Anda di halaman 1dari 10

KriteriaLitbang

Jurnal awal musim


Pertanian
tanam:
Vol. Tinjauan
35 No. 2 prediksi
Juni 2016:
waktu
47-56
tanam .... (Elza Surmaini dan Haris Syahbuddin) 47
DOI: 10.21082/jp3.v35n2.2016.p47-56

KRITERIA AWAL MUSIM TANAM: TINJAUAN PREDIKSI WAKTU


TANAM PADI DI INDONESIA
Onset of Planting Season Criteria: Review of Planting Time Prediction
for Rice in Indonesia

Elza Surmaini dan Haris Syahbuddin

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi


Jalan Tentara Pelajar No. 1A, Bogor 16111, Indonesia
Telp. (0251) 8312760, Faks. (0251) 8323909
E-mail: e_surmaini@yahoo.com, balitklimat@litbang.pertanian.go.id

Diterima: 21 September 2015; Direvisi: 1 April 2016; Disetujui: 14 April 2016

ABSTRAK efficient way to minimize the impact of extreme climate event and
climate variability is adjusting the planting date. However, there
is still no consensus among experts regarding the number of dry
Keragaman curah hujan yang tinggi secara spasial dan temporal
akibat variabilitas iklim berpengaruh nyata terhadap produktivitas days and wet days to determine the best criteria for the beginning
tanaman. Salah satu upaya yang efektif dan murah untuk menekan of growing season. Planting time adjustment, especially for rice in
Indonesia has been initiated since 2007 by developing the cropping
risiko terkait keragaman dan iklim ekstrem adalah menyesuaikan
waktu tanam. Kriteria yang umum digunakan untuk menentukan calendar, known as “KATAM”. The cropping calendar provides a
awal musim tanam padi di Indonesia adalah awal musim hujan (MH), guidance for estimating planting date, potential planting areas,
crop rotation and planting intensity at a sub-district level for
yaitu jika jumlah curah hujan > 50 mm dalam tiga dasarian berturut-
turut. Kriteria lain yang disarankan para pakar adalah jumlah curah planting seasons in a year. Adjustment of planting time in KATAM
hujan selama beberapa hari berturut-turut, yang tidak diikuti oleh is based on the onset of rainy season as defined by BKMG. However,
plant growth is not only determined by the amount of rainfalls at
beberapa hari kering berturut-turut dalam periode setelahnya.
Namun, jumlah hari hujan dan hari kering berturut-turut bervariasi. planting time, but also by the amount and distribution of rainfalls
Sistem informasi untuk penentuan waktu tanam padi di Indonesia for the next growing period. The obstacle for this kind of
information is the unavailable prediction of daily rainfall
adalah Kalender Tanam (Katam). Katam memberikan informasi
estimasi awal waktu tanam, potensi luas tanam, rotasi tanaman, dan distribution for the following 12 months that should be informed
intensitas tanam pada tingkat kecamatan untuk setiap musim 12 months in advance. Fortunately, by using Global Circulation
Model, prediction of daily rainfall distribution in the coming
selama satu tahun. Penentuan waktu tanam pada Katam ber-
dasarkan kriteria awal MH. Namun, pertumbuhan tanaman tidak planting season may be provided in the right time.
hanya ditentukan oleh curah hujan pada waktu tanam, tetapi juga Keywords: Rice, planting date, cropping calendar, seasonal
jumlah dan distribusi hujan selama periode tanam. Oleh karena itu, prediction, onset of growing season
penentuan waktu tanam perlu pula mempertimbangkan distribusi
curah hujan selama musim tanam. Kendala penerapan kriteria
tersebut adalah belum tersedianya prediksi curah hujan harian 12
bulan ke depan yang diinformasikan 12 sebelumnya. Namun, PENDAHULUAN
dengan menggunakan Global Circulation Model, prediksi curah
hujan harian pada musim tanam yang akan datang dapat diberikan
tepat waktu.
Kata kunci: Padi, waktu tanam, kalender tanam, prediksi musim,
B eras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar
penduduk Indonesia sehingga kebijakan pemba-
ngunan pertanian difokuskan pada upaya mencapai
awal musim tanam kemandirian pangan, terutama beras. Namun, upaya
tersebut menghadapi berbagai kendala seperti
meningkatnya laju konversi lahan pertanian dan
ABSTRACT melambatnya pencetakan lahan pertanian baru (Agus et
al. 2006). Di lain pihak, meski teknologi pertanian
The high spatial and temporal variability of rainfall due to climate berkembang pesat, penerapannya di tingkat petani
variabilities may be considered as the most important factor
berjalan lambat sehingga peningkatan produktivitas padi
affecting agricultural productivity. The common criteria on used
rata-rata hanya di bawah 1% atau 54 kg/ha/tahun (Agus
to determine the onset of rice planting season in Indonesia is the
beginning of rainy season, which is the amount of rainfall > 50 mm
2007). Kendala lain adalah penurunan kualitas irigasi
in three consecutive decades (10 days). Another criterion suggested akibat degradasi jaringan irigasi (Sumaryanto 2006).
by experts is the amount of rainfalls for several consecutive days, Sekitar 60,41% lahan sawah merupakan sawah irigasi (BPS
without the occurrence of several consecutive dry days within the 2013), namun hanya lahan irigasi kelas satu yang sumber
following 30 days. One of the alternative efforts with very cost- airnya terjamin. Kondisi jaringan irigasi yang kurang
48 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 2 Juni 2016: 47-56

