Anda di halaman 1dari 48

BAB 2

STUDI PUSTAKA

Penyusunan Tugas Akhir ini meliputi evaluasi kinerja ruas jalan Purwodadi-
Wirosari, untuk itu dibutuhkan dasar teori yang bisa didapat melalui kajian
pustaka dari bahan-bahan kuliah dan literatur-literatur yang ada hubungannya
dengan evaluasi kinerja ruas jalan tersebut.
Untuk lebih jelasnya studi pustaka akan dibahas dibahas pada uraian
dibawah ini.
2.1. Evaluasi dan Kinerja
2.1.1. Analisa Sistem Jalan
Analisa sistem jalan ini untuk mengetahui kriteria fungsi dan klasifikasi
jalan menurut “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997”.
¾ Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas
1. jalan arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara efisien.
2. jalan kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul atau
pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalan jarak dekat, dengan kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
¾ Klasifikasi menurut kelas jalan
Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu-lintas, yang dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST)
dalam satuan ton. Kelas klasifikasi ini dapat juga dilihat dalam tabel 2.1(Pasal 11,
PP.No. 43/1993).

II - 1
II - 2

Tabel 2.1. Klasifikasi menurut kelas jalan.


Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat
MST (ton)
Arteri I >10
II 10
IIIA 8

Kolektor IIIA 8
IIIB
Sumber : MKJI 1997

2.1.2. Analisa Tanah


Jenis tanah dasar sangat berpengaruh terhadap daya dukung struktur
perkerasan yang terlatak diatasnya. Tanah dasar yang bersifat ekspansif artinya
tanah ini berjenis lempung dan mempunyai kembang susut yang besar. Tanah
yang labil dan cenderung bergerak, akan tampak adanya lendutan dan longsoran
pada badan jalan. Kondisi tanah lempung yang ekspansif dan labil diperburuk
oleh adanya penyerapan air.
Masalah yang utama mengenai tanah pada perencanaan jalan adalah
masalah daya dukung tanah dasar tersebut. Daya dukung tanah dasar pada
perkerasan jalan dinyatakan dalam CBR (California bearing ratio). Harga daya
dukung tanah dasar (juga harga CBR) sangat dipengaruhi oleh :
a. Kepadatan tanah, makin padat makin tinggi daya dukungnya.
b. Kadar air, makin tinggi kadar air biasanya makin kecil daya dukungnya.
Kadar air lebih berpengaruh pada tanah lempung dan lanau, sedangkan
untuk tanah pasir dan kerikil umumnya kadar air tidak begitu mempengaruhi daya
dukung tanah.
II - 3

¾ Klasifikasi tanah
Klasifikasi tanah dapat dilakukan secara visual atau dapat didasarkan atas
percobaan laboratorium. Prinsip yang digunakan adalah sama yaitu sifat tanah
sampai batas tertentu selalu tergantung pada ukuran butir sehingga dapat dipakai
sebagai titik tolak klasifikasi tanah.

¾ Sistem Klasifikasi AASHO


Sistem klasifikasi AASHO dibuat berdasarkan hasil pengamatan
dilapangan terhadap performance tanah yang berada di bawah perkerasan jalan.
Pada sistem ini tanah dikelompokkan atas dasar persamaan karakteristik
pelayanan serta daya dukung beban pada umumnya. Ada tujuh kelompok dasar
yang diberi sebutan kelompok A-1, A-2, A-3, A-4, A-5, A-6, dan A-7. Secara
umum dapat kita katakan bahwa tanah yang paling baik untuk dipakai sub grade
jalan diklasifikasikan sebagai kelompok A-1, kelompok A-2 masih baik, tetapi
lebih buruk dari kelompok A-1, dan seterusnya, sampai kelompok A-7, yang
nilainya paling rendah. Jadi secara umun dapat dikatakan bahwa peryaratan tebal
struktur perkerasan akan lebih tinggi dengan besarnya nomer kelompok
klasifikasinya.

¾ Sistem Klasifikasi Unified.


Pemeriksaan yang digunakan adalah analisa butir dan batas-batas atteberg.
semua tanah diberi tanda dua huruf petunjuk berdasarkan hasil-hasil percobaan
ini. Ada dua golongan besar yaitu tanah berbutir kasar ( >50% tertahan saringan
no. 200) dan berbutir halus ( >50% lewat saringan no. 200). Tanah berbutir halus
kemudian diklasifikasikan atas dasar plastisitas dan kadar organiknya.
Huruf yang digunakan untuk tanah berbutir halus adalah:
M = lanau L = batas cair rendah O = organic
C = lempung H = batas cair tinggi
II - 4

Tanah berbutir kasar dibagi menjadi pasir dan kerikil, dan kemudian
dibagi lagi menjadi yang mengandung bahan halus dan yang bebas dari bahan
halus. Yang mengandung bahan halus kemudian diklasifikasikan menurut
diagram plasitisitas. Dan yang bebas dari bahan halus dapat dilihat pada grafik
pembagian butir (apakat bergradasi baik atau buruk) dengan menggunakan
koefisian keseragaman dan kelengkungan.
huruf yang digunakan adalah :
G = kerikil S = pasir W = bergradasi baik
P = bergradasi jelek M = kelanauan C = kelempungan
II - 5
II - 6
II - 7

¾ Stabilisasi Tanah
Tujuan stabilisasi tanah adalah :
– Memperbiki mutu tanah yang tidak baik
– Meningkatkan mutu tanah yang sudah baik menjadi lebih baik

a. Stabilisasi Mekanis
stabilisasi ini bertujuan mendapatkan tanah yang bergradasi baik
sedemikian rupa sehingga memenuhi spesifikasi yang diinginkan. Stabilisasi
mekanis dilakukan dengan mencampur tanah dengan tanah jenis lain sehingga
diperoleh gradasi tanah yang baik.
ciri-ciri yang khas dalam pemilihan stabilisasi tanah secara mekanis adalah :
– Jenis tanah yang dipakai tempatnya berdekatan satu sama lain
– Apabila salah satu jenis tanah yang dimaksud harus diambil dari tempat yang
jauh, maka akan tidak ekonomis dan harus dicari metode lain.
– Apabila telah ditetapkan spesifikasi hasil percampuran dan telah ditetapkan
bagian dari masing-masing bahan yang perlu dicampur menjadi satu, perlu
dilakukan pengawasan yang ketat pada saat pencampuran agar diperoleh
homogenitas campuran.
– Penetapan masing-masing bagian dapat dihitung secara analitis ataupun grafis
berdasarkan hasil analisa butir dari jenis tanah yang bersangkutan.

b. Stabilisasi Kimiawi
Tanah yang kohesif (tanah liat) tidak bisa distabilisasi secara mekanis
untuk dapat memanfaatkan tanah liat tersebut secara ekonomis, dipakailah
stabilizing agent antara lain PC, Hydrated lime, bitumen, dsb.
II - 8

Stabilisasi dengan Kapur


Pada stabilisasi kapur terdapat dua macam lime yaitu quick lime dan
Hydrated lime. Dengan Hydrated lime, stabilisasi bisa dilaksanakan lebih mudah
tetapi hasilnya kurang jika dibandingkan dengan Quick lime yang lebih efektif.
Perubahan fisik yang terjadi akibat stabilisasi dengan kapur pada tanah liat adalah
– Plastisiti indeks berkurang
– Plastic limit bertambah
– Liquid limit akan berkurang (PI = LL – PL)
– Sifat kembang susut berkurang
– Strength bertambah
Pada pelaksanaan dilapangan sama dengan stabilisasi semen, hanya disini
tidak ada batas waktu karena reaksi antara tanah dan lime sangat lambat. Banyak
lime yang digunakan adalah 2-10% berat.

