Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

INDUSTRIALISASI DI INDONESIA: KONSEP DAN KEBIJAKAN


PEMBANGUNAN INDUSTRI

untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Industri


Yang dibina oleh Ermita Yusida, S.E., M,.BA.

Disusun Oleh Kelompok 8:

1. Hananul Basyaril H. (170432622550)


2. Hasib Ahmad Giri (170432622519)
3. Lusi Dwi Navikasari (170432622517)

Offering R

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
PROGAM STUDI S1 EKONOMI PEMBANGUNAN
2019
KATA PENGANTAR

           Puji dan syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rahmat-Nya , sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Ekonomi Koperasi “Industrialisasi Di Indonesia: Konsep dan Kebijakan
Pembangunan Industri”. Tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada
teman-teman atau pihak-pihak yang sudah membantu demi kelancaran makalah
ini.
Kami berharap supaya nantinya dapat menambah pengetahuan atau
wawasan bagi kami dan pembaca lainnya. Tentunya kami juga berharap, bahwa
teman-teman atau pembaca mendapat pengalaman dari makalah ini dan dapat
memperbaiki bentuk maupun isinya dengan lebih baik lagi.
Adanya kekurangan dalam makalah ini karena keterbatasan pengetahuan
maka dari itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Malang,  5 Januari 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................4
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................5
BAB II BAHASAN
2.1 Arah Kebijakan Industri Nasional..............................................................6
2.2 Kluster Sebagai Bangunan Industri Nasional.............................................8
2.3 Tata Kelola Kluster Industri.......................................................................13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................19
3.2 Saran............................................................................................................20
DAFTAR RUJUKAN...........................................................................................21
LAMPIRAN

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industrialisasi di Indonesia hingga saat ini telah menghasilkan adanya


transformasi ekonomi, yakni turunnya peranan sektor pertanian bersamaan dengan
peningkatan peranan sektor industri dan jasa dalam perekonornian. Namun, proses
industrialisasi hingga saat ini juga menghadapi berbagai permasalahan baik secara
institutional maupun struktural. Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997
makin mernperjelas adanya kelemahan dalam proses industrtalisasi yang terjadi
selama ini. Perm asalahan kelembagaan yang muncul bersamaan dengan
pengembangan industri nasional antara lain:
1.Tidak terintegrasinya kebijakan pengembangan teknologi dengan industrialisasi,
2.Lemahnya penyediaan kebutuhan teknologi, termasuk tidak jelasnya pola-pola
alih teknologi, manajemen, dan akses pasar dari fdi (Foreign direct investment)
bagi kepentingan industri lokal.
3.Pengembangan kualitas sumber daya manusia yang lemah,
4.Buruknya kaordinasi antara pemerintah dengan pelaku ekonomi,dan
5.Lemahnya iklim persaingan sehat sehingga menimbulkan adanya konsentrasi
pasar pada beberapa perusahaan.
Permasalahan kelembagaan di atas secara simultan memunculkan pula
permasalahan struktural dalam proses industrialisasi selama ini,antara lain:
1.Terbatasnya basis dan pasar produk ekspor,
2.Lemahnya industri komponen dan input antara,artinya sangattergantung pada
impor.
3.Tidak terjadinya pendalaman teknologi,
4.Rendahnya produktifitas industri kecil menengah dan tidakterintegrasi dengan
industri besar.
Nampaknya, akar permasalahan utama dalam industrialisasi adalah tidak
jelasnya visi dan orientasi kebijakanindustri yang mengakibatkan terjadinya
polarisasi dan dualisme dalam proses pembangunan secara keseluruhan. Sehingga,
fenomena yang muncul dalam industrialisasi adalah adanya perkembangan sektor
industri yang modern berdampingan dengan sektor pertanian yang tradisional.
Fakta yang lebih spesifik lagi adalah munculnya fenomena dualisme di sektor

