Anda di halaman 1dari 56

BAB III

TANGGUNG JAWAB INDIVIDU MENURUT STATUTA ROMA 1998

A. Individu sebagai Subjek Hukum Internasional

Prof.Dr. Boer Mauna dalam bukunya HUKUM INTERNASIONAL : Penegertian,

Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, halaman satu, mengatakan bahwa : ―Pada

umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan

ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan

subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.‖112

Hukum internasional (international law) atau hukum internasional publik (public

international law) merupakan istilah yang lebih populer digunakan saat ini dibandingkan

istilah Hukum Bangsa-Bangsa (law of nations), hukum antarnegara (Inter state law). Dua

istilah terakhir ini ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Hukum

internasional saat ini tidak hanya mengatur hubungan antarbangsa atau antarnegara saja.

Hubungan internasional sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek

negara tidaklah terbatas pada negara saja sebagaimana di awal perkembangan hukum

internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, perusahaan transnasional, vatican,

belligerency, merupakan contoh –contoh subjek non negara.113 Drs. T. May Rudy, S.H., dalam

bukunya Hukum Internasional 1 juga mengatakan bahwa subjek hukum internasional terdiri

atas Negara, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional,

Individu , Pemberontak dan pihak dalam sengketa ( belligerent ).114

112
Prof.Dr. Boer Mauna, HUKUM INTERNASIONAL : Penegertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, PT ALUMNI, Bandung, 2011, Hal. 1
113
Sefriani, S.H., M.Hum., HUKUM INTERNASIONAL : SUATU PENGANTAR, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2014, Hal.2
114
Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc., Hukum Internasional 1, PT Refika Aditama, Bandung, 2006,
Hal. 2-3

Universitas Sumatera Utara


Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda rechtsubject atau law of

subject (Inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.,

yaitu manusia dan badan hukum.115 Sebagai subjek hukum, sebagai pembawa hak, manusia

mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan sesuatu tindakan hukum. 116 Subjek hukum

internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional.117

Secara umum subjek hukum adalah pembawa atau pendukung hak dan kewajiban

dalam hukum. Dalam hukum internasional, manusia atau individu merupakan salah satu

subjek hukum internasional. Hal tersebut menunjukan bahwa manusia atau individu sebagai

subjek hukum internasional memiliki hak dan kewajiban dalam lingkup hukum internasional.

Sering orang bertanya apakah individu juga dapat dianggap sebagai subjek hukum

internasional. Untuk menjawab pertanyaan tersebut terdapat dua konsep yang saling berbeda.

Dengan merujuk pada praktek internasional yang berlaku dan hukum positif, pada umumnya

pakar hukum berpendapat bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar negara

dan oleh karena itu individu tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional.

Menurut pendapat mereka hanya negaralah yang merupakan subjek hukum internasional dan

bukan individu.118

Sebaliknya ada juga yang berpendapat terutama Prof. Georges Scelle, pakar hukum

kenamaan dari Prancis bahwa hanya individu yang merupakan subjek hukum internasional.

Para pendukung doktrin ini mendasarkan pandangannya bahwa bukankah tujuan akhir dari

pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu dia mendapatkan

perlindungan internasional. Suatu konvensi internasional yang ditandatangani oleh sejumlah

115
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., HUKUM PERDATA dalam SISTEM HUKUM NASIONAL,
Penerbit Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Hal. 40
116
Prof. Drs. C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, S.H., M.H., PENGANTAR ILMU HUKUM
INDONESIA, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2011, Hal.99
117
T. May Rudy, Op. Cit., Hal.2
118
Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit. , Hal. 669

Universitas Sumatera Utara


negara yang berisikan ketentuan bahwa pelayaran atas suatu sungai internasional adalah

bebas, tidak lain berarti sebagai pemberian kebebasan kepada individu-individu, para

pedagang, pemilik kapal, untuk menggunakan sungai tersebut bagi keperluan usaha mereka.

Jadi keseluruhan dari ketentuan internasional mengenai pelayaran menyangkut individu-

individu. Ada juga naskah yang mengatur secara langsung keadaan individu seperti konvensi-

konvensi mengenai tawanan perang (Konvensi-konvensi Den Haag ) yang mengatur perang

dan Konvensi-Konvensi Palang Merah yang semuanya mempunyai tema yang sama yaitu

perlindungan terhadap individu-individu yang lemah, menderita sakit, tidak bersenjata, dan

lain-lainnya. Tidaklah dapat disangkal bahwa perlindungan terhadap individu ini merupakan

tema umum dari pengaturan-pengaturan internasional dan keseluruhan ketentuan-ketentuan

hukum.119

Dalam hukum internasional, ada pakar atau ahli yang berpendapat bahwa satu-satunya

subjek hukum internasional adalah negara. Berlawanan dengan pendapat tersebut, ada

pendapat lain yang menyatakan bahwa subjek hukum internasional hanyalah individu. Hal ini

didasarkan pada tujuan akhir dari hukum internasional adalah untuk kepentingan dan

perlindungan individu. Perbedaan pendapat tersebut, bukan berarti untuk saling menjatuhkan

atau saling menyalahkan pendapat yang lain. Perbedaan pendapat tersebut justru membuat kita

dapat saling melihat kelebihan maupun kelemahan pendapat-pendapat tersebut sehingga

hukum internasional dapat dikembangkan lebih baik lagi. Pada perkembangan selanjutnya,

bahkan bukan hanya negara dan individu saja yang menjadi subjek hukum internasional,

namun juga Organisasi Internasional, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, dan

Pemberontak ( belligerent ).

Dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh ke-2 abad

XX, meningkatnya hubungan kerja sama dan kesalingtergantungan antar negara,

119
Ibid., Hal. 669-670

Universitas Sumatera Utara


menjamurnya negara-negara baru dalam jumlah yang banyak sebagai akibat dekolonisasi,

munculnya organisasi-organisasi internasional dalam jumlah yang sangat banyak telah

menyebabkan ruang lingkup hukum internasional menjadi lebih luas. Selanjutnya hukum

internasional bukan saja mengatur hubungan antarnegara, tetapi juga subjek-subjek hukum

lainnya seperti organisasi-organisasi internasional, kelompok-kelompok supranasional dan

gerakan-gerakan pembebasan nasional. Bahkan dalam hal-hal tertentu hukum internasional

juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam hubungannya dengan negara-negara.120

Memang benar bahwa banyak ketentuan internasional yang menyangkut individu-

individu baik dalam bentuk keuntungan-keuntungan yang diberikan maupun kewajiban-

kewajiban yang harus mereka laksanakan. Namun demikian tidak berarti bahwa individu-

individu secara otomatis merupakan subjek hukum internasional karena dalam banyak hal,
121
negara bertindak sebagai layar antara mereka dan hukum internasional. Menyangkut

individu, perkembangan menunjukkan bahwa dewasa ini individu merupakan subjek hukum

internasional (dalam arti yang terbatas) di samping negara. Sebagai subjek hukum, individu

memiliki hak dan kewajiban tertentu dalam hukum internasional. Adalah fakta yang tidak

dapat disangkal bahwa pada saat ini individu dapat dimintai pertanggungjawaban di forum
122
internasional atas tindakan-tindakannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa memang

individu diakui sebagai subjek hukum internasional, namun dalam artian yang terbatas yaitu

sepanjang individu tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban di forum internasional atas

tindakan-tindakannya.

Kasus pertama menyangkut status individu sebagai subjek atau bukan dalam hukum

internasional menurut Alina Kaczorowska adalah Case Concerning Competence of the Courts

of Danzig, Advisory opinion dari Permanent Court of International Justice tahun 1928. Dalam

120120
Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit. , Hal. 669
121
Ibid., Hal. 670-671
122
Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal.214
kasus ini Danzig dan Polandia membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur

persyaaratan pekerjaaan bagi pejabat yang bekerja dalam perkeretaapian Danzig mempunyai

hak untuk menuntut penggantian klaim terhadap administrasi perkeretaapian Polandia. Dalam

kasus ini mahkamah menyatakan bahwa suatu perkecualian dari prinsip bahwa individu bukan

subjek hukum internasional dapat timbul apabila maksud dari para pihak dalam suatu

perjanjian adalah memang untuk memberikan hak dan kewajiban pada individu yang

bersangkutan. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa menurut PJIC, pada dasarnya

treaties tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi individu kecuali apabila para pihak

perjanjian bermaksud demikian.123 Hal tersebut menunjukkan bahwa individu sudah diakui

sebagai subjek hukum internasional yang memiliki hak dan kewajiban namun hanya sebatas

jika para pihak perjanjian dalam hal ini negara yang memang menginginkannya dan

menyepakatinya.

Selanjutnya pasca perang dunia kedua dalam pengadilan ad hoc Nurenberg dan Tokyo

dinyatakan bahwa individu memiliki international personality, mampu menyandang hak dan

kewajiban yang diberikan hukum internasional padanya. Individu bertanggung jawab secara

pribadi, dapat dituntut di pengadilan internasional atas kejahatan perang yang dilakukannya

tanpa dapat berlindung dibalik negaranya.124

Dampak PD II yang menimbulkan perkembangan baru dalam lapangan hukum

internasional, khususnya di bidang hukum pidana internasional. Di bidang ini muncul prinsip

pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility) bagi

individu yang melakukan kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam kategori

kejahatan internasional. Individu yang melakukan kejahatan tersebut dapat dimintai

123
Sefriani, S.H., M.Hum.,, Op. Cit. Hal. 146
124
Ibid., Hal. 147
pertanggungjawaban di forum pengadilan internasional. Hal ini sekaligus merupakan

pengakuan individu sebagai subjek hukum internasional.125

Dalam putusan yang dibuat oleh Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg

dinyatakan, telah lama diakui bahwa hukum internasional mengenakan kewajiban dan

tanggung jawab terhadap para individu. Mereka memiliki kewajiban internasional melebihi

kepatuhan terhadap kewajiban yang dibebankan oleh negaranya. Orang-orang yang melanggar

hukum perang tidak dapat memperoleh kekebalan ketika bertindak atas kewenangan dari

negara, jika negara dalam mensahkan tindakan tersebut bertindak di luar kewenangannya

menurut hukum internasional.126

Pengakuan secara terbatas terhadap individu sebagai subjek hukum internasional

mengalami perkembangan yang nyata sesudah Perang Dunia II. Dalam kerangka konstruksi

regional, Konvensi Eropa mengenai Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1959, Perjanjian Roma

1957 dan pada tingkat universal dengan diterimanya The International Convenant on Civil

and Political Rights (ICPR) dan The International Convenant on Economic Social and

Cultural Rights (ICES) di tahun 1966 telah meningkatkan status individu yang bukan hanya

sebagai objek tetapi juga dalam hal-hal tertentu sebagai subjek hukum internasional.127

Peningkatan status individu ini makin lama makin bertambah nyata setelah terjadinya

pembunuhan massal, perbuatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang

dan pelanggaran-pelanggaarn berat HAM lainnya di berbagai tempat di dunia. Kejahatan

perang, kejahatan kemanusiaan dan perbuatan genosida yang terjadi di negara eks Yugoslavia

dari tahun 1992-1999 yang menewaskan sekitar 200.000 orang, kejahatan yang terjadi di

Kamboja selama selama rezim Pol Pot dari tahun 1975-1979 yang menelan korban sekitar

125
Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal.216
126
Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal 15
127
Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit., Hal. 57-58
1.700.000 orang dan pada pembantaian suku minoritas Tutsi oleh suku mayoritas Hutu di

Rwanda yang menelan korban sekitar 800.000 jiwa di tahun 1994 telah memperkuat tekad

masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas dan menghukum para pelaku

berbagai kejahatan kemanusiaan tersebut. Untuk itu telah dibentuk Mahkamah Kriminal

Yugoslavia, Mahkamah Kriminal Rwanda, Sierra Leone dan Kamboja untuk mengadili dan

menghukum para penjahat kemanusiaan tersebut. Lahirnya Mahkamah Pidana Internasional

melalui Statuta Roma bulan Juli 1998 yang dapat mengadili para pelaku genosida, kejahatan

perang dan kejahatan terhadao kemanusiaan merupakan bukti nyata bahwa pada kasus-kasus

tertentu individu-individu pun telah dianggap subjek hukum internasional.128

Dari uraian-uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa individu merupakan subjek

hukum internasional dalam artian terbatas. Secara teori, hal ini dapat kita lihat dari adanya

konvensi-konvensi internasional yang mengatur dan memberikan perlindungan terhadap

individu. Secara praktik, dapat kita lihat dari putusan-putusan pengadilan internasional yang

menghukum individu sebagai pelaku kejahatan internasional. Namun, pengakuan individu

sebagai subjek hukum internasional adalah terbatas pada dimungkinkannya individu dituntut

di hadapan pengadilan internasional untuk bertanggung jawab secara pribadi atas nama diri

sendiri terhadap kejahatan internasional yang dilakukannya.

