Disusun Oleh :
Kelompok 6
BUKITTINGGI
i
TAHUN AJARAN 2019/2020
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas kehendak-
Nyalah makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini membahas tentang Asuhan
Keperawatan Trauma Abdomen. Dalam penyusunan makalah ini kami ucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen yang mengampu, yang telah
memberikan tugas ini kepada kami, sehingga pengetahuan kami bertambah
mengenai Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen.
Semoga dengan makalah ini kita dapat menambah ilmu pengetahuan serta
wawasan tentang Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen. Kami menyadari
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan,oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempunaan
tugas ini.Semoga tugas ini bermanfaat bagi pembaca.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan....................................................................................................... 3
3.1. Pengkajian............................................................................................... 21
3.4. Implementasi........................................................................................... 27
3.5. Evaluasi................................................................................................... 28
ii
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan............................................................................................. 29
4.2. Saran....................................................................................................... 29
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma abdomen adalah trauma yang terjadi sebagai akibat trauma tumpul
pada abdomen yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada semua
usia, akan tetapi jenis trauma ini merupakan keadaan yang cukup memberikan
tantangan bagi setiap departemen gawat darurat maupun bagi tenaga medis yang
bekerja. Adanya perbedaan antara gejala yang didapatkan dengan trauma yang
sesungguhnya pada banyak kasus yang terjadi membutuhkan diagnosis dan
tatalaksana yang tepat dan cepat. Perlu diingatbahwa cedera yang tampak ringan
pada beberapa kasus dapat menjadi suatu penyebab trauma mayor pada organ-
organ intraabdomen, sehingga deteksi yang cepat pada pasien dengan trauma
abdomen menjadi suatu tujuan utama untuk dapat memeperbaiki kondisi pasien
serta mendapatkan hasil tatalaksana yang maksimal. (Bodhit, Bhagra, dan Stead,
2011).
1
penting dilakukan, oleh karena itu dibutuhkan kerja sama antara pasien, keluarga
pihak dokter maupun perawat sebagai mitra kerja ataupun merupakan Team Work
dalam melaksanakan tindakan pembedahan sekaligus memberikan Asuhan
Keperawatan.
2
klinik. Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan secara optimal.
3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
4
g. iliaca dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum
dan ureter kanan.
h. hypogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).
i. Iliaca sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium
kiri.
Inervasi dinding abdomen oleh nervi (nn) torakalis ke-8 sampai dengan
12. Nervus (n) torakalis ke-8 setinggi margo kostalis ke-10 setinggi
umbilikus, n. torakalis ke-12 setinggi suprainguinal. Peritoneum parietalis
yang menutup dinding abdomen depan sangat kaya saraf somatik sementara
peritoneum yang menutup pelvis sangat sedikit saraf somatik sehingga
iritasi peritoneum pelvis pasien sulit menentukan lokasi nyeri. Peritoneum
diafragmatika pars sentralis disarafi nervi spinalis C5 mengakibatkan iritasi
pars sentralis diafragma mempunyai nyeri alih di bahu, yang disebut Kehr
sign.
5
larut dalam air dan mineral.
b. Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.
Cabangcabang pembuluh darah vena porta hepatica dan arteri
hepatica mengalirkan darahnya ke sinusoid. Hepatosit menyerap
nutrien, oksigen dan zat racun dari darah sinusoid. Di dalam
hepatosit zat racun akan di netralkan sedangkan nutrien akan
ditimbun atau di bentuk zat baru, dimana zat tersebut akan
disekresikan ke peradaran darah tubuh (Wibowo,2009).
Fungsi hati :
a. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresi
dalam empedu
b. Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen
c. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terahir asam karbonat
dan air
d. Hati merupakan pabrik terbesar dalam tubuh sebagai
pengantar metabolisme.
2. Kandung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantong berbentuk terong dan
merupakan membrane berotot.Letaknya didalam sebuah lekukan
disebelah permukaan bawah hati, sampai dipinggiran
depannya.Panjangnya delapan sampai dua belas centi meter.Kandung
empedu terbagi dalam sebuah fundus, badan, dan leher. Fungsi
Kandung Empedu :
a. Kandung empedu bekerja sebagai tempat persediaan getah
empedu
b. Getah empedu yang tersimpan di dalamnya dibuat pekat
3. Lambung
Lambung terletak disebelah atas kiri abdomen,sebagian terlindungi
dibelakang iga-iga sebelah bawah beserta tulang rawannya.orificium
cardia terletak dibelakang tulang rawan iga ketujuh kiri. Fundus
lambung,mencapai ketinggian ruang interkostal (antar iga) kelima kiri.
Corpus,bagian terbesar letaknya ditengah.Pylorus,suatu canalis yang
6
menghubungkan corpus dengan duodenum. Bagian corpus dekat
dengan pylorus disebut antrum pyloricum. Fungsi lambung :
a. Tempat penyimpanan makanan sementara
b. Mencampur makanan dengan getah lambung
c. Menghancurkan makanan
d. Protein diubah jadi pepton
e. Khime yaitu isi lambung yang cair disalurkan masuk
keduodenum
f. Mengasamkan makanan
4. Usus halus
Usus halus adalah tabung yang panjangnya kira-kira dua setengah
meter dalam keadaan hidup.usus halus memanjang dari lambung sampai
katup ileo - caecal tempat bersambung dengan usus besar. Usus halus
terletak di daerah umbilicus dan dikelilingi usus besar.Area permukaan
dalam yang luas disepanjang usus halus membantu absorsi produk-
produk pencernaan. Usus halus dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
a. Duodenum adalah bagian pertama usus halus yang
panjangnya 25 cm dan berliku-liku disekitar caput pancreas.
b. Yayunum adalah menempati dua per lima proksimal dari
usus halus.
c. Ileum adalah menempati tiga per lima bagian distal dari usus
halus.
5. Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah
lumbal di sebelah kana dan sebelah kiri tuang belakang
peritoneum.Dapat diperkirakan dari belakang, mulai dari ketinggian
vertebrae thoracalis sampai vertebrae lumbalis ketiga.Ginjal kanan
lebih rendah dari ginjal kiri, karena hati menduduki ruang banyak di
sebelah kanan. Panjang ginjal 6 -7,5 cm. pada orang dewasa berat
ginjal kira-kira 140 gram.ginjal terbagi menjadi beberapa lobus
yaitu:lobus hepatis dextra, lobus quadratus, lobus caudatus, lobus
sinistra. Fungsi ginjal:
7
a. Mengatur keseimbangan air
b. Mengatur konsentrasi garam darah dan keseimbangan asam
basa darah
c. Eksresi bahan buangan dan kelebihan garam
6. Limpa
Limpa terletak di region hipokondrium kiri di dalam cavum abdomen
diantara fundus ventrikuli dan diafragma. Fungsi limpa:
a. Pada masa janin dan setelah lahir adalah penghasil eritrosit
dan limposit
b. Setelah dewasa adalah penghancur eritrosit tua dan
pembentuk hemoglobin dan zat besi
7. Pancreas
Pancreas adalah kelenjar majemuk bertandan. panjangnya kira-kira
15 cm,mulai dari duodenum sampai limpa.pankreas dibagi menjadi tiga
bagian yaitu kepala pancreas, yang terletak disebelah rongga kanan
abdomen dan didalam lekukan, badan pancreas, yang terletak dibelakang
lambung dan didepan vertebrae lumbalis pertama ekor pakreas, adalah
bagian yang runcing disebelah kiri dan menyentuh limpa. Fungsi
pancreas:
a. Fungsi eksokrin, dimana kelenjar eksokrin mengeluarkan
cairan pankreas men uju duktus pakreatikus,dan akhirnya ke
duodenum. Sekresi ini penting untuk pencernaan dan
absorsi protein,lemak dan karbohidrat.
b. Fungsi endokrin,dimana pancreas bertanggung jawab untuk
produksi serta sekresi glucogan dan insulin,yang terjadi
dalam sel-sel khusus di pulau langerhans.
8
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak
disengaja sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika
trauma yang didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi
maupun fisiologi organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan
gangguan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan
imunologi, dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah
antara diafragma atas dan panggul bawah (Guilon, 2011). Trauma abdomen
adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ
abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi
gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai
organ (Sjamsuhidayat, 1997).
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur
yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka
tumpul atau yang menusuk. (Ignativicus & Workman, 2006).
Jadi, trauma abdomen adalah trauma atau cedera pada abdomen yang
menyebabkan perubahan fisiologis yang terletak diantara diafragma dan
pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau tusuk.
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis:
a. Trauma penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk
b. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul : diklasifikasikan ke
dalam 3 mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman),
tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga kompresi (compression
or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau
kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya
hancur akibat kecelakaan, atau sabuk pengaman yang salah (seat
belt injury). Hal yang sering terjadi adalah hantaman, efeknya
dapat menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ
padat visera. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen pada organ berongga dan menyebabkan
9
ruptur.
c. Trauma tumpul
Disebabkam seperti kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan,
deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang
menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau
benda tumpul lainnya. Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan
kelainan yang jelas pada permukaan tubuh, tetapi dapat
mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah organ sekitar,
10
patah tulang iga, cedera perlambatan (deselerasi), cedera
kompresi, peningkatan mendadak tekanan darah, pecahnya viskus
berongga, kontusi atau laserasi jaringan maupun organ
dibawahnya.
Pola cedera organ lunak pada trauma tumpul abdomen
d. Trauma tajam
Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang
mengakibatkan luka pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke
dalam rongga peritoneum yang disebabkan oleh tusukan benda
tajam. Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka
tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar didalam
abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga
diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen. Trauma
akibat benda tajam dikenal dalam tiga bentuk luka yaitu:
i. luka iris atau luka sayat (vulnus scissum)
ii. luka tusuk (vulnus punctum)
iii. luka bacok (vulnus caesum).
11
b. Kekerasan fisik atau pukulan,
c. Kecelakaan kendaraan bermotor
d. Cedera akibat berolahraga
e. Benturan
f. Ledakan
g. Deselarasi
h. Kompresi atau sabuk pengaman.
i. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
2. Trauma tembus Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi
ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus pada abdomen
disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak.
12
jaringan, kehilangan darah dan shock.
b. Perubahan metabolic dimediasi oleh CNS dan system
makroendokrin, mikroendokrin.
c. Terjadi masalah koagulasi atau pembekuan dihubungkan dengan
perdarahan massif dan transfuse multiple
d. Inflamasi, infeksi dan pembentukan formasi disebabkan oleh sekresi
saluran pencernaan dan bakteri ke peritoneum
e. Perubahan nutrisi dan elektrolit yang terjadi karena akibat kerusakan
integritas rongga saluran pencernaan.
f. Limpa merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang
diakibatkan oleh trauma tumpul. Sering terjadi hemoragi atau
perdarahan masif yang berasal dari limpa yang ruptur sehingga
semua upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan di limpa.
g. Liver, karena ukuran dan letaknya hati merupakan organ yang paling
sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh luka tembus dan
sering kali kerusakan disebabkan oleh trauma tumpul. Hal utama
yang dilakukan apabila terjadi perlukaan dihati yaitu mengontrol
perdarahan dan mendrainase cairan empedu.
h. Esofagus bawah dan lambung, kadang-kadang perlukaan esofagus
bawah disebabkan oleh luka tembus. Karena lambung fleksibel dan
letaknya yang mudah berpindah, sehingga perlukaan jarang
disebabkan oleh trauma tumpul tapi sering disebabkan oleh luka
tembus langsung.
i. Pankreas dan duodenum, walaupun trauma pada pankreas dan
duodenum jarang terjadi. Tetapi trauma pada abdomen yang
menyebabkan tingkat kematian yang tinggi disebkan oleh perlukaan
di pankreas dan duodenum, hal ini disebabkan karena letaknya yang
sulit terdeteksi apabila terjadi kerusakan.
