Anda di halaman 1dari 13

The Winter When Dusk is Falling

Chapter 3
Trapped in Your Scenario
Dentuman terdengar beruntun, satu dari peluru yang
melesat kearah kepala Dazai, satunya lagi adalah tebasan
Chuuya dengan pisau yang menghalau peluru tersebut
hingga berbelok kearah laut.
Semua bergeming, membelalakkan mata antara kaget
dan takjub. Pun Dazai yang berbinar akan gesitnya tubuh
kecil itu bergerak di hadapannya. Bahkan belum ada
yang menyadari apa yang terjadi, dengan revolver yang
ia curi dari Dazai detik sebelumnya, Chuuya melesatkan
beberapa tembakan cepat. Tepat mengenai seluruh
pemberontak hingga mereka menjatuhkan diri dan
senjata.
“Jangan dibunuh.” Dazai berbisik, jelas sekali melawan
rasa terkejutnya. Tujuannya memang menguji
kemampuan sang mesin mafia, tapi ia tidak menduga
kalau akan sehebat ini. “Kau benar-benar bukan manusia
ya.”
Suara itu hanya terdengar oleh Chuuya karena orang
selain mereka tengah sibuk mengurus keterkejutan
masing-masing. Pun teriakan dan rengekan yang
terdengar sebab tembakan bersarang tepat di bagian yang
melumpuhkan tanpa merusak bagian vital atau
mengancam nyawa. Sesuai perjanjiannya dengan Dazai
Osamu, Chuuya tidak akan membunuh siapapun tanpa
disuruh.
“Jangan gegabah. Kalau kau mati aku tidak bisa pulang.”
“Pulang pun pasti kau dibunuh Boss Mafia.”
“Sudah tahu.”
Dazai terdiam melihat Chuuya tidak melepas pandangan
dan todongan revolver dari musuh yang sudah tumbang.
Dengan mata biru tajam dan wajah tanpa ekspresi itu ia
mengatakan harapan beserta akhir hidupnya, untuk
dibunuh di tempat yang ia anggap rumah.
Menyedihkan sekali.
“B-bagai..mana?” Suara parau terdengar dari pemimpin
pemberontak yang telah terkulai akibat tembakan di
pahanya.
“Apa? Kan sudah kubilang, aku memanggil pasukanku.”
“Dia hanya satu orang. Bagaimana mungkin-“
“Oh.. Karena dia sebanding kan.” Senyuman itu gelap
seperti langit mendung. Dazai meletakkan tangannya di
puncak surai Chuuya, seakan mengelus sebuah mainan
kesayangan. Para pemberontak bergidik, pun Lucy dan
sandera lainnya. “Nah, sebelum pasukan kecilku ini
memulai pembantaiannya, kalian mau kutangkap atau
kubebaskan?”
Pilihan arogan dari seorang monster. Tapi informasi itu
tidak bisa hilang bersamaan nyawa mereka di laut ini.
Bagaimanapun keberadaan kedua monster Republik
Finia harus segera dilaporkan pada Pimpinan Tertinggi
Pemberontak. Karena itulah mereka membuang segala
harga diri dan lari.
Ketenangan laut membersamai akhir dari ketakutan para
awak kapal lalu di tengah suka cita dan kebingungan
yang timbul, Chuuya meninju Dazai tepat di pipinya.
Dengusan tawa muncul setelahnya, “Heh.. kasar sekali…
Aku bukan mutan sepertimu yang tahan banting…”
senyum itu menambah bara kesal di hati Chuuya.
“Kenapa kau katakan hal seperti itu pada mereka?! Aku
bukan milik Finia! Aku bukan milikmu! Aku milik
mafia!!” Teriakan penuh amarah menggema ke seluruh
bagian kapal. Tapi Dazai yang menjadi sasaran andaikata
kepalan tangan itu melayang, sama sekali tidak
melunturkan senyumnya. Ia menikmati tatapan
permusuhan dari permata biru itu. Terasa hidup, lebih
dari sekedar mesin pembunuh tak berperasaan.
“Entah..” ucapnya lembut, selembut ancaman iblis yang
merenggut jiwa para pemujanya. “Coba kau bayangkan,
Chuuya. Apa yang terjadi jika kabar negara adikuasa
seperti Finia memiliki mesin tempur tersebar dan
terdengar Pasukan Pemberontak Misandria dan Mafia.