4
manufaktur itu sendiri,yakni keberadaan industri rumah tangga yang bermodal
kecil dengan teknologi rendah berdampingan dengan keberadaan industri modern
yang bermodal besar dengan teknologi tinggi.
Implikasi utama dari ketidakjelasan visi dan orientasi industrialisasi bagi
pembangunan ekonomi nasional ini tidakhanya memunculkan permasalahan
redistribusi pendapatan, tetapi juga permasalahan daya saing, efisiensi dan
kemandirian. Ketidakjelasan arah pembangunan industri ini terjadi karena belum
adanya kesatuan pemahaman tentang sistem ekonomi Nasional,sehingga arah
kebijakan industrialisasi dirumuskansebagai bagian respon terhadap perubahan
eksternal atau ekonomi global semata. Oleh karena itu, arah pembangunan
industri seharusnya merupakan bagian dari sub-sistem ekonom nasional.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan Latar Belakang yang telah dipaparkan, berikut ini dipaparkan
Rumusan Masalah dalam makalah.
1) Bagaimanakah Arah Kebijakan Industri Nasional?
2) Bagaimanakah Kluster Sebagai Bangunan Industri Nasional?
3) Bagaimanakah Tata Kelola Kluster Industri?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan Rumusan Masalah yang telah dipaparkan, berikut ini
dipaparkan Tujuan Penulisan dalam makalah.
1) Menjabarkan Arah Kebijakan Industri Nasional.
2) Memahami Kluster Sebagai Bangunan Industri Nasional.
3) Mengetahui Tata Kelola Kluster Industri.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Arah Kebijakan Industri Nasional


Pada masa akhir Soekarno,intervensi pemerintah dalammenentukan arah
kebijakan industrialisasi cukup besar. Saat itu, pemerintah mengimplementasikan
kebijakan yang ketat terhadap modal asing dan pengendalian valuta asing secara
tetap (fixed exchange rate). Bahkan, orientasi industrialisasi diarahkan denganc
ara menasionalisasi berbagai perusahaan swasta dalam negeri maupun asing
menjadi perusahaan negara (BUMN). Perusahaan negara ini mendapatkan
perlakuan istimewa baik berupa subsidi kredit maupun kemudahan valuta asing.
Selain semangat nasionalisme, industrialisasi saat itu dikembangkan dengan
tujuan meningkatkan peranan BUMN sebagai motor pembangunan ekonomi.
Arah kebijakan pembangunan ekonomi, termasuk juga industrialisasi,
mengalami perubahan sejak awal pemerintahan Soeharto. Kekurangan modal
untuk membiayai pembangunan ekonomi merupakan alasan utama bagi
pemerintahan orde baru untuk menggalang penanaman modal baik domestik
maupun luar negeri, melalui UU no.1 tahun 1967. Perkembangan selanjutnya,
peningkatan investasi asing, khususnya dari Jepang,berkembang secara pesat
sebagai modal pembangunan Indonesia.Perkembangan ini memicu semangat
nasionalisme untuk menolak modal asing secara besar-besaran dalam
pembangunan ekonom iIndonesia,dan puncaknya terjadi ketika munculnya
peristiwa Malari di tahun 1974.
Setelah kejadian itu,orientasi industrialisasi beralih kembali menjadi
bersifat inward looking dimana pemerintah kembali menjadikan BUMN sebagai
ujung tombak industrialisasi. Kebijakan yang bersifat proteksionis ini dapat
dimplementasikan secara baik oleh pemerintah karena adanya berkah bonanza
sebagai akibat melonjaknya harga BBM dunia. Berkah tersebut mendorong
pemerintah mempercepat proses industrialisasi dengan membangun proyek-
proyek raksasa di bidang industri berat. Ketika itu, industrialisasi dikembangkan
dengan memberlakukan prosentase kandungan lokal tertentu untuk menghidari
peningkatan impor input antara, dan sebagai gantinya diharapkan industri lokal
yang menghasilkan produk subtitusinya dapat berkembang.

Arah kebijakan industrialisasi diatas mengalami perubahan yang bertolak


belakang, ketika harga BBM dunia anjlok di tahun 80-an. Saat itu, pemerintah
mengalami kesulitan modal untuk membiayai industrialisasinya, sehingga,
pemerintah merubah perlakuannya terhadap investasi asing. Sejak itu,kebijakan

