Anda di halaman 1dari 11

DEFINISI ANEMIA

Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitung sel darah merah dan kadar
hemoglobin dan hematokrit dibawah normal . Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan
merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara
fisiologis anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut
oksigen ke jaringan (Smeltzer, 2015).

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas
hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2009).

Jadi, anemia adalah berkurangnya atau rendahnya sel darah merah, hemoglobin dan
hematokrit dalam tubuh.

ETIOLOGI ANEMIA PADA ANAK SECARA UMUM


Menurut Nurarif (2015), penyebab dari anemia antara lain :
a. Gangguan produksi sel darah merah, yang dapat terjadi karena;
• Perubahan sintesa Hb yang dapat menimbulkan anemia
• Perubahan sintesa DNA akibat kekurangan nutrient
• Fungsi sel induk (stem sel ) terganggu
• Inflitrasi sum-sum tulang
b. Kehilangan darah
• Akut karena perdarahan
• Kronis karena perdarahan
• Hemofilia (defisiensi faktor pembekuan darah)
c. Meningkatnya pemecahan eritrosit (hemolisis) yang dapat terjadi karena;
• Faktor bawaan misalnya kekurangan enzim G6PD
• Faktor yang didapat, yaitu bahan yang dapat merusak eritrosit
d. Bahan baku untuk membentuk eritrosit tidak ada
Ini merupakan penyebab tersering dari anemia dimana terjadi kekurangan zat gizi yang
diperlukan untuk sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat.
PATOFISIOLOGI ANEMIA
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum tulang atau kehilangan sel darah
merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum tulang dapat terjadi akibat kekurangan
nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui.
Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang
disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan
ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa faktor diluar sel darah merah yang
menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sistem fagositik atau dalam sistem
retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin
yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan
destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin
plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik
pada sclera (Smeltzer, 2015).

KOMPLIKASI
Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Akibatnya, penderita anemia
akan mudah terkena infeksi. Gampang batuk-pilek, gampang flu, atau gampang terkena
infeksi saluran napas, jantung juga menjadi gampang lelah, karena harus memompa darah
lebih kuat. Pada kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat ditangani dan berkelanjutan
dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi janin. Selain bayi lahir dengan berat
badan rendah, anemia bisa juga mengganggu perkembangan organ-organ tubuh, termasuk
otak. Anemia berat, gagal jantung kongesti dapat terjadi karena otot jantung yang anoksik
tidak dapat beradaptasi terhadap beban kerja jantung yang meningkat. Selain itu dispnea,
nafas pendek dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi
berkurangnya pengurangan oksigen (Price &Wilson, 2009)
PENATALAKSANAAN MEDIS PADA KASUS ANEMIA
Tujuan utama dari terapi anemia adalah untuk identifikasi dan perawatan karena penyebab
kehilangan darah,dekstruksi sel darah atau penurunan produksi sel darah merah.pada pasien
yang hipovelemik:
Pemberian tambahan oksigen, pemberian cairan intravena,
Resusitasi pemberian cairan kristaloid dengan normal salin.
Tranfusi kompenen darah sesuai indikasi
(Catherino,2003:416)
Evaluasi Airway, Breathing, Circulation dan segera perlakukan setiap kondisi yang
mengancam jiwa. Kristaloid adalah cairan awal pilihan.
(Kahsasi, 2009)
Acute anemia akibat kehilangan darah:
Pantau pulse oksimetri, pemantau jantung, dan Sphygmomanometer.
Berikan glukokortikoid serta agen antiplatelet (aspirin) sesuai indikasi.
Berikan 2 botol besar cairan intravena dan berikan 1-2 liter cairan kristaloid dan juga pantau
tanda-tanda dan gejala gagal jantung kongestif iatrogenik pada pasien..
Berikan plasma beku segar (FFP), faktor-faktor koagulasi dan platelet, jika diindikasikan.
Pasien dengan hemofilia harus memiliki sampel terhadap faktor deficiency yang dikirim
untuk pengukuran.
Pasien hamil dengan trauma yang ada kecurigaan terhadap adanya Feto-transfer darah ibu
harus diberikan imunoglobulin Rh-(Rhogam) jika mereka Rh negatif.
Setelah pasien stabil, mulailah langkah-langkah spesifik untuk mengobati penyebab
pendarahan. (Kahsasi, 2009)