Mafia akan menganggap kau berkhianat dan sudah
menjadi sekutu Finia.”
Napas Chuuya bergemuruh. Tidak teratur seakan sebuah
rantai mengikat jantungnya agar berhenti berdetak.
Pengkhianatan? Semua itu akan membuatnya kehilangan
tempat kembali.
Takut mati? Tidak. Dari awal Chuuya sudah siap jika
kepulangannya ke Mafia akan berujung kepala yang
dipenggal karena gagal dalam misi. Tapi ia tidak terima
jika alasan pemenggalan itu adalah pengkhianatan.
Chuuya tidak bisa menerima berkhianat adalah
alasannya kehilangan nyawa yang tidak berharga ini.
Ingin sekali ia bunuh Dazai Osamu disini, saat ini juga.
Dengan pisau di sakunya, atau revolver di tangan
kanannya, atau memukulinya sampai mati. Chuuya bisa
dengan mudah menghilangkan nyawa seperti yang selalu
ia lakukan.
“Kau bisa membunuhku sekarang.”
Siapapun yang melihat aura pembunuh di mata birunya
tahu bahwa itu adalah hal yang akan Chuuya lakukan
dengan pasti. Walaupun ia tetap dicap pengkhianat,
setidaknya hatinya lega telah membunuh bajingan ini.
“Atau kau bisa membawaku ke Mafia sebagai orang
yang memperdayamu?”
Niatnya terjeda.
“A-apa?”
“Seperti yang kukatakan. Kau bisa menangkapku,
membawaku ke hadapan Boss Mafia untuk
menggantikanmu di meja eksekusi. Kau tinggal bilang,
‘ah, dia orang menuduhku jadi kalian bisa hukum dia
dan masalah selesai.’”
Pikiran Chuuya terhenti. Ia tidak mengerti apa maksud
orang ini. Dia merelakan nyawanya untuk menggantikan
Chuuya dibunuh? Tidak. Dazai Osamu bukan orang
yang sebaik itu.
Atau mungkin dia memang sebaik itu di balik
kearoganan dan sifat iblisnya?
Menelan ludah, Chuuya menjernihkan pikiran dan
amarahnya yang kacau. “Apa yang kau rencanakan?”
Senyum iblis itu melebar. Di iringi hembusan angina laut
di musim dingin ia menjawab dengan bisikan tajam.
“Aku akan memilikimu.”
~~000~~
Perjalanan ke dermaga hanya diisi keheningan. Tidak
banyak yang bisa dibicarakan setelah Lucy bertanya
mengenai keadaan kedua penumpang misterius itu,
Dazai sibuk merawat revolvernya, sedangkan Chuuya
sibuk memandangi dermaga yang semakin mendekat.
Beberapa waktu sebelum kapal berlabuh, Dazai
mendatangi Chuuya di dek kapal. Sesuai dugaannya,
pemuda itu masih menatap dengan wajah menghardik
tapi Dazai tidak takut karena dia tahu Chuuya
membutuhkannya sebagai saksi walau dia sangat ingin
membunuh.
“Kita turun, kau harus tutup seluruh tubuhmu,” pria
brunette itu menyampirkan mantel bertudung abu-abu di
bahu Chuuya.
“Jadi kita benar-benar jadi buronan?”
Dazai menggedikkan bahu seraya memakai mantel
miliknya.
“Apa yang akan kau lakukan? Kalau kau berniat
menyerahkanku ke Finia, lupakan saja. Aku akan
membunuhmu dan bunuh diri seperti rencana awal,”
awalnya Chuuya berujar demikian sebelum ia tahu cara
yang lebih ampuh untuk mengancam Dazai. “Atau
mungkin kau lebih senang aku menghancurkan seluruh
militer negeri tersayangmu? Bahkan aku sendiri mampu
melakukannya, kau tahu?”
Chuuya bisa menebak dari awal kalau senyum itu akan
kembali ditunjukkan padanya. “Wah,, menakutkan sekali
sebuah prototipe saja bisa begitu yakin mengalahkan
negara pemenang perang, apalagi pasukan mesin di
markas mafia ya. Menakutkan, menakutkan…”
“Kau pasang taruhanmu, iblis.”
“Taruhan? Tidaklah.” Dazai mencemooh. “Aku tidak
akan lakukan judi yang melibatkan Negara seperti itu.
