Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PENGANTAR PENDIDIKAN

KONSEP DAN TEORI BELAJAR

Disusun Oleh:

Kelompok 4

IRAWATI

ADDELLA AHSYANI

ILHAM

JURUSAN PEND. GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat limpahan
rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah
teori-teori belajar dan implikasinya dalam pembelajaran.

Penulisan makalah ini adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan
untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Anak di Sekolah Dasar . Kami
telah berusaha untuk membuat makalah ini sebaik mungkin namun tentu masih
terdapat kekurangan. Untuk itu penulis sangat memerlukan kritik dan saran yang
konstrukstif dalam rangka penyempurnaan penulisan berikutnya.

Penulis juga ingin berterimakasih kepada orangtua dan semuanya yang


telah mendukung dan membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga
bantuan yang diberikan oleh semua pihak mendapat pahala yang berlipat ganda
oleh Allah SWT dan semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.
Amin ya rabbal ‘alamin.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................
i.......................................................................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................................
ii

I . PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


...............................................................................................................
1
1.2 Tujuan dan Manfaat
...............................................................................................................
1

II . ISI

2.1 Teori Belajar


...............................................................................................................
2
2.2 Implikasi teori-teori Belajar dalam Pembelajaran
...............................................................................................................
9

III . PENUTUP

3.1 Kesimpulan
.....................................................................................................................
17

3.2 Saran
.....................................................................................................................
18
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................
19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Fenomena pembelajaran dapat dijelaskan dan dimaknai oleh teori-teori
belajar, oleh karena anda merupakan personel yang akan terlibat di dalam
pembelajaran maka pada bagian ini anda diajak berdiskusi tentang berbagai hal
yang berkaitan dengan teori-teori belajar dan implikasinya dalam suatu
pembelajaran.

Suatu teori bukan hanya dapat membantu dalam memahami fenomena


pembelajaran, tetapi juga dapat menjelaskan dan memaknai setiap fenomena
pembelajaran. Teori yang anda kuasai akan menjadi kerangka pikir dalam
mengambil putusan pendidikan atau pembelajaran, pisau pemilah dalam
pemecahan masalah, dan bahkan sebagai bagian hidup yang integratif.

Makalah ini dirancang dengan mengetengahkan lima teori belajar dan


implikasinya dalam pembelajaran. Pembahasan teoritis dan contoh-contohnya
disajikan pada Bab II, yang materinya mencakup teori belajar (1) behaviourisme,
(2) humanisme, (3) kognitif, (4) konsep, (5) teori belajar bermakna dan disajikan
pula beberapa implikasi teori tersebut dalam suatu pembelajaran
1.2 Manfaat dan Tujuan
Melalui makalah ini anda diharapkan mampu menerapkan teori dan
konsep belajar tersebut dalam suatu pembelajaran yang anda lakukan, dan
makalah ini dirancang agar anda lebih mudah memahami teori-teori tersebut
sehingga betul-betul dapat dimanfaatkan dalam situasi nyata. Makalah ini
menyuguhkan beberapa implikasi teoritis yang disertai contoh-contoh sehingga
anda dapat mempelajarinya secara mandiri.
BAB II

ISI

2.1 Teori – Teori Belajar


Berbagai teori belajar yang dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran
di Sekolah Dasar akan kita bahas bersama. Adapun paparan dalam proses
pembelajaran berkaitan dengan teori belajar behavioristik, humanistik, teori
kognitif, teori belajar bermakna, dan teori belajar konsep.

2.1.1 Teori Behavioristik

Tokoh pelopor teori behavioristik antara lain J.B. Watson, Thorndike, dan
B.F. Skinner. J.B Watson (1878-1958) mengemukakan bahwa perilaku manusia
disebabkan oleh pembentukan faktor lingkungan. Bagi Watson Lingkungan adalah
faktor dominan dan yang paling penting bagi tumbuh berkembang anak. Bahkan
ia mengemukakan pendapat untuk bayi Albert yang dinilai negatif oleh
masyarakat Amerika waktu itu “ Beri aku bayi, selanjutnya terserah dapat
dibentuk mau jadi apa saja” Begitulah pendapat Watson yang akhirnya membuat
para orang tua takut menyekolahkan anaknya karena khawatir anak mereka
dijadikan orang gila, pemabuk, dan sebagainya.

Ditengah keresahan masyarakat akibat teori Watson munculah pendapat


Thorndike (1874-1974) yang mengemukakan bahwa belajar lebih bersifat
meningkat bertahap ketimbang karena hadirnya pemahaman. Artinya, menurut
teori Thorndike disini belajar melalui langkah-langkah kecil yang sistematis dan
bertahap daripada sebuah lompatan yang besar. Thorndike pada tahun 1930-an
terkenal akan hukum-hukum belajarnya yaitu;

a. Hukum kesiapan
b. Hukum latihan
c. Hukum akibat
d. Hukum berganda
e. Sikap
f. Elemen-elemen berpotensi
g. Respons dengan analogi, dan
h. Pergeseran asosiatif

Setelah tahun 1930-an Thorndike meralat teorinya tersebut. Hukum belajar


yang diralatnya yakni hukum latihan dan hukum akibat. Menurutnya, hukum
keterpakaian sebagai bagian dari hukum latihan yang menyatakana bahwa
pengulangan suatu perilaku pada praktiknya terkadang tidak akurat. Dalam revisi
hukum akibat, Thorndike mengemukakan bahwa reinforcement akan menguatkan
suatu hubungan sedangkan hukuman tidak berpengaruh pada kekuatan hubungan.
Sebagai contoh, murid yang diberi hukuman karena salah mengerjakan tugas
belum tentu membuatnya mengulangi tugas pelajaran tersebut. Sebaliknya peserta
didik yang betul mengerjakan tugas diberi reinforcement berupa pujian sehingga
ia semakin sungguh-sungguh dalam belajarnya.

