Anda di halaman 1dari 113

ESTIMASI NILAI EKONOMI

DAN ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN


EKOWISATA MANGROVE PANTAI INDAH KAPUK (PIK)

NOVIA RAHMAWATI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Estimasi Nilai Ekonomi
dan Analisis Keberlanjutan Kawasan Ekowisata Mangrove Pantai Indah Kapuk
(PIK)” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2018

Novia Rahmawati
H44140009
ABSTRAK

NOVIA RAHMAWATI. Estimasi Nilai Ekonomi dan Analisis Keberlanjutan


Kawasan Ekowisata Mangrove Pantai Indah Kapuk (PIK). Dibimbing oleh
ACENG HIDAYAT.

Kerusakan ekosistem mangrove di wilayah pesisir DKI Jakarta telah


mengancam keberadaan hutan mangrove dan keberlanjutan dari fungsi ekosistem
mangrove sebagai penyedia jasa lingkungan bagi makhluk hidup. Alih fungsi lahan
hutan mangrove menjadi tambak dan tempat pemancingan menyebabkan kerusakan
ekosistem mangrove pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Setelah menyadari
adanya kerusakan pada lahan mangrove tersebut, Dinas Kehutanan DKI Jakarta
mengusir para perusak hutan mangrove untuk keluar dari kawasan, kemudian
diikuti pula dengan melakukan upaya rehabilitasi mangrove. Upaya pengendalian
kerusakan mangrove tersebut dilakukan dengan cara mengembangkan kawasan
tersebut sebagai kawasan ekowisata. Penelitian ini bertujuan mengestimasi nilai
ekonomi total dan menganalisis status keberlanjutan ekosistem mangrove pada
Kawasan Ekoswisata Mangrove PIK. Penelitian ini menggunakan metode valuasi
ekonomi dengan pendekatan harga pasar (market price), benefit transfer, dan
Travel Cost Method (TCM) untuk menentukan nilai ekonomi total Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK. Metode Multi-dimensional Scalling (MDS) dengan alat
analisis Rap_Mforest digunakan untuk menganalisis status keberlanjutan ekosistem
mangrove pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai ekonomi total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK sebesar
Rp 1 509 838 320,52. Analisis status keberlanjutan ekosistem mangrove pada
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dengan menggunakan Rap_Mforest
menunjukkan status kurang berkelanjutan untuk dimensi ekonomi dengan nilai
indeks 49,05. Status cukup berkelanjutan untuk dimensi ekologi dan sosial dengan
masing-masing nilai indeks sebesar 59,88 dan 53,75. Pada dimensi kelembagaan
berstatus berkelanjutan dengan nilai indeks 92,12.

Kata kunci: ekosistem mangrove, nilai ekonomi total, Rap_Mforest, status


keberlanjutan
ABSTRACT

NOVIA RAHMAWATI. Economic Value Estimation and Sustainability Analysis


of Kawasan Ekowisata Mangrove Pantai Indah Kapuk (PIK). Supervised by
ACENG HIDAYAT.

Damaged mangrove ecosystem in the coastal areas of DKI Jakarta has


threatened the existences of mangrove forests and the sustainability of mangrove
ecosystem functions as provider of environmental services for living things. The
conversion of mangrove forest area into ponds and fishing grounds causes damage
to mangrove ecosystems in PIK Mangrove Ecotourism Area. After noticed the
damage of the mangroves, DKI Jakarta Forestry Service expel the destroyers of
mangrove forest to get out of the area then undertake the mangrove rehabilitation.
The effort to control that mangrove’s damage is to delevelop the area as an
ecotourism sector. This research aims to estimate the total economic value and
analyze the sustainability status of the mangrove ecosystem in PIK Mangrove
Ecotourism Area. This research used economic valuation method with market price
approach, benefit transfer, and Travel Cost Method (TCM) to determine the total
economic value of the PIK Mangrove Ecotourism Area. Multi-dimensional Scaling
(MDS) method with Rap_Mforest analysis tool is used to analyze the sustainability
status of mangrove ecosystem in PIK Mangrove Ecotourism Area. The result of the
research shows that the total economic value of the PIK Mangrove Ecotourism Area
is Rp 1 509 838 320,52. Analysis of the sustainability status of the mangrove
ecosystem in PIK Mangrove Ecotourism Area using Rap_Mforest shows status lack
of sustainable for the economic dimension with an index value of 49,05. The status
is sustainable enough for ecological and social dimensions with each index value
of 59,88 and 53,75. On the institutional dimension with a sustainable status with an
index value of 92,12.

Keywords: mangrove ecosystem, Rap_Mforest, sustainability status, total


economic value
ESTIMASI NILAI EKONOMI
DAN ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN
EKOWISATA MANGROVE PANTAI INDAH KAPUK (PIK)

NOVIA RAHMAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Estimasi Nilai
Ekonomi dan Analisis Keberlanjutan Kawasan Ekowisata Mangrove Pantai Indah
Kapuk (PIK)” dapat diselesaikan. Tujuan karya ilmiah ini disusun untuk memenuhi
persyaratan agar dapat menyelesaikan Program Sarjana pada Departemen Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang
telah membantu dalam penyusunan karya ilmiah ini, terutama kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Bapak Abdul Farid dan Ibu Suartini, serta Adik
Ahmad Rifki dan Aini Khairunisa atas saran, dukungan, dan do’a untuk
kelancaran penulisan karya ilmiah ini.
2. Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, saran, dan kritik dalam penyusunan karya ilmiah ini.
3. Dr. Meilanie Buitenzorgy, S.Si, M.Sc selaku dosen penguji utama dan Kastana
Sapanli, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji wakil departemen yang telah
memberikan bimbingan, saran, dan kritik yang membangun dalam
penyelesaian karya ilmiah ini.
4. Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S, PhD selaku dosen pembimbing
akademik selama penulis menjalani masa perkuliahan.
5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
FEM IPB atas ilmu, bimbingan, dan bantuan selama penulis menempuh
pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor.
6. Kelurahan Kapuk Muara, Dinas Kehutanan DKI Jakarta, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Perencanaan dan Pembangunan
Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, dan KeMangteer Jakarta yang telah membantu
penulis dalam pengumpulan data terkait karya ilmiah.
7. Seluruh responden atas bantuan menjawab pertanyaan dalam kuesioner
penelitian.
8. Para sahabat Amel, Diah, Elin, Erika, Nudia, dan Riska; teman satu bimbingan
yakni Amrina, Audry, Aulia, dan Indriyana; dan keluarga besar ESL 51 yang
selalu memberikan bantuan, do’a, dan dukungan.
9. Para sahabat ROHIS SMAN 29 angkatan 2014 atas dukungan dan do’anya
demi kelancaran penyusunan karya ilmiah ini.

Bogor, September 2018

Novia Rahmawati
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Ruang Lingkup Penelitian 5
1.5 Manfaat Penelitian 5
II TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Ekosistem Hutan Mangrove 7
2.2 Definisi Kelembagaan 8
2.3 Valuasi Ekonomi 8
2.4 Benefit Transfer 10
2.5 Travel Cost Method 11
2.6 Analisis Keberlanjutan 12
2.7 Penelitian Terdahulu 14
III KERANGKA PEMIKIRAN 19
IV METODE PENELITIAN 21
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 21
4.2 Jenis dan Sumber Data 21
4.3 Metode Pengambilan Contoh 22
4.4 Metode Analisis Data 23
4.4.1 Estimasi Nilai Ekonomi Total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 23
4.4.2 Analisis Status Keberlanjutan Ekosistem Mangrove Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK 29
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 35
5.1 Sejarah Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 35
5.2 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 37
5.3 Kondisi Ekositem Mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 38
5.4 Kependudukan dan Sosial Ekonomi 40
5.5 Karakteristik Responden 41
VI HASIL DAN PEMBAHASAN 45
6.1 Nilai Ekonomi Total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 45
6.1.1 Nilai Guna Langsung (Direct Use Value) 45
6.1.2 Nilai Guna Tak Langsung (Indirect Use Value) 50
6.1.3 Nilai Pilihan (Option Value) 51
6.1.4 Nilai Non-Guna (Non-Use Value) 51
6.1.5 Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) 52
6.2 Status Keberlanjutan Ekosistem Mangrove Kawasan Ekoswisata Mangrove
PIK 53
6.2.1 Dimensi Ekologi 54
6.2.2 Dimensi Ekonomi 58
6.2.3 Dimensi Kelembagaan 61
6.2.4 Dimensi Sosial 66
VII SIMPULAN DAN SARAN 73
7.1 Simpulan 73
7.2 Saran 73
DAFTAR PUSTAKA 75
LAMPIRAN 81
RIWAYAT HIDUP 95
DAFTAR TABEL

1 Selang indeks keberlanjutan 14


2 Persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu 17
3 Jenis dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian 21
4 Matriks metode analisis data 23
5 Penentuan nilai skor masing-masing atribut keberlanjutan 30
6 Kawasan hutan yang termasuk dalam hutan mangrove Angke Kapuk 37
7 Jenis tumbuhan mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 39
8 Jumlah penduduk Kapuk Muara berdasarkan tingkat pendidikan dan mata
pencaharian 40
9 Karakteristik responden wisatawan berdasarkan usia 42
10 Karakteristik responden wisatawan berdasarkan tingkat pendidikan 42
11 Karakteristik responden wisatawan berdasarkan jenis pekerjaan 43
12 Karakteristik responden wisatawan berdasarkan tingkat pendapatan 43
13 Klasifikasi nilai ekonomi total ekosistem mangrove 45
14 Hasil analisis regresi fungsi permintaan wisata 46
15 Nilai ekonomi wisata Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 49
16 Nilai ekonomi penyerapan karbon Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 50
17 Nilai pilihan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 51
18 Nilai keberadaan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 52
19 Nilai ekonomi total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 52
20 Nilai skor dimensi keberlanjutan ekologi dari ekosistem mangrove 56
21 Nilai skor dimensi keberlanjutan ekonomi dari ekosistem mangrove 59
22 Nilai skor dimensi keberlanjutan kelembagaan dari ekosistem mangrove 64
23 Nilai skor dimensi keberlanjutan sosial dari ekosistem mangrove 68
24 Nilai statistik hasil analisis Rap_Mforest 70
25 Perbandingan nilai indeks keberlanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi,
kelembagaan, dan sosial 70
DAFTAR GAMBAR

1 Jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2014 – 2017 1


2 Jumlah Kunjungan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK Tahun 2017 3
3 Klasifikasi nilai ekonomi total 10
4 Elemen proses aplikasi Rapfish untuk data perikanan 13
5 Skema alur kerangka pemikiran 20
6 Nilai ekonomi total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 24
7 Lokasi kawasan hutan mangrove Angke Kapuk 38
8 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi ekosistem mangrove 57
9 Analisis leverage atribut pada dimensi ekologi 58
10 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi ekosistem mangrove 60
11 Analisis leverage atribut pada dimensi ekonomi 60
12 Papan peraturan Dinas Kehutanan DKI Jakarta 62
13 Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan ekosistem mangrove 65
14 Analisis leverage atribut pada dimensi kelembagaan 65
15 Indeks keberlanjutan dimensi sosial ekosistem mangrove 68
16 Analisis leverage atribut pada dimensi sosial 69
17 Diagram layang-layang indeks keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK 71
DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner penelitian 82
2 Daftar responden stakeholder terkait pengelolaan Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK 89
3 Kerapatan mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 90
4 Hasil analisis regresi linear berganda 91
5 Penanaman mangrove di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 93
6 Jumlah kegiatan penelitian di kawasan hutan mangrove Angke Kapuk yang
dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta 94
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem mangrove terletak di wilayah pesisir pantai yang dipengaruhi oleh


pasang surut air laut. Ekosistem mangrove berperan penting sebagai penyedia jasa
lingkungan bagi makhluk hidup. Fungsi ekosistem mangrove dapat dikategorikan
menjadi fungsi biologis atau ekologis, fungsi fisik, dan fungsi sosial-ekonomis
(Kustanti 2011). Fungsi dan jasa yang disediakan ekosistem mangrove, antara lain
sebagai daerah asuhan (nursery ground), tempat mencari makan, dan daerah
pemijahan bagi biota perairan (ikan, udang, kepiting, dan kerang); sebagai habitat
bagi beberapa jenis tumbuhan epifit; sebagai daerah penangkapan biota perairan;
penghasil kayu, arang, obat-obatan dan makanan; peredam gelombang; pelindung
dari abrasi dan tsunami; pencegah intrusi air laut; penghasil oksigen dan penyerap
karbon; sebagai lokasi wisata; serta laboratorium alam untuk pendidikan (Lisbani
dan Kamal 2009, dan Vo et al. 2012).
Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas dan keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia. Pada tahun 2015 luas mangrove Indonesia sebesar 3 489 140,68
ha atau setara dengan 23 % ekosistem mangrove dunia dari total luas 16 530 000
ha (KLHK 2017). Salah satu permasalahan dalam ekosistem mangrove Indonesia
adalah kerusakan mangrove akibat alih fungsi lahan hutan mangrove. Pendorong
laju alih fungsi lahan hutan mangrove adalah peningkatan jumlah penduduk yang
menyebabkan kebutuhan akan penggunaan lahan semakin meningkat. DKI Jakarta
merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penduduk tertinggi di Indonesia.
Jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 10,37 juta jiwa dengan laju pertumbuhan
penduduk mencapai 1,06 % pada tahun 2017 (BPS DKI Jakarta 2017). Peningkatan
jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2014 – 2017 disajikan pada Gambar 1.
10.50 10.28 10.37
10.18
(juta jiwa)
penduduk

10.08
Jumlah

10.00

9.50
2014 2015 2016 2017
Sumber: BPS DKI Jakarta 2017

Gambar 1 Jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2014 – 2017


2

Semakin meningkatnya jumlah penduduk DKI Jakarta, mendorong tingginya


permintaan sumber daya lahan di DKI Jakarta. Akibatnya, sering kali lahan hutan
dialihfungsikan untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya lahan tersebut.
Pada daerah peisisir DKI Jakarta, lahan hutan mangrove sering kali
dialihfungsikan untuk kepentingan tambak, pemukiman, industri, dan infrastruktur
pantai atau pelabuhan. Jika hal demikian terus terjadi, maka akan mengakibatkan
kerusakan ekosistem mangrove sehingga fungsi ekosistem mangrove sebagai
penyedia jasa lingkungan semakin tidak optimal. Kerusakan ekosistem mangrove
dapat menyebabkan peningkatan laju intrusi air laut; peningkatan masa genangan
air yang dapat menjadi tempat nyamuk berkembang biak pada pengalihfungsian
mangrove untuk tambak; dan terganggunya fungsi mangrove dalam menyerap
logam berat; serta tidak dapat mencegah terjadinya badai dan banjir rob (Tuwo 2011
dan Vo et al. 2012). Hal tersebut terjadi pada kawasan mangrove Muara Angke
DKI Jakarta yang mengalami penurunan kuantitas dan kualitas akibat alih fungsi
lahan hutan mangrove dan tekanan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran
limbah rumah tangga dan industri, serta penebangan hutan mangrove secara liar.
Upaya pemerintah mengendalikan kerusakan ekosistem mangrove di DKI
Jakarta dilakukan dengan cara menetapkan kawasan hutan yang dipertahankan
luasnya. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
220/Kpts-II/2000 Tanggal 2 Agustus 2000 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan
dan Perairan serta Tata Guna Hutan Kesepakatan di wilayah Provinsi DKI Jakarta
seluas 108 475,45 ha (kawasan hutan dan perairan), yang terdiri atas Taman
Nasional Kepulauan Seribu seluas 108 039,50 ha; Taman Wisata Alam (TWA)
Angke Kapuk seluas 99,82 ha; Cagar Alam Pulau Bokor seluas 18 ha; Suaka
Margasatwa (SM) Pulau Rambut seluas 90 ha; SM Muara Angke seluas 25 ha;
Hutan Lindung Angke Kapuk seluas 44,76 ha; dan Hutan Produksi Angke Kapuk
seluas 158,35 ha. Pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK yang merupakan bagian
dari Hutan Produksi Angke Kapuk, upaya mengendalikan kerusakan dan
mempertahankan keberadaan mangrove dilakukan oleh Dinas Kehutanan DKI
Jakarta dengan mengembangkan kawasan tersebut sebagai tempat tujuan wisata,
sekaligus sarana edukasi mengenai mangrove. Jumlah kunjungan wisatawan yang
berkunjung ke Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dapat dilihat pada Gambar 2.
3

Jumlah Kunjungan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK


Tahun 2017

3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0

Sumber: Dinas Kehutanan DKI Jakarta (2018)

Gambar 2 Jumlah Kunjungan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK Tahun 2017


Gambar 2 menunjukkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK pada Tahun 2017 berfluktuatif, namun memiliki trend
yang positif atau meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan jasa
lingkungan kawasan sebagai salah satu tempat tujuan wisata memiliki potensi nilai
ekonomi yang tinggi. Selain memiliki manfaat langsung dari fungsinya sebagai
tempat tujuan wisata, Kawasan Ekowisata Mangrove PIK juga berfungsi sebagai
penyerap karbon dan penghasil oksigen, penahan intrusi air laut, penyerap limbah,
penyedia unsur hara atau nutrisi, nursery ground, pelestarian biodiversitas, dan
penyedia lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang mendirikan usaha di sekitar
kawasan ekowisata.
1.2 Perumusan Masalah

Salah satu ekosistem penunjang kehidupan masyarakat wilayah pesisir DKI


Jakarta adalah ekosistem mangrove. Aktivitas manusia atau pembangunan wilayah
pesisir yang tidak memperhatikan fungsi lingkungan dapat meningkatkan tekanan
terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, dan mengancam keberadaan dan
keberlanjutan fungsi hutan mangrove. Salah satu upaya mengendalikan kerusakan
ekosistem mangrove akibat alih fungsi lahan hutan mangrove, yaitu pemerintah
menetapkan kawasan hutan mangrove yang dipertahankan. Salah satu hutan
mangrove yang dipertahankan keberadaannya adalah Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK yang terletak di Hutan Produksi Angke Kapuk dan dikelola oleh
4

Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Pada awalnya, lahan hutan mangrove pada kawasan
tersebut dialihfungsikan menjadi tambak dan tempat pemancingan masyarakat.
Hadirnya tambak dan tempat pemancingan yang dibangun oleh masyarakat
membuat keberadaan hutan mangrove tersebut semakin terancam. Melihat
kerusakan yang ditimbulkan akibat alih fungsi lahan hutan mangrove tersebut,
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kehutanan DKI Jakarta
dengan tegas mengusir para perusak hutan mangrove untuk keluar dari kawasan
dan melakukan upaya rehabilitasi mangrove.
Upaya mengendalikan kerusakan ekosistem mangrove pada Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK dilakukan dengan cara mengembangkan kawasan
tersebut sebagai kawasan ekowisata. Hal tersebut dilakukan sebab dalam konsep
ekowisata mengandung unsur pendidikan dan konservasi sumber daya alam dan
lingkungan. Menurut Nugroho (2011), ekowisata adalah kegiatan wisata yang
dikemas secara profesional, terlatih, dan mengandung unsur pendidikan, dan
sebagai suatu sektor atau usaha ekonomi yang mempertimbangkan konservasi
sumber daya alam dan lingkungan. Melihat kembalinya hutan mangrove pada
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dari tambak dan tempat pemancingan menjadi
hutan mangrove, maka dari itu penting untuk mengestimasi nilai ekonomi dan
menganalisis status keberlanjutan ekosistem mangrove pada Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Berapa besar nilai ekonomi total dari Kawasan Ekowisata Mangrove PIK?
2. Bagaimana status keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan Ekoswisata
Mangrove PIK?
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan dalam penelitian


ini adalah:
1. Mengestimasi nilai ekonomi total dari Kawasan Ekowisata Mangrove PIK.
2. Menganalisis status keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan Ekoswisata
Mangrove PIK.
5

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK yang terletak di


Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara,
DKI Jakarta.
2. Responden dalam penelitian ini terdiri atas wisatawan dan stakeholder terkait
pengelolaan ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK.
3. Estimasi nilai ekonomi total dilakukan untuk menunjukkan penjumlahan dari
nilai guna dan nilai non-guna, sebab penulis memiliki keterbatasan dana dan
waktu untuk mengestimasi nilai ekonomi total ekosistem mangrove secara
keseluruhan.
4. Nilai guna langsung (direct use value) yang diestimasi dalam penelitian ini
merupakan nilai pemanfaatan hutan mangrove saat ini dari kegiatan wisata dan
pembibitan mangrove. Nilai guna tak langsung (indirect use value) yang
diestimasi adalah fungsi ekologis ekosistem mangrove sebagai penyerap
karbon. Nilai non-guna (non-use value) yang diestimasi untuk menentukan
nilai ekonomi total hanyalah nilai keberadaan (existence value) ekosistem
mangrove.
5. Analisis keberlanjutan dilakukan terhadap 4 dimensi, yaitu dimensi ekologi,
ekonomi, kelembagaan, dan sosial. Pada analisis keberlanjutan hanya sampai
pada leverage analysis.
1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Bagi penulis, sebagai bahan pembelajaran dan aplikasi ilmu Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan yang telah diperoleh dalam perkualiahan untuk
diterapkan di lapangan.
2. Bagi wisatawan dan masyarakat sekitar Kawasan Ekowisata Mangrove PIK,
untuk memberikan informasi nilai ekosistem mangrove kawasan tersebut.
3. Bagi pembuat kebijakan, dapat diketahui nilai ekonomi dan status
keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan arahan strategi
pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.
4. Menjadi sumber referensi dan informasi bagi penelitian terkait berikutnya.
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Hutan Mangrove

Mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan


suatu komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang khas
atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin
(Nybakken 2004). Menurut KLHK (2016), hutan mangrove adalah komunitas
vegetasi pantai tropis yang khas, tumbuh dan berkembang pada daerah pasang
surut, terutama di laguna, muara sungai dan pantai yang terlindung dengan substrat
lumpur atau lumpur berpasir. Selain beradaptasi dengan pasang surut, tumbuhan
mangrove juga beradaptasi terhadap kadar oksigen dasar perairan yang rendah dan
tanah yang kurang stabil (Tuwo 2011). Dengan demikian, hutan mangrove dapat
diartikan sebagai komunitas vegetasi pantai tropis yang khas yang tumbuh di daerah
pasang surut air laut, selalu digenangi air, dan mampu bertahan pada lingkungan
yang ekstrem. Kemudian ekosistem mangrove ialah suatu sistem yang terdiri atas
makhluk hidup yang berinteraksi dengan lingkungannya dalam suatu habitat
mangrove.
Ekosistem mangrove merupakan penopang ekosistem pesisir lainnya,
terutama ekosistem lamun dan terumbu karang. Ekosistem mangrove berfungsi
sebagai penghasil detritus, nutrient, dan bahan organik yang dapat dibawa arus ke
ekosistem padang lamun dan terumbu karang (Tuwo 2011). Selain itu, hutan
mangrove sebagai salah satu sumber daya alam hayati mempunyai fungsi dan
manfaat bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan kelestarian lingkungan hidup.
Menurut Kustanti (2011) menyatakan bahwa hutan mangrove memiliki beberapa
fungsi yang dapat dikategorikan menjadi:
1. Fungsi biologis atau ekologis
Hutan mangrove memiliki nilai penting dalam menyediakan makanan bagi
organisme yang tinggal di sekitarnya (udang, kepiting, ikan, burung, dan mamalia).
Kerapatan mangrove yang memungkinkan untuk melindungi kehidupan organisme
di dalamnya, menjadikan hutan mangrove sebagai tempat berkumpul dan daerah
asuhan (nursery ground) bagi anak udang, anak ikan, dan biota laut lainnya. Selain
itu, mangrove menyediakan tempat pemijahan yang ideal bagi biota laut.
8

