Anda di halaman 1dari 20

STOMATITIS APHTOSA

Muhammad Isafaruddin Susanto, Nancy Sendra

A. PENDAHULUAN
Rongga mulut merupakan salah satu bagian tepenting dalam proses
pengolahan makanan. Rongga mulut berperan sebagai pintu masuk bahan -
bahan makanan yang diperlukan oleh tubuh manusia. Sebagai pintu masuk
bahan makanan, rongga mulut tentunya tak dapat terhindar dari kontaminasi
benda - benda asing yang masuk bersama makanan sehingga rentan terhadap
timbulnya lesi. Salah satu lesi yang mucul pada rongga mulut yaitu Recurrent
Apthous Stomatitis.1
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) yang dikenal dengan istilah apthae atau
cancer sores, merupakan suatu lesi ulserasi yang terjadi secara kambuhan pada
mukosa mulut tanpa adanya tanda-tanda suatu penyakit lainnya. Gejala awal SAR
bisa dirasakan penderita sebagai rasa sakit dan ditandai dengan adanya ulser tunggal
atau multiple yang terjadi secara kambuhan pada mukosa mulut, berbentuk bulat atau
oval, batas jelas, dengan pusat nekrotik berwarna kuning-keabuan dan tepi berwarna
kemerahan. 2
10
Stomatitis apthosa rekuren (SAR) paling sedikit terjadi % dari jumlah
populasi, dan prevalensi tertinggi mencapai 25% yang banyak terjadi pada individu
yang bukan perokok. RAS banyak terjadi pada negara berkembang3,8. Sebagian
besar pasien menderita stomatitis apthosa rekuren minor sebanyak 80%. 3
Prevalensi SAR pada populasi dunia bervariasi antara 5% sampai 66% [3].
SAR paling sering terjadi pada dekade kedua dan ketiga kehidupan seseorang [4]. Hal
ini terbukti pada penelitian Abdullah yang menyebutkan bahwa terjadi prevalensi
SAR paling tinggi pada usia 20-29 tahun, yaitu sebesar 36,28%. Berdasarkan jenis
kelamin SAR lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki pernyataan
ini dukung oleh penelitian Abdullah yang didapatkan banyaknya penderita SAR
berjenis kelamin perempuan, yaitu sebesar 55,4%, sedangkan pada pria hanya sebesar
44,6%. 2
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI RONGGA MULUT
Rongga Oral adalah jalan masuk menuju sistim pencernaan dan berisi
organ aksesori yang berfungsi dalam proses awal pencernaan. Rongga
vestibulum (Bukal) terletak di antara gigi dan bibir dan pipih sebagai batas
luarnya. Rongga oral utama di batasi gig dan gusi di bagian depan, palatum
lunak dan keras di bagian atas, lidah di bagian bawah, dan orofaring di bagian
belakang. 4