Stabilisasi Semen.
– Yaitu stabilisasi dengan menggunakan PC yang ditambahkan ketanah yang
sudah dibuat pulverized.
– Tanah yang akan distabilisasi dengan PC harus dapat dihancurkan dengan
baik.
– Untuk membatasi jumlah semen yang diperlukan perlu mencampur tanah liat
dengan kapur terlebih dahulu agar tanah dapat mudah dihancurkan.
– Termasuk dalam kategori ini adalah tanah liat dengan fraksi no. 200 melebihi
50%, LL > 50%, dan PI > 25 %.
– Soil cement ini terutama banyak dipakai pada base dan sub base.
– Factor utama yang menentukan banyaknya semen adalah tipe dari tanah
II - 9

Stabilisasi Bitumen
– Apabila yang distabilisasi clay (tanah kohesif), maka tanah lebih water proof.
– Apabila yang distabilisasi sand (tanah glanular) maka bitumen merupakan
bahan pengikat.
– Ada dua macam bitumen yaitu send bitumen dan soil bitumen.

Stabilisasi Geomembran
– Yaitu stabilisasi dengan menggunakan bahan fleksibel yaitu geo membrane
– Jika digunakan pada tanah exspansif, maka akan menahan air masuk, atau
untuk mengurangi terjadinya kembang susut tanah yang menyebabkan
kerusakan perkerasan.

Pengantian tanah
– Yaitu mengganti tanah asli dengan tanah yang lebih baik daya dukung
tanahnya, sehingga dapat digunakan sebagai tanah dasar beban.

2.1.3. Analisis Data Lalu-Lintas


¾ Volume lalu lintas
Adalah jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu
satuan waktu (hari,jam,atau menit). Satuan volume lalu-lintas yang umum
digunakan sehubungan dengan penentuan jumlah dan lebar lajur adalah:
1. Lalu-lintas harian rata-rata
Lalu-lintas harian rata-rata adalah volume lalu-lintas rata-rata dalam satu
hari. Dari cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis lalu-lintas
harian rata-rata yaitu lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu-
lintas harian rata-rata (LHR).
n
LHRT = Keterangan:
365
n : jumlah lalu lintas dalam 1 tahun
LHRT dinyatakan dalam SMP/hari/2arah.
II - 10

LHR adalah jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan


dibandingkan atau dibagi dengan lamanya pengamatan.
N
LHR =
T
LHR : jumlah lalu lintas selama pengamatan / lamanya pengamatan
N : jumlah lalu-lintas selama pengamatan
T : lamanya pengamatan
Dengan situasi jalan raya yang terdiri dari berbagai macam kendaraan
yang memilikan kecepatan dan berat yang berbeda.Macam macam kendaraan
tersebut dapat di golongkan menjadi 8 golongan yang akan kita tinjau, golongan
tersebut adalah:

gol 1. = Sepeda motor, skuter, sepeda kumbang dan roda tiga.


2. = Sedan, jeep dan station wagom.
3. = Oplet, pick up, suburban, combi dan mini bus.
4. = Mikro truk dan monil hantaran.
5a. = Bus kecil.
5b. = Bus besar.
6. = Truk 2 Sumbu.
7. = Truk 3 sumbu atau lebih, gandengan dan trailer.
8. = Kendaraan tak bermontor.
II - 11

Untuk mempermudah perhitungan maka berbagai macam kendaraan


tersebut diekivalenkan dengan faktor ekivalen menurut tabel dalam MKJI 1997.

Tabel 2.2. Ekivalensi kendaraan penumpang (emp) untuk jalan 2/2 UD.
Tipe Arus Emp
Alinyemen Total MHV LB LT MC
(kend./ Lebar jalur lalu-lintas (m)
jam) <6m 6-8m >8m
Datar 0 1,2 1,2 1,8 0,8 0,6 0,4
800 1,8 1,8 2,7 1,2 0,9 0,6
1350 1,5 1,6 2,5 0,9 0,7 0,5
>1900 1,3 1,5 2,5 0,6 0,5 0,4
Sumber : MKJI 1997

Keterangan:
MHV : kendaraan berat menengah
LT : truk besar
LB : bis besar
MC : sepeda motor
LV : kendaraan ringan (emp selalu 1,0)
II - 12

2. Volume jam rencana


Volume jam rencana adalah perkiraan volume lalu lintas pada jam sibuk
tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam smp/jam. Dihitung dengan
rumus:
K
VJR = LHR
F
VJR : volume jam rencana (smp/jam)
LHR: lalu-lintas harian rata-rata (smp/hari)
K : faktor volume lalu-lintas pada jam sibuk
F : faktor variasi tingkat lalu lintas per ¼
jam dalam 1 jam
Tabel 2.3. Penentuan faktor K dan faktor F berdasarkan volume lalu lintas harian
rata-rata
VLHR Faktor-K(%) Faktor-F
>50.000 4-6 0.9-1
30.000-50.000 6-8 0.8-1
10.000-30.000 6-8 0.8-1
5.000-10.000 8-10 0.6-0.8
1.000-5.000 10-12 0.6-0.8
<1.000 12-16 <0.6
Sumber :Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
II - 13

¾ Analisa kapasitas
Untuk menganalisa besarnya kapasitas jalan luar kota, berdasarkan MKJI
1997 Bab 6 jalan luar kota, dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
C = Co 3 FCw 3 FCsp 3 FCsf
Keterangan C = Kapasitas (smp/jam)
Co = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCw = Faktor penyesuaian lebar jalan
FCsp = Faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan tak
terbagi)
FCsf = Faktor penyesuaian akibat hambatan samping dan bahu
jalan

Tabel.2.4. Besar kapasitas dasar (Co) untuk jalan luar kota 2 arah 2 lajur
Tipe jalan/
Kapasitas dasar
Tipe alinyemen
Dua-jalur tak-terbagi Total kedua arah
Datar 3100
Bukit 3000
Gunung 2900
Sumber : MKJI 1997
II - 14

Tabel.2.5. Besar faktor penyesuaian akibat lebar jalan untuk jalan luar kota
Lebar Efektif Jalan
Tipe Jalan total kedua arah (Wc) FCw
(m)
5 0,69
6 0,91
2/2 UD 7 1,00
8 1,08
9 1,15
10 1,21
11 1,27
Sumber : MKJI 1997

Tabel.2.6. Faktor penyesuaian akibat prosentase arah untuk jalan luar kota

Pemisahan arah SP %-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

Dua lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88


FCsp
Empat lajur 4/2 1,00 0,975 0,95 0,925 0,90

Sumber : MKJI 1997


II - 15

Tabel.2.7. Faktor penyesuaian akibat hambatan samping untuk jalan luar kota
untuk tipe 2/2 UD

Kelas Faktor penyesuaian untuk hambatan samping (FCsf)


Hambatan Lebar Bahu Efektif Ws
Samping ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0
VL 0,97 0,99 1.00 1,02
L 0,93 0,95 0,97 1,00
M 0,88 0,91 0,94 0,98
H 0,84 0,88 0,91 0,95
VH 0,80 0,83 0,88 0,93
Sumber : MKJI 1997
Keterangan:
VL = Sangat Rendah
L = Rendah
M = Sedang
H = Tinggi
VH = Sangat Tinggi
¾ Kecepatan Arus Bebas
Kecepatan arus bebas didefinisikan sebagai kecepatan pada saat tingkatan
arus nol, sesuai dengan kecepatan yang akan di pilih pengemudi seandainya
mengendarai kendaraan bermotor tanpa halangan kendaraan bermontor lain di
jalan (yaitu saat arus = 0).