Kan sudah kukatakan,” jarinya mengangkat dagu
Chuuya dengan mata yang merendahkan perlawanan
monster di dasar samudra birunya. “Aku hanya ingin
memilikimu.”
Kini giliran Chuuya yang menyunggingkan senyum,
“berharap saja sampai mati.”
Getaran terjadi ketika kapal sepenuhnya merapat ke
pelabuhan. Beberapa nelayan mempersiapkan jembatan
dan box-box ikan yang masih membeku. Dazai dan
Chuuya masih menunggu di sana sampai Lucy dengan
ramah memberi sekantung roti dan ikan beku dengan
alasan, “ramah-tamah pengembara. Kami ingin
membantu kalian pulang ke Finia, tapi kaum
pemberontak sudah menyabotasi sistem transportasi dan
komunikasi di kota ini. Jadi semoga ini cukup untuk
perjalanan kalian ke kota terdekat.”
Ketika Dazai bertanya kemana kiranya kota yang bisa
menyelamatkan mereka, Lucy kembali menjawab, “di
balik gunung ada Distrik yang cukup maju. Di sana
banyak pengungsi dari zona perang jadi ada tentara,
medis, transportasi, dan komunikasi yang aktif. Mungkin
hanya dua hari berjalan kaki. Atau jika kalian bermalam,
aku bisa carikan kuda besok dan perjalanan hanya butuh
waktu kurang dari sehari?”
“Kalau begitu kami akan bermalam.” Dazai menjawab,
dengan senyum ramah, tanpa keraguan.
Lucy memberi mereka tumpangan di salah satu dari
seluruh rumah kumuh di pelabuhan ini. Orang-orang
tidak berpakaian layak melainkan hanya kain yang
dilapis-lapis agar tidak membeku akibat dingin. Anak-
anak yang seharusnya berada di rumah ketika matahari
terbenam malah membantu menurunkan kargo dari kapal
walaupun Dazai yakin tidak banyak ikan yang ada di
dalamnya. Semuanya mengenaskan.
Kayu-kayu terbakar berserakan di jalan seakan kota itu
baru saja diserang puluhan tentara kemarin. Dugaan
Dazai benar setelah melihat sebuah gereja yang dipenuhi
beberapa orang terluka tengah dirawat oleh biarawati.
“Aku harap kami tidak merepotkan, Lucy-san.” Dazai
berucap ketika Lucy keluar dari gereja itu setelah
mengantar ikan beku.
“Kau menyelamatkan kami, Dazai-san. Jika kapal ini
tidak berlabuh semua manusia di kota tidak akan
bertahan melewati musim dingin. Kelaparan memang
sering terjadi, tapi pada puncak musim dingin, beberapa
orang bisa jadi gila. Kau mengerti maksudku, kan?”
Lucy tersenyum sedih, pun Dazai.
“Sejak kapan kalian seperti ini?” Chuuya yang sedari
tadi diam ikut bicara.
“Tidak tahu,” jawab Lucy. “Perang sudah berlangsung
bahkan sebelum ibuku lahir.”
Bagi mereka yang masih saling peduli di peradaban yang
menuntut untuk saling membunuh, Dazai
menghormatinya. Sebuah keajaiban bahkan lebih baik
dari yang dia bayangkan dari Misandria sebelumnya.
Menanyakan berapa lama mereka menjadi budak perang
sungguh menyakitkan, namun Dazai memaklumkan
karena Chuuya pun manusia yang tidak mengerti sejarah
dunia. Sungguh ironis sekali karena para mafia lah yang
menjadi sponsor seluruh senjata hingga perang ini tetap
berlanjut. Andai Chuuya tahu kalau yang ia lakukan
kemarin adalah mengawasi penyelundupan senjata untuk
perang saudara, apa yang akan dia lakukan?
Tidak ada yang bersuara hingga mereka tiba di sebuah
rumah peternakan di tengah lahan luas. Lucy berkata
tempat itu adalah rumah paling aman karena jauh dari
pelabuhan. Disana tinggal seorang pria dengan anak
perempuannya, namun mereka sedang berada di gereja
membantu para korban dan tidak akan pulang malam ini.
‘Berdua dengan mesin mafia ini bukan hal yang baik,’
Dazai berpikir demikian namun yang kelur dari
mulutnya hanya, “Apa boleh menggunakan perapian
semalaman?”
