Anda di halaman 1dari 7

NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

INDIRA ARUM PRASETYO


120115213
KP B

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
Latar Belakang Perubahan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Lama (sebelum dilakukannya amandemen) : “Kedaulatan
adalah di tangan rakyat, dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawartan Rakyat”.
Pada Amandemen III yang disahkan pada tanggal 10 November 2001, bunyi (redaksi) pasal 1
ayat (2) UUD 1945 berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut undang-undang dasar”.

Lalu apa makna dari “kedaulatan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”?


Maknanya, pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi diemban /dilakukan oleh sebuah
lembaga supremasi yang bernama MPR, melainkan dilaksanakan berdasarkan circle system
konsitusi. Dengan kata lain, pelaksanaan kedaulatan rakyat terbagi-bagi dalam berbagai
institusi dan atau aturan-aturan konstitusi yang terdapat dan ditentukan di dalam UUD 1945.
Dengan demikian, pasca amandemen, kedaulatan rakyat selain dilaksanakan oleh MPR, juga
dilaksanakan oleh Presiden, oleh DPR, oleh DPD, oleh Mahkamah Konstitusi, MA, BPK,
dstnya. Cakupannya jadi sangat luas oleh karenanya dapat mengalami pembiasan sehingga
kedaulatan tidak lagi berada di tangan rakyat melainkan berpindah ke institusi-institusi rezim.

Bila ditelaah secara seksama, bunyi pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Baru, mengundang
pemahaman redaksi kalimat yang bias, bertentangan dan tidak sinkron.. Mengapa? Oleh
karena pengertian “kedaulatan berada di tangan rakyat” menunjuk sesuatu yang bersifat
kongkret fisikal. Sedang pengertian kalimat berikutnya “…dan dilaksanakan menurut
undang-undang dasar” mengandung pengertian yang abstrak, tidak kongkret atau nonfisikal.
Bagaimana mungkin sesuatu hak yang kongkret dapat dijalankan melalui cara dan perbuatan
yang tidak kongkret, abstrak atau nonfisikal. Lain halnya bila redaksional pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 berbunyi begini, “Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat yang
pelaksanaannya dilakukan menurut undang-undang dasar”. Ini lebih jelas sinkronisasinya.
Artinya, kedaulatan rakyat disepakati adalah sebagai sebuah asas, pendirian atau system dan
dilaksanakan berdasarkan asas atau system konstitusi. Tapi para pendiri bangsa tidak
menghendaki demikian. Mereka menghendaki kedaulatan rakyat yang bersifat kongkret dan
dilaksanakan oleh lembaga yang bersifat kongkret pula. Mereka tidak menginginkan
kedaulatan rakyat pada praktek pelaksanaannya dikuasai atau tunduk pada kedaulatan
kekuasaan. Sehingga oleh karena itu dituliskanlah oleh Sukarno, Hatta, Supomo, Yamin dkk
di dalam UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan negara berkedaulatan rakyat.

Jadi bunyi pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Lama sebenarnya tidak hanya sudah tepat,
lugas, jelas serta kompak dan sinkron, tapi lebih dari itu mencerminkan filosofi hidup
bernegara bahwa negara yang kita dirikan ini milik siapa dan berada pada siapa.

Mungkin latar belakang yang menjadi pertimbangan dari perubahan redaksi pasal 1
ayat (2) UUD 1945 adalah akibat penyimpangan peran dan fungsi MPR di masa lalu yang
dipengaruhi oleh situasi politik. Misalnya, MPR mengeluarkan Tap Pengangkatan Presiden
Seumur Hidup di masa Orde Lama dan Tap Pengangkatan Presiden 5 tahun secara terus
menerus semasa Orde Baru. Maka, seiring pelaksanaan pemilihan langsung Presiden / Wakil
Presiden di masa reformasi yang dimaknai telah mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat,
maka fungsi MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat dianggap sudah tidak lagi
diperlukan.
Latar Belakang Perubahan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945

Pasal 1 ayat (3)  ‘Negara Indonesia adalah negara hukum”

Ketentuan ini berasal dari Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 yang “diangkat” ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan
supremasi hukum untuk  menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang
tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel). Masuknya rumusan itu ke dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan salah satu contoh pelaksanaan
kesepakatan dasar dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yakni kesepakatan untuk mema-sukkan hal-hal normatif yang ada di
dalam Penjelasan ke dalam pasal-pasal.