Terapi yang diberikan pada pasien dengan anemia dapat berbeda-beda tergantung dari jenis
anemia yang diderita oleh pasien. Berikut ini beberapa terapi yang diberikan pada pasien
sesuai dengan jenis anemia yang diderita:
Anemia Deficiensi Besi
Setelah diagnosa ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi berupa:
Terapi kausal: tergantung pada penyebab anemia itu sendiri, misalnya pengobatan
menoragi, pengobatan hemoroid bila tidak dilakukan terapi kausal anemia akan kambuh
kembali.
Pemberiian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi di dalam tubuh. Besi per oral
(ferrous sulphat dosis 3x200 mg, ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate,
ferrous suuccinate). Besi parentral, efek sampingnya lebih berbahaya besi parentral
diindikasikan untuk intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang, kolitis ulseratif, dan
perlu peningkatan Hb secara cepat seperti pada ibu hamil dan preoperasi. (preparat yang
tersedia antara iron dextran complex, iron sorbitol citric acid complex). Pengobatan
diberikan sampai 6 bulan setelah kadar hemoglobin normal untuk cadangan besi tubuh.
Pengobatan lain misalnya: diet, vitamin C dan transfusi darah. Indikasi pemberian
transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah pada pasien penyakit jantung
anermik dengan ancaman payah jantung, anemia yang sangat simtomatik, dan pada
penderita yang memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat.dan jenis darah
yang diberikan adalah PRC untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai premediasi
dapat dipertimbangkan pemberian furosemid intravena. (Bakta, 2009)

Anemia Akibat Penyakit Kronis


Dalam terapi anemia akibat penyakit kronik, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian
adalah:
Jika penyakit dasar daat diobati dengan baik, anemia akan sembuh dengan sendirinya.
Anemia tidak memberi respon pada pemberian besi, asam folat, atau vitamin B12.
Transfusi jarang diperlukan karena derajaat anemia ringan.
Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan hemoglobin, tetapi harus
diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiiensi besi pemberian preparat besi akan
meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan berhenti setelah hemoglobin
mencapai kadar 9-10 g/dl. (Bakta, 2009)

Anemia Sideroblastik
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia sideroblastik adalah:
Terapi untuk anemia sideroblastik herediter bersifat simtomatik dengan transfusi darah.
Pemberian vittamin B6 dapat dicoba karena sebagian kecil penderita responsif terhadap
piridoxin. (Bakta, 2009)

Anemia Megaloblastik
Terapi utama anemia defisiensi vitamin B12 dan deficiensi asam folat adalah terapi ganti
dengan vitamin B12 atau asam folat meskipun demikian terapi kausal dengan perbaikan
gizi dan lain-lain tetap harus dilakukan:
Respon terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2-3 dengan puncak pada hari 7-8. Hb
harus naik 2-3 g/dl tiap 2 minggu. Neuropati biasanya dapat membaik tetapi kerusakan
medula spinalis biasanya irreverrsible. (Bakta, 2009)
Untuk deficiensi asam folat, berikan asam folat 5 mg/hari selama 4 bulan.
Untuk deficiensi vitamin B12: hydroxycobalamin intramuskuler 200 mg/hari, atau 1000
mg diberikan tiap minggu selama 7 minggu. Dosis pemeliharaan 200 mg tiap bulan atau
1000 mg tiap 3 bulan.

Anemia Perniciosa
Sama dengan terapi anemia megaloblastik pada umumnya maka terapi utama untuk
anemia pernisiosa adalah:
Terapi ganti (replacement) dengan vitamin B12
Terapi pemeliharaan
Monitor kemungkinan karsinoma gaster. (Bakta, 2009)