optimal ini menyebabkan ketersediaan air irigasi sering sawah tadah hujan. Demikian pula pada sawah irigasi,
kali mengandalkan hujan atau bergantung pada iklim. ketersediaan dan pasokan air irigasi juga terkait dengan
Ketergantungan sistem pertanian pada iklim menye- penentuan awal musim tanam (Runtunuwu dan
babkan variabilitas iklim yang tinggi akhir-akhir ini Syahbuddin 2011). Informasi prediksi awal MH sangat
menjadi salah satu kendala dalam mencapai kemandirian penting untuk persiapan lahan, distribusi benih, tenaga
pangan. Pada wilayah dengan hujan pola monsun seperti kerja, dan sarana pertanian sehingga dapat mengurangi
wilayah Indonesia bagian selatan ekuator, kondisi kering risiko penanaman yang terlalu awal atau terlalu lambat
sering kali berhubungan dengan kejadian El Niño dan (Omotosho et al. 2000). Namun, selain awal MH, faktor
sebaliknya kondisi basah berasosiasi dengan La Niña. penting yang memengaruhi pertumbuhan tanaman adalah
Menurut Boer et al. (2014), di antara tiga komoditas panjang maksimum deret hari kering atau hari tanpa hujan.
pangan utama (padi, jagung, dan kedelai), padi paling Saat ini informasi tersebut belum menjadi pertimbangan
rentan terhadap kejadian iklim ekstrem yang berasosiasi dalam menentukan waktu tanam. Jika terjadi hari tanpa
dengan El Niño, sedangkan pengaruhnya terhadap hujan yang relatif panjang setelah tanam maka luas tanam
jagung dan kedelai tidak konsisten. Data Kementerian padi yang mengalami gagal tanam menjadi tinggi. Tulisan
Pertanian menunjukkan bahwa luas pertanaman padi yang ini membahas kalender tanam di berbagai negara, kriteria
rusak akibat kekeringan mencapai 870 ribu ha, jauh lebih yang digunakan dalam menentukan awal MH, waktu
tinggi dibandingkan dengan kerusakan akibat banjir dan tanam, serta gagasan kriteria penentuan waktu tanam dan
serangan organisme pengganggu tanaman (Surmaini et metode prediksi waktu tanam padi di Indonesia.
al. 2015a).
Kemandirian pangan dapat tercapai apabila seluruh
kendala secara simultan dapat diatasi melalui berbagai KALENDER TANAM
upaya, antara lain perbaikan irigasi, ekstensifikasi lahan
sawah, percepatan aplikasi teknologi di tingkat petani, Dalam beberapa dekade mendatang, berbagai negara akan
dan penyesuaian waktu tanam. Di antara berbagai upaya menghadapi tantangan untuk terus meningkatkan
tersebut, penyesuaian waktu tanam merupakan cara produksi pangan seiring dengan pertumbuhan penduduk
yang paling murah dan efisien untuk meningkatkan dan meningkatnya konversi lahan sawah yang tidak
produktivitas tanaman (Laux et al. 2010). Dengan mampu diimbangi oleh pencetakan sawah baru (Irawan
penyesuaian waktu tanam dan pemilihan komoditas, 2005). Tantangan tersebut semakin berat dengan kondisi
kondisi iklim pada awal dan selama musim tanam sudah iklim yang tidak menentu sehingga produktivitas lahan
dipertimbangkan untuk menghindari gagal tanam dan tidak optimal. Perubahan iklim menyebabkan awal musim
gagal panen akibat kekeringan atau banjir. Begitu pula hujan dan kemarau menjadi tidak teratur serta intensitas
pemberian irigasi suplemen dengan menggunakan pompa dan frekuensi kejadian iklim ekstrem seperti banjir,
yang memerlukan biaya tambahan dapat diminimalkan. kekeringan dan serangan OPT meningkat sehingga
Oleh karena itu, adaptasi usaha tani terhadap variabilitas mengakibatkan gagal tanam dan gagal panen (Boer et al.
dan perubahan iklim seharusnya dianggap sebagai 2007). Menurut Kucharik (2006), waktu tanam dapat
sekeping puzzle penting dalam meningkatkan ketahanan berubah sepanjang waktu karena perubahan iklim maupun
pangan yang tidak dapat digantikan dengan upaya lain, perubahan teknologi dan sosial ekonomi.
seperti pengembangan varietas tahan hama dan penyakit, Salah satu strategi untuk mengantisipasi ketidak-
toleran kekeringan, berumur pendek, dan potensi hasil pastian awal musim dan kejadian iklim ektrem adalah
tinggi. dengan menyesuaikan waktu tanam (Lauer et al. 1999).
Untuk mengetahui awal musim tanam di suatu daerah Untuk mengatur waktu tanam dan panen, berbagai negara
selama setahun, pemerintah mengembangkan kalender menggunakan kalender tanam (Sacks et al. 2010; AMIS
tanam untuk memberikan rekomendasi waktu tanam dan 2012). Kalender tanam merupakan alat bantu bagi petani
berbagai informasi pendukung lainnya. Informasi awal dan penyuluh untuk mengambil keputusan dalam
musim hujan (MH) yang dikeluarkan oleh Badan menentukan waktu tanam, penyiapan benih, pengolahan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) lahan, kebutuhan tenaga kerja, dan mengatur penggunaan
merupakan dasar dalam menentukan rekomendasi waktu alat mesin untuk pengolahan lahan dan panen.
tanam. BMKG menetapkan awal MH sebagai kejadian tiga
kali dasarian hujan > 50 mm berurutan sehingga awal
musim hujan adalah dasarian pertama di mana hujan > 50 Kalender Tanam di Berbagai Negara
mm. Prediksi waktu tanam yang akurat untuk 23 bulan
sebelum waktu tanam diperlukan sehingga tersedia waktu Hampir setiap negara menggunakan kalender tanam untuk
yang cukup bagi pengambil kebijakan dan petani untuk memberikan informasi kepada petani dalam menentukan
menyusun manajemen produksi usaha tani padi yang waktu tanam dan panen (AMIS 2012). Kalender tanam
menguntungkan pada musim tanam yang akan datang. umumnya disusun dalam bentuk tabel dengan beberapa
Awal MH menjadi penanda bagi petani tradisional jenis tanaman dan informasi tanam, fase pertumbuhan
untuk memulai mengolah tanah, terutama pada lahan tanaman, dan waktu panen. Informasi kalender tanam juga
Kriteria awal musim tanam: Tinjauan prediksi waktu tanam .... (Elza Surmaini dan Haris Syahbuddin) 49

disediakan oleh berbagai lembaga seperti Badan Pangan USDA juga menyusun kalender tanam untuk berbagai
Dunia (FAO), United State Department of Agriculture negara, termasuk Indonesia dan setiap negara bagian di
(USDA), The Agricultural Market Information System Amerika Serikat. Kalender tanam ini memuat informasi
(AMIS), dan beberapa lembaga lainnya. Informasi yang tentang waktu tanam, periode tanam, dan waktu panen
diberikan beragam berdasarkan wilayah, komoditas, dan untuk berbagai komoditas. Contoh kalender tanam untuk
resolusinya. USDA menyediakan informasi kalender berbagai negara, yang memberikan informasi tentang
tanam untuk berbagai negara (USDA-Foreign Agriculture komoditas tanaman serealia dan biji-bijian seperti
Service/FAS) dan seluruh negara bagian di Amerika gandum, barley, jagung, dan padi dapat diakses melalui
Serikat (USDA-National Agriculture Statistic Service/ http://fas.usda.gov/pecad/pecad.html.
NASS) (USDA-FAS 2016). India Meteorology Department-
Agricultural Meteorology Division menyusun kalender
tanam resolusi tinggi untuk tingkat kabupaten di India Kalender Tanam di Indonesia
(IMD-AGRIMET 2016). Berbagai lembaga internasional
dan lokal juga membangun model kalender tanam untuk Salah satu upaya adaptasi yang paling jitu dalam
berbagai jenis komoditas di beberapa negara (Tabel 1). menghadapi dampak perubahan iklim seperti kondisi iklim
FAO menyediakan kalender tanam bagi lebih dari 130 yang tidak menentu dan pergeseran musim adalah
jenis tanaman pada 283 zona agro-ekologi di 44 negara di melakukan penetapan pola tanam dan kalender tanam
Afrika (http://www.fao.org/agriculture/seed/crop dengan mempertimbangkan kondisi iklim (Runtunuwu et
calendar/welcome.do). FAO juga mengembangkan al. 2013). Oleh karena itu, Badan Penelitian dan
kalender tanam skala nasional untuk berbagai negara dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Kementerian
jenis tanaman pada lahan irigasi dengan menggunakan Pertanian menyusun atlas kalender tanam yang
program AQUASTAT (http://www.fao.org/nr/water/ didasarkan pada prakiraan musim dan aktivitas petani.
aquastat/water_use_agr/index2.stm). Kalender tanam ini Atlas kalender tanam terpadu disusun sesederhana
dibangun menggunakan data luas panen berbagai jenis mungkin agar mudah dipahami oleh penyuluh, petugas
tanaman pada lahan irigasi. Data tersebut dikonversi dinas pertanian, kelompok tani, dan petani dalam
menjadi kalender tanam irigasi yang memuat informasi mengatur waktu dan pola tanam sesuai dengan dinamika
indeks pertanaman (IP) bulanan. IP merupakan rasio antara iklim. Atlas kalender tanam merupakan panduan yang
luas panen pada lahan irigasi dengan luas lahan irigasi. memuat informasi estimasi awal waktu tanam, potensi luas
Negara yang tergabung dalam G-20 membangun tanam, rotasi tanaman, dan intensitas tanam masing-
AMIS untuk memperkuat kerja sama dan dialog di antara masing kecamatan untuk setiap musim selama satu tahun
negara pengekspor dan pengimpor pangan. AMIS (Runtunuwu dan Syahbuddin 2011).
mengeluarkan kalender tanam untuk mendorong Menurut Runtunuwu dan Syahbuddin (2011),
transparansi pemasaran dan mengoordinasikan kebijakan keunggulan atlas kalender tanam adalah 1) dinamis karena
yang terkait dengan ketidakpastian pasar, terutama untuk disusun berdasarkan beberapa kondisi iklim, 2)
komoditas gandum, padi, jagung, dan kedelai. Dengan operasional pada skala kecamatan, 3) spesifik lokasi atau
kalender tanam dapat diketahui waktu panen komoditas mempertimbangkan kondisi sumber daya iklim dan air
pangan di berbagai negara sehingga distribusi stok setempat, dan 4) mudah dipahami oleh pengguna karena
pangan dapat diketahui. disusun secara spasial dan tabular dengan uraian yang

Tabel 1. Sumber informasi kalender tanam untuk berbagai negara di dunia.