Adapun cara belajar menurut teori ini adalah dengan mengamati


perkembangan peserta didik. Perilaku terbentuk dengan adanya ikatan asosiatif
antara stimulus dan respon. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang
menghindari hal-hal yang menyakitkan dan berprilaku sesuai dengan pola
stimulus respon yang terjadi.

Belajar dimodifikasi oleh lingkungan. Dalam prosesnya mengandung tiga


pokok yakni stimulus, respon, dan akibat. Stimulus datang dari lingkungan yang
dapat membangkitkan tanggapan individu. Respon menimbulkan perilaku dari
stimulus yang diberikan sedangkan akibat terjadi setelah individu memberi repson
postif ataupun negatif.

Reinforcement (penguatan) menjadi prinsip utama dalam memperkuat


lekatnya hasil belajar pada individu (Agus Taufik, 2007:6.5). Suatu pemahaman
yang tepat memberikan kepuasan pada diri individu tetapi mereka cenderung
menghindari sesuatu yang tidak memberikan kepuasan. Pemberian penguatan juga
harus mewaspadai tricky matter, yakni proses penguatan yang keliru, tidak sesuai
dengan tujuan utamanya. Misalnya, seorang ibu meminta anaknya untuk menyapu
rumah dengan iming-iming akan diberikan uang dengan tujuan anaknya
mempunyai kebiasaan menyapu lantai hingga bersih. Masalahnya, apa kita yakin
bahwa anak itu menyapu kembali rumah di lain waktu dengan kesadaran dirinya
sendiri? Mari kita teruskan ke teori selanjutnya.

2.1.2 Teori Humanisme

Tokoh pelopor teori belajar Humanisme antara lain Abraham Maslow dan
Carl Rogers. Maslow meyakini bahwa belajar merupakan kebutuhan akan
perkembangan motivasi. Dalam mencapai sesuatu manusia tidak akan pernah
puas, rasa puas hanya terjadi sesaat saja sehingga manusia mencari peluang lain
untuk menutupi kebutuhannya. Menurut Maslow, puncak kebutuhan yang
sekaligus sebagai ukuran keberhasilan individu ialah berhasil dalam
mengaktualisasikan diri dalam dunianya (Agus Taufik, 2007: 6.6).

Sementara Carl Rogers seorang ahli bimbingan konseling dengan teori


client centered-nya berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang rasional,
sosialis, ingin maju dan realistis sehingga manusia memiliki potensi untuk tumbuh
dengan aktual serta memiliki martabat yang tinggi. Rogers menempatkan manusia
secara manusiawi dalam martabat kemanusiannya.

Bagi Rogers, guru merupakan fasilitator yang memungkinkan peserta


didik paham akan sesuatu hal. Selain itu, dalam membimbing perlu diberinya
kebebasan. Prinsip learning to be free adalah ide Rogers untuk mengkonsepsikan
pembelajaran berbasis becoming a person, freedom to be, dan courage to be.
Menurutnya, pembelajaran berbasis learning to be free mampu membuat peserta
didik bersikap lebih otonom, lebih spontan, dan lebih meyakini dirinya sendiri.
Senada dengan pengalaman Rogers ini, Djawad Dahlan (1985:41) sampai kepada
suatu ungkapan yang menyatakan bahwa learning to be free merupakan
perkembangan yang berarti untuk menjadi manusia yang “menjadi” becoming
human (Agus Taufik, 2007: 6.6).

Adapun cara belajar menurut teori ini adalah dengan mengembangkan


aktualisasi diri untuk mencapai puncak perkembangan individu. Apabila
seseorang mampu mengembangkan potensinya serta merasa dirinya utuh,
bermakna dan berfungsi (fully functioning person) maka orang itu bukan hanya
akan berguna bagi dirinya sendiri tapi juga berguna bagi lingkungan sekitarnya.
Teori ini berpendapat bahwa motivasi belajar harus datang dari dalam diri
individu, intelektual dan emosional sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam
proses pembelajaran.

Proses belajar harus melibatkan pengalaman langsung, berfikir serta


merasakan kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi peserta didik
sehingga hasil belajar dapat dirasakan diri individu. Belajar yang bermakna tidak
lain hanyalah belajar yang dapat memenuhi kebutuhan nyata individu (Agus
Taufik, 2007: 6.7).

Carl Rogers mengemukakan prinsip-prinsip belajar sebagai berikut ini.

a. Manusia mempunyai dorongan alamiah untuk belajar; dorongan ingin


tahu, melakukan eksplorasi dan mengasimilasikan pengalaman baru.
b. Belajar akan bermakna apabila materi yang dipelajari relevan dengan
kebutuhan anak.
c. Belajar harus diperkuat dengan jelas mengurangi ancaman eksternal,
seperti hukuman, penilaian, sikap merendahkan murid, mencemoohkan
dan sebagainya.
d. Belajar atas inisiatif sendiri akan melibatkan keseluruhan pribadi, baik
faktor internal maupun personal.
e. Sikap mandiri, kreativitas, dan percaya diri diperkuat dengan penilaian
atas diri sendiri.