2. Fungsi fisik
Hutan mangrove berperan dalam melindungi pantai dari gelombang besar dan
angin kencang, melindungi pantai dari abrasi, menahan lumpur, mengendalikan
intrusi air laut, memerangkap sedimen, dan juga sebagai lahan untuk mengolah
limbah-limbah organik dengan menetralisir zat-zat beracun yang dihasilkan limbah
tersebut.
3. Fungsi sosial dan ekonomi
Hasil hutan kayu dan non-kayu hutan mangrove memberikan manfaat
ekonomi kepada masyarakat. Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hasil hutan
dan jasa mangrove berkontribusi dalam upaya peningkatan kondisi ekonomi dan
sosial masyarakat sekitar. Pembangunan kawasan ekowisata mangrove dan hutan
pendidikan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar.
2.2 Definisi Kelembagaan

Kelembagaan adalah aturan main di dalam masyarakat atau lebih formalnya


adalah kendala yang dirancang manusia yang membentuk interaksi manusia (North
1990 dalam Hodgson 2006). Berdasarkan bentuknya yakni tertulis dan tidak
tertulis, North (1991) membagi kelembagaan menjadi formal dan informal.
Kelembagaan formal terdiri atas konstitusi, undang-undang, dan property right;
sedangkan kelembagaan informal terdiri atas tradisi, sanksi, konvensi, kode etik,
dan lain-lain (North 1991). Menurut Ostrom (2011) kelembagaan merupakan
kumpulan aturan kerja yang digunakan untuk menentukan siapa yang berhak
membuat keputusan di beberapa arena, tindakan apa yang diizinkan atau dibatasi,
kesatuan aturan apa yang akan digunakan, prosedur apa yang harus diikuti,
informasi apa yang perlu atau tidak perlu disediakan, dan pembayaran apa yang
akan diberikan individu tergantung pada tindakan mereka. Jika kelembagaan
sebagai aturan main, maka organisasi adalah para pemain yang terdiri atas
kelompok individu terikat dan memiliki tujuan bersama untuk mencapai tujuan
tertentu (North 1994 dalam Hodgson 2006).
2.3 Valuasi Ekonomi

Valuasi ekonomi sumber daya alam, yaitu pemberian harga pada barang dan
jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan (Harahab 2010). Valuasi
ekonomi sumber daya alam dan lingkungan berperan dalam menyediakan informasi
9

untuk membantu proses pengambilan keputusan terkait kebijakan publik (Fauzi


2014). Undervalue terhadap nilai yang sebenarnya dari sumber daya alam dan
lingkungan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Menurut Pagiola
et al. (2004), kerangka utama yang digunakan dalam mengklasifikan nilai barang
dan jasa lingkungan berdasarkan penggunaannya adalah nilai ekonomi total (Total
Economic Value [TEV]).
Nilai ekonomi total sumber daya alam dan lingkungan terdiri atas nilai guna
(use value) dan nilai non-guna (non-use value). Nilai guna (use value) pada
dasarnya diartikan sebagai nilai ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan in-
situ dari sumberdaya alam dan lingkungan, seperti pemanfaatan untuk konsumsi
atau rekreasi (Fauzi 2014). Nilai guna dibedakan lagi menjadi nilai guna langsung
(direct use value), nilai guna tak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan
(option value). Nilai non-guna (non-use value) merupakan nilai yang dirasakan oleh
seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang
independen terhadap pemanfaatan saat ini maupun mendatang (Fauzi 2014). Nilai
non-guna dapat dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu nilai keberadaan (existence
value) dan nilai warisan (bequest value). Pengertian nilai yang termasuk dalam
kerangka TEV, antara lain (Pagiola et al. 2004):
a. Direct use value adalah nilai atas barang dan jasa sumber daya dan lingkungan
yang digunakan langsung oleh manusia, meliputi nilai penggunaan konsumtif
(seperti kayu untuk bahan bakar atau konstruksi dan produk obat) dan nilai
penggunaan non-konsumtif (seperti rekreasi).
b. Indirect use value adalah nilai ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari
sumber daya alam dan lingkungan secara tidak langsung, seperti fungsi
ekologis suatu sumber daya.
c. Option value diturunkan dari melestarikan pilihan untuk menggunakan barang
dan jasa lingkungan pada masa mendatang yang mungkin tidak digunakan saat
ini.
d. Non-use value adalah nilai keuntungan yang dinikmati manusia atas
keberadaan sumber daya alam dan lingkungan.
Terminologi “total” dalam TEV bukan menunjukkan nilai keseluruhan dari
sumber daya alam dan lingkungan sebab nilai keseluruhan dari sumber daya alam
10

dan lingkungan sulit diukur, nilai “total” yang dimaksud dalam TEV lebih
menunjukkan penjumlahan dari nilai guna dan nilai non-guna (Fauzi 2014).
Klasifikasi nilai ekonomi total sumber daya alam dan lingkungan dapat dilihat pada
Gambar 3.
TEV

Use value Non-use value

Existence value Bequest value


Direct use value Indirect use value Option value

Sumber: Harahab (2010)

Gambar 3 Klasifikasi nilai ekonomi total


Pengukuran nilai guna langsung dapat dilakukan dengan pendekatan harga
pasar melalui penggunaan harga barang atau jasa yang dipasarkan. Namun,
pendekatan tersebut tidak tepat untuk penilaian jasa lingkungan yang tidak
memiliki harga pasar. Metode penilaian non-pasar yang dapat digunakan untuk
mengestimasi nilai ekonomi tersebut adalah Stated Preference Method (metode
preferensi yang dinyatakan) (Fauzi 2014).
2.4 Benefit Transfer

Analisis ekonomi mengenai sumber daya alam dan lingkungan terkadang


terkendala oleh data dan informasi yang sangat minim, waktu yang terbatas, dan
biaya yang cukup besar. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
melakukan perhitungan secara cepat dengan mengandalkan data dan informasi
sekunder yang tersedia adalah benefit transfer (Fauzi 2014). Benefit transfer adalah
suatu prosedur untuk mengambil estimasi manfaat ekonomi yang dikumpulkan dari
satu lokasi dan menerapkannya di lokasi lainnya (Plummer 2009). Lokasi di mana
nilai estimasi diambil disebut sebagai study site (lokasi yang telah dipelajari),
sedangkan lokasi di mana nilai estimasi diterapkan disebut sebagai policy site.
Metode benefit transfer dikelompokkan menjadi dua kategori nilai, yaitu
transfer nilai (value transfer) dan transfer fungsi (function transfer). Pada transfer
nilai, terdapat nilai tunggal yang sesuai dengan jenis yang akan dinilai yang dapat
digunakan dengan sedikit penyesuaian (Fauzi 2014). Jenis benefit transfer yang
umum dalam penilaian jasa ekosistem menerapkan estimasi nilai per ha untuk
11

semua lokasi yang memiliki tutupan lahan dan jenis habitat yang sama (Plummer
2009). Pada pendekatan fungsi, nilai yang didapatkan melalui benefit transfer
merupakan nilai yang diolah melalui pendekatan ekonometrik, sehingga kemudian
baru dapat digunakan (Fauzi 2014). Oleh karena benefit transfer pada umumnya
digunakan dalam perhitungan nilai non-guna, maka sumber nilai ini pun diperoleh
dari 3 sumber yakni opini pakar, dan nilai dari Stated Preference Method dan
Revealed Preference Method (Brookshire dan Neill 1992 dalam Fauzi 2014).
2.5 Travel Cost Method

Travel Cost Method (TCM) merupakan salah satu metode penilaian ekonomi
jasa lingkungan yang termasuk dalam kelompok Revealed Preference Method
(preferensi yang terungkap). Secara prinsip, TCM merupakan teori permintaan
konsumen di mana nilai yang diberikan seseorang pada lingkungan dapat
disimpulkan dari biaya yang dikeluarkan ke lokasi yang dikunjungi (Fauzi 2014).
Oleh karenanya, surplus konsumen merupakan isu pokok dalam TCM.
Pada TCM terdapat 3 pendekatan dalam analisis valuasi ekonomi, yaitu
Individual Travel Cost Method (ITCM), Zonal Travel Cost Method (ZTCM) dan
Random Utility Model (RUM). ITCM dan ZTCM merupakan pendekatan yang
paling banyak digunakan karena realif mudah digunakan dibandingkan dengan
RUM. Pendekatan ITCM didasarkan pada survei atas wisatawan ke tempat tujuan
rekreasi, sedangkan ZTCM merupakan pendekatan klasik yang didasarkan pada
data sekunder di mana jumlah kunjungan diduga merupakan fungsi dari biaya
perjalanan yang didasarkan pada zona wilayah relatif terhadap tempat wisata (Fauzi
2014). Prinsipnya pendekatan ITCM serupa dengan ZTCM, namun ITCM
menggunakan data survei dari individu pengunjung dan teknik statistika yang relatif
kompleks (Fauzi 2006). Hasil yang diperoleh menggunakan pendekatan ITCM
dinilai lebih akurat dibandingkan dengan ZTCM.
Pendekatan TCM yang digunakan dalam penelitian ini adalah ITCM. ITCM
menggunakan teknik ekonometrik seperti regresi sederhana (Ordinary Least
Square) dalam menentukan fungsi permintaan wisata. Adapun fungsi permintaan
wisata pada pendekatan ITCM dapat dirumuskan sebagai berikut (Zandi 2018):
Vi = f ((TCi + P), X1i, …, Xni)
Keterangan:
12

Vi = jumlah kunjungan dari individu i ke lokasi wisata per tahun


TCi = biaya perjalanan individu per kunjungan
P = harga masuk yang dibayarkan individu ke lokasi wisata
X1i, …, Xni = variabel sosial-ekonomi seperti pendapatan, tingkat pendidikan, dan
lain-lain
2.6 Analisis Keberlanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan telah diperkenalkan sejak tahun 1987


oleh the Wold Commission on Environmental and Development dalam laporannya
yang berjudul Our Common Future (Harris 2000). Definisi pembangunan
berkelanjutan menurut laporan tersebut ialah pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan saat ini tanpa menurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhannya. Menurut Harris (2000), konsep pembangunan
keberlanjutan dapat diperinci menjadi 3 aspek pemahaman, antara lain:
1) Keberlanjutan ekonomi, diartikan sebagai pembangunan yang mampu
menghasilkan barang dan jasa secara terus-menerus atau kontinu untuk
memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya
ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan
industri.
2) Keberlanjutan secara lingkungan diartikan bahwa sistem yang berkelanjutan
secara lingkungan harus mampu memelihara sumberdaya yang stabil dan
menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan.
Konsep ini menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang
udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk dalam kategori
sumber-sumber ekonomi.
3) Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai
kesetaraan; menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan,
gender dan akuntabilitas politik.
Pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, lingkungan, sosial tidak
terlepas dari dukungan aspek kelembagaan. Kelembagaan berkelanjutan harus
dinilai sesuai dengan kemampuan lembaga dalam mengoordinasikan interaksi
manusia untuk mencapai tujuan keberlanjutan. Idealnya, kelembagaan yang
13

berkelanjutan dapat mendukung pembangunan berkelanjutan secara ekonomi,


sosial, dan lingkungan (Pfahl 2005).
Pada pengukuran tingkat keberlanjutan, salah satu teknik yang dapat
digunakan adalah Rapid Appraisal for Fisheries Status (Rapfish). Rapfish pertama
kali dikembangkan oleh University of British Columbia yang merupakan analisis
untuk mengevaluasi keberlanjutan dari perikanan secara multidisipliner. Rapfish
didasarkan pada teknik ordinasi (menetapkan sesuatu pada urutan atribut yang
terukur) dengan menggunakan teknik Multi-dimensional Scalling (MDS) (Fauzi
dan Anna 2005). Teknik MDS merupakan teknik statistika untuk melakukan
transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Teknik ordinasi
dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance dalam ruang berdimensi n (Fauzi
dan Anna 2005). Dimensi pada Rapfish mencakup aspek keberlanjutan ekologi,
ekonomi, teknologi, sosial, dan etik. Setiap dimensi tersebut memiliki atribut yang
terkait dengan keberlanjutan dan sesuai dalam FAO-Code of Conduct. Tahapan
dalam aplikasi Rapfish dapat dilihat pada Gambar 4.

Start

Review Attribut Identifikasi dan pendefinisian perikanan


(meliputi berbagai kategori dan (didasarkan kriteria yang konsisten)
skoring kriteria)

Skoring perikanan
(mengkonstruksi reference point untuk good dan bad serta anchor)

Multidimensional Scaling Ordination


(untuk setiap atribut)

Simulasi Monte Carlo Analisis Leverage


(analisis ketidakpastian) (analisis anomali)

Analisis Keberlanjutan
(assess sustainability)

Sumber: Alder et al. (2000)

Gambar 4 Elemen proses aplikasi Rapfish untuk data perikanan


Umumnya tahapan dalam analisis menggunakan Rapfish dimulai dengan
melakukan review terhadap atribut dan mendefinisikan sektor yang dianalisis,
14

kemudian menentukan skor yang didasarkan pada ketentuan yang telah ditetapkan
Rapfish. Setelah itu, dilakukanlah MDS untuk menentukan posisi relatif dari sektor
yang dianalisis terhadap ordinasi good (baik) atau bad (buruk). Kemudian, analisis
Monte Carlo dan Leverage dilakukan untuk menentukan aspek ketidakpastian dan
anomali dari atribut yang dianalisis. Analisis leverage bertujuan untuk melihat
atribut yang sensitif berkontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan setiap
dimensi yang dianalisis (Baeta et al. 2005). Atribut yang paling sensitif akan
memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan dalam bentuk perubahan Root Mean
Square (RMS). Semakin besar peranan suatu atribut dalam status keberlanjutan
sektor yang dianalisis ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai perubahan RMS
akibat hilangnya suatu atribut. Pembagian kategori keberlanjutan berdasarkan nilai
indeks keberlanjutan menurut Susilo (2003) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Selang indeks keberlanjutan

Selang indeks keberlanjutan Status keberlanjutan


0 – 25 Buruk
26 – 50 Kurang
51 – 75 Cukup
76 – 100 Baik
Sumber: Susilo (2003)

Pemilihan MDS pada analisis Rapfish dilakukan mengingat metode multi-


variate analysis yang lain, seperti factor analysis (analisis faktor) dan Multi-
Attribute Utility Theory (MAUT) yang terbukti tidak menunjukkan hasil yang stabil
(Pitcher and Preikshot 2001). Pada MDS, titik atau objek yang diamati dipetakan
dalam ruang 2 atau 3 dimensi, sehingga titik atau objek tersebut diupayakan ada
sedekat mungkin dari titik asal atau dapat dikatakan bahwa 2 titik atau objek yang
sama dipetakan ke dalam satu titik yang saling berdekatan. Sebaliknya pada titik
atau objek yang tidak sama digambarkan dengan titik yang berjauhan.
2.7 Penelitian Terdahulu

Nurazrian (2016) dalam penelitiannya yang berjudul Estimasi Nilai dan


Manfaat Ekonomi Agrowisata Gunung Mas Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi
Jawa Barat, mengidentifikasi persepsi pengunjung dan faktor-faktor yang
mempengaruhi minat pengunjung ke Agrowisata Gunung Mas, mengestimasi nilai
dan manfaat ekonomi Agrowisata Gunung Mas. Metode yang digunakan adalah
analisis deskriptif kualitatif (persepsi), Travel Cost Method (TCM), dan analisis
15

pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap


keberadaan dan fasilitas Agrowisata Gunung Mas dinilai baik. Faktor-faktor sosial
ekonomi yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan adalah total
pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, dan lama mengetahui lokasi.
Nilai ekonomi Agrowisata Gunung Mas adalah sebesar Rp 3 738 822 058 dan
manfaat ekonomi Agrowisata Gunung Mas bagi masyarakat memberikan rata-rata
pendapatan wisata sebesar Rp 2 970 134,92 per bulan. Kegiatan wisata memberikan
kontribusi tinggi terhadap pendapatan total dan kontribusi sangat tinggi terhadap
covering pengeluaran rumah tangga.
Lestaria (2015) dalam tesisnya yang berjudul Analisis Kelembagaan dan
Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan
Wilayah Kabupaten Kerinci, menganalisis peranan KPHP Model Kerinci dalam
pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci; model kelembagaan KPHP Model
Kerinci; dan kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci. Metode
analisis data dilakukan dengan analisis nilai ekonomi total, analisis kelembagaan,
dan analisis hirarki proses (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan
KPHP Model Kerinci berpotensi berperan dalam pengembangan wilayah
Kabupaten Kerinci. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai ekonomi total Sumber Daya
Hutan pada wilayah KPHP Model Kerinci sebesar Rp 337 milyar per tahun. Model
kelembagaan KPHP Model Kerinci perlu dikembangkan dengan pembentukkan
resort-resort pengelolaan pada beberapa kecamatan. Kesiapan daerah Kerinci
dalam pembangunan KPHP Model Kerinci sudah siap, namun terdapat beberapa
indikator yang harus dibenahi terutama indikator pada kriteria dukungan regulasi
dan perencanaan.
Santoso (2012) dalam tesisnya yang berjudul Arahan Kebijakan dan Strategi
Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta, menggunakan metode valuasi ekonomi untuk menganalisis
nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke dan menggunakan alat
analisis Rapfish dalam menganalisis status keberlanjutan pengelolaan kawasan
mangrove Muara Angke. Selain itu, Santoso juga menganalisis kondisi biofisik dan
sosial ekonomi masyarakat kawasan mangrove dan menganalisis strategi
pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan. Hasil estimasi nilai
16

ekonomi total pada kawasan mangrove Muara Angke berdasarkan penelitian


tersebut diperoleh nilai sebesar Rp 100 009 463 994 per tahun. Penilaian status
keberlanjutan menunjukkan bahwa kondisi pengelolaan kawasan mangrove Muara
Angke DKI Jakarta belum berkelanjutan sehingga terdapat beberapa faktor
pengungkit yang perlu di dorong dari setiap dimensi keberlanjutan.
Osmaleli (2014) dalam tesisnya yang berjudul Analisis Ekonomi dan
Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan di Desa Pabean Udik,
Kabupaten Indramayu, menganalisis keterkaitan ekonomi ekosistem mangrove
dengan sumber daya udang di Desa Pabean Udik, mengestimasi nilai ekonomi total
dari ekosistem mangrove, menganalisis status keberlanjutan, dan optimasi dinamik
pengelolaan ekosistem mangrove, serta merumuskan alternatif kebijakan
pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan. Hasil analisis ekonomi
menunjukkan bahwa hubungan perubahan luas mangrove terhadap produksi udang
adalah linear. Nilai ekonomi total ekosistem mangrove tahun 2013 dengan luas
mangrove 58,05 ha berdasarkan metode valuasi ekonomi adalah Rp 2 288 388 191.
Hasil analisis keberlanjutan dengan menggunakan Rap_Mforest menunjukkan
pengelolaan mangrove berada pada status cukup berkelanjutan. Analisis dinamik
menunjukkan bahwa luas mangrove, stok udang, nilai ekonomi ekosistem
mangrove, dan populasi penduduk mengalami peningkatan selama prediksi tiga
puluh tahun ke depan, sedangkan NPV mengalami penurunan dan penyerapan
tenaga kerja konstan. Prioritas pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan
berdasarkan analisis kebijakan menggunakan AHP adalah pemberdayaan
masyarakat.
Carandang et al. (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Economic
Valuation for Sustainable Mangrove Ecosystems Management in Bohol and
Palawan, Philippines menggunakan TEV sebagai kerangka kerja untuk menilai
berbagai penggunaan mangrove di Palawan dan Bohol, Filipina. Pendekatan harga
pasar digunakan untuk menghitung nilai guna langsung, seperti pendapatan dari
produk mangrove yang dihasilkan di Bohol dan Palawan. Produk mangrove yang
memiliki nilai pasar, seperti kayu bakar, arang, ikan, kepiting, cumi-cumi, dan
moluska. Selain itu, pada penelitian ini menggunakan metode penilaian kontingensi
(Contingent Valuation Method [CVM]) untuk menetukan nilai keanekaragaman
17

hayati dan metode biaya perjalanan (TCM) untuk menilai jasa wisata dari ekosistem
mangrove di kedua wilayah tersebut. Metode CVM pada penelitian ini digunakan
untuk menentukan besarnya kesediaan membayar masyarakat terhadap pelestarian
keanekaragaman hayati yang dilihat melalui kesediaan mendonasikan uang untuk
kegiatan konservasi, kesediaan untuk menanam bibit, dan kesediaan untuk
menyediakan tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi total
ekosistem mangrove Bohol sebesar US$ 488 196,9 dan Palawan sebesar
US$ 573 305,8.
Vo et al. (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Review of Valuation
Methods for Mangrove Ecosystem Services meneliti tentang metode penilaian jasa
ekosistem mangrove pada wilayah yang berbeda dan metode yang berbeda. Pada
penelitian ini, total nilai ekonomi dari ekosistem mangrove dibagi menjadi dua
komponen utama yang terdiri atas nilai guna dan nilai non-guna. Beberapa metode
penilaian yang dapat digunakan untuk mengestimasi nilai ekosistem mangrove
antara lain metode harga pasar untuk menilai penggunaan ekstraktif ekosistem
mangrove, metode TCM untuk menilai jasa wisata, dan metode CVM untuk
memperkirakan nilai guna dan non-guna. Setiap metode memiliki kelebihan dan
kekurangan, sehingga peneliti harus memilih metode secara hati-hati berdasarkan
tujuan dan permasalahan dalam penelitian.
Persamaan dan perbedaan penelitian penulis dengan penelitian terdahulu
tersedia Tabel 2.
Tabel 2 Persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu

Peneliti dan judul Penelitian Perbedaan


penelitian
Nurazrian (2016): Estimasi Mengestimasi nilai  Destinasi wisata yang dianalisis
Nilai dan Manfaat ekonomi wisata  Nurazrian (2016) juga menganalisis
Ekonomi Agrowisata menggunakan metode persepsi, faktor-faktor yang
Gunung Mas Cisarua valuasi ekonomi, yaitu mempengaruhi minat pengunjung
Kabupaten Bogor Provinsi TCM ke Agrowisata Gunung Mas, dan
Jawa Barat manfaat ekonomi Agrowisata
Gunung Mas
Lestaria (2015): Analisis Mengestimasi nilai  Kawasan hutan yang menjadi objek
Kelembagaan dan Peranan ekonomi total penelitian
Kesatuan Pengelolaan  Lestaria (2015) juga menganalisis
Hutan Produksi (KPHP) peranan KPHP Model Kerinci
dalam Pengembangan dalam pengembangan wilayah
Wilayah Kabupaten Kabupaten Kerinci, model
Kerinci kelembagaan KPHP Model
18

