Anda di halaman 1dari 7

RINGKASAN

Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat udara pada rongga pleura. Rongga
pleura adalah ruang tipis di antara pleura visceral dan pleura parietal. Adanya rongga udara
menyebabkan paru-paru menjadi terdesak dan tidak dapat mengembang, sehingga darah
yang menuju ke paru-paru tidak dapat mengalami proses ventilasi dan proses oksigenasi
tidak terjadi. Selanjutnya, secara otomatis akan terjadi gangguan pada proses perfusi
oksigen ke jaringan atau organ. Jika dibiarkan akan dapat menyebabkan komplikasi bahkan
kematian. Oleh karena itu, diperlukan diagnosis yang cepat dan tepat agar dapat dilakukan
penanganan dengan cepat. Saat ini, diagnosis masih dilakukan dengan cara menganalisis
citra x-ray secara langsung dengan menggunakan bantuan Computer Aided Detection and
Diagnosis (CAD). Tetapi, menggunakan diagnosis dengan cara ini masih sering terjadi
perbedaan antara hasil analisis citra dengan penafsiran dokter, sehingga dibutuhkan
teknologi yang lebih canggih, seperti Deep Learning. Salah satunya metode yang digunakan
untuk melakukan proses training klasifikasi adalah menggunakan Convolutional Neural
Network (CNN). Untuk itu, penelitian ini akan mengambangkan sebuah sistem yang dapat
mendeteksi pneumotoraks pada citra x-ray dengan menggunakan CNN. Hasil dari sistem
diharapkan akan dapat mendukung diagnosis yang dilakukan dokter.

1. LATAR BELAKANG
1.1. Latar Belakang
Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat udara pada rongga pleura. Rongga
pleura adalah ruang tipis di antara pleura visceral dan pleura parietal. Pada keadaan normal,
rongga pleura di penuhi oleh paru–paru yang mengembang pada saat inspirasi. Pada saat
ada udara di dalam rongga pleura, paru-paru menjadi terdesak oleh udara tersebut.
Semakin banyak udara yang masuk kedalam rongga pleura akan menyebabkan paru-paru
menjadi kolaps karena tekanan pada intrapleura meningkat. Hal ini menyebabkan darah
yang menuju ke paru-paru tidak dapat mengalami proses ventilasi sehingga proses
oksigenasi tidak terjadi, kemudian secara otomatis akan terjadi juga gangguan pada proses
perfusi oksigen kejaringan atau organ. Jika dibiarkan akan dapat menyebabkan komplikasi
bahkan kematian.
Sebenarnya kematian karena kasus pneumotoraks bisa dihindari jika dilakukan penanganan
secara cepat. Penanganan pneumotoraks dapat dilakukan dengan melakukan drainase
udara dengan menggunakan jarum maupun pemasangan chest tube. Untuk dapat
melakukan penanganan yang cepat, diperlukan diagnosis yang cepat pula. Diagnosis
pneumotoraks dilakukan dengan pencitraan, baik dengan x-ray, CT scan, maupun USG.
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah menggunakan x-ray dikarenakan waktu
yang cepat dan harganya murah. Selain itu, kebanyakan fasilitas kesehatan di daerah-daerah
belum memiliki alat yang lain.
Metode diagnosis saat ini masih menggunakan cara yang konvensial yaitu radiografer
menganalisis gambar X-ray pasien secara langsung menggunakan bantuan Computer Aided
Detection and Diagnosis (CAD). Secara umum, dua faktor penting dalam penilaian CAD
adalah populasi pasien yang menjalani pemeriksaan dan populasi dokter yang menafsirkan
data gambar. Kedua hal ini telah ditemukan sebagai sumber utama variabilitas dalam
interpretasi citra medis. Variabilitas yang luas berpotensi besar menyimpang dari penafsiran
dokter.
1.2. Perumusan Masalah
Pemeriksaan dengan pencitraan x-ray memiliki keterbatasan. Citra hasil x-ray memiliki noise
yang cukup banyak sehingga seringkali kurang jelas memperlihatkan kondisi pneumotoraks,
terutama jika ukuran pneumotoraks kecil. Karena itu, diperlukan seorang ahli untuk
mendiagnosis pneumotoraks melalui citra x-ray. Hal ini tentu membutuhkan waktu yang
lama mengingat terbatasnya jumlah ahli yang ada. Selain itu, jika menggunakan bantuan
CAD, masih sering terjadi perbedaan antara hasil analisis citra dengan penafsiran dokter.
Untuk itu, diperlukan suatu alat bantu yang dapat mengenali pneumotoraks pada citra x-ray
dengan teknologi yang lebih canggih, seperti Deep Learning. Salah satunya metode yang
digunakan untuk melakukan proses training klasifikasi adalah menggunakan Convolutional
Neural Network (CNN). Hasil dari aplikasi ini dapat digunakan untuk bahan pertimbangan
apakah pasien membutuhkan pertolongan darurat atau dapat menunggu tersedianya
dokter. Selain itu juga dapat memberikan dukungan pada diagnosis yang dilakukan dokter.
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah aplikasi untuk mengenali
citra x-ray pasien terhadap kondisi pneumothorax. Aplikasi ini nantinya akan bisa secara
otomatis mendeteksi adanya pneumothorax pada citra x-ray pasien sehingga dapat
digunakan untuk bahan pertimbangan apakah pasien membutuhkan pertolongan darurat
atau dapat menunggu tersedianya dokter, dan memberikan dukungan pada diagnosis
dokter. Pada citra x-ray yang diperoleh, akan dilakukan pre-processing terlebih dahulu untuk
memperbaiki citra, menghilangkan noise, dan mengambil obyek yang diperlukan. Nantinya,
data-data dari citra tersebut akan digunakan untuk pembelajaran mesin learning
menggunakan CNN.
1.4. Urgensi
Penelitian deteksi pneumothorax ini mendesak dilakukan mengingat insidensi
pneumotoraks termasuk dalam angka kematian tertinggi pada trauma dada. Di Amerika
Serikat, insidensi pneumotoraks mencapai 7,4 hingga 18 kasus per 100.000 populasi pada
pria dan mencapai 1,2 hingga 6 kasus per 100.000 populasi pada wanita. Jumlah ini akan
meningkat jika terlambat dilakukan penanganan. Dalam sebuah studi disebutkan, Jumlah
kasus pneumotoraks pada korban kecelakaan lalu lintas di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
Bandung di Bagian Bedah Toraks periode 2014-2015 yaitu sebanyak 27 kasus. Untuk itu,
sistem ini perlu segera dikembangkan untuk membantu mengurangi angka tersebut.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. State of The Art Penelitian
Untuk melakukan diagnosis pneumotoraks, diperlukan pengambilan citra organ tubuh paru-
paru. Pengambilan citra dilakukan dengan menggunakan x-ray. X-ray dipilih karena
prosesnya cepat dan harganya murah, selain itu, x-ray sudah tersedia di fasilitas kesehatan
di daerah dibanding dengan alat pengambilan citra yang lain seperti CT scan maupun MRI.
Selanjutnya, citra tersebut akan dianalisa oleh dokter.