Menurut teori ini salah satu karakteristik yang harus ada pada diri pendidik
adalah memiliki kemampuan memotivasi belajar peserta didiknya. Selain itu guru
harus memiliki sikap empati (emphatic), terbuka (open mindedness), keaslian
(genuineness), kekonkretan (concreteness), dan kehangatan (warmth) (Agus
Taufik, 2007: 6.7).

Sikap empati (emphatic) merujuk kepada sikap guru yang mau


memposisikan dirinya pada kerangka berfikir peserta didik sehingga guru dapat
merasakan apa yang peserta didik rasakan dan alami. Keterbukaan (open
mindedness) merujuk pada kemampuan guru untuk membuka diri, siap dikritik,
siap diberi masukan, siap dinilai, dan diberi pujian. Keaslian (genuineness)
merujuk kepada penampilan apa adanya dan tidak dibuat-buat. Kekonkretan
(concreteness) merujuk pada kejelasan dalam menyatakan sesuatu, memberikan
tanggung jawab sesuai dengan kemampuan peserta didik dan realistis. Kehangatan
(warmth) merujuk pada jalinan komunikasi yang secara psikologis terasa nyaman
dan aman bagi peserta didik disertai ketulusan dalam memberikan pelayanan
pendidikan (Agus Taufik, 2007: 6.7).

2.1.3 Teori Belajar Kognitif

Tokoh pelopor teori belajar kognitif yang terkenal antara lain Max
Wertheimer, Wolfgang Kohler, Kurt Koffka, Kurt Lewin, dan Jean Piaget. Max
Wertheimer (1880-1943), Wolfgang Kohler (1887-1967), Kurt Koffka (1886-
1941) merupakan pionir teori gestalt (Agus Taufik, 2007: 6.8). Teori ini
menekankan bahwa keseluruhan lebih berarti daripada bagian-bagian. Artinya
proses belajar dalam teori ini harus dimulai dari keseluruhan dahulu, baru
menganalisa bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Misalnya, permulaan membaca
untuk anak SD yang baik adalah mengajarinya keseluruhan baru
dianalisis/dipisahkan per kata, per suku kata, dan per huruf. Contoh.

Ini – ibu – Budi

I – ini i – bu Bu – di

I–n–i i–b–u B–u–d–i

Kurt Lewin (1890-1947) merupakan pengembang teori motivasi di sekitar


teori medan (Agus Taufik, 2007: 6.8). Teori ini mengemukakan bahwa semakin
dekat peserta didik dengan medan belajarnya, motivasi belajarnya cenderung lebih
kuat dibandingkan peserta yang jauh motivasinya dari medan belajar. Medan yang
dimaksud ialah medan psikologis sebagai arena belajar peserta didik (Agus
Taufik, 2007: 6.8).

Sementara Jean Piaget yang seorang ahli teori tahap mengemukakan


bahwa perkembangan tahap kognitif individu dimulai dari periode sensori
motorik, periode praoperasional, periode operasional konkret, dan periode
operasional formal.
Adapun cara belajar menurut teori ini adalah dengan proses pengenalan
yang bersifat kognitif. Teori ini berpendapat bahwa cara belajar anak berbeda
dengan cara belajar orang dewasa. Orang dewasa menggunakan kemampuan
kognitif yang lebih tinggi dalam belajar dibandingkan dengan anak. Oleh karena
itu, faktor tahap perkembangan individu menjadi pertimbangan utama dalam
berlangsungnya proses belajar.

Jean Piaget seorang ilmuan Prancis yang merupakan salah satu tokoh
aliran kognitivisme melakukan penelitian tentang perkembangan kognitif individu
sejak tahun 1920 sampai 1964. Piglet akhirnya berkesimpulan bahwa
perkembangan kognitif seseorang melalui empat tahapan utama yang secara
kualitatif setiap tahapan memunculkan kualikatif yang berbeda. Tahapan kognitf
Piaglet adalah sebagai berikut.

a. Periode sensori motor (0; 0-2;0)

Periode ini ditandai oleh penggunaan sensori motorik (dalam


pengamatan dan pengindraan) yang intensif terhadap dunia di
sekitarnya. Prestasi yang dicapai dalam periode ini ialah
perkembangan bahasa, hubungan tentang objek, kontrol skema,
kerangka berpikir, pembentukan pengertian, dan pengenalan hubungan
sebab akibat. Perilaku kognitif yang tampak, antara lain :

1) menyadari dirinya berbeda dari benda-benda lain di sekitarnya;


2) sensitif terhadap rangsangan suara dan cahaya;
3) mencoba bertahan pada pengalaman-pengalaman yang menarik;
4) mendefinisikan objek/benda dengan memanipulasinya;
5) mulai memahami ketepatan makna suatu objek meskipun lokasi
dan posisinya berubah.
b. Periode praoperasional (2; 0-7; 0)

Periode ini terbagi dua tahapan, yaitu prakonseptual (2;0-4;0) dan


intuitif (4:0-7;0). Periode konseptual ditandai dengan cara berpikir
yang transuktif (menarik kesimpulan) tentang sesuatu yang khusus atas
dasar hal khusus (contoh, sapi disebut juga kerbau). Periode intuitif
ditandai oleh dominasi pengamatan yang bersifat egosentris ( belum
memahami cara orang lain memandang objek sama), seperti searah
(selancar). Perilaku kognitif yang tampak, antara lain:

1) self-centered dalam memandang dunianya;


