Anda di halaman 1dari 5

Shima Aqila Nur Iswahyudi

Kelas 8

14040119130072

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN


Filsafat tidak pernah lepas dari konteks kultural masyarakat tempat ia tumbuh dan
berkembang. Kehadirannya di zaman Yunani kuno dapat dikatakan sebagai langkah awal
pembebasan akal manusia dari kultur mitologis yang memblenggu potensi-potensi rasional
manusia. Kesadaran baru bahwa akal manusia memiliki kekuatan yang luar biasa tajam
untuk membelah semua dogmatisme dan kepercayaan palsu. Kritis adalah kata kunci yang
digenggam oleh semua filsafat di sepanjang zaman.

Betrand Russel mendefinisikan filsafat sebagai ranah tak bertuan (no man’s land)
diantara teologi dan ilmu pengetahuan. Pengertian Russel merpakan bukti bahwa filsafat
merupakan disiplin tersendiri yang terus menerus mengasah pisau kritisnya. Pada 1923 di
Jerman berdiri institusi Sosial Frankfurt (Frankfurt Schule) atas inisiatif sekelompok
intelektual dari berbagai latar belakang yang mengembangkan sebuah teori yang disebut
“teori kritis.” Sebuah teori yang mereka pahami sebagi teori yang kritis terhadap sikap kritis
yang membeku menjadi ideologi. Bagi mereka, filsafat adalah kecurigaan yang terus-
menerus.

Empat Pendekatan Filsafat

Ada banyak pintu masuk untuk mempelajari filsafat. Namun, agar sistemtis
pendekatan ini akhirnya dibagi menjadi empat, antara lain: definisi, sistematika, tokoh atau
aliran, dan sejarah.

a. Pendekatan Definisi

Melalui pendekatan definisi kita dapat mengetahui perbedaan antara filsafat.


Perbedaannya terletak pada objek formal dan objek materinya. Objek materi adalah apa yang
menjadi bahan kajian, sedangkan objek formal adalah sudut pandang yang digunakan untuk
mengkajinya. Ilmu pengetahuan hanya mengkaji semesta supra-inderawi, semesta ketuhanan,
namun dalam batas-batas keimanan. Filsafat dapat didefinisikan sebagai upaya mencari atau
memperoleh jawaban dari berbagai pertanyaan lewat penalaran sistematis yang kritis, radikal,
refleksif, dan integral. Filsafat bersifat kritis dalam mengkaji objeknya, ia tidak pernah
berhenti pada penampakan, asumsi, dogmatisme, tapi terus mengajukan pertanyaan-
pertanyaan demi mencapai hakikat.

Setiap disiplin memiliki objek forma dan objek materi sendiri-sendiri. Filsafat
memiliki objek forma dan objek materi yang berbeda dengan disiplin-disiplin yang telah
terspesifiksdi tadi. Salah satu contohnya ialah antropologi, sosiologi, dan psikologi sama-
sama mengkaji manusia (objek materi), namun masing-masing megambil sudut pandang
yang berbeda (objek forma). Objek forma filsafat berupa penalaran sistematis yang kritis,
radikal, refleksif, dan integral, sedangkan objek materinya berupa universum: manusia
(subjek) yang didudukkan dalam konteks paling luas

b. Pendekatan Sistematika

pendekatan ini berangkat dari 3 pertanyaan Immanuel Kant: apa yang dapat saya
ketahui? Apa yang dapat saya ketahui? Apa yang dapat saya harapkan? dan apa yang dapat
saya lakukan? Ketiga pertanyaan itu menghasilkan tiga wilayah besar: wilayah pengetahuan,
ada, dan nilai.

Wilayah pengetahuan terdiri dari empat filsafat sebagai berikut: pertama,


Epistomologi yaitu cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan dari empat segi yaitu
sumber pengetahuan, batas pengetahuan, struktur pengetahuan, dan keabsahan pengetahuan.
Kedua, Filsafat Ilmu Pengetahuan yaitu cabang filsafat yang mengkaji ilmu pengetahuan dari
segi ciri-ciri dan cara-cara pemerolehannya. Ketiga, Logika yaitu cabang filsafat yang
mengkaji azas-azas berpikir secara luas dan tertib. Keempat, Metodologi yaitu sebagai
cabang filsafat yang mengkaji metode-metode yang digunakan dalam dunia ilmiah.