Citra hasil x-ray memiliki noise yang cukup banyak sehingga seringkali kurang jelas
memperlihatkan kondisi pneumotoraks, terutama jika ukuran pneumotoraks kecil. Seperti
yang terlihat pada gambar, garis pleural sangat tipis hampir tidak terlihat. Sehingga untuk
menganalisisnya diperlukan perhatian dan ketelitian ekstra juga waktu yang cukup. Untuk
itu, diperlukan suatu sistem yang dapat membantu mendeteksi pneumotoraks dalam citra x-
ray. Sistem ini diharapkan dapat membantu mempercepat proses diagnosis dan dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pendukung diagnosis dokter.
Sampai saat ini, sudah ada alat bantu yang digunakan untuk mendeteksi pneumotoraks,
yaitu Computer Aided Detection and Diagnosis (CAD). Tetapi, menggunakan diagnosis
dengan cara ini masih sering terjadi perbedaan antara hasil analisis citra dengan penafsiran
dokter, sehingga dibutuhkan teknologi yang lebih canggih, seperti Deep Learning. Salah
satunya metode yang digunakan untuk melakukan proses training klasifikasi adalah
menggunakan Convolutional Neural Network (CNN).
Deep Learning adalah bagian dari kecerdasan buatan dan machine learning yang merupakan
pengembangan dari neural network multiple layer untuk memberikan ketepatan tugas
seperti deteksi objek, pengenalan suara, terjemahan bahasa dan lain – lain. Deep
Learning berbeda dari teknik machine learning yang tradisional, karena deep learning secara
otomatis melakukan representasi dari data seperti gambar, video atau text tanpa
memperkenalkan aturan kode atau pengetahuan domain manusia.
Convolutional Neural Network (CNN) adalah salah satu metode Deep Learning dari
pengembangan Multi Layer Perceptron (MLP) yang didesain untuk mengolah data dua
dimensi. CNN termasuk dalam kategori Supervised Learning dimana dilakukan proses
pembelajaran (learning) terhadap komputer menggunakan masukan data latih yang telah
diberi label. Tahun 2012 penerapan Deep Learning dengan metode CNN dipopulerkan
dengan arsitektur AlexNet yang diuji dengan dataset ImageNet. Penelitian ini menggunakan
dataset ImageNet LSVRC-2010 kedalam 1000 kelas. Arsitektur ini menunjukan hasil yang
sangat signifikan pada testing test dengan test error sebesar 17%. CNN memiliki arsitektur
yang mirip dengan neural network pada umumnya, yaitu terdiri dari neuron yang memiliki
weight, bias dan activation function.
Activation Function atau fungsi aktivasi merupakan sebuah fungsi yang menggambarkan
hubungan antara tingkat aktivitas internal (summation function) yang mungkin berbentuk
linear ataupun non-linear. Fungsi ini bertujuan untuk menentukan apakah neuron diaktifkan
atau tidak. Berikut fungsi aktivasi yang sering digunakan pada model Convolutional Neural
Network dalam penelitian:

