H18nra PDF
H18nra PDF
NOVIA RAHMAWATI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Estimasi Nilai Ekonomi
dan Analisis Keberlanjutan Kawasan Ekowisata Mangrove Pantai Indah Kapuk
(PIK)” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Novia Rahmawati
H44140009
ABSTRAK
NOVIA RAHMAWATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Novia Rahmawati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Ruang Lingkup Penelitian 5
1.5 Manfaat Penelitian 5
II TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Ekosistem Hutan Mangrove 7
2.2 Definisi Kelembagaan 8
2.3 Valuasi Ekonomi 8
2.4 Benefit Transfer 10
2.5 Travel Cost Method 11
2.6 Analisis Keberlanjutan 12
2.7 Penelitian Terdahulu 14
III KERANGKA PEMIKIRAN 19
IV METODE PENELITIAN 21
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 21
4.2 Jenis dan Sumber Data 21
4.3 Metode Pengambilan Contoh 22
4.4 Metode Analisis Data 23
4.4.1 Estimasi Nilai Ekonomi Total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 23
4.4.2 Analisis Status Keberlanjutan Ekosistem Mangrove Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK 29
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 35
5.1 Sejarah Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 35
5.2 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 37
5.3 Kondisi Ekositem Mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 38
5.4 Kependudukan dan Sosial Ekonomi 40
5.5 Karakteristik Responden 41
VI HASIL DAN PEMBAHASAN 45
6.1 Nilai Ekonomi Total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 45
6.1.1 Nilai Guna Langsung (Direct Use Value) 45
6.1.2 Nilai Guna Tak Langsung (Indirect Use Value) 50
6.1.3 Nilai Pilihan (Option Value) 51
6.1.4 Nilai Non-Guna (Non-Use Value) 51
6.1.5 Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) 52
6.2 Status Keberlanjutan Ekosistem Mangrove Kawasan Ekoswisata Mangrove
PIK 53
6.2.1 Dimensi Ekologi 54
6.2.2 Dimensi Ekonomi 58
6.2.3 Dimensi Kelembagaan 61
6.2.4 Dimensi Sosial 66
VII SIMPULAN DAN SARAN 73
7.1 Simpulan 73
7.2 Saran 73
DAFTAR PUSTAKA 75
LAMPIRAN 81
RIWAYAT HIDUP 95
DAFTAR TABEL
1 Kuesioner penelitian 82
2 Daftar responden stakeholder terkait pengelolaan Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK 89
3 Kerapatan mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 90
4 Hasil analisis regresi linear berganda 91
5 Penanaman mangrove di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK 93
6 Jumlah kegiatan penelitian di kawasan hutan mangrove Angke Kapuk yang
dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta 94
I PENDAHULUAN
10.08
Jumlah
10.00
9.50
2014 2015 2016 2017
Sumber: BPS DKI Jakarta 2017
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Pada awalnya, lahan hutan mangrove pada kawasan
tersebut dialihfungsikan menjadi tambak dan tempat pemancingan masyarakat.
Hadirnya tambak dan tempat pemancingan yang dibangun oleh masyarakat
membuat keberadaan hutan mangrove tersebut semakin terancam. Melihat
kerusakan yang ditimbulkan akibat alih fungsi lahan hutan mangrove tersebut,
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kehutanan DKI Jakarta
dengan tegas mengusir para perusak hutan mangrove untuk keluar dari kawasan
dan melakukan upaya rehabilitasi mangrove.
Upaya mengendalikan kerusakan ekosistem mangrove pada Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK dilakukan dengan cara mengembangkan kawasan
tersebut sebagai kawasan ekowisata. Hal tersebut dilakukan sebab dalam konsep
ekowisata mengandung unsur pendidikan dan konservasi sumber daya alam dan
lingkungan. Menurut Nugroho (2011), ekowisata adalah kegiatan wisata yang
dikemas secara profesional, terlatih, dan mengandung unsur pendidikan, dan
sebagai suatu sektor atau usaha ekonomi yang mempertimbangkan konservasi
sumber daya alam dan lingkungan. Melihat kembalinya hutan mangrove pada
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dari tambak dan tempat pemancingan menjadi
hutan mangrove, maka dari itu penting untuk mengestimasi nilai ekonomi dan
menganalisis status keberlanjutan ekosistem mangrove pada Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Berapa besar nilai ekonomi total dari Kawasan Ekowisata Mangrove PIK?
2. Bagaimana status keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan Ekoswisata
Mangrove PIK?
1.3 Tujuan Penelitian
2. Fungsi fisik
Hutan mangrove berperan dalam melindungi pantai dari gelombang besar dan
angin kencang, melindungi pantai dari abrasi, menahan lumpur, mengendalikan
intrusi air laut, memerangkap sedimen, dan juga sebagai lahan untuk mengolah
limbah-limbah organik dengan menetralisir zat-zat beracun yang dihasilkan limbah
tersebut.
3. Fungsi sosial dan ekonomi
Hasil hutan kayu dan non-kayu hutan mangrove memberikan manfaat
ekonomi kepada masyarakat. Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hasil hutan
dan jasa mangrove berkontribusi dalam upaya peningkatan kondisi ekonomi dan
sosial masyarakat sekitar. Pembangunan kawasan ekowisata mangrove dan hutan
pendidikan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar.
2.2 Definisi Kelembagaan
Valuasi ekonomi sumber daya alam, yaitu pemberian harga pada barang dan
jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan (Harahab 2010). Valuasi
ekonomi sumber daya alam dan lingkungan berperan dalam menyediakan informasi
9
dan lingkungan sulit diukur, nilai “total” yang dimaksud dalam TEV lebih
menunjukkan penjumlahan dari nilai guna dan nilai non-guna (Fauzi 2014).
Klasifikasi nilai ekonomi total sumber daya alam dan lingkungan dapat dilihat pada
Gambar 3.
TEV
semua lokasi yang memiliki tutupan lahan dan jenis habitat yang sama (Plummer
2009). Pada pendekatan fungsi, nilai yang didapatkan melalui benefit transfer
merupakan nilai yang diolah melalui pendekatan ekonometrik, sehingga kemudian
baru dapat digunakan (Fauzi 2014). Oleh karena benefit transfer pada umumnya
digunakan dalam perhitungan nilai non-guna, maka sumber nilai ini pun diperoleh
dari 3 sumber yakni opini pakar, dan nilai dari Stated Preference Method dan
Revealed Preference Method (Brookshire dan Neill 1992 dalam Fauzi 2014).
2.5 Travel Cost Method
Travel Cost Method (TCM) merupakan salah satu metode penilaian ekonomi
jasa lingkungan yang termasuk dalam kelompok Revealed Preference Method
(preferensi yang terungkap). Secara prinsip, TCM merupakan teori permintaan
konsumen di mana nilai yang diberikan seseorang pada lingkungan dapat
disimpulkan dari biaya yang dikeluarkan ke lokasi yang dikunjungi (Fauzi 2014).
Oleh karenanya, surplus konsumen merupakan isu pokok dalam TCM.
Pada TCM terdapat 3 pendekatan dalam analisis valuasi ekonomi, yaitu
Individual Travel Cost Method (ITCM), Zonal Travel Cost Method (ZTCM) dan
Random Utility Model (RUM). ITCM dan ZTCM merupakan pendekatan yang
paling banyak digunakan karena realif mudah digunakan dibandingkan dengan
RUM. Pendekatan ITCM didasarkan pada survei atas wisatawan ke tempat tujuan
rekreasi, sedangkan ZTCM merupakan pendekatan klasik yang didasarkan pada
data sekunder di mana jumlah kunjungan diduga merupakan fungsi dari biaya
perjalanan yang didasarkan pada zona wilayah relatif terhadap tempat wisata (Fauzi
2014). Prinsipnya pendekatan ITCM serupa dengan ZTCM, namun ITCM
menggunakan data survei dari individu pengunjung dan teknik statistika yang relatif
kompleks (Fauzi 2006). Hasil yang diperoleh menggunakan pendekatan ITCM
dinilai lebih akurat dibandingkan dengan ZTCM.