13
Trauma
(kecelakaan)
↓
Penetrasi & Non-Penetrasi
↓
Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)
↓
Menekan saraf peritonitis
↓
Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri
↓
Motilitas usus
↓
Disfungsi usus → Resiko infeksi
↓
Refluks usus output cairan berlebih
↓
Gangguan cairan Nutrisi kurang dari
dan eloktrolit kebutuhan tubuh
↓
Kelemahan fisik
↓
Gangguan mobilitas fisik
14
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu:
a. Nyeri Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat.
Nyeri dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri
saat ditekan dan nyeri lepas.
b. Darah dan cairan Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga
peritonium yang disebabkan oleh iritasi.
c. Cairan atau udara dibawah diafragma Nyeri disebelah kiri yang
disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam
posisi rekumben.
d. Mual dan muntah Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)
Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock
hemoragi.
e. Adanya darah
Penderita akan merasa nyeri abdomen, yang dapat bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada auskultasi biasanya bising usus menurun,
yang buka merupakan pada banyak keadaan lain.
f. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) disebebkan oleh
kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi.
g. Pecahnya organ berlumen pecahnya gaster, usus halus, kolon akan
menimbulkan peritonitis yang dapat timbul cepat seklai (gaster) atau
lebih lambat.
h. Nyeri seluruh abdome pada pemeriksaan mengeluh nyeri seluruh
abdomen
i. Auskultasi bisisng usus akan menurun pada auskultasi bising usus.
15
20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya
perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum
amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma
pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase
menunjukkan kemungkinan trauma pads hepar.
c. Plain abdomen foto tegak Memperlihatkan udara bebas dalam
rongga peritoneum, udara bebas retroperineal dekat duodenum,
corpus alineum dan perubahan gambaran usus.
d. Pemeriksaan urine rutin Menunjukkan adanya trauma pada saluran
kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat
menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.
e. VP (Intravenous Pyelogram) Karena alasan biaya biasanya hanya
dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal.
f. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) Dapat membantu menemukan
adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya dapat
amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada
keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard). Indikasi untuk
melakukan DPL sebagai berikut:
i. Nyeri Abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
ii. Trauma pada bagian bawah dari dada
iii. Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
iv. Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran
(obat,alkohol, cedera otak)
v. Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis
(sumsum tulang belakang)
vi. Patah tulang pelvis
Kontra indikasi relatif melakukan DPL sebagai berikut:
i. Hamil
ii. Pernah operasi abdominal
iii. Operator tidak berpengalaman
iv. Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan
g. Ultrasonografi dan CT Scan Sebagai pemeriksaan tambahan
16
pada penderita yang belum dioperasi dan disangsikan adanya
trauma pada hepar dan retroperitoneum.
17
g. Sepsis (Paul, direvisi tanggal 28 Juli 2008)
h. Pankreas : Pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pancreas-
duodenal, dan perdarahan
i. Limfa : perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin,
diaphoresis, dan syok.
j. Usus : obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok.
k. Ginjal : Gagal ginjal akut (GGA) (Catherino, 2003 : 251-253).
control)
hipotermia
18
anak sulit pemasangan intra venous line bisa dilakukan pemberian
cairan melalui akses intra oseus tetapi ini dilakukan pada anak yang
umurnya kurang dari 6 tahun.
d. Setelah pemberian cairan pertama lihat tanda-tanda vital. Bila sudah
pasti ada perdarahan maka kehilangan 1 cc darah harus diganti
dengan 9cairan kristaloid 3 cc atau bila kehilangan darah 1 cc maka
diganti dengan darah 1 cc (sejumlah perdarahan).
e. Setelah itu kaji disability dengan menilai tingkat kesadaran klien baik
dengan menilai menggunakan skala AVPU: Alert (klien sadar),
Verbal (klien berespon dengan dipanggil namanya), Pain (klien baru
berespon dengan menggunakan rangsang nyeri) dan Unrespon (klien
tidak berespon baik dengan verbal ataupun dengan rangsang nyeri).
f. Eksposure dan environment control buka pakaian klien lihat adanya
jejas, perdarahan dan bila ada perdarahan perlu segera ditangani bisa
dengan balut tekan atau segera untuk masuk ke kamar operasi untuk
dilakukan laparotomy eksplorasi.
g. Secondary survey dari kasus ini dilakukan kembali pengkajian secara
head totoe, dan observasi hemodinamik klien setiap 15 – 30 menit
sekali meliputi tanda-tanda vital (TD,Nadi, Respirasi), selanjutnya
bila stabil dan membaik bisa dilanjutkan dengan observasi setiap 1
jam sekali.
h. Pasang cateter untuk menilai output cairan, terapi cairan yang
diberikan dan tentu saja hal penting lainnya adalah untuk melihat
adanya perdarahan pada urine.
i. Pasien dipuasakan dan dipasang NGT (Nasogastrik tube) untuk
membersihkan perdarahan saluran cerna, meminimalkan resiko mual
dan aspirasi, serta bila tidak ada kontra indikasi dapat dilakukan
lavage.
j. Observasi status mental, vomitus, nausea, rigid/kaku/, bising usus,
urin output setiap 15 – 30 menit sekali. Catat dan laporkan segera bila
terjadi perubahan secra cepat seperti tanda-tanda peritonitis dan
perdarahan.