2) dapat mengklafikasikan objek-objek atas dasar satu ciri yang sama,
mungkin pula memiliki perbedaan dalam hal yang lainnya;
3) dapat melakukan koleksi benda-benda berdasarkan suatu ciri atau
kriteria tertentu;
4) dapat menyusun benda-benda, tetapi belum dapat menarik inferensi
dari dua benda yang tidak bersentuhan meskipun terdapat dalam
susunan yang sama.
c. Periode operasional konkret (7; 0-11 atau 12;0)

Tiga kemampuan dan kecakapan baru yang menandai periode ini


adalah mengklasifikasikan angka-angka atau bilangan. Dalam periode ini
anak mulai pula mengkonservasi pengetahuan tertentu. Perilaku kognitif
yang tampak pada periode ini ialah kemampuan dalam proses berpikir
untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat
dengan objek-objek yang bersifat konkret.

d. Periode operasional formal (1;0 atau 12; 0-14 atau 15;0)

Periode ini ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan


kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek
yang bersifat konkret. Perilaku kognitif yang tampak, antara lain;

1) kemampuan berpikir hipotetik-deduktif;


2) kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan;
3) kemampuan mengembangkan suatu proporsi atas dasar proporsi-
proporsi yang diketahui;
4) kemampuan menarik generalisasi dan inferensi dari berbagai
kategori objek yang beragam.

2.1.4 Teori Belajar Konsep

A. Belajar Konsep

Konsep itu apa sih? Seseorang akan sulit mengetahui apa itu konsep kalau
dia tidak mengetahui konsep akan lingkungannya. Misalnya, konsep tentang ibu,
ayah, piring, mandi, dan hal-hal lain yang terkait dengan individu tersebut.
Konsep sangat erat kaitannya dengan reaksi dari stimulus-stimulus yang ada di
lingkungan kita. Menurut Dahlar (1996:76) konsep-konsep itu menyediakan
skema-skema terorganisasi untuk mengasimilasikan stimulus-stimulus baru, dan
untuk menentukan hubungan di dalam dan di antara kategori-kategori (Agus
Taufik, 2007: 6.11).

Konsep-konsep yang dimiliki individu merupakan hasil dari proses belajar


yang ia peroleh berdasarkan pengalaman kognitifnya. Hasil belajar itu akan
membangun fondasi berpikir individu. Hal itulah yang dijadikan dasar untuk
memecahkan masalah secara relevan dan sesuai aturan.
Apa itu konsep? Tampaknya, sulit sekali mendapatkan definisi konsep
yang dipandang akurat. Hal-hal yang banyak dikemukakan orang, berkenaan
dengan definisi konsep adalah sesuatu yang diterima dalam pikiran atau ide yang
umum dan abstrak (Agus Taufik, 2007: 6.11)

B. Bagaimana individu memperoleh konsep-konsep

Kalau melihat teori Ausubel (1968) individu memperoleh konsep-konsep


melalui dua cara, yaitu melalui formasi konsep dan asimilasi konsep (Agus
Taufik, 2007: 6.12). Konsep-konsep yang diperoleh semenjak kecil dari
lingkungan individu melahirkan formasi konsep, bisa dikatakan formasi konsep
didapatkan sebelum individu itu memasuki bangku sekolah.

Sementara asimilasi konsep terjadi setelah anak mulai sekolah dan


berlangsung secara deduktif. Anak biasanya diberi atribut sehingga mereka belajar
konseptual, misalnya atribut dari gajah ialah hewan dan belalai sehingga anak
akan memahami kalau hewan yang berbelalai adalah gajah.

C. Tingkat-tingkat Pencapai Konsep

Klausmeier mengemukakan 4 tingkatan pencapaian konsep sebagai


berikut.

a. Tingkat konkret
Pencapaian konsep tingkat konkret ditandai oleh adanya pengenalan anak
terhadap suatu benda yang pernah ia kenal. Pada tingkat ini anak bisa
membedakan stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya dan anak
sudah mampu menyimpan gambaran mental dalam sturuktur kognitifnya.
Misalnya anak sudah mengetahui apa yang namanya tali.
b. Tingkat identias
Seseorang telah mencapai tingkat konsep identitas apabila ia sudah
mengenal suatu objek setelah selang waktu tertentu, memiliki orientasi
ruang yang berbeda terhadap objek itu atau apabila objek tersebut
ditentukan melalui suatu cara indra yang berbeda.Misalnya anak tidak
hanya bisa melihat tali tetapi juga bisa memainkannya.
c. Tingkat classificatory
Tingkatan ini anak bisa dikatakan sudah mampu mengenal persamaan dari
suatu contoh yang berbeda dari kelas yang sama. Misalnya buah jeruk
yang masak dan jeruk yang mentah.
d. Tingkat formal
Pada tingkat ini anak sudah mampu membatasi konsep dengan konsep
lain, membedakannya, menentukan ciri-ciri, memberikan nama atribut
yang membatasinya bahkan sampai mengevaluasi atau memberikan
contoh secara verbal
2.1.5 Belajar Bermakna: David Ausubel

Dalam teorinya Ausubel membagi klasifikasi belajar menjadi 2 bagian


yakni dimensi pertama yang menyangkut cara materi atau informasi diterima
peserta didik dan dimensi kedua yang menyangkut cara bagaimana peserta didik
dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang
telah ada. Teori dimensi pertama lebih menitik beratkan pada penerimaan dan
penemuan peserta didik. Sedangkan teori kedua lebih kepada cara berfikir anak.

Apabila ia hanya mencoba-coba menghafalkan informasi atau materi


pelajaran baru tanpa menghubungkannya dengan konsep-konsep yang lain di
dalam struktur kognitifnya maka terjadilah yang disebut dengan belajar hafalan.
Sebaliknya, jika peserta didik menghubungkan informasi atau materi pelajaran
baru dengan konsep-konsep atau hal lainnya yang telah ada dalam struktur
kognitifnya maka terjadilah yang disebut dengan belajar bermakna.