Gambar 1. Anatomi Rongga Mulut 5

1. Bibir tersusun dari otot rangka (orbicularis mulut) dan jaringan ikat.
Organ ini berfungsi untuk menerima makanan dan produksi wicara.
a. Permukaan luar bibir di lapisi kulit yang mengandung folikel
rambut, kelenjar keringat, serta kelenjar sebasea.
b. Area transisional memiliki epidermis transparan. Bagian ini tampak
merah karena di lewati oleh banyak kapiler yang dapat terlihat.
c. Permukaan dalam bibir adalah membrane mukosa. Bagian frenulum
labia meletakan membrane mukosa pada gusi di garis tengah.
2. Pipi mengandung otot buksinator mastikasi. lapisan epithelial pipih
merupakan subjek abrasi dan sel secara konstan terlepas untuk kemudian
di ganti dengan sel-sel baru yang membelah dengan cepat.
3. Lidah di letakan pada dasar mulut oleh frenulum lingua. Lidah berfungsi
untuk menggerakan makanan saat di kunyah atau di telan, untuk
pengecapan, dan dalam produksi wicara.
a. Otot-otot ekstrinsik lidah berawal pada tulang dan jaringan di luar
lidah serta berfungsi dalam pergelakan lidah secara keseluruhan.
b. Otot-otot intrinsik lidah memiliki serabut yang menghadap ke
berbagai arah untuk membentuk sudut satu sama lain. Ini memberikan
mobilitas yang besar pada lidah.
c. Papilla adalah elevasi jaringan mukosa dan jaringan ikat pada
permukaan dorsal lidah. Papilla-papila ini menyebakan tekstur lidah
menjadi kasar.
(1) Papilla fungiformis dan papilla sirkumvalata memiliki kuncup-
kuncup pengencap.
(2) Sekresi berair dari kelenjar Von Ebner, terletak di otot lidah,
bercampur dengan makanan pada permukaan lidah dan membantu
pengcapan rasa.
d. Tonsil-tonsil lingua adalah agregasi jaringan limfoid pada sepertiga
bagian belakang lidah.
4. Kelenjar saliva mensekresi saliva ke dalam rongga oral. Saliva terdiri dari
cairan encer yang menganduk enzim dan cairan kental yang mengandung
mukmus.
a. Ada tiga pasang kelenjar saliva.
(1) Kelenjar parotid adalah kelenjar Saliva terbesar, terletak agak ke
bawah dan di depan telinga dan membuka melalui duktus parotid
(Stensen) menuju suatu elevasi kecil (papilla) yang terletak
berhadapan dengan gigi molar kedua pada kedua sisi.
(2) Kelenjar Submaksillar (submandibular) kurang lebih sebesar
kacang kenari dan terletak di permukaan dalam mendibula serta
membuka melalui duktus Wharton menuju ke dasar mulut pada
kedua sisi frenulum lingua.
(3) Kelenjar Sublingua terletak didasar mulut dan membuka melalui
duktus sublingua kecil menuju kedasar mulut.
b. Komposisi saliva. Saliva terutama terdiri dari sekresi serosa, yaitu
98% air dan mengandung enzim amylase serta berbagai jenis ion
(natrium, klorida, bikarbonat, dan kalium), juga sekresi mukus yang
lebih kental dan lebih sedikit yang mengandung glicoprotein (musin),
ion, dan air.
c. Fungsi saliva.
(1) Saliva melarutkan makanan secara kimia untuk pengecapan
rasa.
(2) Saliva melembabkan dan melumasi makanan sehingga dapat
ditelan. Saliva juga memberikan kelembaban pada bibir dan lidah
sehingga terhindar dari kekeringan.
(3) Amilase pada saliva mengurangi zat tepung menjadi
polisakarida dan maltosa, disakarida.
(4) Zat buangan seperti asam urat dan urea, serta berbagai zat lain
seperti obat, virus, dan logam, diekskresi kedalam saliva.
(5) Zat antibakteri dan antibody dalam saliva berfungsi untuk
memebersihkan rongga oraldan membantu memelihara kesehatan
oral serta mencegah kerusakan gigi. 4
C. DEFINISI STOMATITIS APHTOSA REKUREN
Stomatitis apthosa rekuren (SAR) juga dikenal dengan nama aphthae /
canker sores / reccurent aphthous ulcerations (RAU). SAR merupakan suatu
peradangan jaringan lunak mulut yang ditandai oleh ulkus yang rekuren tanpa
disertai gejala penyakit lain.6
D. EPIDEMIOLOGI
Insidens SAR terjadi pada 2-66% dari populasi di dunia,12 biasanya
mulai pada masa anak-anak (80% pasien berusia kurang dari 30 tahun) dan
berkurang frekuensi dan keparahannya sejalan dengan usia. Penelitian cross-
sectional menyatakan SAR lebih umum terjadi pada perempuan, individu
berusia di bawah 40 tahun, ras Kaukasia, bukan perokok, dan individu dari
status sosioekonomi tinggi. SAR banyak terjadi pada negara berkembang.
Sebagian besar pasien menderita stomatitis apthosa rekuren minor sebanyak
80%.7
E. ETIOLOGI DAN FAKTRO RISIKO
Meskipun tidak ada penyebab utama atau spesifiknya, SAR dapat
dikaitkan dengan trauma lokal, stres, alergi makanan, perubahan hormon,
defisiensi nutrisi atau vitamin, predisposisi genetik, disregulasi imun, infeksi
lokal, kelainan sistemik, dan paparan bahan kimia.8
1. Faktor genetik
Studi sebelumnya oleh Ship et al. menemukan bahwa SAR
memiliki kecenderungan yang pasti untuk terjadi di sepanjang garis
keluarga dan bahwa kemungkinan saudara kandung mengembangkan SAR
dipengaruhi oleh status SAR orang tua. Korelasi tinggi SAR telah
terdeteksi pada kembar identik tetapi tidak pada kembar non-identik.
Investigasi yang lebih baru telah mendeteksi hubungan antara SAR dan
subtipe HLA tertentu, yang menunjukkan bahwa SAR pada orang tertentu
mungkin memiliki dasar genetik.9
2. Faktor lokal
Trauma dapat termasuk injeksi anestesi, makanan tajam yang
menyebabkan trauma intraoral, menyikat gigi traumatis, dan trauma
selama prosedur gigi. Banyak pasien dengan SAR tidak mengalami lesi
setelah trauma, dan pasien edentulous tidak mungkin memiliki lesi di
bawah gigi palsu. Polanska et al. menduga peran neutrofil elastase dalam
proses pembentukan pasca-trauma ulkus aphthous. Di sisi lain,
berdasarkan pengamatan epidemiologis, sebagian besar peneliti
menunjukkan insiden SAR yang lebih rendah pada perokok dibandingkan
dengan pasien yang tidak merokok, dengan korelasi dengan durasi dan
keparahan kebiasaan; yang dapat dijelaskan dengan tingkat keratinisasi
mukosa oral yang lebih tinggi dalam menanggapi merokok, yang
