Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN
 
Latar Belakang
 Fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum islam yang mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah (hablumminallah), dan juga hubungan manusia dengan
sesama manusia (hablumminannas). Hablumminallah berarti suatu perbuatan yang
semata-mata berhubungan dengan peribadatan kepada Allah berupa shalat, puasa dan
haji, sedangkan Hablumminannas artinya suatu perbuatan yang berhubungan dengan
sesama manusia, misalnya soal berbuat baik, hukum pidana dan perdata, aturan
kesopanan berpakaian dan bertingkah-laku, hidup bertetangga, sampai kepada aturan
bernegara dan bermasyarakat secara umum.[1]
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk sosial yang membutuhkan bantuan
orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melakukan hubungan jual-beli,
tukar-menukar, sewa-menyewa, dll.Namun terkadang sifat serakah membuat seorang
manusia melakukan kecurangan dalam berhubungan dengan sesamanya. Oleh karena
itu agama islam mengatur hubungan antar sesama manusia di dalam muamalah.
Rumusan Masalah
Apa arti muamalah, ruang lingkup, dan tujuan muamalah?
Bagaimana jual-beli yang baik menurut islam?
Apa masalah yang timbul dalam proses jual-beli?
 
Tujuan Penulisan
Mengetahui pengetian muamalah, ruang lingkup dan tujuannya.
Mengetahui syarat, rukun, dan hukum tentang jual-beli yang baik menurut islam.
Mengetahui masalah yang terjadi dalam jual-beli dan cara penyelesaiannya.
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
Muamalah 
Pengertian Muamalah
Dari segi etimologi atau bahasa, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata’amala
yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengenal.[2]
Sedangkan dari segi terminologi atau istilah, pengertian muamalah dibagi menjadi dua,
yaitu :
Muamalah dalam arti luas
Menurut Ad-Dimyati, fiqih muamalah adalah aktifitas untuk menghasilkan duniawi
menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.[3]
Menurut pendapat Mahmud Syaltout yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai
hubungan perekonomian yang dilakukan anggota masyarakat, dan bertendensikan
kepentingan material yang saling menguntungkan satu sama lain.[4]
Jadi, muamalah dalam arti luas adalah hukum yang mengatur tentang aktifitas duniawi
yang bersifat saling menguntungkan.
Muamalah dalam arti sempit
Fiqih muamalah dalam arti sempit lebih menekankan pada keharusan untuk menaati
aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia
dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan mal (harta
benda).[5]
Sementara menurut Masjfuk Zuhdi (1993), muamalah ialah segala aturan agama yang
mengatur hubungan sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama,
antara manusia dengan kehidupannya, dan antar manusia dengan alam
sekitarnya/alam semesta.[6]
 
Ruang Lingkup Pembagian Muamalah
Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian[7], yaitu:
Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)
Munakahat (Hukum Perkawinan)
Muhasanat (Hukum Acara)
Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)
Tirkah (Hukum Peninggalan)
Sementara menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah
membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian[8], yaitu :
a. Al-Muamalah Al-Madiyah
Al-Muamalah Al-Madiyah adalah muamalah yang mengakaji segi objeknya, yakni
benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Muamalah Al-Madiyah bersifat
kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjual
belikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan
kemaslahatan bagi manusia, dan lain-lain.
Ruang lingkup Al-Muamalah Al-Madiyah mencakup beberapa hal, yaitu :
Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah),
Gadai (rahn)
Jaminan/ tanggungan (kafalah)
Pemindahan utang (hiwalah)
Jatuh bangkit (tafjis)
Batas bertindak (al-hajru)
Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
Upah (ujral al-amah)
Gugatan (asy-syuf’ah)
Sayembara (al-ji’alah)
Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah)
Pemberian (al-hibbah)
Pembebasan (al-ibra’)
Damai (ash-shulhu)
Beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan
masalah lainnnya.
b. Al-Muamalah Al-Adabiyah
Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah muamalah ditinjau dari segi cara tukar-menukar
benda, yang sumbernya dari pancaindra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya
adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasut, iri, dendam, dan lain-lain. Al-Muamalah
Al-Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang ditinjau dari segi subjeknya (pelakunya)
yang berkisar pada keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul,
dusta, dan lain-lain.
Ruang lingkup Al-Muamalah Al-Adabiyah mencakup beberapa hal, seperti :
Ijab kabul
Saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak
Hakdan kewajiban
Kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan
Dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran
harta.
 
Tujuan Muamalah
Dalam ilmu ekonomi Islam, muamalah  memiliki makna hukum yang berkaitan  dengan
harta, hak milik, perjanjian, jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dan pinjam-
meminjam. Juga hukum yang mengatur keuangan serta segala hal yang merupakan
hubungan manusia dengan sesamanya, baik secara individu maupun masyarakat.
Tujuannya adalah agar tercapai suatu kehidupan yang tenteram, damai, dan bahagia
serta sejahtera.[9]Selain itu tujuan muamalah adalah supaya manusia tidak bertindak
curang dan ceroboh dalam berhubungan dengan sesamanya sehingga dapat mencapai
keridhoan Allah baik di dunia maupun di akhirat nanti.[10]
 