1. Belajar Bermakna

Inti dari teori ini adalah proses belajar yang mengaitkan informasi atau
materi baru dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif.

2. Belajar Hafalan

Belajar hafalan dapat terjadi jika dalam struktur kognitif peserta didik
belum ada konsep-konsep (subsumer) yang relevan dengan informasi atau
materi pembelajaran baru. Dengan belajar hafalan, tidak terjadi proses
asimilasi informasi atau materi pembelajaran baru.

2.2 Implikasi Teori-Teori Belajar dalam Pembelajaran


Penting bagi seorang pendidik untuk menerapkan teori belajar yang telah
ia kuasai. Sedikitnya ada 2 yang mungkin terjadi jika pada diri seorang guru
mampu menerapkan teori belajar yang diyakininya dalam kognisi nyata. Pertama,
teori yang dikenalnya itu cenderung meningkat baik secara kualitatif maupun
kuantitatif sehingga pada suatu saat ia akan kaya dengan khazanah teori belajar
dan pembelajaran. Kedua, pembelajaran akan optimal baik dilihat dari sudut
pandang pengembangan peserta didik maupun aktualisasi kemampuan guru itu
sendiri.

2.2.1 Implikasi Teori Belajar Behaviorisme dalam Pembelajaran


Proses pembelajaran berpegang teguh pada prinsip dan pemahaman aliran
behaviorisme menekankan pada pentingnya keterampilan dan pengetahuan
akademik maupun perilaku sosial sebagai hasil belajar (Agus Taufik, 2007: 6.20).
Pendekatan akademik yang lebih menekankan pada penguasaan secara tuntas
terhadap apa saja yang dipelajari menjadi langkah penting dalam pencapaian teori
behaviorisme ini. Tujuan pendidikan bersifat eksternal, artinya guru yang
mengendalikan proses pembelajaran tanpa campur tangan peseta didik.

Hasil belajar akan lebih bermakna jika prosesnya menyenangkan peserta


didik dan terjadi penguatan (reinforcement). Misalnya, peserta didik menjawab
benar maka diberi penguatan oleh guru/pendidik dengan mengucapkan
“Jawabanmu bagus” atau “tepat” dan sebagainya. Menurut William C. Crain
(1980:9) guru, orang tua, dan pendidik harus memberikan penguatan terutama
yang bersifat psikologis dan menghindari penguatan yang lebih bersifat
kebendaan. Sedangkan penghargaan (rewards) seharusnya diberikan hanya
kepada perilaku yang masuk akal (reasonable) dan tidak bersifat memanjakan.
Hindari hukuman (punishments) yang bersifat fisik.

Kurikulum yang berorientasi pada aliran behaviorisme harus sudah


menggambarkan perincian tentang apa-apa yang hendak disajikan kepada peserta
didik. Kurikulum harus dikristalisasikan dalam satuan acara pembelajaran (SAP)
yang dirancang sedemikian rupa sebelum proses pembelajaran dimulai.

2.2.2 Implikasi Teori Humanisme dalam Pendidikan

Pandangan kalangan humanisme tentang proses belajar mengimplikasikan


perlunya penataan peran guru/tenaga kependidikan dan prioritas pendidikan (Agus
Taufik, 2007: 6.21). Teori ini meyakini bahwa guru adalah fasilitator bukan
sebagai pengajar belaka. Artinya, pengajar harus bisa memfasilitasi tumbuhnya
motivasi belajar dalam diri peserta didik, bukannya berpusat pada proses
pembelajaran. Peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengeksplorasi dan
mengembangkan kesadaran dirinya untuk perkembangan aspek kognitif, afektif
maupun psikomotorik agar peserta didik bisa lebih menguasai informasi atau
pengetahuan.

Guru/pendidik berperan sebagai fasilitator, bukan berarti ia harus pasif,


akan tetapi justru guru/pendidik harus berperan aktif dalam suatu proses
pembelajaran (Agus Taufik, 2007: 6.21). Menurut Rogers seorang pendidik harus
berperan aktif dalam hal-hal berikut ini.

1. Membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif dan sikap positif


terhadap pembelajaran.
2. Membantu peserta didik mengklasifikasikan tujuan belajar dengan cara
memberikan kesempatan kepada peserta didik secara bebas menyatakan
apa yang ingin mereka pelajari.
3. Membantu peserta didik mengembangkan dorongan dengan tujuannya
sebagai kekuatan pembelajaran.
4. Menyediakan sumber-sumber belajar.

Belajar bermakna terjadi jika kebutuhan peserta didik disertai motivasi


instrinsik dapat terpenuhi. Selain itu kurikulum juga tidak bersifat kaku. Guru
harus arif dan paham betul atas keunikan peserta didik. Rogers menyarankan agar
terciptanya iklim kelas yang memungkinkan terjadinya belajar bermakna perlu
dilakukan hal-hal berikut:

1. terimalah peserta didik apa adanya;


2. kenali dan bina minat peserta didik melalui penemuannya terhadap diri
sendiri;
3. usahakan sumber belajar yang mungkin dapat diperoleh peserta didik
untuk dapat memilih dan menggunakannya;
4. gunakan pendekatan inquiry-discovery;
5. tekankan pentingnya penilaian diri sendiri dan biarkan peserta didik
mengambil tanggung jawab untuk memenuhi tujuan belajarnya.