6
industrialisasi lebih diwarnai dengan pelonggaran masuknya investasi asing.
Bahkan, pada tahun 90-an,dan puncaknya pada masa setelah krisis ekonomi 1997,
investor asing diperbolehkan memiliki sahamnya 100 persen. Pada masa
sebelumnya,hal itu tidak diperkenankan karena investor asing diharuskan bermitra
dengan investor lokal dengan bentuk joint venture. Selanjutnya, Bersamaan
hilangnya berkah minyak tersebut,konstelasi perdagangan bebas duniapun
berubah. Perekonomian Indonesia semakin terintegrasi dengan berbagai pakta
perdagangan bebas baik secara regional maupun internasional. Akibatnya,
kebijakan local contents semakin tidak relevan lagi dalam kebijakan
industrialisasi. Sejak itu, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang sangat
liberal (terbuka) bagi investor asing yang ditunjukkan dengan disahkannya UU
Penanaman Modal tahun2007.
Dalam konstelasi sering berubahnya atau ketidakjelasan arah kebijakan
industrialisasi yang hendak dicapai,industrialisasi di Indonesia saat ini belum
mampu mengubah keunggulan komperatif secara dinamis dari natural endowment
kepada brain-made endowment yang merupakan kunci bagi keberlanjutan
pertumbuhan ekonomi. Bahkan, pembangunan industri memunculkan kelemahan
baik bersifat institusional dan juga struktural, seperti adanya dualisme dalam
pembangunan industri.
Oleh karena itu, arah kebijakan pembangunan industrise harusnya
diposisikan secara tepat dalam sistem ekonominasional, khususnya yang berkaitan
dengan tujuan utamanya yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya,
pembangunan sektor industri diharapkan dapat memperkokoh kemandirian
ekonomi yang selanjutnya memperkokoh persatuan bangsa. Untuk itu, orientasi
pembangunan industri nasional yang sesuai dengan tujuan sistem ekonoml
nasional menjadi penting untuk dirumuskan.
Disini, rancang bangun industri, khususnya keterkaitan antar sektor
produksi, memiliki peranan yang krusial dalam sistem ekonomi nasional.
Berdasarkan UUD 1945, terutama dikaitkan dengan penjelasan Pasal 33, peran
serta masyarakat dalam aktivitas ekonomi di Indonesia direpresentasikan oleh tiga
pelaku ekonomi yakni
(i)Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/BUMD).
(ii)Usaha swasta,dan
(ii) koperasi.
Ketiga pelaku ekonomi tersebut melakukan Interaksi dan interrelasi
sehingga membentuk satu kesatuan pcrekonomian nasional. Berkaitan dengan
keterkaitan produk yang dihasilkan. karakterstik produksi yang dilakukan oleh
ketiga pelaku ekonomi tersebut akan sangat mempengaruhi pertumbuhan

7
ekonomi dan juga sekaligus pola distribusi hasil pembangunan. Jika salah satu
dari pelaku ekonomi melakukan kegiatan produksi dengan tidak effisien, maka
ketidakeflisienan tersebut akan menyebar pada aktivitas produksi dan pelaku
ekonomi yang lainnya. Sebagai ilustrasi, koperasi kopra m em produksi secara
tidak effisien,maka usaha swasta minyak goreng akan memproduksi juga dengan
tidak effisien. Oleh karena itu,rancang bangun industri menjadi penting untuk
dirumuskan yang kemudian dijadikan acuan dalam mengarahkan kebijakan
pengembangan industri.
Kemudian, penerapan tata kelola baik di tingkat publik maupun korporasi
bertujuan untuk meningkatkan daya saing (competitiveness) suatu bangsa secara
berkesinambungan. Tata kelola industri yang perlu mendapat perhatian adalah
bagaimana kebijakan pengembangan teknologi dapat diintegrasikan secara baik
dalam proses industrialisasi, sehingga (i)spill over teknologi dari adanya FDI
dapat dioptimalkan, (ii)terjadinya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
(iii)iklim persaingan sehat dapat diwujudkan. Tata kelola korporasi adalah fungsi
dari sistem perekonomian nasional, artinya pengambilan keputusan setiap pelaku
ekonomi sangal tergantung pada sistem perekonomian nasional. Oleh karena
itu,menjadi penting untuk merumuskan tata kelola industry yang sesuai dengan
system ekonomi nasional sebagai ruang lingkup gerak setiap pelaku ekonomi
dalam mewujudkan industry dengan daya saing yang tinggi.

2.2 Kluster Sebagai Bangunan Industri Nasional

Era globalisasi ekonomi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan


teknologi, mnegakibatkan peningkatan tingkat persaingan, dan perubahan
lingkungan usaha. Dunia usaha menghadapi berbagai permasalahan, antara lain:

(1) Cepat usangnya fasilitas atau teknik produksi,


(2) Semakin singkatnya masa edar produk, dan
(3) Semakin rendahnya margin keuntungan

Dalam melaksanakan proses pembangunan industri, keadaan tersebut merupakan


kenyataan yang harus dihadapi serta harus menjadi pertimbangan yang
menentukan dalam setiap kebijakan yang akan dikeluarkan, dan sekaligus
merupakan paradigma baru yang harus dihadapi oleh negara manapun dalam
melaksanakan proses industrialisasi negaranya.