Anemia Hemolitik
Pengobatan anemia hemolitik sangat tergantung keadaan klinik kasus tersebut serta
penyebab hemolisisnya karena itu sangat bervariasi dari kasus per kasus. Akan tetapi
pada dasarnya terapi anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu:
Terapi gawat darurat
Pada hemolisis intravaskuler, dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut maka harus
diambil tindakan darurat untuk mengatasi syok, mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit, sertaa memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi anemia berat,
pertimbangan transfusi darah harus dilakukan secara sangat hati-hati, meskipun
dilakukan cross matchng, hemolisis tetap dapat terjadi sehingga memberatkan fungsi
organ lebih lanjut. Akan tetapi jika syok berat telah teerjadi maka tidak ada pilihan
lain selain transfusi.
Terapi Kausal
Terapi kausal tentunya menjadi harapan untuk dapat memberikan kesembuhan total.
Tetapi sebagian kasus bersifat idiopatik, atau disebabkan oleh penyebab herediter-
familier yang belum dapat dikoreksi. Tetapi bagi kasus yang penyebabnya telah jelas
maka terapi kausal dapt dilaksanakan. (Bakta, 2009)
Terapi Suportif-Simtomatik
Terapi ini diberikan untuk menek proses hemolisis terutama di limpa. Pada anemia
hemolitik kronik familier-herediter sering diperlukan transfusi darah teratur untuk
mempertahankan kadar hemoglobin. Bahkan pada thalasemia mayor dipakai teknik
supertransfusi atau hipertransfusi untuk mempertahankan keadaan umum dan
pertumbuhan pasien. Pada anemia hemolitik kronik dianjurkan pemberian asam
folat 0,15-0,3 mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.

Definisi

Thalasemia merupakan penyakit kongenital herediter yang diturunkan secara autosomal


berdasarkan kelainan haemoglobin, dimana satu atau dua rantai Hb kurang atau tidak terbentuk
secara sempurna sehingga terjadi anemia hemolitik. Kelainan hemolitik ini mengakibatkan
kerusakan pada sel darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi
pendek (Indanah, 2010).
Thalasemia adalah penyakit genetic yang diturunkan secara autosomal resesif menurut
hukum mendel dari orang tua kepada anak-anaknya yang dapat menunjukkan gejala klinis dari
yang paling ringan (bentuk heterozigot) yang disebut thalasemia minor atau trait (carrier =
pengembang sifat) hingga yang paling berat (bentuk homozigot) yang disebut thalasemia mayor.
Bentuk heterozigot diturunkan oleh salah satu orang tua yang mengidap thalasemia, sedangkan
bentuk homozigot diturunkan oleh kedua orang tuanya yang mengidap penyakit thalasemia
(Sudoyo, Aru W, 2009)
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh haemoglobin.
(suryadi,2001)
Thalassemia alpa adalah kelainan herediter yang diakibatkan oleh berkurangnya atau
tidak adanya sintesis satu atau lebih rantai globin α. Thalasemia mayor dikenal dengan (Coleey
anemia) merupakan bentuk homozigot dari thalasemia β yang disertai dengan anemia berat dan
sangat tergantung pada tranfusi. Penyakit thalasemia merupakan kelainan genetik tersering
didunia. Kelainan ini terutama ditemukan dikawasan Mediterania, Afrika dan Asia Tenggara
dengan frekuensi sebagai pembawa gen sekitar 5-30% (Indanah, 2010).
Thalasemia adalah penyakit yang diturunkan secara autosomal dari orang tua kepada
anaknya. Dimana adanya penurunan produksi jumlah hemoglobin yaitu salah satu komponen
terpenting darah yang berfungsi mensuplai oksigen ke seluruh tubuh, sehingga mengakibatkan
suplai oksigen keseluruh tubuh terganggu.

Etiologi

Thalasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan orang tua kepada anaknya. Anak
yang mewarisi gen thalasemia dari salah satu orang tua dan gen normal dari orang tua lain adalah
seorang pembawa (carries). Anak yang mewarisi gen dari kedua orang tuanya menderita
thalasemia sedang sampai berat. (Muncie & Campbell, 2009)

Patofisiologi

Pada pasien thalasemia terjadi gangguan sintesis globin. Tidak seimbangnya jumlah
rantai α dan β globin yang disintesis menyebabkan hemoglobin tidak terbentuk secara normal.
Kondisi ini menyebabkan penurunan sintesis rantai β dalam molekul hemoglobin yang terjadi
secara parsial atau total. Penurunan rantai β- akan dikompensasi oleh meningkatnya sintesis
rantai α-, sedangkan rantai –γ tetap aktif dan menghasilkan pembentukan hemoglobin yang
cacat. (Rund & Rachmilewitz, 2005)