FV = (Fvo + FVw) x FFVsf x FFVrc

Keterangan:
FV = Kecepatan jalan (km/jam)
Fvo = Kecepatan dasar (km/jam)
FVw = Kecepatan penyesuaian untuk lebar efektif (km/jam)
FFVsf = Faktor penyesuaian hambatan samping
FFVrc = Faktor penyesuaian kelas dan fungsi jalan
II - 16

Tabel.2.8. Kecepatan arus bebas dasar untuk jalan luar kota


Tipe jalan/ Kecepatan Arus Bebas Dasar (km/jam)
Tipe alinyemen/ Kendaraan Kendaraan Bus Truk Sepeda
(Kelas jarak Ringan Berat Besar Besar Montor
pandang) Menengah
LV MHV LB LT MC
Dua-lajur tak
terbagi
- Datar SDC: A 68 60 73 58 55
Datar SDC: B 65 57 69 55 54
Datar SDC: C 61 54 63 52 53
- Bukit 61 52 62 49 53
- Gunung 55 42 50 38 51

Tabel.2.9. Penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas


Tipe Jalan Lebar FVw (km/jam)
Efektif Datar: - Bukit: Gunung
Jalur Lalu SDC = A,B SDC = A,B,C
Lintas - Datar: SDC = C
(Wc)
(m)
Dua-lajur Total
tak terbagi 5 -11 -9 -7
6 -3 -2 -1
7 0 0 0
8 1 1 0
9 2 2 1
10 3 3 2
11 3 3 2
II - 17

Tabel.2.10. Faktor penyesuaian akibat hambatan samping dan lebar bahu


Tipe Jalan Kelas Hambatan Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan
Samping (SFC) Samping dan Lebar Bahu
Lebar Bahu Efektif Ws (m)
≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥2m
Dua Lajur Sangat rendah 1,00 1,00 1,00 1,00
tak terbagi Rendah 0,96 0,97 0,97 0,98
2/2 UD Sedang 0,91 0,92 0,93 0,97
Tinggi 0,85 0,87 0,88 0,95
Sangat tinggi 0,76 0,79 0,82 0,93

Tabel.2.11. Faktor penyesuaian akibat kelas fungsional jalan dan guna lahan
Tipe Jalan Faktor Penyesuaian FFV
Pengembangan samping jalan (%)
0 25 50 75 100
Dua-lajur tak terbagi
Arteri 1,00 0,98 0,97 0,96 0,94
Kolektor 0,94 0,93 0,91 0,90 0,88
Lokal 0,90 0,88 0,87 0,86 0,84
II - 18

¾ Waktu Tempuh
Waktu tempuh merupakan perbandingan antara jarak / panjang jalan
dengan kecepatan jalan, yang memberikan gambaran tentang waktu tempuh yang
dibutuhkan untuk menempuh suatu ruas jalan dengan jarak tertentu.dapat dihitung
dengan persamaan berikut.

V
TT = TT = Waktu Tempuh (jam)
L
L = Panjang segmen (km)
V = Kecepatan jalan (km/jam)

¾ Analisa Pertumbuhan Lalu Lintas


Besarnya tingkat pertumbuhan lalu lintas dapat dihitung dengan
menggunakan metode regresi linear.
Y = a + bX
ΣY = n.a + b.ΣX
ΣXY = a.X + b.ΣX2
Keterangan :
Y = besar LHR yang diramalkan
X = unit tahun yang dihitung dari periode dasar
a = nilai tren pada nilai dasar
n = jumlah data
b = Koefisien regresi, yang menunjukkan angka peningkatan ataupun penurunan
variabel dependen yang didasarkan pada variabel indenpenden.
Harga a dan b diatas dapat dicari dengan persamaan :

a=
∑ y ∑ x − ∑ x∑ xy
2

n ∑ x − (∑ x )
2 2

n ∑ xy − ∑ x ∑ y
b=
n ∑ x − (∑ x )
2 2
II - 19

disini LHR sebagai variabel dependen sedangkan jumlah penduduk, jumlah


kepemilikan kendaraan, Produk Domestik Regional Bruto sebagai variabel
independent.
¾ Analisa LHR
Dalam memperkirakan nilai LHR pada tahun umur rencana dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
LHRn = LHR0.(1+i)n
Keterangan :
LHRn = LHR tahun ke-n
LHR0= LHR awal tahun rencana
i = Faktor pertumbuhan lalu lintas
n = Umur rencana
2.1.4. Evaluasi Kinerja
Untuk mengevaluasi jalan lama dapat diketahui dengan menghitung
Degree of Saturation jalan tersebut dengan menggunakan rumus :
Q
Ds =
C
Keterangan :
Ds = Degree of Saturation
Q = k 3 LHRn
C = kapasitas
Tabel 2.12. Nilai k untuk jalan antar kota
LHR K
> 50000 4-6
30000-50000 6-8
10000-30000 6-8
5000-10000 8-10
1000-5000 10-12
<1000 12-16
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
II - 20

Apabila dari perhitungan didapatkan Ds < 0,75 maka jalan tersebut masih
dapat melayani kendaraan yang melewati ruas jalan tersebut dengan baik. Sedang
kan apabila diperoleh harga Ds ≥ 0,75 maka jalan tersebut sudah tidak mampu
melayani banyaknya kendaraan yang melewatinya. Dan untuk mengatasinya jalan
tersebut harus diperlebar, atau dengan membuat jalan baru.
2.1.5. Analisa Kondisi Perkerasan
kondisi struktur perkerasan selama masa layan tidak terlepas dari standar
disain yang dipakai.kondisi struktur perkerasan jalan selama masa layan
digambarkan dengan kurva hubungan IP (indeks permukaan) dengan nilai N
(beban sumbu standar ekivalen total).

¾ Jalan perlu dievaluasi kerusakannya dengan menentukan:


• jenis kerusakan (distress type) dan penyebabnya
• tingkat kerusakan (distess severity)
• jumlah kerusakan (distress amount)
¾ Tipe dan jenis kerusakan jalan (pavement diastress)
• Tipe kerusakan:
1. kerusakan fungsional
struktur perkerasantidak dapat lagi melayani lalu lintas sesuai dengan
fungsi yang diharapkan (nyaman dan aman).
– Tingkat ketidakrataan permukaan (roughness)
– Sifat kerusakan tidak progressive
2. kerusakan struktural
kerusakan pada satu atau lebih lapis perkerasan
– bersifat progressive, jika tidak segera ditangani akan berkembang
dengan cepat menjadi kerusakan yang lebih besar.
– Pada akhirnya menyebabkan ketidak rataan permukaan, dapat
diakibatkan karena kegagalan pada tanah dasar, lapis pondasi atau
lapis permukaan
II - 21

• Jenis kerusakan
1. retak (cracking)
2. perubahan bentuk (distorsion)
3. cacat permukaan (disintegration)
4. pengausan (polished aggregate)
5. kegemukan (bleeding or flushing)
6. penurunan pada bekas penanaman utilitas (utiliti cut depresion)
¾ penanganan kerusakan
berdasarkan studi atau pengalaman dari penanganan kerusakan jalan
dipakai lapis tambahan pada perkerasan lama (overlay), karena overlay lebih
efektif dan ekonomis. Sebelum perancangan overlay perlu diadakan pemeriksaan
(survey) struktur yang ada, yaitu:
• pemeriksanaan nilai fungsional jalan:
1. survey kondisi perkerasan
– tujuan: mendapatkan data mengenai jenis dan tingkat kerusakan
yang terjadi pada perkerasan lapis beraspal.
– Survey ini dilakukan secara visual dan pengukuran langsung.
2. survey ketidakrataan
– ketidakrataan salah satu parameter pemeliharaan fungsional jalan
yang berkaitan dengan tingkat kenyamanan berkendaraan.
– Ada standarisasi untuk menyatakan nilai ketidakrataan sehingga
dapat dipakai secara internasional. IRI (international roughness
index) dengan satuan m/km, in/mile.
3. survey kelicinan/kekesatan
– licin atau tidak kesat dari permukaan jalan penyebab terjadinya slip
akibat koefisien gesek atau kekesatan rendah. Kekesatan berkaitan
dengan tekstur muka jalan.
II - 22