Tantangan industrialisasi dalam globalisasi ekonomi dunia adalah


peningkatan daya saing baik di pasar domestik dan juga internasional.peningkatan

8
daya siang yang berkelanjutan dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan
pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya yang dimiliki. Berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya aklam secara optimal, penyusunan bangun industri
harus mempertimbangkan tiga elemen utama, antara lain:

(1) Membuat suatu siklus material yang tertutup dan meminimalkan lembah
industri yang merusak lingkungan
(2) Mengupayakan terjadinya proses dematerialisasi yang bertujuan untuk
merubah limbah dari salah satu industri menjadi bahan baku bagi industri
lainnya, dan
(3) Pengurangan dan penghilangan ketergantungan pada sumber energi yang
tidak terbarukan.

Gambar 11.1 mengilustrasikan bangun industri yang dirancang berdasarkan


keterkaitan antar industri dengan pemanfaatan sumber daya secara optimal dan
pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing. Dalam bangun industri yang
tetutup ini, prinsip simbolis diimplementasikan secara optimal, artinya limbah
suatu industri diolah menjadi bahan baku industri lain. Proses simbolis ini akan
sangat efektif jika komponen-komponen industri tersebut ditata dalam suatu
kawasan industri terpadu (eco-industrial clauster). Dengan demikian, terbentuklah

9
suatu kawasan pengembangan industri yang mengaplikasikan sistem produksi
tertutup. Kawasan industri yang demikian adalah bangun industri yang ideal.

Bangun industri yang ideal sangat sulit diwujudkan. Namun paling tidak,
pembentukan kawasan industri perlu dirancang secermat mungkin dengan
meminimumkan terjadinya limbah yang terbuang tanpa dapat dimanfaatkan.
Sebagai ilustrasi, gambar 11.2 menunjukkan pengembangan kawasan klauster
industri yang terkait, namun masih terdapat kemungkinan limbah yang tidak
termanfaatkan, sebagai contoh adalah kawasan industri gula.

Selain daya saing, permasalahan utama dalam industrialisasi di Indonesia saat


ini adalah ketimpnagan struktur disektor industri, yakni antara pengusaha berskala
usaha besar dengan pengusaha berskala kecil. Ketimpangan struktur tersebut
dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain (Kuncoro, 2000):

1. Struktur pasar, usaha skala besar beroperasi dalam struktur pasar quasi-
monopoli, oligopolistik. Sebaliknya, usaha skala kecil dan rumah tangga
menghadapi iklim usaha yang snagat kompetitif.
2. Persaingan usaha, usaha berskala besar mempunyai hambatan masuk dari
pengusaha baru (barrier to entry) yang cukup tinggi. Sehingga, itensitas
persaingan yang dihadapi pengusaha besar relatif lebih rendah dari pada

10
pengusaha kecil dan rumah tangga yang memiliki tingkat “exitmarket”
yang cukup tinggi.
3. Permodalan, akumulasi modal lebih mudah dilakukan oleh pengusaha
besar dari pada pengusaha kecil dan rumah tangga. Alasannya, pengusaha
besar menikmati margin keuntungan yang lebih tinggi dari pada
pengusaha kecil dan rumah tangga, sehingga akumulasi modal sendiri
lebih besar peluangnya untuk dilakukan oleh industri besar daripada
industri kecil.
4. Ketimpangan struktur di sektor industri ini memunculkan permasalahan
konsentrasi dan konglomerasi yang banyak dituding melestarikan
dualisme perekonomian nasional. Untuk itu, rancang bangun industri harus
mampu mensinergikan antara pengembangan industri kecil dengan
pengembangan inudtri besar dalam satu bangun industrialisasi yang
kokoh. Pengalaman Taiwan, sebagai contoh, keterkaitan yang erat antara
pengusaha besar dengan pengusaha kecil melalui program subcontracting
terbukti mampu menciptakan sinergi yang menopang perekonomian
Taiwan (Kuncoro, 2000). Dengan demikian, bangun klauster industri yang
ideal adalah dnegan menyempurnakan bangun industri yang dipaparkan
dalam gambar 11.1 menjadi gambar 11.3.