Wilayah ada terdiri dari dua disiplin filsafat. Pertama, Ontologi yaitu cabang yang
berurusan dengan “yang ada sebagai yang ada” atau “yang sebenar-benarnya ada” sebagai
lawan dari disiplin yang berurusan dengan bentuk partikular ada seperti fisika, biologi, atau
psikologi. Kedua, Metafisika yaitu cabang filsafat yang mengkaji semesta supra-inderawi di
balik gejala-gejala empiris.

Wilayah ketiga yaitu nilai. Wilayah ini terdiri atas dua disiplin filsafat, yakni Etika
(cabang filsafat yang merefleksikan nilai-nilai moral) dan Estetika (disiplin filsafat yang
merefleksikan nilai-nilai estetis)

c. Pendekatan melalui tokoh dan aliran.

Pendekatan ini diperuntukkan bagi mereka yang sudah berada di tahap lanjut dalam
mempelajari filsafat, karena mengandaikan penguasaan sempurna terhadap pendekatan
pertama dan kedua. Dalam kenyataannya, jarang sekali seorang filsuf membahas ketiga
wilayah sistematika secara tuntas. Seorang filsuf biasanya terfokus pada satu atau dua
wilayah sistematika saja. Hanya seorang filsuf brilian, Immanuel Kant yang menjelajahi
ketiga wilayah sistematika secara lengkap lewat tiga bukunya. Sejumlah filsuf yang memiliki
aliran pemikirannya masing-masing yaitu Pertama, Rene Descartes, Spinoza, dan Leibniz.
Mereka pengusung aliran rasionalisme yang berpandangan bahwa semua pengetahuan
bersumber dari akal, dan akal lah yang mampu menangkap ide tentang semesta secara jernih
dan gamblang. Kedua, David Hume, John Locke, dan Berkeley. Mereka pengusung aliran
empiririsme yang menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Ketiga, Immanuel
Kant, pelopor aliran kritisisme, sebuah aliran filsafat yang pada dasarnya adalah kritik
terhadap rasionalisme maupun empiririsme, yang dianggap terlalu ekstrim dalam mengklaim
sumber pengetahuan manusia. Keempat, Hegel, Fichte, dan Schelling. Mereka mengusung
aliran idealisme yang berpendirian bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental atau
proses-proses psikologis yang bersifat subjektif. Kelima, Nietsche, Bergson, dan
Schopenhouer, mereka mengusung aliran vitalisme yang memandang hidup tidak dapat
sepenuhnya dijelaskan secara fisika (mekanistis-deterministis). Keenam, Edmund Husselr,
Martin Heidegger, dan Marleau Ponty, mereka mengusung aliran fenomonologi yang
mengkaji penampakan atau fenomena yang mana antara fenomena dan kesadaran tidak
terisolasi satu sama lain, melainkan selalu berhubungan secara intensional.

c. Pendekatan Sejarah

Secara konvensional, sejarah filsafat dapat dibagi menjadi tiga periode: Yunani Kuno,
Skolastik, dan Modern. Pembagian tersebut dikembangkan oleh Susan Langer dikembangkan
menjadi enam tahapan, yaitu:

a. Yunani Kuno (+/- 600SM)

Periode ini ditandai oleh pergeseran dari mitos ke logos. Penjelasan-penjelasan


mitologis berdasarkan kepercayaan irrasional tentang gejala-gejala alam bergeser pada
penjelasan logis berdasarkan rasio. Filsuf-filsuf alam mulai mencari penjelasan rasional atas
prinsip dasar yang melandasi gejala-gejala alam.