membuatnya kurang rentan terhadap cedera dan iritasi.9
3. Faktor microbial
Telah disarankan bahwa streptokokus oral dan beberapa virus
dapat memainkan peran etiologis dalam SAR, tetapi secara keseluruhan,
hasilnya tidak meyakinkan. Secara umum, virus herpes simplex, varicella
zoster, dan Epstein-Barr belum langsung diisolasi dari lesi SAR. Sebuah
studi baru-baru ini menunjukkan hubungan antara kekambuhan SAR dan
reaktivasi virus varicella zoster dan infeksi cytomegalovirus. Pedersen
telah menyarankan bahwa imunosupresi seluler sistemik dan lokal yang
terkait dengan SAR konsisten dengan reaktivasi virus atau merupakan
hasil dari infeksi virus laten pada mukosa mulut. Namun demikian,
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan penyebab virus secara
definitif. 9
4. Faktor sistemik
RAS telah diamati dalam beberapa gangguan sistemik, termasuk
penyakit Bechet, cyclic neutropenia, radang mulut dan genital dengan
sindrom tulang rawan yang meradang, defisiensi nutrisi dengan dan tanpa
gangguan gastrointestinal, dan kondisi immunocompromised termasuk
infeksi HIV. Ulkus mirip aphthous telah terdeteksi pada pasien dengan
penyakit Crohn dan kolitis ulserativa dan perubahan usus kecil lainnya.
Lesi pada pasien ini dapat terjadi kapan saja selama perjalanan penyakit,
dapat terjadi sebelum gejala usus muncul, dan dapat terjadi lebih sering
ketika masalah usus menjadi aktif. Ulkus ini secara histologis mirip
dengan lesi usus penyakit. Tidak ada asosiasi yang didirikan antara RAS
dan periode pramenstruasi, kehamilan, atau menopause. Selain itu, tidak
ada penelitian yang dirancang dengan benar yang menunjukkan efek terapi
hormon ovarium pada RAS, yang menunjukkan bahwa lesi RAS tidak
disebabkan oleh perubahan hormon wanita.9
5. Defisiensi nutrisi
Kekurangan zat besi, asam folat, seng, dan vitamin B1, B2, B6,
B12 telah terdeteksi pada pasien dengan RAS. Kekurangan hematologis
pada pasien dengan SAR mungkin berhubungan dengan kelainan usus
kecil, termasuk penyakit seliaka (gluten-sensitive enteropathy), meskipun
pasien ini mungkin tidak selalu memiliki gejala penyakit usus. Volkovetal
et al. mengamati efek positif dari suplementasi vitamin B12 oral pada
pasien SAR terlepas dari tingkat serum awal dari elemen ini.9
6. Alergi makanan
Sensitivitas makanan dan alergi terhadap zat lain juga dapat
menyebabkan ulser pada pasien normal hematologis dengan lesi berulang.
Menurut beberapa peneliti, paparan terhadap beberapa bahan makanan,
misalnya, cokelat, gluten, susu sapi, pengawet, kacang-kacangan, dan zat
pewarna makanan dapat menyebabkan pro-inflamasi. kaskade dalam
SAR.9
7. Stress
Beberapa penelitian telah menghubungkan stres dengan SAR;
Namun, penyelidikan yang lebih baru mengungkapkan tidak ada hubungan
antara stres kehidupan psikologis dan kekambuhan SAR. Namun
demikian, literatur terus melaporkan bahwa stres dapat berperan dalam
mempercepat SAR, dan tekanan emosional atau lingkungan yang parah
harus dipertimbangkan dalam penilaian klinis SAR. Menurut beberapa
penulis, itu lebih memicu timbulnya episode daripada mempengaruhi
durasinya.9
F. PATOMEKANISME
Salah satu faktor penting yang dapat menginduksi dan menentukan
jenis respon imun dalam tubuh manusia adalah sitokin. Sitokin tipe Th1, yang
meliputi: IL-2, IL-12, IFN-c dan TNF-a, menentukan kecenderungan terhadap
autoimunisasi, menginduksi respon tipe seluler dan merangsang sekresi IgG.
Sitokin tipe Th2, termasuk: IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13, memiliki sifat anti-
inflamasi, menstimulasi respon imun humoral dan sekresi IgE. Efek
antiinflamasi yang kuat juga berkontribusi terhadap sitokin lain yang disebut
transformasi growth factor (TGF) -b, yang disekresikan terutama oleh limfosit
T-regulator. Ditemukan bahwa ulkus aphthous berkembang sebagai respons
terhadap reaksi imunologis yang ditingkatkan terhadap daerah-daerah tertentu
dari mukosa mulut. Reaksi ini terjadi akibat kaskade sitokin yang diinisiasi
secara tidak tepat, yang mengaktifkan proses kekebalan tertentu. Ditemukan
bahwa pada pasien dengan SAR, fungsi sistem kekebalan menjadi terganggu
dalam menanggapi beberapa jenis faktor pemicu yang belum didefinisikan,
yang mungkin termasuk antigen virus dan bakteri atau stres. Dalam banyak
laporan juga peran autoimunisasi dalam pengembangan penyakit ditekankan.
Kedua jenis respon imun: alami dan didapat (humoral dan seluler) dapat
menjadi terganggu pada pasien dengan SAR, yang, antara lain, bermanifestasi
dengan reaktivasi dan hiperaktif neutrofil, peningkatan konsentrasi bahan
pelengkap, peningkatan jumlah NK sel dan limfosit B, mengganggu CD4+ /
CD8+ rasio dan peningkatan jumlah CD25+ dan sel CD reseptor sel (TCR)
dalam darah perifer. Oleh karena itu, untuk menentukan mekanisme respon
imunologis dalam SAR, perlu untuk menentukan profil sitokin pada pasien
yang menderita penyakit ini. Banyak penulis berpendapat bahwa respons
imunologis tipe Th1 adalah yang memainkan peran penting dalam
pengembangan SAR. 10
G. KLASIFIKASI SAR
Ulkus SAR adalah kondisi kelainan mukosa yang sering terjadi pada
rongga mulut. Meskipun prevalensinya tinggi, etiopatogenesis masih belum
jelas. Jenis SAR dibagi menjadi 3, yaitu1 :
1. SAR minor juga dikenal sebagai Aphthae Miculiz atau ulkus aphthous
ringan.
Jenis SAR ini merupakan varian yang paling umum terjadi, sekitar 80%
dari kasus SAR. Ulkus bervariasi dari 8 hingga 10 mm. ulser bulat atau
oval, dangkal dengan diameter kurang dari 5 mm, dan dikelilingi oleh
pinggiran yang eritematus. SAR ini paling sering terjadi pada permukaan
mukosa yang tidak berkeratin seperti labial mukosa, mukosa bukal, dan
dasar mulut. Durasi ulkus ini pada umumnya selama 10-14 hari tanpa
meninggalkan jaringan parut.1