2.2.3 Implikasi Teori Kognitif dalam Pendidikan

Dari aliran psikologi kognitif, teori Piaget tampak lebih banyak digunakan
dalam praktik pendidikan atau proses pembelajar meskipun teori ini bukanlah
teori mengajar (Agus Taufik, 2007: 6.22). Dalam teori Piaget peserta didik harus
dibimbing agar aktif menemukan sesuatu yang dipelajarinya, tidak harus berpusat
pada guru. Diusahakan agar materi yang diajarkan harus dapat menarik minat
anak dan menantang sehingga mereka merasa senang dan akhirnya terlibat dalam
proses pembelajaran.

Dalam teorinya, Piaget mengemukakan bahwa kemampuan berfikir anak


dengan orang dewasa itu berbeda. Artinya urutan bahan pembelajaran harus
menjadi perhatian utama. Anak akan sulit memahami bahan pelajaran jika urutan
bahan pelajaran itu loncat-loncat. Bagi anak SD pengoperasian suatu penjumlahan
harus menggunakan benda-benda nyata, terutama di kelas-kelas awal karena tahap
perkembangan berpikir mereka baru mencapai tahap operasi konkret. Contohnya,
untuk menjelaskan operasi penjumlahan 4+2 lebih baik guru memperagakannya
dengan memperlihatkan 4 benda dan 2 benda. Jadi, caranya: “Empat buah jeruk
ini ditambah dengan dua buah jeruk yang itu, berapa jumlahnya anak-anak?”
Dalam proses pembelajaran guru/pendidik harus memperhatikan tahapan
perkembangan kognitif peserta didik. Materi harus sesuai dengan tahapan
perkembangan kognitif dan harus merangsang kemampuan berpikir mereka.
Tahap kemampuan berpikir sensori motorik mengimplikasikan bahwa bagi proses
belajar harus mencapai kerangka dasar kemampuan berbahasa, hubungan tentang
objek, kontrol skema, kerangka berpikir, pembentukan pengertian, dan
pengenalan hubungan sebab akibat. Ini berarti bahwa orang tua atau lingkungan
harus dapat memberikan rangsangan yang banyak terhadap bayi. Rangsangan
tersebut dapat dilakukan dengan cara selalu mengajak bicara pada bayi, membawa
jalan-jalan kepada bayi untuk mengenalkan objek yang ada disekelilingnya,
memberi keleluasaan gerak, dan memangku bayi dengan posisi kepala selalu
menghadap depan.

Tahap kemampuan berpikir pra-operasional ditandai dengan berpikir anak


yang bersifat egosentrik-simbolik. Implikasi dalam proses belajarnya ialah belajar
harus berpusat pada anak karena anak melihat sesuatu berdasarkan dirinya sendiri.
Untuk terjadinya proses belajar harus tidak ada proses paksaan agar sifat
egosentrisnya tidak terbunuh. Oleh karena itu, metode pembelajaran yang paling
tepat ialah metode bermain. Metode ini selain tidak mengubur sifat egosentris
anak juga merupakan dunia anak, buktinya anak senang bermain dan ia akrab
dengan bermain. Begitu pun penggunaan benda-benda konkret sebagai simbol
harus digunakan dalam merangsang pemikiran anak ketika proses belajar
berlangsung. Tahapan perkembangan berpikir praoperasional ini terutama terjadi
pada anak usia TK.

Tahap kemampuan berpikir operasional konkret ditandai oleh kemampuan


anak untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat oleh
objek-objek yang bersifat konkret. Tahap ini umumnya dialami anak SD. Ini
berarti proses belajar di SD kelas-kelas bawah harus disertai dengan benda-benda
konkret. Kemampuan mengoperasikan kaidah penjumlahan, pengurangan,
perkalian dan pembagian mulai tampak. Akan tetapi, pada kelas-kelas awal (1 dan
2) masih terbatas pada operasi penjumlahan dan pengurangan sederhana.

Tahap kemapuan berpikir formal mengimplikasikan bahwa anak melalui


proses belajar mengajar harus mampu menemukan sendiri, memecahkan masalah
sendiri, bahkan berpikir menurut konsep sendiri. Pada tahap ini anak sudah
mampu berpikir logis dan abstrak mengenai situasi-situasi aktual maupun
hipotetik. Ini berarti bahwa guru harus menciptakan suatu situasi yang
memungkinkan anak berinteraksi dengan yang lainnya dan juga guru. Anak
dikondisikan untuk belajar mengeksplorasi, mencari dan menemukan (inquiry-
discovery). Metode inquiry-discovery dengan logika yang tinggi sudah bisa
digunakan dalam proses belajar mengajar.
2.2.4 Implikasi Teori Belajar Konsep dalam Pembelajaran

Ada 2 langkah dalam pembelajaran yang berbasis teori belajar konsep,


yaitu (1) penemuan konsep-konsep yang akan diajarkan, dan (2) perencanaan
pelajaran yang mencakup (1) penentuan tingkat pencapaian konsep, dan (2)
analisis konsep

1. Penentuan Konsep-konsep yang akan diajarkan

Ada dua hal yang harus kita pertimbangkan ketika akan memberikan
pembelajaran konsep. Pertama, perkembangan kognitif atau usia peserta didik
yang kerap kali membuat biasnya pembelajaran konsep. Artinya, konsep-konsep
yang diajarkan harus sesuai dengan perkembangan kognitif atau usia peserta didik
atau tergantung pada pencapaian konsep mana yang akan diajarkan kepada peserta
didik.