B. Impunity dalam Hukum Internasional

Kata ―impunity‖ yang ada dalam bahasa Inggris ternyata tidak ditemukan padanannya

dalam bahasa Indonesia resmi, paling tidak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang

diterbitkan oleh Balai Pustaka. Beberapa kalangan, terutama para advokat Hak Asasi Manusia

(HAM) menggunakan kata impunitas sebagai padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata ini

sendiri juga tidak lazim digunakan publik luas dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Kata

128
Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit., Hal. 58
―impunity‖ sendiri berasal dari bahasa Latin ―impunitas‖ yang berasal dari akar kata ―impune‖

yang artinya ‗tanpa hukuman‘129. Kata impunite atau impunity (impunitas, dalam serapan

bahasa Indonesia) diasosiasikan dengan situasi pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang

diciptakan atau dipelihara oleh negara atau sebagai hasil dari runtuhnya kekuasaan di sebuah

negara dan pelbagai institusinya.130 Secara umum impunitas dipahami sebagai ―tindakan yang

mengabaikan tindakan hukum terhadap pelanggaran (hak asasi manusia)‖ atau dalam

kepustakaan umum diartikan sebagai ―absence of punishment‖. Dalam perkembangannya

istilah impunity digunakan hampir secara ekslusif dalam konteks hukum, untuk menandakan

suatu proses di mana sejumlah individu luput dari berbagai bentuk penghukuman terhadap

berbagai tindakan illegal maupun kriminal yang pernah mereka lakukan.131

Seiring dengan kemajuan sistem hukum dan tata negara, definisi ―impunity‖

dalam kerangka hukum internasional di sini adalah ―ketidakmungkinan –de jure atau de

facto- untuk membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya baik dalam proses peradilan kriminal, sipil,

administratif atau disipliner karena mereka tidak dapat dijadikan objek pemeriksaan yang

dapat memungkinkan terciptanya penuntutan, penahanan, pengadilan dan, apabila dianggap

bersalah, penghukuman dengan hukuman yang sesuai, dan untuk melakukan reparasi kepada

korban- korban mereka‖.132

Impunity dapat ditemukan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Latin, namun dalam

Bahasa Indonesia, impunity dikenal dengan istilah impunitas. Impunity atau impunitas dapat

129
Louis Joinet, MENOLAK IMPUNITAS-Serangkaian Prinsip perlindungan dan pemajuan HAK
ASASI MANUSIA Melalui Upaya memerangi Impunitas Prinsip-prinsip hak korban,Edisi Terjemahan,
KONTRAS, Jakarta, 2005, Hal. i
130
Halili, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dan Pelanggengan Budaya Impunitas, JURNAL CIVICS:
Media Kajian Kewarganegaraan, Vol 7 No 1, 2010, Hal. 17. Jurnal dapat diakses pada
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=307209&val=474&title=PENGADILAN%20HAK%20ASA
SI%20MANUSIA%20DAN%20PELANGGENGAN%20BUDAYA%20IMPUNITAS
131
Genevieve Jacques Dalam Daniel Hutagalung, Negara dan Pelanggaran HAM Masa Lalu : Tuntutan
Pertanggungjawaban versus Impunitas, Jurnal Dignitas, Vol. 3 (1) (2005), Hal. 8
132
Louis Joinet, Op. Cit., Hal. i
kita artikan sebagai peniadaan hukum atau suatu keadaan tidak dihukumnya seseorang atas

kejahatan yang diperbuatnya. Kejahatan yang dilakukan dalam impunity biasanya adalah

kejahatan pelanggaran HAM dan juga kejahatan perang. Dalam hukum internasional,

impunity diartikan sebagai keadaan tidak mampunya negara menangkap, memeriksa,

mengadili, bahkan menghukum pelaku pelanggaran HAM untuk mempertanggungjawabkan

perbuatannya dihadapan hukum.

Terdapat empat faktor yang memelihara kelangsungan impunitas. Yakni, faktor

kekuasaan, faktor hukum, faktor budaya, dan faktor hubungan internasional yaitu133 :

1. Faktor Kekuasaan (power factor)


Tidak dihukumnya pelaku kejahatan HAM (impunitas) dapat disebabkan oleh
karena yang bersangkutan adalah orang kuat atau dekat penguasa yang memiliki
kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat saja disalahgunakan untuk melindungi orang
tersebut dari jerat hukum.
2. Faktor Hukum (legal factor)
Faktor hukum dapat juga berperan merawat praktek impunitas. Lemahnya
penegakan hukum dan tidak adanya peraturan hukum membuat pelaku impunitas
enggan untuk diadili dan tidak memiliki dasar hukum untuk diadili.
3. Faktor Budaya
Faktor budaya seperti budaya feodal membuat masyarakat tidak kritis, apatis dan
pesimis terhadap praktek impunitas.
4. Faktor Hubungan Internasional
Kurangnya implementasi perjanjian-perjanjian internasional dan lemahnya tekanan
internasional atas sebuah pelanggarana HAM turut menyebabkan lemahnya itikad
negara untuk menghukum pelaku pelanggaran HAM tersebut. Diperlukan
pengawasan internasional untuk mencegah praktek impunitas.
Praktek impunitas ini telah terjadi sejak berabad yang lalu diantaranya adalah gagalnya

Negara-negara Eropa untuk mengadili Raja Wilhelm II sebagaimana yang direkomendasikan

oleh Perjanjian Versailles, tidak diadilinya Kaisar Hirohito oleh Mahkamah Tokyo atas

keputusan AS, berbagai pengadilan pura-pura yang mengadili serdadu-serdadu rendah dengan

hukuman yang ringan dan melawan hari nurani keadilan masyarakat.134

133
Halili, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dan Pelanggengan Budaya Impunitas, JURNAL CIVICS:
Media Kajian Kewarganegaraan, Vol 7 No 1, 2010, Hal 11.
134
Abdul Hakim G Nusantara, Sebuah Upaya Memutus Impunitas : Tanggung Jawab Komando Dalam
Pelanggaran Berat HAM, Jurnal HAM Komisi Nasional HAM Vol.2 No.2, November 2004, p.viii Dalam
Dapat kita lihat bahwa impunitas telah terjadi sangat lama dan sering dilakukan oleh

raja dan juga orang yang dekat dengan raja atau penguasa. Hal ini karena kekuasaan yang

mereka miliki sehingga sangat susah menyeret mereka ke pengadilan. Tentu hal ini menyalahi

hukum karena semua dihadapan hukum adalah sama (equality before the law), sehingga

siapapun yang bersalah harus dihukum terlepas dari apapun status maupun jabatannya. Tidak

ada pengistimewaan dalam hukum, siapapun orangnya, baik itu presiden, hakim, pedagang,

petani, dan lain sebagainya, dihadapan hkuum adalah sama.

C. Pengaturan Tanggung Jawab Individu berdasarkan Statuta Roma 1998

Untuk memerangi impunity atau impunitas, maka dunia internasional membuat

pengadilan internasional. Dengan adanya pengadilan internasional, maka lahirlah prinsip

tanggung jawab individu untuk memerangi impunity sekaligus penguatan pengakuan individu

sebagai subjek hukum internasional walaupun secara terbatas. Dengan adanya tanggung jawab

individu maka pelaku kejahatan internasional siapapun orangnya, walaupun kepala negara

atau penguasa, dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui

pengadilan internasional.

Upaya untuk mengadili para penjahat perang setelah PD II kemudian dinyatakan dalam

Perjanjian London (London Agreement) yang dibuat oleh empat negara sekutu (Amerika,

Inggris, Prancis dan Uni Soviet) pada tanggal 8 Agustus 1945. Selanjutnya, hal tersebut

diwujudkan melalui pembentukan dua Pengadilan Militer Internasional (International

http://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/00000000_Kajian_Ratifikasi-statuta-roma-1998_ELSAM.pdf ,
Diakses pada tanggal 1 April 2017, pada pukul 00:01 WIB.
Military Tribunal) di Nuremberg (1945) dan Tokyo (1946) untuk mengadili penjahat perang

yang utama.135

Pengadilan Nuremberg telah menjatuhkan pidana mati terhadap tujuh orang terdakwa,

pidana seumur hidup atas tiga orang terdakwa dan pidana penjara dengan lamanya pidana

yang bervariasi atas empat orang terdakwa, dan dibebaskan untuk tiga orang terdakwa. Selain

dari itu, menetapkan enam organisasi yang terlibat di dalam PD II sebagai organisasi

kejahatan dan membebaskan dua organisasi tuduhan. Adapun pengadilan Tokyo telah

menjatuhi pidana mati terhadap tujuh orang terdakwa dan 16 orang terdakwa dijatuhi pidana

semumur hidup serta pidana penjara dengan variasi lamanya pidana terhadap dua orang

terdakwa.136 Dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep

individual criminal responsibility.137

Prinsip tanggung jawab individu dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional

Nuremberg, dapat kita lihat dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Piagam Pengadilan Militer

Internasional Nuremberg138. Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg,

adalah :

―The Tribunal established by the Agreement referred to in Article 1 here of for


the trial and punishment of the major war criminals of the European Axis countries
shall have the power to try and punish persons who, acting in the interests of the
European Axis countries, whether as individuals or as members of organizations,
committed any of the following crimes. The following acts, or any of them, are crimes
coming within the jurisdiction of the Tribunal for which there shall be individual
responsibility: crimes against peace…; war crimes…;crimes against humanity…;.
Leaders, organizers, instigators and accomplices participating in the formulation or
execution of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing crimes are
responsible for all acts performed by any persons in execution of such plan.‖
Terjemahan Bebas :
135
Audrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal. 216
136
Audrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal. 217
137
http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Tentang-Pengadilan-HAM-Internasional.pdf
Diakses pada tanggal 1 April 2017, pada pukul 01:21 WIB.
138
Piagam Militer Internasional Nuremberg dapat diunduh pada http://www.jura.uni-
muenchen.de/fakultaet/lehrstuehle/satzger/materialien/img1945e.pdf
Pengadilan didirikan oleh Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
perjanjian untuk melakukan sidang dan memberi hukuman dari para penjahat perang
utama dari negara-negara Eropa Axis, yang mana pengadilan akan memiliki kekuatan
untuk memeriksa dan menghukum orang-orang yang bertindak dalam Negara-negara
Eropa Axis, baik sebagai individu atau sebagai anggota organisasi, melakukan suatu
kejahatan berikut. Semua tindakan-tindakan berikut, atau salah satu dari kejahatan
berikut, adalah kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan yang harus ada tanggung jawab
individu: kejahatan terhadap perdamaian…; kejahatan perang…; kejahatan terhadap
kemanusiaan…;. Pemimpin, penyelenggara, penghasut dan anak buah yang
berpartisipasi dalam perumusan atau pelaksanaan rencana umum atau konspirasi untuk
melakukan salah satu kejahatan tersebut bertanggung jawab untuk semua tindakan
yang dilakukan oleh setiap orang dalam pelaksanaan rencana tersebut.

Pasal 7 Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg, adalah :

―The official position of defendants, whether as Heads of State or responsible


officials in Government Departments, shall not be considered as freeing them from
responsibility or mitigating punishment.‖

Terjemahan Bebas :

Posisi resmi terdakwa, apakah sebagai Kepala Negara atau penanggung jawab
atau para pejabat di Departemen Pemerintah, tidak akan dianggap sebagai
membebaskan mereka dari tanggung jawab atau hukuman yang meringankan.

Tanggung jawab individu dapat kita lihat dari pasal-pasal tersebut yaitu dalam Pasal 6

disebutkan bahwa pelaku kejahatan terhadap tiga jenis kejahatan yaitu kejahatan terhadap

perdamaain, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut

pertanggungjawabannya melalaui pengadilan internasional yaitu Pengadilan Militer

Internasional Nurenberg. Tangggung jawab individu tersebut juga dikuatkan dalam pasal 7

yaitu siapapun orangnya atau apapun jabatan yang diemban individu, baik kepala negara atau

pejabat, yang melakukan kejahatan tersebut harus dihukum dan tidak berhak memperoleh

keringanan hukuman.

Dalam perkembangannya, prinsip tanggung jawab individu diterapkan juga ke dalam

berbagai pengadilan internasional. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Statuta Pengadilan

Pidana Internasional Ad hoc untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the
Former Yugoslavia139 atau ICTY dan Pasal 6 Statuta Pengadilan Pidana Internasional Ad hoc

untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda140 atau ICTR, yaitu

1. A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and


abetted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in articles
2 to 5 of the present Statute, shall be individually responsible for the crime.
2. The official position of any accused person, whether as Head of State or
Government or as a responsible Government official, shall not relieve such person
of criminal responsibility nor mitigate punishment.
3. The fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present Statute was
committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility
if he knew or had reason to know that the subordinate was about to commit such
acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable
measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof.
4. The fact that an accused person acted pursuant to an order of a Government or of
a superior shall not relieve him of criminal responsibility, but may be considered
in mitigation of punishment if the International Tribunal determines that justice so
requires.

Terjemahan Bebas :
1. Seseorang yang merencanakan, menghasut, memerintahkan, berkomitmen atau
membantu dan bersekongkol dalam perencanaan, persiapan atau pelaksanaan
kejahatan dimaksud dalam artikel 2 sampai 5 dari Statuta ini, harus secara individu
bertanggung jawab atas kejahatan itu.
2. Posisi resmi dari setiap orang yang dituduh, apakah sebagai Kepala Negara atau
Pemerintah atau sebagai pejabat pemerintah yang bertanggung jawab, tidak akan
membebaskan orang tersebut dari tanggung jawab pidana atau mengurangi
hukuman.
3. Fakta bahwa salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam artikel 2 sampai 5
dari Statuta ini dilakukan oleh seorang bawahan tidak membebaskan atasannya
dari tanggung jawab pidana jika ia tahu atau seharusnya tahu bahwa bawahan itu
mau melakukan tindakan seperti atau telah melakukannya dan atasan tidak
mengambil tindakan yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah tindakan
tersebut atau untuk menghukum pelakunya.
4. Kenyataan bahwa seorang terdakwa bertindak sesuai dengan perintah dari
Pemerintah atau dari atasan tidak akan membebaskannya dari tanggung jawab
pidana, tetapi dapat dipertimbangkan dalam mitigasi hukuman jika Pengadilan
Internasional menentukan bahwa keadilan sehingga membutuhkan.

Seperti yang telah disebutkan di latar belakang atau pendahuluan dalam skripsi ini

bahwa ICC merupakan pengadilan yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan

suatu perjanjian internasional (treaty), yaitu Statuta Roma (―The Rome Statute of

the

139
Statuta International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dapat diunduh pada
http://www.icty.org/x/file/Legal%20Library/Statute/statute_sept09_en.pdf
140
Statuta International Criminal Tribunal for Rwanda Dapat diunduh pada
http://www.icls.de/dokumente/ictr_statute.pdf
International Criminal Court‖) tahun 1998. Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002

setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda).


141
ICC berdasarkan Statuta Roma 1998 juga dibentuk untuk memutuskan rantai

kekebalan hukum atau impunity bagi para pelaku yang melakukan kejahatan berdasarkan

statuta ini. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan atau Preumbule Statuta Roma 1998, yaitu

―Determined to put an end to impunity for the perpetrators of these crimes and thus

to contribute to the prevention of such crimes,..‖.

Dalam memerangi impunity tersebut, ICC berdasarkan Statuta Roma 1998 menganut

prinsip tanggung jawab individu agar siapapun pelakunya, baik itu kepala negara maupun

pejabat, dapat diadili dan dihukum atas kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi ICC

yang dilakukan individu tersebut. Pengaturan tanggung jawab individu dalam Statuta Roma

1998 dapat kita lihat pada Pasal 25 Statuta Roma 1998.