Referensi Tingkat kedetailan

FAO (2015) Berbagai negara berkembang, terutama di Afrika. Sebagian besar tingkat nasional, namun beberapa
negara besar dibagi menjadi 2 atau 3 wilayah.
USDA (2016) Berbagai negara di Eropa, Asia, dan Amerika Utara. Sebagian besar tingkat nasional, namun beberapa
negara besar dibagi menjadi 2 atau 3 wilayah.
USDA-FAS (2016) Resolusi tinggi berbasis nasional untuk berbagai negara Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika
Selatan, Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia, negara-negara bekas Uni Sovyet, Afrika
dan Australia
USDA-NASS (1997) Resolusi tinggi untuk semua negara bagian untuk Amerika Serikat
IMD-AGRIMET (2016) Resolusi sangat tinggi untuk tingkat kabupaten di India
AMIS (2012) Berbasis nasional untuk 12 negara anggota AMIS, yaitu Australia, Argentina, Brasil, Kanada, Tiongkok,
Indonesia, Mesir, Uni Eropa, Jepang, Kazakhstan, Vietnam, Meksiko, Nigeria, Filipina, Korea, Rusia,
Saudi Arabia, dan Afrika Selatan untuk gandum, padi, jagung, dan kedelai
Badan Litbang Pertanian Resolusi sangat tinggi untuk tingkat kecamatan di Indonesia
(2013)
50 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 2 Juni 2016: 47-56

jelas. Potensi awal waktu tanam merupakan estimasi yang Penyusunan kalender tanam dimulai sejak tahun 2007
mungkin terjadi berdasarkan analisis ketersediaan air dan telah dilakukan verifikasi dan validasi untuk
(Syahbuddin et al. 2013). mengetahui akurasinya. Verifikasi dilakukan dengan
Informasi kalender tanam diberikan dalam format membandingkan rekomendasi kalender tanam dengan
diagram batang atau peta sederhana. Balitbangtan telah kondisi riil di lapangan. Hasil verifikasi menunjukkan
menyusun sistem informasi kalender tanam dengan seberapa besar informasi yang sesuai dengan
resolusi tinggi pada tingkat kecamatan. Karena pengguna rekomendasi. Validasi dilakukan dengan membandingkan
juga memerlukan informasi lain sebelum musim tanam, produktivitas berdasarkan rekomendasi kalender tanam
pada kalender tanam juga diberikan rekomendasi dosis dengan praktik budidaya cara petani. Hasil verifikasi
dan jenis pupuk, varietas, ketersediaan alat dan mesin waktu tanam oleh Pramudia et al. (2013) pada 179
pertanian, serta peta rawan bencana banjir, kekeringan, kecamatan di Jawa Tengah menunjukkan 28% (50
dan potensi serangan OPT. Dengan berbagai informasi kecamatan) sama dengan rekomendasi, 45% (80
tersebut, atlas kalender tanam berubah menjadi sistem kecamatan) mundur 12 dasarian, 21% (37 kecamatan)
informasi kalender tanam terpadu modern. Agar mundur 34 dasarian, dan sisanya 6% (12 kecamatan)
penyebaran informasi lebih cepat dan efisien ke seluruh mundur lebih dari 5 dasarian. Validasi di beberapa provinsi
Indonesia, informasi tersebut dikemas dalam bentuk dan kecamatan menunjukkan bahwa produktivitas yang
perangkat lunak berbasis website (Runtunuwu et al. dihasilkan dengan menggunakan teknologi budi daya
2013). Informasi prediksi waktu tanam dan rekomendasi (waktu tanam, dosis dan jenis pupuk, dan varietas) yang
lainnya secara rutin diperbaharui 2 bulan sebelum musim direkomendasikan oleh kalender tanam lebih tinggi
tanam pada musim hujan dan musim kemarau pada bulan daripada teknologi petani (Tabel 2).
Maret dan Agustus. Contoh tampilan Sistem Informasi Dalam pengembangannya, secara bertahap terdapat
Kalender Tanam Terpadu disajikan pada Gambar 1. inovasi dalam aspek substansi maupun sistem informasi-

Gambar 1. Peta kalender tanam padi sawah di Provinsi Jawa Barat untuk musim tanam MH 2015/2016
(www.katam.litbang.pertanian.go.id).
Kriteria awal musim tanam: Tinjauan prediksi waktu tanam .... (Elza Surmaini dan Haris Syahbuddin) 51

Tabel 2. Hasil validasi kalender tanam untuk padi, jagung, dan kedelai di beberapa kabupaten.

Hasil (t/ha)
Provinsi Kabupaten Padi Jagung Kedelai
Petani KATAM Petani KATAM Petani KATAM

Sumatera Utara Langkat 5,3 7,0 - - - -


Sergai 5,0 7,2 - - 1,7 1,9
Tapanuli Tengah 5,7 8,8 - - - -
Sulawesi Barat Mamuju 5,0 7,7 - - - -
Polewali Mandar 5,6 9,0 4,0 4,7 - -
Jawa Tengah Batang 7,3 8,9 - - - -
Temanggung 6,6 7,4 - - - -
Kendal 5,8 5,9 - - - -
Yogyakarta Gunungkidul 4,0 6,5 - - 1,7 2,1
Jawa Barat Kuningan 6,2 8,5 - - - -
Sulawesi Tengah Konawe 4,0 6,5 - - - -
Jambi Kota Sungai Penuh 6,5 8,0 - - - -
NTT Kupang 5,0 8,0 - - - -
Sumatera Selatan Ogan Ilir 6,8 8,2 - - - -
5,6 7,7 - - - -
Sumber: http://katam.litbang.pertanian.go.id/main.aspx.

