Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

BIOTEKNOLOGI
Bioteknologi Tanaman I

OLEH :
KELOMPOK 1
1. D I A N A N G G R E S I A
2. LATHIFAH ALFAUZAH
3. NINDI MAIYORA
4. NURUL ‘IZZATI
5. SELMIA NOFERMA

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
Kultur Jaringan Tumbuhan

A. Pengertian Kultur Jaringan


Menurut Suryowinoto (1991), kultur jaringan dalam bahasa asing disebut
sebagai tissue culture. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel
yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. jadi, kultur jaringan berarti
membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang
mempunyai sifat seperti induknya.

Kultur jaringan (Tissue Culture) merupakan salah satu cara perbanyakan


tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman
dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta
menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang
kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya
sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi
tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan
tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media
buatan yang dilakukan di tempat steril.

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari


tanaman seperti sekelompok sel atau jaringan yang ditumbuhkan dalam kondisi
aseptik. Kultur jaringan merupakan terjemahan dari Tissue culture. Tissue dalam
bahasa Indonesia adalah jaringan yaitu sekelompok sel yang yang mempunyai
fungsi dan bentuk yang sama, culture diterjemahkan sebagai kultur atau
pembudidayaan. Sehingga kultur jaringan diartikan sebagai budidaya jaringan/sel
tanaman menjadi tanaman utuh yang kecil yang mempunyai sifat yang sama
dengan induknya.
Street (1977) mengemukakan terminologi, plant tissue culture is generally
used for the aseptic culture of cells, tissues, organs, and their components under
defined physical and condition in vitro. Atau: Kultur Jaringan adala kultur aseptik
dari sel, jaringan, organ, atau bagian lain yang kompeten untuk dikulturkan dalam
komposisi kimia tertentu dan keadaan lingkungan terkendali.

Thorpe (1990) melanjutkan defenisi tersebut, plant culture/tissue


culture,also referred to as in vitro, aseptik, or sterile culture is an important
tool in both basic and applied studies as well as in commercial application.
Artinya, kultur jaringan dapat didefenisikan sebagai metode untuk
mengisolasi bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel,
jaringan dan organ dan menumbuhkannya dalam media yang tepat dan
kondisi aseptik, sehingga bagian- bagian tersebut dapat memperbanyak diri
dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap.

B. Landasan Kultur Jaringan

Landasan kultur jaringan didasarkan atas tiga kemampuan dasar dari


tanaman, yaitu:

1. Totipotensi, adalah potensi atau kemampuan dari sebuah sel untuk


tumbuh dan berkembang menjadi tanaman secara utuh jika distimulasi
dengar benar dan sesuai.Implikasi dari totipotensi adalah bahwa semua
informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme
terdapat di dalam sel. Walaupun secara teoritis seluruh sel bersifat
totipotensi, tetapi yang mengekspresikan keberhasilan terbaik adalah sel
yang meristematik.
2. Rediferensiasi adalah kemampuan sel-sel masak (mature) kembali
menjadi ke kondisi meristematik dan dan berkembang dari satu titik
pertumbuhan baru yangdiikuti oleh rediferensiasi yang mampu melakukan
reorganisasi manjadi organ baru.
3. Kompetensi menggambarkan potensi endogen dari sel atau jaringan untuk
tumbuh dan berkembang dalam satu jalur tertentu. Cantohnya
embrioagenikali kompetencel adalah kemampuan untuk berkembang
menjadi embrio funsional penuh. Sebaliknya adalah non-kompeten atau
morfogenetikali tidak mempunyai kemampuan.