Pendekatan TCM yang digunakan dalam penelitian ini adalah ITCM. ITCM
menggunakan teknik ekonometrik seperti regresi sederhana (Ordinary Least
Square) dalam menentukan fungsi permintaan wisata. Adapun fungsi permintaan
wisata pada pendekatan ITCM dapat dirumuskan sebagai berikut (Zandi 2018):
Vi = f ((TCi + P), X1i, …, Xni)
Keterangan:
12
Start
Skoring perikanan
(mengkonstruksi reference point untuk good dan bad serta anchor)
Analisis Keberlanjutan
(assess sustainability)
kemudian menentukan skor yang didasarkan pada ketentuan yang telah ditetapkan
Rapfish. Setelah itu, dilakukanlah MDS untuk menentukan posisi relatif dari sektor
yang dianalisis terhadap ordinasi good (baik) atau bad (buruk). Kemudian, analisis
Monte Carlo dan Leverage dilakukan untuk menentukan aspek ketidakpastian dan
anomali dari atribut yang dianalisis. Analisis leverage bertujuan untuk melihat
atribut yang sensitif berkontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan setiap
dimensi yang dianalisis (Baeta et al. 2005). Atribut yang paling sensitif akan
memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan dalam bentuk perubahan Root Mean
Square (RMS). Semakin besar peranan suatu atribut dalam status keberlanjutan
sektor yang dianalisis ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai perubahan RMS
akibat hilangnya suatu atribut. Pembagian kategori keberlanjutan berdasarkan nilai
indeks keberlanjutan menurut Susilo (2003) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Selang indeks keberlanjutan
hayati dan metode biaya perjalanan (TCM) untuk menilai jasa wisata dari ekosistem
mangrove di kedua wilayah tersebut. Metode CVM pada penelitian ini digunakan
untuk menentukan besarnya kesediaan membayar masyarakat terhadap pelestarian
keanekaragaman hayati yang dilihat melalui kesediaan mendonasikan uang untuk
kegiatan konservasi, kesediaan untuk menanam bibit, dan kesediaan untuk
menyediakan tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi total
ekosistem mangrove Bohol sebesar US$ 488 196,9 dan Palawan sebesar
US$ 573 305,8.
Vo et al. (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Review of Valuation
Methods for Mangrove Ecosystem Services meneliti tentang metode penilaian jasa
ekosistem mangrove pada wilayah yang berbeda dan metode yang berbeda. Pada
penelitian ini, total nilai ekonomi dari ekosistem mangrove dibagi menjadi dua
komponen utama yang terdiri atas nilai guna dan nilai non-guna. Beberapa metode
penilaian yang dapat digunakan untuk mengestimasi nilai ekosistem mangrove
antara lain metode harga pasar untuk menilai penggunaan ekstraktif ekosistem
mangrove, metode TCM untuk menilai jasa wisata, dan metode CVM untuk
memperkirakan nilai guna dan non-guna. Setiap metode memiliki kelebihan dan
kekurangan, sehingga peneliti harus memilih metode secara hati-hati berdasarkan
tujuan dan permasalahan dalam penelitian.
Persamaan dan perbedaan penelitian penulis dengan penelitian terdahulu
tersedia Tabel 2.
Tabel 2 Persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu
Tabel 2 Lanjutan
Kerinci, dan kesiapan daerah dalam
pembangunan KPHP Model
Kerinci
Santoso (2012): Arahan Menggunakan metode Kawasan mangrove yang diteliti
Kebijakan dan Strategi valuasi ekonomi (market oleh penulis terbatas pada blok
Pengelolaan Kawasan price, benefit transfer, Kawasan Ekowisata Mangrove
Mangrove Berkelanjutan dan TCM) untuk PIK, sedangkan Santoso meneliti
di Muara Angke DKI menganalisis nilai kawasan hutan mangrove
Jakarta ekonomi total kawasan Mangrove Angke
mangrove dan Santoso (2012) juga menganalisis
menggunakan alat kondisi biofisik dan sosial ekonomi
analisis Rapfish dalam masyarakat dan menganalisis
menganalisis status strategi pengelolaan kawasan
keberlanjutan mangrove berkelanjutan
Osmaleli (2014): Analisis Mengestimasi nilai Kawasan mangrove yang dianalisis
Ekonomi dan Kebijakan ekonomi total ekosistem Osmaleli (2014) juga melakukan
Pengelolaan Ekosistem mangrove menggunakan optimasi dinamik pengelolaan
Mangrove Berkelanjutan metode valuasi ekonomi ekosistem mangrove dan
di Desa Pabean Udik (market price dan benefit merumuskan alternatif kebijakan
Kabupaten Indramayu transfer) dan pengelolaan ekosistem mangrove
menganalisis status yang berkelanjutan
keberlanjutan ekosistem
mangrove menggunakan
teknik Rap_Mforest
modifikasi dari Rapfish
Carandang et al. (2014): Mengestimasi nilai Kawasan mangrove yang diteliti
Economic Valuation for ekonomi total dari Pada penelitian ini penulis
Sustainable Mangrove ekosistem mangrove menggunakan pendekatan market
Ecosystems Management menggunakan metode price untuk mengestimasi nilai
in Bohol and Palawan, valuasi ekonomi (market pembibitan mangrove
Philippines price, dan TCM) Carandang et al. (2014)
menggunakan pendekatan market
price untuk menghitung nilai
manfaat langsung ekosistem
mangrove sebagai penghasil kayu
bakar, arang, ikan, kepiting, cumi-
cumi, dan moluska
Pendekatan benefit transfer
digunakan penulis untuk
mengestimasi nilai
keanekaragaman hayati, sedangkan
pada penelitian Carandang et al.
(2014) menggunakan pendekatan
CVM
Vo et al. (2012): Membahas metode Penelitian ini membahas berbagai
Review of Valuation valuasi ekonomi (market metode valuasi yang dapat
Methods for Mangrove price dan TCM) yang digunakan untuk jasa ekosistem
Ecosystem Services digunakan dalam mangrove
mengestimasi nilai
ekonomi dari ekosistem
mangrove
III KERANGKA PEMIKIRAN
berdasarkan nilai guna dan nilai non-guna dari ekosistem mangrove di kawasan
ekowisata tersebut dengan menggunakan metode valuasi ekonomi. Tahap
selanjutnya adalah menganalisis status keberlanjutan dari ekosistem mangrove
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dengan menggunakan alat analisis Rapid
Appraisal for Status of Mangrove Forest (Rap_Mforest) yang merupakan
modifikasi dari Rapfish (Osmaleli 2014). Skema alur kerangka pemikiran dapat
dilihat pada Gambar 5.
Peningkatan alih fungsi lahan hutan mangrove menjadi peruntukan lain seperti
tambak, tempat pemancingan, pemukiman, dan pembangunan infrastuktur publik
Status keberlanjutan
Rekomendasi kebijakan
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data
primer, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer dikumpulkan
dengan melakukan observasi langsung dan wawancara menggunakan kuesioner
kepada responden yang merupakan wisatawan dan stakeholder yang terlibat dalam
pengelolaan ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Kuesioner
penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Data sekunder diperoleh melalui studi
pustaka dari sumber yang relevan berupa buku referensi, jurnal ilmiah, dan data
resmi yang dikumpulkan dari instansi-instansi terkait yang memberikan informasi
bagi penelitian. Jenis data dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jenis dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian
Data yang Jenis Metode
Tujuan penelitian Sumber data analisis
dibutuhkan data
Mengestimasi nilai Nilai ekonomi Data Hasil wawancara Pendekatan
ekonomi dari ekosistem wisata primer wisatawan Kawasan harga pasar
mangrove Kawasan Kegiatan dan Ekowisata (market
Ekowisata Mangrove PIK penanaman sekunder Mangrove PIK price),
Luas kawasan Dinas Kehutanan TCM, dan
Potensi karbon DKI Jakarta benefit
yang diserap FAO (2017) transfer
Harga karbon Santoso (2012)
Nilai
keberadaan per
ha
22
Tabel 3 Lanjutan
Menganalisis status Indikator Data Hasil wawancara Analisis Rap_
keberlanjutan ekosistem dan skor primer dengan stakeholder Mforest
mangrove Kawasan keberlanjutan dan pengelolaan
Ekoswisata Mangrove PIK ekosistem sekunder mangrove
mangrove
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kuantitatif dan
kualitatif. Nilai ekonomi total Kawasan Ekowisata Mangrove PIK diestimasi
menggunakan metode valuasi ekonomi dengan menghitung nilai guna dan non-
guna dari ekosistem mangrove di kawasan tersebut. Pengolahan data nilai ekonomi
total dilakukan menggunakan program Microsoft Office Excel 2016. Pada
penentuan nilai ekonomi wisata dilakukan dengan menggunakan software SPSS 16
untuk memperoleh koefisien biaya perjalanan. Status keberlanjutan ekosistem
mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dari dimensi ekologi, ekonomi,
kelembagaan, dan sosial dianalisis menggunakan analisis multidimensi dengan alat
analisis Rap_Mforest yang merupakan modifikasi dari Rapfish. Modifikasi Rapfish
dilakukan mengingat penelitian ini bertujuan menganalisis status keberlanjutan dari
ekosistem mangrove dan menggunakan atribut keberlanjutan yang telah
disesuaikan dengan tujuan penelitian. Matriks metode analisis data dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4 Matriks metode analisis data
Existence value
Direct use value: Indirect use value: Option value:
(nilai keberadaan)
Ekowisata mangrove Penyerap karbon Keanekaragaman
Pembibitan mangrove hayati
5. Variabel lama berkunjung memiliki nilai koefisien yang positif, artinya lama
wisatawan berkunjung ke lokasi berpengaruh positif terhadap jumlah
kunjungan wisatawan. Hal tersebut didasarkan bahwa semakin lama waktu
yang dihabiskan seseorang untuk berkunjung di lokasi wisata, maka akan
meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.