19
k. Jelaskan keadaan penyakit dan prosedur perawatan pada pasien bila
memungkinkan atau kepada penanggung jawab pasien hal ini
dimungkinkan untuk meminimalkan tingkat kecemasan klien dan
keluarga.
l. Kolaborasi pemasangan Central Venous Pressure (CVP) untuk
melihat status hidrasi klien, pemberian antibiotika, analgesic dan
tindakan pemeriksaan yang diperlukan untuk mendukung pada
diagnosis seperti laboratorium (AGD, hematology, PT,APTT, hitung
jenis leukosit dll), pemeriksaan radiology dan bila perlu kolaborasikan
setelah pasti untuk tindakan operasi laparatomi eksplorasi.
BAB III
3.1 pengkajian
Penatalaksanaan pada pasien-pasien trauma tumpul abdomen pada
dasarnya sama dengan trauma-trauma lainnya berupa primary survey yang
cepat, resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif.
3.1. 1 Primary survey
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus
dikenalidanresusitasinya dilakukan pada saat itu juga.Tindakan
primary survey dilakukan secaraberurutan sesuai prioritas tapi
dalam praktenya hal-hal tersebut sering dilakukan bersamaan
(simultan).
a. Airway
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas
berupa obstruksi jalan napas yang dapat disebabkan oleh benda
asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula, maksila atau
trakea. Membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra
servikal dengan melakukan jaw thrust. Pada pasien yang dapat
berbicara dapat dianggap bahwa jalan napas bersih dan tetap
harus dinilai ulang.Pada pasien yang masih sadar dapat
memakai nasopharingeal airway, sedanglkan pada pasien yang
20
tidak sadar dan tidak ada gag reflex dapat menggunakan
oropharingeal airway. Pasien dengan GCS kurang dari 8 atau
adanya keraguan mengenai kemampuan menjaga airway
perlunya airway definitif.
b. Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru,
dinding dada, dan diafragma. Buka dada pasien untuk melihat
ekspansi pernapasan. Auskultasi untuk memastikan masuknya
udara ke dalam paru. Perkusi untuk menilai adanya udara atau
cairan dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi untuk melihat
abnormalitas gerakan atau getaran dinding dada. Jika ada
gangguan ventilasi atau gangguan kesadaran diatasi dengan
face mask, intubasi endotrakeal yaitu nasopharingeal airway
atau oropharingeal airway. Kemudian pasang pulse oximetry
untuk menilai saturasi O2yang adekuat.
c. Circulation
Penilaian pada tahap ini meliputi volume darah, tingkat
kesadaran, warna kulit dan nadi.
i. Volume darah
Adanya hipotensi harus dianggap disebabkan oleh
hipovolemia sampai terbukti sebaliknya.3 jenis penilaian
secara cepat yang dapat memberikan gambaran keaadaan
tersebut yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
ii. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang
yang mengakibatkan penurunan kesadaran.
iii. Warna kulit
Pasien trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada
wajah dan ekstremitas jarang dalam keadaan hipovolemia.
Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas
yang pucat sebagai tanda hipovolemia.
21
iv. Nadi
Periksa pada nadi besar seperti arteri femoralis, arteri
karotis, untuk kekuatan, kecepatan dan irama nadi. Nadi
yang tidak cepat, kuat dan teratur merupakan
normovolemia (bila tidak minum beta bloker). Nadi yang
cepat dan kecil merupakan hipovolemia.Kecepatan nadi
yang normal tidak menjamin normovolemia. Nadi yang
tidak tertaur biasanya tanda gangguan jantung.Tidak ada
pulsasi dari arteri besar mengindikasikan perlunya
resusitasi segera.
v. Perdarahan
Perdarahan eksternal yang tampak dihentikan dengan
penekanan pada luka. Spalk udara ( pneumatic splinting
device) sebagai pengontrol perdarahan yang tembus
cahaya. Torniquet sebaiknya jangan dipakai karena
merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal, kecuali
pada amputasi traumatik.Sedangkan pemakaian hemostat
memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan seperti
saraf dan pembuluh darah.
Jika ada gangguan sirkulasi atau syok hipovolemia
minimal pasang 2 IV line untuk resusitasi cairan kristaloid
(ringer laktat / RL) 2-3 liter.Jika tidak ada respon
diberikan tranfusi darah segolongan.Jika tidak ada darah
segolongan, dapat diberikan darah tipe O rhesus negatif
atau darah tipe O rhesus positif dengan titer rendah.Jangan
memberikan vasopresor, steroid atau bikarbonas
natricus.Jangan memberikan resusitasi cairan RL atau
transfusi darah secara terus menerus, karena keadaan ini
harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan
perdarahan.
Sebelum resusitasi, lakukan dengan cepat pemeriksaan
genitalia dan colok dubur untuk menilai ada tidaknya
22
tanda-tanda ruptur uretra yaitu prostat letak tinggi atau
tidak teraba. Tanda lain ruptur uretra berupa adanya darah
di orifisium uretra eksternal (metal bleeding), hematom
skrotum atau di perineum. Jika tidak ada tanda-tanda
tersebut maka selama resusitasi, pasang kateter urin untuk
menilai perfusi ginjal dan hemodinamik pasien. Namun,
jika diduga adanya ruptur uretra, jangan pasang kateter
urin tetapi lakukan uretrogram terlebih dahulu.
Nasogastric tube (NGT) dipakai untuk mengurangi
distensi lambung dan mengurangi kemungkinan muntah.