Tabel 2 Lanjutan
Kerinci, dan kesiapan daerah dalam
pembangunan KPHP Model
Kerinci
Santoso (2012): Arahan Menggunakan metode  Kawasan mangrove yang diteliti
Kebijakan dan Strategi valuasi ekonomi (market oleh penulis terbatas pada blok
Pengelolaan Kawasan price, benefit transfer, Kawasan Ekowisata Mangrove
Mangrove Berkelanjutan dan TCM) untuk PIK, sedangkan Santoso meneliti
di Muara Angke DKI menganalisis nilai kawasan hutan mangrove
Jakarta ekonomi total kawasan Mangrove Angke
mangrove dan  Santoso (2012) juga menganalisis
menggunakan alat kondisi biofisik dan sosial ekonomi
analisis Rapfish dalam masyarakat dan menganalisis
menganalisis status strategi pengelolaan kawasan
keberlanjutan mangrove berkelanjutan
Osmaleli (2014): Analisis Mengestimasi nilai  Kawasan mangrove yang dianalisis
Ekonomi dan Kebijakan ekonomi total ekosistem  Osmaleli (2014) juga melakukan
Pengelolaan Ekosistem mangrove menggunakan optimasi dinamik pengelolaan
Mangrove Berkelanjutan metode valuasi ekonomi ekosistem mangrove dan
di Desa Pabean Udik (market price dan benefit merumuskan alternatif kebijakan
Kabupaten Indramayu transfer) dan pengelolaan ekosistem mangrove
menganalisis status yang berkelanjutan
keberlanjutan ekosistem
mangrove menggunakan
teknik Rap_Mforest
modifikasi dari Rapfish
Carandang et al. (2014): Mengestimasi nilai  Kawasan mangrove yang diteliti
Economic Valuation for ekonomi total dari  Pada penelitian ini penulis
Sustainable Mangrove ekosistem mangrove menggunakan pendekatan market
Ecosystems Management menggunakan metode price untuk mengestimasi nilai
in Bohol and Palawan, valuasi ekonomi (market pembibitan mangrove
Philippines price, dan TCM)  Carandang et al. (2014)
menggunakan pendekatan market
price untuk menghitung nilai
manfaat langsung ekosistem
mangrove sebagai penghasil kayu
bakar, arang, ikan, kepiting, cumi-
cumi, dan moluska
 Pendekatan benefit transfer
digunakan penulis untuk
mengestimasi nilai
keanekaragaman hayati, sedangkan
pada penelitian Carandang et al.
(2014) menggunakan pendekatan
CVM
Vo et al. (2012): Membahas metode  Penelitian ini membahas berbagai
Review of Valuation valuasi ekonomi (market metode valuasi yang dapat
Methods for Mangrove price dan TCM) yang digunakan untuk jasa ekosistem
Ecosystem Services digunakan dalam mangrove
mengestimasi nilai
ekonomi dari ekosistem
mangrove
III KERANGKA PEMIKIRAN

Kerusakan ekosistem mangrove akibat alih fungsi lahan hutan mangrove


merupakan permasalahan dan tantangan yang terjadi di wilayah Pesisir DKI
Jakarta. Tingginya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan sumber daya
lahan tinggi, sementara sumber daya lahan yang tersedia terbatas. Kebutuhan
manusia akan lahan untuk pemukiman, tambak, industri, dan infrastruktur pantai
atau pelabuhan mendorong laju alih fungsi lahan hutan mangrove. Akibat yang
ditimbulkan dari kerusakan ekosistem mangrove adalah fungsi mangrove sebagai
penyedia jasa lingkungan semakin tidak optimal.
Upaya pemerintah dalam mengendalikan kerusakan ekosistem mangrove
DKI Jakarta dilakukan dengan menetapkan kawasan hutan mangrove yang
dipertahankan luasnya. Salah satu hutan mangrove yang dipertahankan
keberadaannya adalah Kawasan Ekowisata Mangrove PIK yang dikelola oleh Dinas
Kehutanan DKI Jakarta. Sebelum kawasan tersebut direhabilitasi dan diberi nama
sebagai kawasan ekowisata, lahan hutan mangrove yang ada pada kawasan tersebut
dialihfungsikan menjadi tambak dan tempat pemancingan oleh masyarakat secara
ilegal. Hal tersebut membuat hutan mangrove menjadi rusak dan semakin terancam
keberadaannya. Melihat kerusakan yang ditimbulkan akibat alih fungsi lahan hutan
mangrove tersebut, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas
Kehutanan DKI Jakarta dengan tegas mengusir para perusak hutan mangrove
tersebut untuk keluar dari kawasan dan melakukan upaya rehabilitasi mangrove,
serta membangun kawasan tersebut sebagai kawasan ekowisata.
Alasan Pemerintah Daerah DKI Jakarta memanfaatkan Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK yang terletak di kawasan Hutan Produksi Angke Kapuk DKI Jakarta
sebagai kawasan ekowisata untuk sarana edukasi dan konservasi karena pemerintah
telah memiliki kebijakan untuk tidak memanen hasil hutan kayu pada hutan
produksi, melainkan pemanfaatan jasa lingkungannya. Melihat kembalinya fungsi
hutan mangrove pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dari tambak dan tempat
pemancingan menjadi hutan mangrove, maka dari itu penting untuk mengestimasi
nilai ekonomi dan keberlanjutan ekosistem mangrove pada Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK. Nilai ekonomi Kawasan Ekowisata Mangrove PIK diestimasi
20

berdasarkan nilai guna dan nilai non-guna dari ekosistem mangrove di kawasan
ekowisata tersebut dengan menggunakan metode valuasi ekonomi. Tahap
selanjutnya adalah menganalisis status keberlanjutan dari ekosistem mangrove
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dengan menggunakan alat analisis Rapid
Appraisal for Status of Mangrove Forest (Rap_Mforest) yang merupakan
modifikasi dari Rapfish (Osmaleli 2014). Skema alur kerangka pemikiran dapat
dilihat pada Gambar 5.

Peningkatan kebutuhan sumber daya lahan wilayah pesisir

Peningkatan alih fungsi lahan hutan mangrove menjadi peruntukan lain seperti
tambak, tempat pemancingan, pemukiman, dan pembangunan infrastuktur publik

Kerusakan ekosistem mangrove

Upaya mengendalikan kerusakan ekosistem mangrove pada kawasan


Ekowisata Mangrove PIK dilakukan dengan rehabilitasi mangrove

Perubahan peruntukan lahan dari tambak dan tempat


pemancingan menjadi Kawasan Ekowisata Mangrove PIK

Nilai ekonomi total ekosistem Status keberlanjutan


mangrove ekosistem mangrove

Valuasi ekonomi dengan pendekatan Analisis multidimensi


harga pasar, TCM, dan benefit transfer dengan Rap_Mforest

Nilai indeks Analisis


keberlanjutan Leverage
Nilai ekonomi total
ekosistem mangrove

Status keberlanjutan

Rekomendasi kebijakan

Gambar 5 Skema alur kerangka pemikiran


IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK, Kelurahan


Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara, DKI Jakarta.
Penentuan lokasi ditetapkan secara sengaja (purposive) melihat kembalinya fungsi
hutan mangrove yang semula dialihfungsikan menjadi tambak dan tempat
pemancingan oleh masyarakat. Selain itu, pengelolaan ekosistem mangrove sebagai
kawasan ekowisata melibatkan peran serta masyarakat. Proses pengumpulan data
baik data primer maupun sekunder dilakukan sejak bulan Maret sampai dengan Mei
2018.
4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data
primer, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer dikumpulkan
dengan melakukan observasi langsung dan wawancara menggunakan kuesioner
kepada responden yang merupakan wisatawan dan stakeholder yang terlibat dalam
pengelolaan ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Kuesioner
penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Data sekunder diperoleh melalui studi
pustaka dari sumber yang relevan berupa buku referensi, jurnal ilmiah, dan data
resmi yang dikumpulkan dari instansi-instansi terkait yang memberikan informasi
bagi penelitian. Jenis data dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jenis dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian
Data yang Jenis Metode
Tujuan penelitian Sumber data analisis
dibutuhkan data
Mengestimasi nilai  Nilai ekonomi Data  Hasil wawancara Pendekatan
ekonomi dari ekosistem wisata primer wisatawan Kawasan harga pasar
mangrove Kawasan  Kegiatan dan Ekowisata (market
Ekowisata Mangrove PIK penanaman sekunder Mangrove PIK price),
 Luas kawasan  Dinas Kehutanan TCM, dan
 Potensi karbon DKI Jakarta benefit
yang diserap  FAO (2017) transfer
 Harga karbon  Santoso (2012)
 Nilai
keberadaan per
ha
22

Tabel 3 Lanjutan
Menganalisis status Indikator Data  Hasil wawancara Analisis Rap_
keberlanjutan ekosistem dan skor primer dengan stakeholder Mforest
mangrove Kawasan keberlanjutan dan pengelolaan
Ekoswisata Mangrove PIK ekosistem sekunder mangrove
mangrove

4.3 Metode Pengambilan Contoh

Pemilihan sampel atau contoh dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan


metode non-probability sampling dengan teknik purposive sampling dan snowball
sampling. Teknik purposive sampling digunakan untuk menentukan sampel yang
diteliti berdasarkan pertimbangan tertentu dari peneliti yang sesuai dengan maksud
dan tujuan penelitian, sedangkan teknik snowball sampling digunakan jika tidak
mengetahui anggota populasi dan hanya mengetahui satu anggota populasi
sehingga dari satu anggota populasi tersebut akan diperoleh data anggota populasi
yang lain (Muljono et al. 2009). Sampel pada penelitian ini terdiri atas responden
wisatawan dan stakeholder.
Responden wisatawan dipilih berdasarkan teknik purposive sampling.
Batasan responden wisatawan adalah pengunjung yang berusia di atas 17 tahun
dengan pertimbangan telah mampu membuat keputusan terkait rekreasi dan sudah
dapat berkomukasi dengan baik, sehingga pertanyaan yang diajukan penulis dapat
diterima dan dijawab dengan baik oleh responden. Pemilihan stakeholder yang
merupakan key person dilakukan dengan menggunakan teknik snowball sampling.
Key person merupakan orang-orang yang mengetahui lebih dalam mengenai
pengelolaan ekosistem mangrove DKI Jakarta, terutama Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK. Stakeholder dalam penelitian ini terdiri atas Dinas Kehutanan DKI
Jakarta, KLHK, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI
Jakarta, dan KeMangteer Jakarta. Total jumlah responden dalam penelitian ini
berjumlah 72 orang, yang terdiri atas 60 wisatawan dan 12 stakeholder terkait.
Jumlah responden wisatawan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan
dasar penentuan sampel minimum sebesar 30 orang (Usman dan Akbar 2011). Data
responden stakeholder dalam penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
23

4.4 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kuantitatif dan
kualitatif. Nilai ekonomi total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK diestimasi
menggunakan metode valuasi ekonomi dengan menghitung nilai guna dan non-
guna dari ekosistem mangrove di kawasan tersebut. Pengolahan data nilai ekonomi
total dilakukan menggunakan program Microsoft Office Excel 2016. Pada
penentuan nilai ekonomi wisata dilakukan dengan menggunakan software SPSS 16
untuk memperoleh koefisien biaya perjalanan. Status keberlanjutan ekosistem
mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dari dimensi ekologi, ekonomi,
kelembagaan, dan sosial dianalisis menggunakan analisis multidimensi dengan alat
analisis Rap_Mforest yang merupakan modifikasi dari Rapfish. Modifikasi Rapfish
dilakukan mengingat penelitian ini bertujuan menganalisis status keberlanjutan dari
ekosistem mangrove dan menggunakan atribut keberlanjutan yang telah
disesuaikan dengan tujuan penelitian. Matriks metode analisis data dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4 Matriks metode analisis data

Tujuan penelitian Jenis data Metode Analisis


Mengestimasi nilai ekonomi total Data primer Analisis nilai ekonomi total dengan
dari ekosistem mangrove Kawasan dan sekunder menggunakan pendekatan harga pasar,
Ekowisata Mangrove PIK TCM, dan benefit transfer
Menganalisis status keberlanjutan Data primer Analisis status keberlanjutan dengan
ekosistem mangrove Kawasan dan sekunder menggunakan alat analisis Rap_Mforest
Ekoswisata Mangrove PIK

4.4.1 Estimasi Nilai Ekonomi Total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK


Sebelum melakukan estimasi nilai ekonomi total ekosistem mangrove
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK, tahap pertama yang dilakukan adalah
mengidentifikasi manfaat yang akan dinilai dari ekosistem mangrove kawasan
tersebut. Nilai ekonomi total diperoleh dari nilai manfaat langsung, nilai manfaat
tak langsung, nilai keanekaragaman hayati, dan nilai keberadaan. Manfaat langsung
yang diestimasi dari ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
terdiri atas pemanfaatan hutan mangrove sebagai ekowisata dan penghasil bibit
mangrove. Manfaat tak langsung yang diestimasi dari ekosistem mangrove pada
penlitian ini adalah fungsi ekologis ekosistem mangrove sebagai penyerap karbon.
Nilai ekonomi yang diestimasi pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
24

Kawasan Ekowisata Mangrove PIK

Use value Non-use value

Existence value
Direct use value: Indirect use value: Option value:
(nilai keberadaan)
 Ekowisata mangrove Penyerap karbon Keanekaragaman
 Pembibitan mangrove hayati

Gambar 6 Nilai ekonomi total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK


1. Nilai Guna Langsung (Direct Use Value)
Manfaat langsung ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
yang termasuk dalam nilai guna langsung diestimasi berdasarkan pemanfaatan
ekosistem mangrove sebagai kawasan ekowisata mangrove dan penghasil bibit
mangrove.
a) Nilai Ekonomi Wisata
Pendekatan biaya perjalanan (TCM) digunakan untuk menentukan nilai
ekonomi wisata dari Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Pendekatan TCM yang
digunakan dalam penelitian ini adalah ITCM. Metode ITCM didasarkan pada survei
atas wisatawan ke tempat tujuan rekreasi (Fauzi 2014). Data pengunjung mengenai
biaya perjalanan ke lokasi, jumlah kunjungan, dan karakteristik sosial ekonomi
dibutuhkan untuk menetapkan fungsi permintaan wisata pada penggunaan metode
ITCM. Perhitungan biaya perjalanan dapat dirumuskan sebagai berikut:
BP = B1 + B2 + B3 + B4
Keterangan:
BP = biaya perjalanan (Rp/tahun)
B1 = biaya kendaraan (Rp/orang)
B2 = biaya konsumsi (Rp/orang)
B3 = biaya tiket masuk (Rp/orang)
B4 = biaya lain-lain (Rp/orang)
Setelah memperoleh total biaya perjalanan dari setiap responden, selanjutnya
meregresikan fungsi permintaan wisata untuk memperoleh nilai koefisien biaya
perjalanan. Penentuan variabel bebas dan tak bebas pada fungsi permintaan wisata
mengacu pada penelitian Fitriani (2008) dan Nurazrian (2016). Fungsi permintaan
wisata yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi linear berganda.
Berikut model regresi linear berganda yang digunakan:
25

JK = β0 + β1 BP + β2 PDK + β3 JRK + β4 LML + β5 LBK


Keterangan:
JK = jumlah kunjungan wisatawan per tahun (kunjungan/tahun)
BP = biaya perjalanan (Rp)
PDK = tingkat pendidikan (tahun)
JRK = jarak tempat tinggal ke lokasi wisata (km)
LML = lama mengetahui lokasi (tahun)
LBK = lama berkunjung (jam)
β1 – β5 = koefisien regresi untuk faktor BP – LBK
Hasil dari analisis regresi linear berganda fungsi permintaan wisata dapat
digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan wisata
atau jumlah kunjungan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Adapun hipotesis yang
digunakan dalam penelitian ini:
1. Variabel biaya perjalanan memiliki nilai koefisien yang negatif, artinya biaya
perjalanan berpengaruh negatif terhadap jumlah kunjungan Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK. Hal tersebut didasarkan bahwa semakin tinggi
seseorang mengorbankan biaya perjalanan, maka akan menurunkan jumlah
kunjungan wisatawan.
2. Variabel tingkat pendidikan memiliki nilai koefisien yang positif, artinya
tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap jumlah kunjungan wisatawan.
Hal tersebut didasarkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,
maka akan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.
3. Variabel jarak tempat tinggal ke lokasi wisata memiliki nilai koefisien yang
negatif, artinya jarak tempat tinggal ke lokasi wisata berpengaruh negatif
terhadap jumlah kunjungan wisatawan. Hal tersebut didasarkan bahwa semakin
jauh jarak seseorang menuju lokasi wisata, maka akan mengurangi jumlah
kunjungan wisatawan.
4. Variabel lama mengetahui lokasi memiliki nilai koefisien yang positif, artinya
lama mengatahui lokasi berpengaruh positif terhadap jumlah kunjungan
wisatawan. Hal tersebut didasarkan bahwa semakin lama seseorang
mengetahui lokasi wisata, maka akan meningkatkan jumlah kunjungan
wisatawan.
26

5. Variabel lama berkunjung memiliki nilai koefisien yang positif, artinya lama
wisatawan berkunjung ke lokasi berpengaruh positif terhadap jumlah
kunjungan wisatawan. Hal tersebut didasarkan bahwa semakin lama waktu
yang dihabiskan seseorang untuk berkunjung di lokasi wisata, maka akan
meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.
Kelayakan model dari fungsi permintaan wisata yang digunakan dalam
penelitian dapat ditentukan melalui uji asumsi untuk mengetahui apakah terjadi
penyimpangan asumsi atau tidak dalam model tersebut. Asumsi-asumsi dasar
digunakan dalam model regresi, antara lain (Firdaus 2011):
1. E (ϵi |Xi ) = 0, untuk setiap i.
Nilai yang diharapkan bersyarat (conditional excpected value) dari ϵi
tergantung pada nilai Xi tertentu adalah 0.
2. Cov (ϵi |ϵj ) = 0, i ≠ j.
Asumsi ini dikenal sebagai asumsi tidak adanya korelasi berurutan atau tidak
ada autokorelasi.
3. Var (ϵi ) = σ2 , untuk setiap i.
Varian bersyarat dari (ϵi) adalah konstan. Asumsi ini dikenal sebagai asumsi
homoskedastisitas atau varians sama.
4. Cov (ϵi |X2i ) = Cov (ϵi |X3i ) = 0, artinya kesalahan pengganggu ϵi dan variabel
bebas X tidak berkorelasi.
5. Tidak adanya multikolinearitas, yang artinya tidak terdapat hubungan
linearitas yang pasti diantara variabel-variabel bebas.
6. Stokhastik error term (ϵi) terdistribusikan secara normal dengan rata-rata
dan varian yang diberikan oleh asumsi 1 dan 2.
Koefisien biaya perjalanan yang telah diperoleh dari hasil analisis regresi
linear berganda digunakan dalam menentukan nilai surplus konsumen. Berikut
rumus untuk menentukan surplus konsumen (Fauzi 2014):
V2
SK = 2β1

Keterangan:
SK = surplus konsumen (Rp)
V = jumlah kunjungan individu (kunjungan per tahun)
27

β1 = koefisien biaya perjalanan (satuan)


Setelah memperoleh nilai surplus konsumen, maka dapat ditentukan nilai
ekonomi wisata dengan mengalikan surplus konsumen per individu wisatawan per
kunjungan dan total kunjungan objek wisata dalam 1 tahun. Rumus untuk
menentukan nilai ekonomi wisata adalah (Matthew et al. 2015):
SK
( )
n
NW = x TK
V
Keterangan:
NW = nilai ekonomi wisata (Rp)
SK = surplus konsumen (Rp)
n = jumlah responden wisatawan (orang)
V = jumlah kunjungan individu (kunjungan per tahun)
TK = total kunjungan objek wisata dalam 1 tahun (kunjungan per tahun)
b) Nilai Pembibitan Mangrove
Nilai pembibitan mangrove diperoleh dengan mengalikan penjualan bibit
mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK per tahun dengan harga jual bibit
mangrove tersebut. Rumus yang digunakan untuk mengestimasi nilai pembibitan
mangrove sebagai berikut:
NBt = BM x HBM
Keterangan:
NBt = nilai pembibitan mangrove
BM = bibit mangrove yang terjual selama satu tahun
HBM = harga bibit mangrove
2. Nilai Guna Tak Langsung (Indirect Use Value)
Salah satu manfaat tak langsung dari ekosistem mangrove Kawasan
Ekowisata PIK adalah sebagai penyerap karbon. Estimasi nilai ekonomi
penyerapan karbon oleh hutan mangrove dihitung dengan cara mengalikan potensi
karbon yang diserap per tahun dengan harga karbon. Pendekatan benefit transfer
digunakan untuk mengetahui jumlah karbon yang diserap hutan mangrove per ha.
Jumlah karbon yang diserap hutan mangrove per ha per tahun sebesar 0,823 ton per
ha per tahun dengan daur pengelolaan selama 20 tahun. Jumlah karbon yang
terkandung dalam ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove mengacu
pada hasil penelitian Santoso (2012) di hutan mangrove Muara Angke berdasarkan
28

asumsi bahwa lokasi penelitian ini juga dilakukan di daerah Angke, namun dengan
batasan penelitian hanya meneliti Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Harga
karbon yang digunakan adalah US$ 5,6 per ton (FAO 2017). Asumsi nilai tukar
sebesar Rp 14 370 per US$ (Bank Indonesia 2018a). Rumus perhitungan untuk
menentukan nilai ekonomi penyerapan karbon sebagai berikut:
NC = JK x HK x NTR x L
Keterangan:
NC = nilai penyerapan karbon (Rp/tahun)
JK = jumlah karbon (ton/ha/tahun)
HK = harga karbon dunia (US$/ton)
NTR = nilai tukar rupiah (Rp/US$)
L = luas hutan mangrove (ha)
3. Nilai Pilihan (Option Value)
Nilai pilihan dapat diestimasi berdasarkan nilai keanekaragaman hayati
menggunakan metode benefit transfer. Nilai pilihan dalam penelitian ini diestimasi
dengan mengacu pada hasil penelitian Ruintenbeek (1992) yang menilai
kenaekaragaman hayati (biodiversity) ekosistem mangrove di Papua sebesar
US$ 1 500 per km2 per tahun atau setara dengan US$ 15 per ha per tahun. Nilai
tukar rupiah yang digunakan adalah Rp 14 370 per US$ (Bank Indonesia 2018a).
Nilai keragaman hayati ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
dapat diestimasi menggunakan rumus sebagai berikut:
UMP DKI Jakarta
OV = (NB x L) x x NTR
UMP Papua

Keterangan:
OV = option value (Rp/tahun)
NB = compounding nilai biodiversity (1992-2018) (US$/ha/tahun)
L = luas hutan mangrove (ha)
NTR = nilai tukar rupiah (Rp/US$)
UMP DKI Jakarta 2018 = Rp 3 648 035,82 (Peraturan Gubernur DKI Jakarta
Nomor 182 Tahun 2017)
UMP Papua 2018 = Rp 2 663 646 (Keputusan Gubernur Papua Nomor
188.4/361/Tahun 2017)
29