nya. Namun berdasarkan analisis yang dilakukan perlu 1986; Chang dan Tan 1988; Lau 1988; 1992; Drosdowsky
dipahami inputnya, terutama informasi prediksi yang 1996).
digunakan untuk menentukan waktu tanam. Kousky (1988) menggunakan data OLR untuk
menentukan awal MH dengan menggunakan data rata-
rata lima harian (pentad) OLR dengan nilai 240 w/m2. Awal
METODE PENENTUAN AWAL MUSIM MH didefinisikan jika 10 dari 12 pentad sebelumnya
TANAM memiliki nilai OLR > 240 w/m2, dan 10 dari 12 pentad
sesudahnya mempunyai nilai OLR < 240 w/m2. Horel et al.
Salah satu indikator yang digunakan dalam menentukan (1989) juga mengunakan data OLR lima harian untuk
waktu tanam adalah awal musim hujan. Terdapat berbagai mendefinisikan fractional longwave radiance (FLR).
metode untuk menentukan awal musim hujan, namun FLR adalah fraksi jumlah grid dalam kotak 10o x 10o yang
belum ada kesepakatan di antara pakar mengenai metode mempunyai OLR < 240 w/m2. Awal/akhir MH didefinisikan
yang paling akurat. sebagai lima hari pertama dari periode nilai maksimum FLR
di dalam atau di luar kotak dalam periode sekurang-
kurangnya 25 hari. Menurut Liebmann et al. (1998), di
Penentuan Awal Musim Hujan Amazon, Brasil, OLR cukup baik digunakan untuk
memantau keragaman distribusi konveksi tropis antar-
Dalam menentukan awal musim hujan (MH), terdapat tahun karena dapat merepresentasikan presipitasi dengan
kriteria yang berbeda dan masih menjadi kontroversi di cukup baik, namun OLR tidak akurat dalam menentukan
antara para ahli (Wang et al. 2004). Secara garis besar awal dan akhir musim hujan.
setidaknya terdapat lima metode yang digunakan untuk Sebagian besar pakar menggunakan curah hujan
menentukan awal MH, yaitu berdasarkan 1) data angin, 2) untuk menentukan awal maupun akhir musim hujan,
data outgoing longwave radiation (OLR), 3) kombinasi contohnya Walter (1967) dan Ati et al. (2002). Nicholls et
data angin dan OLR, 4) data curah hujan harian, dan 5) al. (1982) menetapkan awal MH di Darwin berdasarkan
kombinasi data curah hujan dan angin. tanggal di mana nilai median curah hujan jangka panjang
Penentuan awal MH berdasarkan data angin baratan tercapai. Lo et al. (2007) memprediksi awal MH di bagian
merupakan indikator yang banyak digunakan. Orgill utara Australia berdasarkan tanggal di mana akumulasi
(1967) dan Bao (1987) mendefinisikan awal MH curah hujan setelah 1 September mencapai 50 mm.
berdasarkan pergerakan angin baratan pada lapisan Keuntungan pendekatan ini adalah data curah hujan
bawah troposfir ke arah utara. Davidson et al. (1983) tersedia dan mudah diakses serta berhubungan langsung
menggunakan definisi yang sama dengan menambahkan dengan awal MH dibandingkan faktor lainnya. Xie et al.
peningkatan aktivitas konvektif selama lima hari setelah (1997) menggunakan kombinasi angin baratan dengan
terjadinya perubahan gradien angin tersebut. Peneliti lain OLR untuk menentukan awal MH di Asia Selatan. Kriteria
mendefinisikan awal MH jika terjadi peningkatan secara yang digunakan yaitu jika OLR < 235 w/m2 dan angin
tiba-tiba angin baratan (Mukarami dan Sumi 1982; Holland baratan mulai terjadi pada paras 850 hPa.
52 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 2 Juni 2016: 47-56

Nicholls (1981) dengan menggunakan parameter hujan dan hari kering bergantung pada jenis tanaman dan
tekanan udara Darwin dan curah hujan bulanan di Jakarta sifat tanah. Namun, akumulasi curah hujan 20–40 mm
menunjukkan bahwa korelasi yang agak tinggi hanya selama 2–5 hari berturut-turut merupakan indikasi untuk
dalam bulan Juli sampai September. Tanaka (1994) dengan menentukan awal MT (Stern et al. 1981; Sivakumar 1988).
menggunakan tutupan awan tinggi untuk mendeteksi Lebih lanjut, Sivakumar (1988) menyatakan bahwa
awal MH dan awal MK menyimpulkan terdapat perbedaan awal MT didefinisikan sebagai hari pertama setelah
awal musim yang diperoleh dengan menggunakan kriteria tanggal 1 September dengan akumulasi curah hujan
awan dan angin. selama lima hari berturut-turut sekurang-kurangnya 40 mm
Penelitian mengenai awal MH dan MK di Indonesia dan tidak diikuti oleh 15 hari kering berturut-turut dengan
belum banyak dilakukan. Menurut Tanaka (1994), yang curah hujan kurang dari 5 mm selama 30 hari setelah awal
pertama kali melakukan penelitian siklus MH dan MK di musim. Kriteria tersebut digunakan untuk menghindari
Indonesia adalah Boerema pada tahun 1926 dan Boer pada terjadinya kesalahan dalam penentuan awal tanam.
tahun 1948. Awal MH oleh De Boer dicirikan dengan Kriteria yang digunakan untuk menentukan awal MT
dasarian pertama dari tiga dasarian berturut-turut dalam sangat spesifik lokasi. Di Afrika Barat, Sarria-Dodd dan
periode Oktober sampai Maret dengan jumlah curah hujan Jolliffe (2001) menyatakan bahwa awal MT merupakan hari
>50 mm. Kriteria tersebut masih digunakan oleh BMKG pertama dari lima hari berturut-turut dengan akumulasi
sampai saat ini, meskipun sering mengalami kesulitan curah hujan sekurang-kurangnya 25 mm, yang diikuti oleh
dalam penerapannya. Wilayah yang curah hujan bulanan- tanpa hari kering berturut-turut lebih dari 7 hari dalam 30
nya selalu besar atau selalu kecil dari kriteria tersebut tidak hari berikutnya. Omotosho et al. (2000) menggunakan
mempunyai musim hujan atau musim kemarau. kriteria jumlah akumulasi curah hujan dalam dua hari
Umumnya pendekatan yang digunakan menunjukkan sebesar 20 mm atau lebih, diikuti dengan 23 minggu
kecenderungan meningkatnya jumlah curah hujan. curah hujan untuk memenuhi minimal 50% kebutuhan air
Namun dalam penentuan waktu tanam perlu diperhatikan tanaman. Lebih lanjut, Traoré et al. (2000) menggunakan
apakah jumlah curah hujan tersebut sudah mencukupi kriteria tanggal setelah 1 Mei saat kadar air tanah men-
untuk melakukan pengolahan tanah dan penanaman. Hal capai 30 mm dan tetap 15 mm selama 20 hari berikutnya.
lain yang juga penting diperhatikan adalah kondisi curah Indikator lain yang penting diperhatikan adalah
hujan selama musim tanam. terhentinya MT (cessation of growing period). Diop et al.
(2005) mendefinisikan terhentinya MT sebagai hari
pertama tidak ada hujan selama 10 hari berturut-turut
Kriteria Awal Musim Tanam setelah tanggal 25 September. Traoré et al. (2000)
menyatakan terhentinya MT sebagai periode di mana
Penentuan waktu tanam menjadi hal sangat penting di kebutuhan air tanaman (rasio antara evapotranspirasi
lahan sawah tadah hujan atau sawah irigasi yang aktual dan potensial) kurang dari 90%. Terhentinya MT
ketersediaan airnya tidak terjamin. Pada lahan sawah juga didefinisikan sebagai hari setelah tanggal 30
tersebut, jumlah air tersedia untuk tanaman sangat September dengan periode hari kering lebih dari 7 hari
bergantung pada awal, jumlah, dan berakhirnya MH (Ati berturut-turut dan konsumsi air tanaman menyebabkan
et al. 2002). Oleh karena itu, keragaman curah hujan yang defisit air tersedia dalam tanah. Menurut Kasei dan
tinggi secara spasial dan temporal serta distribusi curah Afuakwa (1991), terhentinya MT terjadi jika akumulasi
hujan yang tidak seragam menjadi kendala bagi petani curah hujan dalam 10 hari sebesar 10 mm dan tidak ada
dalam memutuskan kapan memulai persiapan tanam hujan selama 10 hari berikutnya. Sivakumar (1988)
(Stewart 1991). Menurut Walter (1967), sebelum menggunakan kriteria hari setelah tanggal 1 September
penanaman petani penting mengetahui apakah curah tidak ada hujan selama 20 hari berikutnya.
hujan akan kontinu dan cukup untuk mengisi kelembapan
selama musim tanam dan apakah tingkat kelembapannya
dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan untuk Penentuan Awal Musim Tanam
menghindari puso. Ketersediaan air bagi tanaman sangat di Indonesia
bergantung pada awal musim hujan, lama hari kering, dan
panjang musim hujan. Namun, tidak ada konsensus dalam Awal MH merupakan indikator yang sangat penting untuk
berbagai literatur mengenai jumlah curah hujan dan lama menentukan waktu tanam di Indonesia (Naylor et al. 2002;
hari kering untuk satu musim tanam yang digunakan 2007) , terutama pada saat MH mundur pada tahun-tahun
dalam mendefinisikan awal musim tanam (MT). El Niño (Hamada et al. 2002; Boer dan Wahab 2007).
Dalam perspektif agronomi, awal MT umumnya Informasi ini penting tidak hanya bagi petani di lahan
diadopsi dari jumlah curah hujan lokal. Stern et al. (1981) sawah tadah hujan, tetapi juga bagi petani di lahan sawah
dan Sivakumar (1988) mendefinisikan awal MT sebagai irigasi dalam menyusun strategi tanam (Naylor et al. 2007)
hujan pertama yang nyata dan memungkinkan menanam, dan menghindari kerusakan tanaman akibat kekeringan
tanpa deret hari kering yang panjang setelah tanam yang pada MK (April-Juli), terutama untuk lahan sawah yang
berpotensi menimbulkan kerusakan selama tahap awal terletak di ujung jaringan irigasi (Boer dan Subbiah 2005;
pertumbuhan tanaman. Intensitas hujan, panjang hari Surmaini et al. 2015a).
Kriteria awal musim tanam: Tinjauan prediksi waktu tanam .... (Elza Surmaini dan Haris Syahbuddin) 53