Darah dalam lambung dapat disebabkan karena traumatik
karena pemasangan NGT atau perlukaan lambung.Jika ada
dugaan patah pada lamina kibrosa, NGT yang dipasang
hanya bisa yang melaluui mulut untuk mencegah
masuknya NGT dalam rongga otak.
d. Disability
Pada tahap ini dilakukan penilaian neurologis secara cepat
berupa tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
e. Exposure
Pada tahap ini, pakaian pasien dibuka keseluruhan kemudian
dinilai kelainan yang tampak secara cepat.Selanjutnya selimuti
pasien agar tidak hipotermi.
3.1. 2 Secondary survey
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala hingga kaki (head to
toe) termasuk anamnesis dan reevaluasi pemeriksaan tanda
vital.Tahap ini baru dilakukan setelah primary survey dan
resusitasi selesai serta pasien dipastikan sudah membaik.Jika
kondisi hemodinamik pasien sudah stabil tanpa tanda-tanda
peritonitis bisa diperiksa lebih detail untuk menentukan apakah ada
trauma spesifik atau apakah selama observasi timbul tanda
peritonitis atau perdarahan.
23
a. Anamnesis
Udeani & Seinberg (2011) menyatakan bahwa faktor penting
yang berhubungan dengan pasien trauma tumpul abdomen,
khususnya yang berhubungan dengan kecelakaan kendaraan
bermotor perlu digali lebih lanjut, baik itu dari pasien,
keluarga, saksi, ataupun polisi dan paramedis. Hal-hal tersebut
mencakup:
i. Proses kecelakaan dan kerusakan kendaraan
ii. Waktu pembebasan (evakuasi) yang dibutuhkan
iii. Apakah pasien meninggal
iv. Apakah pasien terlempar dari kendaraan
v. Bagaimana fungsi peralatan keselamatan seperti
sabuk pengaman dan airbags
vi. Apakah pasien dalam pengaruh obat atau alkohol
vii. Apakah ada cidera kepala atau tulang belakang
viii. Apakah ada masalah psikiatri
Pada pasien anak, perlu digali apakah ada riwayat gangguan
koagulasi atau penggunaan obat-obat anti platelet (seperti pada
defek jantung congenital) karena dapat meningkatkan resiko
perdarahan pada cidera intra abdomen (Wegner etal.,2006).
b. Pemeriksaan fisik
Evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen harus dilakukan
dengan semua cidera merupakan prioritas. Perlu digali apakah ada
cidera kepala, sistem respirasi, atau sistem kardiovaskular diluar
cidera abdomen (Salomone & Salomone, 2011 ; Udeani &
Steinberg, 2011). Setelah survey primer dan resusitasi dilakukan,
fokus dilakukan pada survey sekunder abdomen. Untuk cidera
yang mengancam jiwa yang membutuhkan pembedahan segera,
survei sekunder yang komprehensif dapat ditunda sampai kondisi
pasien stabil. Pada akhir pemeriksaan awal dilihat kembali luka-
luka ringan pada penderita. Banyak cedera yang samar dan baru
termanifestasikan kemudian.
24
i. Inspeksi
Pemeriksaan abdomen untuk menentukan tanda-tanda eksternal
dari cedera. Perlu diperhatikan adanya area yang abrasi dan atau
ekimosis. Catat pola cedera yang potensial untuk trauma intra
abdomen (seperti abrasi karena sabuk pengaman, hantaman dengan
papan kemudi-yang membentuk contusio). Pada banyak penelitian,
tanda (bekas) sabuk pengaman dapat dihubungkan dengan ruptur
usus halus dan peningkatan insidensi cidera intra abdomen.
Observasi pola pernafasan karena pernafasan perut dapat
mengindikasikan cedera medulla spinalis. Perhatikan distensi
abdomen, yang kemungkinan berhubungan dengan
pneumoperitoneum, dilatasi gastrik, atau ileus yang diakibatkan
iritasi peritoneal. Bradikardi mengindikasikan adanya darah bebas
di intra peritoneal pada pasien dengan cedera trauma tumpul
abdomen. Cullen sign (ekimosis periumbilikal) menandakan
adanya perdarahan peritoneal, namun gejala ini biasanya muncul
dalam beberapa jam sampai hari. Memar dan edema panggul
meningkatkan kecurigaan adanya cedera retroperitoneal. Inspeksi
genital dan perineum dilakukan untuk melihat cedera jaringan
lunak, perdarahan, dan hematom.
ii. Auskultasi
Bising pada abdomen menandakan adanya penyakit vaskular atau
fistula arteriovenosa traumatik. Suara usus pada rongga thoraks
menandakan adanya cedera diafragmatika. Selama auskultasi,
palpasi perlahan dinding abdomen dan perhatikan reaksinya.
iii. Palpasi
Palpasi seluruh dinding abdomen dengan hati-hati sembari menilai
respon pasien. Perhatikan massa abnormal, nyeri tekan, dan
deformitas. Konsistensi yang lunak dan terasa penuh dapat
mengindikasikan perdarahan intraabdomen. Krepitasi atau
ketidakstabilan kavum thoraks bagian bawah dapat menjadi tanda
potensial untuk cidera limpa atau hati yang berhubungan dengan
25
cedera tulang rusuk. Ketidakstabilan pelvis merupakan tanda
potensial untuk cedera traktus urinarius bagian bawah, seperti
hematom pelvis dan retroperitoneal. Fraktur pelvis terbuka
berhubungan tingkat kematian sebesar 50%. Pemeriksaan rektal
dan bimanual vagina dilakukan untuk menilai perdarahan dan
cedera. Feces semestinya juga diperiksa untuk menilai adakah
perdarahan berat atau tersamar. Tonus rectal juga dinilai untuk
mengetahui status neurologis dari pasien. Pemeriksaan sensori pada
thorak dan abdomen dilakukan untuk evaluasi adanya cedera
medulla spinalis. Cedera medulla spinalis bisa berhubungan dengan
penurunan atau bahkan tidak adanya persepsi nyeri abdomen pada
pasien. Distensi abdomen dapat merupakan hasil dari dilatasi
gastrik sekunder karena bantuan ventilasi atau terlalu banyak udara.