Pasal 25 Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa, :

Individual criminal responsibility

1. The Court shall have jurisdiction over natural persons pursuant to this Statute.
2. A person who commits a crime within the jurisdiction of the Court shall be
individually responsible and liable for punishment in accordance with this Statute.
3. In accordance with this Statute, a person shall be criminally responsible and liable for
punishment for a crime within the jurisdiction of the Court if that person:
(a) Commits such a crime, whether as an individual, jointly with another or
through another person, regardless of whether that other person is criminally
responsible;
(b) Orders, solicits or induces the commission of such a crime which in fact
occurs or is attempted;
(c) For the purpose of facilitating the commission of such a crime, aids, abets or
otherwise assists in its commission or its attempted commission, including
providing the means for its commission;
(d) In any other way contributes to the commission or attempted commission of
such a crime by a group of persons acting with a common purpose. Such
contribution shall be intentional and shall either:
i. Be made with the aim of furthering the criminal activity or
criminal purpose of the group, where such activity or

141
Statuta Roma 1998 dapat diunduh pada https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-
be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf, terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dapat diunduh pada
http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/10/Statuta-Roma.pdf
purpose involves the commission of a crime within the
jurisdiction of the Court; or
ii. Be made in the knowledge of the intention of the group to
commit the crime;
(e) In respect of the crime of genocide, directly and publicly incites others to
commit genocide;
(f) Attempts to commit such a crime by taking action that commences its
execution by means of a substantial step, but the crime does not occur because
of circumstances independent of the person's intentions. However, a person
who abandons the effort to commit the crime or otherwise prevents the
completion of the crime shall not be liable for punishment under this Statute
for the attempt to commit that crime if that person completely and voluntarily
gave up the criminal purpose.
4. No provision in this Statute relating to individual criminal responsibility shall affect
the responsibility of States under international law.

Pada Pasal 25 Statuta Roma 1998 dapat kita ketahui bahwa prisip tanggung jawab

individu diatur dalam Statuta Roma 1998, yaitu :

1. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 1 dan 4, Mahkamah Pidana

Internasional memiliki kewenangan atau yurisdiksi hanya terhadap individu atau

person bukan negara,sehingga dalam hal ini hanya individu yang dapat dikenakan

tanggung jawab. Individu tidak dapat berlindung dibalik negara dan tanggung

jawab individu tersebut tidak dapat dialihkan menjadi tanggung jawab negara.

Individu harus bertanggung jawab secara individual terhadap perbuatannya.

2. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 2, individu hanya dapat dapat

dikenakan tanggung jawab dan dihukum atas kejahatan-kejahatan internasional

yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Kejahatan-kejahatan

internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dapat kita

lihat pada Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998 yaitu, kejahatan genosida, kejahatan

terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

3. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3 Seseorang atau individu yang

dapat dikenakan tanggung jawab individu dan dapat dihukum atas kejahatan
internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, apabila

individu tersebut :

a) Berdasarkan Huruf a Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3

Melakukan kejahatan, baik itu sendiri, bersama-sama dengan orang lain,

ataupun melalui orang lain. Dalam hal ini individu tersebut harus

bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya, walaupun

individu tersebut melakukannya bersama orang lain ataupun dalam

perantaraan melalui orang lain. Mahkamah Pidana Internasional tidak

mengenal tanggung jawab kolektif atau bersama dan tanggung jawab

individu tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Individu harus

bertanggung jawab secara individual atas kejahatan yang diperbuatanya

sesuai dengan perannya dalam melakukan kejahatan tersebut.

b) Berdasarkan Huruf b Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3

Memerintahkan, mengusahakan, mendorong dilakukannya kejahatan atau

percobaan kejahatan dapat dikenakan tanggung jawab individu dan dapat

dihukum.

c) Berdasarkan Huruf c Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3

Mempermudah terjadinya kejahatan atau percobaan dengan cara

membantu, kerja sama atau persengkongkolan, dan juga memberikan

sarana dan fasilitas untuk melakukan kejahatan.

d) Berdasarkan Huruf d Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3

Memberikan kontribusi bagi terjadinya kejahatan atau percobaan yang

dilakukan oleh sekelompok orang atas tujuan bersama. Kontribusi tersebut

harus dilandasi dengan kesengajaan dan dilakukan dengan tujuan untuk

mewujudkan kejahatan tersebut sebagai tujuan bersama atau dapat juga


karena dilakukan berdasarkan pengetahuan atas niat dari kelompok tersebut

untuk melakukan kejahatan.

e) Berdasarkan Huruf e Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3

Khusus untuk kejahatan genosida, secara langsung atau tidak langsung

mengahasut atau membujuk orang lain melakukan genosida.

f) Berdasarkan Huruf f Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3

Walaupun kejahatan tersebut tidak terjadi, individu tersebut tetap dapat

dihukum dan dikenakan tanggung jawab individu kecuali individu tersebut

benar-benar secara sukarela dan kesadaran menarik diri atau meninggalkan

dari tujuan terwujudnya kejahatan tersebut dengan cara mencegah

terwujudnya kejahatan tersebut.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaturan tanggung

jawab individu dalam Statuta Roma 1998 dapat kita temukan dalam Pasal 25 Statuta Roma

1998 yang pada intinya menyatakan bahwa siapapun yang dengan salah satu atau lebih dari

cara-cara berikut: melakukan; memerintahkan; membantu; bekerja sama; memberikan fasilitas

dan atau menghasut; baik secara pribadi maupun berkelompok; pada kejahatan internasional

yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yaitu kejahatan genosida, kejahatan

terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi, dapat dikenakan tanggung

jawab individu dan dihukum berdasarkan Statuta Roma 1998.


BAB IV

PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB INDIVIDU DALAM

PENGHANCURAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK

BERSENJATA DI MALI

A. Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Sebagai Kejahatan Perang

―Perang‖ tampaknya sudah menjadi kata yang umum dan lazim dipergunakan secara

luas dalam berbagai konteks situasi. Namun, sebagai sebuah terma hukum internasional, ada

pemahaman spesifik tentang perang. Meski begitu, sampai saat ini tidak ada defenisi spesifik

tentang perang yang diberikan oleh norma hukum internasional. Dengan demikian, sejauh ini

defenisi tentang perang lebih banyak bersumber dari pendapat-pendapat akademisi dengan

mempertimbangkan praktik negara-negara.142

Oppenheim berpendapat bahwa perang adalah, ―…a contention between two or more

States through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing

such conditions of peace as the victor pleases.‖ Seorang ahli hukum internasional yang lain,

Dinstein dengan berlandaskan defenisi perang oleh

Oppenheim tersebut, berpendapat bahwa perang memiliki unusr-unsur sebagai berikut :143

a. Ada permusuhan di antara setidaknya dua negara;


b. Ada penggunaan angkatan bersenjata oleh negara-negara yang terlibat;
c. Ada tujuan untuk mengalahkan negara yang menjadi musuh
d. Tujuan mengalahkan musuh secara simetris ada pada negara-negara yang terlibat
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengertian perang belum didefenisikan secara

mutlak dalam hukum internasional. Defenisi perang seringkali dimaknai secara sempit, yaitu

bahwa perang hanya melibatkan negara-negara dalam konflik bersenjata antar negara.

142
Ari Siswanto Op. Cit., Hal. 146
143
Ibid, Hal. 147
Secara sistematik, konflik bersenjata dapat dibedakan menjadi dua kategori besar,

yakni konflik bersenjata yang bersifat internasional dan konflik bersenjata yang tidak bersifat

internasional/non-internasional (internal atau domestik). Konflik bersenjata dikatakan bersifat

internasional kalau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut adalah negara berhadapan

denngan negara. Konflik bersenjata dikategorikan sebagai konflik non-internasional kalau

yang berhadapan dalam konflik itu adalah setidaknya salah satunya adalah kelompok

bersenjata bukan negara (non-state armed group).144

Hal tersebut menunjukkan bahwa defenisi perang yang dimaknai secara sempit yaitu

konflik bersenjata antara negara melawan dengan negara, adalah salah satu dari wujud konflik

bersenjata berupa konflik bersenjata internasional. Secara luas, perang tidak hanya melibatkan

antara negara melawan negara. Tetapi perang juga dapat melibatkan antara negara melawan

bukan negara, contohnya perang saudara atau perang sipil dan perang negara melawan

pemberontak atau kelompok ekstrimis. Perang tersebut dapat dikategorikan sebagai konflik

bersenjata non-internasional. Sehingga, pemaknaan perang secara luas dapat disebut dengan

istilah konflik bersenjata yang terdiri dari konflik bersenjata internasional dan konflik

bersenjata non internasional.

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang

menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal

250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan

bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu merugikan umat manusia, sehingga

kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-

ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa. Selanjutnya beliau mengatakan,

bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional moderen sebagai

144
Ibid, hal 147-148
suatu sistem hukum yang berdiri sendiri di mulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum

perang.145

Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut hukum perang, atau hukum

sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. Atau

sama tuanya dengan perang itu sendiri. Umumnya aturan-aturan tentang perang itu termuat

dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Aturan –aturan ini antara lain terdapat dalam

ajaran agama Budha, Konfusius, Yahudi, Kristen dan Islam. Bahkan pada masa 3000-1500

SM ketentuan-ketentuan ini sudah ada pada bangsa Sumeria, Babilonia dan Mesir Kuno.

Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war).146

Sepanjang sejarah peradaban manusia, manusia selalu berusaha untuk

mempertahankan dirinya terhadap konflik dengan sesama manusia lainnya sehingga terjadilah

perang. Dikarenakan akibat-akibat perang yang sangat dahsyat dan merugikan umat manusia,

manusia lalu membuat pembatasan, peraturan dan ketentuan dalam perang untuk

meminimalisir akibat perang tersebut. Pembatasan, peraturan dan ketentuan dalam perang

menghasilkan hukum perang yang digunakan sebagai pedoman dalam berperang. Dalam

perkembangannya, istilah hukum perang mengalami perubahan dari hukum sengketa

bersenjata, hingga pada saat ini dikenal sebagai hukum humaniter internasional dan menjadi

cabang dari khasanah hukum internasional . Pemaknaan defenisi perang yang luas

mengakibatkan hukum humaniter internasional berlaku bagi tiap jenis konflik bersenjata, baik

itu konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non-internasional.

Hukum Humaniter Internasional sebagai cabang dari hukum internasional juga

memiliki sumber hukum yang sama dengan hukum internasional. Sumber Hukum Humaniter

Internasional dapat kita lihat pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional yaitu

meliputi : perjanjian internasional (treaty), hukum kebiasaan internasional (customary


145
Sulaiman Hamid, S.H. dan H. Bachtiar Hamzah, S.H., Hukum Humaniter Internasional, Penerbit
USU Press, Medan, 1998, Hal.26
146
Arlina Permanasari dkk., Op. Cit., hal. 1
international law), prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law), yurisprudensi

(judicial decisions) dan doktrin (doctrine) atau pendapat para ahli yang telah diakui

kepakarannya atau reputasinya (teaching of the most highly qualified publicists).147

Substansi hukum humaniter internasional dapat dibedakan menjadi dua kelompok

utama yang saling berkaitan, yakni kelompok Hukum Den Haag (the Law of the Hague) dan

kelompok Hukum Jenewa (the Law of Geneva). Secara substantif, Hukum Den Haag lebih

banyak berisi norma tentang perilaku dalam perang dan sarana serta cara yang diperbolehkan

dalam perang (conduct of war and permissible means and methods of war). Sementara itu,

Hukum Jenewa lebih banyak memuat perlindungan terhadap korban perang yang berada

dalam penguasaan musuh (protection of war victims in enemy hands). Secara konsisten,

substansi kedua kelompok norma tersebut sejalan dengan tujuan utama hukum humaniter

internasional, yakni untuk memanusiawikan perang/konflik bersenjata.148

Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa sumber hukum humaniter

internasional terdapat pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Sumber hukum

humaniter internasional tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yakni

kelompok Hukum Den Haag (the Law of the Hague) yang mengatur tentang cara-cara

berperang dan kelompok Hukum Jenewa (the Law of Geneva) yang mengatur tentang

perlindungan korban perang. Adapaun, Hukum Humaniter Internasional dibuat bukanlah

untuk meniadakan perang atau konflik bersenjata melainkan untuk memanusiawikan perang

atau meminimalisir korban dan kerugian perang atau konflik bersenjata.

Secara sederhana, ―kejahatan perang‖ berpangkal dari tindakan yang

melanggar hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata. Istilah ―kejahatan perang‖ sendiri

sebenarnya agak menyesatkan. Kata ―perang‖ dalam istilah itu bisa mengarahkan

orang untuk menganggap bahwa kejahatan perang hanya dapat terjadi dalam kondisi perang

yang dimaknai
147
Audrey Sujatmoko, Op. Cit., hal. 169
148
Ari Siswanto, Op. Cit., hal.151-152
secara sempit, yakni konflik bersenjata internasional (antar negara) yang berskala luas.

Padahal, konsep ―perang‖ yang tidak mengalami banyak perkembangan berbanding

terbalik dengan konsep ―hukum perang‖ yang mengalami banyak perkembangan yang

sampai pada akhirnya berkembang menjadi hukum humaniter internasional yang mana tidak

hannya mengatur konflik bersenjata internasional saja, tapi juga mengatur konflik bersenjata

non- internasional. Sehingga, dengan pemahaman tersebut , istilah ―kejahatan perang‖ lebih

tepat dipahami bukan sebagai pelanggaran serius terhadap hukum perang (dalam arti sempit),

melainkan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional.149

Hal tersebut menunjukkan, bahwa kejahatan perang tidak cocok dipahaami hanya

sebagai pelanggaran hukum perang dalam arti sempit yang hanya melibatakan negara

melawan negara atau konflik bersenjata internasional saja. Kejahatan perang, harus dipahami

secara luas, tidak hanya pelanggaran dalam konflik bersenjata internasional, tapi juga

pelanggaran dalam konflik bersenjata non-internasional. Sehingga, pada intinya, dapat

dikatakan bahwa kejahatan perang adalah pelanggaran serius terhadap hukum humaniter

internasional.