Awal MT umumnya ditentukan berdasarkan awal MH Di Nusa Tenggara Timur, kejadian false starts yang
dan MK yang ditetapkan oleh BMKG. BMKG menetapkan berulang dapat menyebabkan kegagalan tanam sampai
awal MH sebagai kejadian tiga kali dasarian hujan > 50 mm empat kali dalam satu musim tanam. Kondisi anomali curah
berurutan sehingga masuknya awal musim hujan adalah hujan seperti ini seharusnya juga menjadi faktor yang
dasarian pertama di mana hujan > 50 mm. Kriteria awal diperhatikan dalam menentukan waktu tanam sehingga
MK adalah kejadian tiga kali dasarian hujan < 50 mm. gagal tanam atau gagal panen akibat tanaman kekeringan
Syahbuddin et al. (2013) menentukan awal tanam atau banjir dapat dihindari. Hal ini menunjukkan bahwa
potensial apabila curah hujan telah melebihi 35 mm/ kondisi curah hujan selama musim tanam sangat penting
dasarian selama tiga dasarian berturut-turut mulai bulan dalam menentukan waktu tanam. Oleh karena itu,
September. Namun, dari beberapa kriteria penentuan waktu penanaman sebaiknya dilakukan setelah periode false
tanam tersebut, kriteria jumlah curah hujan saja tidak starts. Periode tersebut dapat ditentukan berdasarkan
cukup untuk menentukan awal MT karena kondisi hujan prediksi curah hujan harian 12 bulan ke depan. Namun,
selama MT sangat menentukan kondisi pertanaman. sampai saat ini informasi ini belum disediakan oleh BMKG
Penelitian kriteria awal MT di Indonesia telah yang mempunyai otoritas dalam memberikan layanan
dilakukan oleh beberapa peneliti (Robertson et al. 2009; prediksi iklim di Indonesia. Oleh karena itu, layanan
Moron et al. 2010; Syahbuddin et al. 2013). Robertson et informasi tersebut perlu menjadi layanan prioritas yang
al. (2009) menentukan awal MT di daerah Indramayu disediakan BMKG untuk sektor pertanian.
dengan kriteria hari pertama dari 5 hari berturut-turut Pada lahan sawah dengan sumber irigasi berasal dari
akumulasi curah hujan sebesar 40 mm, yang tidak diikuti waduk, penetapan waktu tanam ditentukan oleh waktu
15 hari kering berturut-turut dengan curah hujan kurang dibukanya pintu waduk. Pada akhir MK, Agustus sampai
dari 5 mm. Moron et al (2010) menyatakan bahwa awal MT pertengahan Oktober, pintu waduk ditutup sehingga
adalah hari hujan pertama dari 5 hari hujan berturut-turut, distribusi air untuk keperluan irigasi untuk sementara
jumlahnya lebih besar dari rata-rata curah hujan lima dihentikan. Hal itu dilakukan untuk merawat dan
harian pada bulan Agustus dan Februari. Kondisi tersebut memperbaiki saluran serta mempertahankan volume air
tidak diikuti 10 hari kering berturut-turut dengan curah waduk di atas ambang kritis tinggi muka air waduk
hujan kurang dari 5 mm selama 30 hari setelah waktu (Kartiwa dan Heryani 2013). Oleh karena itu, pada daerah
tanam. Dengan kriteria ini, nilai curah hujan akan berbeda irigasi, awal MT pada MH sangat ditentukan oleh pola
untuk setiap daerah, misalnya 39 mm untuk Tegal dan 48 pelepasan air waduk yang biasanya setiap tahun
mm untuk Jatiwangi. ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur/
Berdasarkan kriteria tersebut, waktu tanam akan Bupati/Walikota yang mengatur Rencana Tata Tanam
bervariasi setiap tahun sesuai dengan kondisi curah (RTT). RTT menjadi sangat penting pada 1) daerah
hujan. Moron et al. (2010) menyatakan bahwa di dengan luas lahan yang diairi melebihi debit air yang
Kabupaten Tegal pada tahun El Niño 1997 dan 2003, awal dapat disediakan, 2) daerah yang perlu pengaturan waktu
MH mundur berturut-turut sampai 36 hari dan 16 hari tanam untuk mengatasi serangan hama atau memutus
dibanding kondisi rata-rata pada tahun 19792003 yaitu siklus hidup suatu hama, 3) daerah irigasi yang dibagi
tanggal 28 November. Di Jatiwangi (Cirebon), awal MH dalam golongan giliran air, dan 4) daerah yang tenaga
mundur 35 hari dan 10 hari dari kondisi rata-rata tanggal 4 kerjanya, baik orang, hewan maupun alat mesin pertanian
November. Mundurnya awal MH akan menyebabkan tidak mencukupi untuk kebutuhan pengolahan tanah
mundurnya awal MT dan berdampak terhadap mundur- secara serentak.
nya awal MT kedua pada akhir MH (Naylor et al. 2007). Tidak semua daerah irigasi dapat menerima air secara
Pertanaman yang mengalami kekeringan pada MH rutin setiap tahun. Data BPS (2013) menunjukkan luas
sering terjadi di Indonesia. Data dari Direktorat sawah irigasi di Indonesia mencapai 4,82 juta ha atau
Perlindungan Tanaman Pangan menunjukkan selama 59,41% dari total luas lahan sawah yang mencapai 8,11
tahun 19892014, tanaman padi yang mengalami juta ha. Menurut Direkrorat Jenderal Sarana dan Prasarana
kekeringan pada puncak musim hujan Desember sampai Pertanian (2012), luas sawah irigasi yang rusak mencapai
Maret berkisar 5.000–237.000 ha. Kekeringan tertinggi 4,14 juta ha, dengan tingkat kerusakan ringan 17,1%,
terjadi pada tahun 2007 yang disebabkan terhentinya sedang 54,6%, dan berat 17.1%. Karena sebagian besar
curah hujan di antara awal dan akhir monsun yang disebut sawah irigasi tidak dalam kondisi baik, tidak semua curah
break monsoon dalam rentang waktu Desember sampai hujan yang ditampung di waduk dan bendung dapat
Februari. Menurut Hermawanto (2011), pada saat break disalurkan secara efisien ke lahan sawah. Selain itu,
monsoom sebagian besar wilayah hujan monsun sebagian besar sawah yang terletak jauh dari saluran
(Sumatera bagian selatan, Jawa, Sulawesi bagian Selatan irigasi, walaupun kondisi jaringannya baik, tidak terjamin
hingga Nusa Tenggara) mengalami pengurangan curah ketersediaan airnya. Pada kondisi curah hujan di bawah
hujan secara luas. Atau sebaliknya, terjadi curah hujan normal, sawah yang terletak di ujung saluran tidak
ekstrem tinggi seperti fase basah Madden Julian mendapat air irigasi dan berubah menjadi sawah tadah
Oscillation dan cold surge (gelombang dingin) yang hujan. Oleh karena itu, pada lahan sawah yang tidak
menyebabkan tanaman terkena banjir. terjamin irigasinya atau sawah yang saluran irigasinya
54 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 2 Juni 2016: 47-56

