Makalah Ekonomi Industri Kelompok 8 (Hasib, Lusi, Hananul)
Makalah Ekonomi Industri Kelompok 8 (Hasib, Lusi, Hananul)
Offering R
Puji dan syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rahmat-Nya , sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Ekonomi Koperasi “Industrialisasi Di Indonesia: Konsep dan Kebijakan
Pembangunan Industri”. Tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada
teman-teman atau pihak-pihak yang sudah membantu demi kelancaran makalah
ini.
Kami berharap supaya nantinya dapat menambah pengetahuan atau
wawasan bagi kami dan pembaca lainnya. Tentunya kami juga berharap, bahwa
teman-teman atau pembaca mendapat pengalaman dari makalah ini dan dapat
memperbaiki bentuk maupun isinya dengan lebih baik lagi.
Adanya kekurangan dalam makalah ini karena keterbatasan pengetahuan
maka dari itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................4
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................5
BAB II BAHASAN
2.1 Arah Kebijakan Industri Nasional..............................................................6
2.2 Kluster Sebagai Bangunan Industri Nasional.............................................8
2.3 Tata Kelola Kluster Industri.......................................................................13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................19
3.2 Saran............................................................................................................20
DAFTAR RUJUKAN...........................................................................................21
LAMPIRAN
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
manufaktur itu sendiri,yakni keberadaan industri rumah tangga yang bermodal
kecil dengan teknologi rendah berdampingan dengan keberadaan industri modern
yang bermodal besar dengan teknologi tinggi.
Implikasi utama dari ketidakjelasan visi dan orientasi industrialisasi bagi
pembangunan ekonomi nasional ini tidakhanya memunculkan permasalahan
redistribusi pendapatan, tetapi juga permasalahan daya saing, efisiensi dan
kemandirian. Ketidakjelasan arah pembangunan industri ini terjadi karena belum
adanya kesatuan pemahaman tentang sistem ekonomi Nasional,sehingga arah
kebijakan industrialisasi dirumuskansebagai bagian respon terhadap perubahan
eksternal atau ekonomi global semata. Oleh karena itu, arah pembangunan
industri seharusnya merupakan bagian dari sub-sistem ekonom nasional.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
industrialisasi lebih diwarnai dengan pelonggaran masuknya investasi asing.
Bahkan, pada tahun 90-an,dan puncaknya pada masa setelah krisis ekonomi 1997,
investor asing diperbolehkan memiliki sahamnya 100 persen. Pada masa
sebelumnya,hal itu tidak diperkenankan karena investor asing diharuskan bermitra
dengan investor lokal dengan bentuk joint venture. Selanjutnya, Bersamaan
hilangnya berkah minyak tersebut,konstelasi perdagangan bebas duniapun
berubah. Perekonomian Indonesia semakin terintegrasi dengan berbagai pakta
perdagangan bebas baik secara regional maupun internasional. Akibatnya,
kebijakan local contents semakin tidak relevan lagi dalam kebijakan
industrialisasi. Sejak itu, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang sangat
liberal (terbuka) bagi investor asing yang ditunjukkan dengan disahkannya UU
Penanaman Modal tahun2007.
Dalam konstelasi sering berubahnya atau ketidakjelasan arah kebijakan
industrialisasi yang hendak dicapai,industrialisasi di Indonesia saat ini belum
mampu mengubah keunggulan komperatif secara dinamis dari natural endowment
kepada brain-made endowment yang merupakan kunci bagi keberlanjutan
pertumbuhan ekonomi. Bahkan, pembangunan industri memunculkan kelemahan
baik bersifat institusional dan juga struktural, seperti adanya dualisme dalam
pembangunan industri.
Oleh karena itu, arah kebijakan pembangunan industrise harusnya
diposisikan secara tepat dalam sistem ekonominasional, khususnya yang berkaitan
dengan tujuan utamanya yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya,
pembangunan sektor industri diharapkan dapat memperkokoh kemandirian
ekonomi yang selanjutnya memperkokoh persatuan bangsa. Untuk itu, orientasi
pembangunan industri nasional yang sesuai dengan tujuan sistem ekonoml
nasional menjadi penting untuk dirumuskan.