Kejahatan perang adalah salah satu dari kejahatan internasional yang menjadi

yurisdiksi atau kewenangan ICC. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma

1998 yang menjelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang menjadi yuridiksi ICC adalah

kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.

Pengaturan kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998 dapat kita temukan dalam Pasal 8

Statuta Roma 1998 sebagaimana disebutkan bahwa :

1. Mahkamah mempunyai jurisdiksi berkenaan dengan kejahatan perang pada khususnya


apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai
bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut.
2. Untuk keperluan Statuta ini, ―kejahatan perang‖ berarti:
(a) Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949,
yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak-

149
Ibid, hal 165-166
milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang
bersangkutan:
(i) Pembunuhan yang dilakukan dengan sadar;
(ii) Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk
percobaan biologis;
(iii) Secara sadar menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius
terhadap badan atau kesehatan;
(iv) Perusakan meluas dan perampasan hak-milik, yang tidak
dibenarkan oleh kebutuhan militer dan dilakukan secara tidak sah dan
tanpa alasan;
(v) Memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang
dilindungi untuk berdinas dalam pasukan dari suatu
Angkatan Perang lawan;
(vi) Secara sadar merampas hak-hak seorang tawanan perang atau
orang lain yang dilindungi atas pengadilan yang jujur dan
adil;
(vii) Deportasi tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah;
(viii) Menahan sandera.

(b) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang dapat diterapkan
dalam sengketa bersenjata internasional, dalam rangka hukum internasional
yang ditetapkan, yaitu salah satu perbuatan-perbuatan berikut ini:
(i) Secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk
sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara
langsung dalam pertikaian itu;
(ii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap objek-objek sipil, yaitu,
objek yang bukan merupakan sasaran militer;
(iii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi,
material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan
kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam
Perserikatan Bangsa- Bangsa, sejauh bahwa mereka berhak atas
perlindungan yang diberikan kepada objek-objek sipil berdasarkan
hukum internasional mengenai sengketa bersenjata;
(iv) Secara sengaja melancarkan suatu serangan dengan mengetahui bahwa
serangan tersebut akan menyebabkan kerugian insidentil terhadap
kehidupan atau kerugian terhadap orang-orang sipil atau kerusakan
terhadap objek-objek sipil atau kerusakan yang meluas, berjangka-
panjang dan berat terhadap lingkungan alam yang jelas-jelas terlalu
besar dalam kaitan dengan keunggulan militer keseluruhan secara
konkret dan langsung dan yang dapat diantisipasi;
(v) Menyerang atau membom, dengan sarana apa pun, kota-kota, desa,
perumahan atau gedung yang tidak dipertahankan atau bukan objek
militer;
(vi) Membunuh atau melukai seorang lawan yang, setelah meletakkan
senjata atau tidak mempunyai sarana pertahanan lagi, telah
menyerahkan diri atas kemauannya sendiri;
(vii) Memanfaatkan secara tidak benar bendera gencatan senjata, atau
bendera atau lencana dan seragam militer dari pihak lawan atau milik
Perserikatan Bangsa-Bangsa, maupun tanda-tanda khusus dari
Konvensi Jenewa, yang menyebabkan kematian atau luka-luka serius
pada individu-individu tertentu;
(viii) Pemindahan, secara langsung atau tidak langsung, oleh Pasukan
Pendudukan terhadap sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke
wilayah yang didudukinya, atau deportasi atau pemindahan semua atau
sebagian dari wilayah yang diduduki itu baik di dalam wilayah itu
sendiri maupun ke luar wilayah tersebut;
(ix) Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang
digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian,
keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-
tempat di mana orang-orang sakit dan terluka dikumpulkan, sejauh
bahwa tempat tersebut bukan objek militer;
(x) Membuat orang-orang yang berada dalam kekuasaan suatu pihak yang
bermusuhan menjadi sasaran perusakan fisik atau percobaan medis atau
ilmiah dari berbagai jenis yang tidak dapat dibenarkan oleh perawatan
medis, gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun
yang dilakukan tidak demi kepentingannya, dan yang menyebabkan
kematian atau sangat membahayakan kesehatan orang atau orang-orang
tersebut;
(xi) Membunuh atau melukai secara curang orang-orang yang termasuk
pada bangsa atau angkatan perang lawan;
(xii) Menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal bagi para
tawanan;
(xiii) Menghancurkan atau merampas hak-milik lawan kecuali kalau
penghancuran atau perampasan tersebut dituntut oleh kebutuhan perang
yang tak dapat dihindarkan;
(xiv) Menyatakan penghapusan, penangguhan atau tidak dapat diterimanya
dalam suatu pengadilan hak-hak dan tindakan warga negara dari pihak
lawan;
(xv) Memaksa warga negara dari pihak yang bemusuhan untuk ambil bagian
dalam operasi perang yang ditujukan terhadap negaranya sendiri,
bahkan kalau mereka berada dalam dinas lawan sebelum dimulainya
perang;
(xvi) Menjarah kota atau tempat, bahkan apabila tempat tersebut dikuasai
lewat serangan;
(xvii) Menggunakan racun atau senjata yang dibubuhi racun;
(xviii) Menggunakan gas yang menyesakkan napas, beracun atau lain-lain dan
semua cairan, bahan atau peralatan yang serupa;
(xix) Menggunakan peluru yang melebar atau menjadi rata dengan mudah di
dalam badan seseorang, seperti misalnya peluru dengan selongsong
keras yang tidak seluruhnya menutupi intinya atau yang ditusuk dengan
torehan;
(xx) Menggunakan senjata, proyektil dan material serta metode peperangan
yang merupakan suatu sifat yang dapat menimbulkan kerugian yang
luar biasa besar atau penderitaan yang tidak perlu atau yang secara
hakiki tidak pandang bulu dengan melanggar hukum internasional
mengenai sengketa bersenjata dengan syarat bahwa senjata, proyektil
dan material serta metode peperangan tersebut merupakan masalah
pokok dari suatu larangan menyeluruh dan dimasukkan dalam lampiran
kepada Statuta ini, dan dengan amendemen yang sesuai dengan
ketentuan-ketentuan relevan yang diatur dalam pasal 121 dan 123;
(xxi) Melakukan kebiadaban terhadap martabat pribadi, terutama perlakuan
yang mempermalukan dan merendahkan martabat manusia;
(xxii) Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,
kehamilan paksa, sebagaimana didefinisikan dalam pasal 7, ayat 2(f),
sterilisasi yang dipaksakan, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain
yang juga merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa;
(xxiii) Memanfaatkan kehadiran seorang sipil dan orang lain yang dilindungi
untuk menjadikan beberapa tempat, daerah atau pasukan militer tertentu
kebal terhadap operasi militer;
(xxiv) Secara sengaja menujukan serangan terhadap gedung, material, satuan
dan angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana yang
jelas dari Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;
(xxv) Secara sengaja memanfaatkan kelaparan orang-orang sipil sebagai suatu
metode peperangan dengan memisahkan mereka dari objek-objek yang
sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka, termasuk secara sadar
menghambat pengiriman bantuan sebagaimana ditetapkan berdasarkan
Konvensi Jenewa;
(xxvi) Menetapkan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur
lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata nasional atau
menggunakan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam
pertikaian.

(c) Dalam hal suatu sengketa bersenjata yang bukan merupakan suatu persoalan
internasional, pelanggaran serius terhadap pasal 3 yang umum bagi empat
Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu, salah satu dari perbuatan
berikut ini yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak ambil bagian aktif
dalam pertikaian, termasuk para anggota angkatan bersenjata yang telah
meletakkan senjata mereka dan orang-orang yang ditempatkan di luar
pertempuran karena menderita sakit, luka, ditahan atau suatu sebab lain:
(i) Kekerasan terhadap kehidupan dan orang, khususnya pembunuhan dari
segala jenis, pemotongan anggota tubuh (mutilasi), perlakuan kejam dan
penyiksaan;
(ii) Melakukan kebiadaban terhadap martabat orang, khususnya perlakuan yang
mempermalukan dan merendahkan martabat;
(iii)Menahan sandera;
(iv)Dijatuhkannya hukuman dan dilaksanakannya hukuman mati tanpa
keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang ditetapkan secara
reguler, yang menanggung semua jaminan hukum yang pada umumnya
diakui sebagai tak terelakkan.

(d) Ayat 2 (c) berlaku bagi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional
dan dengan demikian tidak berlaku bagi keadaan-keadaan kekacauan dan
ketegangan dalamnegeri, seperti misalnya huru-hara, tindakan kekerasan secara
terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain yang sama sifatnya.

(e) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam
sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, dalam rangka hukum
internasional yang ditetapkan, yaitu salah satu dari perbuatan-perbuatan berikut
ini:
(i) Secara sengaja melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau terhadap
masing-masing penduduk sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam
pertikaian;
(ii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung, material, satuan dan
angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana Konvensi
Jenewa sesuai dengan hukum internasional;
(iii)Secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material,
satuan atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi
penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada orang-
orang dan objek-objek sipil berdasarkan hukum perang;
(iv)Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang
digunakan untuk keperluan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan
atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di mana
orang-orang yang sakit dikumpulkan, dengan syarat bahwa hal-hal tersebut
bukan sasaran militer;
(v) Menjarah suatu kota atau tempat, sekalipun tempat itu dikuasai lewat
serangan;
(vi)Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,
kehamilan paksa, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7, ayat 2(f),
sterilisasi yang dipaksakan, dan suatu bentuk lain kekerasan seksual yang
juga merupakan pelanggaran serius terhadap pasal 3 yang umum bagi
empat Konvensi Jenewa;
(vii) Memberlakukan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur
lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau menggunakannya untuk
ikut serta secara aktif dalam pertikaian;
(viii) Mengatur perpindahan penduduk sipil dengan alasan yang berkaitan
dengan sengketa, kecuali kalau keamanan orang-orang sipil tersebut
terancam atau alasan militer yang amat penting menuntutnya;
(ix)Membunuh atau melukai secara curang seorang lawan tempur;
(x) Menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal kepada tawanan;
(xi)Menempatkan orang-orang yang berkuasa dari pihak lain dalam sengketa
itu sebagai sasaran mutilasi atau pemotongan anggota tubuh secara fisik
atau percobaan medis atau suatu jenis percobaan ilmiah yang tidak dapat
dibenarkan oleh perlakuan medis, perawatan gigi atau rumah sakit dari
orang yang bersangkutan ataupun tidak melaksanakan demi
kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau menimbulkan
bahaya serius terhadap kesehatan dari orang atau orang-orang tersebut;
(xii) Menghancurkan atau merampas hak milik dari seorang lawan kecuali
kalau penghancuran atau perampasan tersebut sangat dituntut oleh
kebutuhan dari sengketa tersebut;
(f) Ayat 2(e) berlaku untuk sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional
dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi kekacauan dan
ketegangan dalam negeri, seperti misalnya huru-hara, tindakan kekerasan
secara terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain dengan sifat yang
sama. Ayat ini berlaku terhadap sengketa bersenjata yang berlangung dalam
wilayah suatu Negara apabila terjadi sengketa bersenjata yang berkelanjutan
antara para pejabat pemerintah dan kelompok bersenjata terorganisasi atau
antara kelompok- kelompok semacam itu.
3. Tidak ada dalam ayat 2(c) dan (d) akan mempengaruhi tanggung jawab suatu
Pemerintah untuk mempertahankan atau menetapkan kembali hukum dan ketertiban
dalam Negara atau untuk mempertahankan kesatuan dan integritas teritorial dari
Negara tersebut, dengan semua sarana yang sah.
Berdasarkan Pasal 8 Statuta Roma 1998 kita dapat melihat bahwa pengaturan

kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998 berlaku dalam konflik bersenjata internasional dan

konflik bersenjata non-internasional. Selain itu secara ringkas kita dapat membagi kejahatan

perang dalam Statuta Roma 1998 menjadi 4 bagian atau kriteria yaitu terdiri dari ketentuan-

ketentuan yang terdapat di dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan ketentuan-ketentuan

yang terdapat di dalam hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata, baik yang bersifat

internasional maupun non-internasional.

Dengan kriteria-kriteria tersebut Berdasarkan Pasal 8 Statuta Roma 1998, Statuta

Roma 1998 mengenal empat kategori kejahatan perang, sebagaimana ditampilkan dalam tabel

berikut150 :

TABEL 1.2. Kategori Kejahatan Perang Berdasarkan Statuta ROMA 1998

SENGKETA BERSENJATA INTERNASIONAL SENGKETA BERSENJATA NON-

INTERNASIONAL

Kategori I Kategori III


Pelanggaran serius terhadap Konvensi- Pelanggaran serius terhadap common article
konvensi Jenewa 1949 (Pasal 8 ayat 2 huruf a 3 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Pasal 8
Statuta Roma 1998) ayat 2 huruf c Statuta Roma 1998)
Kategori II Kategori IV
Pelanggaran serius terhadap hukum dan Pelanggaran serius terhadap hukum dan
kebiasaan dalam konflik bersenjata kebiasaan dalam konflik bersenjata non-
internasional (Pasal 8 ayat 2 huruf b Statuta internasional (Pasal 8 ayat 2 huruf e Statuta
Roma 1998) Roma 1998)
Secara umum, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dapat

dikategorikan sebagai kejahatan perang. Seperti yang telah diuraikan dalam bab 2 tentang

kedudukan benda budaya dalam konflik bersenjata bahwa berdasarkan Hukum Humaniter

Internasional melalui konvensi-konvensi internasional, benda budaya dipersamakan dengan

obyek sipil sepanjang tidak dipergunakan untuk kepentingan militer. Oleh karena itulah,

150
Diolah dari Statuta Roma 1998 dalam Arie Siswanto, hal 172
benda budaya dilindungi dan tidak boleh diserang atau dijadikan target serangan dalam

konflik bersenjata. Pelanggaran terhadap ketentuan hukum humaniter internasional tersebut

adalah merupakan kejahatan perang.