b. Tokoh-tokoh Filsafat Manisoa

Setelah para filsuf alam menyibukkan diri dengan kontemplasi terhadap alam
semesta, muncullah para filsuf yang memfokuskan perhatian mereka pada permasalahan
manusia. Objek pemikiran telah bergeser dari alam kepada manusia itu sendiri. Lalu
muncullah untuk pertama kalinya sebuah disiplin dalam filsafat yaitu Etika. Phytagoras
mengatakan bahwa filsafat tidak semata-mata kontemplasi terhadap kosmos, melainkan jalan
keselamatan hidup.

c. Abad Pertengahan (300-1300 SM)

Pemikiran filosofis pada abad ini kehilangan otonominya. Pemikiran abad


pertengahan bercorak teosentris (berpusat pada kebenaran wahyu Tuhan). Para filsuf-
rohaniawan seperti Thomas Aquinas (1225-1274) dan St Bonaventura (1212-1274) adalah
rohaniawan-rohaniawan yang hendak mekonsiliasi akal dan wahyu. Dalam mencapai
kebenaran, St Augustinus (1354-1430) tidak percaya pada kekuatan akal semata. Banyak
ilmuwan-ilmuwan yang dieksekusi karena menertawakan kebenaran ilmiah yang tidak sesuai
dengan kebenaran wahyu, ilmu pengetahuan menjadi surut perkembangannya.

d. Filsafat Modern (Abad 17-19)

Kurang lebih sepuluh abad lamanya pemikiran filosofis dan ilmu pengetahuan
direpresi oleh kebenaran teologis yang beradsarkan iman. Kecenderungan ini biasa disebut
Fideisme- ketaatan buta pada iman. Semangat untuk membebaskan manusia dari
keterbelengguan teologis muncul pada masa yang dikenal sebagai Renaisans. Renaisan ini
mempalajari kembali karya-karya klasik filsuf Yunani Kuno. Munculnya Renaisans tidak
juga berkat sumbangan para filsuf Islam dalam menerjemahkan karya-karya klasik Yunani ke
dalam Bahasa Arab. Rene Descartes terkenal dengan kata-katanya cogito ergo sum (Aku
berpikir maka Aku ada). Ia mempelopori aliran filsafat yang pengaruhnya cukup besar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan yaitu Rasionalisme. Argumen Descartes menimbulkan
ireaksi keras dari filsuf-filsuf Inggris penganut paham empiririsme. Pertentangan itu terus
berlangsung sampai muncul seorang filsuf Jerman bernama Immanuel Kant yang membuat
sintesa antara rasionalisme dengan empirisme.

e. Positivisme (Abad ke 20)

Positivisme dipelopori oleh August Comte (1798-1857). Positivisme mendominasi


wacana ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an dengan menetapkan kriteria-kriteria sebagai
berikut: Pertama, objektif: teori-teori tentang semesta harus bebas nilai, pengetahuan kita
adalah cerminan dari semesta. Kedua, fenomenalisme: ilmu pengetahuan hanya bicara
tentang semesta yang teramati. Ketiga, reduksionisme: semesta direduksi menjadi fakta-fakta
keras yang dapat diamati. Keempat, naturalisme: alam semesta adalah objek-objek yang
bergerak secara mekanis seperti cara kerja jam.

f. Alam Simbolis

Tahapan filsafat yang terakhir ini merpakan reaksi keras terhadap positivisme, tertama
pada asumsi kesatuan metode baik bagi ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu manusia. Manusia
lebih dari sekedar benda mati yang bergerak semata-mata berdasarkan stimulan dan respons,
rangsangan dan reaksi, sebab dan akibat (behaviourisme)

g. Posmodernisme

Posmodernisme merpaka terminologi untuk mewakili suatu pergeseran wacana di


berbagai bidang seperti seni, arsitektur, sosiologi, sastra, dan filsafat yang bereaksi keras
terhadap wacana modernisme yang sangat mendukung rasionalitas sehingga mengeringkan
kehidupan dari kekayaan dunia batin manusia. Narasi awal tentan posmodernisme
dikemukakan oleh Daniel Bell dalam bukunya The Cultural Contradiction of Capitalism
(1976).