Gambar 3. SAR Minor1


2. SAR mayor juga dikenal sebagai periadenitis mukosa nekrotik kambuh
atau penyakit Sutton.
Jenis SAR ini terjadi sekitar 10-15% dari kasus SAR. Ukuran ulkus dapat
mencapai 1 cm atau lebih. Tempat terjadinya SAR ini yang paling umum
adalah pada bagian bibir, langit-langit lunak, dan fauces tetapi dapat
terjadi juga pada bagian mulut yang merupakan daerah berkeratin. Mukosa
pengunyahan seperti dorsum lidah atau gingiva mungkin kadang-kadang
terlibat. DuSARi ulkus ini biasanya menetap hingga 6 minggu dan sembuh
dengan meninggalkan jaringan parut1

Gambar 4. SAR Mayor1


3. Ulserasi herpetiform (HU).
Istilah “herpetiformis” digunakan karena bentuk klinis dari HU (yang
dapat terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan
gingivostomatitis herpetik primer Tetapi virus-virus herpes tidak
mempunyai peran etiologi pada HU atau dalam setiap bentuk ulserasi
aftosa. SAR ini berukuran kecil, ukurannya 2–3 mm. Lesi dapat bergabung
dan membentuk ulkus besar yang tidak beraturan. DuSARi dari ulkus ini
biasanya berlangsung sekitar 10-14 hari. Tidak seperti ulkus herpes, ini
tidak didahului oleh vesikula dan tidak mengandung sel yang terinfeksi
virus. Ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan varian klinis SAR
lainnya.1

Gambar 5. Ulserasi herpetiform (HU).1


Tabel 1. Gambaran klinik SAR Minor, SAR Mayor dan HU8

H. DIAGNOSIS
Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari
ulser. Perhatian khusus harus ditujukan pada riwayat keluarga, frekuensi ulser,
durasi ulser, jumlah ulser, lokasi terjadinya ulser (non-keratinisasi atau
keratinisasi), ukuran dan bentuk ulser, kondisi medis, ulser genital, masalah
kulit, gangguan pencernaan, riwayat obat, tepi ulser, dasar ulser, dan jaringan
disekitarnya. Hal ini disebabkan karena banyaknya lesi di dalam rongga mulut
yang secara klinis mirip dengan SAR, antara lain ulkus traumatikus, Sindrom
behcet, herpes simplek, dan karsinoma sel skuamosa.9

11
Gambar 6. Kerangka diagnostik
I. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis RAS biasanya ditegakkan berdasarkan riwayat dan gejalaklinis.
Namun, penting untuk membedakan ulkus aphthous dari penyakit mukutan
stomatologie lain yang memiliki manifestasi ulseratif. Biasanya, kondisi ini dapat
dibedakan dari RAS oleh lokasi lesi atau adanya gejala tambahan. Infeksi HSV
mungkin memiliki lesi yang tampak serupa; Namun, infeksi HSV primer datang
dengan difus eritema gingiva dan demam yang mendahului vesikel dan ulkus mukosa
mulut. Selain itu, lesi HSV berulang ditemukan terutama pada mukosa keratin yang
melekat, seperti langit-langit keras atau gingiva. Ulkus RAS tidak didahului oleh
26

demam atau vesikel, dan mereka terjadi hampir secara eksklusif pada mukosa mulut
yang dapat bergerak, seperti mukosa bukal dan labial, lidah, dan langit-langit lunak. 27

Lesi aphthous berulang dapat dibedakan dari infeksi virus varicella zoster (VZV)
(herpes zoster) berdasarkan presentasi klinis (lesi VZV memiliki pola distribusi
ekstraoral dan intraoral unilateral mengikuti saraf trigeminal) dan gejala (infeksi VZV
memiliki gejala nyeri dan terbakar) sebelum erupsi lesi). Infeksi virus oral yang
kurang umum, seperti herpangina dan penyakit tangan-kaki dan mulut, juga harus
dimasukkan dalam diagnosis banding RAS ketika gejala awal terjadi. Namun, ulkus
28