Kelayakan model dari fungsi permintaan wisata yang digunakan dalam
penelitian dapat ditentukan melalui uji asumsi untuk mengetahui apakah terjadi
penyimpangan asumsi atau tidak dalam model tersebut. Asumsi-asumsi dasar
digunakan dalam model regresi, antara lain (Firdaus 2011):
1. E (ϵi |Xi ) = 0, untuk setiap i.
Nilai yang diharapkan bersyarat (conditional excpected value) dari ϵi
tergantung pada nilai Xi tertentu adalah 0.
2. Cov (ϵi |ϵj ) = 0, i ≠ j.
Asumsi ini dikenal sebagai asumsi tidak adanya korelasi berurutan atau tidak
ada autokorelasi.
3. Var (ϵi ) = σ2 , untuk setiap i.
Varian bersyarat dari (ϵi) adalah konstan. Asumsi ini dikenal sebagai asumsi
homoskedastisitas atau varians sama.
4. Cov (ϵi |X2i ) = Cov (ϵi |X3i ) = 0, artinya kesalahan pengganggu ϵi dan variabel
bebas X tidak berkorelasi.
5. Tidak adanya multikolinearitas, yang artinya tidak terdapat hubungan
linearitas yang pasti diantara variabel-variabel bebas.
6. Stokhastik error term (ϵi) terdistribusikan secara normal dengan rata-rata
dan varian yang diberikan oleh asumsi 1 dan 2.
Koefisien biaya perjalanan yang telah diperoleh dari hasil analisis regresi
linear berganda digunakan dalam menentukan nilai surplus konsumen. Berikut
rumus untuk menentukan surplus konsumen (Fauzi 2014):
V2
SK = 2β1
Keterangan:
SK = surplus konsumen (Rp)
V = jumlah kunjungan individu (kunjungan per tahun)
27
asumsi bahwa lokasi penelitian ini juga dilakukan di daerah Angke, namun dengan
batasan penelitian hanya meneliti Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Harga
karbon yang digunakan adalah US$ 5,6 per ton (FAO 2017). Asumsi nilai tukar
sebesar Rp 14 370 per US$ (Bank Indonesia 2018a). Rumus perhitungan untuk
menentukan nilai ekonomi penyerapan karbon sebagai berikut:
NC = JK x HK x NTR x L
Keterangan:
NC = nilai penyerapan karbon (Rp/tahun)
JK = jumlah karbon (ton/ha/tahun)
HK = harga karbon dunia (US$/ton)
NTR = nilai tukar rupiah (Rp/US$)
L = luas hutan mangrove (ha)
3. Nilai Pilihan (Option Value)
Nilai pilihan dapat diestimasi berdasarkan nilai keanekaragaman hayati
menggunakan metode benefit transfer. Nilai pilihan dalam penelitian ini diestimasi
dengan mengacu pada hasil penelitian Ruintenbeek (1992) yang menilai
kenaekaragaman hayati (biodiversity) ekosistem mangrove di Papua sebesar
US$ 1 500 per km2 per tahun atau setara dengan US$ 15 per ha per tahun. Nilai
tukar rupiah yang digunakan adalah Rp 14 370 per US$ (Bank Indonesia 2018a).
Nilai keragaman hayati ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
dapat diestimasi menggunakan rumus sebagai berikut:
UMP DKI Jakarta
OV = (NB x L) x x NTR
UMP Papua
Keterangan:
OV = option value (Rp/tahun)
NB = compounding nilai biodiversity (1992-2018) (US$/ha/tahun)
L = luas hutan mangrove (ha)
NTR = nilai tukar rupiah (Rp/US$)
UMP DKI Jakarta 2018 = Rp 3 648 035,82 (Peraturan Gubernur DKI Jakarta
Nomor 182 Tahun 2017)
UMP Papua 2018 = Rp 2 663 646 (Keputusan Gubernur Papua Nomor
188.4/361/Tahun 2017)
29
menentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL Algoritma; 4) lakukan rotasi
untuk menentukan posisi sumber daya pada ordinasi buruk (bad) and baik (good)
dengan Excell dan Visual Basic; 5) selanjutnya melakukan sensitivity analysis
(leverage analysis) dan Monte Carlo analysis untuk memperhitungkan aspek
ketidakpastian.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan Rap_Mforest yang merupakan
modifikasi dari Rapfish dalam analisis multidimensi untuk mengetahui status
keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
berdasarkan nilai indeks keberlanjutan. Dimensi yang akan dianalisis pada
penelitian ini terdiri atas 4 dimensi, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, kelembagaan,
dan sosial. Setiap dimensi yang dikaji dari metode ini disusun berdasarkan atribut-
atribut yang telah ditentukan dan memiliki nilai atau skor masing-masing. Atribut
yang dinilai dari setiap dimensi diperoleh berdasarkan studi literatur terhadap hasil
penelitian Santoso (2012), Osmaleli (2014), Noveliyana (2016), Theresia (2016);
data sekunder; dan pengamatan kondisi di lapang. Penentuan nilai skor setiap
atribut dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Penentuan nilai skor masing-masing atribut keberlanjutan
Pilihan
No Dimensi dan atribut Baik Buruk Kriteria nilai
skor
1 Dimensi ekologi
1.1 Tekanan lahan 0; 1; 2 0 2 Santoso (2012) dan Noveliyana (2016):
mangrove (0) tidak terjadi perubahan luas lahan
mangrove
(1) perubahan luas lahan mangrove secara
alami
(2) terjadi alih fungsi lahan mangrove tanpa
memperhatikan fungsi lingkungan
1.2 Kerapatan 0; 1; 2 2 0 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
mangrove Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria
Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan
Mangrove:
(3) jarang (< 1 000 pohon/ha)
(4) sedang (1 000 – 1 500 pohon/ha)
(5) padat (> 1 500 pohon/ha)
1.3 Rehabilitasi 0; 1; 2 2 0 Noveliyana (2016):
mangrove (0) tidak ada
(1) ada, namun tidak dikelola dengan baik
(2) ada dan dikelola dengan baik
1.4 Tingkat keragaman 0; 1; 2 2 0 Osmaleli (2014) dan Theresia (2016):
hutan mangrove (0) tidak beragam (< 2 jenis mangrove)
(1) cukup beragam (2 – 10 jenis mangrove)
31
Tabel 5 Lanjutan
(2) sangat beragam (>10 jenis mangrove)
1.5 Pengaruh pasang 0; 1 1 0 (0) rendah
surut air laut (1) tinggi
terhadap ekosistem
mangrove
2 Dimensi ekonomi
2.1 Nilai ekonomi total 0; 1; 2 2 0 Theresia (2016) dan Santoso (2012)
modifikasi:
(0) < Rp 1 milyar/tahun
(1) Rp 1 – 2 milyar/tahun
(2) > Rp 2 milyar/tahun
2.2 Manfaat tak 0; 1; 2 2 0 Theresia (2016):
langsung
(0) Persentase nilai manfaat tak langsung
< nilai manfaat langsung
(1) Pesentase nilai manfaat tak langsung =
nilai manfaat langsung
(2) Persentase nilai manfaat tak langsung
> nilai manfaat langsung
2.3 Jumlah kunjungan 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012):
wisatawan (0) rendah (jumlah wisatawan < 10 000
orang/tahun)
(1) sedang (jumlah wisatawan 10 000 –
20 000 orang/tahun)
(2) tinggi (jumlah wisatawan > 20 000
orang/tahun)
2.4 Aksesibilitas 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012) modifikasi:
kawasan mangrove (0) rendah, lokasi sulit diakses dengan
sarana transportasi yang ada
(1) sedang, lokasi dapat diakses dengan
sarana transportasi yang ada
(2) tinggi, lokasi sangat mudah diakses
3 Dimensi
kelembagaan
3.1 Ketersediaan 0; 1 0 1 Susilo (2003) dan Trimulyani (2013)
peraturan formal dalam Osmaleli (2014):
dan informal (0) ada
pengelolaan (1) tidak ada
ekosistem mangrove
3.2 Ketersediaan 0; 1; 2 2 0 Susilo (2003) dalam Osmaleli (2014):
personel penegak (0) tidak ada
hukum di lokasi (1) ada, tidak ada di lokasi
(2) ada, selalu berada di lokasi
3.3 Peranan 0; 1; 2 2 0 Osmaleli (2014):
kelembagaan formal (0) tidak ada
yang mendukung (1) ada, tidak berperan
pengelolaan (2) ada, berperan
ekosistem mangrove
3.4 Peranan 0; 1; 2 2 0 Osmaleli (2014):
kelembagaan lokal (0) tidak ada
(informal) yang (1) ada, tidak berperan