h. Epistomologi dan Filsafat Ilmu Pengetahuan

Epistomologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji cabang filsafat yang


mengkaji hakikat pengetahuan, khususnya empat pokok persoalan pengetahuan, khususnya
empat pokok persoalan pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas, dan sumber.
Pengetahuan yang dikaji oleh epistomologi adalah pengetahuan dalam arti yang luas
termasuk pengetahuan sehari-sehari, sedangkan filsafat ilmu pengetahuan berurusan dengan
pengetahuan ilmiah atau sains. Filsafat ilmu pengetahuan dan epistomologi tidak bisa
dilepaskan satu sama lain karena filsafat ilmu pengetahuan mendasarkan dirinya pada
epistomologi, khususnya pada keabsahan pengetahuan. Epistomologi sendiri bisa dikatakan
landasan filosofis bagi ketiganya karena ia menelaah secara mendalam hakikat pengetahuan,
dalam artian semua pengetahuan, termasuk pengetahuan sehari-sehari.

Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Filsafat menggunakan penalaran yang kritis, refleksif, dan integral. Dalam mencapai
hakikat, metode yang digunakan antara lain: metode kritis, metode intuitif, metode geometris,
metode fenomenologis, dan lain-lain. Metode tersebut memiliki sifat serupa yaitu kritis,
refleksif, dan radikal. Berbeda dengan Filsafat, ilmu pengetahuan hanya mencoba mencoba
menerangkan gejala-gejala secara ilmiah. Tujuanya hanya menjelaskan gejala-gejala secara
relasional. Filsafat ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai “cabang filsafat yang
mengkaji ilmu pengetahuan dari segi ciri-ciri dan cara-cara pemerolehannya. Objek
materinya adalah ilmu pengetahuan dan objek formalnya adalah ciri-ciri dan cara kerja ilmu
pengetahuan.

Pengetahuan Ilmiah dan Pengetahuan Non-Ilmiah

Jika kita hendak berbicara mengenai pengetahuan ilmiah, kita harus terlebih dahulu
mengetahui apa yang dimaksud dengan pengetahuan non-ilmiah. Pengetahuan ilmiah
bertujuan untuk mendeskripsikan gejala-gejala sedangkan non-ilmiah bertujuan untuk
bertahan hidup dalam kehidupan sehari-hari (pragmatis). Pengetahuan ilmiah dapat diperoleh
secara metodis, sistematis, dan objektif sedangkan non-ilmiah dapat diperoleh dari warisan
budaya, tradisi, metode, juga pernyataan ambigu, kabur, dan tidak objektif.

Ilmu Pengetahuan Sebagai Proses.

Pengetahuan ilmiah memiliki perbedaan yang cukup tegas dengan pengetahuan


sehari-hari. Kita tidak bisa menerima segala pengetahuan tanpa melewati proses yang cukup
ketat. Piramida ilmu memperlihatkan proses menuju pengetahuan ilmiah dalam empat tahap:

Pertama, pengetahuan kita harus bertolak dari pengalaman sehari-hari yang cukup
luas dan cenderung variatif. Kedua, semua yang kita peroleh melalui pengalaman sehari-hari
harus mengalami paling tidak dua jenis pemurnian yaitu pemurnian dari pengalaman sehari-
hari yang padat dan variatif untuk mendapatkan titik fokus melalui observasi serta pemurnian
dari bahasa sehari-hari yang penuh kiasan dan ambigu untuk dijadikan konsep-konsep yang
dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, mencari keteraturan dalam gejala-gejala dengan
membentuk proposisi kondisional pq untuk mendeskripsikan relasi kausalistik antara
gejala-gejala melalui metode induksi. Keempat, apabila suatu proposisi memperoleh
pembenaran ilmiah melalui verifikasi yang ketat, maka kita dapat memperoleh hukum-hukum
yang menunjukkan keteraturan gejala-gejala. Kelima, tahap akhir dari proses ilmu
pengetahuan adalah pembentukan teori. Pembentukan teori yaitu seperangkat eksplanasi yang
mencoba menggambarkan bulat-lonjongnya dunia.

Anda mungkin juga menyukai