C. Tujuan dan Manfaat Kultur Jaringan


1. Pengadaan bibit
Penyediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan dalam pengembangan pertanian di masa
mendatang. Pengadaan bibit pada suatu tanaman yang akan dieksploitasi
secara besar-besaran dalam waktu yang akancepat akan sulit dicapai
dengan perbanyakan melalui teknik konvensional. Pengadaan bibit
membantu memperbanyak tanaman (menyediakan bibit), khususnya untuk
tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Keunggulan bibit
hasil kultur jaringan, antara lain:
a. identik dengan induknya
b. massal & hemat tempat
c. waktuyangrelatifsingkat
d. lebih seragam
e. mutu bibit lebih terjamin
f. kecepatan tumbuh bibit lebih cepat
2. Menyediakan bibit bebas virus/penyakit
Banyak virus yang tak menampakkan gejalanya, namun bersifat laten, dan
akan dapat mengurangi vigor, kualitas dan kuantitas produksi. Virus dalam
tanaman induk merupakanmasalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman
hortikultura secara konvensional. Morrel & Martin (1952) menemukan
bahwa pada daerah meristem Martin (1952) menemukan bahwa pada
daerah meristem apikal, ternyata kandungan virusnya paling rendah
bahkan tidak ada. Hal ini mungkin karena virus bergerak melalui sistem
pembuluh, sedang daerah tersebut belum ada sistem pembuluhnya, selain
itu aktivitas metabolisme tinggi pada daerah tersebut tidak mendukung
replikasi virus, juga konsentrasi auksin yang tinggi menghambat
multiplikasi.
3. Membantu program pemuliaan tanaman
Dengan kultur jaringan dapat membantu program pemuliaan tanaman
untuk menghasilkan tanaman yang lebih baik melalui : Keragaman
Somaklonal, Kultur Haploid, Embryo Rescue, Seleksi In Vitro,
Fusiprotoplas, Transformasi Gen /Rekayasa Genetika Tanaman dll.
4. Membantu proses konservasi dan preservasi plasma nutfah
Dilakukandengan konservasi in vivo dalam bentuk penyimpanan biji dan
tanaman hidup (Kebun Raya), preservasi in vivo dengan cara menyimpan
biji. Penyimpanan secara kultur jaringan dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik pertumbuhan minimal (minimal growth) dan
kriopreservasi.Untuk biji ortodoks dalam ruang dengan temperatur dan
kelembaban yang terkendali. Masalahnya pada biji rekalsitran (apalagi
yang ukuran bijinya besar); perlu secara kultur karingan, yaitu sel-sel
kompeten (mampu beregenerasi) disimpan dalam temperatur rendah dan
dibekukan dalam cairan nitrogen (Kriopreservasi). Adapun penelitian
penyimpanan secara kultur jaringan telah dilakukan suatu lembaga (BSJ)
terhadap tanaman ubi-ubian, sepeti ubi kayu, gembili.
5. Memproduksi senyawa kimia untuk farmasi, industri makan dan industri
kosmetik
Sel-sel tanaman yang dapat memproduksi senyawa tertentu, ditumbuhkan
dalam bioreaktor besar. Misalnya untuk produksi senyawa antibiotik dari
suatu jenis fungi. Senyawa hasil tersebut bisa didapatkan dari hasil sintesis
lengkap; juga dapat merupakan hasil transformasi oleh enzim dalam sel
tanaman. Misalnya pewarna merah untuk lipstik dari tanaman, yang
disebut dengan biolips (prod. Kosmetik Kanebo).
Manfaat yang diperoleh dari kultur jaringan adalah diperolehnya
keturunan dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu yang relatif singkat dan
memiliki sifat yang sama dengan induknya (Susi Laelawati, 2008). Biasanya
produk kultur jaringan memiliki keseragaman bentuk dan tinggi serta masa panen
yang sama, sehingga lebih menguntungkan bagi para petani yang memanfaatkan
kultur jaringan. Selain bermanfaat, bioteknologi juga dapat berdampak negative
terhadap lingkungan, social ekonomi maupun kesehatan (Suparwoto dan Yanter
Hutapea,2005).