Disini, rancang bangun industri, khususnya keterkaitan antar sektor
produksi, memiliki peranan yang krusial dalam sistem ekonomi nasional.
Berdasarkan UUD 1945, terutama dikaitkan dengan penjelasan Pasal 33, peran
serta masyarakat dalam aktivitas ekonomi di Indonesia direpresentasikan oleh tiga
pelaku ekonomi yakni
(i)Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/BUMD).
(ii)Usaha swasta,dan
(ii) koperasi.
Ketiga pelaku ekonomi tersebut melakukan Interaksi dan interrelasi
sehingga membentuk satu kesatuan pcrekonomian nasional. Berkaitan dengan
keterkaitan produk yang dihasilkan. karakterstik produksi yang dilakukan oleh
ketiga pelaku ekonomi tersebut akan sangat mempengaruhi pertumbuhan
7
ekonomi dan juga sekaligus pola distribusi hasil pembangunan. Jika salah satu
dari pelaku ekonomi melakukan kegiatan produksi dengan tidak effisien, maka
ketidakeflisienan tersebut akan menyebar pada aktivitas produksi dan pelaku
ekonomi yang lainnya. Sebagai ilustrasi, koperasi kopra m em produksi secara
tidak effisien,maka usaha swasta minyak goreng akan memproduksi juga dengan
tidak effisien. Oleh karena itu,rancang bangun industri menjadi penting untuk
dirumuskan yang kemudian dijadikan acuan dalam mengarahkan kebijakan
pengembangan industri.
Kemudian, penerapan tata kelola baik di tingkat publik maupun korporasi
bertujuan untuk meningkatkan daya saing (competitiveness) suatu bangsa secara
berkesinambungan. Tata kelola industri yang perlu mendapat perhatian adalah
bagaimana kebijakan pengembangan teknologi dapat diintegrasikan secara baik
dalam proses industrialisasi, sehingga (i)spill over teknologi dari adanya FDI
dapat dioptimalkan, (ii)terjadinya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
(iii)iklim persaingan sehat dapat diwujudkan. Tata kelola korporasi adalah fungsi
dari sistem perekonomian nasional, artinya pengambilan keputusan setiap pelaku
ekonomi sangal tergantung pada sistem perekonomian nasional. Oleh karena
itu,menjadi penting untuk merumuskan tata kelola industry yang sesuai dengan
system ekonomi nasional sebagai ruang lingkup gerak setiap pelaku ekonomi
dalam mewujudkan industry dengan daya saing yang tinggi.
8
daya siang yang berkelanjutan dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan
pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya yang dimiliki. Berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya aklam secara optimal, penyusunan bangun industri
harus mempertimbangkan tiga elemen utama, antara lain:
(1) Membuat suatu siklus material yang tertutup dan meminimalkan lembah
industri yang merusak lingkungan
(2) Mengupayakan terjadinya proses dematerialisasi yang bertujuan untuk
merubah limbah dari salah satu industri menjadi bahan baku bagi industri
lainnya, dan
(3) Pengurangan dan penghilangan ketergantungan pada sumber energi yang
tidak terbarukan.
9
suatu kawasan pengembangan industri yang mengaplikasikan sistem produksi
tertutup. Kawasan industri yang demikian adalah bangun industri yang ideal.
Bangun industri yang ideal sangat sulit diwujudkan. Namun paling tidak,
pembentukan kawasan industri perlu dirancang secermat mungkin dengan
meminimumkan terjadinya limbah yang terbuang tanpa dapat dimanfaatkan.
Sebagai ilustrasi, gambar 11.2 menunjukkan pengembangan kawasan klauster
industri yang terkait, namun masih terdapat kemungkinan limbah yang tidak
termanfaatkan, sebagai contoh adalah kawasan industri gula.
1. Struktur pasar, usaha skala besar beroperasi dalam struktur pasar quasi-
monopoli, oligopolistik. Sebaliknya, usaha skala kecil dan rumah tangga
menghadapi iklim usaha yang snagat kompetitif.
2. Persaingan usaha, usaha berskala besar mempunyai hambatan masuk dari
pengusaha baru (barrier to entry) yang cukup tinggi. Sehingga, itensitas
persaingan yang dihadapi pengusaha besar relatif lebih rendah dari pada
10
pengusaha kecil dan rumah tangga yang memiliki tingkat “exitmarket”
yang cukup tinggi.
