Anda di halaman 1dari 8

Mewujudkan Sikap Toleransi Antara Umat Beragama Dalam Hidup

Berkomunitas Di Indonesia

Oleh :
Merri Andini (162897)

ABSTRAK
Multikultarisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan
seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang
menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya
yang ada dalam kehidupan masyaraka. Negara Indonesia adalah negara dengan banyak
perbedaan agama, suku, bahasa, dan lain sebagainya. Negara Republik Indonesia menjamin
kebebasan beragama setiap orang dan hak setiap orang untuk beribadah sesuai dengan
agamanya. Di kehidupan keagamaan ada yang namanya hidup berkomunitas (basis). Dalam
hidup berdampingan ini, sangat penting untuk mewujdukan yang namanya hidup penuh
toleransi agar tehdindar dari sikap fanatisme karena hidup komunitas basis hanya mendapat
artinya melalui penghayatan. Cara untuk mewujudkan sikap toleransi pun perlu ditanamkan
didalam diri sendiri. Supaya dalam hidup berkomunitas basis ini tidak menyimpang dari nilai
atau norma-norma agama, hukum, budaya, dimana seseorang menghargai atau menghormati
setiap yang orang lain lakukan. Sikap untuk menerima dan menghargai akan keberagaman
agama di indoneisa ini akan terwujud juga melalui hidup dalam komunitas yang baik

Kata Kunci : 1. Sikap Toleransi


2. Hidup Berkomunitas (Multikulturalisme)
3. Kebebasan memilih agama
Mewujudkan Sikap Toleransi Antara Umat Beragama Dalam Hidup
Berkomunitas Di Indonesia