• pemeriksaan nilai struktural perkerasan


1. cara destruktif
– dengan test PIT untuk menilai kondisi lapis perkerasan
2. cara non destrutif
– dengan benkelman beam (cara konvensional)
– dengan FWD (flling weight deflectometer)
3. dinamik cone penetrometer (dcp)
– untuk menguji kekuatan lapis perkerasan jalan tanpa bahan
pengikat (tanah dasar, pondasi bahan berbutir)

2.2. Perencanaan Jalan


2.2.1. Peningkatan Geometrik Jalan

Peningkatan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan


yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi
fungsi dasar dari jalan yaitu memberi pelayanan yang optimum pada arus lalu
lintas. Peningkatan geomerik secara umum mempunyai unsur menyangkut aspek–
aspek perencanaan bagian jalan :
1. Perencanaan trase
2. Penampang melintang jalan
3. Alinyemen horisontal
4. Super elevasi
5. Pelebaran Tikungan
6. Alinyemen vertikal
¾ Perencanaan Trase Jalan
Dasar perencanaan trase jalan ditentukan, demikian juga golongan
medannya, maka perencanaan trase jalan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
• Landai maksimum
• Jari-jari landai lengkung minimum
• Lengkung vertikal
II - 23

Lengkung minimum hanya boleh digunakan apabila pertimbangan biaya


pembangunan adalah sangat memaksa dan hanya untuk jarak pendek. Hal yang
perlu diperhatikan bahwa panjang dari landai maksimum (kritis) perlu dibatasi
agar tidak sampai mengakibatkan pengurangan kecepatan yang dapat
mengganggu kelancaran lalu-lintas. Dalam peraturan “Perencanaan Geometrik
Jalan Raya” oleh Dirjen Bina Marga, panjang landai kritis tersebut :
Tabel 2.13. Panjang landai kritis
Kelandaian (%) 4 5 6 7 8 9 10
Kecepatan Awal (Km/jam) Panjang Landai Kritis (m)
80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 230 160 120 120 90 80


Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota-1997
Jari-jari kelengkungan diusahakan sebesar mungkin agar diperoleh
tikungan tanpa kemiringan lengkung peralihan, agar perubahan kemiringan pada
tikungan tidak mendadak dimana akan mengurangi kenyamanan pemakai jalan.
Lengkung vertikal digunakan atau dibuat agar memenuhi keamanan, mengingat
bahwa jarak pandang di daerah tersebut ditiap pergantian kelandaian lengkung
vertikal yang harus digunakan adalah parabola sederhana. Selain syarat-syarat
tersebut, harus diperhatikan juga:
• Trase jalan rencananya sebaiknya mengikuti medannya.
• Jumlah galian dan timbunan seminimal mungkin dan diharapkan
seimbang.
• Antara 2 tikungan (lengkung horizontal) harus ada bagian yang lurus.
• Perlu diadakan pelebaran perkerasan di bagian tikungan.
• Dihindarkan adanya pertemuan antara lengkung horizontal dan
lengkung vertikal disuatu titik.
• Faktor kenyamanan, keamanan diutamakan dengan
mempertimbangkan biaya semurah mungkin.
II - 24

¾ Penampang Melintang Jalan


Penampang melintang jalan terdiri dari beberapa bagian yaitu:
1. Lajur
• Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh
marka jalan lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu
kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana.
• Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang
dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan seperti
ditetapkan dalam tabel 2.10.
• Jumlah lajur ditetapkaan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan
tingkat kinerja yang direncanakan, dimana untuk suatu ruas jalan
dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang
nilainya tidak lebih dari 0,80.
• Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada alinyemen
lurus memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut.
♦ 2-3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton.
♦ 4-5% untuk perkerasan kerikil.

Tabel 2.14. Lebar lajur jalan ideal


Fungsi Kelas Lebar lajur ideal (m)
Arteri I 3,75
II,IIIA 3,50
Kolektor IIIA,IIIB 3,00
Lokal IIIC 3,00
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota-1997
II - 25

2. Bahu jalan
• Bahu Jalan adalah bagian jalan yang terletak di tepi jalur lalu lintas dan
harus diperkeras.
• Fungsi bahu jalan adalah sebagai berikut:
♦ Lajur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara, dan atau
tempat parkir darurat.
♦ Ruang bebas samping bagi lalu lintas.
• Kemiringan bahu jalan normal antara 3-5%.
• Lebar bahu jalan dapat dilihat dalam tabel 2.11.

Tabel 2.15. Penentuan Lebat Jalur dan Bahu Jalan


VLHR ARTERI KOLEKTOR LOKAL
(smp Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar
/hari) Jalur Jalur Jalur Jalur Jalur Jalur
(m) (m) (m) (m) (m) (m)
<3.000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0
3000- 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0
10.000
**) **)
10.001- 7.0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 - - - -
25.000
>25.000 2nx3,5*) 2,5 2x7,0*) 2,0 2nx3,5*) 2,0 **) **)
- - - -
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota-1997
**)
Keterangan : = Mengacu pada persyaratan ideal
*)
= 2 jalur terbagi, masing-masing nx3,5m; dimana n = jumlah
lajur per jalur.
- = tidak ditentukan
II - 26

¾ Alinyemen Horisontal
Alinyemen horisontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut
juga tikungan). Perencanaan geometri pada bagian lengkung dimaksudkan untuk
mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada
kecepatan VR. Untuk keselamatan pemakai jalan ,jarak pandang dan daerah bebas
samping jalan harus diperhitungan.
1)Panjang Bagian Lurus
Dengan memperhatikan faktor keselamatan pemakai jalan. Ditinjau dari
segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus
harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai VR).Panjang
Bagian lurus dapat ditetapkan dari tabel berikut:
Tabel 2.16. Panjang Bagian Lurus Maksimum
Fungsi Panjang Bagian Lurus Maksimum
Datar Perbukitan Pegunungan
Arteri 3.000 2.500 2.000
Kolektor 2.000 1.750 1.500
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota-1997
2)Tikungan
Bentuk-bentuk tikungan dapat berupa:
a. Spiral - Circle – Spiral (SCS)
Tikungan jenis Spiral – Circle – Spiral (Gambar 2.1) digunakan pada
tikungan yang mempunyai jari-jari dan sudut tangen yang sedang. Pada tikungan
ini, perubahan dari tangen ke lengkung lingkaran dijembatani dengan adanya
lengkung spiral (Ls). Fungsi dari lengkung spiral adalah menjaga agar perubahan
gaya sentrifugal yang timbul pada waktu kendaraan memasuki atau meninggalkan
tikungan dapat terjadi secara berangsur-angsur. Di samping itu, hal ini juga
dimaksudkan untuk membuat kemiringan transisi lereng jalan menjadi
superelevasi tidak terjadi secara mendadak dan sesuai dengan gaya sentrifugal
yang timbul sehingga keamanan dan kenyamanan terjamin.
II - 27

PI

E
T θs
W Yc α

Xc SC
Tk Lc CS
TL
Xm

Rc s Bagian Lingkaran Ls
Ba
TS g ia
nS TS

Rc

Rc
p ir
al

+∆
α T
θs (L ange

Rc
θs ur nt
us
)

Gambar 2.1. Sketsa tikungan spiral – circle – spiral


Ls ditentukan dari 3 rumus di bawah ini dan diambil nilai yang
terbesar.
1) Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan.
Ls = VR ⋅ T / 3,6 ; T diambil 3 detik
2) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal.
0,022 ⋅ VR 3 2,727 ⋅ VR ⋅ e
Ls = − ; C diambil 1 – 3 m/detik3
Rc ⋅ C C
3) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian.