Masuknya ketentuan mengenai Indonesia adalah negara hukum (dalam Penjelasan


rumusan lengkapnya adalah “negara yang berdasar atas hukum”) ke dalam pasal
dimaksudkan untuk memperteguh paham bahwa Indonesia adalah negara hukum, baik dalam
penyeleng-garaan negara maupun kehidupan berbangsa dan berma-syarakat.

Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita melihat
bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di
hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak
bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap
negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya:

1)    jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;

2)    kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;

3)    legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara
dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum;

    Paham negara hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) terkait erat
dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materiil sesuai dengan
bunyi alinea keempat Pembukaan dan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945. Pelaksanaan paham negara hukum materiil akan mendukung dan
mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia.
Latar Belakang Perubahan Pasal 28 UUD 1945

Dimuatnya materi soal hak asasi manusia dalam perubahan UUD 1945, merupakan
satu langkah maju, karena sebelumnya dalam UUD 1945 dapat dikatakan “tidak ada” sama
sekali materi atau bab tersendiri soal HAM. Dirumuskannya materi HAM dalam bab
tersendiri diharapkan akan memberikan perlindungan dan jaminan bagi pelaksanaan HAM di
Indonesia. Rumusan HAM ini dibuat di Sidang Tahunan MPR 2000 dalam Bab XA Pasal 28
Perubahan Ke-II UUD 1945 yang perumusannya terdiri dari 10 pasal (A – J). Beberapa
persoalan-kelemahan yang terdapat dalam rumusan HAM ini adalah:

Rumusan-rumusan HAM ini, bila dijabarkan keseluruhan, secara substansial


rumusan-rumusan yang dihasilkan tidak mengelaborasi secara rinci seluruh hak asasi
manusia, sehingga terkesan bahwa Anggota MPR tidak dilandasi pemahaman yang
mendalam tentang esensi HAM yang harus diatur dalam UUD. Hal ini terlihat pula dalam
contoh hak yang diberikan untuk warga negara dalam pasal 28 D (3) “Setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan “ hanya diatur dalam satu
pasal. Padahal masih banyak lagi sesungguhnya hak-hak yang hakikatnya diberikan kepada
warga negara sebagai konsekuensi kalau UUD adalah hukum dasar yang substansinya antara
lain mengenai bagaimana hubungan antara negara dan warga negara. Apabila ditinjau dari
tujuan negara sebagaimana diatur dalam Pembukaan UUD maka ada hak-hak yang secara
khusus hanya dimiliki dan diberikan oleh negara hanya untuk warganegara. Oleh karena itu,
ketentuan hak asasi warga negara ini harus diatur serta dalam mengelaborasi ketentuan
mengenai hak asasi manusia perlu kiranya dibedakan antara hak yang diberikan kepada setiap
orang dengan hak yang diberikan kepada warga negara.

Penyusunan pasal-pasal HAM itu juga kurang sistematis dan tidak didasari pada
pembidangan HAM dalam hak politik, hak sipil, hak ekonomi, hak sosial-budaya. Hal ini
dapat dilihat, misalnya dipisahkannya hak bekerja dengan hak memilih pekerjaan, begitu pula
hak pendidikan dipisahkan dengan hak memilih pendidikan dan pengajaran. Malah
perumusannya disatukan atau dicampurbaur antara satu soal dengan soal lain. Bahkan dalam
beberapa soal perumusannya disebut disebut dua kali yakni. Misalnya soal penyiksaan dalam
pasal 28 G (2) dan 28 I (1), demikian pula soal hak beragama (pasal 28E ayat 1 dan pasal 28I
ayat 1) dan hak hidup (pasal 28A dan pasal 28I ayat (1).