Statuta Roma 1998 juga memiliki pengaturan tentang kejahatan perang yang seperti

sudah dijelaskan, diatur dalam Pasal 8 Statuta Roma 1998. Secara khusus berdasarkan Statuta

Roma 1998, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata juga dikategorikan sebagai

kejahatan perang, yaitu :

1. Pasal 8 ayat 2 huruf b Statuta Roma 1998 yaitu Pelanggaran serius terhadap hukum

dan kebiasaan dalam konflik bersenjata internasional, dimana penghancuran benda

budaya dikategorikan sebagai kejahatan perang dapat kita lihat dari:

(a) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ii bahwa kejahatan perang berarti secara sengaja

melakukan serangan terhadap objek-objek sipil, yaitu objek yang bukan

merupakan sasaran militer. Berdasarkan hukum humaniter internasional,

kedudukan benda budaya adalah sebagai objek sipi. Penyerangan secara

sengaja yang ditujukan kepada benda budaya yang merupakan objek sipil dapat

membuat benda budaya tersebut rusak dan hancur. Sehingga dalam konflik

bersenjata internasional, jika benda budaya dalam kedudukannya sebagai objek

sipil diserang, maka hal tersebut adalah kejahatan perang.

(b) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka iv pada intinya menyebutkan bahwa secara

sengaja melakukan serangan dimana telah diketahui efek serangan tersebut

dapat mengakibatkan kerugian-kerugian terhadap orang sipil dan objek sipil.

Walaupun serangan tidak ditujukan kepada benda budaya sebagai objek sipil

sekalipun, jika efek serangannya sebelumnya sudah diketahui akan

mengakibatkan kerugian berupa kerusakan dan kehancuran pada benda budaya

dan tidak memberikan efek yang besar bagi kepentingan militer, maka hal
tersebut adalah kejahatan perang. Secara ringkas dapat dikatakan penghancuran

benda budaya yang disebabkan efek dari serangan yang terlalu besar dan tidak

perlu dalam konflik bersenjata internasional dapat dikategorikan sebagai

kejahatan perang.

(c) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka v pada intinya menyebutkan bahwa menyerang

atau membom dengan sarana apapun, kota-kota, desa perumahan atau gedung

yang bukan merupakan objek militer adalah merupakan kejahatan perang.

Menyerang dan membom suatu daerah atau gedung yang bukan merupakan

objek militer dapat menghancurkan benda budaya yang berada dalam daerah

atau gedung tersebut, sehingga tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai

kejahatan perang.

(d) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ix pada intinya menyebutkan bahwa secara

sengaja melakukan serangan terhadap gedung keagamaan, pendidikan,

kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah dan rumah sakit sepanjang

bukan objek milter dalam konflik bersenjata internasional adalah suatu

kejahatan perang. Hal tersebut menjadi penegasan terhadap penghancuran

benda budaya dalam konflik bersenjata internasional adalah merupakan

kejahatan perang. Secara langsug, pasal tersebut menyebutkan sepanjang bukan

objek militer, contoh-contoh benda budaya seperti gedung-gedung untuk

keagamaan, pendidikan, kesenian dan monumen bersejarah yang diserang

secara sengaja dalam konflik bersenjata internasional dapat dikategorikan

sebagai kejahatan perang.

2. Pasal 8 ayat 2 huruf e Statuta Roma 1998 yaitu pelanggaran serius terhadap hukum

dan kebiasaan dalam konflik bersenjata non-internasional. Penghancuran benda

budaya dalam konflik bersenjata non-internasional dapat dikategorikan sebagai


kejahatan perang, yaitu berdasarkan Pasal 8 ayat 2 huruf e angka iv Statuta Roma 1998

yang menyebutkan bahwa secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung

keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah dan

rumah sakit sepanjang bukan objek atau sasaran militer dalam konflik bersenjata

internasional adalah suatu kejahatan perang. Dapat kita lihat bahwa pasal ini sama

persis dengan Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ix Statuta Roma 1998. Hal ini karena

memang pasal-pasal tersebut sama-sama mengkategorikan penghancuran benda

budaya sebagai kejahatan perang. Walaupun ketentuan penghancuran benda budaya

sebagai kejahatan perang dalam konflik bersenjata non-internasional lebih sedikit

ketimbang dalam konflik bersenjata internasional, secara substansi efeknya tetap sama,

yaitu sebagai upaya untuk melindungi benda budaya dalam konflik bersenjata. Dalam

konflik bersenjata non-internasional, menyerang benda-benda budaya seperti gedung-

gedung yang ditujukan untuk keagamaan, pendidikan, kesenian, monumen bersejarah

sepanjang bukan objek atau sasaran militer dapat dikategorikan sebagai kejahatan

perang.

Berdasarkan Pasal 8 ayat 2 Statuta Roma 1998 tersebut diatas dapat kita ketahui

bahwa dalam Statuta Roma 1998, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dapat

dikategorikan sebagai kejahatan perang yang berlaku pada konflik bersenjata internasional

dan konflik bersenjata non-internasional. Penghancuran benda budaya dalam konflik

bersenjata internasional dikategorikan sebagai kejahatan perang dapat dilihat pada Pasal 8 ayat

2 huruf b angka ii, iv, v, ix Statuta Roma 1998. Sedangkan, penghancuran benda budaya

dalam konflik bersenjata non-internasional dikategorikan sebagai kejahatan perang dapat

dilihat pada Pasal 8 ayat 2 huruf e angka iv Statuta Roma 1998 .

Berdasarkan uraian-urian diatas, dapat kita simpulkan bahwa penghancuran benda

budaya dalam konflik bersenjata dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang baik secara
umum berdasarkan hukum humaniter internasional maupun secara khusus berdasarkan Statuta

Roma 1998. Dengan dikategorikannya penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata

sebagai kejahatan perang oleh Statuta Roma 1998, maka pelaku atau individu yang melakukan

penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata baik konflik bersenjata internasional

maupun konflik bersenjata non-internasional dapat dituntut, diadili dan dihukum oleh

Mahkamah Pidana Internasional atau ICC.

B. Latar Belakang Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata di Mali

Republik Mali (bahasa Perancis: République du Mali) adalah suatu negara beribukota

Bamako yang terletak di benua Afrika bagian barat. Negara terbesar kedua di Afrika Barat ini

berbatasan dengan Aljazair di sebelah utara, Niger di timur, Burkina Faso dan Pantai Gading

di selatan, Guinea di barat daya, serta Mauritania di barat. Perbatasannya di sebelah utara

memanjang ke tengah gurun Sahara.151 Republik Mali berdiri pada tanggal 22 September 1960

setelah merdeka dari jajahan negara Perancis. Republik Mali memiliki luas wilayah 1,24 juta

km², luas daratan 1,22 juta km², dan luas Perairan 20.000 km². Negara Mali yang memiliki

iklim Sub tropis dan tropis ini, terdiri dari 8 wilayah, yaitu Gao, Kayes, Kidal, Koulikoro,

Mopti, Segou, Sikasso, dan Timbuktu atau Tombouctou . Negara Mali memiliki jumlah

penduduk 12.324.029 jiwa (per Juli 2008) dan dihuni oleh berbagai macam suku atau etnis

yang terdiri dari Mande (50% terdiri dari Bambara, Malinke, Soninke), Peul (17%), Voltaic

(12%), Songhai (6%), Tuareg dan Moor (10%) dan etnis-etnis lainnya sekitar (5%). Agama

yang paling banyak dianut adalah Islam (90%), Kristen (1%) dan kepercayaan setempat (9%).

Mali memiliki banyak sumber daya alam yang terdiri dari Emas, fosfat, kaolin, garam,

limestone, uranium, hydropower, serta cadangan bauksit, bijih besi, mangaan, timah, tembaga,

151
https://id.wikipedia.org/wiki/Mali diakses pada 7 April 2017, pukul 00:30 WIB
152
gipsum, granit, dan tenaga air. Mali juga memiliki pariwisata-pariwisata yang terkenal

seperti pusat Pasar kota Bamako (Bamako), Masjid Agung Djenné (Djenne), Katedral

Bamako (Bamako), Masjid Djinguereber (Timbuktu), Masjid Agung Bamako (Bamako),

Masjid Sankore (Timbuktu), Masjid Agung Mopti (Mopti ), Masjid Yacouba Guindo

(Bamako), Masjid Kombole Kani (Mopti Daerah), dan Masjid Agung Segou (Segou).153

Mali tidak meletakkan agama sebagai konstitusi dan ideologi negara. Mali

mendefinisikan diri sebagai negara sekuler. Kendati demikian, Mali tetap memberikan

kebebasan pelaksanaan praktik-praktik keagamaan yang tidak menimbulkan ancaman bagi

stabilitas sosial dan perdamaian.154 Dari sudut pandang konstitusi, negara tersebut juga sangat

menerapkan kebebasan beragama bagi warga negaranya. Pemerintah sangat menghargai

kegiatan ibadah agama apa pun dan melindungi hak setiap warga negaranya untuk melakukan

ibadah. Kekerasan terhadap agama lain tidak bisa ditoleransi oleh undang-undang dasar

mereka. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Mali bukan negara yang

berdasarkan agama tertentu. Bahkan, negara tersebut cenderung memilih untuk menjadi

sekuler, memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan sosial. Pada pemilihan presiden

pada April 2002 yang lalu itulah, pemerintah dan partai politik sepakat untuk menjadikan Mali

sebagai negara sekuler.155

Pada dasarnya Mali adalah negara sekuler, namun hal tersebut malah menjadi salah

satu penyebab banyak konflik di Mali yang salah satu tujuan konflik tersebut adalah

152
http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/detail-kerjasama-bilateral.aspx?id=116 , diakses pada 7 April
2017, pukul 00:35 WIB
153
Tempat Terkenal di Mali, tripadvisor, https://www.tripadvisor.co.id/Attractions-g293812-Activities-
c47-Mali.html, diakses pada 7 April 2017, pukul 00:38 WIB
154
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/16/12/01/ohhx7g313-muslim-mali-dan-
sekularisasi-negara Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:09 WIB.
155
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/04/01/onq03j313-menelusuri-jejak-
islam-di-mali Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:19 WIB.
menghendaki Mali berubah menjadi negara Islam. Konflik-konflik di Mali juga semakin

bertambah banyak disebabkan krisis-krisis yang terjadi di Mali.

Mali telah mengalami beberapa krisis secara bersamaan yang menyebabkan mudahnya

tumbuh konflik156:

1. Krisis pemerintahan : Pembentukan negara bagi masyarakat Tuareg adalah tujuan

jangka panjang dari MNLA, sejak dimulainya pemberontakan pada tahun 1962.

MNLA adalah gerakan nasional pembebasan untuk daerah Aswadja di Mali.

Selanjutnya, Mali selalu berada dalam kondisi yang sulit untuk mempertahankan

wilayahnya.

2. Krisis makanan: Mali juga dirusak oleh krisis pangan yang serius, disebabkan oleh

sejumlah catatan kekeringan tahun ini (mengurangi sumber daya tenaga air air dan

membatasi tanaman). Untuk sebagian besar, ekonomi Mali hidup pada dukungan luar

negeri, dengan ketergantungan pada sumbangan luar negeri. Selain itu, banyaknya

konflik yang terjadi menyebabkan ECOWAS (Economic Community of West African

States) memutuskan blokade makaan untuk menundukkan junta militer. Krisis pangan

saat ini, bersama dengan bentrokan dengan Turareg, menyebabkan krisis kemanusiaan

yang parah. Puluhan ribu orang mengungsi, kamp-kamp pengungsi, dan kekurangan

gizi kronis Mali, baik perempuan dan anak-anak.

3. Krisis politik: Pemberontakan yang menyebabkan turunnya presiden dari jabatannya.

Pada 22 Maret 2012, Presiden Amadou Toumani Touré dilengserkan dalam

156
http://marcfonbaustier.tumblr.com/post/25158046866/mali-a-case-study-of-a-complex-african-crisis
Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:23 WIB.
kudeta terkait kegagalan penanganan krisis yang dilakukan olehnya, tepat sebulan

sebelum pelaksanaan pemilihan presiden.157

4. Krisis keamanan : Mali juga mengalami krisis keamanan. Menjamurnya kelompok-

kelompok ekstrimis atau organisasi teroris yang menghendaki penerapan hukum

syariah dan menjadikan Mali sebagai negara Islam membuat negara Mali tidak aman

dan selalu dihantui teror yang seringkali berujung konflik. Kelompok-kelompok

ekstrimis atau organisasi teroris tersebut adalah Ansar Dine, Al-Queda, Boko Haram

dan lain-lain.

Krisis-krisis yang dialami Mali, membuat negara tersebut sangat rawan terjadinya konflik.

Puncaknya, akibat dari konflik-konflik yang terjadi dan krisis-krisis di Negara Mali, terjadilah

Perang Mali. Perang Mali sendiri terjadi antara Pemerintah Mali dan pihak pemberontak

sehinggga dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata non-internasional.

Perang Mali adalah konflik bersenjata yang dimulai dari 16 Januari 2012 – 20 Februari

2015 yang terjadi pada Mali bagian utara. Presiden Amadou Toumani Touré dilengserkan

dalam kudeta pada 22 Maret 2012. Tentara pemberontak, yang menyebut dirinya

sebagai Komite Nasional untuk Pemulihan Demokrasi dan Negara (CNRDR), mengambil

kontrol dan menangguhkan konstitusi dari Mali. Sebagai akibat dari ketidakstabilan setelah

terjadinya kudeta, tiga kota terbesar di utara Mali, yaitu Kidal, Gao dan Timbuktu berhasil

dikuasai oleh pemberontak selama tiga hari berturut-turut.158 Mali Utara berkeinginan untuk

memisahkan diri dengan dimotori oleh MNLA ( National Movement for the Liberation of

Azawad) yang bertujuan membentuk negara Azawad di wilayah luas Mali Utara. Gerakan

MNLA tersebut didukung oleh Ansar Dine dan juga Al-Qaeda in the Islamic Maghreb

157
http://www.aljazeera.com/news/africa/2012/03/201232251320110970.html Diakses pada 7 April
2017 pukul 08:23 WIB.
158
Wikipedia Perang Mali, https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Mali_Utara#cite_note-boston-114
Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:27 WIB.