mendukung (2) ada, berperan
32
Tabel 5 Lanjutan
pengelolaan
ekosistem mangrove
3.5 Komitmen 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012) dan Noveliyana (2016):
Pemerintah Daerah (0) rendah (Pemda tidak melakukan ketiga hal
(Pemda) untuk tersebut)
konservasi (1) sedang (Pemda hanya melakukan 1 atau 2
hal)
(2) tinggi (Pemda sudah melakukan 3 hal)
Hal yang dilakukan oleh Pemda:
a. Konsistensi rencana tata ruang, kebijakan
konservasi dengan kebijakan pemanfaatan
ruang kawasan
b. Bantuan dan fasilitasi pelestarian kawasan
konservasi
c. Penegakan hukum pelestarian kawasan
konservasi
4 Dimensi Sosial
4.1 Partisipasi 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012):
masyarakat dalam (0) rendah
kegiatan rehabilitasi (1) sedang
mangrove Kawasan (2) tinggi
Ekowisata PIK
4.2 Dampak sosial 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012) dan Noveliyana (2016):
keberadaan (0) rendah (masyarakat tidak merasakan
mangrove terhadap fungsi dan manfaat keberadaan mangrove
masyarakat dan tidak menyadari)
(1) sedang (masyarakat merasakan fungsi dan
manfaat mangrove, namun masih rendah)
(2) tinggi (masyarakat merasakan fungsi dan
manfaat mangrove, dan menyadari
sepenuhnya)
4.3 Edukasi mengenai 0;1;2 2 0 (0) tidak pernah
ekosistem mangrove (1) ada, namun tidak dilakukan dengan baik
oleh pihak (2) ada, dan dilakukan dengan baik
pengelola Kawasan
Ekowisata
Mangrove PIK
4.4 Perhatian peneliti 0;1;2 2 0 Santoso (2012):
mangrove (0) rendah (jumlah penelitian < 20 kali/tahun)
(kunjungan peneliti, (1) sedang (jumlah penelitian 20 – 40
praktik pengelolaan, kali/tahun)
dan kegiatan (2) tinggi (jumlah penelitian > 40 kali/tahun)
penelitian di
kawasan ekowisata)
4.5 Tingkat pendidikan 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012):
masyarakat (0) SD
Kelurahan Kapuk (1) SMP - SMA
Muara (2) PT
Sumber: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004, Noveliyana (2016),
Osmaleli (2014), Santoso (2012), dan Theresia (2016)
Setelah hasil skoring dari setiap atribut diperoleh dengan melakukan
wawancara terhadap stakeholder terkait berdasarkan penilaian ilmiah (scientific
33
mengusir masyarakat yang membuka usaha tambak dan pemancingan ilegal untuk
keluar dari kawasan hutan tersebut; dan melakukan upaya rehabilitasi dengan
membangun kawasan tersebut menjadi kawasan ekowisata. Meskipun demikian,
Dinas Kehutanan DKI Jakarta tidak lantas menghilangkan mata pencaharian
masyarakat yang bekerja di tambak dan tempat pemancingan tersebut. Dinas
Kehutanan DKI Jakata memberdayakan dan mendidik masyarakat tersebut untuk
membentuk suatu kelompok tani yakni Kelompok Tani Flora Mangrove. Para
anggota kelompok tani tersebut dididik untuk dapat melakukan pembibitan
mangrove dan pengolahan hasil hutan mangrove, sehingga masyarakat tetap
memperoleh pendapatan dengan beralih mata pencaharian. Selain itu, beberapa dari
masyarakat tersebut diizinkan untuk berdagang di luar Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK dengan syarat membayar sejumlah retribusi dan hanya yang telah
bergabung dalam Kelompok Tani Flora Mangrove. Berdasarkan aturan tidak
tertulis, masyarakat yang bukan merupakan masyarakat sekitar tidak diperbolehkan
membuka usaha di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK.
Kegiatan rehabilitasi Kawasan Ekowisata Mangrove PIK melibatkan
berbagai pihak akademisi dan swasta, salah satunya adalah Prof. Dr. Ir. Cecep
Kusmana, MS yang merupakan guru besar Institut Pertanian Bogor selaku salah
satu pemilik paten teknik penanaman mangrove dengan metode guludan. Metode
guludan dinilai tepat diterapkan pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK yang
sebelumnya merupakan area bekas tambak, dan terbukti vegetasi mangrove di
kawasan ekowisata tumbuh dengan baik dengan metode tersebut.
Pemberlakuan tarif retribusi pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK mulai
dilakukan setelah sarana dan prasarana kawasan dibangun. Sarana dan prasarana
kawasan ekowisata tersebut adalah tempat parkir, pos jaga, kantor, mushola, toilet,
tempat duduk bersantai, jogging track atau walk board, dan jembatan pengamatan.
Penetapan tarif retribusi kawasan sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi DKI
Jakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah yang menyatakan bahwa
memasuki hutan kota atau hutan wisata dikenakan tarif retribusi sebesar Rp 1 000
per orang, sedangkan untuk biaya masuk kendaraan motor sebesar Rp 1 000 per
unit dan kendaraan mobil sebesar 2 000 per unit. Meskipun terdapat perubahan atas
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2012 menjadi Peraturan
37
Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2015, tidak ada perubahan mengenai
retribusi masuk kawasan hutan kota atau hutan wisata. Perubahan retribusi masuk
kawasan hutan kota atau hutan wisata terjadi setelah diberlakukannya Peraturan
Gubernur DKI Jakarta Nomor 225 Tahun 2016 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi
Pelayanan Kelautan dan Pertanian yang menyatakan bahwa tarif retribusi hutan
kota atau hutan wisata sebesar Rp 2 000 per orang, sedangkan untuk biaya masuk
kendaraan motor sebesar Rp 2 000 per unit dan kendaraan mobil sebesar 4 000 per
unit.
5.2 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
SMMA
Hutan Lindung
Ekowisata PIK
Sumber: Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang RDTR dan Daerah
Zonasi pada Kecamatan Penjaringan
Kelurahan Kapuk Muara terdiri atas 10 Rukun Warga (RW) dan 100 Rukun
Tetangga (RT). Secara keseluruhan jumlah penduduk Kelurahan Kapuk Muara
pada tahun 2017 sebesar 39 490 jiwa yang terdiri atas 19 737 jiwa laki-laki dan
19 753 jiwa perempuan, dengan kepadatan penduduk mencapai 3 927,40 jiwa per
km2. Sebagian masyarakat yang tinggal di Kelurahan Kapuk Muara merupakan
masyarakat pendatang dari luar daerah DKI Jakarta, termasuk warga negara asing
(WNA). Jumlah warga negara asing di Kelurahan Kapuk Muara mencapai 38 jiwa,
yang terdiri atas 27 jiwa laki-laki dan 11 jiwa perempuan.
Tingkat pendidikan dan mata pencaharian dan masyarakat yang tinggal di
Kelurahan Kapuk Muara cukup beragam. Tingkat pendidikan masyarakat
Kelurahan Kapuk Muara dari mulai tidak sekolah hingga tingkat Sarjana. Jumlah
penduduk Kelurahan Kapuk Muara berdasarkan tingkat pendidikan dan mata
pencaharian dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah penduduk Kapuk Muara berdasarkan tingkat pendidikan dan mata
pencaharian
Tabel 8 Lanjutan
3 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 672
4 TNI 79
5 Pensiunan 308
6 Pertukangan 1 257
7 Karyawan swasta 7 783
8 Lain-lain 19 662 Sopir, tukang ojek
Pendidikan
1 Tidak sekolah 6 128 Balita dan orang tua
2 Tidak tamat SD 1 372
3 SD 6 377
4 SLTP/SMP 7 842
5 Akademi/D1/D2/D3/D4 4 275
6 Sarjana 3 572
Sumber: Monografi Kelurahan Kapuk Muara (2017)
Berdasarkan data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat Kelurahan Kapuk Muara berpendidikan terakhir SMP dan SMA.