Rumusan – rumusan HAM itu juga tidak sesuai dengan Deklarasi Umum HAM atau
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), masih rancu, menimbulkan
ketidakjelasan dan persoalan/kontroversi baru, hal ini dapat dilihat dari rumusan-rumusan
Rumusan pasal 28D (2) yang berbunyi “setiap orang berhak untuk bekerja…” rumusan
semacam itu ada pemikiran berusaha untuk menghilangkan/ menyembunyikan
tanggungjawab negara. Berbeda esensinya dengan rumusan yang berbunyi “setiap orang
berhak atas pekerjaan…”, seperti yang tertuang dalam pasal 23 ayat 1 DUHAM. Demikian
pula dalam rumusan pasal lainnya seperti berhak untuk mendapat pendidikan (pasal 28 C ayat
1) berhak untuk memperoleh informasi (pasal 28 F). Seharusnya adalah kewajiban negara
untuk melindungi apa-apa yang telah diakui sebagai hak asasi seseorang bukan malah
menyembunyikannya.
Pasal 28I (3) yang berbunyi “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Rumusan ini mengundang
pertanyaan apa yang dimaksud dengan “dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban itu”? Penggunaan kata ‘tradisional’ lebih mengarah kepada pengertian yang
sempit, yang hanya berkaitan dengan identitas budaya tidak menerjemahkan secara lebih luas
mencakup hak ekonomi, sosial, budaya dan politik.

Dalam perumusan pasal 28 I (1) dimasukkan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut (prinsip non retroaktif) yang lengkapnya berbunyi “hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”. Adanya penegasan untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut karena belum ada aturan ketentuan sebelumnya atau dikenal dengan asas
nonretroaktif telah mengadposi secara mentah Konvensi Hak Sipil dan Politik tanpa
mengetahui prinsip dasarnya. Prinsip itu memang merupakan prinsip hukum pidana modern
yang oleh sistem hukum internasional ditempatkan sebagai hak yang bersifat sekunder ketika
berhadapan dengan asas keadilan dan adanya kejahatan HAM berat, sebagaimana dimaksud
Konvensi Geneva 1949.

Rumusan itu telah memutlakkan prinsip non retroaktif dan tidak membuka peluang
bagi digunakannya prinsip-prinsip hukum internasional seperti yang tertuang dalam pasal
11(2) DUHAM dan pasal 15 (1-2) ICCPR (Konvensi Hak Sipil dan Politik). Berarti, rumusan
itu tidak menyerap seluruh aspirasi dalam DUHAM dan ICCPR yang mengakui adanya
kewenangan untuk mengadili para pelanggaran HAM masa lalu, yang dianggap sebagai
kejahatan menurut hukum nasional maupun internasional. Meskipun ada klausul lain dalam
pasal 28 J (2) yang menyatakan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang, hal ini bisa berdampak serius mengingat bahwa penempatan pasal ini ada
dalam konstitusi yang merupakan hukum tertinggi yang tidak mungkin dikalahkan peraturan
perundangan dibawahnya. Oleh karena itu keberadaan pasal itu bukan untuk melindungi para
pelanggar HAM melainkan untuk tempat persembunyian para pelaku pelanggaran HAM.

Perumusan pasal ini juga dipandang sangat lemah, dan menjadi dilematis apabila
diterapkan. Artinya, dengan memasukkan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun (non derogable) kedalam UUD, jika dikaitkan dengan ketentuan
hak fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana pula dicantumkan dalam UUD akan
berakibat pada masalah pelanggaran hak asasi manusia. Sementara di pihak lain, keterbatasan
dana pemerintah yang selalu menjadi alasan untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak
terlantar dapat diterima masyarakat. Maka dari itu perlu dipertimbangkan secara serius
apakah asas non derogable tetap akan dipertahankan dalam UUD atau dihilangkan, apalagi
bila mengingat bahwa PBB sendiri hanya meletakkan non derogable rights dalam kovenan,
yang statusnya sama dengan undang-undang. Karena sepertinya kita mengikat tangan sendiri,
suatu hal yang kurang disadari oleh para anggota MPR
I. Uraian Masalah
I.1 Bagaimana kedaulatan rakyat dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum dimandemen
dan sesudah diamandemen?
I.2 Penjabaran HAM dalam Pasal 28 UUD 1945 ?

II. Analisis

II.1Kedaulatan Rakyat

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 1 Ayat ( 2) UUD 1945 Sebelum Perubahan “Kedaulatan ada
di tangan rakyat dan dilaksanakan  sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”

Pasal tersebut melahirkan:

a.       Supremasi MPR.

b.      Presiden mandataris MPR.

c.       Presiden pemegang teguh kekuasaan tertinggi sesudah majelis.

d.      Presiden pemegang sekaligus kekuasaan eksekutif dan legislatif.

e.       Ada sentralisasi kekuasaan.