11
Pada era orde baru, arah pengembangan industri besar dan kecil yang
terintegrasi ini pernah dilakukan dan terkenal dengan program kemitraan
“bapak-anak angkat”. Program ini pada dasarnya bertujuan untuk menghindari
terjadinya ketimpangan pendapatan antara pelaku usaha. Selain itu, program
ini sebenarnya memiliki beberapa keunggulan potensial, yaitu: (1) menjamin
terjadinya transfer teknologi dari pengusaha besar ke pengusaha kecil yang
memiliki keuntungan dalam peningkatan produktifitas, omzet, tingkat utilisasi,
kemampuan pemasaran, dan pengembangan sumberdaya manusia, (2)
menjamin terjadinya keterkiatan hulu-hilir (forward linkage), keterkaitan hilir-
hulu (backward linkage), modal ventura, ataupun subkontrak, dan (3)
menjamin terbentuknya kawasan sentra industri kecil yang terpadu dengan
kawasan industri besar.

Namun dalam evaluasi pelaksanaannya, program kemitraan ini mengalami


banyak keterbatasan, jika tidak dapat dikatakan gagal. Pada masa itu,
pelaksanaan program ini tidak dirancang sebagai dasar utama dalam
menentukan arah kebijakan industrialisasi, tetapi terkesan lebih diposisikan
sebagai program “penyeimbang” terhadap tuntutan kelompok egaliter.
Akhirnya, bersamaan dengan berakhirnya orde baru, program kemitraan
semacam ini semakin tidak populer lagi bagi dasar perumusan kebijakan
industrialisasi nasional. Namun, sebenarnya bukan berarti program ini tidak
berguna sama sekali, karena program kemitraan yang direncanakan secara
sengaja dan cermat tetap diperlukan untuk menghadapi globalisasi yang
semakin deras.

Disisi lain, Indonesia memiliki berbagai macam sumberdaya alam yang


berbeda-beda antar satu wilayah dengan wilayah lainnya. Oleh karena itu,
pengembangan kluster industri akan memberikan manfaat seperti yang
diharapkan, jika diimplementasikan berdasarkan rancang bangun industri yang
mengeksploitasi keunggulan-keunggulan geografis. Dengan demikian, kluster
pengembangan industri dibangun berdasarkan keunggulan sumber daya yang
dimiliki disetiap daerah atau kawasan. Sehingga, disetiap daerah akan
memiliki prioritas pengembangan produk industri yang berbeda. Sebagai
konsekuensinya, infrastruktur perdagangan antar daerah atau pulau menjadi

12
penting untuk diperhatikan dalam menunjang terwujudnya kluster industri
yang memiliki keuntungan skala ekonomi baik secara internal maupun
eksternal (aglomerasi). Artinya, penentuan lokasi pengembangan industri
menjadi penting untuk dirancang secara cermat, sehingga pembangunan
industri dengan tingkat skala produksi yang ekonomis akan menyebar merata
baik antar pulau maupun antar daerah. Akhirnya, rancang bangun industri
secara nasional dapat diwujudkan dengan berdasarkan keunggulan
sumberdaya alam yang dimiliki oleh tiap daerah atau pulau dalam suatu
kluster industri yang terintegrasi secara optimal.

2.3 Tata Kelola Kluster Industri

Rancangan bangun industri yang baik tidak akan memberikan dampak


yang positif bagi kesejahteraan masyarakat, jika tidak diikuti dengan penataan
kelembagaan secara baik. Berkaitan dengan industrialisasi, dua aspek utama
penataan kelembagaan yang perlu mendapat perhatian adalah (1) mengoptimalkan
peranan BUMN dalam proses industrialisasi, (2) mengatur pengembangan dan
penguasaan teknologi, termasuk didalamnya menciptakan iklim persaingan yang
sehat, dan insentif keuangan dalam proses industrialisasi.

1. Optimalisasi Peran BUMN

Sampai saat ini, tata kelola BUMN telah mengalami beberapa kali
perubahan status hukum dari perusahaan negara menjadi PERJAN, kemudian
PERUM dan yang terakhir menjadi PT (Perusahaan Terbatas). Perubahan status
hukum ini juga diikuti dengan perubahan lembaga yang membina BUMN.
Perubahan pola pembinaan, dimulai dari DEPKEU dan Dapartemen Teknis
hingga terakhir berada dalam pembinaan Kantor Kementrian BUMN. Namun,
dampak dari adanya perubahan tersebut kurang dirasakan manfaatnya, khususnya
jika dilihat dari peran utama BUMN sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD
1945, khususnya pasal 33 Ayat 2 dan 3. Disini, BUMN memiliki tiga peran
utama, yaitu: (1) menguasai cabang produksi yang penting bagi negara dan
menyangkut hidup orang banyak, (2) menguasai bumi, air, dan kekayaan alam

13
serta ruang angkasa, (3) memanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat.