Keberagaman adalah suatu hal yang tak dapat dielakkan dari kehidupan di muka bumi ini.
Banyak sekali perbedaan dan keberagamaan yang sering kita temukan di sekeliling kita.
Terutama bagi kita yang hidup dan tinggal di Negara Indonesia, negara yang memiliki
semboyan “Bhineka Tunggal Ika; Berbeda-beda tetapi satu jua.” Dari semboyan ini kita tahu
bahwa Negara Indonesia memiliki banyak sekali keberagaman. Keberagamaan inilah yang
membuat masyarakat Indonesia disebut sebagai masyarakat yang mejemuk (sejuk.org/22 juni
2019).
Indonesia tidak hanya milik satu kelompok atau agama tertentu. Indonesia adalah
milik kita bersama milik orang-orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain sebagainya.
Semua golongan memiliki arti penting dan peran yang sama dalam berpartisipasi dan
menciptakan suasana harmonis dalam berkeragamaan. Indonesia adalah rumah kita bersama,
keragaman sebagai fakta yang tidak bisa dihindari tetapi harus dihormati. Ini menjadi
tantangan kita bersama untuk saling menjaga keragaman ini agar keadaan harmonis antar
sesama golongan dan umat beragama dapat dipelihara dari konflik yang tidak seharusnya
terjadi. Ini adalah tanggungjawab kita bersama untuk merawat, menjaga, dan memupuk sikap
toleransi yang lebih tinggi sekaligus sikap pluralis agar masa depan Indonesia terhindar dari
konflik fanatisme antar golongan yang itu, akan merusak tatanan sosial dan diharapkan lebih
mampu menjaga perdamaian sesama umat. Sikap toleransi yaitu, masih memahami kondisi
keragaman pada level membiarkan dan menggangap perbedaan sebagai sesuatu yang mutlak
ada. Tetapi sikap semacam ini betapapun bagus, tidak cukup bagi banyak memiliki perbedaan
antar agama atau kelompok.
Menurut Departemen Agama RI pengertian dari kerukunan hidup antar umat
beragama diartikan sebagai keadaan dimana ada suatu hubungan yang harmonis dan kesatuan
diantara para pemeluk agama, baik itu pemeluk agama Kristen dengan Islam, Islam dengan
Buddah, Kristen dengan Hindu, Buddha dengan Hindu ataupun dengan aliran kepercayaan,
dan seterusnya maupun dengan sesama pemeluk agama yang sama. Selain itu Departemen
Agama RI juga menyoroti arti kerukunan hidup antar umat beragama menyinggung kata
“pemuka agama”.
Toleransi merupakan hal yang sering diagungkan dan diimpikan oleh banyak orang
dari berbagai pihak, baik pemerintah, tokoh agama, aparat keamanan, bahkan seluruh
masyarakat indonesis, khususnya kita sendiri. Namun toleransi akan menjadi mimpi belaka
jika kita tak mau berusaha untuk mewujudkannya (sejuk.org/22 juni 2019).
Selama berabad-abad, Indonesia hidup dengan kondisi multikultural ini secara
berdampingan dan damai. Perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat tidak menghambat
sesama untuk saling tolong menolong. Namun beberapa tahun terakhir, sejumlah berita
mengenai konflik yang didasari atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) sering
menghiasi media, terutama konflik horizontal antar agama.
Sebagai contoh, Majelis Silaturahmi Umat Islam Bekasi (MSUIB) melakukan unjuk rasa
pada Jumat, 24 Maret 2017 yang lalu. MSUIB menolak pembangunan Gereja Santa Clara
yang dibangun di Jalan Raya Kaliabang, Harapan Baru, Kota Bekasi. Menurut mereka, gereja
tersebut belum memiliki izin untuk dibangun dan menyalahi aturan. Selain itu, mereka juga
beragumen bahwa daerah tersebut adalah daerah mayoritas muslim sehingga tidak pantas
untuk dibangun sebuah gereja. Kejadian hampir serupa juga terjadi di Tanah Papua. Pada
Jumat, 17 Juli 2015 silam, pukul 07.00 WIT, umat Muslim berkumpul di Masjid di
Kabupaten Tolikara untuk melaksanakan Sholat Idul Fitri. Tiba-tiba, sekelompok umat
Nasrani berteriak-teriak sehingga mengagetkan dan membuat takut umat Muslim yang
sedang melaksanakan ibadah menyebabkan mereka keluar mencari perlindungan ke Koramil
dan Pos 756/WMS. Setelh itu, masjid kemusia dibakar oleh sekelompok umat Nasrani
tersebut (Dari m. Kumparan.com/ 22 juni 2019/22.24).