4. Nilai Non-Guna (Non-Use Value)


Non-use value dari ekosistem mangrove terdiri atas nilai keberadaan
(existence value) dan nilai warisan (bequest value). Pada penelitian ini, nilai non-
guna yang diestimasi hanyalah nilai keberadaan. Nilai keberadaan dapat diestimasi
dengan menggunakan pendekatan benefit transfer. Nilai keberadaan dalam
penelitian ini diestimasi dengan mengacu pada hasil penelitian Santoso (2012) yang
mengestimasi nilai keberadaan hutan mangrove Muara Angke di DKI Jakarta
sebesar Rp 2 414 743 per ha per tahun. Nilai keberadaan ekosistem mangrove
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dapat diestimasi dengan cara mengalikan
compounding nilai keberadaan hutan mangrove Muara Angke dengan luas hutan
mangrove kawasan ekowisata.
Nilai ekonomi total ekosistem mangrove merupakan penjumlahan dari nilai
manfaat guna langsung dan tak langsung, nilai pilihan, dan nilai keberadaan.
Estimasi nilai ekonomi total ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove
PIK dapat dilakukan dengan rumus:
TEV = DUV + IUV + OV + EV
Keterangan:
TEV = Total Economic Value
DU = Direct Use Value
IUV = Indirect Use Value
OV = Option Value
EV = Existence Value
4.4.2 Analisis Status Keberlanjutan Ekosistem Mangrove Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
keberlanjutan suatu sumber daya adalah Rapfish. Pada dasarnya, Rapfish digunakan
untuk mengevaluasi keberlanjutan dari perikanan secara multidisipliner. Rapfish
didasarkan pada teknik ordinasi dengan menggunakan teknik MDS. Menurut Fauzi
dan Anna (2005), tahapan dalam analisis Rapfish sebagai berikut: 1) analisis
terhadap data ekosistem mangrove yang diteliti melalui data satatistik, studi
literatur, dan pengamatan di lapangan; 2) lakukan skoring dengan mangacu pada
literatur dengan Excell; 3) lakukan analisis MDS dengan software SPSS untuk
30

menentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL Algoritma; 4) lakukan rotasi
untuk menentukan posisi sumber daya pada ordinasi buruk (bad) and baik (good)
dengan Excell dan Visual Basic; 5) selanjutnya melakukan sensitivity analysis
(leverage analysis) dan Monte Carlo analysis untuk memperhitungkan aspek
ketidakpastian.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan Rap_Mforest yang merupakan
modifikasi dari Rapfish dalam analisis multidimensi untuk mengetahui status
keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
berdasarkan nilai indeks keberlanjutan. Dimensi yang akan dianalisis pada
penelitian ini terdiri atas 4 dimensi, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, kelembagaan,
dan sosial. Setiap dimensi yang dikaji dari metode ini disusun berdasarkan atribut-
atribut yang telah ditentukan dan memiliki nilai atau skor masing-masing. Atribut
yang dinilai dari setiap dimensi diperoleh berdasarkan studi literatur terhadap hasil
penelitian Santoso (2012), Osmaleli (2014), Noveliyana (2016), Theresia (2016);
data sekunder; dan pengamatan kondisi di lapang. Penentuan nilai skor setiap
atribut dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Penentuan nilai skor masing-masing atribut keberlanjutan
Pilihan
No Dimensi dan atribut Baik Buruk Kriteria nilai
skor
1 Dimensi ekologi
1.1 Tekanan lahan 0; 1; 2 0 2 Santoso (2012) dan Noveliyana (2016):
mangrove (0) tidak terjadi perubahan luas lahan
mangrove
(1) perubahan luas lahan mangrove secara
alami
(2) terjadi alih fungsi lahan mangrove tanpa
memperhatikan fungsi lingkungan
1.2 Kerapatan 0; 1; 2 2 0 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
mangrove Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria
Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan
Mangrove:
(3) jarang (< 1 000 pohon/ha)
(4) sedang (1 000 – 1 500 pohon/ha)
(5) padat (> 1 500 pohon/ha)
1.3 Rehabilitasi 0; 1; 2 2 0 Noveliyana (2016):
mangrove (0) tidak ada
(1) ada, namun tidak dikelola dengan baik
(2) ada dan dikelola dengan baik
1.4 Tingkat keragaman 0; 1; 2 2 0 Osmaleli (2014) dan Theresia (2016):
hutan mangrove (0) tidak beragam (< 2 jenis mangrove)
(1) cukup beragam (2 – 10 jenis mangrove)
31

Tabel 5 Lanjutan
(2) sangat beragam (>10 jenis mangrove)
1.5 Pengaruh pasang 0; 1 1 0 (0) rendah
surut air laut (1) tinggi
terhadap ekosistem
mangrove
2 Dimensi ekonomi
2.1 Nilai ekonomi total 0; 1; 2 2 0 Theresia (2016) dan Santoso (2012)
modifikasi:
(0) < Rp 1 milyar/tahun
(1) Rp 1 – 2 milyar/tahun
(2) > Rp 2 milyar/tahun
2.2 Manfaat tak 0; 1; 2 2 0 Theresia (2016):
langsung
(0) Persentase nilai manfaat tak langsung
< nilai manfaat langsung
(1) Pesentase nilai manfaat tak langsung =
nilai manfaat langsung
(2) Persentase nilai manfaat tak langsung
> nilai manfaat langsung
2.3 Jumlah kunjungan 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012):
wisatawan (0) rendah (jumlah wisatawan < 10 000
orang/tahun)
(1) sedang (jumlah wisatawan 10 000 –
20 000 orang/tahun)
(2) tinggi (jumlah wisatawan > 20 000
orang/tahun)
2.4 Aksesibilitas 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012) modifikasi:
kawasan mangrove (0) rendah, lokasi sulit diakses dengan
sarana transportasi yang ada
(1) sedang, lokasi dapat diakses dengan
sarana transportasi yang ada
(2) tinggi, lokasi sangat mudah diakses
3 Dimensi
kelembagaan
3.1 Ketersediaan 0; 1 0 1 Susilo (2003) dan Trimulyani (2013)
peraturan formal dalam Osmaleli (2014):
dan informal (0) ada
pengelolaan (1) tidak ada
ekosistem mangrove
3.2 Ketersediaan 0; 1; 2 2 0 Susilo (2003) dalam Osmaleli (2014):
personel penegak (0) tidak ada
hukum di lokasi (1) ada, tidak ada di lokasi
(2) ada, selalu berada di lokasi
3.3 Peranan 0; 1; 2 2 0 Osmaleli (2014):
kelembagaan formal (0) tidak ada
yang mendukung (1) ada, tidak berperan
pengelolaan (2) ada, berperan
ekosistem mangrove
3.4 Peranan 0; 1; 2 2 0 Osmaleli (2014):
kelembagaan lokal (0) tidak ada
(informal) yang (1) ada, tidak berperan
mendukung (2) ada, berperan
32

Tabel 5 Lanjutan
pengelolaan
ekosistem mangrove
3.5 Komitmen 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012) dan Noveliyana (2016):
Pemerintah Daerah (0) rendah (Pemda tidak melakukan ketiga hal
(Pemda) untuk tersebut)
konservasi (1) sedang (Pemda hanya melakukan 1 atau 2
hal)
(2) tinggi (Pemda sudah melakukan 3 hal)
Hal yang dilakukan oleh Pemda:
a. Konsistensi rencana tata ruang, kebijakan
konservasi dengan kebijakan pemanfaatan
ruang kawasan
b. Bantuan dan fasilitasi pelestarian kawasan
konservasi
c. Penegakan hukum pelestarian kawasan
konservasi
4 Dimensi Sosial
4.1 Partisipasi 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012):
masyarakat dalam (0) rendah
kegiatan rehabilitasi (1) sedang
mangrove Kawasan (2) tinggi
Ekowisata PIK
4.2 Dampak sosial 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012) dan Noveliyana (2016):
keberadaan (0) rendah (masyarakat tidak merasakan
mangrove terhadap fungsi dan manfaat keberadaan mangrove
masyarakat dan tidak menyadari)
(1) sedang (masyarakat merasakan fungsi dan
manfaat mangrove, namun masih rendah)
(2) tinggi (masyarakat merasakan fungsi dan
manfaat mangrove, dan menyadari
sepenuhnya)
4.3 Edukasi mengenai 0;1;2 2 0 (0) tidak pernah
ekosistem mangrove (1) ada, namun tidak dilakukan dengan baik
oleh pihak (2) ada, dan dilakukan dengan baik
pengelola Kawasan
Ekowisata
Mangrove PIK
4.4 Perhatian peneliti 0;1;2 2 0 Santoso (2012):
mangrove (0) rendah (jumlah penelitian < 20 kali/tahun)
(kunjungan peneliti, (1) sedang (jumlah penelitian 20 – 40
praktik pengelolaan, kali/tahun)
dan kegiatan (2) tinggi (jumlah penelitian > 40 kali/tahun)
penelitian di
kawasan ekowisata)
4.5 Tingkat pendidikan 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012):
masyarakat (0) SD
Kelurahan Kapuk (1) SMP - SMA
Muara (2) PT
Sumber: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004, Noveliyana (2016),
Osmaleli (2014), Santoso (2012), dan Theresia (2016)
Setelah hasil skoring dari setiap atribut diperoleh dengan melakukan
wawancara terhadap stakeholder terkait berdasarkan penilaian ilmiah (scientific
33

judgement), dilakukan MDS menggunakan Rap_Mforest untuk menentukan posisi


relatif dari ekosistem mangrove yang diteliti terhadap ordinasi good dan bad.
Kemudian dilakukan analisis leverage untuk menentukan aspek anomali atau
atribut yang paling berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dari tiap
dimensi.
Goodness of fit dari model yang digunakan pada analisis MDS dicerminkan
melalui nilai stress. Nilai stress (S) yang rendah menunjukkan good fit, sementara
nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Model yang baik ditunjukan dengan
nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 (S < 0,25) (Fauzi dan Anna 2005).
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Sejarah Kawasan Ekowisata Mangrove PIK

Sejak awal pembangunan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK pada tahun


2006 hingga tahun 2018, kawasan tersebut belum ditetapkan secara resmi baik oleh
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun Gubernur DKI Jakarta sebagai
kawasan ekowisata. Namun, Dinas Kehutanan DKI Jakarta telah memproyeksikan
kawasan tersebut menjadi kawasan ekowisata yang sesuai dengan prinsip
ekowisata. Status fungsi dari Kawasan Ekowisata Mangrove PIK adalah hutan
produksi yang dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta selaku Pemerintah
Daerah Provinsi.
Berdasarkan Piagam Kerja Sama antara Pemerintah Daerah DKI Jakarta
dengan Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Kehutanan yang ditandatangani
pada 24 Juni 1977 dan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah menjelaskan
bahwa wilayah tanah hutan Angke Kapuk seluas ± 1 144 ha yang terletak di
Kelurahan Kapuk Muara dan Kamal Muara berada di bawah pengelolaan Dinas
Kehutanan DKI Jakarta, selain itu Pemerintah Daerah DKI Jakarta dapat bekerja
sama dengan pihak lain dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan tanah
kawasan hutan tersebut. Hal tersebut diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Tahun 2014, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Khusus kawasan hutan konservasi
merupakan bagian pengelolaan dari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK yang merupakan Pemerintah Pusat. Oleh
karena itu, pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk dan Hutan Produksi Angke
Kapuk yang bukan merupakan kawasan konservasi dikelola oleh Dinas Kehutanan
DKI Jakarta.
Semula Kawasan Ekowisata Mangrove PIK merupakan hutan mangrove yang
dialihfungsikan menjadi tambak dan tempat pemancingan secara ilegal oleh
masyarakat. Upaya mengendalikan kerusakan mangrove akibat alih fungsi lahan
tersebut, Dinas Kehutanan DKI Jakarta melakukan penyuluhan dan penyadaran
masyarakat secara intensif bahwa tindakan masyarakat tersebut menyalahi aturan;
36

mengusir masyarakat yang membuka usaha tambak dan pemancingan ilegal untuk
keluar dari kawasan hutan tersebut; dan melakukan upaya rehabilitasi dengan
membangun kawasan tersebut menjadi kawasan ekowisata. Meskipun demikian,
Dinas Kehutanan DKI Jakarta tidak lantas menghilangkan mata pencaharian
masyarakat yang bekerja di tambak dan tempat pemancingan tersebut. Dinas
Kehutanan DKI Jakata memberdayakan dan mendidik masyarakat tersebut untuk
membentuk suatu kelompok tani yakni Kelompok Tani Flora Mangrove. Para
anggota kelompok tani tersebut dididik untuk dapat melakukan pembibitan
mangrove dan pengolahan hasil hutan mangrove, sehingga masyarakat tetap
memperoleh pendapatan dengan beralih mata pencaharian. Selain itu, beberapa dari
masyarakat tersebut diizinkan untuk berdagang di luar Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK dengan syarat membayar sejumlah retribusi dan hanya yang telah
bergabung dalam Kelompok Tani Flora Mangrove. Berdasarkan aturan tidak
tertulis, masyarakat yang bukan merupakan masyarakat sekitar tidak diperbolehkan
membuka usaha di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK.
Kegiatan rehabilitasi Kawasan Ekowisata Mangrove PIK melibatkan
berbagai pihak akademisi dan swasta, salah satunya adalah Prof. Dr. Ir. Cecep
Kusmana, MS yang merupakan guru besar Institut Pertanian Bogor selaku salah
satu pemilik paten teknik penanaman mangrove dengan metode guludan. Metode
guludan dinilai tepat diterapkan pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK yang
sebelumnya merupakan area bekas tambak, dan terbukti vegetasi mangrove di
kawasan ekowisata tumbuh dengan baik dengan metode tersebut.
Pemberlakuan tarif retribusi pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK mulai
dilakukan setelah sarana dan prasarana kawasan dibangun. Sarana dan prasarana
kawasan ekowisata tersebut adalah tempat parkir, pos jaga, kantor, mushola, toilet,
tempat duduk bersantai, jogging track atau walk board, dan jembatan pengamatan.
Penetapan tarif retribusi kawasan sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi DKI
Jakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah yang menyatakan bahwa
memasuki hutan kota atau hutan wisata dikenakan tarif retribusi sebesar Rp 1 000
per orang, sedangkan untuk biaya masuk kendaraan motor sebesar Rp 1 000 per
unit dan kendaraan mobil sebesar 2 000 per unit. Meskipun terdapat perubahan atas
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2012 menjadi Peraturan
37

Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2015, tidak ada perubahan mengenai
retribusi masuk kawasan hutan kota atau hutan wisata. Perubahan retribusi masuk
kawasan hutan kota atau hutan wisata terjadi setelah diberlakukannya Peraturan
Gubernur DKI Jakarta Nomor 225 Tahun 2016 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi
Pelayanan Kelautan dan Pertanian yang menyatakan bahwa tarif retribusi hutan
kota atau hutan wisata sebesar Rp 2 000 per orang, sedangkan untuk biaya masuk
kendaraan motor sebesar Rp 2 000 per unit dan kendaraan mobil sebesar 4 000 per
unit.
5.2 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Secara administratif, hutan mangrove Angke Kapuk termasuk dalam wilayah


Kelurahan Kapuk Muara dan Kamal Muara yang terletak dalam satu kecamatan,
yaitu Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 220/Kpts-II/2000, kawasan hutan mangrove
yang termasuk dalam wilayah Angke Kapuk tersedia dalam Tabel 6.
Tabel 6 Kawasan hutan yang termasuk dalam hutan mangrove Angke Kapuk

No Lokasi Luas (ha) Pengelola


1 Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk 99,82 PT. Murindra
2 Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) 25,02 BKSDA
3 Hutan Lindung Angke Kapuk 44,76 Dinas Kehutanan DKI Jakarta
4 Hutan Produksi Angke Kapuk 158,35 Dinas Kehutanan DKI Jakarta
Total luas 327,95
Sumber: Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 220/Kpts-II/2000 dalam
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta (2017)
Tabel 6 menjelaskan bahwa kawasan hutan mangrove yang termasuk dalam
wilayah Angke Kapuk adalah TWA Angke Kapuk, SMMA, Hutan Lindung Angke
Kapuk, dan Hutan Produksi Angke Kapuk. Berdasarkan Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kecamatan Penjaringan (Gambar 7), TWA Angke Kapuk dan
sebagian Hutan Lindung, serta Hutan Produksi Angke Kapuk terletak di wilayah
Kelurahan Kamal Muara. Sebagian Hutan Lindung dan Hutan Produksi Angke
Kapuk lainnya, serta SMMA terletak di wilayah Kelurahan Kapuk Muara. Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK merupakan bagian dari Hutan Poduksi Angke Kapuk
yang terletak di Kelurahan Kapuk Muara. Secara keseluruhan luas Kelurahan
Kapuk Muara sebesar 1 005,5 ha. Adapun batas wilayah Kelurahan Kapuk Muara
sebagai berikut:
Sebelah Utara : Pantai Laut Jawa
38

Sebelah Timur : Kali Agke


Sebelah Selatan : Jalan Kapuk Raya mengarah Kapuk Poglar
Sebelah Barat : Kali Cengkareng Drain

TWA Angke Kapuk

SMMA
Hutan Lindung

Ekowisata PIK

Sumber: Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang RDTR dan Daerah
Zonasi pada Kecamatan Penjaringan

Gambar 7 Lokasi kawasan hutan mangrove Angke Kapuk


5.3 Kondisi Ekositem Mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK

Kawasan Ekowisata Mangrove PIK merupakan bagian dari Hutan Produksi


Angke Kapuk yang berada diantara Komplek Perumahan PIK dan berbatasan
langsung dengan Jl. Tol Prof. Dr. Ir. Sedyatmo. Kawasan ekowisata tersebut
terletak di Jl. Pantai Indah Kapuk Boulevard RT.7/RW.7, Kapuk Muara,
Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara, DKI Jakarta, 14460. Adapun batas wilayah
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK sebagai berikut:
Sebelah Utara : Jl. Pantai Indah Kapuk Boulevard Komplek Perumahan PIK
Sebelah Timur : Cengkareng Drain
Sebelah Selatan : Jl. Tol Prof. Dr. Ir. Sedyatmo
Sebelah Barat : Jl. Mandara Permai VII Komplek Perumahan PIK
39

Berbeda dengan ekosistem mangrove pada umumnya yang berbatasan


langsung dengan tepi pantai dan tepi sungai, ekosistem mangrove Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK berada di perairan tergenang yang merupakan areal hutan
mangrove setelah dialihfungsikan menjadi tambak dan tempat pemancingan oleh
masyarakat. Kondisi ekosistem mangrove pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
saat ini sudah tidak langsung dipengaruhi oleh pasang surut air laut dari Laut Jawa.
Hal tersebut disebabkan oleh dampak dari reklamasi PIK.
Ekosistem mangrove pada kawasan ekowisata dimanfaatkan sebagai tempat
wisata sekaligus sarana edukasi dan konservasi mangrove, serta pembibitan
mangrove. Fungsi ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK secara
ekologis, antara lain sebagai penghasil oksigen dan penyerap karbon, penahan
intrusi air laut, penyerap limbah, penyedia unsur hara atau nutrisi, dan nursery
ground. Manfaat ekonomi langsung dari ekosistem mangrove di Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK, yaitu dengan dimanfaatkannya kawasan tersebut sebagai
tempat tujuan wisata dan penghasil bibit mangrove. Adanya kegiatan wisata
tersebut dapat menunjang pendapatan masyarakat sekitar yang melakukan usaha
pembibitan mangrove dan berdagang di sekitar kawasan ekowisata.
Pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK terdapat beberapa jenis mangrove
yang termasuk dalam famili Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Avicennia,
Meliaceae, dan Arecaceae. Jenis tumbuhan mangrove yang tumbuh di Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Jenis tumbuhan mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK

No Nama ilmiah Nama daerah/lokal Tipe


1 Rhizophora mucronata Bakau merah Mangrove sejati
2 Rhizophora stylosa Bakau Mangrove sejati
3 Rhizophora apiculate Bakau putih Mangrove sejati
4 Bruguiera ghymnorrhiza Tancang merah Mangrove sejati
5 Sonneratia caseolaris Pidada Mangrove sejati
6 Avicennia marina Api-api Mangrove sejati
7 Xylocarpus granatum Nyiri Mangrove sejati
8 Nypa fruticans Nipah Mangrove sejati
Sumber: Data primer 2018
Berdasarkan data jenis tumbuhan mangrove di kawasan ekowisata pada Tabel
7, sesuai dengan pernyataan Bengen (2003) dalam Tuwo (2011) bahwa minimal
pada hutan mangrove terdapat satu jenis tumbuhan sejati dominan yang termasuk
ke dalam 4 famili: Rhizophoraceae (Rhizophora dan Bruguiera), Sonneratiaceae
40

(Sonneratia), Aviceniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus). Pada


kawasan ekowisata terdapat jenis tumbuhan sejati dominan yang termasuk dalam
keempat famili tersebut, bahkan terdapat tumbuhan dari famili Arecaceae (Nypa).
Jumlah pohon mangrove yang dapat tumbuh pada Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK terhitung sebanyak 1 187 pohon pada sampel seluas 1 ha. Pada
sampel seluas 1 ha terdapat 15 petak guludan mangrove. Jenis mangrove yang
paling banyak tumbuh adalah jenis Rhizophora sp. dengan jumlah pohon sebanyak
870 pohon dan jarak tanam 80 – 100 cm. Jenis Avicenia sp. yang tumbuh di kawasan
ekowisata berjumlah 250 pohon dengan jarak tanam 70 – 100 cm. Jenis Nypa
futricans berjumlah 215 pohon dengan jarak tanam 80 – 100 cm. Jumlah pohon
yang paling sedikit dalam luas 1 ha adalah jenis Sonneratia sp. dengan jumlah
pohon sebanyak 42 pohon dan jarak tanam 300 – 500 cm. Data mengenai kerapatan
mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dapat dilihat pada Lampiran 3.
5.4 Kependudukan dan Sosial Ekonomi

Kelurahan Kapuk Muara terdiri atas 10 Rukun Warga (RW) dan 100 Rukun
Tetangga (RT). Secara keseluruhan jumlah penduduk Kelurahan Kapuk Muara
pada tahun 2017 sebesar 39 490 jiwa yang terdiri atas 19 737 jiwa laki-laki dan
19 753 jiwa perempuan, dengan kepadatan penduduk mencapai 3 927,40 jiwa per
km2. Sebagian masyarakat yang tinggal di Kelurahan Kapuk Muara merupakan
masyarakat pendatang dari luar daerah DKI Jakarta, termasuk warga negara asing
(WNA). Jumlah warga negara asing di Kelurahan Kapuk Muara mencapai 38 jiwa,
yang terdiri atas 27 jiwa laki-laki dan 11 jiwa perempuan.
Tingkat pendidikan dan mata pencaharian dan masyarakat yang tinggal di
Kelurahan Kapuk Muara cukup beragam. Tingkat pendidikan masyarakat
Kelurahan Kapuk Muara dari mulai tidak sekolah hingga tingkat Sarjana. Jumlah
penduduk Kelurahan Kapuk Muara berdasarkan tingkat pendidikan dan mata
pencaharian dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah penduduk Kapuk Muara berdasarkan tingkat pendidikan dan mata
pencaharian

No Jenis Jumlah Keterangan


Mata Pencaharian
1 Pedagang/pengusaha/wiraswasta 4 470
2 Buruh 5 241 Buruh serabutan
41

Tabel 8 Lanjutan
3 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 672
4 TNI 79
5 Pensiunan 308
6 Pertukangan 1 257
7 Karyawan swasta 7 783
8 Lain-lain 19 662 Sopir, tukang ojek
Pendidikan
1 Tidak sekolah 6 128 Balita dan orang tua
2 Tidak tamat SD 1 372
3 SD 6 377
4 SLTP/SMP 7 842
5 Akademi/D1/D2/D3/D4 4 275
6 Sarjana 3 572
Sumber: Monografi Kelurahan Kapuk Muara (2017)
Berdasarkan data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat Kelurahan Kapuk Muara berpendidikan terakhir SMP dan SMA.
Jumlah masyarakat dengan tingkat pendidikan terakhir SMP atau SMA sebanyak
6 377 jiwa. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Kelurahan Kapuk Muara
sadar akan pentingnya pendidikan. Masyarakat yang tidak sekolah merupakan
golongan balita dan orang tua.
Berdasarkan mata pencaharian, sebagian besar masyarakat Kelurahan Kapuk
Muara bermata pencaharian sebagai karyawan swasta. Walaupun Kelurahan Kapuk
Muara berbatasan langsung dengan Teluk Jakarta, tidak ada masyarakat Kapuk
Muara yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Selain itu, tidak ada masyarakat
Kapuk Muara yang mata pencaharian utamanya adalah tani dan buruh tani. Tidak
ada masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani disebabkan
sudah padatnya pemukiman dan bangunan yang terdapat di Kelurahan Kapuk
Muara, sehingga lahan yang tersedia untuk bercocok tanam sudah tidak tersedia.
Selain itu, kondisi sungai Angke yang melewati wilayah Kelurahan Kapuk Muara
statusnya tercemar dan sudah tidak memiliki debit yang mantap akibat sampah
padat dan limbah cair (DLH 2017). Padahal keberadaan sungai sangat mendukung
pengairan lahan pertanian.
5.5 Karakteristik Responden