Ls =
(e max − en ) ⋅ VR ; re diambil 0,035 m/detik
3,6 ⋅ re
Rumus elemen-elemen tikungan adalah sebagai berikut :
Rc + p
Ts = [(Rc + p ) ⋅ tan (∆ / 2 )] + k Es = − Rc
cos ∆ / 2
∆ + (2 ⋅ θs )
Lc = ⋅ (π ⋅ Rc ) Lt = (2 ⋅ Ls ) + Lc ≤ 2 ⋅ Ts
180
⎛ Ls 2 ⎞ Ls 2
Xc = Ls⎜1 − ⎟ Yc =
⎝ 40 Rc ⎠ 6 Rc
2

28,648 × Ls
θs =
Rc
II - 28

S= Xc 2 + Yc 2
∆Rc = Yc + Rc(Cosθs − 1)
Xm = Xc − Rc × Sinθs

W = (Rc + ∆Rc ) × Tan ∆


2
T = Xm + W
α = ∆ − 2θs

Lc = Rc × π × α
o

180 o
⎛ Rc + ∆Rc ⎞
E = ⎜⎜ ⎟ − Rc
Cos ∆ ⎟
⎝ 2 ⎠
Tl = Xc − Yc × Ctgθs

Tk = Yc
Sinθs
Lt = Lc + 2 Ls
Dimana : TS = Titik awal spiral (titik dari tangen ke spiral)
ST = Titik akhir spiral
SC = Titik dari spiral ke circle
CS = Titik dari circle ke spiral
PI = Titik perpotongan tangen
Ls = Panjang spiral
Rc = Jari-jari lingkaran (jarak O – TC atau ke CT atau ke setiap
titik busur lingkaran)
Lc = Panjang circle (busur lingkaran)
θs = Sudut – spiral
II - 29

b. Full Circle (FS)


Tikungan jenis full circle umumnya digunakan pada tikungan yang
mempunyai jari-jari tikungan besar dan sudut tangen kecil.
Sketsa tikungan full circle dapat dilihat pada Gambar 2.2. di bawah ini.

T ∆
E

TC Lc CT
TA
NG
EN

Rc 0.5 ∆ Rc

Gambar 2.2. Sketsa tikungan full circle

Dalam mendesain tikungan jenis full circle, digunakan rumus-rumus


sebagai berikut :
T = Rc ⋅ tan (∆ / 2 ) Lc = ∆ ⋅ (2 ⋅ π ⋅ Rc ) / 360
E = T ⋅ tan (∆ / 4 ) = 0,01745 ⋅ ∆ ⋅ Rc
∆ = α 2 − α1
Dimana : α 1, α 2 = Sudut jurusan tangen I dan 2
∆c = Sudut luar di PI
TC = Titik awal tikungan
PI = Titik perpotongan tangen
CT = Titik akhir tikungan
O = Titik pusat lingkaran
T = Panjang tangen (jarak TC – PI atau jarak PI – CT)
Rc = Jari-jari lingkaran (jarak O – TC atau ke CT atau ke setiap
Busur lingkaran)
II - 30

c. Spiral-Spiral
Tikungan jenis spiral-spiral digunakan pada tikungan tajam dengan sudut
tangen yang besar. Pada prinsipnya lengkung spiral-spiral (Gambar 2.3) sama
dengan lengkung spiral-circle-spiral. Hanya saja pada tikungan spiral-spiral tidak
terdapat busur lingkaran sehingga nilai lengkung tangen (Lt) adalah 2 kali
lengkung spiral Ls. Pada nilai Lc = 0 atau Sc = 0 tidak ada jarak tertentu dalam
masa tikungan yang sama miringnya sehingga tikungan ini kurang begitu bagus
pada superelevasi.
Rumus yang digunakan :
Ls = (2 ⋅ π ⋅ R ⋅ θs ) / 180
Ts = [(R + p ) ⋅ tan ∆ / 2] + k
Es = [(R + p ) ⋅ sec ∆ / 2] + k
Lt = (2 ⋅ Ls ) + Lc dengan Lc = 0
= 2 ⋅ Ls
Dimana : Ls = Panjang spiral
Ts = Titik awal spiral
Es = Jarak eksternal dari PI ke tengah busur spiral
Lt = Panjang busur spiral

PI

Yc Es
Ts 0s r
SCS
Xc
0s 0s
X
k Rc Rc
P ∆

ST
TS

Gambar 2.3. Sketsa tikungan spiral – spiral


II - 31

¾ Superelevasi
Superelevasi menunjukkan besarnya perubahan kemiringan melintang
jalan secara berangsur-angsur dari kemiringan normal menjadi kemiringan
maksimum pada suatu tikungan horisontal yang direncanakan. Dengan demikian
dapat menunjukkan kemiringan melintang jalan pada setiap titik dalam tikungan.
Nilai superelevasi yang tinggi mengurangi gaya geser kesamping dan
menjadikan gerakan kendaraan pada tikungan lebih nyaman. Jari-jari minimum
yang tidak memerlukan superelevasi
Diagram superelevasi untuk tipe tikungan F-C, S-C-S, dan S-S dapat
dilihat pada Gambar 2.4, Gambar 2.5, Gambar 2.6 di bawah ini.

bagian lurus bagian Lc bagian lurus


2 1 sisi luar tikungan 1 2
3 Ls 3 Ls 3 Ls 3 Ls
emax (+)

TC e=0% CT

en

emax (-)
sisi luar tikungan

Gambar 2.4 Diagram superelevasi pada tikungan F-C

bag. lurus bagian Ls bagian Lc bagian Ls bag. lurus

sisi luar tikungan


emax (+)

TS SC e=0% CS ST

en

emax (-)
sisi luar tikungan

Gambar 2.5 Diagram superelevasi pada tikungan S-C-S


II - 32

bag. lurus bagian Ls bag. lurus

sisi luar tikungan

emax (+)

TS e=0% ST

en

emax (-)

sisi luar tikungan

Gambar 2.6 Diagram superelevasi pada tikungan S-S

¾ Pelebaran Jalur Lalu Lintas di Tikungan


Pada saat kendaraan melewati tikungan, roda belakang kendaraan tidak
dapat mengikuti jejak roda depan sehingga lintasannya berada lebih ke dalam
dibandingkan dengan lintasan roda depan.
Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan konsistensi
geometrik jalan, agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama dengan
bagian lurus. Pelebaran perkerasan pada tikungan mempertimbangkan :
1)Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya.
2)Penambahan lebar ruang (lajur) yang dipakai saat kendaraan melakukan
gerakan melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus
memenuhi gerak perputaran kendaraan rencana sedemikian sehingga
kendaraan rencana tetap pada lajurnya.
II - 33