Berdasarkan peran tersebut, BUMN dalam sistem ekonomi Nasional


diposisikan sebagai pelaku ekonomi yang strategis dalam pembangunan ekonomi.
Jika demikian, maka pertanyaannya adalah bagaimanakah seharusnya BUMN
dibangun. Pola pembangunan BUMN dapat dibagi dalam empat tahapan (Gambar
11.4). Pertama, prinsip efisiensi adalah syarat mutlak untuk dijadikan dasar
pengelolaan BUMN. Dengan demikian, bentuk produk barang dan jasa yang
ditawarkan oleh BUMN kepada masyarakat adalah produk-produk yang
berkualitas prima. Artinya, masyarakat dijamin tidak akan membayar “lebih” dari
suatu produk jasa ataupun barang yang diproduksi secara tidak efisien. Dengan
demikian, kegiatan operasional sehari-hari BUMN benar-benar menjalankan
usaha sesuai kaidah bisnis swasta, seperti peningkatan efisiensi kerja dan value
serta restrukturisasi, yang bertujuan untuk menyehatkan struktur permodalam dan
manajemen BUMN. Pada titik pencapaian inilah, BUMN diharapkan dapat
beroperasi pada skala produksi yang ekonomis (economic of scale).

Kedua, skala produksi yang ekonomis dapat dipertahankan secara


berkelanjutan, jika BUMN dapat membangun jaringan dengan pengusaha lokal
dengan skala usaha kecil menengah (UKM) baik sebagai pemasok bahan baku,

14
distribusi dan transportasi. Bentuk jaringan ini dapat berupa kontrak kerja sama
dan kepemilikan komunal berupa koperasi, sehingga terjaminnya proses
penguatan kelembagaan yang memudahkan terjadinya transfer teknologi dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Keuntungan BUMN dari adanya
jaringan ini adalah:

1. Terjmainnya ketersediaan sumberdaya dari domestik atau dengan kata lain


penurunan ketergantungan dari impor,
2. Terwujudnya peran BUMN sebagai peaku strategis bagi pembangunan
ekonomi, karena dengan terbentuknya jaringan ini berarti BUMN
berfungsi sebagai: (1) perintis usaha dengan sasaran utama peningkatan
produktifitas, (2) pengendalian fluktuasi ekonomi sebagai akibat kekuatan
mekanisme pasar yang berlebih, dan (3) instrumen utama kebijakan
redistribusi pendapatan.

Selanjutnya, upaya yang perlu diwujudkan adalah menciptakan kekompakan


langkah dalam suatu kesatuan negara dan bangsa untuk bersama-sama
menciptakan entitas BUMN yang solid, pada dan kompetitif. Untuk itu,
diperlukannya adanya sinergi antar BUMN menjadi suatu korporasi di hampir
semua bidang operasional, pengadaan bahan baku, pendanaan, penjaminan,
asuransi, pemasaran, distribusi dan transportasi. Bentuk sinergi tersebut dapat
diwujudkandalam bentuk kontrak kerjasama dagang, struktur kepemilikan
silang dan hubungan pendanaan sehingga korporasi ini terkait dalam jaringan
yang kokoh, baik secara horisontal maupun vertikal. Dengan terbentuknya
sinergi antar BUMN ini, industrialisasi dapat diwujudkan tumbuhnya industri
dengan daya saing yang tinggi, bahkan ditingkat internasional sekalipun

Perlu dicatat disini bahwa ide pengembangan BUMN diatas pernah


dilakukan pada masa orde baru yang terkenal dengan nama “INDONESIA Inc”.
Namun ternyata ide tersebut menjadi kurang berhasil, jika tidak dapat dikatakan
gagal, karena dua alasan utama, yaitu:

1. Korporasi di Indonesia pada waktu itu didominasi oleh kelompok bisnis


pemburu rente (rent-seeking), dimana umumnya mereka lebih berperan sebagai

15
"pedagang” daripada "industriawan" dengan lebih menggunakan pendekatan
“manajemen lobi” daripada “manajemen profesional".