Jumlah seluruh responden dalam penelitian ini adalah 72 orang yang terdiri
atas wisatawan dan stakeholder. Setiap responden memiliki karakteristik yang
berbeda. Karakteristik responden dapat dilihat berdasarkan usia, tingkat
42

pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan. Penjelasan mengenai


karakteristik responden wisatawan sebagai berikut:
1. Karakteristik Responden Wisatawan
Wawancara terhadap responden wisatawan dilakukan di lokasi jogging track,
jembatan pengamatan, dan tempat duduk bersantai. Responden wisatawan
dibutuhkan untuk menentukan nilai manfaat langsung Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK sebagai tempat wisata. Distribusi tingkat usia responden wisatawan
dari mulai usia 17 sampai 55 tahun. Mayoritas responden wisatawan memiliki usia
pada rentang 17 – 29 tahun dengan jumlah 34 orang atau persentase sebesar
56,67 %. Hal ini menujukkan bahwa Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
merupakan tempat wisata yang diminati oleh kalangan muda karena terdapat sarana
edukasi mangrove dan beberapa lokasi untuk berfoto di kawasan tersebut. Selain
itu, tarif retribusi masuk kawasan tersebut cukup terjangkau. Distribusi responden
wisatawan berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Karakteristik responden wisatawan berdasarkan usia

Usia Jumlah Persentase (%)


17 – 29 34 56,67
30 – 49 20 33,33
43 – 55 6 10
Jumlah 60 100,00
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Responden wisatawan dalam penelitian ini memiliki latar belakang tingkat
pendidikan yang beragam dari mulai tingkat SD hingga tingkat Sarjana. Tidak ada
responden wisatawan yang tidak lulus tingkat pendidikan SD. Mayoritas responden
wisatawan merupakan lulusan tingkat SMA atau SMK dengan jumlah 31 orang atau
persentase sebesar 51,67 %. Responden dengan tingkat pendidikan Sarjana hanya
berjumlah 1 orang atau persentase mencapai 1,67 %. Distribusi responden
wisatawan berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Karakteristik responden wisatawan berdasarkan tingkat pendidikan

Pendidikan Jumlah Persentase (%)


SD 7 11,67
SMP 8 13,33
SMA/SMK 31 51,67
Akademi/D1/D2/D3/D4 13 21,67
Sarjana 1 1,67
Jumlah 60 100,00
Sumber: Data primer (diolah) 2018
43

Latar belakang pekerjaan responden wisatawan beragam, dari mulai pelajar


hingga karyawan swasta. Responden wisatawan yang memiliki status pelajar
berjumlah 8 orang dengan persentase mencapai 13,33 %. Mayoritas responden
wisatawan bekerja sebagai karyawan swasta dengan jumlah 32 orang atau
persentase mencapai 53,33 %. Distribusi responden wisatawan berdasarkan jenis
pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Karakteristik responden wisatawan berdasarkan jenis pekerjaan

Pekerjaan Jumlah Persentase (%)


Pelajar/mahasiswa 8 13,33
Karyawan swasta 32 53,33
Wiraswasta 4 6,67
Buruh pabrik 3 5,00
Ibu rumah tangga 13 21,67
Jumlah 60 100,00
Sumber: Data primer (diolah) 2018

Distribusi tingkat pendapatan responden wisatawan dari mulai Rp 0 per bulan


sampai > Rp 7 500 001 per bulan. Mayoritas responden wisatawan memiliki
pendapatan pada rentang Rp 2 500 001 per bulan – Rp 5 000 000 per bulan dengan
jumlah 31 orang atau persentase mencapai 51,67 %. Hal ini sesuai dengan jenis
pekerjaan responden wisatawan yang sebagian besar bekerja sebegai karyawan
swasta. Distribusi responden wisatawan berdasarkan tingkat pendapatan dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Karakteristik responden wisatawan berdasarkan tingkat pendapatan

Pendapatan Jumlah Persentase (%)


0 – 2 500 000 22 36,67
2 500 001 – 5 000 000 31 51,67
5 000 001 – 7 500 000 4 6,67
> 7 500 001 3 5,00
Jumlah 60 100,00
Sumber: Data primer (diolah) 2018
VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Nilai Ekonomi Total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK

Nilai ekonomi total pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK yang diestimasi
dalam penelitian ini diperoleh dari fungsi dan manfaat ekosistem mangrove. Nilai
ekonomi total diestimasi berdasarkan nilai ekosistem mangrove dari kegiatan
ekowisata, pembibitan mangrove, fungsi ekologis ekosistem mangrove sebagai
penyerap karbon, keanekaragaman hayati, dan nilai keberadaan. Berdasarkan
fungsi dan manfaat ekosistem mangrove, nilai ekonomi total ekosistem mangrove
dapat diklasifikasikan seperti yang tersedia pada Tabel 13.
Tabel 13 Klasifikasi nilai ekonomi total ekosistem mangrove

No Tipologi nilai Jenis fungsi dan manfaat Metode valuasi ekonomi


1 Direct use value Ekowisata TCM
Pembibitan mangrove Market price
2 Indirect use value Penyerap karbon Benefit transfer
3 Option value Keanekaragaman hayati Benefit transfer
4 Non-use value Keberadaan ekosistem mangrove Benefit transfer
Tabel 13 menjelaskan bahwa fungsi dan manfaat ekosistem mangrove
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK yang diestimasi terdiri atas empat tipologi nilai,
yaitu direct use value, indirect use value, option value, dan non-use value. Metode
valuasi yang digunakan untuk menentukan nilai setiap tipologi nilai adalah TCM,
market price (harga pasar), dan benefit transfer.
6.1.1 Nilai Guna Langsung (Direct Use Value)
Nilai guna langsung ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
diperoleh dari kegiatan ekowisata dan pembibitan mangrove.
1. Nilai Ekonomi Wisata
Nilai ekosistem mangrove sebagai tujuan wisata diestimasi berdasarkan
pendekatan biaya perjalanan yang dikeluarkan wisatawan selama melakukan
kegiatan wisata di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Biaya perjalanan tersebut
terdiri atas biaya transportasi, biaya konsumsi, tarif retribusi masuk kawasan, dan
biaya lainnya yang dikeluarkan selama melakukan kegiatan wisata tersebut. Nilai
ekonomi wisata Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dapat diestimasi jika telah
memperoleh data jumlah responden, jumlah kunjungan responden per tahun,
jumlah kunjungan total per tahun, koefisien biaya perjalanan dan surplus
46

konsumen. Koefisien biaya perjalanan diestimasi dengan meregresikan fungsi


permintaan wisata menggunakan program SPSS 16. Berikut hasil analisis regresi
fungsi permintaan wisata Kawasan Ekowisata Mangrove PIK:
JK = 2,371 – 0,00002859 BP + 0,118 PDK – 0,005 JRK + 0,096 LML
+ 0,020 LBK
Keterangan:
JK = jumlah kunjungan wisatawan per tahun (kunjungan/tahun)
BP = biaya perjalanan (Rp)
PDK = tingkat pendidikan (tahun)
JRK = jarak tempat tinggal ke lokasi wisata (km)
LML = lama mengetahui lokasi (tahun)
LBK = lama berkunjung (jam)
Selengkapnya mengenai hasil analisis regresi fungsi permintaan wisata dapat
dilihat pada Tabel 14 dan Lampiran 4.
Tabel 14 Hasil analisis regresi fungsi permintaan wisata

Variabel Koefisien SE Koefisien T-value P-value VIF


Konstanta 2.371 0,881 2,692 0,009
BP –0,00002859 0,000 –3,405 0,001* 1,120
PDK 0,118 0,070 1,679 0,099** 1,131
JRK –0,005 0,016 –0,300 0,766 1,331
LML 0,096 0,049 1,955 0,056** 1,107
LBK 0,020 0,106 0,188 0,852 1,106
R2 0,300
R2(adj) 0,235
Keterangan: *) signifikan pada taraf nyata (α)= 5 %, **) signifikan pada taraf nyata (α)= 10 %
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Tabel 14 menunjukkan bahwa nilai R2(adj) yang diperoleh dari hasil analisis
regresi fungsi permintaan wisata sebesar 0,235. Nilai tersebut menyatakan bahwa
23,5 % keragaman jumlah kunjungan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel bebas dalam model, sedangkan sisanya sebesar
76,5 % dijelaskan oleh variabel-variabel bebas lainnya di luar model. Dalam
berbagai literatur mengenai TCM, indikator R2 sering tidak dijadikan faktor utama
untuk membandingkan model yang baik, sehingga nilai R2 yang kecil pun tidak
terlalu menjadi masalah utama (Fauzi 2014).
Berdasarkan hasil analisis regresi fungsi permintaan wisata pada Tabel 14,
dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kunjungan wisata ke
47

Kawasan Ekowisata Mangrove PIK melalui nilai P-value dari kelima variabel bebas
yang dianalisis. Tidak semua variabel bebas yang dianalisis berpengaruh signifikan
terhadap jumlah kunjungan wisata. Variabel bebas yang berpengaruh signifikan
pada taraf nyata 5 % terhadap jumlah kunjungan wisata adalah biaya perjalanan.
Variabel pendidikan dan lama mengathui lokasi berpengaruh signifikan terhadap
jumlah kunjungan wisata pada taraf nyata 10 %. Variabel yang tidak berpengaruh
signifikan terhadap jumlah kunjungan wisata adalah jarak tempat tinggal ke lokasi
wisata dan lama berkunjung di lokasi wisata. Berikut penjelasan mengenai kelima
variabel bebas tersebut:
1. Biaya Perjalanan
Variabel biaya perjalanan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap
jumlah kunjungan wisata karena berdasarkan model hasil regresi diperoleh P-value
yang lebih kecil dari taraf nyata 5 %. Nilai koefisien elastisitas sebesar 0,00002859
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya biaya perjalanan sebesar 1 % akan
menurunkan jumlah kunjugan wisata sebesar 0,002859 % (cateris paribus). Hal
ini sesuai dengan teori ekonomi bahwa semakin meningkat harga suatu barang atau
jasa akan menurunkan keinginan seseorang untuk mengonsumsi barang atau jasa
tersebut. Semakin besar biaya perjalanan yang harus dikorbankan seseorang akan
menurunkan permintaan wisata atau jumlah kunjungan ke Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK.
2. Pendidikan
Variabel pendidikan berpengaruh positif secara signifikan terhadap jumlah
kunjungan wisata karena berdasarkan model hasil regresi diperoleh P-value yang
lebih kecil dari taraf nyata 10 %. Nilai koefisien elastisitas sebesar 0,118
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya pendidikan seseorang sebesar 1 % akan
meningkatkan jumlah kunjungan wisata sebesar 11,8 % (cateris paribus). Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang akan meningkatkan kemungkinan seseorang
tersebut untuk mengunjungi Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Hal ini didukung
dengan tujuan dibangunnya kawasan tersebut sebagai sarana edukasi mengenai
mangrove bagi masyarakat yang berkunjung.
48

3. Jarak Tempat Tinggal ke Lokasi Wisata


Variabel jarak tempat tinggal ke lokasi wisata memiliki koefisien elastisitas
yang negatif namun tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan
wisata karena berdasarkan model hasil regresi diperoleh P-value yang lebih besar
dari taraf nyata 5 % maupun 10 %. Koefisien yang bertanda negatif sesuai dengan
hipotesis yang diharapkan yakni semakin jauh jarak tempat tinggal seseorang ke
lokasi wisata akan menurunkan jumlah kunjungan wisata. Hal tersebut disebabkan
semakin jauh jarak tempuh seseorang menuju lokasi wisata, maka akan semakin
besar pula biaya perjalanan yang dikeluarkan. Nilai koefisien elastisitas sebesar
0,005 menunjukkan bahwa apabila jarak tempat tinggal seseorang ke Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK meningkat 1 % akan menurunkan jumlah kunjungan
wisata sebesar 0,5 % (cateris paribus).
4. Lama Mengetahui Lokasi
Variabel lama mengetahui lokasi berpengaruh positif secara signifikan
terhadap jumlah kunjungan wisata karena berdasarkan model hasil regresi diperoleh
P-value yang lebih kecil dari taraf nyata 10 %. Koefisien elastisitas sebesar 0,096
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya lama mengetahui lokasi Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK sebesar 1 % akan meningkatkan jumlah kunjungan
wisata sebesar 9,6 % (cateris paribus). Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa
semakin lama seseorang mengetahui lokasi wisata akan meningkatkan peluang
untuk berkunjung ke lokasi wisata tersebut.
5. Lama Berkunjung
Variabel lama berkunjung di lokasi wisata memiliki koefisien elastisitas yang
positif namun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kunjungan
wisata karena berdasarkan model hasil regresi diperoleh P-value yang lebih besar
dari taraf nyata 5 % maupun 10 %. Koefisien yang bertanda positif sesuai dengan
hipotesis yang diharapkan yakni semakin lama waktu berkunjung seseorang di
lokasi wisata akan meningkatkan jumlah kunjungan wisata. Semakin lama
seseorang berkunjung atau menghabiskan waktu di lokasi wisata menandakan
bahwa wisatawan merasa nyaman berwisata sehingga wisatawan akan cenderung
untuk kembali berkunjung ke lokasi wisata tersebut. Nilai koefisien elastisitas
sebesar 0,020 menunjukkan bahwa apabila lama berkunjungnya seseorang ke
49

Kawasan Ekowisata Mangrove PIK meningkat 1 % akan meningkatkan jumlah


kunjungan wisata sebesar 2 % (cateris paribus).
Setelah memperoleh koefisien biaya perjalanan, kemudian menentukan
surplus konsumen dengan cara menguadratkan jumlah kunjungan individu
kemudian dibagi dengan dua kali koefisien biaya perjalanan. Nilai ekonomi wisata
diperoleh dengan mengalikan surplus konsumen per individu per kunjungan dan
jumlah kunjungan pada tahun 2017. Berikut perhitungan nilai ekonomi wisata
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Nilai ekonomi wisata Kawasan Ekowisata Mangrove PIK

Keterangan Nilai Satuan


Jumlah responden (a) 60 Orang
Jumlah kunjungan responden (b) 156 Kunjungan/tahun
Jumlah kunjungan tahun 2017 (c) 28 969 Kunjungan/tahun
Koefisien biaya perjalanan (d) 2 859 10-8 satuan
Surplus konsumen (e) = b2/2d 425 603 358 Rp
Surplus konsumen/individu/kunjungan (f) = e/a/b 45 470 Rp
Nilai ekonomi wisata (g) = f x c 1 317 233 298 Rp
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Tabel 15 menjelaskan bahwa nilai surplus konsumen per individu wisatawan
per kunjungan diperoleh sebesar Rp 45 470. Berdasarkan surplus konsumen, maka
nilai ekonomi wisata ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
diperoleh sebesar Rp 1 317 233 298. Nilai tersebut menunjukkan bahwa nilai
ekosistem mangrove kawasan ekowisata sebagai tempat tujuan wisata memiliki
nilai ekonomi yang tidak cukup tinggi, hal tersebut disebabkan sebagian besar
responden wisatawan yang berkunjung ke kawasan ekowisata berasal dari daerah
Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi), sehingga biaya
perjalanan yang dikeluarkan tidak terlalu tinggi. Meskipun nilai ekonomi wisata
pada kawasan tersebut tidak cukup tinggi, ekosistem mangrove tersebut harus tetap
dikelola dan dilestarikan dengan baik agar berkelanjutan.
2. Nilai Pembibitan Mangrove
Pihak yang melakukan pembibitan mangrove pada kawasan Ekowisata
Mangrove PIK adalah para petugas penyedia jasa lainnya perorangan (PJLP) Dinas
Kehutanan DKI Jakarta dan Kelompok Tani Flora Mangrove. Para pembibit
memanfaatkan propagul atau buah mangrove yang telah mengalami pekecambahan
yang jatuh ke tanah. Kemudian pembibitan dilakukan dengan menggunakan media
tanam tanah dan wadah pot atau gelas plastik bekas. Para pembeli bibit mangrove
50

biasanya merupakan instansi pendidikan, instansi pemerintah atau swasta,


komunitas, dan LSM yang melakukan kegiatan penanaman di Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK.
Nilai pembibitan mangrove diestimasi dari penjualan bibit mangrove pada
tahun 2017 sebanyak 2 128 bibit dan harga jual bibit mangrove sebesar Rp 5 000
per bibit. Perkalian antara jumlah bibit mangrove dengan harga jualnya
menghasilkan nilai pembibitan mangrove sebesar Rp 10 640 000 per tahun. Data
penanaman bibit mangrove dapat dilihat pada Lampiran 5.
6.1.2 Nilai Guna Tak Langsung (Indirect Use Value)
Nilai guna tak langsung ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove
PIK diestimasi berdasarkan fungsi ekologis ekosistem mangrove sebagai penyerap
karbon. Kemampuan ekosistem mangrove menyerap karbon diestimasi dengan
pendekatan benefit transfer mengacu pada penelitian Santoso (2012) di hutan
mangrove Muara Angke. Jumlah karbon yang mampu diserap hutan mangrove per
ha per tahun sebesar 0,823 ton per ha per tahun dengan daur pengelolaan selama 20
tahun. Luas Kawasan Ekowisata Mangrove PIK diasumsikan sebesar 40,75 ha
berdasarkan hasil analisis spasial kawasan (DKPKP DKI Jakarta 2016). Harga
karbon yang digunakan adalah US$ 5,6 per ton (FAO 2017). Asumsi nilai tukar
sebesar Rp 14 370 per US$ (Bank Indonesia 2018a). Perhitungan nilai guna tak
langsung dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Nilai ekonomi penyerapan karbon Kawasan Ekowisata Mangrove PIK

Keterangan Nilai Satuan


Potensi karbon yang diserap (a) 0,823 Ton/ha
Luas kawasan mangrove (b) 40,750 Ha
Harga karbon (c) 5,600 US$
Nilai tukar rupiah (d) 14 370,000 Rp/US$
Nilai ekonomi penyerapan karbon kawasan ekowisata (e) 2 698 809,580 Rp/tahun
[e = a x b x c x d]
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Berdasarkan perhitungan nilai ekonomi Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
sebagai penyerap karbon pada Tabel 16, diperoleh nilai sebesar Rp 2 698 809,58.
Nilai ekonomi tersebut diestimasi dengan mengalikan potensi karbon yang diserap
dengan luas kawasan mangrove, harga karbon, dan nilai tukar rupiah.
51

6.1.3 Nilai Pilihan (Option Value)


Nilai pilihan ekosistem mangrove diestimasi berdasarkan nilai
keanekaragaman hayati (biodiversity) dengan menggunakan metode valuasi benefit
transfer. Nilai pilihan dalam penelitian ini diestimasi dengan mengacu pada hasil
penelitian Ruintenbeek (1992) yang menilai kenaekaragaman hayati ekosistem
mangrove di Papua sebesar US$ 1 500 per km2 per tahun atau setara dengan
US$ 15 per ha per tahun. Nilai tukar rupiah yang digunakan adalah Rp 14 370 per
US$. Perhitungan nilai pilihan dari ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Nilai pilihan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK

Keterangan Nilai Satuan


Nilai keanekaragaman hayati mangrove Papua tahun 1992 (a) 15,00 US$/ha
Luas kawasan mangrove (b) 40,75 Ha
Suku bunga Juli 2018 (Bank Indonesia 2018b) (c) 5,25 %
Nilai keanekaragaman hayati mangrove Papua tahun 2018 (d) 56,74 US$/ha
[d = a(1+c)^26]
UMP DKI Jakarta 2018 (e) 3 648 035,82 Rp/bulan
UMP Papua 2018 (f) 2 663 646,00 Rp/bulan
Nilai tukar rupiah (g) 14 370,00 Rp/US$
Nilai ekonomi keanekaragaman hayati kawasan ekowisata (h) 45 504 704,69 Rp/tahun
[h = b x d x (e/f) x g]
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman hayati ekosistem
mangrove kawasan ekowisata diperoleh dengan melakukan compounding terhadap
nilai keanekaragaman hayati ekosistem mangrove Papua dari tahun 1992 ke tahun
2018. Kemudian nilai keanekaragaman hayati hasil compounding tersebut dikalikan
dengan luas ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dan UMP
DKI Jakarta dibagi dengan UMP Papua. Selanjutnya, nilai akhir yang diperoleh
diubah ke dalam nilai rupiah dengan mengalikannya terhadap nilai tukar rupiah,
sehingga diperoleh nilai ekonomi keanekaragaman hayati ekosistem mangrove
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK sebesar Rp 45 504 704,69.
6.1.4 Nilai Non-Guna (Non-Use Value)
Nilai non-guna ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
yang diestimasi dalam penelitian adalah nilai keberadaan. Nilai keberadaan
diestimasi menggunakan pendekatan benefit transfer mengacu pada penelitian
Santoso (2012) yang menghitung nilai keberadaan hutan mangrove Muara Angke
DKI Jakarta, dengan pertimbangan lokasi penelitian juga terletak di hutan
52

mangrove Muara Angke DKI Jakarta dan memiliki karakteristik hutan lokasi yang
hampir sama. Berdasarkan hasil penelitian Santoso (2012), diperoleh nilai
keberadaan hutan mangrove Muara Angke sebesar Rp 2 414 743 per ha. Pada
perhitungan nilai keberadaan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK akan dilakukan
sedikit penyesuaian. Selengkapnya, perhitungan nilai keberadaan dapat dilihat pada
Tabel 18.
Tabel 18 Nilai keberadaan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK

Keterangan Nilai Satuan


Nilai keberadaan mangrove study site pada tahun 2012(a) 2 414 743,00 Rp/ha
Luas kawasan mangrove (b) 40,75 Ha
Suku bunga Juli 2018 (Bank Indonesia 2018b) (c) 5,25 %
Nilai keberadaan mangrove study site pada tahun 2018 (d) 3 282 490,99 Rp/ha
[d = a(1+c)^6]
Nilai keberadaan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK (e) 133 761 507,89 Rp/tahun
[e = b x d]
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Berdasarkan data pada Tabel 18 menujukkan bahwa nilai keberadaan
ekosistem mangrove Kawasam Ekowisata Mangrove PIK diperoleh dengan
melakukan compounding terhadap nilai keberadaan ekosistem mangrove study site
yakni hutan mangrove Muara Angke dari tahun 2012 ke tahun 2018. Kemudian
nilai keberadaan hasil compounding tersebut dikalikan dengan luas ekosistem
mangrove kawasan ekowisata, sehingga diperoleh nilai keberadaan ekosistem
mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK sebesar Rp 133 761 507,89.
6.1.5 Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value)
Setelah memperoleh nilai guna dan non-guna ekosistem mangrove Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK, maka nilai ekonomi total dari kawasan ekowisata
mangrove tersebut dapat diestimasi dengan menjumlahkan kedua nilai tersebut.
Nilai ekonomi total yang diestimasi, antara lain nilai guna langsung dari kegiatan
wisata dan pembibitan mangrove; nilai guna tak langsung sebagai penyerap karbon;
nilai keanekaragaman hayati; dan nilai keberadaan. Perhitungan nilai ekonomi total
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Nilai ekonomi total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
Nilai ekonomi total Persentase
No Tipologi nilai Jenis fungsi dan manfaat
(Rp/tahun) (%)
1 Direct use value Ekowisata 1 317 233 298,00 87,24
Pembibitan mangrove 10 640 000,00 0,70
2 Indirect use value Penyerap karbon 2 698 809,58 0,18
53