3)Besarnya pelebaran di tikungan dapat di hitung dengan rumus

2
⎛ b⎞
Rc = ⎜ R 2 − (a + U 1) + ⎟ + ( a + U 1) 2
2

⎝ 2⎠

b
− Rc − (a + U 1)
2 2
B = Rc +
2

E = B−b
Keterangan :
E = Tambahan Lebar (Pelebaran)
B = Lebar yang di tempati kendaraan
R = Jari jari lengkung pada suatu jalan
b = Lebar mobil
a = Jarak Gandar
Rc = Jari jari lengkung untuk lintasan luar yang di tambah mobil
U1= Tonjolan depan
¾ Alinyemen Vertikal
Alinyemen vertikal merupakan penampang melintang jalan dimana
alinyemen ini merupakan proyeksi sumbu jalan ke bidang vertikal tegak lurus
penampang melintang jalan. Tujuan perencanaan lengkung vertikal adalah :
• Mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian.
• Menyediakan jarak pandang henti.
Perencanaan alinyemen vertikal harus sedemikian rupa sehingga trase
jalan yang dihasilkan memberikan tingkat kenyamanan dan tingkat keamanan
yang optimal. Perhitungan dimulai dari data elevasi point of vertical intersection
(PVI), kemudian baru dihitung besaran-besaran sebagai berikut :
• Panjang lengkung vertikal Lv dalam meter
• Pergeseran vertikal Ev dalam meter
• Elevasi permukaan jalan di PLV dan PTV
II - 34

• Elevasi permukaan jalan antara PLV, PVI, dan PTV pada setiap
stasiun yang terdapat pada alinyemen.
Rumus-rumus yang digunakan adalah :
A = g1 − g 2
Ev = ( A ⋅ Lv ) / 800
Dimana : A = Perbedaan aljabar landai
g1,g2 = Kelandaian jalan (%)
EV = Jarak antara lengkung vertikal dengan PV
LV = Panjang lengkung vertikal
Lengkung vertikal terdiri dari dua jenis, yaitu lengkung vertikal cekung
(Gambar 2.7), dan lengkung vertikal cembung (Gambar 2.8).

L
S

0 .7 5
1 h

E
A

Gambar 2.7. Sketsa lengkung vertikal cekung

d1 d2
A
q1 E q2

h1 h2
S
L

Gambar 2.8. Sketsa lengkung vertikal cembung


II - 35

Lv dihitung berdasarkan jarak pandang henti, dengan kondisi sebagai


berikut.
1. Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung
(S < L), panjangnya ditetapkan dengan rumus :
A⋅ S2
Lv =
405
2. Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung
(S > L), panjangnya ditetapkan dengan rumus :
405
Lv = 2 ⋅ S −
A
Panjang minimum lengkung vertikal dapat dilihat pada Tabel 2.13. berikut.
Tabel 2.17. Panjang minimum lengkung vertikal
Kecepatan Rencana Perbedaan Kelandaian Panjang Lengkung
(km/jam) Memanjang (%) (m)
<40 1 20 – 30
40 – 60 0.6 40 – 80
>60 0.4 80 – 150
Sumber: “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota Tahun 1997”
2.2.2. Perencanaan Perkerasan Jalan
Struktur perkerasan jalan adalah bagian konstruksi jalan raya yang
diperkeras dengan lapisan konstruksi tertentu yang memiliki ketebalan, kekuatan
dan kekakuan serta kestabilan tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu lintas
diatasnya dengan aman.
¾ Metode Perencanaan Struktur Perkerasan
Dalam perencanaan jalan, perkerasan merupakan bagian terpenting dimana
perkerasan berfungsi sebagai berikut :
• Menyebarkan beban lalu lintas sehingga besarnya beban yang dipikul
sub grade lebih kecil dari kekuatan sub grade itu sendiri.
II - 36

• Melindungi sub grade dari air hujan.


• Mendapatkan permukaan yang rata dan memiliki koefisien gesek yang
mencukupi sehingga pengguna jalan lebih aman dan nyaman dalam
berkendara.
Salah satu metode perkerasan jalan adalah jenis perkerasan lentur (flexible
pavement). Perkerasan lentur adalah perkerasan yang umumnya menggunakan
bahan campuran aspal dengan agregat yang memiliki ukuran butir tertentu
sehingga memiliki kepadatan, kekuatan dan flow tertentu. Jenis perkerasan jalan
yang lain adalah perkerasan kaku (rigid pavement) yaitu perkerasan beton semen
dimana terdiri dari campuran campuran semen PC, agregat halus dan air yang
digelar dalam satu lapis.
Untuk Perencanaan Ruas Jalan Purwodadi-Wirosari dipakai jenis
perkerasan lentur. Desain tebal perkerasan dihitung agar mampu memikul
tegangan yang ditimbulkan oleh beban kendaraan, perubahan suhu, kadar air dan
perubahan volume pada lapisan bawahnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
perkerasan lentur adalah sebagai berikut :
1)Umur rencana
Pertimbangan yang digunakan dalam umur rencana perkerasan
jalan adalah pertimbangan biaya konstruksi, pertimbangan klasifikasi
fungsional jalan dan pola lalu lintas jalan yang bersangkutan dimana tidak
terlepas dari satuan pengembangan wilayah yang telah ada.
2)Lalu lintas
Analisa lalu lintas berdasarkan hasil perhitungan volume lalu lintas
dan komposisi beban sumbu kendaraan berdasarkan data terakhir dari pos-
pos resmi setempat.
3)Konstruksi jalan
Konstruksi jalan terdiri dari tanah dan perkerasan jalan. Penetapan
besarnya rencana tanah dasar dan material-materialnya yang akan menjadi
bagian dari konstruksi perkerasan harus didasarkan atas survey dan
penelitian laboratorium.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tebal perkerasan jalan adalah :
II - 37

• Jumlah jalur (N) dan Koefisien distribusi kendaraan (C)


• Angka ekivalen (E) beban sumbu kendaraan
• Lalu lintas harian rata-rata
• Daya dukung tanah (DDT) dan CBR
• Faktor regional (FR)
Struktur perkerasan lentur terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut :
1. Lapis Permukaan (Surface Course)
a. Lapis aus :
♦ Sebagai lapis aus yang berhubungan dengan roda kendaraan.
♦ Mencegah masuknya air pada lapisan bawah (lapis Kedap air).
b. Lapis perkerasan :
♦ Sebagai lapis perkerasan penahan beban roda, lapisan ini
memiliki kestabilan tinggi untuk menahan beban roda selama
masa pelayanan.
♦ Sebagai lapis yang menyebarkan beban ke lapis bawahnya,
sehingga dapat dipikul oleh lapisan lain dibawahnya yang
mempunyai daya dukung lebih jelek.
2. Lapis Pondasi (Base Course)
Merupakan lapis pondasi atas yang berfungsi sebagai :
♦ Sebagai lantai kerja bagi lapisan diatasnya.
♦ Sebagai lapis peresapan untuk lapis podasi bawah.
♦ Menahan beban roda dan menyebarkan ke lapis bawahnya.
♦ Mengurangi compressive stress sub base sampai tingkat yang
dapat diterima.
♦ Menjamin bahwa besarnya regangan pada lapis bawah bitumen
(material surface), tidak akan menyebabkan cracking.
II - 38

3. Lapis Pondasi Bawah (Sub Base Course)


Memiliki fungsi sebagai berikut :
♦ Menyebarkan beban roda ke tanah dasar.
♦ Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapisan pondasi.
♦ Untuk efisiensi penggunaan material.
♦ Sebagai lapis perkerasan.
♦ Sebagai lantai kerja bagi lapis pondasi atas.
4. Tanah Dasar (Sub Grade)
Tanah dasar adalah tanah setebal 50 – 100 cm diatas dimana akan
diletakkan lapisan pondasi bawah. Lapisan tanah dasar bisa berupa tanah
asli yang dipadatkan. Jika tanah aslinya baik dan cukup hanya dipadatkan
saja. Bisa juga tanah yang didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan
atau tanah yang distabilisasi baik dengan kapur, semen, atau bahan lainya.
Pemadatan yang baik diperoleh jika dilakukan pada kadar air optimum,
diusahakan agar kadar air tersebut konstan selama umur rencana, hal ini
dapat dicapai dengan perlengkapan drainase yang memenuh syarat.