2. Adanyanya pengingkaran, bahkan penghianatan, terhadap ide dasar


pembentukan INDONESIA Inc., akibatnya korporasi yang terbentuk bukan
merupakan kesatuan yang kuat dan kokoh, namun hanya merupakan suatu
bangunan keropos yang rentan dan krisis.

Belajar dari pengalaman masa lalu, ide dasar “INDONESIA Inc"dapat dicoba
untuk diterapkan kembali. Namun, balutan konsep baru yang mencakup norma,
etika, dan aturan baik yang bersifat formal (UU dan produk hukurn lain),maupun
non-formal (konvensi),perlu dirumuskan secara cermat dan bijak untuk
mewujudkan impan tentang industri yang mandiri dan tangguh.

2. Optimalisasi Pengernbangan dan Penguasaan Teknologi

Pada masa orde baru, impian untuk mewujudkan Indonesia Inc telah
memunculkan dua kutub pemikiran yang berbeda dalarn pengembangan dan
penguasaan teknologi, yakni kelompok ekonom pada satu sisi dan kelompok
teknokrat (insinyur) yang dimotori Habibie pada sisi yang lainnya. Secara
organisasi, perbedaan pemikiran ini tercermin dari sering terjadinya tarik-ulur
anggaran antara Bappenas dan Depkeu di satu sisi (kubu ekonorn) dengan BPIS
(Badan Pengelola Industri Strategis)di sisi kubu lainya.

Pada masa itu, para ekonom memiliki pemikiran bahwa teknologi adalah
faktor eksternaI (exogenous factor) dalarn pembangunan ekonomi. Artinya,
perkembangan teknologi dunia (tidak peduli siapa yang menciptakannya) telah
menghasilkan "gudang" teknologi yang siap pakai oleh siapapun, sehingga
negara-negara berkembang, seperti Indonesia, tinggal memilih, mengambil, dan
memanfaatkan teknologi yang sudah tersedia di dunia. Dengan demikian,
penguasaan teknologi dapat dilakukan dengan tidak memerlukan biaya tinggi
(costless). Oleh karena itu, berkembanglah wacana alih teknologi dapat berjalan
secara otomatis sebagai konsekuensi dari serangkaian inovasi teknologi yang
terjadi negara-negara maju yang kemudian menyebar ke negara-negara
berkembang baik melalui FDI (Foreing Direct Investrnent), joint ventures, dan

16
juga licensing (Hobday, 1995). Dengan demikian, para ekonom saat itu percaya
bahwa penguasaan teknologi yang murah (costless) dapat diperoleh mekantsme
pasar internasional.

Sebaliknya, para teknorat percaya bahwa teknologi merupakan faktor


Internal (encdogenous factor) dari suatu proses pernbangunan ekonorni. OIeh
karena itu, penguasaan teknologi haruslah direncanakan secara sengaja (by
design), matang dan konsisten. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada tahap awal
industrialisasi, pemanfaatan teknologi yang tersedia di"gudang" dunia itu memang
penting. Namun, untuk memenuhi kebutuhan teknologi pada proses industrialisasi
selanjutnya, pengembangan teknologi harus dilakukan secara mandiri selama
proses pembangunan ekonomi. Dengan demikian, alih teknologi hanyalah titik
awal dari proses peningkatan kemampuan teknologi (technological capability
development) yang kemudian dengan proses adaptasi, asimilasi dan kreasi
teknologi. Proses lanjutan dari alih teknologi disebut dengan pembelajaran
teknologi (technological learning), dimana tahapan pembelajaran tersebut
membutuhkan adanya perencanaan yang disengaja, dan biaya yang mahal (costly)

Dalam konstelasi adanya rivalitas dari dua kubu pemikiran tersebut diatas,
pemerintah indonesia di masa itu, dalam hal ini Soeharto, mengadopsi kebijakan
industrisialisasi rel ganda (dual track policy). Disatu sisi, industrisialisasi yang
dipelopori Habibie sebagai menteri negara ristek melalui indutri strategis. Dari
perspektif ini, peranan negara diposisikan sebagai komponen penting dalam
proses indutrisialisasi. Hal ini diterjemahkan dengan dibangunnya BUMNIS
(BUMN Industri Strategis) yang diharapkan ada spill ovr teknologi ke industri
lain. Dengan demikian BUMNIS dapat digunakan sebagai instrumen transformasi
industri dalam proses pengembangan teknologi. Di sisi lainnya, industralisasi
yang digagas oleh para ekonom melalui DIPERINDAG dan BAPPENAS yang
bersifat broad-based (berbasis luas), artinya sektor industri yang dikembangkan
berdasarkan keunggulan komperatif baik dalam negeri maupun luar negri. Karena
asumsi dasar yang digunakan berkaitan dengan kebutuhan teknologi dapat
diperoleh dari luar negeri (imported technology), maka arah industrialisasi
berkaitan dengan pengembangan teknologi dikendalikan dengan kebijakan makro

17
ekonomi, seperti kebijakan perdagangan (subtitusi impor atau orientasi ekspor),
kebijakan nilai tukar dan juga kebijakan investasi.