Tabel 19 Lanjutan
3 Option value Keanekaragaman hayati 45 504 704,69 3,01
Keberadaan ekosistem 8,86
4 Non-use value 133 761 507,89
mangrove
Nilai ekonomi total ekosistem mangrove (Rp/th) 1 509 838 320,52 100,00
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Tabel 19 menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari kegiatan ekowisata diperoleh
sebesar Rp 1 317 233 298 dengan persentase nilai sebesar 87,24 % dari nilai
ekonomi total. Kegiatan pembibitan mangrove memiliki nilai ekonomi sebesar
Rp 10 640 000 dengan persentase nilai sebesar 0,70 % dari nilai ekonomi total.
Berdasarkan nilai ekonomi manfaat langsung dari kegiatan ekowisata dan
pembibitan mangrove sehingga diperoleh nilai sebesar Rp 1 327 873 298 dengan
persentase nilai mencapai 87,94 % dari nilai ekonomi total.
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 19 diperoleh nilai ekonomi dari
fungsi ekologis ekosistem mangrove sebagai penyerap karbon sebesar
Rp 2 698 809,58 dengan persentase nilai sebesar 0,18 % dari nilai ekonomi total.
Nilai pilihan yang diperoleh dari keanekaragaman hayati ekosistem mangrove
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK adalah sebesar Rp 45 504 704,69 dengan
persentase nilai mencapai 3,01 % dari nilai ekonomi total. Keberadaan dari
ekosistem mangrove memiliki nilai sebesar Rp 133 761 507,89 dengan persentase
nilai mencapai 8,86 % dari nilai ekonomi total. Penjumlahan dari nilai ekonomi
manfaat langsung dan tak langsung, nilai keanekaragaman hayati, dan nilai
keberadaan menghasilkan nilai ekonomi total ekosistem mangrove Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK sebesar 1 509 838 320,52. Nilai ekonomi total tersebut
tidak cukup tinggi, sebab nilai yang diestimasi dalam penelitian ini tidak mencakup
keseluruhan nilai dari ekosistem mangrove pada kawasan ekowisata tersebut.
6.2 Status Keberlanjutan Ekosistem Mangrove Kawasan Ekoswisata
Mangrove PIK

Status keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove


PIK dianalisis menggunakan teknik MDS dengan alat analisis Rap_Mforest.
Dimensi yang dianalisis untuk menilai status keberlanjutan tersebut terdiri atas
dimensi ekologi, ekonomi, kelembagaan, dan sosial. Total seluruh atribut dari
keempat dimensi tersebut berjumlah 19 atribut yang terdiri atas 5 atribut dimensi
ekologi, 4 atribut dimensi ekonomi, 5 atribut dimensi kelembagaan, dan 5 atribut
54

dimensi sosial. Keempat dimensi dan 19 atribut yang telah ditentukan tersebut akan
menggambarkan status keberlanjutan dari ekosistem mangrove di Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK melalui nilai indeks keberlanjutan hasil analisis
Rap_Mforest.
6.2.1 Dimensi Ekologi
Salah satu faktor penting untuk menentukan keberlanjutan ekosistem
mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK adalah dimensi ekologi. Berdasarkan
studi literatur terhadap penelitian terdahulu dan hasil observasi lapang, berikut
atribut yang menentukan keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK dari dimensi ekologi antara lain:
1. Tekanan Lahan Mangrove
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
220/Kpts-II/2000 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata
Guna Hutan Kesepakatan di wilayah Provinsi DKI Jakarta seluas 108 475,45 ha
(kawasan hutan dan perairan), seluas 158,35 ha merupakan kawasan Hutan
Produksi Angke Kapuk yang dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta.
Pembangunan Jalan Tol Prof. Dr. Ir. Sedyatmo tahun 1984 dan pelebaran jalan tol
tersebut tahun 2005 oleh Jasa Marga turut berkontribusi dalam mengurangi luas
Hutan Produksi Angke Kapuk, sebagai gantinya pihak Jasa Marga harus
mengkompensasi lahan yang digunakan untuk Jalan Tol Prof. Dr. Ir. Sedyatmo
sesuai dengan peraturan mengenai Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diatur
dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.38/Menhut-
II/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-
II/2011. Semenjak kawasan ekowisata dibangun pada tahun 2006 hingga tahun
2018 tidak terjadi perubahan luas lahan mangrove, yang dilakukan oleh Dinas
Kehutanan DKI Jakarta dengan membangun kawasan tersebut sebagai kawasan
ekowisata justru mengembalikan hutan mangrove yang sebelumnya
dialihfungsikan menjadi tambak dan tempat pemancingan oleh masyarakat sekitar.
Oleh karena itu, tidak terjadi alih fungsi lahan mangrove tanpa memperhatikan
fungsi lingkungan semenjak Dinas Kehutanan DKI Jakarta merehabilitasi kawasan
hutan mangrove tersebut dan melakukan pengelolaan hingga saat ini. Skor untuk
atribut tekanan luas mangrove adalah 0,333.
55

2. Kerapatan Mangrove
Pada sampel seluas 1 ha, terhitung jumlah pohon mangrove yang dapat
tumbuh di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK berjumlah 1 187 pohon. Pohon
mangrove yang paling banyak tumbuh adalah jenis Rhizophora sp. dengan jumlah
870 pohon dan jarak tanam 80 – 100 cm. Jika dilihat menurut Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman
Penentuan Kerusakan Mangrove, kerapatan mangrove pada ekosistem mangrove
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK termasuk dalam kategori sedang. Skor untuk
atribut kerapatan mangrove adalah 1,333.
3. Rehabilitasi Mangrove
Kegiatan rehabilitasi mangrove di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK telah
dilakukan semenjak kawasan tersebut dibangun dan melibatkan berbagai pihak dari
akademisi, instansi pemerintah, dan swasta. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
merupakan salah satu guru besar Institut Pertanian Bogor yang berkontribusi dalam
mengembangkan teknik penanaman mangrove dengan metode guludan di kawasan
ekowisata. Metode guludan dinilai tepat untuk diterapkan pada Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK yang sebelumnya merupakan area bekas tambak. Vegetasi
mangrove di kawasan tersebut tumbuh dengan baik dengan metode tersebut.
Mangrove dapat tumbuh baik di kawasan ekowisata tidak terlepas dari peran
pengelola mangrove dalam merawat dan memelihara ekosistem mangrove. Jika
terdapat bibit mangrove yang mati, pihak pengelola atau petugas lapang yakni PJLP
Dinas Kehutanan menggantikan bibit mangrove tersebut dengan bibit yang baru.
Selain itu, kegiatan pembersihan hama seperti eceng gondok dan telur siput rutin
dilakukan oleh PJLP yang bertugas. Namun, hingga saat ini belum ada rencana
pemetaan kebutuhan penanaman dalam kegiatan rehabilitasi tersebut dan masih
bersifat spontanitas. Jika instansi pemerintah atau swasata ingin melakukan
penanaman, barulah kemudian PJLP mengecek ketersediaan lahan untuk
penanaman tersebut. Skor untuk atribut rehabilitasi mangrove adalah 1,833.
4. Tingkat Keragaman Mangrove
Jenis tumbuhan mangrove pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK terdiri
atas Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Bruguiera
ghymnorrhiza, Sonneratia caseolaris, Avicennia marina, Xylocarpus granatum,
56

dan Nypa fruticans. Jenis tumbuhan mangrove tersebut merupakan tumbuhan sejati
dominan yang termasuk ke dalam famili: Rhizophoraceae (Rhizophora dan
Bruguiera), Sonneratiaceae (Sonneratia), Aviceniaceae (Avicennia), Meliaceae
(Xylocarpus), dan Arecaceae (Nypa). Karena jenis tumbuhan mangrove yang ada
pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK sudah termasuk ke dalam empat famili
yang minimal ada dalam suatu ekosistem mangrove (Bengen 2003 dalam Tuwo
2011) dan jenisnya berjumlah 8, maka jenis mangrove pada kawasan ekowisata
tersebut cukup beragam. Skor untuk atribut tingkat keragaman mangrove adalah 1.
5. Pengaruh Pasang Surut Air Laut terhadap Ekosistem Mangrove
Dampak reklamasi dan kegiatan pembangunan di kawasan PIK membuat
ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK tidak secara langsung
terkena pengaruh pasang surut air laut saat ini. Padahal sejatinya hutan mangrove
merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang khas, tumbuh dan berkembang
pada daerah pasang surut, terutama di laguna, muara sungai dan pantai yang
terlindung dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir (KLHK 2016). Oleh karena
itu, skor untuk atribut ini adalah 0,167.
Penentuan skor yang akan dianalisis dengan alat analisis Rap_Mforest
berdasarkan rata-rata skor dari hasil wawancara terhadap stakeholder terkait. Skor
masing-masing atribut dari dimensi ekologi dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Nilai skor dimensi keberlanjutan ekologi dari ekosistem mangrove

No Atribut Skor Baik Buruk Keterangan


1 Tekanan lahan mangrove 0,333 0 2 Nilai rata-rata
2 Kerapatan mangrove 1,333 2 0 Nilai rata-rata dan data
sekunder
3 Rehabilitasi mangrove 1,833 2 0 Nilai rata-rata
4 Tingkat keragaman hutan mangrove 1 2 0 Nilai rata-rata dan data
primer
5 Pengaruh pasang surut air laut 0,167 1 0 Nilai rata-rata
terhadap ekosistem mangrove
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Tabel 20 menunjukkan bahwa atribut-atribut dimensi ekologi memiliki nilai
skor yang beragam, skor 0,333 untuk atribut tekanan lahan mangrove, skor 1,333
untuk atribut kerapatan mangrove, skor 1,833 untuk atribut rehabilitasi mangrove,
skor 1 untuk atribut tingkat keragaman hutan mangrove, skor 0,167 untuk atribut
pengaruh pasang surut air laut terhadap ekosistem mangrove. Nilai skor masing-
masing atribut dimensi ekologi yang telah diperoleh pada Tabel 20 kemudian
57

dianalisis dengan menggunakan metode MDS untuk menentukan nilai indeks


keberlanjutan dimensi ekologi dari ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK. Hasil yang diperoleh dari analisis keberlanjutan pada dimensi
ekologi dengan menggunakan Rap_Mforest dapat dilihat pada Gambar 8.

Rap_Mforest Ordination
60
Up
40
Other Distingishing

20
Features

59.88
Bad Good
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
-40
Down
-60
Mangrove Forest Status
Sumber: Data primer (diolah) 2018

Gambar 8 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi ekosistem mangrove


Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi
ekologi adalah 59,88, yang mana nilai indeks tersebut termasuk kategori cukup
berkelanjutan. Kemudian analisis pengungkit (leverage analysis) dilakukan untuk
menentukan aspek anomali dari atribut pada dimensi ekologi. Hasil analisis
leverage atribut pada dimensi ekologi dengan menggunakan Rap_Mforest (Gambar
9) menunjukkan bahwa atribut yang paling sensitif mempengaruhi keberlanjutan
dari dimensi ekologi adalah rehabilitasi mangrove. Perubahan sedikit saja pada
atribut ini akan mempengaruhi status keberlanjutan pada dimensi ekologi, sehingga
atribut ini perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta agar
pengelolaan ekosistem mangrove pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
berkelanjutan.
Kegiatan rehabilitasi mangrove mempengaruhi status keberlanjutan
ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK, sebab ketika kegiatan
rehabilitasi dilakukan tanpa ada perencanaan yang matang justru akan
mengakibatkan kegagalan kegiatan rehabilitasi, sehingga ekosistem mangrove
tidak berkelanjutan secara ekologi. Oleh karena itu, rencana pemetaan kebutuhan
rehabilitasi terkait ketersediaan lahan, besarnya dana yang diperlukan, dan pihak
yang terlibat perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dengan matang agar kegiatan
58

rehabilitasi mangrove berkelanjutan secara ekologi. Nilai perubahan RMS hasil


analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 9.

Leverage of Attributes
Pengaruh pasang-surut air laut 4.75
Keragaman mangrove 5.68
Attribute

Rehabilitasi mangrove 6.96


Kerapatan mangrove 1.06
Tekanan lahan mangrove 4.55

0 1 2 3 4 5 6 7 8
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)
Sumber: Data primer (diolah) 2018

Gambar 9 Analisis leverage atribut pada dimensi ekologi


6.2.2 Dimensi Ekonomi
Berdasarkan studi literatur terhadap penelitian terdahulu dan hasil observasi
lapang, berikut atribut yang menentukan keberlanjutan dari dimensi ekonomi antara
lain:
1. Nilai Ekonomi Total
Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
diestimasi berdasarkan nilai ekosistem mangrove dari kegiatan ekowisata,
pembibitan mangrove, fungsi ekologis ekosistem mangrove, keanekaragaman
hayati, dan nilai keberadaan. Berdasarkan hasil estimasi manfaat dan fungsi
tersebut, diperoleh nilai ekonomi total sebesar Rp 1 509 838 320,52. Oleh karena
itu, skor untuk atribut ini adalah 1.
2. Manfaat Tak Langsung
Berdasarkan nilai manfaat tak langsung ekosistem mangrove dari fungsi
ekologis ekosistem mangrove yang telah dibahas untuk menjawab rumusan
masalah pertama, diperoleh nilai sebesar Rp 2 698 809,58 dengan persentase
sebesar 0,18 % dari nilai ekonomi total. Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan
dengan nilai manfaat langsung ekosistem mangrove sebagai kawasan ekowisata dan
penghasil bibit mangrove. Skor untuk atribut ini adalah 0.
59

3. Jumlah Kunjungan Wisatawan


Kawasan Ekowisata Mangrove PIK merupakan salah satu destinasi wisata
alam yang terdapat di DKI Jakarta. Jumlah kunjungan wisatawan ke lokasi
Kawasan Ekowisata Mangrove pada tahun 2016 mencapai 29 173 kunjungan
(Dinas Kehutanan DKI Jakarta 2017). Pada tahun 2017 mengalami penurunan
jumlah kunjungan menjadi 28 969 kunjungan (Dinas Kehutanan DKI Jakarta 2018).
Meskipun terjadi penurunan jumlah kunjungan, berdasarkan data jumlah kunjungan
tersebut menunjukkan bahwa Kawasan Ekowisata Mangrove PIK cukup diminati
oleh para wisatawan karena harganya yang terjangkau dan masyarakat dapat
menambah wawasan mengenai ekosisistem mangrove dengan berkunjung ke lokasi
tersebut. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden wisatawan, hampir
sebagian besar wisatawan yang berkunjung berasal dari DKI Jakarta dan Jawa
Barat. Skor untuk atribut ini adalah 2.
4. Aksesibilitas Kawasan Mangrove
Letak Kawasan Ekowisata Mangrove PIK yang berada di sekitar kawasan
perumahan PIK dan dekat dengan Jalan Tol Prof. Dr. Ir. Sedyatmo membuat
kawasan tersebut cukup strategis dan mudah diakses dengan alat transportasi
pribadi dan alat transportasi umum. Untuk sampai ke kawasan ekowisata dapat
menggunakan alat transportasi umum, yaitu Busway Transjakarta rute Balai Kota–
PIK dan angkutan kota KWK U11 rute Muara Baru–Muara Karang. Namun,
meskipun sudah tersedia alat transportasi umum yang dapat digunakan untuk
mencapai lokasi, waktu tunggu yang dibutuhkan oleh penumpang untuk dapat
mengakses kedua alat transportasi umum tersebut cukup lama. Skor untuk atribut
ini adalah 1,25.
Penentuan skor yang akan dianalisis menggunakan Rap_Mforest berdasarkan
rata-rata skor dari hasil wawancara terhadap stakeholder terkait. Skor masing-
masing atribut dari dimensi ekonomi dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Nilai skor dimensi keberlanjutan ekonomi dari ekosistem mangrove

No Atribut Skor Baik Buruk Keterangan


1 Nilai ekonomi total 1 2 0 Data primer diolah
2 Manfaat tak langsung 0 2 0 Data primer diolah
3 Jumlah kunjungan wisatawan 2 2 0 Nilai rata-rata dan data
sekunder
4 Aksesibilitas kawasan mangrove 1,25 2 0 Nilai rata-rata
Sumber: Data primer (diolah) 2018
60

Atribut-atribut pada dimensi ekonomi yang terdapat pada Tabel 21 memiliki


nilai skor yang beragam. Skor 1 untuk atribut nilai ekonomi total, skor 0 untuk
atribut manfaat tak langsung, skor 2 untuk atribut jumlah kunjungan wisatawan,
skor 1,25 untuk atribut aksesibilitas kawasan mangrove. Hasil analisis terhadap
skor pada Tabel 21 dengan menggunakan Rap_Mforest untuk menentukan nilai
indeks keberlanjutan dimensi ekonomi dapat dilihat pada Gambar 10.

Rap_Mforest Ordination
60
Up
40
Other Distingishing

20
Features

Bad Good
0
0 20 40 60 80 100 120
-20 49.05
-40
Down
-60 Mangrove Forest Status
Sumber: Data primer (diolah) 2018

Gambar 10 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi ekosistem mangrove


Gambar 10 menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi
ekonomi adalah 49,05, artinya dimensi ekonomi berstatus kurang berkelanjutan.
Untuk menentukan aspek anomali dari atribut pada dimensi ekonomi, dilakukanlah
analisis leverage. Nilai perubahan RMS hasil analisis leverage pada dimensi
ekonomi dapat dilihat pada Gambar 11.

Leverage of Attributes
Aksesibilitas kawasan mangrove 4.80
Attribute

Jumlah kunjungan wisatawan 14.06

Manfaat tak langsung 13.85

Nilai ekonomi total 5.60

0 5 10 15
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)
Sumber: Data primer (diolah) 2018

Gambar 11 Analisis leverage atribut pada dimensi ekonomi


Hasil analisis leverage atribut pada dimensi ekonomi menggunakan
Rap_Mforest (Gambar 11) menunjukkan bahwa atribut yang paling sensitif
61

mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi ekonomi adalah jumlah kunjungan


wisatawan. Perubahan sedikit pada atribut tersebut sangat mempengaruhi status
keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Oleh
karena itu, atribut ini perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah DKI
Jakarta agar pengelolaan ekosistem mangrove pada Kawasan Ekowisata Mangrove
PIK berkelanjutan.
Jumlah kunjungan mempengaruhi keberlanjutan ekosistem mangrove secara
ekonomi pada kawasan tersebut, sebab jumlah kunjungan turut berkontribusi
terhadap Pendapatan Asli Daerah DKI Jakarta melalui retribusi kawasan. Semakin
tinggi jumlah pengunjung, akan meningkatkan besarnya kontribusi retribusi
kawasan terhadap Pendapatan Asli Daerah DKI Jakarta. Untuk mempertahankan
dan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan ekowisata tersebut,
pemerintah harus memperhatikan kesesuaian antara jasa ekosistem mangrove yang
ditawarkan kepada wisatawan dengan kesediaan membayar wisatawan yang
berkunjung. Namun jangan sampai jumlah wisatawan yang tinggi melebihi daya
dukung lingkungan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK.
6.2.3 Dimensi Kelembagaan
Dimensi kelembagaan berkaitan erat terhadap keberlanjutan ekosistem
mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Berdasarkan studi literatur terhadap
penelitian terdahulu dan hasil observasi lapang, berikut atribut yang menentukan
keberlanjutan dari dimensi kelembagaan antara lain:
1. Ketersediaan peraturan formal dan informal
Pada pengelolaan Kawasan Ekowisata Mangrove terdapat peraturan formal
dan informal yang berperan. Adanya peraturan tersebut dibutuhkan guna
mendukung keberlanjutan kawasan ekowisata. Oleh karena itu, skor untuk atribut
ini adalah 0. Berikut peraturan yang turut berperan dalam pengelolaan ekosistem
mangrove pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK:
1) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
220/Kpts-II/2000 Tanggal 2 Agustus 2000 tentang Penunjukkan Kawasan
Hutan dan Perairan serta Tata Guna Hutan Kesepakatan di wilayah Provinsi
DKI Jakarta seluas 108 475,45 ha (kawasan hutan dan perairan), yang terdiri
atas Taman Nasional Kepulauan Seribu seluas 108 039,50 ha; Taman Wisata
62

Alam (TWA) Angke Kapuk seluas 99,82 ha; Cagar Alam Pulau Bokor seluas
18 ha; SM Pulau Rambut seluas 90 ha; SM Muara Angke seluas 25 ha; Hutan
Lindung Angke Kapuk seluas 44,76 ha; dan Hutan Produksi Angke Kapuk
seluas 158,35 ha
2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
5) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.31/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pedoman Kegiatan Usaha
Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Produksi
6) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 225 Tahun 2016 tentang Penyesuaian
Tarif Retribusi Pelayanan Kelautan dan Pertanian
7) Peraturan mengenai larangan melakukan tindak kerusakan yang ditetapkan
untuk seluruh kawasan hutan yang dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta

Gambar 12 Papan peraturan Dinas Kehutanan DKI Jakarta


2. Ketersediaan Personel Penegak Hukum di Lokasi
Personel penegak hukum yang berada di lokasi terdiri atas polisi hutan yang
saat ini mengemban tugas sekaligus sebagai pengawas teknis dan administrasi di
lapang, dan petugas keamanan yang bertugas. Ketika ditemukan pelanggaran
terhadap aturan yang telah diterapkan, personel penegak hukum di lapang
memberikan peringatan dan penyuluhan terkait kasus pelanggaran tersebut, dan
63

pihak yang melanggar membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi kesalahan
tersebut. Jika terbukti mengulangi pelanggaran, maka kasus pelanggaran tersebut
akan ditindaklanjuti oleh penyidik bagian Penegakan Hukum Dinas Kehutanan DKI
Jakarta. Sejauh ini, belum ada kasus pelanggaran hukum yang sifatnya berulang
dan hanya berakhir dengan surat pernyataan tidak akan mengulangi pelanggaran.
Skor untuk atribut ini adalah 1,833.
3. Peranan Kelembagaan Formal yang Mendukung Pengelolaan Mangrove
Adanya kelembagaan formal yang mengelola ekosistem mangrove pada
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK sangat berperan dalam mendukung
pengelolaan mangrove. Aktivitas masyarakat yang dapat merusak ekosistem
mangrove dan mempengaruhi keberlanjutan kawasan tersebut dapat dikendalikan
dengan baik. Hanya saja perlu ditingkatkan koordinasi antara petugas lapang dan
aparat Dinas Kehutanan DKI Jakarta yang berwenang dalam pengelolaan ekosistem
mangrove kawasan ekowisata tersebut, sehingga pengelolaan ekosistem mangrove
menjadi lebih terencana dan berkelanjutan. Skor untuk atribut ini adalah 2.
4. Peranan Kelembagaan Informal yang Mendukung Pengelolaan Mangrove
Adanya kerja sama yang dibentuk oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan
Kelompok Tani Flora Mangrove turut berperan dalam mendukung pengelolaan
mangrove, terutama dalam kegiatan penanaman mangrove. Oleh karena inisiatif
Dinas Kehutanan DKI Jakarta melakukan pemberdayaan masyarakat mantan
pekerja tambak dan pemancingan untuk melakukan usaha bibit mangrove dan
produk olahan mangrove, telah memudahkan Dinas Kehutanan DKI Jakarta dalam
hal pengadaan bibit mangrove dan produk olahan mangrove jika ada pihak yang
ingin melakukan kegiatan penanaman mangrove atau menikmati produk olahan
mangrove. Dinas Kehutanan DKI Jakarta hanya bertindak sebagai fasilitator antara
pihak yang ingin menanam dengan kelompok tani tersebut. Skor untuk atribut ini
adalah 2.
5. Komitmen Pemerintah Daerah untuk Konservasi
Sejauh ini Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah melakukan konsistensi
rencana tata ruang, kebijakan konservasi dengan kebijakan pemanfaatan ruang
kawasan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan zonasi Kawasan Ekowisata Mangrove
PIK yang termasuk dalam zona hijau RDTR yang hingga saat ini tidak berubah
64

fungsinya. Sesuai dengan kebijakan Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk


memanfaatkan Hutan Produksi Angke Kapuk dari jasa lingkungannya bukan dari
hasil kayunya guna mempertahankan keberadaan hutan mangrove, maka
pemanfaatan jasa lingkungan ekosistem mangrove sebagai kawasan ekowisata telah
sesuai dengan kebijakan konservasi. Selain itu, Pemerintah Daerah telah
melaksanakan tugasnya untuk memfasilitasi dan menegakan hukum pelestarian
kawasan. Komitmen Pemerintah Daerah yang perlu ditingkatkan antara lain alokasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pengelolaan hutan
terutama hutan mangrove yang dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta, dan
pengadaan, serta peribaikan sarana dan prasarana pengelolaan yang memadai. Oleh
karena itu, skor untuk atribut ini adalah 1,667.
Penentuan skor yang akan dianalisis menggunakan Rap_Mforest berdasarkan
rata-rata skor dari hasil wawancara terhadap stakeholder terkait. Skor masing-
masing atribut dari dimensi kelembagaan dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Nilai skor dimensi keberlanjutan kelembagaan dari ekosistem mangrove

No Atribut Skor Baik Buruk Keterangan


1 Ketersediaan peraturan formal dan 0 0 1 Nilai rata-rata dan data
informal sekunder
2 Ketersediaan personel penegak 1,833 2 0 Nilai rata-rata dan data
hukum di lokasi sekunder
3 Peranan kelembagaan formal yang 2 2 0 Nilai rata-rata
mendukung pengelolaan mangrove
4 Peranan kelembagaan informal yang 2 2 0 Nilai rata-rata
mendukung pengelolaan mangrove
5 Komitmen Pemerintah Daerah 1,667 2 0 Nilai rata-rata dan data
untuk konservasi sekunder
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Tabel 22 menunjukkan bahwa atribut-atribut dimensi kelembagaan memiliki
nilai skor yang beragam, skor 0 untuk atribut ketersediaan peraturan formal dan
informal, skor 1,833 untuk atribut ketersediaan personel penegak hukum di lokasi,
skor 2 untuk atribut peranan kelembagaan formal yang mendukung pengelolaan
mangrove, skor 2 untuk atribut peranan kelembagaan informal yang mendukung
pengelolaan mangrove, skor 1,667 untuk atribut Komitmen Pemerintah Daerah
untuk konservasi. Nilai skor yang telah diperoleh pada Tabel 22, kemudian
dianalisis menggunakan Rap_Mforest untuk menentukan nilai indeks keberlanjutan
dimensi kelembagaan. Hasil yang diperoleh dari analisis keberlanjutan pada
dimensi kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 13.
65

Rap_Mforest Ordination
60
Up
40

Other Distingishing
20

Features
Bad 92.12 Good
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
-40
Down
-60 Mangrove Forest Status
Sumber: Data primer (diolah) 2018

Gambar 13 Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan ekosistem mangrove


Berdasarkan Gambar 13 menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan
untuk dimensi kelembagaan adalah 92,12. Nilai tersebut termasuk kategori sangat
berkelanjutan. Kemudian dilakukan dilakukan analisis leverage guna menentukan
aspek anomali dari atribut pada dimensi kelembagaan. Nilai perubahan RMS hasil
analisis leverage pada dimensi kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 14.

Leverage of Attributes
Komitmen Pemerintah Daerah untuk… 3.86
Peranan kelembagaan informal yang… 1.95
Attribute

Peranan kelembagaan formal yang… 2.75


Ketersediaan personel penegak hukum di… 1.32
Ketersediaan peraturan formal dan informal 1.75

0 2 4 6
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)
Sumber: Data primer (diolah) 2018

Gambar 14 Analisis leverage atribut pada dimensi kelembagaan


Hasil analisis leverage atribut pada dimensi kelembagaan (Gambar 14)
menunjukkan bahwa atribut yang paling sensitif mempengaruhi keberlanjutan pada
dimensi kelembagaan adalah komitmen Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk
konservasi. Perubahan sedikit saja pada atribut ini akan mempengaruhi
keberlanjutan ekosistem mangrove secara kelembagaan. Oleh karena itu, atribut ini
perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan dari Pemerintah DKI Jakarta agar
66

pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan ekowisata tersebut dapat


berkelanjutan.
Komitmen Pemerintah Daerah untuk konservasi menjadi atribut yang sensitif
mempengaruhi status keberlanjutan ekosistem mangrove secara kelembagaan.
Pemerintah Daerah DKI Jakarta selaku lembaga formal yang berwenang untuk
mengelola kawasan telah berhasil melakukan upaya konservasi. Hal tersebut
dibuktikan dengan telah dilakukannya konsistensi rencana tata ruang, kebijakan
konservasi dengan kebijakan pemanfaatan ruang kawasan, memfasilitasi dan
menegakan hukum pelestarian kawasan konservasi. Kekonsistenan pemerintah
untuk konservasi perlu dipertahankan agar pengelolaan ekosistem mangrove pada
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dapat berkelanjutan.
6.2.4 Dimensi Sosial
Selain dimensi ekologi, ekonomi, dan kelembagaan, dimensi sosial juga
merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan keberlanjutan ekosistem
mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Berdasarkan studi literatur terhadap
penelitian terdahulu dan hasil observasi lapang, berikut atribut yang menentukan
keberlanjutan dari dimensi sosial antara lain:
1. Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Mangrove
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove dalam kondisi
rendah, terbukti dari pihak atau instansi yang sering dan paling banyak melakukan
kegiatan penanaman mangrove berasal dari luar wilayah Kelurahan Kapuk Muara.
Sikap masyarakat yang tidak merusak dan mempertahankan agar kawasan
ekowisata tersebut tetap ada sudah merupakan hal baik. Bentuk partisipasi
masyarakat sekitar biasanya disalurkan melalui instansi pendidikan dan swasta.
Kebiasaan kelompok masyarakat yang tergabung dalam Umat Budha Tzu Chi
melakukan ritual rutin dalam bentuk melepaskan binatang di kawasan mangrove
Muara Angke secara tidak langsung turut berkontribusi meningkatkan
keanekaragaman hayati di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Oleh karena itu,
skor untuk atribut ini adalah 0,667.
2. Dampak Sosial Keberadaan Mangrove terhadap Masyarakat
Adanya Kawasan Ekowisata Mangrove PIK yang setiap harinya menjadi
destinasi wisata bagi wisatawan dari berbagai daerah menjadikan kawasan tersebut
67

sebagai pusat interaksi antar masyarakat sekitar dan masyarakat dari berbagai
daerah, sehingga lingkungan di sekitar kawasan menjadi tidak bersifat eksklusif.
Selain itu, keberadaan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat sekitar mengenai pentingnya fungsi dan manfaat
ekosistem mangrove. Semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat akan fungsi
dan manfaat ekosistem mangrove, maka tindakan masyarakat yang bersifat
merusak ekosistem mangrove semakin berkurang. Skor atribut ini adalah 1,2.
3. Edukasi Mengenai Ekosistem Mangrove
Kegiatan edukasi mengenai ekosistem mangrove oleh pihak pengelola
kawasan ekowisata telah dilakukan dengan baik, meskipun saat ini kegiatan
tersebut dilakukan sesuai permintaan oleh wisatawan. Kegiatan edukasi dilakukan
dengan memasang informasi mengenai tanaman mangrove dan penyuluhan
langsung oleh petugas lapang pengelola kawasan. Pengelola kawasan ekowisata
telah berupaya maksimal untuk memberikan penyuluhan edukasi, meskipun jumlah
sumber daya manusia ahli dalam bidang tersebut dinilai masih terbatas jumlahnya.
Skor untuk atribut ini adalah 1,833.
4. Perhatian Peneliti Mangrove
Perhatian peneliti mangrove melalui kegiatan penelitian dan praktik
pengelolaan di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK masih rendah. Hal ini
dibuktikan bahwa hanya terdapat 5 kali kegiatan penelitian yang dilakukan di
kawasan hutan mangrove yang dikelola Dinas Kehutanan DKI Jakarta pada tahun
2017. Data jumlah penelitian di kawasan hutan tersebut dapat dilihat pada Lampiran
6. Sebagian besar peneliti melakukan penelitian di kawasan Hutan Lindung Angke
Kapuk dibandingkan di kawasan Hutan Produksi Angke Kapuk. Oleh karena itu,
skor untuk atribut ini adalah 0,5.
5. Tingkat Pendidikan Masyarakat
Tingkat pendidikan masyarakat Kapuk Muara beragam dari mulai SD hingga
perguruan tinggi. Sebagian besar masyarakat Kapuk Muara telah menempuh
tingkat pendidikan SMP dan SMA, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar
masyarakat menyadari arti penting pendidikan dan melaksanakan wajib belajar 9
tahun. Oleh karena itu, skor atribut ini adalah 1,083.
68

Penentuan skor yang akan dianalisis dengan alat analisis Rap_Mforest


berdasarkan rata-rata skor dari hasil wawancara terhadap stakeholder terkait. Skor
masing-masing atribut dari dimensi sosial dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23 Nilai skor dimensi keberlanjutan sosial dari ekosistem mangrove

No Atribut Skor Baik Buruk Keterangan


1 Partisipasi masyarakat dalam 0,667 2 0 Nilai rata-rata
kegiatan rehabilitasi mangrove
2 Dampak sosial keberadaan 1,200 2 0 Nilai rata-rata
mangrove terhadap masyarakat
3 Edukasi mengenai ekosistem 1,833 2 0 Nilai rata-rata
mangrove
4 Perhatian peneliti mangrove 0,500 2 0 Nilai rata-rata dan data
sekunder
5 Tingkat pendidikan masyarakat 1,083 2 0 Nilai rata-rata dan data
sekunder
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Atribut-atribut pada dimensi sosial yang terdapat pada Tabel 23 memiliki
nilai skor yang beragam. Skor 0,667 untuk atribut partisipasi masyarakat dalam
kegiatan rehabilitasi mangrove, skor 1,2 untuk atribut dampak sosial keberadaan
mangrove terhadap masyarakat, skor 1,833 untuk atribut edukasi mengenai
ekosistem mangrove, skor 0,5 untuk atribut perhatian peneliti mangrove, skor 1,083
untuk atribut tingkat pendidikan masyarakat. Hasil analisis terhadap skor yang telah
diperoleh pada Tabel 23 dengan menggunakan Rap_Mforest untuk menentukan
nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial dari ekosistem mangrove dapat dilihat
pada Gambar 15.

Rap_Mforest Ordination
60
Up
40
Other Distingishing

20
Features

Bad 53.75 Good


0
0 20 40 60 80 100 120
-20
-40
Down
-60
Mangrove Forest Status
Sumber: Data primer (diolah) 2018

Gambar 15 Indeks keberlanjutan dimensi sosial ekosistem mangrove


Hasil analisis Rap_Mforest pada Gambar 15 menunjukkan bahwa nilai indeks
keberlanjutan untuk dimensi sosial adalah 53,75. Artinya, dimensi sosial termasuk
69

dalam kategori cukup berkelanjutan. Untuk menentukan aspek anomali dari atribut
pada dimensi sosial, dilakukanlah analisis leverage. Nilai perubahan RMS hasil
analisis leverage pada dimensi sosial dapat dilihat pada Gambar 16.

Leverage of Attributes
Tingkat pendidikan masyarakat 1.18
Perhatian peneliti mangrove 4.33
Attribute

Edukasi mengenai ekosistem mangrove 6.65


Dampak sosial keberadaan mangrove… 0.27
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan… 0.04

0 2 4 6 8
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)
Sumber: Data primer (diolah) 2018

Gambar 16 Analisis leverage atribut pada dimensi sosial


Hasil analisis leverage atribut pada dimensi sosial dengan menggunakan alat
analisis Rap_Mforest (Gambar 16) menunjukkan bahwa atribut yang paling sensitif
mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi sosial adalah edukasi mengenai
ekosistem mangrove. Perubahan sedikit pada atribut ini akan mempengaruhi
keberlanjutan ekosistem mangrove secara sosial. Oleh karena itu, atribut ini perlu
mendapatkan perhatian dari Pemerintah DKI Jakarta agar pengelolaan ekosistem
mangrove pada kawasan ekowisata dapat berkelanjutan.
Suatu sistem dikatakan berkelanjutan secara sosial jika mampu menyediakan
layanan sosial, salah satu layanan tersebut adalah pendidikan. Kegiatan edukasi
yang dilakukan pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK mendukung keberlanjutan
ekosistem mangrove secara sosial. Kegiatan edukasi yang perlu ditingkatkan dari
apa yang telah dilakukan sebelumnya pada kawasan ekowisata tersebut, antara lain
dengan menambah media pembelajaran untuk wisatawan dan meningkatkan
wawasan para petugas lapang atau masyarakat sekitar sehingga dapat menjadi
interpreter bagi wisatawan.
Selain menghasilkan nilai indeks keberlanjutan, analisis keberlanjutan
menggunakan Rap_Mforest juga menghasilkan nilai statistik yaitu nilai stress dan
nilai koefisien determinasi (R2). Nilai statistik yang diperoleh dengan metode MDS
dapat dilihat pada Tabel 24.
70

Tabel 24 Nilai statistik hasil analisis Rap_Mforest

Nilai statistic Ekologi Ekonomi Kelembagaan Sosial


Stress 0,16 0,16 0,14 0,17
R2 0,94 0,92 0,94 0,94
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Berdasarkan data pada Tabel 24 menunjukkan bahwa nilai stress yang
diperoleh dari keempat dimensi kurang dari 25 %. Model yang baik ditunjukan
dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 (S < 0,25) (Fauzi dan Anna 2005).
Berbeda dengan nilai koefisien determinasi (R2), semakin besar nilai R2 atau
mendekati nilai 1, maka kualitas dari hasil analisis semakin baik. Keempat dimensi
memiliki nilai R2 > 90 % atau dapat dikatakan mendekati nilai 1.
Berdasarkan hasil analisis status keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK, diperoleh nilai indeks keberlanjutan yang berbeda untuk
setiap dimensi keberlanjutan. Berikut nilai indeks keberlanjutan dari setiap dimensi
keberlanjutan yang dianalisis menggunakan Rap_Mforest dapat dilihat pada Tabel
25.
Tabel 25 Perbandingan nilai indeks keberlanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi,
kelembagaan, dan sosial
No Dimensi Nilai indeks Status keberlanjutan
1 Ekologi 59,88 Cukup berkelanjutan
2 Ekonomi 49,05 Kurang berkelanjutan
3 Kelembagaan 92,12 Berkelanjutan
4 Sosial 53,75 Cukup berkelanjutan
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Tabel 25 menunjukkan bahwa status keberlanjutan dari dimensi ekologi dan
sosial adalah cukup berkelanjutan. Sedangkan status dimensi ekonomi adalah
kurang berkelanjutan dan status dimensi kelembagaan adalah berkelanjutan.
Berdasarkan nilai indeks keberlanjutan tersebut, keterkaitan antar dimensi
keberlanjutan dapat dilihat dengan menggunakan diagram layang-layang indeks
keberlanjutan. Diagram layang-layang indeks keberlanjutan menunjukkan bahwa
jika titik suatu dimensi semakin menjauhi titik pusat, maka dimensi tersebut
semakin ke arah berkelanjutan dan sebaliknya jika semakin mendekati titik pusat.
Gambar diagram layang-layang indeks keberlanjutan disajikan pada Gambar 17.
71

Diagram layang-layang indeks keberlanjutan


Ekologi
100
80
59.88
60
40
20
Sosial 53.75 0 49.05 Ekonomi

92.12

Kelembagaan

Sumber: Data primer (diolah) 2018

Gambar 17 Diagram layang-layang indeks keberlanjutan ekosistem mangrove


Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
Berdasarkan Gambar 17, dimensi kelembagaan merupakan dimensi dengan
status berkelanjutan. Kelembagaan yang berkelanjutan idealnya dapat mendukung
pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan (Pfahl 2005).
Kemampuan lembaga yang terlibat dalam mengoordinasikan interaksi manusia
untuk mencapai tujuan keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove turut
berperan terhadap status keberlanjutan ekosistem mangrove secara ekologi, sosial,
dan ekonomi. Berdasarkan hasil analisis multidimensi, nilai indeks keberlanjutan
pada dimensi ekonomi perlu ditingkatkan karena dimensi tersebut merupakan satu-
satunya dimensi dengan status kurang berkelanjutan.
Jika dilihat dari hasil analisis leverage terdapat atribut yang paling sensitif
mempengaruhi keberlanjutan masing-masing dimensi keberlanjutan. Atribut
rehabilitasi mangrove paling mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi, atribut
jumlah kunjungan wisatawan paling mempengaruhi keberlanjutan dimensi
ekonomi, atribut komitmen Pemerintah Daerah untuk konservasi paling
mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan, dan atribut edukasi mengenai
ekosistem mangrove paling mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial. Agar nilai
indeks keberlanjutan dapat terus dipertahankan dan ditingkatkan hingga masa yang
akan datang, maka perlu perhatian lebih dan perbaikan terhadap atribut-atribut yang
sensitif berpengaruh terhadap status keberlanjutan dari setiap dimensi.
VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka simpulan dalam penelitian ini


adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan estimasi nilai ekonomi total pada ekosistem mangrove Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK diperoleh nilai sebesar Rp 1 509 838 320,52 per
tahun. Nilai ekonomi total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK terdiri atas
Direct Use Value sebesar Rp 1 327 873 298, Indirect Use Value sebesar
Rp 2 698 809,58, Option Value sebesar Rp 45 504 704,69, dan Non-Use Value
sebesar Rp 133 761 507,89.
2. Berdasarkan analisis keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK dengan menggunakan Rap_Mforest diperoleh nilai indeks
keberlanjutan untuk setiap dimensi. Dimensi ekologi memiliki nilai indeks
59,88 dan dimensi sosial memiliki nilai indeks 53,75 yang artinya kedua
dimensi tersebut memiliki status cukup berkelanjutan. Berbeda dengan kedua
dimensi lainnya, dimensi ekonomi memiliki nilai indeks 49,05 yang artinya
status dari dimensi tersebut adalah kurang berkelanjutan. Dimensi
kelembagaan memiliki status berkelanjutan karena memiliki nilai indeks
sebesar 92,12. Atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan
ekosistem mangrove adalah rehabilitasi mangrove, jumlah kunjungan
wisatawan, komitmen Pemerintah Daerah untuk konservasi, dan edukasi
mengenai ekosistem mangrove.
7.2 Saran

1. Bagi para stakeholder terkait, perlu melakukan kegiatan pemberdayaan


masyarakat sekitar dalam pengolahan hasil hutan mangrove agar masyarakat
merasakan langsung manfaat ekonomi dari ekosistem mangrove dan
menyadari akan pentingnya melestarikan ekosistem mangrove.
2. Perlu ditingkatkannya koordinasi antara stakeholder terkait dalam perumusan,
perencanaan, dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK.
74

3. Dinas Kehutanan DKI Jakarta perlu meningkatkan kemampuan dan


pengetahuan sumber daya manusia di lapang mengenai pengelolaan ekosistem
mangrove yang berkelanjutan.
4. Untuk penelitian selanjutnya, dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
daya dukung lingkungan terkait kegiatan wisata pada Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK.
DAFTAR PUSTAKA

Alder J, Pitcher TJ, Preikshot D, Kaschner K, Ferriss B. 2000. How Good is Good?:
A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of The Sustainability Status
of Fisheries of The North Atlantic. Fisheries Center Research Reports. 8
(2).
[BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2017. Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017. Jakarta (ID): BPS DKI Jakarta.
[BI] Bank Indonesia. 2018a. Informasi Kurs [Internet]. [diunduh pada 2018
Agustus 1]. Tersedia pada: https://www.bi.go.id/en/moneter/informasi-
kurs/transaksi-bi/Default.aspx.
_________. 2018b. BI 7-day (Reverse) Repo Rate [Internet]. [diunduh pada 2018
Agustus 1]. Tersedia pada: https://www.bi.go.id/id/moneter/bi-7day-
RR/data/Contents/Default.aspx.
Baeta F, Pinheiro A, Corte-Real M, Costa JL, de Almeida PR, Cabral H, Costa MJ.
2005. Are the fisheries in the Tagus estuary sustainable?. Fisheries
Research. 76:243-251. doi: 10.1016/j.fishres.2005.06.012.
Carandang AP, Camacho LD, Gevaña DT, Dizon JT, Camacho SC, de Luna CC,
Pulhin FB, Combalicer EA, Paras FD, Peras RJJ et al. 2014. Economic
Valuation for Sustainable Mangrove Ecosystem Management in Bohol and
Palawan, Philippines. Forest and Science Teschnology. 1-8. doi:
10.1080/21580103.2013.801149.
Dinas Kehutanan DKI Jakarta. 2017. Penyelenggaraan Hutan Mangrove Angke
Kapuk Tahun 2016. Jakarta (ID): Dinas Kehutanan DKI Jakarta.
_________. 2018. Penyelenggaraan Hutan Mangrove Angke Kapuk Tahun 2017.
Jakarta (ID): Dinas Kehutanan DKI Jakarta.
[DKPKP] Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta. 2016.
Laporan 2016: Identifikasi dan Inventarisasi Kawasan Esensial. Jakarta
(ID): DKPKP DKI Jakarta.
[DLH] Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. 2017. Dokumen Informasi Kinerja
Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun
76

2016 [Internet]. [diunduh pada 2018 Maret 5]. Tersedia pada:


https://lingkunganhidup.jakarta.go.id.
Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk
Analisis Kebijakan. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Teori dan Aplikasi).
Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
_________. 2014. Valuasi Ekonomi dan Penilaian Kerusakan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan. Bogor (ID): IPB Press.
Firdaus M. 2011. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta (ID): Bumi
Aksara.
Fitriani Y. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengunjung
Agrowisata Taman Wisata Mekarsari dengan Menggunakan Metode
Kontingensi [skripsi]. Bogor (ID): IPB.
[FAO] Food and Agricultural Organization of The United Nation. 2017. The
Charcoal Transition: Greening The Charcoal Value Chain to Mitigate
Climate Change and Improve Local Livehoods. Rome (IT): Food and
Agricultural Organization of The United Nation.
Harahab N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove & Aplikasinya
dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
Harris JM. 2000. Basic Principles of Sustainable Development. Global
Development and Environmental Institute Working Paper 00-04. Tuty
University, Meford, MA, USA.
Hodgson GM. 2006. What Are Institutions?. Journal of Economic Issues. 40(1).
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. Statistik
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2016 [Internet]. [diunduh pada
2018 Maret 5]. Tersedia pada: https://www.menlhkgo.id.
_________. 2017. Miliki 23% Ekosistem Mangrove Dunia, Indonesia Tuan Ruman
Konferensi Internasional Mangrove 2017 [Internet]. [diunduh pada 2018
Maret 6]. Tersedia pada:
https://www.ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/561.
Keputusan Gubernur Papua Nomor 188.4/361/Tahun 2017 tentang Upah Minimum
dan Upah Minimum Sektoral Provinsi Papua Tahun 2018.
77