oral terkait virus Coxsaekie hadir dengan gejala lain, seperti demam ringan atau
malaise, dan akan sembuh dalam 1-2 minggu. Erythema multiforme hadir dengan
ulkus oral yang menyakitkan, tetapi, tidak seperti RAS, lesi eritema multiforme
terjadi pada mukosa yang menempel dan bergerak dan biasanya melibatkan
pengerasan pada bibir dengan makula kulit dan papula.Kira-kira, dua pertiga pasien
dengan lichen planus oral menunjukkan lesi ulseratif, yang terutama terjadi pada
mukosa bukal. Namun, situs sekunder pada gingiva dan palatum durum akan
membedakan oral lichen planus frotii RAS. Selain itu, oral lichen planus tidak selalu
menyakitkan, sedangkan nyeri biasanya merupakan keluhan utama dalam RAS. Lesi
oral Vesiculobullous yang cenderung pecah dalam beberapa jam setelah terjadinya,
mengakibatkan erosi atau ulserasi yang menyakitkan, adalah karakteristik pemfigoid
cicatricial dan pemfigus vulgaris.Lesi ini dapat terjadi pada mukosa mulut yang
melekat dan tidak menempel, dan biopsi akan mengungkapkan pola histomorfometrik
yang khas. 9
J. PENATALAKSANAAN dan PROGNOSIS
Literatur menjelaskan berbagai pendekatan manajemen dari SAR.10
1. Evaluasi klinis awal dan pengobatan non-farmakologi
Untuk memfasilitasi definisi pilihan pengobatan terbaik, pasien dapat
diklasifikasikan menurut karakteristik klinisnya yaitu sebagai berikut:
a. Tipe A, Episode singkat terjadi hanya beberapa kali sepanjang tahun,
dan ditandai oleh tingkat nyeri yang dapat ditoleransi. Faktor
predisposisi harus diidentifikasi dan dikendalikan (mis., Menghindari
trauma lokal, menggunakan sikat gigi yang lembut, memberikan
instruksi menyikat gigi). Dianjurkan untuk menanyai pasien tentang
kebiasaan makannya, untuk mengevaluasi kemungkinan hubungan
antara wabah penyakit dan makanan tertentu. Dalam konteks ini,
umumnya disarankan untuk menghindari makanan keras (misalnya,
roti panggang yang keras), semua jenis kacang (kenari, hazelnut, dll.),
Cokelat, minuman asam atau makanan (jus buah atau jeruk, tomat),
makanan asin , makanan yang sangat pedas (lada, kari) dan minuman
beralkohol dan berkarbonasi.
b. Tipe B, Episode berkembang setiap bulan, berlangsung 3-10 hari, dan
rasa sakit menyebabkan pasien memodifikasi kebiasaan hidup bersih
dan diet. Jika faktor predisposisi diidentifikasi (trauma, stres, diet,
kebersihan, dll.), Harus diberitahukan dengan pasien dan dikendalikan.
Penting untuk mempertanyakan manifestasi prodromik (gatal atau
bengkak), untuk memberikan pengobatan topikal ketika ini terjadi.
c. Tipe C, Episode ini sangat menyakitkan, dengan aphthae kronis.
Beberapa lesi berkembang sementara yang lain sembuh, dan pasien
tidak menanggapi pengobatan topikal. Dalam beberapa kasus, terapi
sistemik diindikasikan10
2. Pengobatan lokal farmakologi
Terapi harus selalu dimulai dengan pengobatan topikal. Pilihan
pengobatan lini pertama terdiri dari antiseptik dan obat antiinflamasi /
analgesik seperti klorheksidin 0,2% dalam bilasan atau gel, tiga kali sehari
(tanpa menelan), selama lesi bertahan. Triclosan juga dapat digunakan
dalam format gel atau bilas tiga kali sehari (tanpa menelan), selama lesi
bertahan, dan memberi efek antiinflamasi, antiseptik, dan analgesik. Pada
gilirannya, diklofenak 3% topikal dengan asam hialuronat 2,5% dapat
diterapkan untuk mengurangi rasa sakit. Ada juga laporan penggunaan
bilasan oral dengan benzidamine hydrochloride, yang menawarkan
penghilang rasa sakit sementara.
Amlexanox adalah obat yang dipelajari secara luas yang
menawarkan kemanjuran jangka pendek, terutama ketika digunakan dalam
fase prodromik (gejala awal). Mekanisme kerjanya tidak diketahui,
meskipun merupakan agen topikal dengan khasiat antiinflamasi dan anti
alergi. Ini biasanya diberikan dalam bentuk salep pada konsentrasi 5%,
dan diterapkan 2-4 kali sehari. Obat ini telah terbukti efektif dalam
mempercepat penyembuhan aphthae dan mengurangi rasa sakit, eritema,
dan ukuran lesi. Ini juga telah dipelajari dalam presentasi lain seperti patch
oral, tablet atau film perekat. Meng et al. mengamati tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam efikasi antara aplikasi amlexanox dalam bentuk
patch atau tablet, meskipun pasien tampaknya lebih menyukai presentasi
sebelumnya. 10
Antibiotik topikal seperti tetrasiklin dan turunannya (doksisiklin
dan minosiklin), dalam format gel atau bilas, juga telah ditemukan untuk
mengurangi rasa sakit dan wabah RAS. Obat-obatan ini bertindak melalui
penghambatan lokal collagenases dan metalloproteinases (MPs) yang
membentuk bagian dari respon inflamasi dan berkontribusi terhadap
kerusakan jaringan dan pembentukan ulkus, dan juga memberikan efek
modulasi imun. Dari tetrasiklin yang tersedia secara komersial, doksisiklin
telah menunjukkan penghambatan terbaik bagi anggota parlemen.
Pemberian doxycycline dosis offix dalam format gel mukoadhesif telah
terbukti efektif dalam mengobati SAR. Penulis lain merekomendasikan
aplikasinya dengan dosis 100 mg dalam 10 ml air, melakukan pembilasan
selama 2-3 menit (tanpa menelan), empat kali sehari selama tiga hari.
Penggunaan topikal tetrasiklin dan asam retinoat juga memberikan efek
antiinflamasi, di samping aksi antibiotik yang diketahui. 10
Obat yang paling banyak digunakan dalam penyakit mukosa oral