Jumlah masyarakat dengan tingkat pendidikan terakhir SMP atau SMA sebanyak
6 377 jiwa. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Kelurahan Kapuk Muara
sadar akan pentingnya pendidikan. Masyarakat yang tidak sekolah merupakan
golongan balita dan orang tua.
Berdasarkan mata pencaharian, sebagian besar masyarakat Kelurahan Kapuk
Muara bermata pencaharian sebagai karyawan swasta. Walaupun Kelurahan Kapuk
Muara berbatasan langsung dengan Teluk Jakarta, tidak ada masyarakat Kapuk
Muara yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Selain itu, tidak ada masyarakat
Kapuk Muara yang mata pencaharian utamanya adalah tani dan buruh tani. Tidak
ada masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani disebabkan
sudah padatnya pemukiman dan bangunan yang terdapat di Kelurahan Kapuk
Muara, sehingga lahan yang tersedia untuk bercocok tanam sudah tidak tersedia.
Selain itu, kondisi sungai Angke yang melewati wilayah Kelurahan Kapuk Muara
statusnya tercemar dan sudah tidak memiliki debit yang mantap akibat sampah
padat dan limbah cair (DLH 2017). Padahal keberadaan sungai sangat mendukung
pengairan lahan pertanian.
5.5 Karakteristik Responden
Jumlah seluruh responden dalam penelitian ini adalah 72 orang yang terdiri
atas wisatawan dan stakeholder. Setiap responden memiliki karakteristik yang
berbeda. Karakteristik responden dapat dilihat berdasarkan usia, tingkat
42
Nilai ekonomi total pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK yang diestimasi
dalam penelitian ini diperoleh dari fungsi dan manfaat ekosistem mangrove. Nilai
ekonomi total diestimasi berdasarkan nilai ekosistem mangrove dari kegiatan
ekowisata, pembibitan mangrove, fungsi ekologis ekosistem mangrove sebagai
penyerap karbon, keanekaragaman hayati, dan nilai keberadaan. Berdasarkan
fungsi dan manfaat ekosistem mangrove, nilai ekonomi total ekosistem mangrove
dapat diklasifikasikan seperti yang tersedia pada Tabel 13.
Tabel 13 Klasifikasi nilai ekonomi total ekosistem mangrove
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK melalui nilai P-value dari kelima variabel bebas
yang dianalisis. Tidak semua variabel bebas yang dianalisis berpengaruh signifikan
terhadap jumlah kunjungan wisata. Variabel bebas yang berpengaruh signifikan
pada taraf nyata 5 % terhadap jumlah kunjungan wisata adalah biaya perjalanan.
Variabel pendidikan dan lama mengathui lokasi berpengaruh signifikan terhadap
jumlah kunjungan wisata pada taraf nyata 10 %. Variabel yang tidak berpengaruh
signifikan terhadap jumlah kunjungan wisata adalah jarak tempat tinggal ke lokasi
wisata dan lama berkunjung di lokasi wisata. Berikut penjelasan mengenai kelima
variabel bebas tersebut:
1. Biaya Perjalanan
Variabel biaya perjalanan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap
jumlah kunjungan wisata karena berdasarkan model hasil regresi diperoleh P-value
yang lebih kecil dari taraf nyata 5 %. Nilai koefisien elastisitas sebesar 0,00002859
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya biaya perjalanan sebesar 1 % akan
menurunkan jumlah kunjugan wisata sebesar 0,002859 % (cateris paribus). Hal
ini sesuai dengan teori ekonomi bahwa semakin meningkat harga suatu barang atau
jasa akan menurunkan keinginan seseorang untuk mengonsumsi barang atau jasa
tersebut. Semakin besar biaya perjalanan yang harus dikorbankan seseorang akan
menurunkan permintaan wisata atau jumlah kunjungan ke Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK.
2. Pendidikan
Variabel pendidikan berpengaruh positif secara signifikan terhadap jumlah
kunjungan wisata karena berdasarkan model hasil regresi diperoleh P-value yang
lebih kecil dari taraf nyata 10 %. Nilai koefisien elastisitas sebesar 0,118
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya pendidikan seseorang sebesar 1 % akan
meningkatkan jumlah kunjungan wisata sebesar 11,8 % (cateris paribus). Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang akan meningkatkan kemungkinan seseorang
tersebut untuk mengunjungi Kawasan Ekowisata Mangrove PIK. Hal ini didukung
dengan tujuan dibangunnya kawasan tersebut sebagai sarana edukasi mengenai
mangrove bagi masyarakat yang berkunjung.
48
mangrove Muara Angke DKI Jakarta dan memiliki karakteristik hutan lokasi yang
hampir sama. Berdasarkan hasil penelitian Santoso (2012), diperoleh nilai
keberadaan hutan mangrove Muara Angke sebesar Rp 2 414 743 per ha. Pada
perhitungan nilai keberadaan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK akan dilakukan
sedikit penyesuaian. Selengkapnya, perhitungan nilai keberadaan dapat dilihat pada
Tabel 18.
Tabel 18 Nilai keberadaan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK
Tabel 19 Lanjutan
3 Option value Keanekaragaman hayati 45 504 704,69 3,01
Keberadaan ekosistem 8,86
4 Non-use value 133 761 507,89
mangrove
Nilai ekonomi total ekosistem mangrove (Rp/th) 1 509 838 320,52 100,00
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Tabel 19 menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari kegiatan ekowisata diperoleh
sebesar Rp 1 317 233 298 dengan persentase nilai sebesar 87,24 % dari nilai
ekonomi total. Kegiatan pembibitan mangrove memiliki nilai ekonomi sebesar
Rp 10 640 000 dengan persentase nilai sebesar 0,70 % dari nilai ekonomi total.
Berdasarkan nilai ekonomi manfaat langsung dari kegiatan ekowisata dan
pembibitan mangrove sehingga diperoleh nilai sebesar Rp 1 327 873 298 dengan
persentase nilai mencapai 87,94 % dari nilai ekonomi total.
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 19 diperoleh nilai ekonomi dari
fungsi ekologis ekosistem mangrove sebagai penyerap karbon sebesar
Rp 2 698 809,58 dengan persentase nilai sebesar 0,18 % dari nilai ekonomi total.
Nilai pilihan yang diperoleh dari keanekaragaman hayati ekosistem mangrove
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK adalah sebesar Rp 45 504 704,69 dengan
persentase nilai mencapai 3,01 % dari nilai ekonomi total. Keberadaan dari
ekosistem mangrove memiliki nilai sebesar Rp 133 761 507,89 dengan persentase
nilai mencapai 8,86 % dari nilai ekonomi total. Penjumlahan dari nilai ekonomi
manfaat langsung dan tak langsung, nilai keanekaragaman hayati, dan nilai
keberadaan menghasilkan nilai ekonomi total ekosistem mangrove Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK sebesar 1 509 838 320,52. Nilai ekonomi total tersebut
tidak cukup tinggi, sebab nilai yang diestimasi dalam penelitian ini tidak mencakup
keseluruhan nilai dari ekosistem mangrove pada kawasan ekowisata tersebut.
6.2 Status Keberlanjutan Ekosistem Mangrove Kawasan Ekoswisata
Mangrove PIK
dimensi sosial. Keempat dimensi dan 19 atribut yang telah ditentukan tersebut akan
menggambarkan status keberlanjutan dari ekosistem mangrove di Kawasan
Ekowisata Mangrove PIK melalui nilai indeks keberlanjutan hasil analisis
Rap_Mforest.
6.2.1 Dimensi Ekologi
Salah satu faktor penting untuk menentukan keberlanjutan ekosistem
mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK adalah dimensi ekologi. Berdasarkan
studi literatur terhadap penelitian terdahulu dan hasil observasi lapang, berikut
atribut yang menentukan keberlanjutan ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK dari dimensi ekologi antara lain:
1. Tekanan Lahan Mangrove
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
220/Kpts-II/2000 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata
Guna Hutan Kesepakatan di wilayah Provinsi DKI Jakarta seluas 108 475,45 ha
(kawasan hutan dan perairan), seluas 158,35 ha merupakan kawasan Hutan
Produksi Angke Kapuk yang dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta.