 Rectified Linear Unit (ReLU)


Pada dasarnya fungsi ReLU melakukan treshold dari 0 hingga tidak terhingga
(infinity). Fungsi ini menjadi salah satu fungsi aktivasi yang populer saat ini. Pada
fungsi ini input dari neuron-neuron berupa bilangan negatif akan diterjemahkan
kedalam nilai 0, dan jika masukan bernilai positif maka output dari neuron adalah
nilai aktivasi itu sendiri. Fungsi aktivasi ini memiliki kelebihan yaitu dapat
mempercepat proses konfigurasi yang dilakukan dengan Stochastic Gradient Descent
(SGD). Kelemahan ReLU yaitu fungsi aktivasi ini bisa menjadi rapuh pada proses
training dan bisa membuat unit tersbut mati.
 Softmax
Softmax adalah fungsi aktivasi yang mengambil input vektor dari bilangan real K, dan
menormalkannya menjadi distribusi probabilitas yang terdiri dari probabilitas K.
Softmax akan merubah beberapa komponen vektor negatif atau lebih besar dari satu
dan mungkin tidak berjumlah 1 menjadi interval (0,1) dan komponen akan
bertambah hingga 1. Sehingga hal ini dapat diartikan sebagai probabilitas.

3. METODE
Gambar 2 merupakan blok diagram kerja sistem. Dataset citra dibagi menjadi 2, yaitu
training set dan testing set. Sebelum masuk ke fase training dan testing, semua citra
dilakukan proses pre-processing terlebih dahulu. Proses pro-processing dilakukan untuk
menghilangkan noise, memperbaiki citra, dan segmentasi citra untuk mendapatkan fitur
obyek yang dibutuhkan.
Tahap selanjutnya yaitu tahap Training Phase, proses training menggunakan Supervised
Learning sehingga membutuhkan dataset yang cukup banyak dan akurat agar bisa
mengenali pneumotoraks dengan baik. Semakin banyak dataset yang di-training, maka akan
semakin akurat hasil yang diperoleh. Training data dilakukan dengan menggunakan CNN.
Dataset dibagi menjadi dua, yaitu data training dan data validasi. Tahap selanjutnya yaitu
prediction model yang merupakan hasil berupa model yang diperoleh setelah melakukan
proses training dan validasi yang nanti digunakan untuk klasifikasi citra testing.
Dari tahapan testing phase, akan diperoleh model yang dapat mendeteksi pneumotoraks
dari hasi x-ray. Selanjutnya model tersebut akan di-tes untuk mendapatkan tingkat
akurasinya. Pada tahap testing phase ini, akan dilakukan klasifikasi terhadap gambar x-ray
dari pasien dengan menggunakan model yang telah di-training. Kemudian hasil penilaian
model akan dibandingkan dengan label dataset yang sudah dinilai dokter. Selanjutnya
dihitung jumlah benar dan diperoleh presentase akurasi sistem.

JADWAL

Minggu ke-
No. Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Studi Literatur
1.
Mencari
Dataset
2. Gambar Xray
bagian dada

Training dan
3.
Testing Data
Percobaan
menggunakan
4.
jenis
arsitektur lain
Perbadingan
dengan
5.
arsitektur
CNN
Penyusunan
6. Laporan dan
Buku

DAFTAR PUSTAKA
http://machinelearning.mipa.ugm.ac.id/2018/06/10/pengenalan-deep-learning/
Dataset dan
Label

Training Pre Convolutional Prediction


Image Set Processing Neural Network Model

Training Phase

Test Image Pre


Classified Result
Set Processing

Testing Phase

Anda mungkin juga menyukai