D. Macam Kultur Jaringan


1. Kultur meristem (meristem cultures)
Meristem adalah bagian tananaman yang sel-selnya bersifat meristematik
dan aktif membelah. Pada tubuh tanaman posisi meristem ada pada ujung tunas
(tunas apikal maupun aksilar) yang berfungsi menambah panjang tunas, pada
ujung akar berfungsi menambah panjang akar serta pada kambium batang yang
menyebabkan bertambah besarnya diameter tanaman. Pada tanaman suku
graminae (rumput-rumputan) terdapat meristem khusus yang disebut ‘meristem
interkalar’ yang posisinya ada pada buku (node) batang yang menyebabkan
bertambah panjangnya ruas (internode) batang. Dalam kultur jaringan, meristem
yang umum digunakan sebagai bahan eksplan adalah meristem ujung tunas
(apikal maupun aksilar).
Kultur meristem menggunakan bahan eksplan yang sangat kecil,
berukuran ≤ 1 mm. Eksplan meristem harus diambil menggunakan mikroskop
dalam laminar. Irisan meristem terdiri dari ‘apical dome’ (ujung tunas yang
posisinya paling atas) serta dua primordia daun yang terkecil tanpa menyertakan
jaringan pembuluh. Kultur meristem menghasilkan progeni (anakan) tanaman
yang bebas virus meskipun bahan eksplan berasal dari tanaman yang terserang
virus. Beberapa alasan yang diduga menyebabkan dihasilkannya tanaman bebas
virus dari kultur meristem adalah: - Sistem jaringan pembuluh belum berkembang
pada meristem, sementara virus bergerak dalam tubuh tanaman melalui jaringan
pembuluh. - Aktifi tas metabolit yang sangat tinggi pada sel-sel meristem yang
aktif membelah sehingga tidak memungkinkan virus bereplikasi. - Tingginya
kandungan auksin endogen pada meristem mungkin menghambat replikasi virus.
Kultur meristem merupakan sistem organogenesis secara langsung, sehingga
memungkinkan diperoleh anakan yang secara genetis lebih stabil jika
dibandingkan melalui fase kalus. Produksi tanaman bebas virus dengan kondisi
genetis yang stabil melalui kultur meristem telah dilakukan oleh perusahaan
hortikultura yang besar untuk tanaman kentang, tebu, pisang dan apel.
2. Kultur ujung tunas (shoot-tip cultures)
Kultur ujung tunas menggunakan eksplan bakal tunas apikal atau tunas
aksilar, berukuran 3-20 mm, menyertakan beberapa primordia daun dan jaringan
pembuluh. Eksplan bakal tunas aksilar dapat berupa ‘nodal segment’ (irisan buku)
karena pada irisan buku (buku merupakan bekas tempat daun tumbuh) terdapat
bakal tunas aksilar. Eksplan ditanam pada media induksi tunas (media dengan
kandungan sitokinin) untuk memunculkan ‘pre-existing’ tunas yang ada dalam
eksplan. Tunas dalam jumlah banyak bisa muncul (multiplikasi tunas), namun
bisa juga hanya dihasilkannya satu tunas dari satu eksplan. Jika dihasilkannya
banyak tunas, tunas-tunas tersebut disubkultur ke media perakaran (media dengan
auksin) untuk dihasilkannya plantlet. Namun jika yang muncul hanya satu tunas,
maka dilakukan kultur ‘nodal segment’ kembali dari satu tunas yang dihasilkan
tersebut. Caranya yaitu dengan jalan menanam kembali irisan buku (node) yang
dihasilkan oleh tunas tersebut. Penanaman ‘nodal segment’umumnya dilakukan
dengan posisi irisan buku ‘tidur’. Tunas yang muncul kemudian bisa disubkultur
ke media perakaran untuk dihasilkannya plantlet. Proses ini bisa diulang kembali
untuk diperoleh lebih banyak plantlet.
3. Kultur embrio (Embrio cultures)
Yang dimaksud dengan kultur embrio adalah mengkulturkan embrio
zigotik secara in vitro. Embrio zigotik adalah hasil fertilisasi antara sel telur
dengan inti sel sperma yang terjadi pada proses fertilisasi ganda tanaman
angiospermae. Embrio zigotik dapat digunakan sebagai bahan eksplan namun
untuk kondisi tertentu atau alasan tertentu sebagai berikut: - Embrio tidak bisa
ditumbuhkan dalam kondisi biasa secara eks vitro karena tidak memiliki cadangan
makanan. Misalnya pada tanaman anggrek. Biji-biji anggrek yang berukuran
sangat kecil dan berjumlah sangat banyak (mencapai ribuan sampai jutaan) dari
sebuah kapsul tidak memiliki endosperm (cadangan makanan) yang diperlukan
oleh biji untuk perkecambahan. Bijibiji ini harus ditumbuhkan secara in vitro
dengan memberi nutrisi buatan untuk dapat berkecambah dan tumbuh menjadi
seedling (tanaman). Embrio hasil fertilisasi tidak berkembang dan mati.
Contohnya adalah ‘embryo rescue’ pada embrio zigotik hasil persilangan buatan
yang dilakukan para pemulia tanaman jeruk keprok. Setelah melakukan