¾ Prosedur Perhitungan Tebal Perkerasan Lentur


Dalam menghitung tebal perkerasan lentur pada Perencanaan Jalan
Purwodadi-Wirosari berdasarkan pada petunjuk perencanaan tebal perkerasan
lentur jalan raya dengan metode analisa komponen SKBI 2.3.26.1987 Departemen
Pekerjaan Umum.
Prosedur perhitungannya adalah sebagai berikut :
1. LHR setiap jenis kendaraan ditentukan sesuai dengan umur rencana.
2. Lintas ekivalen permulaan (LEP), dihitung dengan rumus :

LEP = ∑ (LHR ⋅ Cj ⋅ Ej )

Dengan : Cj = Koefisien distribusi kendaraan


Ej = Angka ekivalen beban sumbu kendaraan
II - 39

3. Lintas ekivalen akhir (LEA), dihitung dengan rumus :

[
LEA = ∑ LHR ⋅ (1 + i ) ⋅ Cj ⋅ Ej
n
]
Dengan : n = Tahun rencana
i = Faktor pertumbuhan lalu lintas
4. Lintas ekivalen tengah (LET), dihitung dengan rumus :
LET = 1 / 2 ⋅ (LEP + LEA)
5. Lintas ekivalen rencana (LER), dihitung dengan rumus :
LER = LEP × FP
Dengan : FP = faktor penyesuaian = UR/10
6. Mencari indeks tebal permukaan (ITP) berdasarkan hasil LER, sesuai
dangan nomogram yang tersedia. Faktor-faktor yang berpengaruh yaitu
DDT atau CBR, faktor regional (FR), indeks permukaan dan koefisien
bahan-bahan sub base, base dan lapis permukaan.
7. Menghitung tebal lapisan perkerasannya berdasarkan nilai ITP yang
didapat.

¾ Prosedur Perhitungan Tebal Perkerasan kaku


metode metode ntuk perencanaan tebal perkerasaan kaku ada bermacam
macam metode,diantaranya:
1. PCA (Portland Cement Association)
Prosedur Perhitungan
- Membuat perkiraan traffic growth atau lalu lintas harian rata-rata
selama umur rencana (20 tahun,40 tahun)
- direkomendasikan beban roda sebenarnya dinaikkan sebesar 20 %,
L’=120 % x L actual
untuk menampung kemungkinan impact + safety factors.
II - 40

- pengertian stress ratio : perbandingan antara actual stress pada


perkerasan dengan modulus retak.

as
sr =
mr
keterangan : sr = stress ratio
ac = actual stress pada perkerasan
mr= modulus retak
pada strees ratio < 0,51, maka jumlah pengulangan beban tidak
terbatas.
- tegangan yang terjadi akibat beban roda dihitung setelah lalu lintas
disusun dalam kelompok-kelompok beban gandar. tegangan dihitung
dengan menggunakan chart PCA untuk beban roda as tunggal dan roda
as ganda (tandem),dengan terlebih dahulu mengasumsikan suatu tebal
perkeraasn tertentu.
- perencanaan memenuhi syarat bila dipenuhi persamaan :
N1 N 2 Nn
+ + .... ≤ 1,00(100%
N 1' N 2' Nn'
keterangan :
Ni = pengulangan beban yang terjadi untuk
kategori beban i
Ni’ = pengulangan beban yang diijinkan
untuk kategori baban i
2. Menggunakan Metode Bina Marga
prosedur perhitungan :
- hitung LHR hingga akhir umur rencana
- mengghitung jumlah kendaraan niaga
JKN = 365 × JKNH × R
(1 + i ) N − 1
a. R Æuntuk i konstan selama umur rencana (n) i≠0
e
log(1 + I )
II - 41

(1 + i ) M − 1
b. R + ( n − m )(1 + i ) m −1 Æsetelah m tahun, pertumbuhan
e
log(1 + I )
lalu lintas tidak terjadi lagi, i≠0
(1 + i ' ) M − 1 (1 + i ) m [(1 + i ' ) n − m − 1]
c. R + Æsetelah waktu tertentu
e
log(1 + i ) e
log(1 + i ' )
pertumbuhan lalu lintas berbeda dengan sebelumnya.
n tahun pertama Æi ,i≠0
m tahun pertamaÆi’ ,i≠0
keterangan :
JKN : jumlah kendaraan niaga
JKNH : jumlah kendaraan niaga harian
R : faktor pertumbuhan lalu lintas yang besarnya tergantung
pada factor pertumbuhan lalu lintas tahunan (i) dan umur
rencana (n).
- Hitung prosentase masing masing kombinasi konfigurasi beban sumbu
terhadap jumlah sumbu kendaraan niaga harian ( JKSNH)
- Hitung jumlah repetisi komulatif tiap tiap kombinasi konfigurasi/beban
sumbu pada jalur rencana
JKSN x % JSKNHi x C x FK
Tabel 2. 18. faktor C = Coefisien Distribusi
Jumlah Lajur Kendaran Niaga
1 arah 2 arah
1 kajur 1 1
2 kajur 0.70 0.5
3 kajur 0.5 0.475
4 kajur 0.5 0.45
5 kajur 0.5 0.425
6 kajur 0.5 0.40
Sumber : Diktat kuliah Perencanaan Perkerasan Jalan.
II - 42

FK = Faktor keamanan beban sumbu


sesuai denfan jenis penggunaan jalan
• jalam tol : 1.20
• Jalan Arteri : 1.10
• Kolektor / Lokal : 1.00
- Kekuatan Tanah Dasar / Subgrade
Hitung Modulus Reaksi Subgrade = K Rencana
Kr = K − 2 S Æjalan tol
Kr = K − 1.64 S ÆJalan Arteri
Kr = K − 1.28S ÆJalan Kolektor / Lokal
S
FK = x100% ÆFK : Faktoe Keseragaman < 25%
K

K=
∑K S=
n( ∑ K 2 ) − ( ∑ K ) 2
n n( n − 1)
K di dapat dari korelasi CBR
– Kekuatan Beton
MR 28 hari

Hububgan σ’bk dengan MR28

– Perencanaan Tebal Pelat


Pilih suatu tebal pelat tertentu (h1)
untuk setiap kombinasi konfigurasi dan beban sumbu serta harga k
tertentu maka :
• Tegangan lentur yang terjadi pada pelat beton ditentukan dengan
grafik
• Perbandingan tegangan di hitung dengan membagi tegangan
lenturyang terjadi pada pelat dengan kuat lentur tarik (MR) beton.
• Jumlah pengulangan beban yang diijinkan ditentukan berdasarkan
harga perbandingan tegangan.
II - 43

Prosentase fatique untuk tiap tiap kombinasi konfigurasi / beban


sumbu ditentukan dengan membagi jumlah pengulangan beban
rencana dengan jumlah pengulangan beban yang diijinkan
cari total fatique dengan menjumlahkan prosentase fatique dari seluruh
kombinasi konfigirasi/beban sumbu.
Ulangi langkah langkah diatas hingga didapat tebal pelat terkecil
dengan total fatique ≤ 100%
bila total Fatique > 100%, maka h2 = h1 + ∆h
Menghitung total fatique untuk seluruh konfigurasi beban sumbu,untuk
harga k tanah dasar tertentu.
Ni
TF = ∑ Ni'
i =1− n
≤ 100%