Pembangunan Jalan Tol Prof. Dr. Ir. Sedyatmo tahun 1984 dan pelebaran jalan tol
tersebut tahun 2005 oleh Jasa Marga turut berkontribusi dalam mengurangi luas
Hutan Produksi Angke Kapuk, sebagai gantinya pihak Jasa Marga harus
mengkompensasi lahan yang digunakan untuk Jalan Tol Prof. Dr. Ir. Sedyatmo
sesuai dengan peraturan mengenai Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diatur
dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.38/Menhut-
II/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-
II/2011. Semenjak kawasan ekowisata dibangun pada tahun 2006 hingga tahun
2018 tidak terjadi perubahan luas lahan mangrove, yang dilakukan oleh Dinas
Kehutanan DKI Jakarta dengan membangun kawasan tersebut sebagai kawasan
ekowisata justru mengembalikan hutan mangrove yang sebelumnya
dialihfungsikan menjadi tambak dan tempat pemancingan oleh masyarakat sekitar.
Oleh karena itu, tidak terjadi alih fungsi lahan mangrove tanpa memperhatikan
fungsi lingkungan semenjak Dinas Kehutanan DKI Jakarta merehabilitasi kawasan
hutan mangrove tersebut dan melakukan pengelolaan hingga saat ini. Skor untuk
atribut tekanan luas mangrove adalah 0,333.
55
2. Kerapatan Mangrove
Pada sampel seluas 1 ha, terhitung jumlah pohon mangrove yang dapat
tumbuh di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK berjumlah 1 187 pohon. Pohon
mangrove yang paling banyak tumbuh adalah jenis Rhizophora sp. dengan jumlah
870 pohon dan jarak tanam 80 – 100 cm. Jika dilihat menurut Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman
Penentuan Kerusakan Mangrove, kerapatan mangrove pada ekosistem mangrove
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK termasuk dalam kategori sedang. Skor untuk
atribut kerapatan mangrove adalah 1,333.
3. Rehabilitasi Mangrove
Kegiatan rehabilitasi mangrove di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK telah
dilakukan semenjak kawasan tersebut dibangun dan melibatkan berbagai pihak dari
akademisi, instansi pemerintah, dan swasta. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
merupakan salah satu guru besar Institut Pertanian Bogor yang berkontribusi dalam
mengembangkan teknik penanaman mangrove dengan metode guludan di kawasan
ekowisata. Metode guludan dinilai tepat untuk diterapkan pada Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK yang sebelumnya merupakan area bekas tambak. Vegetasi
mangrove di kawasan tersebut tumbuh dengan baik dengan metode tersebut.
Mangrove dapat tumbuh baik di kawasan ekowisata tidak terlepas dari peran
pengelola mangrove dalam merawat dan memelihara ekosistem mangrove. Jika
terdapat bibit mangrove yang mati, pihak pengelola atau petugas lapang yakni PJLP
Dinas Kehutanan menggantikan bibit mangrove tersebut dengan bibit yang baru.
Selain itu, kegiatan pembersihan hama seperti eceng gondok dan telur siput rutin
dilakukan oleh PJLP yang bertugas. Namun, hingga saat ini belum ada rencana
pemetaan kebutuhan penanaman dalam kegiatan rehabilitasi tersebut dan masih
bersifat spontanitas. Jika instansi pemerintah atau swasata ingin melakukan
penanaman, barulah kemudian PJLP mengecek ketersediaan lahan untuk
penanaman tersebut. Skor untuk atribut rehabilitasi mangrove adalah 1,833.
4. Tingkat Keragaman Mangrove
Jenis tumbuhan mangrove pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK terdiri
atas Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Bruguiera
ghymnorrhiza, Sonneratia caseolaris, Avicennia marina, Xylocarpus granatum,
56
dan Nypa fruticans. Jenis tumbuhan mangrove tersebut merupakan tumbuhan sejati
dominan yang termasuk ke dalam famili: Rhizophoraceae (Rhizophora dan
Bruguiera), Sonneratiaceae (Sonneratia), Aviceniaceae (Avicennia), Meliaceae
(Xylocarpus), dan Arecaceae (Nypa). Karena jenis tumbuhan mangrove yang ada
pada Kawasan Ekowisata Mangrove PIK sudah termasuk ke dalam empat famili
yang minimal ada dalam suatu ekosistem mangrove (Bengen 2003 dalam Tuwo
2011) dan jenisnya berjumlah 8, maka jenis mangrove pada kawasan ekowisata
tersebut cukup beragam. Skor untuk atribut tingkat keragaman mangrove adalah 1.
5. Pengaruh Pasang Surut Air Laut terhadap Ekosistem Mangrove
Dampak reklamasi dan kegiatan pembangunan di kawasan PIK membuat
ekosistem mangrove Kawasan Ekowisata Mangrove PIK tidak secara langsung
terkena pengaruh pasang surut air laut saat ini. Padahal sejatinya hutan mangrove
merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang khas, tumbuh dan berkembang
pada daerah pasang surut, terutama di laguna, muara sungai dan pantai yang
terlindung dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir (KLHK 2016). Oleh karena
itu, skor untuk atribut ini adalah 0,167.
Penentuan skor yang akan dianalisis dengan alat analisis Rap_Mforest
berdasarkan rata-rata skor dari hasil wawancara terhadap stakeholder terkait. Skor
masing-masing atribut dari dimensi ekologi dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Nilai skor dimensi keberlanjutan ekologi dari ekosistem mangrove
Rap_Mforest Ordination
60
Up
40
Other Distingishing
20
Features
59.88
Bad Good
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
-40
Down
-60
Mangrove Forest Status
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Leverage of Attributes
Pengaruh pasang-surut air laut 4.75
Keragaman mangrove 5.68
Attribute
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Rap_Mforest Ordination
60
Up
40
Other Distingishing
20
Features
Bad Good
0
0 20 40 60 80 100 120
-20 49.05
-40
Down
-60 Mangrove Forest Status
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Leverage of Attributes
Aksesibilitas kawasan mangrove 4.80
Attribute
0 5 10 15
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Alam (TWA) Angke Kapuk seluas 99,82 ha; Cagar Alam Pulau Bokor seluas
18 ha; SM Pulau Rambut seluas 90 ha; SM Muara Angke seluas 25 ha; Hutan
Lindung Angke Kapuk seluas 44,76 ha; dan Hutan Produksi Angke Kapuk
seluas 158,35 ha
2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
5) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.31/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pedoman Kegiatan Usaha
Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Produksi
6) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 225 Tahun 2016 tentang Penyesuaian
Tarif Retribusi Pelayanan Kelautan dan Pertanian
7) Peraturan mengenai larangan melakukan tindak kerusakan yang ditetapkan
untuk seluruh kawasan hutan yang dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta
pihak yang melanggar membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi kesalahan
tersebut. Jika terbukti mengulangi pelanggaran, maka kasus pelanggaran tersebut
akan ditindaklanjuti oleh penyidik bagian Penegakan Hukum Dinas Kehutanan DKI
Jakarta. Sejauh ini, belum ada kasus pelanggaran hukum yang sifatnya berulang
dan hanya berakhir dengan surat pernyataan tidak akan mengulangi pelanggaran.
Skor untuk atribut ini adalah 1,833.
3. Peranan Kelembagaan Formal yang Mendukung Pengelolaan Mangrove
Adanya kelembagaan formal yang mengelola ekosistem mangrove pada
Kawasan Ekowisata Mangrove PIK sangat berperan dalam mendukung
pengelolaan mangrove. Aktivitas masyarakat yang dapat merusak ekosistem
mangrove dan mempengaruhi keberlanjutan kawasan tersebut dapat dikendalikan
dengan baik. Hanya saja perlu ditingkatkan koordinasi antara petugas lapang dan
aparat Dinas Kehutanan DKI Jakarta yang berwenang dalam pengelolaan ekosistem
mangrove kawasan ekowisata tersebut, sehingga pengelolaan ekosistem mangrove
menjadi lebih terencana dan berkelanjutan. Skor untuk atribut ini adalah 2.
4. Peranan Kelembagaan Informal yang Mendukung Pengelolaan Mangrove
Adanya kerja sama yang dibentuk oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan
Kelompok Tani Flora Mangrove turut berperan dalam mendukung pengelolaan
mangrove, terutama dalam kegiatan penanaman mangrove. Oleh karena inisiatif
Dinas Kehutanan DKI Jakarta melakukan pemberdayaan masyarakat mantan
pekerja tambak dan pemancingan untuk melakukan usaha bibit mangrove dan
produk olahan mangrove, telah memudahkan Dinas Kehutanan DKI Jakarta dalam
hal pengadaan bibit mangrove dan produk olahan mangrove jika ada pihak yang
ingin melakukan kegiatan penanaman mangrove atau menikmati produk olahan
mangrove. Dinas Kehutanan DKI Jakarta hanya bertindak sebagai fasilitator antara
pihak yang ingin menanam dengan kelompok tani tersebut. Skor untuk atribut ini
adalah 2.