persilangan buatan, embrio muda diambil dari tanaman induk dan ditumbuhkan
secara in vitro karena pada tanaman induknya embrio tersebut tidak berkembang
dan mati.
4. Kultur dan fusi protoplas (Protoplast cultures and fussion)
Istilah protoplas mengacu pada sel tanaman tanpa dinding sel atau isi sel
yang terbungkus hanya oleh membran plasma. Protoplas dari sebuah sel dapat
dipisahkan dari dinding selnya secara enzimatik maupun secara mekanik.
Protoplas yang sudah terpisah dari dinding selnya ini dapat diregenerasikan
menjadi tanaman secara utuh. Isolasi protoplas secara enzimatik pertama kali
dilakukan oleh E.C. Cocking awal tahun 1960. Sedangkan regenerasi protoplas
menjadi tanaman secara utuh pertama dilakukan pada protoplas daun tembakau
melalui kultur protoplas yang dilakukan oleh Takebe et al. pada tahun 1970
(Tomar & Dantu, 2010). Hasil fusi protoplas ini bisa ditumbuhkan menjadi
tanaman secara utuh yang membawa sifat dari dua tetua dari mana protoplas
tersebut berasal. Fusi protoplas ini juga memungkinkan dilakukannya persilangan
antar dua tanaman yang secara taksonomi memiliki hubungan kekerabatan yang
jauh, dimana secara konvensional persilangan tersebut sulit dilakukan. Metode
isolasi protoplas yang umum dilakukan adalah secara enzimatik, meskipun secara
mekanik juga bisa dilakukan. Secara enzimatik, dinding sel dapat didegradasi dan
dihilangkan dengan menggunakan enzim selulase dan pektinase karena komponen
utama dari dinding sel tanaman adalah senyawa selulosa dan pektin. Reagen atau
larutan untuk mengisolasi protoplas, selain mengandung enzim selulase dan
pektinase juga mengandung larutan osmotik untuk menjaga stabilitas dari
membran plasma atau menjaga membran plasma agar terhindar dari kerusakan.
Gula dan garam seperti CaCl2 dapat digunakan sebagai larutan osmotik.
5. Kultur mikrospora (microspore cultures)
Mikrospora merupakan sel kelamin (gamet) jantan pada tanaman
angiospermae dan dapat dijumpai pada bunga tanaman yang masih kuncup.
Mikrospora dapat dikatakan sebagai immature pollen (polen yang belum masak fi
siologis). Secara alamiah, mikrospora akan berkembang menjadi polen atau
serbuk sari. Polen ini nantinya akan berkembang menjadi inti sperma 1 dan inti
sperma 2 pada penyerbukan ganda tanaman angiospermae. Namun pada kultur
mikrospora, mikrospora dibelokkan arah perkembangannya menjadi embrio,
bukan menjadi polen. Embriogenesis mikrospora atau juga disebut androgenesis
ini akan menghasilkan plantlet (tanaman) yang bersifat haploid atau double
haploid (DH) (Ferrie & Caswell, 2011). Dihasilkannya tanaman DH melalui
kultur spora merupakan teknik penting dalam pemuliaan tanaman dan juga riset-
riset dasar. Dihasilkannya tanaman DH ini akan mempersingkat waktu yang
dibutuhkan oleh pemulia tanaman secara konvensional untuk menghasilkan
tanaman homozigot. Namun kultur mikrospora juga memiliki kekurangan yakni
seringkali terjadinya albinisme pada plantlet yang dihasilkan. Mikrospora dan
anther (wadah mikrospora), keduanya dapat digunakan sebagai bahan eksplan,
namun lebih baik digunakan mikrospora yang sudah diisolasi dari anther (Ferrie
& Caswell, 2011). Jaringan anther dapat memberikan dampak negatif dan bisa
menjadi kalus diploid yang nantinya berkembang menjadi tanaman diploid yang
tidak homozigot atau heterozigot, sedangkan jika murni mikrospora maka akan
dihasilkan tanaman haploid. Selanjutnya melalui teknik ‘doubling chromosome’
akan dihasilkan tanaman DH yang homozigot. Ada banyak variasi pelaksanaan
teknik mikrospora dari satu laboratorium dengan laboratorium lainnya atau dari
satu literatur dengan literatur lainnya. Namun pada dasarnya, teknik tersebut
secara umum memiliki beberapa langkah sebagai berikut: - Menumbuhkan
tanaman donor/tanaman induk penghasil mikrospora - Panen organ bunga yang
masih kuncup - Isolasi mikrospora - Menumbuhkan mikrospora menjadi embrio
(induksi embriogenesis) - Melakukan doubling chromosome jika diperlukan.
Embriogenesis mikrospora memerlukan perlakuan stress untuk menginduksi
tebentuknya embrio dari mikrospora. Perlakuan tersebut dapat berupa perlakuan
secara in vivo maupun in vitro berupa perlakuan fi sik, fi siologi maupun secara
kimia. Secara in vivo misalnya, perlakuan stress terhadap tanaman donor berupa
kekurangan nitrogen, kekurangan air dan perlakuan temperatur rendah dapat
meningkatkan jumlah embrio yang dihasilkan dari kultur mikrospora. Perlakuan