Tanda peritonitits (seperti tahanan perut yang involunter,
kekakuan) segera setelah cedera menandakan adanya kebocoran isi
usus.
iv. Perkusi
Nyeri pada perkusi merupakan tanda peritoneal. Nyeri pada perkusi
membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan kemungkinan besar
konsultasi pembedahan. Perkusi pada dinding abdomen
menyebabkan pergerakan peritoneum dan dapat menunjukkan
peritonitis. Perkusi timpani pada kuadran atas akibat dari dilatasi
lambung akut atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum
c. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Salomone & Salomone (2011), pemeriksaan laboratorium
yang direkomendasikan untuk korban trauma biasanya termasuk
glukosa serum, darah lengkap, kimia serum, amylase serum, urinalisis,
pembekuan darah, golongan darah, arterial blood gas (ABG), ethanol
darah, dan tes kehamilan (untuk wanita usia produktif).
i. Pemeriksaan darah lengkap
Hasil yang normal untuk kadar hemoglobin dan hematokrit tidak
bisa dijadikan acuan bahwa tidak terjadi perdarahan. Pasien
26
pendarahan mengeluarkan darah lengkap. Hingga volume darah
tergantikan dengan cairan kristaloid atau efek hormonal (seperti
adrenocorticotropic hormone [ACTH], aldosteron, antidiuretic
hormone [ADH]) dan muncul pengisian ulang transkapiler,
anemia masih dapat meningkat. Jangan menahan pemberian
transfusi pada pasien dengan kadar hematokrit yang relatif
normal (>30%) tapi memiliki bukti klinis syok, cidera berat
(seperti fraktur pelvis terbuka), atau kehilangan darah yang
signifikan. Pemberian transfusi trombosit pada pasien dengan
trombositopenia berat (jumlah trombosit<50,000/mL) dan
terjadi perdarahan. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan
antara rendahnya kadar hematokrit (<30%) dengan cidera berat.
Peningkatan sel darah putih tidak spesifik dan tidak dapat
menunjukkan adanya cidera organ berongga.
ii. Kimia serum
Banyak korban trauma kecelakaan lebih muda dari 40 tahun dan
jarang menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi elektrolit
(seperti diuretik, pengganti potassium). Jika pengukuran gas
darah tidak dilakukan, kimia serum dapat digunakan untuk
mengukur serum glukosa dan level karbon dioksida.
Pemeriksaan cepat glukosa darah dengan menggunakan alat stik
pengukur penting pada pasien dengan perubahan status mental.
iii. Tes fungsi hati
Tes fungsi hati pada pasien dengan trauma tumpul abdomen
penting dilakukan, namun temuan peningkatan hasil bisa
dipengaruhi oleh beberapa alasan (contohnya penggunaan
alkohol). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kadar
aspartate aminotransferase (AST) atau alanine aminotransferase
(ALT) meningkat lebih dari 130 U pada koresponden dengan
cedera hepar yang signifikan. Kadar Lactate Dehydrogenase
(LDH) dan bilirubin tidak spesifik menjadi indikator trauma
hepar.
27
iv. Pengukuran Amilase
Penentuan amylase awal pada beberapa penelitian menunjukkan
tidak sensitif dan tidak spesifik untuk cidera pankreas. Namun,
peningkatan abnormal kadar amylase 3-6 jam setelah trauma
memiliki keakuratan yang cukup besar. Meskipun beberapa
cedera pankreas dapat terlewat dengan pemeriksaan CT scan
segera setelah trauma, semua dapat teridentifikasi jika scan
diulang 36-48 jam. Peningkatan amylase atau lipase dapat
terjadi akibat iskemik pancreas akibat hipotensi sistemik yang
menyertai syok.
v. Urinalisis
Indikasi untuk urinalisis termasuk trauma signifikan pada
abdomen dan atau panggul, gross hematuria, mikroskopik
hematuria dengan hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang
signifikan. Gross hematuri merupakan indikasi untuk
dilakukannya cystografi dan IVP atau CT scan abdomen dengan
kontras.
vi. Penilaian gas darah arteri (ABG)
Kadar ABG dapat menjadi informasi penting pada pasien
dengan trauma mayor. Informasi penting sekitar oksigenasi
(PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2) dapat digunakan untuk
menilai pasien dengan kecurigaan asidosis metabolic hasil dari
asidosis laktat yang menyertai syok. Defisit kadar basa sedang
(>-5 mEq) merupakan indikasi untuk resusitasi dan penentuan
etiologi. Usaha untuk meningkatkan pengantaran oksigen
sistemik dengan memastikan SaO2 yang adekuat (>90%) dan
pemberian volume cairan resusitasi dengan cairan kristaloid, dan
jika diindikasikan, dengan darah.
vii. Skrining obat dan alkohol
Pemeriksaan skrining obat dan alkohol pada pasien trauma
dengan perubahan tingkat kesadaran. Nafas dan tes darah dapat
mengindentifikasi tingkat penggunaan alkohol.