“Silahkan.” Lucy menjawab dari dapur dengan dua buah
handuk lusuh. Setelah memberi beberapa petunjuk tata
krama, Lucy izin kembali ke gereja untuk membantu.
Dan hal yang tidak Dazai inginkan pun dimulai dengan
desahan malas.
“Jangan buat repot. Kau bisa urus dirimu sendiri kan?”
“Kau pikir aku siapa?” Chuuya melawan.”
“Buka mantelmu, gantung, dan ganti pakaian dengan
baju hangat itu. Kalau kau sakit perjalanan kita akan
terhambat.”
“Walaupun kau seorang Perwira, aku yakin pengalaman
survival ku lebih banyak darimu, Korporal.”
Sejujurnya Dazai merasa asing dengan percakapan rival
ini sampai-sampai ia mendengus geli, “sayangnya kau
benar.”
Seperti yang dikatakan Lucy, Dazai pergi untuk
menikmati istirahatnya. Sayang sekali dia hanya manusia
biasa yang kadang letih dan tidak seperti Chuuya yang
masih setia duduk di dekat jendela hanya untuk melihat
lahan peternakan yang amat gelap.
Beberapa kali Dazai menyuruhnya tidur dan hanya
dibalas cemoohan lemah dan alasan –mengawasi- kuno.
Sungguh walaupun terjadi penyerangan malam ini,
Dazai bersumpah ia akan segera bangun begitu tembakan
pertama terdengar.
Dan kemudian ia terbangun. Api menyala tepat di
pelabuhan. Chuuya melompat dan berteriak. Ia
mengambil senapannya lalu pergi keluar, memaksa
Dazai membawakan mantel untuknya.
“Jangan bertindak sembarangan!” Dazai berseru,
menarik pundak si mafia untuk berhenti melangkah
dengan aura optimis yang membabibuta. “Kau mau
kesana dan membantai mereka, begitu?”
“Memangnya salah?”
“Bodoh!” Dazai mendecih. “Kau harus mengerti status
kita sebagai buronan. Apa yang terjadi kalau kau
bertarung dan melawan mereka?”
Setelah berpikir sejenak, Chuuya menemukan kesalahan
atas pikiran naifnya, “mereka akan mengirim orang lebih
banyak untukku? Untuk menangkapku?”
“Tepat!”
“Jadi apa yang harus kita lakukan? Mereka-“
“Tidak ada.”
“Hahh?!” Pekikan Chuuya penuh dengan penolakan tapi
Dazai tidak memberikannya perhatian atau kompensasi.
“Mereka sedang dibantai, kau mau aku diam saja?”
“Iya.”
Cahaya bulan menebus pohon oak yang kering, seakan
angin lembab musim dingin tidak menghalangi silaunya
membiaskan pusaran kelam di sepasang manik kopi.
“Kau, tidak punya hati ya?”
Senyum Dazai bersemi. Bukan sebuah cemooh dan
sumringah iblis, melainkan lembut seperti melihat
sebuah cahaya di atas air terjun yang mengalir.
“Ternyata Chuuya lebih manusiawi dari yang aku
bayangkan ya? Apa kau benar-benar mutan?”
Chuuya menelan ludah. Selama sepersekian detik ia
yakin senyum itu menggetarkan hingga ke jantungnya.
“Aku bukan manusia seutuhnya. Aku sudah kehilangan
banyak hal yang membuat sesuatu disebut manusia.”
“Banyak belum tentu seluruhnya, kan?” Chuuya melihat
senyum itu lagi. Sebuah senyuman yang dibawa
rembulan padanya untuk mengingat masa lalu.
Chuuya kesal karena tidak bisa mengingatnya.
“Yang lebih penting,” suara Dazai memancing pikiran
Chuuya keluar dari nuansa nostalgia. “Jika kita pergi
secara terang-terangan, akan lebih banyak orang yang
terluka. Bahkan kita juga.”
“Lalu kita harus apa? Menunggu sampai semuanya
selesai?”
Senyum yang Dazai tunjukkan kali ini adalah sebuah
ketidakmampuan. Pahit karena tidak bisa berbuat apa-
apa. “Jangan pesimis, aku bilang kita tidak bisa secara
‘terang-terangan’.”

Anda mungkin juga menyukai