Keadaan unit polipeptida yang tidak seimbang menyebabkan kelainan produksi


hemoglobin secara kronis dan destruksi eritrosit. Kondisi ini menyebabkan sumsum tulang
membentuk eritrosit baru, sehingga muncul eritropoeisis. (Price & Wilson, 2006)

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik yang dapat dijumpai sebagai dampak patologis penyakit pada
thalasemia yaitu anemia yang menahun disebabkan eritropoises yang tidak efektif, proses
hemolisis dan reduksi sintesa hemoglobin (Indanah, 2010).
Adanya anemia tersebut mengakibatkan pasien memerlukan transfusi darah seumur
hidupnya. Pemberian transfusi darah secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya
penumpukan zat besi pada jaringan parenkim disertai dengan kadar serum besi yang tinggi. Hal
tersebut dapat menimbulkan hemosiderosis pada berbagai organ tubuh seperti, jantung, hati,
limpa serta kelenjar endokrin. Kondisi anemia kronis menyebabkan terjadinya hypoxia jaringan
dan merangsang peningkatan produksi eritropoitin yang berdampak pada ekspansi susunan
tulang sehingga pasien thalasemia mengalami deformitas tulang, resiko menderita gout dan
defisiensi asam folat. Selain itu peningkatan eritropoitin juga mengakibatkan hemapoesis ekstra
medular. Hemapoesis eksta medular serta hemolisis menyebabkan terjadinya hipersplenisme dan
splenomegali. Hypoxia yang kronis sebagai dampak dari anemia mengakibatkan penderita sering
mengalami sakit kepala, irritable, aneroxia, nyeri dada dan tulang serta intoleran aktifitas. Pada
taraf lanjut pasien juga beresiko mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
reproduksi. Pasien dengan thalasemia juga mengalami perubahan struktur tulang yang ditandai
dengan penampilan wajah khas berupa tulang maxilaris yang menonjol, dahi yang lebar dan
tulang hidung datar (Indanah, 2010).
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada Klien Dengan Thalasemia
Fraktur patologis

Hepatosplenomegali

Gangguan tumbuh kembang

Disfungsi organ

Gagal jantung

Hemosiderosis

Hemokromatosis sumber

Pemeriksaan penunjang

Darah tepi :
Hb rendah dapat sampai 2-3 g%

Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan
makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly,
poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.

Retikulosit meningkat.

Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis) :

Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis asidofil.

Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.

Pemeriksaan khusus :Hb F meningkat : 20%-90% Hb total

Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.

Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor merupakan trait (carrier)
dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb total).

Pemeriksaan lain :

Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula
tegak lurus pada korteks.

Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang sehingga trabekula
tampak jelas. sumber