Universitas Sumatera Utara


(AQIM). Gerakan tersebut berhasil merebut wilayah yang luas dan membuat pasukan Mali

mundur. Namun , setelah beberapa lama karena perbedaan pandangan atau visi-misi, kongsi

MNLA dan Ansar Dine + AQIM bubar dan wilayah wilayah yang berhasil direbut

sebelumnya sebagian besar diambil alih oleh Ansar Dine + AQIM.159

Dapat kita lihat bahwa konflik yang terjadi di Mali adalah konflik antara pemerintah

dengan para pemberontak. Para pemberontak yang terdiri dari gerakan pembebasan dan

kelompok-kelompok ekstremis atau kelompok teroris bersatu untuk melawan pemerintah

Mali. Dengan kata lain konflik bersenjata yang terjadi adalah konflik bersenjata non

internasional. Ketika sebagian besar wilayah di Mali bagian Utara telah berhasil dikuasai para

pemberontak, para pemberontak tersebut lalu pecah kongsi karena perbedaan pandangan dan

visi-misi. Pada akhirnya, para pemberontak tersebut saling serang dan wilayah Mali Utara

jatuh ketangan kelompok ekstremis atau kelompok teroris yaitu Ansar Dine dan Al-Qaeda in

the Islamic Maghreb (AQIM).

Ansar Dine, yang secara kasar diterjemahkan menjadi ―pembela iman,‖ adalah

kelompok pemberontak yang muncul di Mali pada Maret 2012 yang berupaya menerapkan

secara ketat hukum syariah. Ansar Dine dipimpin oleh Iyad Ag Ghaly, mantan komandan

senior kelompok militer pemberontak di Mali pada 1990-an. Tujuan kelompok adalah untuk

diberlakukannya hukum syariah yang ketat di seluruh Mali. Setelah menguasai tiga kota besar

di utara, termasuk Kidal, Timbuktu, dan untuk sebagian besar Gao. Ansar Dine lalu melarang

alkohol, merokok, kunjungan ke pemakaman, menonton sepak bola, dan wanita sekarang
160
diwajibkan memakai cadar. Ansar Dine dilaporkan bertanggung jawab atas pembakaran

makam

159
http://kazmckelvey.blogspot.co.id/2016/01/konflik-mali.html Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:38
WIB.
160
http://globalpublicsquare.blogs.cnn.com/2012/08/14/who-are-ansar-dine/ , Michael Lambert and
Jason Warner Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:45 WIB.
seorang Sufi suci, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO. Pada musim panas 2012, anggota

Ansar Dine mendobrak pintu-pintu masjid Yahya Sidi , yang, menurut legenda, tidak akan

dibuka sampai hari terakhir atau akhir zaman . Mereka mengklaim bahwa penghormatan

untuk situs budaya itu adalah penghormatan berhala.161

Ansar Dine adalah pemain kekuatan baru di Mali utara, dan Amerika Serikat khawatir.

Kelompok pemberontak Islamis, yang pada bulan Juni menguasai sebagian besar wilayah

Sahara, telah menarik perhatian negara-negara di seluruh dunia karena menghancurkan Situs

Warisan Dunia UNESCO di Timbuktu. Ancaman tersebut menimbulkan perhatian dari

Amerika Serikat dan keamanan global, dan juga ditambah dengan krisis kemanusiaan yang

menimbulkan sekitar 420.000 pengungsi.162 Tandina dan saksi lain mengatakan Ansar Dine

telah menghancurkan tiga makam suci lokal yaitu Sidi Mahmoud, Sidi El Mokhtar dan Alfa

Moya dan juga setidaknya tujuh makam lainnya.163

Dengan dikuasainya Mali Utara oleh kelompok ekstremis atau kelompok teroris yaitu

Ansara Dine, kelompok tersebut menjadi punya kuasa atas daerah tersebut. Namun, sangat

disayangkan, kelompok yang ingin menerapkan hukum syariah di seluruh wilayah Mali

tersebut malah melakukan penyerangan dan penghancuran benda budaya di wilayah yang juga

merupakan situs warisan dunia yang diakui oleh UNESCO yaitu Timbuktu. Benda-benda

budaya yang dihancurkan di daerah Timbuktu tersebut adalah makam-makam suci dan Masjid

Agung yang memiliki nilai sejarah dan menjadi identitas khas peradaban dari masyarakat

161
Wikipedia Ansar Dine, https://en.wikipedia.org/wiki/Ansar_Dine Diakses pada 7 April 2017 pukul
08:52 WIB.
162
Michael Lambert dan Jason Warner, http://globalpublicsquare.blogs.cnn.com/2012/08/14/who-are-
ansar-dine/ Diakses pada tanggal 7 April 2017, pukul 08.54 WIB.

163
Mark John in Dakar; and John Irish , Mali Islamists destroy holy Timbuktu sites,
http://www.reuters.com/article/us-mali-crisis-idUSBRE85T04E20120630 Diakses pada tanggal 7 April 2017,
pukul 08.56 WIB.
Mali. Ansar Dine berdalih bahwa benda-benda budaya tersebut adalah berhala sehingga layak

untuk diserang dan dihancurkan.

Salah satu daerah yang terkenal sebagai pusat peradaban Islam di Mali pada abad ke-12 M

adalah Timbuktu. Pada abad itu, Timbuktu telah menjelma sebagai salah satu kota pusat ilmu

pengetahuan dan peradaban Islam yang masyhur. Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga

sempat menjadi pusat perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup sejahtera

dan makmur. Secara gemilang, sejarawan abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan

kejayaan Timbuktu dalam buku yang ditulisnya. ―Begitu banyak hakim, doktor, dan ulama di

sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad

—penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,‖

tutur Africanus.164

Timbuktu menjadi daerah yang memiliki sejarah yang sangat penting dalam

perkembangan budaya maupun perkembangan penyebaran agama Islam di Afrika bahkan

dunia. Oleh karena itulah Timbuktu menjadi situs atau daerah yang ditetapkan UNESCO

sebagai situs budaya dari warisan dunia.165 Hal ini juga karena di Timbuktu terdapat benda-

benda budaya yang menjadi ciri khas atau identitas kemajuan peradaban masyarakat Mali

pada masa lalu.

Berikut adalah benda-benda budaya di Timbuktu yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai

warisan budaya dunia, yaitu166:

164
Menelusuri Jejak Islam di Mali, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
digest/17/04/01/onq03j313-menelusuri-jejak-islam-di-mali Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:58 WIB.
165
http://whc.unesco.org/en/list/119, http://whc.unesco.org/en/list/ , Diakses pada 7 April 2017 pukul
09:23 WIB.
166
http://whc.unesco.org/en/list/119 Diakses pada 7 April 2017 pukul 09:02 WIB.
1. Masjid Djingareyber, dibangun oleh Sultan Kankan Moussa, setelah kembali dari

ziarah ke Mekah, dibangun kembali dan diperbesar antara 1570 dan 1583 oleh

Imam Al Aqib, Qadhi dari Timbuktu. Masjid Djingareyber adalah salah satu

landmark yang paling terkenal dari lanskap perkotaan Timbuktu.

2. Masjid Sankore, dibangun pada abad ke-14, sama seperti Masjid Djingareyber,

Masjid Sankore dibangun kembali oleh Imam Al Aqib antara 1578 dan 1582. Dia

membangun masjid tersebut sesuai dengan dimensi Ka'bah dari Mekah.

3. Masjid Sidi Yahia, terletak di sebelah selatan Masjid Sankore, dibangun sekitar

tahun 1400 oleh Marabout Sheik El Moktar Hamalla dalam mengantisipasi orang

suci yang muncul empat puluh tahun kemudian dalam pribadi Cherif Sidi Yahia,

yang kemudian terpilih sebagai Imam. Masjid juga direnovasi pada tahun 1577-

1578 oleh Imam Al Aqib.

Tiga Masjid besar yaitu Djingareyber, Sankore dan Sidi Yahia, enam belas makam dan

tempat umum suci, menjadi penanda sejarah atau saksi masa lalu dari kejayaan Mali. Masjid-

masjid adalah contoh luar biasa dari arsitektur tanah dan teknik pemeliharaan tradisional yang

terus diterapkan sampai saat ini.167

Dengan hadirnya benda-benda budaya tersebut di daerah Timbuktu, membuat Timbuktu

dapat memenuhi syarat menjadi situs budaya dari warisan dunia. Hal ini karena untuk

dimasukkan dalam Daftar Warisan Dunia, situs budaya harus mengandung nilai universal

yang luar biasa dan memenuhi setidaknya satu dari sepuluh kriteria seleksi. Timbuktu sendiri

memiliki 3 kriteria seleksi yang diakui oleh UNESCO yaitu kriteria seleksi ii, iv, dan v.

Kriteria seleksi pada Timbuktu yang diakui oleh UNESCO tersebut adalah168 :

167
http://whc.unesco.org/en/list/119 Diakses pada 7 April 2017 pukul 09:09 WIB.
168
http://whc.unesco.org/en/list/119, Diakses pada 7 April 2017 pukul 09:18 WIB.
1. Kriteria (ii): Masjid-masjid dan tempat-tempat suci di Timbuktu telah memainkan

peran penting dalam penyebaran Islam di Afrika pada periode awal.

2. Kriteria (iv): Tiga masjid besar Timbuktu, dipulihkan oleh Qadhi Al Aqib di abad ke-

16, menjadi saksi zaman keemasan atau kejayaan intelektual dan spiritual pada akhir

dinasti Askia.

3. Kriteria (v): Tiga masjid dan makam adalah saksi yang luar biasa untuk pembentukan

kota Timbuktu, peran penting dari pusat komersial, spiritual dan budaya pada rute

perdagangan selatan trans-Sahara, dan teknik konstruksi karakteristik tradisional

lingkungan mereka.

Dapat kita lihat bahwa Timbuktu merupakan daerah yang sangat kaya akan benda

budaya. Timbuktu menjadi salah satu pusat peradaban masyarakat Mali pada masa

kejayaannya. Timbuktu menjadi pusat teknologi baik teknolgi arsitektur maupun perkotaan,

pusat pendidikan atau intelektual dan juga pusat pendalaman agama Islam tidak hanya di Mali

bahkan seluruh Afrika dan menjadi perhatian dunia internasional pada masa itu. Namun

sangat disayangkan, akibat konflik berkepanjangan mengakibatkan Timbuktu jatuh ketangan

ekstrimis atau teroris yang mengahncurkan benda-benda budaya. Benda-benda budaya

tersebut dihancurkan karena dianggap sebagai berhala yang dapat menjauhkan umat dari

agama.

Akibat dari konflik berkepanjangan tersebut membuat keberadaan benda-benda

budaya di Timbuktu terancam sehingga UNESCO menetapkan Timbuktu sebagai daftar

warisan dunia yang terancam bahaya.169 Berdasarkan Decision : 36 COM 7B.106 Mali World

Heritage properties (Mali) menyebutkan bahwa ―…6. Decides to inscribe Timbuktu (Mali)

on the List of World Heritage in Danger…‖. Berdasarkan Keputusan Komite Warisan

Dunia

169
http://whc.unesco.org/en/danger/ Diakses pada 7 April 2017 pukul 09:22 WIB.
UNESCO, pada sesi 36 di Saint Saint Petersburg, Rusia yang diadakan pada tanggal 24 Juni

sampai 6 Juli 2012 menetapkan Timbuktu kedalam daftar warisan dunia yang terancam

bahaya.170

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa penghancuran

benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali dilatarbelakangi oleh dianggapnya benda

budaya sebagai berhala oleh kelompok ekstrimis atau kelompok teroris yaitu Ansar Dine.

Konflik yang terjadi pada tahun 2012 antara pemerintah Mali dengan para pemberontak

membuat Mali bagian Utara jatuh ketangan para pemberontak. Lalu para pemberontak yaitu

gerakan pembebasan dan kelompok ekstrimis karena perbedaan visi-misi membuat mereka

menjadi saling serang dan terlibat konflik. Akhirnya, Mali Utara menjadi daerah kekuasaan

kelompok ekstrimis atau kelompok teroris yaitu Ansar Dine. Ansar Dine dengan

kekuasaannya menghancurkan benda-benda budaya di wilayah Timbuktu yang merupakan

situs budaya dari warisan dunia karena menganggap benda budaya sebagai berhala. Benda-

benda budaya di Timbuktu seperti Masjid dan makam suci banyak yang diserang dan

dihancurkan oleh Ansar Dine. Hal ini turut membuat UNESCO menetapkan Timbuktu sebagai

warisan dunia yang ternacam bahaya.

C. Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi Al Mahdi dalam Penghancuran Benda

Budaya saat terjadinya Konflik Bersenjata di MALI

Berdasarkan pembahasan sebelumnya kita dapat mengetahui bahwa sejak Juni 2012 telah

terjadi penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali tepatnya di daerah

Timbuktu yang dilatarbelakangi dianggapnya benda budaya sebagai berhala oleh para

170
WORLD HERITAGE COMMITTEE, Decision : 36 COM 7B.106 Mali World Heritage properties
(Mali), UNESCO, Page 147. Dokumen dapat diunduh pada http://whc.unesco.org/archive/2012/whc12-36com-
19e.pdf
ekstrimis atau kelompok Teroris yaitu Ansar Dine. Sebelumnya juga, sejak Perang Mali pada

Januari 2012 telah terjadi banyak kejahatan yang dilakukan oleh para pemberontak yaitu

MNLA (National Movement for the Liberation of Azawad), AQIM (Al Qaeda-Maghreb

Islam) dan Ansar Dine terutama di tiga wilayah Mali yaitu Kidal, Gao dan Timbuktu.

