mukokutan akut yang


ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis > 30% luas permukaan
badan (LPB), disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian.
2. Obat merupakan penyebab tersering SSJ dan NET, 77-95% penyebab SSJ dan
NET disebabkan oleh obat. Selain obat, SSJ dan NET dapat disebabkan oleh
infeksi, imunisasi, keganasan, paparan bahan kimia dari lingkungan, dan
radiasi.
3. Lesi berupa makula eritem, terutama pada badan dan tungkai atas,
berkembang progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan
epidermis
4. NET ditegakan berdasarkan adanya lesi kulit dan keterlibatan minimal 2
mukosa (mata, mulut, genital) dan melibatkan luas permukaan tubuh >30%.
5. NET merupakan kegawatdaruratan di bidang kulit sehingga memerlukan
penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Tatalaksana berupa penghentian obat
sedini mungkin, terapi suportif, dan terapi spesifik.

25
26

DAFTAR PUSTAKA

Chung WH, Hung SI. Genetic markers and danger signals in stevens Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Allergology International,
2010;59:325-32
Gunawan,., Wibawa, A,S., Pietes, L.S., Nurdjannah, J.N. 2017. Satu Nekrolisis
Epidermal Toksik yang diduga disebabkan oleh Kotrimoksazol. Jurnal
Biomedik, 9(1) : 52-57.
Harr Thomas, et French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson
syndrome. Dalam: Orphanet Journal of rare disease 2010:1-11
Perdoski. 2017. Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitan Pelayanan Primer.
Jakarta
Rahmawati, Y.W., et Indramaya, D.M. 2016. Studi Retrospektif : Sindrom
Steven-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Periodical of Dermatology
and Venerology, 28(2) : 68-76.
Sulistyo, G., Yulisna, Indria, D. 2017. Nekrolisis Epidermal Toksik : Laporan
Kasus pada Pasien Geriatri. J AgromedUnila, 3(1) : 156-159.
Thaha, M.A. 2009. SIndrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik di
RSUP MH Palembang Periode 2006-2008. Media Medika Indonesia, 45(5) :
234-239.
Tyagi S, Kumar S, Kumar A, Singla M, Singh A. Stevens Johnson Syndrome-A
life threatening disorder: A review. Dalam: J Chem Pharm Res 2010,2(2):618-
26
Wolff, K., Lefell, D.J., Paller, A.S., Gilchrest, B.A., Katza, S.I., Goldsmith, LA.
2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. McGraw Hill, New
York.

Anda mungkin juga menyukai