Kedua, tingkat pencapaian konsep yang diharapkan sesuai dengan tujuan


pembelajaran yang akan dirumuskan. Apakah konsep yang diharapkan dicapai
pada tingkat konkret, tingkat klasifikasi atau tingkat formal? Hal ini harus betul-
betul dipertimbangkan sebab akan terkait dengan sampai sejauh mana
penganalisisannya. Tetapi kebanyakan guru lebih menenkankan pada konsep-
konsep yang bersifat emergency bagi peserta didiknya.

Namun demikian, guru harus tetap memperlihatkan dimensi


perkembangan kognitif dan tujuan pencapaian konsep-konsep yang akan
diajarkan. Tentu saja seorang guru harus tetap berpedoman kepada kurikulum
yang berlaku sehingga lebih menambah kejelasan orientasi tujuan pendidikan kita.

2. Perencanaan Pembelajaran Konsep

Jika anda sudah memilih konsep-konsep yang akan diajarkan maka


selanjutnya anda perlu menentukan strategi-strategi pembelajaran. Ada 2 langkah
yang perlu dilaksanakan dalam rencana pembelajaran konsep, yaitu berikut ini.

a. Penentuan tingkat pencapaian konsep

Penentuan tingkat pencapaian konsep perlu didasarkan kepada tuntutan


kurikulum, perkembangan peserta didik, dan tingkat kepentingan konsep.

b. Analisi konsep

Analisis konsep mencakup nama, atribut-atribut kriteria dan variabel,


definisi, contoh-contoh dan noncontoh, dan hubungan konsep dengan konsep-
konsep lain.
2.2.5 Implikasi Teori Belajar Bermakna Ausubel dalam Pembelajaran

Jika kita bandingkan antara Ausubel dengan teoriwan lainnya, mungkin


kita akan tertarik dengan teorinya dan cara Ausubel berteori. Ini dapat terjadi pada
diri kita karena ada satu hal yang menonjol dari Ausubel dalam menyusun
teorinya, yaitu kemampuannya mengoperasionalkan teori tersebut dalam bentuk
nyata dalam suatu proses pembelajaran. Inilah sisi yang menarik dari Ausubel
sehingga banyak kalangan yang peduli terhadap teori belajarnya.

Bagaimana Ausubel menerapkan teori belajarnya dalam proses


pembelajaran? Untuk memberikan jawaban sementara atas pertanyaan tersebut
marilah kita coba kaji kasus berikut ini.

Pada suatu hari Bu Pulan mengajarkan materi pembelajaran tentang ciri-


ciri makhluk hidup. Sebelum sampai kepada pokok bahasan tersebut, Bu
Pulan mengulas dahulu konsep makhluk hidup yang telah dikenal peserta
didiknya. “Anak-anak yang ibu cintai, hari ini kita akan mendiskusikan
tentang ciri-ciri makhluk hidup. Anak-anak apakah kucing termasuk
makhluk hidup?” Peserta didiknya menjawab serempak: “Ya... Bu...!”.
“Mengapa disebut makhluk hidup?”, Kata Bu Pulan.

Peserta didik 1 : “Karena kucing itu dapat berjalan.”

Peserta didik 2 : “Karena suka makan ikan.”

Bu Pulan : “Bagus jawabannya, kalau bunga yang tumbuh di


halaman itu juga makhluk hidup? Bunga kan tidak dapat
berjalan?

Peserta didik : “Bunga itu pun termasuk makhluk hidup, Bu. Sebab
bunga tersebut kan tumbuh dari kecil, dan sekarang sudah
berbunga.

Mengapa Bu Pulan mempertanyakan dahulu hal tersebut kepada peserta


didiknya. Dimana letak kesesuaian dengan teori belajar dari Ausubel? Kalau kita
kaji lebih cermat maka akan terlihat bahwa Bu Pulan sedang berupaya mengaitkan
materi ciri-ciri makhluk hidup dengan konsep makhluk hidup. Dalam implikasi
teori Ausubel yang diperagakan Bu Pulan merupakan salah satu contoh penerapan
konsep Advance Organizer dalam proses pembelajaran versi Ausubel.

Dalam penerapan teorinya pada proses pembelajaran, Ausubel mengajukan


beberapa implikasi, yaitu advance organizer, diferensiasi progresif, belajar
superordinat, dan penyesuaian intergratif. Dalam mendukung pendapat Ausubel
tersebut, Novak (1985) mengajukan penerapan peta konsep dalam suatu proses
pembelajaran dengan tujuan agar lebih bermakna. Untuk mendalami beberapa
implikasi teori belajar Ausubel tersebut, mari kita pelajari bagian-bagian
pemaparan berikut ini.

1. Advance Organizer

Sejak tahun 60-an, Ausubel telah memperkenalkan istilah Advance


Organizer. Pada tahun 1963, konsep advance organizer menjadi bagian penting
dalam bukunya yang berjudul The Psychology of Meaningful Verbal Learning.

Advence organizer diartikan sebagai pengatur awal (Dahlar, 1996) dan


mempersiapkan pengetahuan siap (Abin Syamsiddin, 1999). Intinya merupakan
proses penggalian pengalaman masa lalu yang sudah ada dalam struktur kognitf
peserta didik yang relevan dengan materi pembelajaran yang akan disampaikan.
Oleh karena itu, advance organizer tersebut suka dianggap semacam pertolongan
mental, yang disampaikan sebelum materi pokok pembelajaran dibahas.