5. Komitmen Pemerintah Daerah untuk Konservasi
Sejauh ini Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah melakukan konsistensi
rencana tata ruang, kebijakan konservasi dengan kebijakan pemanfaatan ruang
kawasan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan zonasi Kawasan Ekowisata Mangrove
PIK yang termasuk dalam zona hijau RDTR yang hingga saat ini tidak berubah
64
Rap_Mforest Ordination
60
Up
40
Other Distingishing
20
Features
Bad 92.12 Good
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
-40
Down
-60 Mangrove Forest Status
Sumber: Data primer (diolah) 2018
Leverage of Attributes
Komitmen Pemerintah Daerah untuk… 3.86
Peranan kelembagaan informal yang… 1.95
Attribute
0 2 4 6
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)
Sumber: Data primer (diolah) 2018
sebagai pusat interaksi antar masyarakat sekitar dan masyarakat dari berbagai
daerah, sehingga lingkungan di sekitar kawasan menjadi tidak bersifat eksklusif.
Selain itu, keberadaan Kawasan Ekowisata Mangrove PIK dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat sekitar mengenai pentingnya fungsi dan manfaat
ekosistem mangrove. Semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat akan fungsi
dan manfaat ekosistem mangrove, maka tindakan masyarakat yang bersifat
merusak ekosistem mangrove semakin berkurang. Skor atribut ini adalah 1,2.
3. Edukasi Mengenai Ekosistem Mangrove
Kegiatan edukasi mengenai ekosistem mangrove oleh pihak pengelola
kawasan ekowisata telah dilakukan dengan baik, meskipun saat ini kegiatan
tersebut dilakukan sesuai permintaan oleh wisatawan. Kegiatan edukasi dilakukan
dengan memasang informasi mengenai tanaman mangrove dan penyuluhan
langsung oleh petugas lapang pengelola kawasan. Pengelola kawasan ekowisata
telah berupaya maksimal untuk memberikan penyuluhan edukasi, meskipun jumlah
sumber daya manusia ahli dalam bidang tersebut dinilai masih terbatas jumlahnya.
Skor untuk atribut ini adalah 1,833.
4. Perhatian Peneliti Mangrove
Perhatian peneliti mangrove melalui kegiatan penelitian dan praktik
pengelolaan di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK masih rendah. Hal ini
dibuktikan bahwa hanya terdapat 5 kali kegiatan penelitian yang dilakukan di
kawasan hutan mangrove yang dikelola Dinas Kehutanan DKI Jakarta pada tahun
2017. Data jumlah penelitian di kawasan hutan tersebut dapat dilihat pada Lampiran
6. Sebagian besar peneliti melakukan penelitian di kawasan Hutan Lindung Angke
Kapuk dibandingkan di kawasan Hutan Produksi Angke Kapuk. Oleh karena itu,
skor untuk atribut ini adalah 0,5.
5. Tingkat Pendidikan Masyarakat
Tingkat pendidikan masyarakat Kapuk Muara beragam dari mulai SD hingga
perguruan tinggi. Sebagian besar masyarakat Kapuk Muara telah menempuh
tingkat pendidikan SMP dan SMA, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar
masyarakat menyadari arti penting pendidikan dan melaksanakan wajib belajar 9
tahun. Oleh karena itu, skor atribut ini adalah 1,083.
68
Rap_Mforest Ordination
60
Up
40
Other Distingishing
20
Features
dalam kategori cukup berkelanjutan. Untuk menentukan aspek anomali dari atribut
pada dimensi sosial, dilakukanlah analisis leverage. Nilai perubahan RMS hasil
analisis leverage pada dimensi sosial dapat dilihat pada Gambar 16.
Leverage of Attributes
Tingkat pendidikan masyarakat 1.18
Perhatian peneliti mangrove 4.33
Attribute
0 2 4 6 8
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)
Sumber: Data primer (diolah) 2018
92.12
Kelembagaan
7.1 Simpulan
Alder J, Pitcher TJ, Preikshot D, Kaschner K, Ferriss B. 2000. How Good is Good?:
A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of The Sustainability Status
of Fisheries of The North Atlantic. Fisheries Center Research Reports. 8
(2).
[BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2017. Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017. Jakarta (ID): BPS DKI Jakarta.
[BI] Bank Indonesia. 2018a. Informasi Kurs [Internet]. [diunduh pada 2018
Agustus 1]. Tersedia pada: https://www.bi.go.id/en/moneter/informasi-
kurs/transaksi-bi/Default.aspx.
_________. 2018b. BI 7-day (Reverse) Repo Rate [Internet]. [diunduh pada 2018
Agustus 1]. Tersedia pada: https://www.bi.go.id/id/moneter/bi-7day-
RR/data/Contents/Default.aspx.
Baeta F, Pinheiro A, Corte-Real M, Costa JL, de Almeida PR, Cabral H, Costa MJ.
2005. Are the fisheries in the Tagus estuary sustainable?. Fisheries
Research. 76:243-251. doi: 10.1016/j.fishres.2005.06.012.
Carandang AP, Camacho LD, Gevaña DT, Dizon JT, Camacho SC, de Luna CC,
Pulhin FB, Combalicer EA, Paras FD, Peras RJJ et al. 2014. Economic
Valuation for Sustainable Mangrove Ecosystem Management in Bohol and
Palawan, Philippines. Forest and Science Teschnology. 1-8. doi:
10.1080/21580103.2013.801149.
Dinas Kehutanan DKI Jakarta. 2017. Penyelenggaraan Hutan Mangrove Angke
Kapuk Tahun 2016. Jakarta (ID): Dinas Kehutanan DKI Jakarta.
_________. 2018. Penyelenggaraan Hutan Mangrove Angke Kapuk Tahun 2017.
Jakarta (ID): Dinas Kehutanan DKI Jakarta.
[DKPKP] Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta. 2016.
Laporan 2016: Identifikasi dan Inventarisasi Kawasan Esensial. Jakarta
(ID): DKPKP DKI Jakarta.
[DLH] Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. 2017. Dokumen Informasi Kinerja
Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun
76
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria
Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.
Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Bogor (ID): IPB Press.
Lestaria M. 2015. Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kerinci [tesis].
Bogor (ID): IPB.
Lisbani SM dan Kamal E. 2009. Pola Penyebaran Pertumbuhan “Propagul”
Mangrove Rhizophoraceae di Kawasan Pesisir Sumatera Barat. Jurnal
Mangrove dan Pesisir. 10(1):33-38.
Matthew NK, Shuib A, Ramachandran S, Afandi SHM. 2015. Travel Cost
Adjustment of International Multiple Destination Visitors to Kilim Karst
Geoforest Park, Langkawi, Malaysia. American-Eurasian Journal of
Agricultural and Environmental Sciences. 15:24-31. doi:
10.5829/idosi.aejaes.2015.15.s.204.
Muljono P, Sujana J, Prabowo B. 2009. Metodologi Penelitian dan Laporan
Kearsipan. Jakarta (ID): Universitas Terbuka.
North DC. 1991. Institutions. Journal of Economic Perspectives. 5(1):97-112.
Noveliyana Y. 2016. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan di Pesisir
Kabupaten Tanggerang, Provinsi Banten [tesis]. Bogor (ID): IPB.
Nugroho I. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta (ID):
Pustaka Pelajar.
Nurazrian M. 2016. Estimasi Nilai dan Manfaat Ekonomi Agrowisata Gunung Mas
Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Nybakken J. 2004. Marine Biology: An Ecological Approach (6th Edition). San
Fransisco (US): Benjamin Cummings.
Osmaleli. 2014. Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Berkelanjutan di Desa Pabean Udik, Kabupaten Indramayu
[tesis]. Bogor (ID): IPB.
Ostrom E. 2011. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for
Collective Action. Newyork (US): Cambridge University Press.
Pagiola S, von Ritter K, Bishop J. 2004. Assessing the Economic Value of
Ecosystem Conservation. Environment Department Papers No. 101.
78
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang RDTR dan
Daerah Zonasi pada Kecamatan Penjaringan.
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah.
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi
Daerah.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 182 Tahun 2017 tentang Upah Minimum
Provinsi Tahun 2018.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 225 Tahun 2016 tentang Penyesuaian Tarif
Retribusi Pelayanan Kelautan dan Pertanian.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.38/Menhut-II/2012
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-
II/2011.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.31/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pedoman Kegiatan Usaha
Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Produksi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antaar Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Pfahl S. 2005. Institutional Sustainability. International Journal of Sustainable
Development. 8(1/2):80-96. doi: 10.1504/IJSD.2005.007376.