Kedua kasus ini merupakan tidak adanya sikap toleransi hidup umat beragama dan kasus
ini termasuk menghalang-halangi kegiatan ibadah suatu umat. Indonesia menekankan bahwa
setiap umat memiliki hak untuk melakukan aktivitas sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing. Hal tersebut disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
dan apabila melanggar akan dikenakan sanksi dalam pasal 175 & 176 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) adalah berupa kurungan penjara lama 1 tahun 4 bulan dan sejumlah
uang yang harus dibayarkan (Dari m. Kumparan.com/ 22 juni 2019/22.27).
Tetapi karena pada hakikatnya setiap agama punya yang namanya kelompok basis untuk
memekarkan ajarannya tentang sikap toleransi beragama. Karena pada dasarnya kelompk
basis yang ada menjadi ujung tombak penyebaran agama dan rujukan hidup. Kelompok-
kelompok ini dicirikan dengan model “nyantrik’ (hidup bersama dengan guru) atau kata
yang lebih sering dipahami yaitu “berguru”. Seperti halnya komunitas basis dalam agama
islam, Kristen dan Buddha.
Hidup Komunitas dalam Islam ini dimulai dari tokoh yang bernama Nabi Muhammad,
awalnya Ia menghimpun pengikut di Mekkah yang berawal dari keluarganya sendiri. Di
Mekkah, Nabi Muhhamad memperoleh pengikut-pengikutnya, sebelum nabi menginjak kaki
di Madinah. Pengikut-pengikut itu percaya kepada apa yang diwartakan nabi, setelah nabi
mewartakan wahyu Allah itu di muka umum. Chadidscha dan kemanakannya Ali, lalu
kemudian bergabunglah juga orang-orang lain yang merasa tertekan di dalam situasi
kehidupannya dan yang mengalami pembebasan dari situasi itu oleh karena kotbah dan
kepribadian nabi. Itulah pengikut pertama nabi, dan dalam ikatan dengan sang nabi kelompok
inilah yang merupakan kelompok basis. Dalam perjalanan kelompok basis ini tidak bisa
bertahan menetap di Mekka, karena ada perlawanan dari para penduduk di Mekka, terutama
para saudagar yang kaya dan suku Qorais selaku suku nabi sendiri. Akhirnya mereka
melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan Mekka menuju Madinah pada tahun 622
(Hijrah). Di Madinah mulailah fase pembentukan satu masyarakat baru yang tidak lagi
didominasi oleh kekuasan kaum Yahudi. Pengikut-pengikut nabi yang meyertai nabi untuk
berhijrah ke Madinah- kelompok ini disebut “kaum Muhajirin” bersatu dengan kaum “Ashar”
sebagai pengikut baru yang sudah bermukin di kota Madinah. Mereka menerima nabi sebagai
pemimpin tertinggi kota itu. Di bawah pimpinan kepemimpinan nabi, mereka membangun
satu kesatuan komunitas yang disebut “ummah”, karena kesatuannya didasarkan dan diikat
oelhs atu iman, yaitu percaya kepada pribadi Muhammad sebagai nabi dan utusan Allah
(rasul). Di sinilah awal komunitas basis Islam yang berhaluan religius-politit untuk menjamin
eksistensinya.
Hidup Komunitas dalam Kristen di mulai dari seorang tokoh yaitu Yesus dari Nazaret.
Albert Nolann dalam karyanya “Jesus before Christianity” mencatat bahwa Yesus berasal
dari lingkungan kelas menengah. Dia bukan lahir dari keluarga miskin dan terindas. Dia
adalah seorang Galilea, dan karena itu Dia dipandanga rendah oleh kaum Yahudi Ortodoks di
Yerusalem. Meskipun dia berasal dari lingkungan kelas menengah, pergaulanNya tidak
terbatas pada lingkungan sosialNya. Dia memperhatikan orang-orang dari kelas rendah yang
dibahasakan oleh Injil sebagai kaum miskin, orang buta, orang timpang, orang lumpuh.
Orang kusta, orang lapar, orang yang malang nasibnya, kaum pendosa, para pelacur, pra
pemungut pajak, orang yang kerasukan setan. Rakyat jelata, dsb. Orang-orang yang
mengikuti Yesus berasal dari kalangan sederhana. Mereka datang dari wilayah yang berbeda-
beda dan dari berbagai macam kelompok. Mereka datang dari wilayah yang berbeda-beda
dan dari berbagai macam kelompok. Mereka mengikuti Yesis secara spontan tanpa
tergornisir, karena mereka tergerak dan mengikuti Yesus secara spontan tanpa tergorganisir,
karena mereka terilham oleh Kepribadian Yesus. Pada kesempatan tertentu di atas gunung, ia