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria
Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.
Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Bogor (ID): IPB Press.
Lestaria M. 2015. Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kerinci [tesis].
Bogor (ID): IPB.
Lisbani SM dan Kamal E. 2009. Pola Penyebaran Pertumbuhan “Propagul”
Mangrove Rhizophoraceae di Kawasan Pesisir Sumatera Barat. Jurnal
Mangrove dan Pesisir. 10(1):33-38.
Matthew NK, Shuib A, Ramachandran S, Afandi SHM. 2015. Travel Cost
Adjustment of International Multiple Destination Visitors to Kilim Karst
Geoforest Park, Langkawi, Malaysia. American-Eurasian Journal of
Agricultural and Environmental Sciences. 15:24-31. doi:
10.5829/idosi.aejaes.2015.15.s.204.
Muljono P, Sujana J, Prabowo B. 2009. Metodologi Penelitian dan Laporan
Kearsipan. Jakarta (ID): Universitas Terbuka.
North DC. 1991. Institutions. Journal of Economic Perspectives. 5(1):97-112.
Noveliyana Y. 2016. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan di Pesisir
Kabupaten Tanggerang, Provinsi Banten [tesis]. Bogor (ID): IPB.
Nugroho I. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta (ID):
Pustaka Pelajar.
Nurazrian M. 2016. Estimasi Nilai dan Manfaat Ekonomi Agrowisata Gunung Mas
Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Nybakken J. 2004. Marine Biology: An Ecological Approach (6th Edition). San
Fransisco (US): Benjamin Cummings.
Osmaleli. 2014. Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Berkelanjutan di Desa Pabean Udik, Kabupaten Indramayu
[tesis]. Bogor (ID): IPB.
Ostrom E. 2011. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for
Collective Action. Newyork (US): Cambridge University Press.
Pagiola S, von Ritter K, Bishop J. 2004. Assessing the Economic Value of
Ecosystem Conservation. Environment Department Papers No. 101.
78

Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang RDTR dan
Daerah Zonasi pada Kecamatan Penjaringan.
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah.
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi
Daerah.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 182 Tahun 2017 tentang Upah Minimum
Provinsi Tahun 2018.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 225 Tahun 2016 tentang Penyesuaian Tarif
Retribusi Pelayanan Kelautan dan Pertanian.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.38/Menhut-II/2012
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-
II/2011.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.31/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pedoman Kegiatan Usaha
Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Produksi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antaar Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Pfahl S. 2005. Institutional Sustainability. International Journal of Sustainable
Development. 8(1/2):80-96. doi: 10.1504/IJSD.2005.007376.
Pitcher TJ, Preikshot D. 2001. RAPFISH: a rapid appraisal technique to evaluate
the sustainability status of fisheries. Fisheries Research. 49(3):255-270.
Plummer M. 2009. Assesing Benefit Transfer for The Valuation of Ecosystem
Services. Ecosystem Services. 7(1):38-45. doi: 10.1890/080091.
Ruitenbeek J. 1992. Mangrove Management: An Economic Analysis of
Management Options with a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. EMDU
Environment Reports, 8.
Santoso N. 2012. Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove
Berkelanjutan di Muara Angke Daerah Khusus Ibukota Jakarta [tesis].
Bogor (ID): IPB.
79

Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 220/Kpts-II/2000


tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata Guna Hutan
Kesepakatan di wilayah Provinsi DKI Jakarta seluas 108 475,45 ha
(kawasan hutan dan perairan).
Susilo SB. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus di
Kelurahan Pulau Panggung dan Kelurahan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,
DKI Jakarta [disertasi]. Bogor (ID): IPB.
Theresia. 2016. Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang
Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan [tesis]. Bogor (ID): IPB.
Tuan Vo Q, Kuenzer C, Minh Vo Q, Moder F, Oppelt N. 2012. Review of Valuation
Methods for Mangrove Ecosystem Service. Ecological Indicators. 23:431-
446. doi: 10.1016/j.ecolind.2012.04.022.
Tuwo A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut: Pendekatan Ekologi,
Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. Surabaya (ID):
Brilian Internasional.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Usman H, Akbar PS. 2011. Metode Penelitian Sosial. Jakarta (ID): PT Bumi
Aksara.
Zandi S, Limaei S, Amiri N. 2018. An economic evaluation of a forest park using
the individual travel cost method (a case study of Ghaleh Rudkhan forest
park in northern Iran). Environmental & Socio-economic Studies. 2:48-55.
doi: 10.2478/environ-2018-0014.
LAMPIRAN
LAMPIRAN
82

Lampiran 1 Kuesioner penelitian


No. responden: Tanggal
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN
LINGKUNGAN
Jl. Agatis Kampus IPB Dramaga Bogor 16880 Telp. (0251)8621834
KUESIONER NILAI EKONOMI WISATA
Kuisioner ini digunakan sebagai bahan skripsi mengenai “Estimasi Nilai Ekonomi
dan Analisis Keberlanjutan Kawasan Ekowisata Mangrove Pantai Indah
Kapuk (PIK)” oleh Novia Rahmawati, mahasiswa Departemen Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor. Kami mohon partisipasi Saudara/i untuk mengisi kuisioner ini
dengan lengkap dan teliti sehingga dapat menjadi data yang objektif. Semua data
yang dicantumkan dalam kuesioner ini akan dijaga kerahasiaannya dan digunakan
hanya untuk kepentingan akademik. Atas bantuan dan partisipasi Saudara/i, saya
ucapkan terima kasih.
A. Karakteristik Responden
1. Nama :
2. Alamat :
3. No. Telp/HP :
4. Jenis Kelamin : [ ] Laki-laki [ ] Perempuan
5. Usia : _____ tahun
6. Status : [ ] Menikah [ ] Belum Menikah
7. Jumlah tanggungan keluarga :_______orang
8. Pendidikan terakhir :
a. Tidak lulus SD c. SMP e. PT (D1/D2/D3/S1/S2/S3)
b. SD d.SMA
9. Pekerjaan :
a. Pelajar/mahasiswa c. Karyawan Swasta e. Buruh
b. PNS d. Wiraswasta f. Lainnya
10. Rata-rata pendapatan per bulan:
a. < Rp 500 000 = Rp __________
b. Rp 500 00  Rp 2 000 000 = Rp __________
83

c. Rp 2 000 001  Rp 3 500 000 = Rp __________


d. Rp 3 500 001  Rp 5 000 000 = Rp __________
e. > Rp 5 000 000 = Rp __________
11. Adakah pendapatan selain pekerjaan Anda yag telah disebutkan di atas?
a. Ya, bekerja sebagai ____________, besar pendapatan Rp __________
b. Tidak
12. Asal tempat tinggal: ______
B. Karakteristik Pengunjung
1. Jarak lokasi asal Anda dengan lokasi wisata? _____km
2. Lama perjalanan Anda ke lokasi ini?_____ jam
3. Apakah lokasi mudah di akses dengan transportasi?
a. Mudah b. Sulit
4. Bagaimanakah prasarana/sarana pengelolaan kawasan ini ?
a. Baik atau memadai b. Belum memadai c. Sangat kurang memadai
5. Anda datang ke tempat ini:
a. Sendiri b. Kelompok c. Rombongan/keluarga/instansi ( _____orang)
6. Apakah sebelumnya Anda sudah pernah datang ke tempat ini? Ya/Tidak
Jika ya, berapa kali?_____kali

7. Dari mana Anda mengetahui tentang objek wisata ini?


a. Teman b. Keluarga c. Internet d. Media cetak e.Lainnya___

8. Berapa kali dalam satu tahun terakhir Anda berkunjung ke Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK?______kunjungan
9. Sudah berapa lama Anda mengetahui lokasi wisata ini?_____tahun
10. Berapa lama biasanya Anda menghabiskan waktu di kawasan ini?_____ jam
11. Motivasi Anda berkunjung ke Kawasan Ekowisata Mangrove PIK?
a. Pendidikan dan penelitian c. Piknik
b. Memancing d. Refreshing
1. Jika memancing, berapa hasil tangkapan Anda? _____
2. Jenis ikan tangkapan_____
3. Ikan hasil tangkapan dikonsumsi atau di jual kembali?_____
Jika di jual kembali dengan harga Rp__________/kg dan dijual di_____
4. Biaya selama satu kali memancing:
84

 Biaya umpan pancing = Rp_______________/memancing


 Harga alat tagkap pancing baru =Rp_______________/memancing
 Batas usia pakai alat pancing _____tahun
C. Biaya Rekreasi
1. Biaya kendaraan
a. Kendaraan umum (ongkos) : Rp_______________
b. Kendaraan pribadi/sewa
 Biaya bahan bakar : Rp_______________
 Tol : Rp_______________
 Pakir : Rp_______________
 Sopir : Rp_______________
 Perawatan selama perjalanan : Rp_______________
2. Tiket masuk: Rp_______________
3. Konsumsi
a. Konsumsi (dari rumah) tepatnya: Rp_______________
 Makanan pokok : Rp_____________  Buah-buahan : Rp_________
 Makanan ringan : Rp_____________  Rokok : Rp_________
 Minuman : Rp_____________  Obat-obatan : Rp_________
b. Konsumsi (di lokasi) tepatnya: Rp_______________
 Makanan pokok : Rp_____________  Buah-buahan : Rp_________
 Makanan ringan : Rp_____________  Rokok : Rp_________
 Minuman : Rp_____________  Obat-obatan : Rp_________
4. Pembelian cinderamata (jika ada): Rp_______________
5. Biaya dokumentasi: Rp_______________
6. Biaya lainnya: Rp_______________
D. SARAN DAN HARAPAN
Saran dan harapan Anda untuk pengembangan Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK.

Terima kasih atas partisipasi Saudara/i


85

No. responden: Tanggal


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN
LINGKUNGAN
Jl. Agatis Kampus IPB Dramaga Bogor 16880 Telp. (0251)8621834
KUESIONER KEBERLANJUTAN
Kuisioner ini digunakan sebagai bahan skripsi mengenai “Estimasi Nilai Ekonomi
dan Analisis Keberlanjutan Kawasan Ekowisata Mangrove Pantai Indah
Kapuk (PIK)” oleh Novia Rahmawati, mahasiswa Departemen Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor. Kami mohon partisipasi Saudara/i untuk mengisi kuisioner ini
dengan lengkap dan teliti sehingga dapat menjadi data yang objektif. Semua data
yang dicantumkan dalam kuesioner ini akan dijaga kerahasiaannya dan digunakan
hanya untuk kepentingan akademik. Atas bantuan dan partisipasi Saudara/i, saya
ucapkan terima kasih.
A. Karakteristik Responden
1. Nama :
2. Alamat :
3. No. Telp/HP :
4. Jenis Kelamin : [ ] Laki-laki [ ] Perempuan
5. Usia : _____ tahun
6. Pekerjaan :
7. Paraf :
B. Analisis Multidimensi Ekosistem Mangrove Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK
Pilihan
No Dimensi dan atribut Baik Buruk Kriteria nilai
skor
1 Dimensi ekologi
1.1 Tekanan lahan 0; 1; 2 0 2 Santoso (2012) dan Noveliyana (2016):
mangrove (0) tidak terjadi perubahan luas lahan
mangrove
(1) perubahan luas lahan mangrove secara
alami
(2) terjadi alih fungsi lahan mangrove
tanpa memperhatikan fungsi
lingkungan
86

Tabel Lanjutan
1.2 Kerapatan 0; 1; 2 2 0 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
mangrove 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan
Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove:
(0) jarang (< 1 000 pohon/ha)
(1) sedang (1 000 – 1 500 pohon/ha)
(2) padat (> 1 500 pohon/ha)
1.3 Rehabilitasi 0; 1; 2 2 0 Noveliyana (2016):
mangrove (0) tidak ada
(1) ada, namun tidak dikelola dengan baik
(2) ada dan dikelola dengan baik
1.4 Tingkat keragaman 0; 1; 2 2 0 Osmaleli (2014) dan Theresia (2016):
hutan mangrove (0) tidak beragam (< 2 jenis mangrove)
(1) cukup beragam (2 – 10 jenis mangrove)
(2) sangat beragam (>10 jenis mangrove)
1.5 Pengaruh pasang 0; 1 1 0 (0) rendah
surut air laut (1) tinggi
terhadap ekosistem
mangrove
2 Dimensi ekonomi
2.1 Nilai ekonomi total 0; 1; 2 2 0 Theresia (2016) dan Santoso (2012)
modifikasi:
(0) < Rp 1 milyar/tahun
(1) Rp 1 – 2 milyar/tahun
(2) > Rp 2 milyar/tahun
2.2 Manfaat tak 0; 1; 2 2 0 Theresia (2016):
langsung
(0) Persentase nilai manfaat tak langsung <
nilai manfaat langsung
(1) Pesentase nilai manfaat tak langsung =
nilai manfaat langsung
(2) Persentase nilai manfaat tak langsung >
nilai manfaat langsung
2.3 Jumlah kunjungan 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012):
wisatawan (0) rendah (jumlah wisatawan < 10 000
orang/tahun)
(1) sedang (jumlah wisatawan 10 000 –
20 000 orang/tahun)
(2) tinggi (jumlah wisatawan > 20 000
orang/tahun)
2.4 Aksesibilitas 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012) modifikasi:
kawasan mangrove (0) rendah, lokasi sulit diakses dengan sarana
transportasi yang ada
(1) sedang, lokasi dapat diakses dengan
sarana transportasi yang ada
(2) tinggi, lokasi sangat mudah diakses
3 Dimensi
kelembagaan
3.1 Ketersediaan 0; 1 0 1 Susilo (2003) dan Trimulyani (2013) dalam
peraturan formal Osmaleli (2014):
dan informal (0) ada
pengelolaan (1) tidak ada
ekosistem mangrove
87

Tabel Lanjutan
3.2 Ketersediaan 0; 1; 2 2 0 Susilo (2003) dalam Osmaleli (2014):
personel penegak (0) tidak ada
hukum di lokasi (1) ada, tidak ada di lokasi
(2) ada, selalu berada di lokasi
3.3 Peranan 0; 1; 2 2 0 Osmaleli (2014):
kelembagaan formal (0) tidak ada
yang mendukung (1) ada, tidak berperan
pengelolaan (2) ada, berperan
ekosistem mangrove
3.4 Peranan 0; 1; 2 2 0 Osmaleli (2014):
kelembagaan lokal (0) tidak ada
(informal) yang (1) ada, tidak berperan
mendukung (2) ada, berperan
pengelolaan
ekosistem mangrove
3.5 Komitmen 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012) dan Noveliyana (2016):
Pemerintah Daerah (0) rendah (Pemda tidak melakukan ketiga
(Pemda) untuk hal tersebut)
konservasi (1) sedang (Pemda hanya melakukan 1 atau 2
hal)
(2) tinggi (Pemda sudah melakukan 3 hal)
Hal yang dilakukan oleh Pemda:
a. Konsistensi rencana tata ruang, kebijakan
konservasi dengan kebijakan pemanfaatan
ruang kawasan
b. Bantuan dan fasilitasi pelestarian kawasan
konservasi
c. Penegakan hukum pelestarian kawasan
konservasi
4 Dimensi Sosial
4.1 Partisipasi 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012):
masyarakat dalam (0) rendah
kegiatan rehabilitasi (1) sedang
mangrove Kawasan (2) tinggi
Ekowisata PIK
4.2 Dampak sosial 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012) dan Noveliyana (2016):
keberadaan (0) rendah (masyarakat tidak merasakan
mangrove terhadap fungsi dan manfaat keberadaan mangrove
masyarakat dan tidak menyadari)
(1) sedang (masyarakat merasakan fungsi dan
manfaat mangrove, namun masih rendah)
(2) tinggi (masyarakat merasakan fungsi dan
manfaat mangrove, dan menyadari
sepenuhnya)
4.3 Edukasi mengenai 0;1;2 2 0 (0) tidak pernah
ekosistem mangrove (1) ada, namun tidak dilakukan dengan baik
oleh pihak (2) ada, dan dilakukan dengan baik
pengelola Kawasan
Ekowisata
Mangrove PIK
4.4 Perhatian peneliti 0;1;2 2 0 Santoso (2012):
mangrove (0) rendah (jumlah penelitian < 20 kali/tahun)
(kunjungan peneliti, (1) sedang (jumlah penelitian 20 – 40
praktik pengelolaan,
88

Tabel Lanjutan
dan kegiatan kali/tahun)
penelitian di (2) tinggi (jumlah penelitian > 40 kali/tahun)
kawasan ekowisata)
4.5 Tingkat pendidikan 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012):
masyarakat (0) SD
Kelurahan Kapuk (1) SMP - SMA
Muara (2) PT
Sumber: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004, Noveliyana (2016),
Osmaleli (2014), Santoso (2012), dan Theresia (2016)
89

Lampiran 2 Daftar responden stakeholder terkait pengelolaan Kawasan Ekowisata


Mangrove PIK
No Jabatan Institusi
1 Kepala Bidang Kehutanan Dinas Kehutanan DKI Jakarta
2 Staf Bidang Kehutanan
3 Staf Bidang Kehutanan
4 Kepala Seksi Penegakan Hukum
5 Staf Bidang Penegakan Hukum
6 Staf Bidang Penegakan Hukum
7 Pengawas Teknis dan Administrasi
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
8 Kepala Sub Bidang Tata Ruang Cipta Bappeda DKI Jakarta
Karya dan Kehutanan
9 Staf Sub Bidang Tata Ruang Cipta Karya
dan Kehutanan
10 Kepala Seksi Reboisasi Hutan Mangrove Kementerian Lingkungan Hidup dan
dan Pantai, Sub Direktorat Reboisasi, Kehutanan
Direktorat Konservasi Tanah dan Air
11 Analis Data pada Lahan Basah dan
Mangrove, Direktorat Bina Pengelolaan
Ekosistem Esensial
12 Ketua KeMangteer Jakarta KeMangteer Jakarta
90

Lampiran 3 Kerapatan mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK


91

Lampiran 4 Hasil analisis regresi linear berganda


Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
1 .547a .300 .235 1.52972 1.772
Keterangan: Nilai DW sebesar 1,772 menunjukkan tidak adanya autokorelasi

ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 54.037 5 10.807 4.618 .001a
Residual 126.363 54 2.340
Total 180.400 59

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) 2.371 .881 2.692 .009
Biaya
-2.859E-5 .000 -.410 -3.405 .001 .893 1.120
perjalanan
Pendidikan .118 .070 .203 1.679 .099 .884 1.131
Jarak ke lokasi -.005 .016 -.039 -.300 .766 .751 1.331
Lama
mengetahui .096 .049 .234 1.955 .056 .904 1.107
lokasi
Lama
-.020 .106 -.023 -.188 .852 .904 1.106
berkunjung
Keterangan: Nilai VIF dari masing-masing variabel bebas lebih kecil dari 10 menunjukkan tidak
terjadinya multikolinearitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardized
Residual
N 60
Normal Parametersa Mean .0000000
Std. Deviation 1.46347079
Most Extreme Differences Absolute .117
Positive .117
Negative -.067
Kolmogorov-Smirnov Z .903
Asymp. Sig. (2-tailed) .389
Keterangan: Nilai Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,389 yang lebih besar dibandingkan taraf nyata
sebesar 5 %, menunjukkan bahwa data terdistribusi normal atau memenuhi asumsi
normalitas
92

Coefficientsa
Unstandardized Standardized Sig. Collinearity
Coefficients Coefficients Statistics
Model B Std. Error Beta t Tolerance VIF
1 (Constant) .561 .517 1.084 .283
Biaya perjalanan -3.770E-6 .000 -.105 -.765 .448 .893 1.120
Pendidikan .070 .041 .235 1.704 .094 .884 1.131
Jarak ke lokasi -.011 .009 -.171 -1.143 .258 .751 1.331
Lama mengetahui
.013 .029 .061 .446 .657 .904 1.107
lokasi
Lama berkunjung .029 .062 .063 .465 .644 .904 1.106
Keterangan: Nilai Sig. dari masing-masing variabel bebas yang lebih besar dari taraf nyata sebesar
5 %, menunjukkan bahwa tidak terjadinya heteroskedastisitas atau memenuhi asumsi
homoskedastisitas
93

Lampiran 5 Penanaman mangrove di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK


No Tanggal Jumlah bibit Penanam
1 22/02/2017 400 SUDIN LH Jakpus, SUDIN Kehutanan Jakpus, Tarakanita
5, SD Tarakanita 2, Paroki Rawamangun, JAKARTA
OSOJI CLUB, BANK DKI, UNAS, dan UPK Badan Air
2 01/03/2017 10 SMP Yadika 12
3 11/03/2017 90 Universitas Pelita Harapan Tanggerang
4 08/04/2017 50 SMA Galatia 3 Cengkareng
5 15/04/2017 20 Universitas Bina Nusantara
6 19/05/2017 15 Putri Indonesia Lingkungan
7 22/07/2017 500 Yayasan Cipta Asa Nusantara
8 15/08/2017 200 Yeungnam University Korea dan BAPEDASHL Citarum
Ciliwung
9 20/09/2017 200 Embassy of The Republic of Korea dan BAPEDASHL
Citarum Ciliwung
10 07/10/2017 50 Universitas Bina Nusantara
11 13/10/2017 30 KeMANGTEER
12 13/10/2017 50 Universitas Bina Nusantara
13 20/10/2017 75 Universitas Bina Nusantara
14 11/11/2017 18 SMAN 96 Cengkareng
15 18/11/2017 100 Kemenkes Jakarta II Jurusan Farmasi
16 25/11/2017 200 Deseminasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi LIPI
17 13/12/2017 20 KeMANGTEER
18 28/12/2017 100 KeMANGTEER
Total 2 128
Sumber: Dinas Kehutanan DKI Jakarta (2018)
94

Lampiran 6 Jumlah kegiatan penelitian di kawasan hutan mangrove Angke Kapuk


yang dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Novia Rahmawati lahir pada tanggal 9 November


1996 sebagai anak pertama dari 3 bersaudara dari pasangan Abdul Farid dan
Suartini. Penulis mengawali pendidikan di TK Hidayatullah Jakarta pada tahun
2001 – 2002 dan melanjutkan tingkat pendidikan dasar di SD Negeri Cipulir 03
Pagi Jakarta padas tahun 2002 – 2008. Kemudian menempuh pendidikan menengah
pertama di SMP Negeri 161 Jakarta pada tahun 2008 – 2011 dan pendidikan
menengah atas di SMA Negeri 29 Jakarta pada tahun 2011 – 2014. Penulis
melanjutkan pendidikan tingkat perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur SNMPTN pada tahun 2014 dan diterima sebagai mahasiswi di
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Penulis pernah aktif mengikuti kegiatan organisasi sebagai staf dan
juga kepala divisi Study and Research Development (SRD) Himpro REESA FEM
IPB (2016 – 2017). Penulis juga menerima beasiswa, yaitu beasiswa Peningkatan
Prestasi Akademik (PPA) selama 5 semester tahun 2015 – 2017.

Anda mungkin juga menyukai