Secara sederhana dikatakan bahwa, kedaulatan itu berarti “kekuasaan penuh” dan
kedaulatan rakyat berarti kekuasaan sepenuhnya berada ditangan rakyat. Hanya saja  sejalan
dengan teori Rousseau tentang kedaulatan rakyat itu, maka kedaulatan rakyat Indonesia tidak
dilakukan melainkan diserahkan pelaksanaannya kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Sehingga menurut ketatanegaraan UUD 1945, MPR merupakan Lembaga Tertinggi
Negara, karena lembaga tersebut dapat dikatakan sebagai miniature (penjelmaan kecil) dari
seluruh rakyat Indonesia.

 2.2 Penjabaran HAM dalam Pasal 28 UUD 1945


         Hak-hak asasi manusia sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan pandangan filosofis
tentang manusia yang melatarbelakanginya. Menurut Pancasila sebagai dasar dari bangsa
Indonesia hakikat manusia adalah tersusun atas jiwa dan raga, kedudukan kodrat sebagai
makhluk Tuhan dan makhluk pribadi, adapun sifat kodratnya sebagai mahluk individu dan
makhluk sosial.

          Dalam rentangan berdirinya bangsa dan negara Indonesia telah lebih dulu dirumuskan
dari Deklarasi Universal hak-hak asasi manusia PBB , karena Pembukaan UUD 1945 dan
pasasl-pasalnya diundangkan pada tanggal 18 Agustus 1945 , adapun Deklarasi PBB pada
tahun 1948. Hal itu merupakan fakta pada dunia bahwa bangsa Indonesia sebelum
tercapainya pernyataan hak-hak asasi manusia sedunia oleh PBB, telah mengangkat hak-hak
asasi manusia dan melindunginya dalam kehidupan bernegara yang tertuang dalam UUD
1945. Hal ini juga telah ditekankan oleh para pendiri negara, misalnya pernyataan Moh. Hatta
dalam sidang BPUPKI sebagai berikut :
“Walaupun yang dibentuk itu Negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkan beberapa
hak dari warga Negara agar jangan sampai timbul negara kekuasaan (Machsstaat atau negara
penindas)”.
Deklarasi bangsa Indonesia pada prinsipnya termuat dalam naskah Pembukaan UUD 1945,
dan Pembukaan UUD 1945 inilah yang merupakan sumber normativ bagi hukum positif
Indonesia terutama penjabaran dalam pasal pasal UUD 1945.

    Berdasarkan pada tujuan Negara sebagai terkandung dalam Pembukaan UUD 1945
tersebut, Negara Indonesia menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia pada warganya
terutama dalam kaitannya dengan kesejahteraan hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah,
antaralain berkaitan dengan hak-hak asasi di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan,
pendidikan, dan agama.

III. Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
Didalam UUD 1945 yang sudah diamandeman terjadi perubahan mendasar dalam
pasal 1 ayat (2) yang sebelumnya berbunyi “kedaulatan ditangan rakyat dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” berubah menjadi “kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang dasar”.

 Pasal 28 UUD 1945

HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya.
Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita
ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.Dalam kehidupan
bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk
pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau
bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat
dalam Undang-Undang pengadilan HAM. Tuntutan untuk menegakkan HAM kini sudah
sedemikian kuat, baik dari dalam negeri maupun melalui tekanan dari dunia internasional,
namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlu adanya dukungan dari
semua pihak, seperti masyarakat, politisi, akademisi, tokoh masyarakat, dan pers, agar upaya
penegakan HAM bergerak ke arah positif sesuai harapan kita bersama. Penghormatan dan
penegakan terhadap HAM merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak
mana pun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga
ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negaranya. Diperlukan niat dan kemauan
yang serius dari pemerintah, aparat penegak hukum.

SARAN

Sebaiknya kita sebagai Negara yang berdaulat mampu menjunjung tinggi  nilai-nilai yang
tertuang dalam pancasila yang menjadi dasar Negara kita dan dalam UUD. Nilai-nilai luhur
itu hendaknya dapat kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
agar tertib hukum dapat terpeliharan.

Anda mungkin juga menyukai