memilih murid-muridnya dengan menyebut nama mereka satu persati (Mk. 3, 13-19). Mereka
adalah murid-murid pertama selaku satu kelompok khusus yang bertugas untuk
menyertaiNya dan meneruskan tugas perutusanNya. Kelompok inilah kelompok basis yang
kemudia berkembang menjadi persekutuan Kristiani dalam arti yang luas, yaitu mencakup
semua orang yang percaya kepadaNya, meskipun tidak menjadi saksi mata hidupNya di
Palestina. Perlu diketahui bahwa kelompok kecil ini tetap tidak terorganisir pada masa hidup
Yesus.
Hidup Komunitas dalam Buddha diawali oleh seorang tokoh yang bernama Sidharta
Gautama. Sidharta Gautama berasal dari keluarga kstaria dalam tradisi Hinduisme di
Kapilavasthu. Siddartha menggembara dan menggabungkan diri dengan satu gerajan asketis
yang di sebut gerakan Samana. Di dalam gerakan ini ia berguru pada dua pembimbingnya,
yaitu Alara Kalama (Skr: Arada Kalama) dan Uddaka Ramaputta (Skr. Udraka Ramaputra),
tetapi dia tidak puas dan tidak setia pada tuntutan-tuntutan asketis yang berlebihan dari
gerakan itu. Akhirnya, dia meninggalkan mereka dan bertapa sendiri di dekat desa Uruvela
(sekarang: Bodha Gaya, sekitar 210 km Tenggara Benares). Lima pertapa datang bergabung
dengannya, tapi kemudian mereka juga meninggalkan Siddatha sendirian, karena mereka
melihat bahwa Siddatha mulai makan untuk memulihkan kembali kesehatan yang terganggu
oleh karena akese dan mati raganya. Dengan kekuatan yang terpulih kembali Siddatha
meneruskan meditasinya di bawah pohon Assatha atau pippala yang besar dan tinggi, dan di
sana ia mengalami pencerahan. Dia yang mengalami penerahan itu disebut “Buddah” yang
berarti “yang terjaga”. Lima teman pertapa Budda dalam bertapa kemudian bergabung
menjadi murid sang Buddha. Mereka menamakan diri “Sangha” (serikat biarawan tanpa
kasta). Mereka kemudian ditahbiskan menjadi bhiku setelah menjalani masa persiapan
(semacam novisiat/ seminari dalam agama Katolik), kelompok ini kemudian makin
membesar.
Hidup Komunitas ini berawal dari atau berakar pada kelompok pengikut awal yang
menyaksikan hidup pendirinya dan yang berorintasi pada tokoh historis tertentu itu sebagai
tokoh panutannya bukanlah satu yang khas untuk satu agama, meskipun tema ini actual untuk
gereja katolik. Dalam hidupa berkomunitas di Indonesia ada dalam semua agama, bahkan
komunitas basis adalah suatu fenomena sosial yang tidak selamanya melekat pada agama.
Dalam bahasa profan, komunitas ini adalah suatu kelompok basis untuk mewujudkan-
nyatakan satu ideologi tertentu.
Komunitas Basis adalah bagian dari dinamika agama dalam sejarahnya. Fakta historis
menunjukkan bahwa lahirnya dan melenyapnya satu agama termasuk dalam dinamika agama
itu, meskipun realitas agama (Yang Kudus) tetap sama. Komunitas basis adalah suatu
fenomena sosial yang bercorak religius karena terkait dengan agama. Maka dari itu, dalam
hidup berkomunitas tentunya tidak lepas dari yang namanya hidup keagamaan. Dengan
realitas yang ada di indonesia yaitu bermacam-macam agama. Maka dari itu penting sekali
hidup saling toleransi karena dengan hal tersebut suatu komunitas dalam kehidupan sehari
dapat dengan sungguh mewujudkan sikap toleransi bukan seperti peristiwa yang telah di
jelaskan diatas.
Agama-agama besar yang ada di indonesia seperti Islam, Kristen dan Buddhis jelas
berasal dari luar dan sudah lama menyebar diseluruh nusantara. Para pengikutnya kini berada
pada suatu generasi yang sudah melewati begitu banyak generasi sejak pendiri dan generasi
pertamanya. Disamping fakta itu, perlu dipahami juga bahwa dibumi ini ada juga agama-
agama yang penganut-penganutnya tidak berorientasi pada tokoh pendirinya yang historis
dan generasi pertamanya. Berhadapan dengan fakat itu para penganut agama yang hidup
dibumi ini pada masa ini tidak mungkin hidup terisolir. Para penganut agama yang berbeda-
beda itu mau tidak mau harus hidup saling berdampingan didalam suatu wilayah, didalam