Pengadilan Nasional di Mali tidak dapat mengatasi hal tersebut sehingga pada 30 Mei 2012

Pemerintah Mali melalui Kabinet Mali atau Dewan Pemerintah Mali sepakat untuk

menyerahkan yurisdiksi atau kewenangan kepada ICC untuk melakukan penyelidikan dan

pengadilan untuk berbagai kejahatan yang dilakukan para pemberontak sejak Januari 2012

sampai sesudahnya.171 Hal ini berarti termasuk juga atas kejahatan yang dilakukan setelah

kesepakatan Kabinet Mali, yaitu kejahatan penghancuran benda budaya pada Juni hingga Juli

2012 di Timbuktu

Konflik bersenjata yang terjadi di Mali juga sudah diperhatikan oleh ICC sejak

konflik bersenjata meletus pada Januari 2012.172 Atas hal tersebut, pada 1 Juli 2012, Kantor

ICC mengeluarkan pernyataan publik yang megatakan bahwa melakukan serangan secara

sengaja terhadap bangunan suci umat Islam di Kota Timbuktu merupakan kejahatan perang

yang dimungkinkan dapat menjadi yurisdiksi ICC berdasarkan Statuta Roma 1998.173

Dikarenakan konflik bersenjata yang terjadi, kesepakaatan Kabinet Mali dan juga

pernyataaan publik oleh ICC, maka Pemerintah Mali menyerahkan yurisdiksi atau

kewenangan kepada ICC untuk melakukan penyelidikan dan pengadilan untuk berbagai

kejahatan yang dilakukan para pemberontak sejak Januari 2012 sampai sesudahnya dengan

melalui status ―Situasi‖174 yang diajukan dalam Surat Resmi Pemerintah Mali atau

Referral

171
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 17, Page 7
172
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 15 Page 6
173
https://www.icc-cpi.int/NR/rdonlyres/B8B506C8-E2DE-4FF5-A843
B0687C28AA6C/284735/OTPBriefing20June3July2012.pdf Diakses pada 7 April 2017 pukul 09:28 WIB.
174
Pasal 14 ayat 1 Statuta Roma 1998 menjelaskan bahwa Situasi atau dalam Bahasa Inggris disebut
―Situation” adalah keadaan dimana suatu negara pihak menyerahkan kepada ICC suatu peristiwa yang
dapat dijadikan status Situasi karena mengandung kejahatan dalam yurisdiksi ICC sehingga dapat meminta ICC
untuk
Letter Mali No. 0076/MJ-SG.175 Dalam surat resmi tersebut, Pemerintah Mali menyatakan

bahwa karena Pengadilan Nasional Mali tidak mampu melakukan penuntutan dan pengadilan

terhadap pelaku kejahatan dalam konflik bersenjata di Mali yang terjadi sejak Januari 2012

maka dengan Surat Resmi Pemerintah Mali atau Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG,

Pemerintah Mali mengajukan status Situasi dan memberikan izin kepada ICC untuk

melakukan penyelidikan atau investigasi terhadap kejahatan-kejahatan dalam konflik

bersenjata di Mali yang terjadi sejak Januari 2012.

Berdasarkan status Situasi yang diajukan Pihak Pemerintah Mali, ICC lalu mengirim 2

misi pada agustus dan oktober 2012 ke Mali untuk menilai dan memverifikasi permintaan

status situasi yang diajukan Pemerintah Mali.176 Hasilnya adalah berdasarkan Laporan Hasil

Situasi Mali atau Situation in Mali Article 53(1) Report 177, Situasi yang diajukan Pihak Mali

diterima oleh ICC.

Hal-hal yang mendasari diterimanya situasai yang diajukan Pemerintah Mali kepada

ICC adalah178: yurisdiksi, alasan penerimaan dan kepentingan keadilan .Sebagaimana yang

dijelaskan berikut ini :

1. Yurisdiksi179 :

A. Yurisdiksi ratione temporis: Mali menandatangani Statuta Roma pada tanggal 17

Juli tahun 1998, dan meratifikasinya pada tanggal 16 Agustus 2000. Dengan

demikian, Pengadilan ICC memiliki yurisdiksi atas kejahatan terhadap

kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida yang dilakukan di wilayah Mali atau

melakukan penyelidikan terhadap peristiwa yang statusnya ingin dijadikan Situasi atau Situation tersebut oleh
ICC.
175
Surat Resmi Pemerintah Mali atau Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG dapat diunduh pada
https://www.icc-cpi.int/NR/rdonlyres/A245A47F-BFD1-45B6-891C-
3BCB5B173F57/0/ReferralLetterMali130712.pdf
176
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 22, Page 8
177
Laporan Hasil Situasi Mali atau Situation in Mali Article 53(1) Report Dapat diunduh pada
https://www.icc-cpi.int/itemsDocuments/SASMaliArticle53_1PublicReportENG16Jan2013.pdf
178
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 1, Page 4.
179
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 5,6,7,8, Page 5
dengan warga negaranya dari 1 Juli 2002 dan seterusnya. Pada tanggal 18 Juli

2012, pihak berwenang Mali menyatakan ―Situasi‖ di Mali ke ICC

sehubungan dengan dugaan kejahatan dalam konflik bersenjata sejak Januari 2012

hingga seterusnya.

B. Yurisdiksi ratione loci / yurisdiksi ratione personae: Pengadilan ICC memiliki

yurisdiksi wilayah berdasarkan Pasal 12 (2) (a) Statuta Roma 1998. Dalam Surat

Resmi Pemerintah Mali atau Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG, Pemerintah

Mali mengajukan status ―Situasi‖ kepada ICC. Karena itu, ICC

dimungkinkan untuk dapat menyelidiki kejahatan yang dilakukan di seluruh

wilayah Mali jika diperlukan.

C. Yurisdiksi ratione materiae: Informasi yang tersedia menunjukkan bahwa ada

dasar memadai untuk percaya bahwa kejahatan perang telah dilakukan di Mali

sejak Januari 2012, yaitu: (1) pembunuhan merupakan kejahatan perang menurut

Pasal 8 (2) (c) (i) Statuta Roma 1998; (2) lewat kalimat langsung dan juga tertulis

untuk eksekusi tanpa proses pengadilan merupakan kejahatan perang menurut

Pasal 8 (2) (c) (iv) Statuta Roma 1998; (3) mutilasi, perlakuan kejam dan

penyiksaan merupakan kejahatan perang menurut Pasal 8 (2) (c) (i) Statuta Roma

1998; (4) sengaja mengarahkan serangan terhadap objek yang dilindungi

merupakan kejahatan perang berdasarkan Pasal 8 (2) (e) (iv) Statuta Roma 1998;

(5) penjarahan harta benda dalam konflik bersenjata merupakan kejahatan perang

berdasarkan Pasal 8 (2) (e) (v) Statuta Roma 1998; dan (6) pemerkosaan

merupakan kejahatan perang berdasarkan Pasal 8 (2) (e) (vi) Statuta Roma 1998.

2. Alasan penerimaan180 :

180
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 9,10,11,12, Page 6
A. Informasi yang tersedia memberikan indikasi kepada orang-orang dan

kelompok-kelompok yang terlibat untuk memikul tanggung jawab terhadap

kejahatan yang dituduhkan.

B. Pelengkap yaitu pada tahap ini tidak ada proses pengadilan nasional yang

mampu di Mali atau di Negara lainnya terhadap individu yang harus

menanggung tanggung jawab untuk kejahatan yang diperbuatnya dalam konflik

bersenjata di Mali. Atas dasar tersebut, sesuai dengan prinsip yang dianut oleh

ICC yaitu prinsip pelengkap maka ICC dapat mengaktifkan yurisdiksi atau

kewenangannya sehingga dapat mengirim jaksanya untuk melakukan

penyelidikan.

3. Kepentingan Keadilan181 yaitu Berdasarkan informasi yang tersedia, tidak ada alasan

substansial untuk percaya bahwa pembukaan penyelidikan Situasi di Mali tidak dalam

kepentingan keadilan. Sehingga, pembukaan penyelidikan oleh ICC perlu dilakukan

untuk tercapainya keadilan.

Berdasarkan hal-hal tersebut ICC menyatakan menerima status Situasi yang diajukan Mali

sehingga Jaksa ICC setelah mengevaluasi informasi yang tersedia, telah memutuskan untuk

memulai penyelidikan terhadap Situasi di Mali atas kejahatan-kejahatan dalam konflik

bersenjata di Mali yang terjadi sejak Januari 2012. 182 Dengan diterimanya Situasi Mali oleh

ICC, maka berdasarkan Situation in Mali Article 53(1) Report, ICC membuka penyelidikan

atau investigasi pada Januari 2013 atas dugaan kejahatan dalam konflik bersenjata di Mali

yang terjadi sejak Januari 2012.183

Setelah dilakukan penyelidikan oleh Fatou Bensouda dan James Stewart sebagai Jaksa dari

ICC , ICC lalu menetapkan Ahmad Al Faqi sebagai tersangka yang melakukan penghancuran

181
Situation in Mali Article 53(1) Report, No.13, Page 6
182
Situation in Mali Article 53(1) Report, No.14, Page 6
183
https://www.icc-cpi.int/mali Diakses pada 8 April 2017 pukul 10:78 WIB.
benda budaya di Mali tepatnya di daerah Timbuktu dengan surat perintah penangkapan No.

ICC-01/12-01/15 yang dikeluarkan pada 18 September 2015 dan dipublikasikan kepada

publik pada 28 September 2015.184 Berdasarkan surat perintah penangkapan No. ICC-01/12-

01/15, dapat diketahui bahwa :

1. Bahwa telah terjadi konflik bersenjata yaitu konflik bersenjata non-internasional yang

dimulai sejak Januari 2012 di Mali, mengakibatkan Timbuktu (wilayah Mali bagian

utara) diduga telah terjadi kejahatan yang dilakukan oleh ekstrimis atau kelompok

teroris yaitu Al Qaeda-Maghreb Islam ( AQIM) dan Ansar Dine pada sekitar 30 Juni

2012 hingga 10 Juli 2012.

2. Ahmad Al Faqi Al Mahdi (dengan pengucapan atau ejaan bervariasi: Ahmad AL

FAQI, Ag Ahmadou Al-Fiqi Ahmed AL iFAQ Ahmad EL iFAQ atau Alphaqque)

alias atau yang dijuluki Abu Tourab, jenis kelamin laki-laki, lahir di Agoune, 100

kilometer barat dari Timbuktu, Mali, Suku Tuareg, Anggota Kelompok Ansar Dine,

dengan perkiraan usia sekitar tiga puluh tahun.

3. Ahmad Al Faqi sebagai "orang yang dianggap ahli" dalam urusan agama, adalah salah

satu tokoh masyarakat dan aktif terlibat dalam pendudukan kota Timbuktu yang

dilakukan ekstremis atau kelompok teroris Ansar Dine . Sebagai anggota dari Ansar

Dine, Ahmad Al Faqi diangkat oleh Ansar Dine sebagai ―Hesbah‖ semacam

kepala keamanan wilayah dan aktif berpartisipasi dalam berbagai pelaksanaan

keputusan dan juga aktif secara langsung dalam menyerang benda budaya berupa

bangunan suci dan monumen bersejarah.

4. Menuduhkan bahwa Ahmad Al Faqi diduga "Bertanggung jawab secara individu

untuk melakukan baik secara individu dan atau bersama-sama dengan orang lain dan

untuk memfasilitasi atau memberikan kontribusi dalam kejahatan perang di daerah

184
https://www.icc-cpi.int/CourtRecords/CR2015_18211.PDF
Timbuktu sekitar 30 Juni 2012 sampai 10 Juli 2012, yaitu serangan secara sengaja

yang diarahkan terhadap bangunan yang didedikasikan untuk agama dan / atau

monumen bersejarah, yaitu: 1) makam Sidi Mahmoud Ben Omar Mohamed Aquit, 2)

makam Cheick Mohamed Mahmoud Al Arawani, 3) makam Sidi Mokhtar Ben Cheikh

Sidi Muhammad Ben Cheick Alkabir, 4) Alpha Moya makam, 5) makam Cheick Sidi

Ahmed Ben Amar Arragadi, 6) makam Cheick mouhamad El Micky, 7) makam

Cheick Abdoul Kassim Attouaty, 8) makam Ahamed Fulane, 9) makam Bahaber

Babadié 10) dan Masjid Sidi Yahia, Hal tersebut dapat merupakan dikategorikan

sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam Statuta Roma 1998 pada Pasal 8 (2) (e)

(iv) tentang kejahatan perang berupa penghancuran benda budaya dan Pasal 25 (3) (a),

Pasal 25 (3) (c) dan Pasal 25 (3) (d) tentang tanggung jawab individu.

5. Semua bangunan dan monumen yang diserang berada di bawah perlindungan

UNESCO, yang sebagian besar juga merupakan benda budaya yang terdaftar dalam

Daftar Warisan Dunia. Secara khusus, daerah Timbuktu adalah situs budaya yang

terdaftar dalam Daftar Warisan Dunia yang terancam bahaya pada tanggal 28 Juni

2012. Karena serangan tersebut, benda-benda budaya berupa bangunan-bangunan suci

dan monumen bersejarah , berdasarkan beberapa dokumen resmi dari lembaga-

lembaga internasional (termasuk UNESCO) , media pers atau surat kabar setempat,

artikel dan laporan-laporan lainnya, mengalami kerusakan serius dan dalam beberapa

kasus telah benar-benar hancur.