immune-mediated adalah kortikosteroid topikal. Tujuan dari perawatan
tersebut adalah untuk menghilangkan gejala, sehingga memungkinkan
pasien untuk makan, berbicara dan melakukan kebersihan mulut yang
normal, karena kortikosteroid topikal mengurangi atau bahkan menekan
rasa sakit dan mempersingkat waktu penyembuhan aphtosa. Pada pasien-
pasien dengan SAR, obat-obatan yang diindikasikan adalah triamcinolone
acetonide, fluocinolone acetonide atau clobetasol propionate, dari yang
memiliki potensi lebih kecil hingga yang lebih besar, sesuai dengan
keparahan lesi-lesi tersebut. Ketiga obat ini dapat diberikan sebagai
pomade in orabase ketika lesi bersifat lokal, atau dalam format bilas
ketika lesi difus atau sangat banyak. Triamcinolone acetonide digunakan
pada konsentrasi mulai dari 0,05 0,5%, diterapkan 3-10 kali sehari selama
3-5 menit. Ini terutama ditunjukkan pada pasien dengan lesi erosif kecil
dan ringan. Beberapa penulis menganggap konsentrasi paling efektif
adalah 0,1%. Untuk memfasilitasi penyembuhan, disarankan untuk
menerapkan obat langsung ke lesi, menjaganya agar tetap kontak selama
mungkin, dan berhati-hati untuk tidak makan atau minum selama 20 menit
setelah aplikasi, atau menyentuh zona yang dirawat. Jika kortikosteroid
diberikan sebagai obat kumur oral, kortikosteroid harus digunakan untuk
periode waktu yang ditentukan, tanpa menelan produk. Di sisi lain,
fluocinolone acetonide pada konsentrasi 0,025-0,05%, diterapkan 5-10 kali
sehari selama 3-5 menit, memberikan potensi sedang hingga tinggi, dan
banyak digunakan pada pasien dengan lesi yang lebih agresif. Terakhir,
0,025% clobetasol propionate adalah kortikosteroid topikal yang paling
manjur, dan oleh karena itu dicadangkan untuk presentasi penyakit sedang
atau berat. Dalam konteks ini, itu dianggap sebagai alternatif sebelum
resep terapi sistemik. 10
Kortikosteroid topikal lain yang dievaluasi adalah deksametason.
Telah diteliti kemanjuran dan keamanan pomade deksametason dalam
mengobati SAR. Mereka mengevaluasi ukuran aphtosa dan durasinya,
serta intensitas nyeri, dan menyimpulkan bahwa pomade efektif dan aman
ketika digunakan dalam situasi seperti itu. Ketika dibandingkan pomade
deksametason dengan formulasi triamcinolone acetonide yang umum
digunakan di orabase, ditemukan kedua produk sama efektifnya dalam
mengobati SAR. 10
Perawatan topikal lainnya yang telah digunakan dalam SAR adalah
asam hyaluronic 0,2% dalam formulasi gel, diterapkan dua kali sehari
selama dua minggu. Anestesi topikal seperti lidokain 2% (sebagai
semprotan atau gel); pasta gigi perekat yang mengandung polydocanol;
atau tablet benzocaine. Pada gilirannya, laser Nd: YAG telah ditemukan
mampu menghilangkan rasa sakit segera dan penyembuhan lebih cepat,
dan ditoleransi dengan baik oleh pasien dengan SAR, karena ini adalah
bentuk perawatan singkat, menghasilkan rasa sakit yang lebih rendah
setelah aplikasi, dan memiliki sedikit efek samping (20) Perawatan lain
termasuk zat alami seperti myrtle (Myrtus communis), semak dari Iran
utara yang memiliki sifat penurun glukosa darah, antibakteri, analgesik
dan antioksidan, sehingga menunjukkan kegunaan potensial dalam aplikasi
untuk penyakit yang ditandai oleh peradangan dan alergi (21); quercetin,
flavonol yang ditemukan dalam buah-buahan dan sayuran, dengan sifat
antioksidan dan yang mungkin terbukti berguna dalam mempersingkat
waktu penyembuhan aphtosa bila diterapkan sebagai pengobatan topikal
harian; patch bioadhesif yang mengandung licorice hidrogel, yang
mengurangi diameter halo inflamasi dan pusat nekrotik aphtosa, dan rasa
sakit yang mereka hasilkan; atau bilasan oral yang mengandung ekstrak
Damask rose, yang memiliki sifat antiinflamasi dan antinociceptive. 10
Tabel 2. Terapi Farmakologi Lokal10
3. Pengobatan sistemik farmakologi
Wabah SAR biasanya diselesaikan dengan pengobatan topikal,
meskipun dalam beberapa kasus tindakan ini terbukti tidak cukup karena
keparahan lesi atau karena alasan yang tidak diketahui. Keadaan ini adalah
ketika terapi lini kedua dengan zat obat sistemik diindikasikan. 10
Penelitian telah dilakukan terhadap antibiotik sistemik seperti
potassium penicillin G dalam tablet 50 mg yang diberikan empat kali
sehari selama empat hari, yang membantu mengurangi ukuran borok dan
mengurangi rasa sakit. Vaksin antipoliomielitik oral juga telah ditemukan
secara signifikan mengurangi durasi aphthae, frekuensi wabah, dan tingkat
keparahannya.
Terapi yang paling efektif termasuk kortikosteroid dan
imunosupresor. Pentoxifylline, colchicine, dapson dan thalidomide juga
telah digunakan, tetapi membutuhkan kehati-hatian karena kemungkinan
efek samping. Pengobatan-pengobatan ini pada dasarnya bersifat paliatif,
karena tidak satupun dari mereka yang mampu mendapatkan remisi
penyakit permanen. 10
Kortikosteroid adalah pengobatan sistemik pilihan pertama.
Mereka biasanya digunakan sebagai terapi pada pasien dengan wabah
SAR akut yang parah. Prednison oral telah digunakan pada dosis awal 25
mg / hari, diikuti oleh pengurangan dosis bertahap, selama dua bulan,
dengan hilangnya rasa sakit dan reepitelisasi lesi pada bulan pertama
terapi. Obat dapat menghasilkan efek buruk jangka panjang; sebagai
hasilnya, kemanjurannya telah dibandingkan dengan obat lain, dalam
mencari pengobatan alternatif. Dalam konteks ini, Femiano et al.