2. Diferensi Progresif

Kalau kita cermati secara jeli, dalam konsep belajar bermakna menurut
Ausubel dipandang perlu terjadinya pengembangan dan elaborasi konsep-konsep
yang tersubsumsi. Caranya dengan mengembangkan konsep-konsep yang lebih
umum terlebih dahulu, selanjutnya diberikan konsep-konsep yang lebih mendetail
dan khusus sampai kepada contoh-contoh. Dengan demikian, konsep-konsep
tersebut dikembangkan dari umum ke khusus. Penyusunan konsep seperti ini,
disebut dengan istilah diferensiasi progresif. Oleh sebab itu, suatu konsep yang
diajarkan perlu disusun secara hierarkis.

3. Belajar Superordinat

Tampaknya belajar superordinat jarang terjadi di sekolah, sebab


kebanyakan guru dan buku sekarang menyajikan konsep-konsep yang lebih
inklusif, tetapi ada kalanya penyajian seperti itu mengalami masalah. Kalau begitu
maka penting juga dipahami apa yang disebut belajar superordinat.

Belajar suborinat jarang terjadi bila konsep-konsep yang telah dipelajari


sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih
inklusif (Dahar, 1996). Misalnya, ketika anak kecil belajar mengenal kucing,
awalnya semua kucing sama. Tetapi setelah belajar lebih jauh maka ia mulai
membedakannya dengan kucing betina, jantan dan sebagainya. Lalu, ia juga
belajar dari unsur keberbuluan maka muncullah kelompok binatang menyusui
atau mamalia maka kucing, sapi, anjing termasuk kelompok binatang mamalia. Di
situ tampaklah bahwa mamalia sebagai superordinat dan kucing, anjing juga sapi
sebagai subordinat.
4. Penyesuaian Integratif

Terkadang anak dihadapkan kepada permasalahan dwifungsi suatu konsep


dan dengan kenyataan ini mereka mengalami semacam pertentangan kognitif.
Misalnya, penggunaan kata bisa yang berarti dapat/mampu dan arti lainnya, yaitu
racun. Pertentangan seperti itu, umumnya membuat anak bertanya kapan saya
harus mengatakan “bisa” yang berarti dapat dan kapan saya harus mengatakan
“bisa” yang berarti racun. Penggunaan kata maknanya sudah meluas, seperti kata
“ibu”, yang berarti orang yang melahirkan atau yang dituankan pun dapat
menimbulkan pertentangan kognitif bagi anak. Misalnya, Bu Pulan berkata
“Coba bukunya berikan ke Ibu!”

Menurut Ausubel untuk mengatasi atau mengurangi pertentangan kognitif


seperti itulah pentingnya penggunaan prinsip-prinsip penyesuaian intergratif yang
sering disebut dengan istilah rekonsiliasi integratif.

Ausubel berpendapat bahwa suatu pembelajaran yang bermakna tidak


harus selalu terjadi secara diferensiasi progresif, tetapi harus terjadi upaya
penggerakan kerangka hierarkis konseptual ke atas dan ke bawah. Artinya perlu
diperlihatkan keterkaitan antara konsep-konsep umum dengan konsep-konsep
khusus. Selain itu perlu jelas pula konteks dan rentetan penggunaan kata yang
telah melebar maknanya atau kasus makna dwifungsi dan sebagainya.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
- Proses belajar terjadi dengan adanya tiga komponen pokok yaitu
stimulus, respons, dan akibat. Stimulus adalah sesuatu yang datang
dari lingkungan yang dapat membangkitkan respons individu. Respons
menimbulkan perilaku jawaban atas stimulus. Sedangkan akibat adalah
sesuatu yang terjadi setelah individu merespons baik yang bersifat
positif ataupun yang negatif.
- Teori belajar Humanisme memandang bahwa perilaku manusia
ditentukan oleh faktor internal dirinya dan bukan oleh kondisi
lingkungan ataupun pengetahuan.
- Konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili suatu kelas objek-objek,
kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan atau hubungan yang mempunyai
atribut-atribut yang sama.
- Pandangan kalangan humanisme tentang proses belajar
mengimplikasikan perlunya penataan peran guru/tenaga kependidikan
dan prioritas pendidikan. Menurut pandangan ini guru/tenaga
kependidikan berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar
belaka.
- Sedikitnya ada empat aplikasi teori belajar yang dapat diterapkan
dalam proses pembelajaran. Pertama, advance organizer dan entry
behavior pengetahuan siap. Kedua diferensiasi progesif yang
menentukan proses pembelajaran yang berlangsung dari umum ke
khusus. Ketiga, superordinat yang merupakan pengenalan terhadap
konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya sebagai unsur-unsur
dari suatu konsep yang lebih luas. Keempat, penyesuaian interaktif
yang merupakan upaya untuk mengatasi dan mengurangi terjadinya
pertentangan kognitif dalam proses pembelajaran.

B. Saran
- Guru/tenaga kependidikan sebaiknya bukan lagi sebagai pusat proses
pembelajaran, tetapi yang terpenting adalah memfasilitasi tumbuhnya
motivasi belajar secara intrinsik pada diri peserta didik. Kebutuhan
peserta didik harus menjadi bahan pertimbangan yang akan
disampaikan.
- Selain dapat memotivasi peserta didiknya, seorang guru/pendidik harus
memiliki sikap empati, terbuka, jelas dalam menyatakan sesuatu,
bertanggung jawab, berpenampilan apa adanya, dan tulus dalam
memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Mikarsa, Hera Lestari, Agus Taufik dan Puji Lestari Prianto. 2007. Pendidikan
Anak di SD. Jakarta: Universitas Terbuka

Anda mungkin juga menyukai