Pitcher TJ, Preikshot D. 2001. RAPFISH: a rapid appraisal technique to evaluate
the sustainability status of fisheries. Fisheries Research. 49(3):255-270.
Plummer M. 2009. Assesing Benefit Transfer for The Valuation of Ecosystem
Services. Ecosystem Services. 7(1):38-45. doi: 10.1890/080091.
Ruitenbeek J. 1992. Mangrove Management: An Economic Analysis of
Management Options with a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. EMDU
Environment Reports, 8.
Santoso N. 2012. Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove
Berkelanjutan di Muara Angke Daerah Khusus Ibukota Jakarta [tesis].
Bogor (ID): IPB.
79
8. Berapa kali dalam satu tahun terakhir Anda berkunjung ke Kawasan Ekowisata
Mangrove PIK?______kunjungan
9. Sudah berapa lama Anda mengetahui lokasi wisata ini?_____tahun
10. Berapa lama biasanya Anda menghabiskan waktu di kawasan ini?_____ jam
11. Motivasi Anda berkunjung ke Kawasan Ekowisata Mangrove PIK?
a. Pendidikan dan penelitian c. Piknik
b. Memancing d. Refreshing
1. Jika memancing, berapa hasil tangkapan Anda? _____
2. Jenis ikan tangkapan_____
3. Ikan hasil tangkapan dikonsumsi atau di jual kembali?_____
Jika di jual kembali dengan harga Rp__________/kg dan dijual di_____
4. Biaya selama satu kali memancing:
84
Tabel Lanjutan
1.2 Kerapatan 0; 1; 2 2 0 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
mangrove 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan
Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove:
(0) jarang (< 1 000 pohon/ha)
(1) sedang (1 000 – 1 500 pohon/ha)
(2) padat (> 1 500 pohon/ha)
1.3 Rehabilitasi 0; 1; 2 2 0 Noveliyana (2016):
mangrove (0) tidak ada
(1) ada, namun tidak dikelola dengan baik
(2) ada dan dikelola dengan baik
1.4 Tingkat keragaman 0; 1; 2 2 0 Osmaleli (2014) dan Theresia (2016):
hutan mangrove (0) tidak beragam (< 2 jenis mangrove)
(1) cukup beragam (2 – 10 jenis mangrove)
(2) sangat beragam (>10 jenis mangrove)
1.5 Pengaruh pasang 0; 1 1 0 (0) rendah
surut air laut (1) tinggi
terhadap ekosistem
mangrove
2 Dimensi ekonomi
2.1 Nilai ekonomi total 0; 1; 2 2 0 Theresia (2016) dan Santoso (2012)
modifikasi:
(0) < Rp 1 milyar/tahun
(1) Rp 1 – 2 milyar/tahun
(2) > Rp 2 milyar/tahun
2.2 Manfaat tak 0; 1; 2 2 0 Theresia (2016):
langsung
(0) Persentase nilai manfaat tak langsung <
nilai manfaat langsung
(1) Pesentase nilai manfaat tak langsung =
nilai manfaat langsung
(2) Persentase nilai manfaat tak langsung >
nilai manfaat langsung
2.3 Jumlah kunjungan 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012):
wisatawan (0) rendah (jumlah wisatawan < 10 000
orang/tahun)
(1) sedang (jumlah wisatawan 10 000 –
20 000 orang/tahun)
(2) tinggi (jumlah wisatawan > 20 000
orang/tahun)
2.4 Aksesibilitas 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012) modifikasi:
kawasan mangrove (0) rendah, lokasi sulit diakses dengan sarana
transportasi yang ada
(1) sedang, lokasi dapat diakses dengan
sarana transportasi yang ada
(2) tinggi, lokasi sangat mudah diakses
3 Dimensi
kelembagaan
3.1 Ketersediaan 0; 1 0 1 Susilo (2003) dan Trimulyani (2013) dalam
peraturan formal Osmaleli (2014):
dan informal (0) ada
pengelolaan (1) tidak ada
ekosistem mangrove
87
Tabel Lanjutan
3.2 Ketersediaan 0; 1; 2 2 0 Susilo (2003) dalam Osmaleli (2014):
personel penegak (0) tidak ada
hukum di lokasi (1) ada, tidak ada di lokasi
(2) ada, selalu berada di lokasi
3.3 Peranan 0; 1; 2 2 0 Osmaleli (2014):
kelembagaan formal (0) tidak ada
yang mendukung (1) ada, tidak berperan
pengelolaan (2) ada, berperan
ekosistem mangrove
3.4 Peranan 0; 1; 2 2 0 Osmaleli (2014):
kelembagaan lokal (0) tidak ada
(informal) yang (1) ada, tidak berperan
mendukung (2) ada, berperan
pengelolaan
ekosistem mangrove
3.5 Komitmen 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012) dan Noveliyana (2016):
Pemerintah Daerah (0) rendah (Pemda tidak melakukan ketiga
(Pemda) untuk hal tersebut)
konservasi (1) sedang (Pemda hanya melakukan 1 atau 2
hal)
(2) tinggi (Pemda sudah melakukan 3 hal)
Hal yang dilakukan oleh Pemda:
a. Konsistensi rencana tata ruang, kebijakan
konservasi dengan kebijakan pemanfaatan
ruang kawasan
b. Bantuan dan fasilitasi pelestarian kawasan
konservasi
c. Penegakan hukum pelestarian kawasan
konservasi
4 Dimensi Sosial
4.1 Partisipasi 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012):
masyarakat dalam (0) rendah
kegiatan rehabilitasi (1) sedang
mangrove Kawasan (2) tinggi
Ekowisata PIK
4.2 Dampak sosial 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012) dan Noveliyana (2016):
keberadaan (0) rendah (masyarakat tidak merasakan
mangrove terhadap fungsi dan manfaat keberadaan mangrove
masyarakat dan tidak menyadari)
(1) sedang (masyarakat merasakan fungsi dan
manfaat mangrove, namun masih rendah)
(2) tinggi (masyarakat merasakan fungsi dan
manfaat mangrove, dan menyadari
sepenuhnya)
4.3 Edukasi mengenai 0;1;2 2 0 (0) tidak pernah
ekosistem mangrove (1) ada, namun tidak dilakukan dengan baik
oleh pihak (2) ada, dan dilakukan dengan baik
pengelola Kawasan
Ekowisata
Mangrove PIK
4.4 Perhatian peneliti 0;1;2 2 0 Santoso (2012):
mangrove (0) rendah (jumlah penelitian < 20 kali/tahun)
(kunjungan peneliti, (1) sedang (jumlah penelitian 20 – 40
praktik pengelolaan,
88
Tabel Lanjutan
dan kegiatan kali/tahun)
penelitian di (2) tinggi (jumlah penelitian > 40 kali/tahun)
kawasan ekowisata)
4.5 Tingkat pendidikan 0; 1; 2 2 0 Santoso (2012):
masyarakat (0) SD
Kelurahan Kapuk (1) SMP - SMA
Muara (2) PT
Sumber: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004, Noveliyana (2016),
Osmaleli (2014), Santoso (2012), dan Theresia (2016)
89
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 54.037 5 10.807 4.618 .001a
Residual 126.363 54 2.340
Total 180.400 59
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) 2.371 .881 2.692 .009
Biaya
-2.859E-5 .000 -.410 -3.405 .001 .893 1.120
perjalanan
Pendidikan .118 .070 .203 1.679 .099 .884 1.131
Jarak ke lokasi -.005 .016 -.039 -.300 .766 .751 1.331
Lama
mengetahui .096 .049 .234 1.955 .056 .904 1.107
lokasi
Lama
-.020 .106 -.023 -.188 .852 .904 1.106
berkunjung
Keterangan: Nilai VIF dari masing-masing variabel bebas lebih kecil dari 10 menunjukkan tidak
terjadinya multikolinearitas
Coefficientsa
Unstandardized Standardized Sig. Collinearity
Coefficients Coefficients Statistics
Model B Std. Error Beta t Tolerance VIF
1 (Constant) .561 .517 1.084 .283
Biaya perjalanan -3.770E-6 .000 -.105 -.765 .448 .893 1.120
Pendidikan .070 .041 .235 1.704 .094 .884 1.131
Jarak ke lokasi -.011 .009 -.171 -1.143 .258 .751 1.331
Lama mengetahui
.013 .029 .061 .446 .657 .904 1.107
lokasi
Lama berkunjung .029 .062 .063 .465 .644 .904 1.106
Keterangan: Nilai Sig. dari masing-masing variabel bebas yang lebih besar dari taraf nyata sebesar
5 %, menunjukkan bahwa tidak terjadinya heteroskedastisitas atau memenuhi asumsi
homoskedastisitas
93