rusak berat, penentuan awal MT perlu memerhatikan Keandalan prediksi tersebut telah diuji dalam penelitian di
kondisi curah hujan. Asia Tenggara seperti Filipina dan Thailand (Kang et al.
2007), Malaysia (Juneng dan Tangang 2005), dan
Indonesia (Robertson et al. 2009; Vimont et al. 2010;
PROSPEK PENGEMBANGAN METODE Syafril et al. 2013; Surmaini et al. 2015b). Penelitian lain
PENENTUAN WAKTU TANAM menunjukkan bahwa ENSO berpengaruh kuat terhadap
curah hujan di wilayah Indonesia pada September
Kriteria penentuan awal MT merupakan kunci utama Desember yang merupakan periode awal MH (Hamada
untuk memberikan rekomendasi waktu tanam yang akurat. et al. 2002; Juneng dan Tangang 2005). Hal ini
Menurut Hansen dan Indije (2004), pertumbuhan dan mengindikasikan tingginya kemampuan memprediksi
produksi tanaman merupakan fungsi dinamis, interaksi penentuan awal MH. Informasi prediksi musiman GCM
non-linier antara cuaca, tanah, dinamika transpor sampai 9 bulan ke depan berbasis harian dapat diakses
makanan, dan fisiologi tanaman hari per hari sehingga untuk mengetahui prediksi kejadian hari kering selama
tidak dapat diestimasi hanya berdasarkan kondisi awal musim tanam yang akan datang. Namun, untuk
tanam dan iklim rata-rata selama musim tanam (Surmaini et meningkatkan akurasi prediksi berbasis GCM perlu
al. 2015b). Berbagai hasil penelitian juga menunjukkan dilakukan downscaling untuk meningkatkan akurasinya
bahwa penentuan waktu tanam seharusnya mempertim- pada skala lokal.
bangkan jumlah dan distribusi hujan dan persyaratan
deret hari kering untuk menghindari kekeringan selama
masa tanam. Persyaratan tersebut perlu dipertimbangkan KESIMPULAN
dan digunakan dalam penentuan awal MT.
Pada lahan sawah tadah hujan dan sawah irigasi yang Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah
ketersediaan airnya tidak terjamin, seperti lahan sawah meningkatnya keragaman iklim yang menyebabkan
yang terletak di ujung jaringan irigasi atau yang jaringan perubahan jumlah, pola, dan distribusi hujan. Variasi pola
irigasinya rusak, penentuan awal musim tanam perlu dan distribusi hujan antarmusim dan antartahun
mempertimbangkan jumlah curah hujan yang diperlukan menyebabkan MT tidak dapat lagi didefinisikan sama
untuk pengolahan tanah dan fase awal pertumbuhan. setiap tahun, yakni MH mulai Oktober sampai Maret dan
Jumlah kebutuhan air tertinggi dalam satu masa tanam untuk MK dari April sampai September. Oleh karena itu,
adalah untuk pengolahan tanah. Pengolahan tanah sawah penentuan waktu tanam perlu mempertimbangkan jumlah
berlangsung selama 1520 hari dengan kebutuhan air curah hujan yang diperlukan pada awal MT serta jumlah
150250 mm (Yoshida1981). Selain itu, penentuan awal dan distribusi curah hujan selama musim tanam, terutama
musim tanam perlu mempertimbangkan waktu yang pada fase awal pertanaman.
diperlukan untuk mencapai kejenuhan tanah. Kriteria waktu tanam padi saat ini hanya
Kendala dalam menggunakan jumlah curah hujan dan mempertimbangkan curah hujan pada awal MH, yaitu jika
kejadian hari kering berturut-turut untuk menentukan awal curah hujan telah mencapai 50 mm atau lebih selama 3
musim tanam adalah belum tersedianya prediksi hari dasarian berturut-turut. Kriteria tersebut perlu ditambah
kering oleh BMKG. Prediksi hari kering tersebut hanya dengan jumlah dan distribusi hujan selama MT.
dapat dilakukan jika tersedia prediksi curah hujan Persyaratan ini menjadi suatu keharusan untuk lahan
berbasis harian. Di lain pihak, berbagai pusat prediksi sawah tadah hujan, sawah irigasi yang terletak di ujung
iklim dunia skala global seperti International Research saluran irigasi, dan sawah yang jaringan irigasinya rusak.
Institute for Climate Prediction (IRI), National Centers for Kriteria untuk menetapkan waktu tanam yang sesuai
Environmental Prediction (NCEP) dengan Climate diterapkan di Indonesia adalah hari pertama dengan
Forecast System (CFS) (Saha et al. 2010) dan European jumlah curah hujan selama lima hari berturut-turut
Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) sekurang-kurangnya 40 mm, dan tidak diikuti oleh 15 hari
mengeluarkan prediksi musiman berbasis harian. IRI juga kering berturut-turut dengan curah hujan kurang dari 5
mengeluarkan peta prediksi curah hujan untuk wilayah mm selama 30 hari setelahnya. Kriteria tersebut dapat
Indonesia tiga bulan ke depan. Informasi tersebut menghindarkan kesalahan dalam penentuan awal tanam.
ditujukan untuk keperluan pertanian, di antaranya Pada sawah irigasi dengan sumber airnya dari waduk,
prediksi peluang kondisi kering atau basah, curah hujan waktu tanam ditentukan oleh waktu pembukaan pintu
ekstrem, serta peluang kondisi basah dan kering akan waduk setelah periode pemeliharaan yang umumnya pada
berhenti atau berlanjut. Namun, prediksi tersebut belum bulan Oktober. Namun waktunya juga tidak tetap setiap
dapat menggambarkan prediksi kejadian deret hari kering tahun.
selama satu sampai dua bulan ke depan. Alternatif lain adalah dengan memanfaatkan prediksi
Prediksi musiman berbasis GCM menunjukkan musim berbasis harian operasional. Informasi tersebut
keandalan yang tinggi dalam mensimulasi dan perlu di-downscaled untuk meningkatkan akurasinya
memprediksi kejadian ENSO dan parameter iklim terkait pada skala lokal. Namun demikian perlu terlebih dahulu
(Peng dan Kumar 2005; Wang et al. 2005; Saha et al. 2010). dibangun infrastruktur yang mendukung seperti sistem
Kriteria awal musim tanam: Tinjauan prediksi waktu tanam .... (Elza Surmaini dan Haris Syahbuddin) 55