suatu kota bahkan disatu desa di Indonesia. Hidup bernegara dan bermasyarakat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik dalam tingkat nasional, tingkat propinsi, tingkat
kabupaten, tingkat kecamatan, bahkan tingkat pedesaan tidak bisa terlepas dari hidup
beragama para penganutnya di setiap tingkatan itu di seluruh pelosok nusantara.
Realitas di Indonesia yaitu kelompok sosial-religiusnya bersifat majemuk baik dalam
tubuh agama sendiri maupun dalam relasi antar agama, maka komunitas basis dalam tubuh
agama sendiri maupun dalam relasi antar-agama, maka komunitas basis hanya mendapat
artinya melalui “penghayatan”. De Facto komunitas basis adalah kelompok basis yang
terbatas pada lingkungan sosial yang kecil disatu tempat, atau juga pada lingkungan sosial
kecil ditempat yang berbeda-beda atas dasar kesamaan profesi, etnis, agama, dan kesamaan
kepentingan dsb.
Pada dasarnya, Negara Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama setiap orang
dan hak setiap orang untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Hal ini tercermin dari
beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan diatas. Peristiwa-
peritiwa konflik horizontal yang terjadi menunjukkan terkikisnya budaya toleransi di
Indonesia. Hal ini dapat terjadi salah satu akibatnya kurangnya pemahaman masyarakat
terhadap nilai-nilai yang ada pada Pancasila. Harapan untuk Negara Indonesia yaitu, agar
budaya toleransi kembali tumbuh di negara ini sebab hal tersebut merupakan kunci untuk
kehidupan yang damai di negara multikultural seperti Indoensia.
Iman sendiri (agama) hanya berfungsi sebagai pemberi ilham dan bermain di belakang
layar untuk memotivasi dan pembebasan dari persoalan-persoalan kemanusiaan itu. Maka,
penghayatan komunitas basis yang relevan untuk realitas Indonesia bila penghayatan itu
menyentuh arah kedua ini, justru menitik beratkan pradigma kemanusiaan universal yang
terungkap dalam etika politknya. Konsekuensinya ialah bahwa hubungan antar agama, juga
hubungan antaragama dan Negara, tidak mengutamakan soal-soal agama itu urusan di dalam
agama sendiri, tetapi berjuang bersama untuk keluar dari persoalan-persoalan kemanusiaan
yang menimpa bangsa. Seperti halnya mewujudkan sikap toleransi antar umat beragama
dalam hidup berkomunitas di Indonesia karena penulis yakin setiap agama tidak mungkin
mengajarkan pemeluknya untuk berbuat jahat dan karena komunitas tidak lepas dari yang
namanya realitas mayarakay indonesia yang multikultural maka dari itu penting sekali dalam
hidup berkomunitas sungguh dapat mewujudkan sikap toleransi.
Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk mewujudkan atau menumbuhkan sikap
toleransi, pada diri sendiri adalah kita mengetahui serta mamhami apa itu toleransi. Toleransi
secara luasa adalah sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari nilai atau
norma-norma agama, hukum, budaya, di mana seseroang menghargai atau menghormati
setiap yang orang lain lakukan. Toleransi juga dapat dikatakan dalam istilah konteks sosial
budaya dan agama yang erarti sikap dan perilaku yang melarang adanya diskriminasi
terhadap kelompk-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam
suatu masyarakat (Wikipedia.org).
Dari definisi di atas kita tahu bahwa sikap toleransi merupakan sikap yang mampu
dan mau menerima serta menghargai segala perbedaan yang ada. Dalam hal ini juga sikap
menerima dan menghargai akan keberagaman agama di indonesia merupakan suatu wujud
dari sikap toleransi antar umat beragama dalam hidup berkomunitas di Indonesia.
Daftra Pustaka :

Dewantara, Agustinus W. 2019. Diktat Kuliah Ilmu Perbandingan Agama. Madiun: STKIP
WIDYA YUWANA

Dewantara, Agustinus W. 2019.Diktat Ilmu Perbandingan Agama. Madiun: STKIP WIDYA


YUWANA

Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.

DEWANTARA, A. W. (2016). GOTONG-ROYONG MENURUT SOEKARNO DALAM PERSPEKTIF


AKSIOLOGI MAX SCHELER, DAN SUMBANGANNYA BAGI NASIONALISME INDONESIA (Doctoral
dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Anda mungkin juga menyukai