3. Permodalan, akumulasi modal lebih mudah dilakukan oleh pengusaha
besar dari pada pengusaha kecil dan rumah tangga. Alasannya, pengusaha
besar menikmati margin keuntungan yang lebih tinggi dari pada
pengusaha kecil dan rumah tangga, sehingga akumulasi modal sendiri
lebih besar peluangnya untuk dilakukan oleh industri besar daripada
industri kecil.
4. Ketimpangan struktur di sektor industri ini memunculkan permasalahan
konsentrasi dan konglomerasi yang banyak dituding melestarikan
dualisme perekonomian nasional. Untuk itu, rancang bangun industri harus
mampu mensinergikan antara pengembangan industri kecil dengan
pengembangan inudtri besar dalam satu bangun industrialisasi yang
kokoh. Pengalaman Taiwan, sebagai contoh, keterkaitan yang erat antara
pengusaha besar dengan pengusaha kecil melalui program subcontracting
terbukti mampu menciptakan sinergi yang menopang perekonomian
Taiwan (Kuncoro, 2000). Dengan demikian, bangun klauster industri yang
ideal adalah dnegan menyempurnakan bangun industri yang dipaparkan
dalam gambar 11.1 menjadi gambar 11.3.
11
Pada era orde baru, arah pengembangan industri besar dan kecil yang
terintegrasi ini pernah dilakukan dan terkenal dengan program kemitraan
“bapak-anak angkat”. Program ini pada dasarnya bertujuan untuk menghindari
terjadinya ketimpangan pendapatan antara pelaku usaha. Selain itu, program
ini sebenarnya memiliki beberapa keunggulan potensial, yaitu: (1) menjamin
terjadinya transfer teknologi dari pengusaha besar ke pengusaha kecil yang
memiliki keuntungan dalam peningkatan produktifitas, omzet, tingkat utilisasi,
kemampuan pemasaran, dan pengembangan sumberdaya manusia, (2)
menjamin terjadinya keterkiatan hulu-hilir (forward linkage), keterkaitan hilir-
hulu (backward linkage), modal ventura, ataupun subkontrak, dan (3)
menjamin terbentuknya kawasan sentra industri kecil yang terpadu dengan
kawasan industri besar.
12
penting untuk diperhatikan dalam menunjang terwujudnya kluster industri
yang memiliki keuntungan skala ekonomi baik secara internal maupun
eksternal (aglomerasi). Artinya, penentuan lokasi pengembangan industri
menjadi penting untuk dirancang secara cermat, sehingga pembangunan
industri dengan tingkat skala produksi yang ekonomis akan menyebar merata
baik antar pulau maupun antar daerah. Akhirnya, rancang bangun industri
secara nasional dapat diwujudkan dengan berdasarkan keunggulan
sumberdaya alam yang dimiliki oleh tiap daerah atau pulau dalam suatu
kluster industri yang terintegrasi secara optimal.
Sampai saat ini, tata kelola BUMN telah mengalami beberapa kali
perubahan status hukum dari perusahaan negara menjadi PERJAN, kemudian
PERUM dan yang terakhir menjadi PT (Perusahaan Terbatas). Perubahan status
hukum ini juga diikuti dengan perubahan lembaga yang membina BUMN.
Perubahan pola pembinaan, dimulai dari DEPKEU dan Dapartemen Teknis
hingga terakhir berada dalam pembinaan Kantor Kementrian BUMN. Namun,
dampak dari adanya perubahan tersebut kurang dirasakan manfaatnya, khususnya
jika dilihat dari peran utama BUMN sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD
1945, khususnya pasal 33 Ayat 2 dan 3. Disini, BUMN memiliki tiga peran
utama, yaitu: (1) menguasai cabang produksi yang penting bagi negara dan
menyangkut hidup orang banyak, (2) menguasai bumi, air, dan kekayaan alam
13
serta ruang angkasa, (3) memanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat.