membandingkan kemanjuran prednison yang diresepkan dengan dosis 25
mg / hari per oral selama 15 hari, 12,5 mg / hari selama 15 hari, 6,25 mg /
hari selama 15 hari, dan kemudian 6,25 mg pada hari-hari alternatif selama
15 hari, di perbandingan dengan montelukast (antagonis reseptor
leukotrien yang digunakan sebagai obat antiasthma) 10 mg per oral setiap
malam, diikuti dengan pemberian alternative setiap hari selama bulan
kedua. Para penulis menemukan kedua modalitas pengobatan menjadi
efektif dalam mengurangi jumlah lesi, memberikan penghilang rasa sakit
dan mempercepat penyembuhan borok. Mengenai efek samping,
montelukast ditemukan lebih aman, dan karena itu harus dipertimbangkan
sebagai pilihan ketika kortikosteroid sistemik dikontraindikasikan. Dalam
studi komparatif lain, Pakfetrat et al. membandingkan prednisolon 5 mg /
hari dengan colchicine (obat yang mengganggu jalur berbeda proses
inflamasi) 0,5 mg / hari. Kedua pengobatan terlihat sama efektif dan secara
signifikan mengurangi wabah lesi, meskipun colchicine menghasilkan
lebih banyak efek samping. Jadi, prednisolon 5 mg / hari tampaknya
menjadi pilihan yang lebih baik dalam mengurangi tanda dan gejala
penyakit. 10
Zink adalah kofaktor penting dengan efek pada reepitelisasi dan
penyembuhan luka yang juga telah diselidiki sebagai pengobatan yang
mungkin untuk SAR dengan dosis 150 mg, dibandingkan dengan dapson
(sulfon anti infeksi yang digunakan untuk mengobati kusta dan kondisi
kulit lainnya) dengan dosis 50 mg. Kedua perawatan ditemukan memiliki
sifat terapeutik dan profilaksis penting dalam aplikasi untuk SAR,
meskipun zink sulfat menghasilkan efek yang jauh lebih cepat dan
berkelanjutan. 10
Clofazimine adalah antimikroba yang digunakan untuk pengobatan
kusta adalah kombinasi dengan obat lain seperti rifampisin dan dapson.
Dalam aplikasi untuk SAR yang berat, dan ketika diberikan dengan dosis
100 mg / hari selama 6 bulan, obat ditemukan mencegah munculnya lesi
baru selama periode pengobatan yang disebutkan. Scully et al.
merekomendasikan penggunaan pentoxifylline, dan penghambat tumor
necrosis factor alpha (TNF-α), dan fungsi neutrofil dan chemotaxis,
dengan dosis 400 mg tiga kali sehari selama satu bulan untuk
mendapatkan efek menguntungkan pada pasien dengan SAR. Namun,
penulis menggarisbawahi bahwa obat ini tidak menghindari munculnya
wabah baru dan memiliki banyak efek samping (terutama yang bersifat
gastrointestinal). Akibatnya, mereka menganggap bahwa pentoxifylline
harus digunakan sebagai pilihan pengobatan lini kedua pada pasien yang
gagal menanggapi terapi lain, atau sebagai penentu pengobatan lainnya. 10
Modulator imun mungkin berguna sebagai pengobatan lini kedua
pada berbagai penyakit mulut seperti oral lichen planus, dan khususnya
pada SAR. Dalam konteks ini, thalidomide, modulator imun yang banyak
digunakan dalam SAR, direkomendasikan dengan dosis 50-100 mg / hari.
Halo, dkk. melakukan penelitian kohort retrospektif pada 92 pasien
dengan SAR parah yang telah menerima pengobatan dalam bentuk
thalidomide. Para penulis menemukan bahwa 85% dari pasien (78/92)
mengalami remisi lengkap lesi dalam 14 hari pertama. Namun, 84%
subjek mengalami efek samping. Thalidomide diketahui menghasilkan
banyak efek samping, termasuk teratogenisitas, polineuropati, kantuk,
sembelit, peningkatan nafsu makan, sakit kepala, mual dan nyeri lambung.
Modulator imun lainnya adalah levamisol, yang mengembalikan aktivitas
fagositosis normal di antara makrofag dan neutrofil, dan memodulasi
imunitas yang dimediasi sel T. Obat ini memperpendek durasi wabah
aphthae, serta jumlah, ukuran dan frekuensi lesi. Dengan dosis 150 mg
tiga kali seminggu selama 6 bulan, obat ini aman, meskipun efek
sampingnya juga telah dijelaskan, termasuk mual, hyperosmia, dysgeusia
dan agranulocytosis. 10
Mimura et al. membandingkan kemanjuran empat terapi sistemik
untuk SAR yang parah. Prednison diberikan selama dua minggu, dimulai
dengan 0,5 mg / kg / hari sebagai dosis pagi tunggal, dan diikuti setelah
satu minggu dengan pengurangan menjadi setengah dosis awal. Pada saat
yang sama, pasien secara acak ditugaskan ke salah satu obat berikut
selama 6 bulan: thalidomide (100 mg / hari), dapson (25 mg / hari selama
3 hari, 50 mg / hari selama 3 hari, 75 mg / hari selama 3 hari, dan dosis
pemeliharaan 100 mg / hari), colchicine (0,5 mg / hari selama 7 hari, 1
mg / hari selama 7 hari, dan dosis pemeliharaan 1,5 mg / hari) atau
pentoxifylline (400 mg 3 kali satu hari). Thalidomide ditemukan sebagai
pengobatan yang paling efektif dan paling ditoleransi, dengan resolusi
lengkap dari wabah RAS pada 87,5% pasien. Pentoxifylline menghasilkan
manfaat pada 60% kasus. 10
Terakhir, pengobatan sistemik lainnya telah dijelaskan, termasuk
obat-obatan homeopati yang mengandung boraks, mercurius solubilis,
natrum muriaticum, fosfor, asam sulfat, asam nitrat, album arsenicum, nux
vomica dan lycopodium. Zat-zat ini, diencerkan dalam 100 ml air dan
diberikan per oral setiap 12 jam selama 6 hari mengurangi intensitas nyeri
dan ukuran borok. Tak satu pun dari subyek harus menunda pengobatan
karena efek samping. Namun, masih belum cukup bukti untuk mendukung
atau membantah penggunaan obat-obatan homeopati sebagai pengobatan
untuk SAR. 10