secara in vitro misalnya kondisi anaerob, radiasi dan perlakuan senyawa kimia
dapat menjadi stimulus untuk terbentuknya embrio dari mikrospora. Semua
perlakuan stress tersebut dapat merubah atau membelokkan program
perkembangan mikrospora yang seharusnya menjadi polen untuk menjadi embrio.
6. Kultur Kalus dan Kultur Suspensi (Callus Cultures and Suspension cultures)
Kalus adalah kumpulan sel yang belum terdiferensiasi. Kalus terbentuk
pada bekas luka atau irisan pada organ tanaman. Secara in vitro kalus akan
terbentuk pada bagian irisan/luka dari organ yang dikulturkan, namun pada
beberapa spesies tanaman, kalus dapat terbentuk pada bagian sebelah dalam
(interior). Secara teori, semua organ/jaringan tanaman yang sel-selnya masih
hidup dapat membentuk kalus secara in vitro. Akan tetapi jaringan tanaman yang
masih muda (belum ada lignifi kansi pada dinding selnya), atau jaringan muda
yang bersifat meristematik akan lebih mudah menghasilkan kalus. Seedling
(kecambah) yang dibuat secara in vitro dari biji (yang sudah disterilkan) sangat
baik digunakan sebagai bahan eksplan untuk pembuatan kalus. Kalus akan
terbentuk jika eksplan ditanam pada media kultur yang mengandung auksin dan
sitokinin dengan rasio yang sama atau media yang mengandung 2,4-D. Kalus
merupakan bentuk ‘antara’ sebelum terbentuknya embrio dalam proses indirect
embriogenesis somatik maupun sebelum terbentuknya organ pada indirect
organogenesis. Kalus juga merupakan bahan stock untuk kultur suspensi. Pada
kultur suspensi, kalus yang terbentuk akan diambil dan dikulturkan pada media
cair membentuk kultur cair atau kultur suspensi. Kalus yang remah dengan mudah
lepas membentuk kultur sel. Kultur sel dilakukan dengan agitasi atau shaker
(penggoyangan) untuk suplai oksigen. Pada perbanyakan tanaman melalui kultur
in-vitro, kultur sel (melalui kalus) digunakan dalam embriogenesis secara tidak
langsung (indirect embryogenesis), tetapi beberapa riset menunjukkan bahwa
anakan yang dihasilkan melalui kultur sel secara genetik bersifat tidak stabil
sehingga metode ini jarang digunakan. Kultur sel umumnya dibuat untuk produksi
senyawa kimia tertentu, untuk riset-riset yang terkait dengan investigasi jalur
biosintesis senyawa tertentu ataupun riset yang terkait dengan fisiologi sel.
7. Kultur Biji (Seed Cultures)
Kultur biji dilakukan untuk biji tanaman yang tidak dapat dikecambahkan
secara eks vitro ataupun kalau dapat berkecambah secara eks vitro maka
persentase perkecambahannya sangat rendah. Hal ini disebabkan karena biji-biji
tersebut berukuran sangat kecil dan sedikit atau tidak sama sekali memiliki
endosperm (cadangan makanan). Beberapa literatur menyebutkan kultur biji tanpa
cadangan makanan ini juga disebut sebagai kultur embrio. Cadangan makanan
pada biji diperlukan oleh embrio biji untuk proses respirasi sehingga
menghasilkan energi untuk berkecambah. Alasan ini menyebabkan biji-biji
tanaman ini harus dikecambahkan secara in vitro dengan memberikan sumber
karbohidrat eksternal untuk respirasi. Selain itu, pada media juga ditambahkan
nutrisi untuk pertumbuhan lanjutan dari biji yang sudah berkecambah. Salah satu
contoh tipe biji seperti ini adalah biji tanaman anggrek. Buah anggrek biasanya
berbentuk kapsul. Di dalam satu buah anggrek terdapat ribuan hingga jutaan biji
anggrek. Biji anggrek ini dikecambahkan secara in vitro pada media kultur yang
aseptik. Kandungan nutrisi pada media sama dengan media kultur pada umumnya,
namun pada media kultur biji anggrek biasanya ditambahkan senyawa organik
alami seperti ekstrak tomat, air kelapa, jus pisang, jus kentang, dan lain
sebagainya. Perkecambahan biji anggrek tergantung dari umur buah, kultivar
(atau takson yang lebih rendah, forma), serta jenis dan konsentrasi senyawa
ekstrak alami yang ditambahkan. Dwiyani (2013) mendapatkan bahwa pada
media kultur NP (New Phalaenopsis) yang diperkaya dengan ekstrak tomat, biji-
biji anggrek Vanda tricolor dari buah umur 5 bulan (setelah polinasi) memberikan
lebih banyak jumlah protokorm berwarna dibandingkan buah umur 7 bulan.
Terkait dengan perbedaan forma, Dwiyani dkk (2012) mendapatkan bahwa
perkecambahan serta pertumbuhan biji V. tricolor var. suavis forma Bali (tumbuh
alami di daerah Bedugul, Bali) lebih responsif terhadap pemberian ekstrak tomat
dibandingkan forma Merapi (tumbuh alami di lereng Merapi).