28
d. Pemeriksaan Radiologis
Penilaian awal paling penting pada pasien dengan trauma tumpul
abdomen adalah penilaian stabilitas hemodinamik. Pada pasien
dengan hemodinamik yang tidak stabil, evaluasi cepat harus dibuat
untuk melihat adanya hemoperitoneum. Hal ini dapat dapat dilakukan
dengan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) atau FAST (Focused
Abdominal Sonogram for Trauma) scan. Pemeriksaan radiografi
abdomen perlu dilakukan pada pasien yang stabil ketika pemeriksaan
fisik kurang meyakinkan (Hoff et al., 2001).
i. Foto polos
Udeani & Steinberg (2011) menyatakan bahwa meskipun secara
keseluruhan evaluasi pasien trauma tumpul abdomen dengan
rontgen polos terbatas, namun foto polos dapat digunakan untuk
menemukan beberapa hal. Radiografi dada bisa digunakan untuk
diagnosis cedera abdomen seperti ruptur hemidiafragmatika atau
pneumoperitoneum. Radiografi dada dan pelvis dapat digunakan
untuk menilai fraktur vertebra torakolumbar. Udara bebas
intraperitoneal atau udara yang terjebak pada retroperitoneal dari
perforasi usus kemungkinan bisa terlihat.
ii. Ultrasonografi
Ultrasonografi dengan focused abdominal sonogram for trauma
(FAST) sudah digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma lebih
dari 10 tahun di Eropa. Akurasi diagnostik FAST secara umum
sama dengan diagnostic peritoneal lavage (DPL). Penelitian di
Amerika dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan FAST
sebagai pendekatan noninvasif untuk evaluasi cepat
hemoperitoneum (Feldman, 2006). Pada pasien dengan trauma
tumpul abdomen dan cidera multisystem, ultrasonografi portabel
dengan operator yang berpengalaman dapat dengan cepat
mengidentifikasi cairan bebas di intraperitoneal. Cidera organ
berongga jarang teridentifikasi, namun cairan bebas bisa
29
tervisualisasi pada beberapa kasus (Salomone & Salomone,2011).
Evaluasi FAST abdomen terdiri visualisasi perikardium (dari
lapang pandang subxiphoid), rongga splenorenal dan hepatorenal,
serta kavum douglas pada pelvis. Tampilan pada kantong
Morrison lebih sensitive, terlebih jika etiologinya adalah cairan
(Jehangir et al., 2002). Cairan bebas pada umumnya diasumsikan
sebagai darah pada trauma abdomen. Cairan bebas pada pasien
yang tidak stabil mengindikasikan perlu dilakukan laparotomi
emergensi, akan tetapi jika pasien stabil dapat dievaluasi dengan
CT scan (Feldman, 2006).
iii. Computed Tomography (CT) Scan
Meskipun mahal dan membutuhkan banyak waktu, namun CT scan
banyak mendukung gambaran detail patologi trauma dan memberi
penunjuk dalam intervensi operatif. Tidak seperti FAST ataupun
DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage), CT scan dapat menentukan
sumber perdarahan (Salomone&Salomone,2011). Cidera diafragma
dan perforasi saluran pencernaan masih dapat terlewat dengan
pemeriksaan CT scan, khususnya jika CT scan dilakukan segera
setelah trauma. Cidera pankreas dapat terlewatkan dengan
pemeriksaan awal CT scan, tapi secara umum dapat ditemukan
pada pemeriksaan follow up yang dilakukan pada pasien resiko
tinggi. Untuk beberapa pasien, endoscopic retrograde
cholangiopancreatography (ERCP) dapat ditambahan bersama CT
scan untuk mendukung cedera duktus (Hoff et al., 200l).
Keuntungan utama CT scan adalah tingginya spesifitas dan
penggunaan sebagai petunjuk manajemen nonoperatif pada cidera
organ padat (Feldman, 2006).
iv. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Diagnostic peritoneal lavage (DPL) digunakan sebagai metode
cepat untuk menentukan adanya perdarahan intraabdomen. DPL
terutama berguna jika riwayat dan pemeriksaan abdomen
menunjukkan ketidakstabilan dan cidera multisistem atau tidak
30
jelas. DPL juga berguna untuk pasien dimana pemeriksaan
abdomen lebih lanjut tidak dapat dilakukan (Feldman, 2006).
Indikasi dilakukannya DPL pada trauma tumpul dimana
a) Pasien dengan cedera medulla spinalis
b) Cedera multipel dan syok yang tidak bisa dijelaskan
c) Pasien dengan cedera abdomen
d) Pasien intoksikasi dimana ada kecenderungan cedera
abdomen
e) Pasien dengan resiko cedera intra abdomen dimana
dibutuhkan anestesi yang lebih
f) panjang untuk prosedur yang lain.
Kontraindikasi absolute untuk DPL adalah kebutuhan untuk
laparotomi yang nyata. Kontraindikasi relatif termasuk obesitas
morbid, riwayat pembedahan abdomen multipel, dan kehamilan.