otomatis untuk akses data, perangkat pengolahan data, Drosdowsky, W. 1996. Variability of the Australian summer monsoon
peningkatan kapasitas server, dan pelatihan bagi at Darwin: 1957–1992. J. Climate 9: 85–96.
FAO. 2015. Aquastat. http://www.fao.org/nr/water/aquastat/
pengelola data.
countries_regions/IDN/ [14 December 2015].
Informasi prediksi curah hujan berbasis harian Hamada, J.I., M.D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P.A.
minimal selama 1 bulan setelah tanam merupakan indikator Winarso, and T. Sribimawati. 2002. Spatial and temporal
penting dalam menentukan awal MT. Namun, peng- variations of the rainy season over Indonesia and their link to
gunaan kriteria tersebut masih menjadi kendala karena ENSO. J. Meteor. Soc. Jpn. 80: 285–310.
prediksi awal musim yang dikeluarkan BMKG hanya Hansen, J.W. and M. Indije. 2004. Linking dynamic seasonal climate
forecasts with crop simulation for maize yield prediction in
memberikan informasi awal MH dan MK, dan sifat hujan.
semi-arid Kenya. Agric. Forest. Meteorol. 125: 143–157.
Oleh karena itu, informasi tersebut perlu dilengkapi Hermawanto, A. 2011. Kajian periode break saat berlangsungnya
dengan prediksi curah hujan berbasis harian atau prediksi monsun musim dingin Asia di wilayah Indonesia. Tesis Magister
deret hari tanpa hujan minimal untuk 1 bulan setelah awal Sains. Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi
MT. Informasi tersebut disampaikan 12 bulan sebelum Bandung. 71 hlm.
waktu tanam. Untuk memenuhi kebutuhan informasi Holland, G.J. 1986. Inter-annual variability of the Australian summer
monsoon at Darwin: 1952–1982. Monthly Weather Rev. 114:
prediksi musim untuk sektor pertanian, BMKG perlu 594–604.
menyedikan informasi setiap awal musim tanam. Horel, J.D., A.N. Hahmann, and J.E. Geisler, 1989. An investigation
of the annual cycle of convective activity over the tropical
Americas. J. Climate 2: 1388–1403.
DAFTAR PUSTAKA IMD-AGRIMET. 2016. Crop weather calendar of different states
of the country. http://imdagrimet.org/cwc.htm [12 January 2016].
Irawan, B. 2005. Konversi lahan sawah: Potensi dampak, pola
Agus, F., I. Irawan, H. Suganda, W. Wahyunto, A. Setyanto, and M.
pemanfaatan, dan faktor determinan. Forum Penelitian
Kundarto. 2006. Environmental multifunctionality of Indo-
Agroekonomi 23(1): 1–18.
nesian agriculture. Paddy Water Environ. 4: 181188.
Juneng, L. and F.T. Tangang. 2005. Evolution of ENSO-related
Agus, F. 2007. Lahan Sawah Bukaan Baru. Balai Besar Penelitian
rainfall anomalies in Southeast Asia region and its relationship
dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
with atmosphere-ocean variations in Indo-Pacific sector.
Ati, O.F., C.J., Stigter, and E.O. Oladipo. 2002. A comparison of Climate Dynamics 25: 337–350.
methods to determine the onset of the growing season in
Kang, K.H., C.K. Park, A.L.S. Solis, and K. Stitthichivapak. 2007.
Northern Nigeria. Int'l. J. Climatol. 22: 731–742.
Multimodel output statistical downscaling prediction of
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Kalender precipitation in the Philippines and Thailand. Geophysics
Tanam Terpadu. IAARD Press, Jakarta. 482 hlm. Research Letter. 34, L15710.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Survei Pertanian: Luas lahan Kartiwa, B. dan N. Heryani. 2013. Tinjauan hidrologi untuk
menurut penggunaannya 2013. BPS, Jakarta. 102 hlm. mendukung kalender tanam pada daerah irigasi. hlm. 263–292.
Bao, C.L. 1987. Synoptic Meteorology in China. China Ocean Dalam Haryono, M. Sarwani, I. Las, dan E. Pasandaran (Eds).
Press, Beijing. 285 pp. Kalender Tanam Terpadu: Penelitian, Pengkajian, Pengem-
Boer R. and A.R. Subbiah. 2005. Agriculture drought in Indonesia. bangan dan Penerapan. Badan Penelitian dan Pengem-bangan
hlm. 330–344. Dalam V.S. Boken, A.P. Cracknell, and R.L. Pertanian, Jakarta.
Heathcot (Ed.). Monitoring and Predicting Agricultural Drought: Kasei, C.N. and J.J. Afuakwa. 1991. Determination of optimum
A Global Study. Oxford University Press. planting date and growing season of maize in the northern
Boer, R., Sutardi, and D. Hilman. 2007. Climate Variability and savana zone of Ghana. In: Soil Water Balance in the Sudano
Climate Change and Their Implication on Sectors. Government Sahelian zone. Proceedings of the Niamey Workshop, February
of Republic of Indonesia, Jakarta. 1991, IAHS Publ. no 199.
Boer, R. and I. Wahab. 2007. Use of seasonal surface temperature Kousky, V.E. 1988. Pentad outgoing longwave radiation climatology
for predicting optimum planting window for potato at for the South American sector. Rev. Brasilia Meteorol. 3: 217–
Pengalengan, West Java, Indonesia. pp. 135–141. In Sivakumar 231.
M.V.K. and J. Hansen (Eds.). Climate Prediction and Agriculture: Kucharik, C.J. 2006. A multidecadal trend of earlier corn planting
Advance and Challenge. Springer, New York. in the central USA. Agron. J. 98: 1544–1550.
Boer, R., A. Faqih, and R. Ariani. 2014. Relationship between Pacific Lauer, J.G., P.R. Carter, T.M. Wood, G. Diezel, D.W. Wiersma, R.E.
and Indian Ocean Sea Surface Temperature Variability and Rice Rand, and M.J. Mlynarek. 1999. Corn hybrid response to
Production, Harvesting Area and Yield in Indonesia. Paper planting date in the northern corn belt. Agron. J. 91: 834–839.
presented in EEPSEA Conference on the Economics of Climate Lau, K.M. 1988. Seasonal and intraseasonal climatology of summer
Change, February 27–28, 2014. Siem Reap, Cambodia. monsoon rainfall over East Asia. Monthly Weather Rev. 116:
Chang, B.K. and H.V. Tan. 1988. Some aspects of the summer 18–37.
monsoon in South-East Asia May–September 1986. Aust. Lau, K.M. 1992. East Asian summer monsoon rainfall variability and
Meteor. Magazine 36: 227–233. climate tele-connection. J. Meteorol. Soc. Jpn. 70-1b, 81–112.
Davidson, N.E., J.L. McBride, and B.J. McAvaney. 1983. The onset Laux, P., G. Jäckel, R.T. Munang and H. Kunstmann. 2010. Impact
of the Australian monsoon during winter MONEX: Synoptic of climate change on agricultural productivity under rainfed
aspects. Monhtly Weather Rev. 111: 496–516. conditions in Cameroon - A method to improve attainable crop
Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian. 2012. Statistik yields by planting date adaptations. Agric. Forest Meteorol.
Sarana dan Prasarana Pertanian Tahun 20072011. Ditjen PSP, 150: 1258–1271.
Jakarta. Liebmann, J., A. Marengo, J.D. Glick, V.E. Kousky, I.C. Wainer,
Diop, M., F.N. Reynier, and B. Sarr. 2005. Apport du photo- and O. Massambani. 1998. A comparison of rainfall, outgoing
periodisme à l’adaptation du mil à la sécheresse en milieu soudano longwave radiation and divergence over the Amazon Basin. J.
sahélien. Sécheresse 16: 3540. Climate 11: 2898–2909.
56 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 2 Juni 2016: 47-56