14
distribusi dan transportasi. Bentuk jaringan ini dapat berupa kontrak kerja sama
dan kepemilikan komunal berupa koperasi, sehingga terjaminnya proses
penguatan kelembagaan yang memudahkan terjadinya transfer teknologi dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Keuntungan BUMN dari adanya
jaringan ini adalah:
15
"pedagang” daripada "industriawan" dengan lebih menggunakan pendekatan
“manajemen lobi” daripada “manajemen profesional".
Belajar dari pengalaman masa lalu, ide dasar “INDONESIA Inc"dapat dicoba
untuk diterapkan kembali. Namun, balutan konsep baru yang mencakup norma,
etika, dan aturan baik yang bersifat formal (UU dan produk hukurn lain),maupun
non-formal (konvensi),perlu dirumuskan secara cermat dan bijak untuk
mewujudkan impan tentang industri yang mandiri dan tangguh.
Pada masa orde baru, impian untuk mewujudkan Indonesia Inc telah
memunculkan dua kutub pemikiran yang berbeda dalarn pengembangan dan
penguasaan teknologi, yakni kelompok ekonom pada satu sisi dan kelompok
teknokrat (insinyur) yang dimotori Habibie pada sisi yang lainnya. Secara
organisasi, perbedaan pemikiran ini tercermin dari sering terjadinya tarik-ulur
anggaran antara Bappenas dan Depkeu di satu sisi (kubu ekonorn) dengan BPIS
(Badan Pengelola Industri Strategis)di sisi kubu lainya.
Pada masa itu, para ekonom memiliki pemikiran bahwa teknologi adalah
faktor eksternaI (exogenous factor) dalarn pembangunan ekonomi. Artinya,
perkembangan teknologi dunia (tidak peduli siapa yang menciptakannya) telah
menghasilkan "gudang" teknologi yang siap pakai oleh siapapun, sehingga
negara-negara berkembang, seperti Indonesia, tinggal memilih, mengambil, dan
memanfaatkan teknologi yang sudah tersedia di dunia. Dengan demikian,
penguasaan teknologi dapat dilakukan dengan tidak memerlukan biaya tinggi
(costless). Oleh karena itu, berkembanglah wacana alih teknologi dapat berjalan
secara otomatis sebagai konsekuensi dari serangkaian inovasi teknologi yang
terjadi negara-negara maju yang kemudian menyebar ke negara-negara
berkembang baik melalui FDI (Foreing Direct Investrnent), joint ventures, dan
16
juga licensing (Hobday, 1995). Dengan demikian, para ekonom saat itu percaya
bahwa penguasaan teknologi yang murah (costless) dapat diperoleh mekantsme
pasar internasional.
Dalam konstelasi adanya rivalitas dari dua kubu pemikiran tersebut diatas,
pemerintah indonesia di masa itu, dalam hal ini Soeharto, mengadopsi kebijakan
industrisialisasi rel ganda (dual track policy). Disatu sisi, industrisialisasi yang
dipelopori Habibie sebagai menteri negara ristek melalui indutri strategis. Dari
perspektif ini, peranan negara diposisikan sebagai komponen penting dalam
proses indutrisialisasi. Hal ini diterjemahkan dengan dibangunnya BUMNIS
(BUMN Industri Strategis) yang diharapkan ada spill ovr teknologi ke industri
lain. Dengan demikian BUMNIS dapat digunakan sebagai instrumen transformasi
industri dalam proses pengembangan teknologi. Di sisi lainnya, industralisasi
yang digagas oleh para ekonom melalui DIPERINDAG dan BAPPENAS yang
bersifat broad-based (berbasis luas), artinya sektor industri yang dikembangkan
berdasarkan keunggulan komperatif baik dalam negeri maupun luar negri. Karena
asumsi dasar yang digunakan berkaitan dengan kebutuhan teknologi dapat
diperoleh dari luar negeri (imported technology), maka arah industrialisasi
berkaitan dengan pengembangan teknologi dikendalikan dengan kebijakan makro
17
ekonomi, seperti kebijakan perdagangan (subtitusi impor atau orientasi ekspor),
kebijakan nilai tukar dan juga kebijakan investasi.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
19
didasarkan pada kemauan individu atau ke!ompok tertentu melainkan karena
adanya pertimbangan rasional-komunal.
3.2 Saran
20
DAFTAR RUJUKAN
21