Tabel 3. Terapi Farmakologi Sistemik10


DAFTAR PUSTAKA

1. Rejeki, Putri. 2018. Major Recurrent Apthous Stomatitis In Mother With


HIV/AIDS Infection. Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Hal: 1-26.
2. Sulistiani, Annisa. Dkk. 2017. Prevalence and Distribution of Patients
Recurrent Aphthous Stomatitis ( RAS ) in Oral Medicine Departement of
Dental Hospital, Dentistry Faculty, University of Jember in 2014. e-Jurnal
Pustaka Kesehatan, vol. 5 (no. 1).
3. Thantawi, Amelia. Dkk. 2014. Stomatitis Apthosa Rekuren (Sar) Minor
Multiple Pre Menstruasi. ODONTO Dental Journal.Volume 1.Nomor 2.
4. Sloane, Ethel. 2010. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC
Th
5. Netter, Fraank H.2014. Atlas Of Human Anatomy 25 edition. Jakarta :
EGC.
6. Guallar, IB, Yolanda, JS, Ariadna, CL. 2014. Treatment of Recurrent
Aphthous Stomatitis. A literature review. Journal oral medicine and
pathology. Page: 168-174.
7. M, Namirata, R. Abilasha. 2017. Reccurent Aphthous Stomatitis. International
Journal of Orofacial Biology Volume 1 Issue 2. Page: 43-47.
8. Edgar, NR., Dahlia S., Richard AM. 2017. Reccurent Aphthous Stomatitis: A
Review. Journal of Clinical and Aesthetic Dermatology Volume 10 Number 3.
Page: 26-36.
9. Tarakji, Bassel., Giath G., Sadeq AA., et al. 2015. Guidline for the Diagnosis
and Treatment of Reccurent Aphthous Stomatitis for Dental Practitioners.
Journal of International Oral Health. Page: 74-80.
10. Slebiodda, Suzanna., Elszbieta, S., Anna, K. 2013. Etiopathogenesis of
Recurrent Aphthous Stomatitis and The Role of Immunologic Aspects:
Literature Review. Department of Oral Mucosa Diseases, University of
Medical Sciences, Bukowska. Page: 205-215.
11. Sankari, S.L. 2013. Recurrent Aphthous Stomatitis - A Review. Biomedical &
Pharmacology Journal. Vol. 6(1), 33-39

Anda mungkin juga menyukai