Keterangan
i = Semua beban sumbu yang diperhitungkan
Ni = Pengulangan beban yang terjadi untuk kategori beban i
Ni’=Pengulangan beban yang diijinkan untuk kategori beban ybs
σ lti σ lti
Ni = dimana ≤ 0.50, maka Ni’= ~
MR MR
σ lti
= 0.51, maka Ni’= 400.000 ( tabel)
MR

2.2.3. Perencanaan saluran drainase


Saluran drainase adalah bangunan yang bertujuan mengalirkan air dari
badan jalan secepat mungkin agar tidak menimbulkan bahaya dan kerusakan pada
jalan. Dalam banyak kejadian, kerusakan konstruksi jalan disebabkan oleh air,
baik itu air permukaan maupun air tanah. Air dari atas badan jalan yang dialirkan
ke samping kiri dan atau kanan jalan ditampung dalam saluran samping (side
ditch) yang bertujuan agar air mengalir lebih cepat dari air yang mengalir diatas
permukaan jalan dan juga bertujuan untuk bisa mengalirkan kejenuhan air pada
badan jalan.
II - 44

Dalam merencanakan saluran samping harus memenuhi persyaratan


sebagai berikut :
• Mampu mengakomodasi aliran banjir yang direncanakan dengan
kriteria tertentu sehingga mampu mengeringkan lapis pondasi.
• Saluran sangat baik diberi penutup untuk mencegah erosi maupun
sebagai trotoar jalan.
• Pada kemiringan memanjang, harus mempunyai kecepatan rendah
untuk mencegah erosi tanpa menimbulkan pengendapan.
• Pemeliharan harus bersifat menerus.
• Air dari saluran dibuang ke outlet yang stabil ke sungai atau tempat
pengaliran yang lain
• Perencanaan drainase harus mempertimbangkan faktor ekonomi, faktor
keamanan dan segi kemudahan dalam pemeliharaan.

¾ Ketentuan-ketentuan
1. Sistim drainase permukaan jalan terdiri dari : kemiringan melintang
perkerasan dan bahu jalan, selokan samping, gorong-gorong dan saluran
penangkap (Gambar 2.9).

Gambar 2.9 Sistem drainase permukaan


2. Kemiringan melintang normal (en) perkerasan jalan untuk lapis
permukaan aspal adalah 2 % - 3 %., Sedangkan untuk bahu jalan diambil =
en + 2 %.
II - 45

3. Selokan samping jalan


• Kecepatan aliran maksimum yang diizinkan untuk material dari
pasangan batu dan beton adalah 1,5 m/detik.
• Kemiringan arah memanjang (i) maksimum yang diizinkan untuk
material dari pasangan batu adalah 7,5 %.
• Pematah arus diperlukan untuk mengurangi kecepatan aliran bagi
selokan samping yang panjang dengan kemiringan cukup besar.
Pemasangan jarak antar pematah arus dapat dilihat pada Tabel 2.14.

Tabel 2.19. Jarak pematah arus


i (%) 6% 7% 8% 9% 10 %
L (m) 16 10 8 7 6
Sumber:Diktat kuliah Perencanaan Perkerasan Jalan
• Penampang minimum selokan samping adalah 0,50 m2.
4. Gorong-gorong pembuang air
• Kemiringan gorong-gorong adalah 0,5 % - 2 %.
• Jarak maksimum antar gorong-gorong pada daerah datar adalah 100 m
dan daerah pegunungan adalah 200 m.
• Diameter minimum adalah 80 cm.

¾ Perhitungan debit aliran


1. Intensitas curah hujan (I)
• Data yang diperlukan adalah data curah hujan maksimum tahunan,
paling sedikit n = 10 tahun dengan periode ulang 5 tahun.
• Rumus menghitung Intensitas curah hujan menggunakan analisa
distribusi frekuensi sbb :

⋅ (YT − Yn )
Sx
XT = x +
Sn
I = 1 / 4 ⋅ (90% ⋅ XT )
II - 46

Dimana : XT = besar curah hujan


x = nilai rata-rata aritmatik curah hujan
Sx = standar deviasi
YT = variabel yang merupakan fungsi dari periode
ulang, diambil = 1,4999.
Yn = variabel yang merupakan fungsi dari n, diambil
0,4952 untuk n = 10
Sn = standar deviasi, merupakan fungsi dari n, diambil
0,9496 untuk n = 10
I = intensitas curah hujan (mm/jam)

• Waktu konsentrasi (TC) dihitung dengan rumus :


TC = t1 + t2
0 ,167
⎛2 nd ⎞
t1 = ⎜⎜ ⋅ 3,28 ⋅ LO ⋅ ⎟⎟
⎝3 s⎠
L
t2 =
60 ⋅ v
Dimana : TC = waktu konsentrasi (menit)
t1 = waktu inlet (menit)
t2 = waktu aliran (menit)
LO = Jarak dari titik terjauh dari saluran drainase (m)
L = panjang saluran (m)
nd = koefisien hambatan, diambil 0,013 untuk lapis permukaan
aspal
s = kemiringan daerah pengaliran
v = kecepatan air rata-rata di saluran (m/detik)
II - 47

2. Luas daerah pengaliran dan batas-batasnya sesuai yang terlihat pada


Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Batas-batas daerah pengaliran

Batas daerah pengaliran yang diperhitungkan L = L1 + L2 + L3 (m)


Dimana : L1 = dari as jalan sampai tepi perkerasan.
L2 = dari tepi perkerasan sampai tepi bahu jalan.
L3 = tergantung kebebasan samping dengan panjang maksimum
100 m.
3. Harga koefisien pengaliran (C) dihitung berdasarkan kondisi permukaan
yang berbeda-beda.
C1 ⋅ A1 + C2 ⋅ A2 + C3 ⋅ A3
C=
A1 + A2 + A3
Dimana : C1 = koefisien untuk jalan aspal = 0,70.
C2 = koefisien untuk bahu jalan (tanah berbutir kasar) = 0,65.
C3 = koefisien untuk kebebasan samping (daerah pinggir kota) =
0,60.
A1, A2, A3 = luas masing-masing bagian.
4. Untuk menghitung debit pengaliran, digunakan rumus sebagai berikut :
1
Q= ⋅C⋅I⋅A
3,6
Dimana : Q = debit pengaliran (m3/detik)
C = koefisien pengaliran
I = intensitas hujan (mm/jam)
A = luas daerah pengaliran (km2)
II - 48

¾ Perhitungan dimensi saluran dan gorong-gorong


Dimensi saluran dan gorong-gorong ditentukan atas dasar Fe = Fd
1. Luas penampang basah berdasarkan debit aliran (Fd)
Fd = Q / v (m2)
2. Luas penampang basah yang paling ekonomis (Fe)
• Saluran bentuk segi empat
Rumus : Fe = b ⋅ d Ö syarat : b = 2 ⋅ d
R=d/2
• Gorong-gorong
Rumus : Fe = 0,685 ⋅ D 2 Ö syarat : d = 0,8 ⋅ D
P=2r
R=F/P

Dimana : Fe = Luas penampang basah ekonomis (m2)


b = lebar saluran (m)
d = kedalaman air (m)
R = jari-jari hidrolis (m)
D = diameter gorong-gorong (m)
r = jari-jari gorong-gorong (m)
3. Tinggi jagaan (w) untuk saluran segi empat w = 0,5 ⋅ d
4. Perhitungan kemiringan saluran
2
⎛ v⋅n ⎞
Rumus : i = ⎜ 2 / 3 ⎟
⎝R ⎠
Dimana : i = kemiringan saluran
v = kecepatan aliran air (m/detik)
n = koefisien kekasaran manning, (saluran pasangan batu) = 0,025

Anda mungkin juga menyukai