E. Teknik Kultur Jaringan


Teknik kultur jaringan memanfaatkan prinsip perbanyakan tumbuhan
secara vegetatif. Berbeda dari teknik perbanyakan tumbuhan secara konvensional,
teknik kultur jaringan dilakukan dalam kondisi aseptik di dalam botol kultur
dengan medium dan kondisi tertentu. Karena itu teknik ini sering kali disebut
kultur in vitro. Dikatakan in vitro (bahasa Latin), berarti "di dalam kaca" karena
jaringan tersebut dibiakkan di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi
tertentu. Teori dasar dari kultur in vitro ini adalah Totipotensi. Teori ini
mempercayai bahwa setiap bagian tanaman dapat berkembang biak karena seluruh
bagian tanaman terdiri atas jaringan-jaringan hidup. Oleh karena itu, semua
organisme baru yang berhasil ditumbuhkan akan memiliki sifat yang sama persis
dengan induknya.
Metode perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dilakukan melalui tiga
cara, yaitu :
1. melalui perbanyakan tunas dari mata tunas apikal,
2. melalui pembentukan tunas adventif, dan embriogenesis somatik, baik
secara langsung dan
3. melalui tahap pembentukan kalus.
Ada beberapa tipe jaringan yang digunakan sebagai eksplan dalam pengerjaan
kultur jaringan:
1. jaringan muda yang belum mengalami diferensiasi dan masih aktif
membelah (meristematik) sehingga memiliki kemampuan regenerasi yang
tinggi. Jaringan tipe pertama ini biasa ditemukan pada tunas apikal, tunas
aksiler, bagian tepi daun, ujung akar, maupun kambium batang.
2. jaringan parenkim, yaitu jaringan penyusun tanaman muda yang sudah
mengalami diferensiasi dan menjalankan fungsinya. Contoh jaringan
tersebut adalah jaringan daun yang sudah berfotosintesis dan jaringan
batang atau akar yang berfungsi sebagai tempat cadangan makanan.

F. Tahapan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan

a. Pemilihan dan Penyiapan Tanaman Induk Sumber Eksplan

Tanaman tersebut harus jelas jenis, spesies, dan varietasnya serta harus
sehat dan bebas dari hama dan penyakit. Tanaman indukan sumber
eksplan tersebut harus dikondisikan dan dipersiapkan secara khusus di
rumah kaca atau greenhouse agar eksplan yang akan dikulturkan sehat dan
dapat tumbuh baik serta bebas dari sumber kontaminan pada waktu
dikulturkan secara in-vitro.
b. Inisiasi Kultur

Tujuan utama dari propagasi secara in-vitro tahap ini adalah pembuatan
kultur dari eksplan yang bebas mikroorganisme serta inisiasi pertumbuhan
baru (Wetherell, 1976). ini mengusahakan kultur yang aseptik atau
aksenik. Aseptik berarti bebas dari mikroorganisme, sedangkan aksenik
berarti bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan.

c. Sentrilisasi

Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus


dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan
alat-alat yang juga sterail. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan,
yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada
peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga
harus steril.
d. Multiplikasi atau Perbanyakan Propagul