Perkembangan berikutnya setelah surat penangkapan dikeluarkan adalah berdasarkan

pernyataan ICC atau press release ICC tertanggal 26 September 2015, pada 26 September

2015 Ahmad Al Mahdi Al Faqi (alias Abu Tourab) telah menyerahkan diri kepada Pengadilan
Kriminal Internasional (ICC) melalui otoritas Niger dan tiba di Pusat Mahkamah Pengadilan

Internasional (ICC) di Belanda.185

Sidang lalu digelar dari 22 sampai 24 Agustus 2016. Tuan Al Mahdi membuat pengakuan

bersalah pada hari pertama sidang. Pada hari pertama sidang, didampingi oleh Penasihat

Hukumnya Mohamed Aouini, Tuan Ahmad Al Faqi Al Mahdi menegaskan bahwa ia186:

(i) Mengetahui dan memahami bahwa sifat dari tuduhan terhadap dirinya, dan

konsekuensi dari pengakuan bersalah;

(ii) Telah membuat pengakuan bersalah secara sukarela, setelah berkonsultasi

dengan penasihat hukumnya;

(iii) Diberikan hak untuk:

(a) mengaku tidak bersalah dan membutuhkan Penuntutan untuk membuktikan

tuduhan tanpa keraguan di pengadilan penuh;

(b) tidak mengaku bersalah dan untuk tetap diam;

(c) meningkatkan pertahanan dan alasan untuk tidak dikenakan tanggung

jawab pidana atau tanggung jawab individu, dan untuk menyajikan bukti

yang dapat diterima di pengadilan penuh;

(d) memeriksa saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta pemeriksaan

nama saksi di pengadilan penuh; dan

(e) banding keyakinan atau kalimat, asalkan kalimat tidak lebih dari kisaran

hukuman yang direkomendasikan;

(iv) Menerima tanggung jawab pidana individual

185
https://www.icc-cpi.int/Pages/item.aspx?name=pr1154 , lihat juga Report on activities and
programme performance of the International Criminal Court for the year 2015, Page 17, 14 September 2016
dalam https://asp.icc-cpi.int/iccdocs/asp_docs/ASP15/ICC-ASP-15-3-ENG.pdf
186
ICC,Summary of the Judgment and Sentence in the case of The Prosecutor v.Ahmad Al Faqi Al
Mahdi, Page 1, 27 September 2016 Dapat diunduh pada https://www.icc-cpi.int/itemsDocuments/160926Al-
MahdiSummary.pdf
ICC lalu melakukan pembacaan putusan terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September

2016 dalam Trial Chamber VIII yang terdiri dari Hakim Raul C. Pangalangan sebagai Hakim

Ketua, Hakim Antoine Kesia-Mbe Mindua sebagai Hakim Anggota dan Hakim Bertram

Schmitt sebagai Hakim Anggota yang dalam putusannya menetapkan Ahmad Al Faqi Al

Mahdi bersalah dan bertanggung jawab secara individu terhadap penghancuran benda budaya

dalam konflik bersenjata di Mali sehingga dihukum 9 tahun penjara.187

Dalam Putusan ICC188 disebutkan bahwa Pengadilan ICC mengadili Al Mahdi dengan

mempertimbangkan tuduhan dari Jaksa ICC yaitu sesuai dengan Pasal 25 (3) (a) (perbuatan

individu dan atau perbuatan bersama); Pasal 25 (3) (b) (meminta, memerintahkan); Pasal 25

(3) (c) (membantu, bersekongkol atau mempermudah) atau Pasal 25 (3) (d) (kontribusi dengan

cara lain) bertanggung jawab secara individu terhadap kejahatan perang yang dituduhkan oleh

Jaksa Penuntut mengenai mengarahkan serangan secara sengaja terhadap bangunan-banguna

berikut:

1. makam Sidi mahamoud Ben Omar Mohamed Aquit,

2. makam Sheikh Mohamed Mahmoud Al Arawani,

3. makam Sheikh Sidi Mokhtar Ben Sidi Muhammad Ben Sheikh Alkabir,

4. makam Alpha Moya,

5. makam Sheikh Sidi Ahmed Ben Amar Arragadi,

6. makam Sheikh Muhammad El Mikki,

7. makam Sheikh Abdoul Kassim Attouaty,

8. makam Ahmed Fulane,

9. makam Bahaber Babadié,

187
ICC, Case Information Sheet, Page 1, No. ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng, Updated: 07 October
2016
188
Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Case Information Sheet No.
ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng Dapat diunduh pada https://www.icc-cpi.int/mali/al-
mahdi/documents/almahdieng.pdf

Universitas Sumatera Utara


10. Masjid Sidi Yahia (pintu).

Tuduhan tersebut menyangkut kejahatan yang diduga dilakukan di Timbuktu antara

sekitar tanggal 30 bulan Juni 2012 sampai 11 Juli 2012. Dalam putusan ICC tersebut, Ahmad

Al Faqi Al Mahdi disebutkan merupakan anggota dari Ansar Dine dan diangkat oleh Ansar

Dine sebagai ―Hesbah‖, semacam kepala keamanan wilayah. Dengan kekuasaanya

sebagai Hesbah, Ahmad Al Faqi Al Mahdi disebutkan aktif berpartisipasi dalam berbagai

pelaksanaan keputusan dan juga aktif secara langsung dalam mengarahkan serangan terhadap

benda-benda budaya berupa bangunan suci dan monumen bersejarah. Benda budaya berupa

bangunan suci dan monumen bersejarah yang ditargetkan untuk diserang tersebut adalah

benda budaya yang dilindungi dan dianggap sebagai bagian penting dari warisan budaya

Timbuktu dan Mali serta bukan merupakan sasaran militer. Sebagai konsekuensi dari serangan

tersebut, benda-benda budaya benar-benar mengalami kehancuran dan juga rusak parah.

Kehancuran tersebut dianggap sebagai hal yang serius dan sangat disesalkan oleh penduduk

setempat.189

Majelis Hakim dalam Trial Chamber VIII menerima pertimbangan-pertimbangan tersebut

dan secara bulat menetapkan Ahmad Al Faqi Al Mahdi bersalah dan bertanggung jawab

secara individu terhadap penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali yang

dikategorikan sebagai kejahatan perang berupa serangan secara sengaja yang diarahkan pada

monumen bersejarah dan bangunan yang didedikasikan untuk agama, termasuk sembilan

makam dan satu Masjid di Timbuktu, Mali, pada bulan Juni dan Juli 2012. Atas hal tersebut,

maka pada tanggal 27 September 2016, Majelis Hakim dalam putusannya memberikan

hukuman sembilan tahun penjara kepada Ahmad Al Faqi Al Mahdi.190

Dapat kita lihat bahwa Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016

mengandung pengaturan tentang tanggung jawab individu yang terdapat pada Pasal 25 (3) (a)

189
Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Case Information Sheet No.
ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng, Page 1
190
Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Case Information Sheet No.
ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng, Page 2

Universitas Sumatera Utara


Statuta Roma 1998, Pasal 25 (3) (b) Statuta Roma 1998, Pasal 25 (3) (c) Statuta Roma 1998

dan Pasal 25 (3) (d) Statuta Roma 1998 dan juga mengandung pengaturan tentang kejahatan

perang berupa mengarahkan serangan secara sengaja terhadap benda budaya dalam konflik

bersenjata yang terdapat pada Pasal 8 (2) (e) (iv) Statuta Roma 1998. Hal tersebut

menunjukkan bahwa Ahmad Al Faqi Al Mahdi dibebankan tanggung jawab individu dalam

penghancuran benda budaya yang diperbuatanya saat terjadinya konflik bersenjata yang pada

akhrinya membuatnya dihukum 9 tahun penjara.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa putusan ICC terhadap

tanggung jawab individu dalam penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata

di Mali adalah dengan dibebankannya tanggung jawab individu dan dihukumnya Ahmad Al

Faqi Al Mahdi selama 9 tahun penjara atas perbuatannya mengarahkan serangan secara

sengaja terhadap benda-benda budaya yang diakui berupa 9 makam suci dan 1 Masjid di

Timbuktu yang berakibat pada kehancuran dan kerusakan parah benda-benda budaya tersebut.

Patut diapresiasi kerja sama dan pengakuan bersalah dari Ahmad Al Faqi Al Mahdi dalam

persidangan sehingga proses pengadilan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Dihukumnya

Ahmad Al Faqi Al Mahdi dapat dijadikan momentum bagi ICC untuk mengadili dan

mengenakan tanggung jawab individu terhadap pelaku-pelaku lainnya yang melakukan

penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata. Hal ini karena kasus Ahmad Al Faqi Al

Mahdi merupakan kasus penghancuran benda budaya yang pertama 191 kali disidangkan di

hadapan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC). Selain itu,

kasus tersebut juga memberikan perkembangan yang cukup besar terhadap khazanah Hukum

Internasional.

191
Daftar kasus yang ditangani ICC dapat dilihat pada https://www.icc-cpi.int/Pages/cases.aspx# , yang
mana terakhir dicek penulis pada 13 April 2017 pada pukul 16.48 WIB belum ada kasus tentang penghancuran
benda budaya yang ditangani oleh ICC, kecuali kasus penghancuran benda budaya oleh Ahmad al-Faqi al-Mahdi
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Berdasarkan hukum humaniter internasional dengan melalui konvensi-konvensi

internasional, kedudukan benda budaya dalam konflik bersenjata adalah sebagai obyek

sipil. Benda budaya sebagai obyek sipil wajib dilindungi dan tidak boleh dijadikan

target serangan atau obyek militer. Namun, berdasarkan Pasal 52 Protokol Tambahan I

Tahun 1977, kedudukan benda budaya sebagai obyek sipil dapat berubah menjadi

obyek militer apabila sifat, lokasi, tujuan, atau penggunaannya benda budaya tersebut

memang benar-benar dapat menunjukkan kepentingan militer oleh pihak musuh atau

telah memberikan kontribusi efektif bagi tindakan militer pihak musuh. Contohnya

adalah ketika demi kepentingan militer pihak musuh, benda budaya seperti gereja

dijadikan pihak musuh sebagai tempat persembunyian dan juga tempat untuk

melakukan penyerangan diam-diam yang menghasilkan kontribusi efektif bagi

tindakan pihak militer musuh, maka benda budaya tersebut pada saat itu juga otomatis

berubah kedudukannya menjadi obyek militer. Sehingga, karena kedudukannya sudah

berubah, benda budaya tersebut dapat diserang namun harus menghasilkan keuntungan

militer yang pasti yaitu kemenangan militer atau keberhasilan misi dengan

mengusahakan seminimal mungkin kerugian obyek sipil dan korban sipil yang jatuh.

2. Individu merupakan subjek hukum internasional dalam artian terbatas yaitu hanya

pada dimungkinkannya individu dituntut di hadapan pengadilan internasional untuk

bertanggung jawab secara pribadi atas nama diri sendiri terhadap kejahatan

internasional yang dilakukannya. Tanggung jawab individu dalam hukum internasional

adalah tanggung jawab yang dikenakan kepada individu yang melakukan kejahatan
internasional. Pengaturan tanggung jawab individu dalam Statuta Roma 1998 dapat

kita temukan dalam Pasal 25 Statuta Roma 1998 yang pada intinya menyatakan bahwa

siapapun yang dengan salah satu atau lebih dari cara-cara berikut: melakukan;

memerintahkan; membantu; bekerja sama; memberikan fasilitas dan atau menghasut;

baik secara pribadi maupun berkelompok; pada kejahatan internasional yang menjadi

yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yaitu kejahatan genosida, kejahatan

terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi, dapat dikenakan

tanggung jawab individu dan dihukum berdasarkan Statuta Roma 1998.

3. Dalam persidangan yang digelar oleh ICC pada 22 sampai 24 Agustus 2016 di

Pengadilan ICC Belanda, Jaksa ICC menuduhkan bahwa Ahmad Al Faqi Al Mahdi

bertanggung jawab secara individu dalam kejahatan perang di Timbuktu wilayah Mali

sekitar 30 Juni 2012 sampai 10 Juli 2012 saat terjadinya konflik bersenjata di Mali,

yaitu serangan secara sengaja yang diarahkan terhadap bangunan yang didedikasikan

untuk agama atau monumen bersejarah, yaitu: 1) makam Sidi Mahmoud Ben Omar

Mohamed Aquit, 2) makam Cheick Mohamed Mahmoud Al Arawani, 3) makam Sidi

Mokhtar Ben Cheikh Sidi Muhammad Ben Cheick Alkabir, 4) Alpha Moya makam, 5)

makam Cheick Sidi Ahmed Ben Amar Arragadi, 6) makam Cheick mouhamad El

Micky, 7) makam Cheick Abdoul Kassim Attouaty, 8) makam Ahamed Fulane, 9)

makam Bahaber Babadié 10) dan Masjid Sidi Yahia. ICC lalu melakukan pembacaan

putusan terhadap Ahmad Al Faqi Al Mahdi pada 27 September 2016 dalam Trial

Chamber VIII yang terdiri dari Hakim Raul C. Pangalangan sebagai Hakim Ketua,

Hakim Antoine Kesia-Mbe Mindua sebagai Hakim Anggota dan Hakim Bertram

Schmitt sebagai Hakim Anggota yang dalam putusannya No. ICC-PIDS-CIS-MAL-

01-08/16_Eng secara bulat dengan berdasarkan tuduhan jaksa juga fakta-fakta

persidangan menetapkan bahwa Ahmad Al Faqi Al Mahdi bersalah dan bertanggung


jawab secara individu terhadap kejahatan perang yang dilakukannya berupa

penghancuran benda budaya pada bulan Juni dan Juli 2012 dalam konflik bersenjata di

Mali sehingga dihukum 9 tahun penjara. Putusan ICC terhadap tanggung jawab

individu dalam penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata di Mali

adalah dengan dibebankannya tanggung jawab individu dan dihukumnya Ahmad Al

Faqi Al Mahdi selama 9 tahun penjara atas perbuatannya mengarahkan serangan

secara sengaja terhadap benda-benda budaya berupa 9 makam suci dan 1 Masjid di

Timbuktu saat terjadinya konflik bersenjata di Mali sesuai dengan Pasal 8 (2) (e) (iv)

Statuta Roma 1998 tentang kejahatan perang berupa penghancuran benda budaya dan

Pasal 25 (3) (a), (c), (d) Statuta Roma 1998 tentang tanggung jawab individu.

B. Saran

1. Tiap-tiap negara harus lebih aktif lagi dalam memberikan perlindungan

terhadap benda budaya untuk mengantisipasi terjadainya konflik bersenjata

yang dapat menimbulkan kerugian bagi benda budaya.

2. Pengaturan mengenai perlindungan benda budaya dan kejahatan perang berupa

penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata memang sudah diatur

dan dirumuskan dalam konvensi-konvensi internasional, namun belum ada

konvensi-konvensi internasional yang mengatur secara tegas hukuman yang

dapat diberikan kepada pelaku yang melakukan penghancuran benda budaya

dalam konflik bersenjata. Sangat disarankan untuk membuat aturan yang tegas

mengenai hukuman atas penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata

agar menjamin kepastian hukum dan sebagai alat pencegah kejahatan

penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata.


3. Kasus Ahmad Al Faqi Al Mahdi merupakan kasus penghancuran benda budaya

dalam konflik bersenjata yang pertama kali disidangkan di hadapan Mahkamah

Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC). Dihukumnya

Ahmad Al Faqi Al Mahdi dalam persidangan ICC dapat dijadikan momentum

bagi ICC untuk lebih aktif lagi mengadili dan mengenakan tanggung jawab

individu terhadap pelaku-pelaku lainnya yang melakukan penghancuran benda

budaya dalam konflik bersenjata. Namun, dibutuhkan juga kerjasama

internasional antara ICC dengan negara-negara serta organisasi-organisasi

internasional untuk bersama-sama aktif berpartisipasi dalam menagkap dan

mengadili pelaku penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata.

Anda mungkin juga menyukai