(Udeani&Steinberg,2011). Variasi metode kateterisasi ke dalam
rongga peritoneal telah dijelaskan, yaitu metode terbuka, semi
terbuka, dan metode tertutup. Metode terbuka membutuhkan insisi
kulit infraumbilikal yang luas dan melalui linea alba. Peritoneum
dibuka dan kateter dimasukkan dibawah visualisasi secara
langsung. Metode semi terbuka serupa, kecuali peritoneum tidak
dibukan dan kateter dilewatkan perkutaneus melewati peritoneum
ke dalam kavum peritoneal. Taknik tertutup membutukan kateter
uang dimasukkan secara buta melalui kulit, jaringan subkutan, linea
alba, dan peritoneum. Teknik tertutup dan semi terbuka pada infra
umbilical lebih banyak dilakukan pada bagian tengah
(Udeani&Steinberg,2011). DPL bernilai postitif pada pasien trauma
tumpul jika 10mL darah segar teraspirasi sebelum infus cairan cuci
atau jika pipa cairan cuci (contohnya 1 L NaCl diinfuskan ke
kavitas peritoneal melalui kateter dan dibiarkan tercampur, dimana
akan dialirkan oleh gravitasi) terdapat lebih dari 100.00 sel darah
merah/mL, lebih dari 500 sel darah putih/mL, peningkatan kadar
amilase, empedu, bakteri, serat makanan, atau urin. Hanya
31
diperlukan kira-kira 30 mL darah pada peritoneum untuk
menghasilkan hasil DPL positif secara mikroskopis (Feldman, 2006
; Salomone & Salomone, 2011 ; Udeani & Steinberg,2011). Hasil
lain dari DPL yang menjadi indikasi dilakukan eksplorasi termasuk
adanya empedu atau kadar amylase tinggi yang abnormal (indikasi
perforasi usus), serat makanan, atau bakteri pada pemeriksaan
bakteri (King&Bewes,2002). Komplikasi DPL termasuk
perdarahan dari insisi dan tempat masuk kateter, infeksi (luka
peritoneal), dan cidera pada struktur intra abdomen (seperti vesika
urinaria, usus halus, uterus). Infeksi pada insisi, peritonitis dari
tempat kateter, laserasi pada vesika urinaria, atau cidera organ-
organ lain intra abdomen dapat muncul dan mengakibatkan hasil
positif palsu. Hasil positif palsu dapat memicu laparotomi yang
tidak diperlukan (King&Bewes,2002). Indikasi dilakukan
laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdaraha atau syok yang
tidak terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi,
ditemukannya hemoperitoneum setelah pemeriksaan FAST atau
DPL (Feldman, 2006).
3.2 diagnosa
a. defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan
perdarahan
b. nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka
penetrasi abdomen
c. resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak
adekuatnya pertahanan tubuh.
d. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status
kesehatan.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik.
f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
intake yang kurang.
3.3 Intervensi
32
Menurut SDKI, SLKI dan SIKI
33
4 Gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan
kelemahan fisik.
5 Gangguan nutrisi kurang Setelah dilakukan asuhan 1. Ajarkan dan bantu klien untuk
dari kebutuhan keperawatan 3 x 24 jam istirahat sebelum makan
berhubungan dengan diharapkan nutrisi klien 2. Awasi pemasukan jumlah kalori,
intake yang kurang. terpenuhi. tawarkan makan sedikit tapi sering dan
Dengan kriteria hasil tawarkan pagi paling sering
sebagai berikut 3. Perhatikan higiene mulut yang baik
1. Klien mengetahui sebelum makan dan sesudah makan
kekurangan nutrisinya 4. Anjurkan makan pada posisi duduk
2. Klien dapat mengetahui 5. Berikan diet tinggi kalori rendah
cara untuk meningkatkan lemak
pemenuhan nutrisi
3. Klien dapat
meidentifikasi malnutrisi
protein-kalori khususnya
berat badan kurang dari
normal
4. Dapat mengidentifikasi
ketidakseimbangan
kebutuhan nutrisi
34
pengendalian perasaan engatif atas
pola kopingnya sendiri
segala hal yang dirasakan klien.
2. Klien menunjukan 4. Instruksikan untuk melaporkan
peningkatan konsentrasi timbulnya gejala-gejala kecemasan
dan ketepatan fikiran yang muncul yang tidak dapat lagi
dkontrol.
3. Klien menunjukan
5. Tingkatkan koping individu klien.
kemampuan untuk
6. Kolaborasi pemberian obat jenis anti
meyakinkan diri sendiri
depresan apabila klien benar-benar
4. Klien dapat tidak mampu mengendalikan
mempertahankan tingkat dirinya.
fungsi peran yang
diinginkan beserta
pemecahan masalahnya
5. Klien dapat
mengidentifikasi dan
mengemukakan pemicu
kecemasan, konflik dan
ancaman
3.4 implementasi
pada tahap ini untuk melaksankan intervensi dan aktivitas- aktivitas
yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien. Agar implementasi atau
pelkasanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi
prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap
intervensi yang dilakukan serta mendokumentasikan pelaksanaan
perawatan.
3.5 evaluasi
pada tahap ini yang perlu dievaluasi pada klien dengan trauma abdomen
adalah, mengacu pada tujuan yang hendak di capai yakni apakah terdapat :
35
a. nyeri yang menetap atau bertambah
b. kebutuhan akan rasa nyaman terpenuhi
c. klien bebas dari ketidakefektifan pola nafas
d. kultur urine menunjukan tidak ada bakteri
e. perubahan warna urine
f. mengerti tentang kondisi pemeriksaan diagostik, rencana
pengobatan, tindakan perawatan preventif
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang
dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah
menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma
yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Berdasarkan mekanisme trauma, terbagi atas 2 yaitu :
4.1.1 Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium). Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
4.1.2 Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium).Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan,
deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt).
36
4.2 Saran
Diharapkan dengan dibuatnya makalah ini bisa bermanfaat bagi
mahasiswa khususnya mahasiswa keperawatan untuk bisa lebih mengerti
dan memahami tentang tentang Keperawatan gawat darurat. Makalah
terutama tentang trauma abdomen ini masih jauh dari kata sempurna, maka
diharapkan kritik dan saran untuk lebih memperbaiki makalah.
DAFTAR PUSTAKA
https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/dfae2670fa6042c78e19909b44f
b5e68.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/138419-ID-kasus-serial-ruptur-
lien-akibat-trauma-a.pdf
http://repository.unimus.ac.id/737/3/BAB%20II.pdf
https://dadospdf.com/download/askep-trauma-abdomen-
37
_5ae630b9b7d7bcf438fcc432_pdf
http://repo.stikesicme-jbg.ac.id/747/9/151210020%20Miftakhul%20Khusnah
%20KTI.pdf
38