Lo, F., M.C. Wheeler, H. Meinke, and A. Donald. 2007. Probabilistic Sivakumar, M.V.K. 1988. Predicting rainy season potential from
forecasts of the onset of the North Australian wet season. the onset of rains in Southern Sahelian and Sudanian climatic
Monthly Weather Rev. 135: 3506–3520. zones of West Africa. Agric. Forest Meteorol. 42: 295–305.
Moron, V., A.W. Robertson, and J.H. Qian. 2010. Local versus Stern, R.D., M.D. Dennett, and D.J. Garbutt. 1981. The start of the
regional scale characteristic of monsoon onset and post-onset rains in West Africa. Int'l. J. Climatol. 1: 59–68.
rainfall over Indonesia. Climate Dynamics 34: 281–299. Stewart, J.I. 1991. Principles and performance of response farming.
Mukarami, T. and A. Sumi. 1982. Southern hemisphere summer In Climatic Risk in Crop Production. Models and Management
monsoon circulation during the 1978–1979 WMONEX. Part II: for the Semi-Arid Tropics and Sub-Tropics, W. Ford, R.C.
Onset, active and break monsoons. J. Meteorol. Soc. Jpn. 60: Muchow, and Z.A. Bellamy, (Eds.). CAB International,
649–671. Wallingford.
Naylor, R.L., W. Falcon, N. Wada, and D Rochberg. 2002. Using Syahbuddin, H., W.T. Nugroho, B. Rahayu, A. Hamdani, I. Las, dan
El-Niño Southern Oscillation climate data to improve food policy E. Runtunuwu. 2013. Atlas Kalender Tanam. hlm. 103–159.
planning in Indonesia. Bull. Indonesia Econ. Studies 38: 75–91. Dalam Haryono, M. Sarwani, I. Las, dan E. Pasandaran (Ed).
Naylor, R.L., D.S. Battisti, D.J. Vimont, W.P. Falcon, and M.B. Kalender Tanam Terpadu: Penelitian, Pengkajian, Pengembangan
Burke. 2007. Assessing the risks of climate variability and dan Penerapan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
climate change for Indonesian rice agriculture. Proc. National Jakarta.
Academic Science USA 104: 7752–7757. Sumaryanto. 2006. Peningktan efisiensi penggunaan air irigasi
Nicholls, N. 1981: Air-sea interaction and the possibility of long- melalui penerapan iuran irigasi berbasis nilai ekonomi air irigasi.
range weather prediction in the Indonesian Archipelago. Forum Penelitian Agroekonomi 24(2): 77–91.
Monthly Weather Rev. 109: 2435–2443. Surmaini, E., T.W. Hadi, K. Subagyono, and N.T. Puspito. 2015a.
Nicholls, N., J.L. McBride, and R.J. Ormerod. 1982. On predicting Early detection of drought impact on rice paddies in Indonesia
the onset of the Australian west season at Darwin. Monthly by means of Niño 3.4 Index. Theor. Appl. Climatol. 121: 669–
Weather Rev. 110: 14–17. 684.
Omotosho, J.B., A.A. Balogun, and K. Ogunjobi. 2000. Predicting Surmaini, E., T.W. Hadi, K. Subagyono, and N.T. Puspito. 2015b.
monthly and seasonal rainfall, onset and cessation of the rainy Prediction of drought on rice paddies in West Java using analogue
season in West Africa using only surface data. Int'l. J. Climatol. downscaling method. Indones. J. Agric. Sci. 16(1): 2130.
20: 865–880. Syafril, A., T.W. Hadi, S. Hadi, dan B. Tjasyono. 2013. Prediksi
Orgill, M. 1967. Some aspects of the onset of the summer monsoon hujan bulanan menggunakan adaptive statistical downscaling.
over the South East Asia, Report to the US. Army, contract Jurnal Geofisika dan Meteorologi 14(1): 2521.
DA28-043- AMC-01303(E), Colorado State University. 75 pp. Tanaka, M. 1994. The onset and retreat dates of the Austral summer
Pramudia, A.K. Hariyanti, W. Estiningtyas, E. Susanti, Y. Sarvina, monsoon over Indonesia, Australia and New Guinea. J. Meteorol.
N. Utami, L. Rosita, dan D.H. Pradana. 2013. Pengembangan Soc. Jpn. 72: 255267.
aspek prediksi iklim pada atlas kalender tanam. hlm. 61–215. The Agricultural Market Information System (AMIS). 2012. AMIS
Dalam Haryono, M. Sarwani, I. Las, dan E. Pasandaran (Ed). Crop Calendar. www.amis-outlook.org/amis-about/calendars/en.
Kalender Tanam Terpadu: Penelitian, Pengkajian, Pengem- [12 Januari 2016].
bangan dan Penerapan. Badan Penelitian dan Pengembangan Traoré, S.B., F.N. Reynier, M. Vaskman, B. Koné, A. Sidibé, A
Pertanian, Jakarta. Yorote, K. Yattara, and M. Kouressy. 2000. Adaptation à la
Peng, P. and A. Kumar. 2005. A large ensemble analysis of the sécheresse des écotypes locaux de sorgho du Mali. Sécheresse
influence of tropical SSTs on seasonal atmospheric variability. 11: 227237.
J. Climate 18: 1068–1085. USDA-NASS. 1997. Usual planting and harvesting dates for U.S.field
Robertson, A.W., V. Moron, and Y. Swarinoto. 2009. Seasonal crops. Agricultural Handbook No. 628. United States Department
predictability of daily rainfall statistics over Indramayu district, of Agriculture–National Agricultural Statistics Service,
Indonesia. Int'l. J. Climatol. 29: 1449–1462. Washington, DC.
Runtunuwu, E. dan H. Syahbuddin. 2011. Atlas kalender tanam pangan USDA. 2016. Major world crop areas and climatic profiles. http://
nasional untuk menyikapi variabiltas dan perubahan iklim. Jurnal www.usda.gov/oce/weather/pubs/Other/MWCACP [28 Maret
Sumberdaya Lahan 5(1): 110. 2016].
Runtunuwu, E., H. Syahbuddin, dan F. Ramadhani. 2013. Kalender USDA-FAS. 2016. Crop Explorer. http://www.pecad.fas. usda. gov/
tanam sebagai instrumen adaptasi perubahan iklim. hlm 271 cropexplorer/. [10 Januari 2016].
291. Dalam H. Soeparno, E. Pasandaran, M. Sarwani, A, Dariah., Vimont, D.J., D.S. Battisti, and R.L. Naylor. 2010. Downscaling
S.M. Pasaribu, dan N.S. Saad. (Ed). Politik Pembangunan Indonesian precipitation using large-scale meteorological fields.
Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. IAARD Press, Jakarta. Int'l. J. Climatol. 30: 17061722.
Sacks, W.J., D. Derying, J.A. Foley, and N. Ramankutty. 2010. Walter, M.W. 1967. Length of the rainy season in Nigeria. Nigerian
Crop planting dates: an analysis of global pattern. Global Ecol. Geograph. J. Agric. Sci. 10: 123–128.
Biogeogr. 19: 607–620. Wang, B., L. Ho, Y. Zhang, and M.M. 2004. Definition of South
Saha, S., S. Nadiga, S. Moorthi, H.L. Pan, X. Wu, J. Wang, P. Tripp, China Sea monsoon onset and commencement of the East Asia
R. Kistler, R. Woollen, D. Behringer, H. Liu, D. Stokes, R. summer monsoon. J. Climate 17: 699–710.
Grumbine, G. Gayno, J. Wang, Y.T. Hou, H.Y. Chuang, H.M. Wang, W., S. Saha, H.L. Pan, S. Nadiga, and G. White. 2005.
Juang, J. Sela, M. Iredell, R. Treadon, D. Kleist, P. van Delst, D. Simulation of ENSO in the new NCEP Coupled Forecast System
Keyser, J. Derber, M. Ek, J. Meng, H. Wei, R.Yang, S. Lord, H. Model. Monthly Weather Rev. 133: 1574–1593.
van den Dool, A. Kumar, W. Wang, C. Long, M. Chelliah, Y. Xie, A., Y.S. Chung, X. Liu, and Q. Ye. 1997. On the international
Xue, B. Huang, J.K. Schemm, G. White, W. Ebisuzaki, R. Lin, variations of the summer monsoon onset over the South China
P. Xie, M. Chen, S. Zhou, W. Higgins, C.Z. Zou, Q. Liu, Y. Sea. J. Korea Meteorol. Soc. 33(3): 553–567.
Chen, Y. Han, L. Cucurull, R.W. Reynolds, G. Rutledge, and M. Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. International
Goldberg. 2010. The NCEP Climate Frecast System Reanalysis. Rice Research Institute, Manila, Philippines. 269 pp.
Bulletin America Meteorology Society. 91: 1015–1057.
Sarria-Dodd, D.E. and I.T. Jolliffe. 2001. Early detection of the
start of the wet season in semiarid tropical climates of Western
Africa. Int'l. J. Climatol. 21: 1251–1262.

Anda mungkin juga menyukai