Penatalaksanaan
Hingga sekarang tidak ada obat yang dapat menyembuhkan thalassemia. Transfusi darah
diberikan bila kadar Hb telah rendah (kurang dari 6 g/dl) atau bila anak mengeluh tidak mau
makan dan lemah. Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan iron chelating agent,
yaitu desferal secara intramuskular atau intravena.
Splenektomi dilakukan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun, sebelum didapatkan tanda
hipersplenisme atau hemosiderosis. Bila kedua tanda itu telah tampak, maka splenektomi tidak
berguna. Sesudah splenektomi, frekuensi transfusi darah biasanya menjadi lebih jarang.
Diberikan pula bermacam-macam vitamin, tetapi preparat yang mengandung besi merupakan
indikasi kontra (Rusepno, 1985).
Dilaboratorium klinik, kadar hemoglobin dapat ditentukan dengan berbagai cara :
diantaranya dengan cara kolorimetrik seperti cara sianmethemoglobin (HiCN) dan dengan cara
oksihemoglobin (HbO2). International committee for standardization in Haematology (ICSH)
menganjurkann pemeriksaan kadar hemoglobin cara sianmethemoglobin. Cara ini mudah
dilakukan, mempunyai standar yang stabil dan dapat mengukur semua jenis hemoglobin kecuali
sulfhemoglobin. Metoda sahli yang berdasarkan pembentukan hematin asam tidak dianjurkan
lagi, karena mempunyai kesalahan yang sangat besar, alat tidak dapat distandardisasi dan tidak
semua jenis hemoglobin diubah menjadi hematin asam, seperti karboksihemoglobin,
methemoglobin dan sulfhemoglobin.
Laboratorium
Kelainan morfologi erotrosit pada penderita thalassemia beta homozigot yang tidak di
transfusi adalah eksterm di samping hipokronia dan mikrositosis berat., banyak ditemukan
poikilosit yang terfrakmentasi, aneh (bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti
ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi intra eritrositik, yang merupakan
presipitasi dari kelebihan rantai alfa, juga dapat terlihat paska splenektomi. Kadar Hb turun
secara cepat menjadi kurang dari 5 g/dl kecuali jika transfusi di berikan. Kadar bilirubin serum
tidak terkonjugasi meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi kapasitas pengikat besi.
Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar Hb F yang sangat tinggi dalam eritrosit.
Senyawa dipirol menyebabkan urin berwarna coklat gelap terutama paska splenektomi.
Terapi
Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl.
Regimen hiper transfusi ini mempunyai keuntungan yang memungkinkan aktifitas normal
dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang dan masalah kosmetik progresif yang terkait
dengan perubahan tulang-tulang muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis.
Transfusi dengan dosis 15-20 ml/kg sel darah merah terpampat (PRC) biasanya di perlukan
setiap 4-5 minggu. Uji silang harus di kerjakan untuk mencegah alloimunisasi dan mencehag
reaksi transfusi. Lebih baik di gunakan PRC yang relatif segar (kurang dari 1 minggu dalam
antikoagulan CPD) walaupun dengan ke hati-hatian yang tinggi, reaksi demam akibat transfusi
lazim ada. Hal ini dapat di minimalkan dengan penggunaan eritrosit yang direkonstitusi dari
darah beku atau penggunaan filter leukosit, dan dengan pemberian antipiretik sebelum transfusi.
Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang, yang tidak dapat di hindari karena
setiap 500 ml darah membawa kira-kira 200 mg besi ke jaringan yang tidak dapat di ekskresikan
secara fisiologis. Siderosis miokardium merupakan faktor penting yang ikut berperan dalam
kematian awal penderita. Hemosiderosis dapat di turunkan atau bahkan di cegah dengan
pemberian parenteral obat pengkelasi besi (iron chelating drugs) deferoksamin, yang membentuk
kompleks besi yang dapat di ekskresikan dalam urin. Kadar deferoksamin darah yang di
pertahankan tinggi adalah perlu untuk ekresi besi yang memadai. Obat ini diberikan subkutan
dalam jangka 8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil (selama tidur), 5 atau 6
malam/minggu penderita yang menerima regimen ini dapat mempertahankan kadar feritin serum
kurang dari 1000 ng/mL yang benar-benar di bawah nilai toksik.
Obat pengkhelasi besi per oral yang efektif, deferipron, telah dibuktikan efektif serupa
dengan deferoksamin. Terapi hipertransfusi mencegah splenomegali masif yang di sebabkan oleh
eritropoesis ekstra medular. Namun splenektomi akhirnya di perlukan karena ukuran organ
tersebut atau karena hipersplenisme sekunder. Splenektomi meningkatkan resiko sepsis yang
parah sekali, oleh karena itu operasi harus dilakukan hanya untuk indikasi yang jelas dan harus di
tunda selama mungkin. Indikasi terpenting untuk splenektomi adalah meningkatkan kebutuhan
transfusi yang menunjukkan unsur hipersplenisme. Kebutuhan transfusi melebihi 240 ml/kg
PRC/tahun biasanya merupakan bukti hipersplenisme dan merupakan indikasi untuk
mempertimbangkan splenektomi. Imunisasi pada penderita ini dengan vaksin hepatitis B, vaksin
H.influensa tipe B, dan vaksin polisakarida pneumokokus diharapakan, dan terapi profilaksis
penisilin juga dianjurkan. Cangkok sumsum tulang ( CST) adalah kuratif pada penderita ini dan
telah terbukti keberhasilan yang meningkat, meskipun pada penderita yang telah menerima
transfusi sangat banyak. Prosedur ini membawa resiko morbiditas dan mortalitas dan biasanya
hanya di gunakan untuk penderita yang mempunyai saudara kandung yang sehat (yang tidak
terkena) yang histokompatibel.

Anda mungkin juga menyukai