Pengalaman selama lni menunjukan babwa dual track policy telah


melahirkan kondisi yang justru memperlemah keterkaitan antar lembaga penyedia
teknologi, seperti BPPT dan LIPI yang berada dibawah Kementrian Negara
RISTEK dengan BPPIP (Badan Penelitian dan Pengembangan Industri dan
Perdagangan), Balai Besar dan Balai Kecil yang berada di bawah DEPERINDAG.
Disamping itu, keterkaitan antara lembaga penyedia teknologi dengan industri
sebagal pengguna teknologi. Akhirnya, dual track pollcy mernunculkan adanya
inefisiensi alokasl sumber daya nasional selama proses Industrialisasi.

Belajar dari pengalaman diatas, pengembangan teknologi, seharusnya


membutuhkan adanya perencanaan yang benar-benar dapat ntempertemukan
pengembangan penyediaan teknologi dengan perkembangan kebutuhan industri
terhadap teknologi

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Proses industrialisasi yang terintegrasi dengan sistem ekonomi nasional


diharapkan dapat memunculkan industri yang tidak saja memiliki daya saing yang
tinggi, tetapi tuga memberikan manfaat bagi segenap masyarakat melalui
peningkatan sumber daya manusia. Untuk itu, perencanaan industrialisasi jangka
panjang menjadi penting tuntuk dilakukan dengan lebih memperhatikan tentang
(i) rancang bangun industri yang ingin dicapai dan (ii) arah perbaikan tata ketola
industri (corporare governace).

Mengingat luasnya wilayah dan beraneka ragamnya sumber daya alam


yang dimiliki Indonesia, konsep kluster Industri dapat digunakan sebagai dasar
membangun struktur industri dimasa depan. Komponen kunci dari kluster industri
yang perlu dipertimbangkan adatah keterkaitan antara pengembangan industri
besar dengan industri kecil menengah (IKM). sehingga diharapkan dapat
memunculkan struktur industri yang keunggulan komperatif dan sekaligus
kompetitif. Bangun struktur industri yang memiliki daya saing tinggi berdampak
optimal bagi keseahteraan masyarakat, jika tidak tbikuti dengan penataan
kelembagaan yang terencana secara baik. Penataan kelembagaan memerlukan
adanya fokus perhatian kepada dua upaya utama, yakni: (i) optimalisasi pemnan
BUMN dalam proses (ii) optimalisasi pengembangan dan penguasaan teknologi,
termasuk didalamnya menciptakan persaingan yang sehat dan insentif keuangan
dalam proses industrialisasi.

Akhirnya dan yang lebih penting lagi, ketika rumusan konsep


pembangunan jangka panjang sudah menjadi kesepakatan, maka dalam
implementasinya, semua stakeholder harus merasa terikat dengan kelembagaan
(aturan, undang-undang dan organisasi) yang telah disepati. Narnun, ketika
konsep kelembagaan jangka panjang dirasakan mulai tidak sesuai dengan
lingkungan yang berubah, maka perubahan konsep kelembagaan bukan

19
didasarkan pada kemauan individu atau ke!ompok tertentu melainkan karena
adanya pertimbangan rasional-komunal.

3.2 Saran

Untuk mengembangkan dunia industri di Indonesia sebaiknya negara


Indonesia harus melaksanakan program yang khusus dilakukan untuk dapat
menambah penggunaan teknologi mesin yang lebih efisien, meningkatkan
kualistas SDM, dan pemerintah juga harus memikirkan alternatif atau solusi
dalam pengembangan industri di Indonesia, agar kedepannya industri di Indonesia
dapat berkembang dnegan pesat dan maju serta mampu bersaing dengan industri-
industri di dunia.

20
DAFTAR RUJUKAN

Santoso, Dwi Budi. 2018. Ekonomi Industri. Malang: UB Press.

21

Anda mungkin juga menyukai