Tahap ini bertujuan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman


yang diperbanyak seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam
keadaan tertentu sehingga sewaktu-waktu bisa dilanjutkan untuk tahap
berikutnya. Pada tahap ini, perbanyakan dapat dilakukan dengan cara
merangsang terjadinya pertumbuhan tunas cabang dan percabangan aksiler
atau merangsang terbentuknya tunas pucuk tanaman secara adventif, baik
secara langsung maupun melalui induksi kalus terlebih dahulu.

e. Pemanjangan Tunas, Induksi, dan Perkembangan Akar

Tujuan dari tahap ini adalah untuk membentuk akar dan pucuk tanaman
yang cukup kuat untuk dapat bertahan hidup sampai saat dipindahkan dari
lingkungan in-vitro ke lingkungan luar. Dalam tahap ini, kultur tanaman
akan memperoleh ketahanannya terhadap pengaruh lingkungan, sehingga
siap untuk diaklimatisasikan (Wetherell, 1976). Tunas-tunas yang
dihasilkan pada tahap multiplikasi di pindahkan ke media lain untuk
pemanjangan tunas. Media untuk pemanjangan tunas mengandung
sitokinin sangat rendah atau tanpa sitokinin. Tunas tersebut dapat
dipindahkan secara individu atau berkelompok. Pemanjangan tunas secara
berkelompok lebih ekonomis daripada secara individu. Setelah tumbuh
cukup panjang, tunas tersebut dapat diakarkan. Pemanjangan tunas dan
pengakarannya dapat dilakukan sekaligus atau secara bertahap, yaitu
setelah dipanjangkan baru diakarkan. Pengakaran tunas in-vitro dapat
dilakukan dengan memindahkan tunas ke media pengakaran yang
umumnya memerlukan auksin seperti NAA atau IBA. Keberhasilan tahap
ini tergantung pada tingginya mutu tunas yang dihasilkan pada tahap
sebelumnya.
f. Aklimatisasi

Aklimatisasi adalah proses pengkondisian planlet atau tunas mikro (jika


pengakaran dilakukan secara ex-vitro) di lingkungan baru yang aseptik di
luar botol, dengan media tanah, atau pakis sehingga planlet dapat bertahan
dan terus menjadi bibit yang siap ditanam di lapangan.

G. Pemuliaan contoh tanaman kultur jaingan


Tanaman yang telah berhasil diperbanyak dengan hasil kultur jaringan
hewan adalah :
1. Tanaman obat, Seperti : purwoceng dan binara upas
2. Tanaman hias, seperti : anggrek dan mawar
3. Tanaman berkayu, seperti : jati dan cendana
4. Tanaman buah buahan, seperti : pisang dan manggis.

H. Keunggulan dan Kelemahan Kultur Jaringan


a. Keunggulan Kultur Jaringan
• Pengadaan bibit tidak tergantung musim
• Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif
lebih cepat (dari satu mata tunas yang sudah respon dalam 1 tahun dapat
dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit)
• Bibit yang dihasilkan seragam
• Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu)
• Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah
• Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan
lingkungan lainnya (Laelawati, Susi. 2008).

b. Kelemahan Kultur Jaringan


• Diperlukan biaya awal yang relatif tinggi
• Hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu, karena memerlukan
keahlian khusus.
• Bibit hasil kultur jaringan memerlukan proses aklimatisasi, karena terbiasa
dalam kondisi lembap dan aseptik (Nugroho, 2005).
DAFTAR PUSTAKA

Pratiwi, D. A., Maryanti, Sri., Srikini., Suharno., S. Bambang. 2007.


BIOLOGI untuk SMA Kelas XII. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Laelawati, Susi. 2008. Bioteknologi. Jakarta : Penerbit Nobel Edumedia.


Setiwati, Tetty., Furqonita, Deswanti. 2007. BIOLOGI Interaktif. Jakarta Timur:
Penerbit Azka Press.
Hendaryono, D.P.S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik kultur jaringan. Kanisius.
Yogyakarta. pp.139.
Nugroho, A. dan H. Sugito. 2005. Teknik kultur jaringan. Penebar Swadaya.
Jakarta. pp.71.
Suparwoto dan Yanter Hutapea. 2005. Keragaman buah duku dan pemasarannya
di Sumatera Selatan, Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian Vol. 8(3)

Anda mungkin juga menyukai