Jual-beli 
Pengertian dan Rukun Jual-Beli
Jual beli di dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti persetujuan saling mengikat
antara penjual dan pembeli. Penjual yakni pihak yang menyerahkan barang, dan
pembeli sebagai pihak  yang membayar harga yang dijual.[11]
Menurut Hasbi ash-Shiddieqy jual beli adalah akad yang berdiri atas dasar Penukaran
harta dengan harta kemudian terjadilah penukaran milik secara tetap.[12]
Sementara menurut Sulaiman Rasjid (1994), jual beli adalah menukar suatu barang
dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad) yang hukumnya adalah
boleh/mubah.[13] Sebagaimana firman Allah pada Q.S Al-Baqarah ayat 275 yang
berarti : “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ada beberapa rukun dan syarat-syarat rukun jual beli menurut Sulaiman Rasjid (1994),
yaitu :
a. Adanya ‘aqid yaitu penjual dan pembeli. Syaratnya yaitu :
Berakal, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
Dengan kehendak sendiri, bukan dipaksa (asas suka sama suka).
Baligh (berumur 15 tahun ke atas/dewasa).
b. Adanya ma’qud ‘alaihyaitu adanya harta (uang) dan barang yang dijual. Syaratnya
yaitu:
Suci atau mungkin disucikan, tidak sah menjual barang yang najis, seperti anjing, babi dan lain-
lain.

Dapat diserahkan secara cepat atau lambat.


Milik sendiri.
Diketahui (dilihat). Barang yang diperjualbelikan itu harus diketahui banyak, berat, atau
jenisnya.
c. Adanya sighat yaitu adanya ijab dan qobul. Ijab adalah perkataan penjual, sementara
kabul adalah ucapan si pembeli.[14]
Menurut Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin (2007), syarat sah ijab qabul, yaitu:
Tidak ada yang membatasi (memisahkan). Si pembeli tidak boleh diam saja setelah si penjual
menyatakan ijab, atau sebaliknya.
Tidak diselingi kata-kata lain.
Tidak dita’likkan (digantungkan) dengan hal lain. Misal, jika bapakku mati, maka barang ini aku
jual padamu.
Tidak dibatasi waktu. Misal, barang ini aku jual padamu satu bulan saja.[15]
 
Macam-macam Jual Beli
Menurut Rachmat Syafei (2001),macam-macam jual beli terbagi berdasarkan
pertukarannya secara umum dan berdasarkan segi harta.[16]
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam yaitu:
Jual beli saham (pesanan)
Jual beli muqayyadah (barter)
Jual beli muthlaq yang telah disepakati, misanya berupa uang dan lain-lain.
Jual beli alat penukar dengan alat penukar, misalnya uang perak dengan uang emas.
Jual beli berdasarkan segi harga terbagi menjadi empat yaitu:
Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah)
Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah)
Jual beli rugi (al-khasarah)
Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang
akad saling meridlai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.
 
Macam-Macam Jual Beli Yang Terlarang
Dalam bukunyaGaris-Garis Besar Fiqih (2003), Amir Syarifuddin merumuskan beberapa
macam jual beli yang terlarang menurut islam[17], yaitu :
Jual beli gharar
Adalah jual beli yang mengandung unsur penipuan dan penghianatan.
Jual beli mulaqih
Adalah jual beli dimana barang yang dijual berupa hewan yang masih dalam bibit jantan
sebelum bersetubuh dengan betina.
Jual beli mudhamin
Adalah jual beli hewan yang masih dalam perut induknya,
Jual beli muhaqolah
Adalah jual beli buah buahan yang masih ada di tangkainya dan belum layak untuk
dimakan.
Jual beli munabadzah
Adalah tukar menukar kurma basah dengan kurma kering dan tukar menukar anggur
basah dengan anggur kering dengan menggunakan alat ukur takaran.
Jual beli mukhabarah
Adalah muamalah dengan penggunaan tanah dengan imbalan bagian dari apa yang
dihasilkan oleh tanah tersebut.
Jual beli tsunaya
Adalah jual beli dengan harga tertentu, sedangkan barang yang menjadi objek jual beli
adalah sejumlah barang dengan pengecualian yang tidak jelas.
Jual beli ‘asb al-fahl
Adalah memperjual-belikan bibit pejantan hewan untuk dibiakkan dalam rahim hewan
betina untuk mendapatkan anak.
Jual beli mulamasah
Adalah jual beli antara dua pihak, yang satu diantaranya menyentuh pakaian pihak lain
yang diperjual-belikan waktu malam atau siang.
Jual beli munabadzah
Adalah jual beli dengan melemparkan apa yang ada padanya ke pihak lain tanpa
mengetahui kualitas dan kuantitas dari barang yang dijadikan objek jual beli.
Jual beli ‘urban
Adalah jual beli atas suatu barang dengan harga tertentu, dimana pembeli memberikan
uang muka dengan catatan bahwa bila jual beli jadi dilangsungkan akan membayar
dengan harga yang telah disepakati, namun kalau tidak jadi, uang muka untuk penjual
yang telah menerimanya terlebih dahulu.
Jual beli talqi rukban
Adalah jual beli setelah pembeli datang menyongsong penjual sebelum ia sampai di
pasar dan mengetahui harga pasaran.
Jual beli orang kota dengan orang desa
Adalah orang kota yang sudah tahu harga pasaran menjual barangnya pada orang
desa yang baru datang dan belum mengetahui harga pasaran.
Jual beli musharrah
Musharrah adalah nama hewan ternak yang diikat puting susunya sehingga kelihatan
susunya banyak, hal ini dilakukan agar harganya lebih tinggi.
Jual beli shubrah
Adalah jual beli barang yang ditumpuk yang mana bagian luar terlihat lebih baik dari
bagian dalam.
Jual beli najasy
Jual beli yang bersifat pura-pura dimana si pembeli menaikkan harga barang , bukan
untuk membelinya, tetapi untuk menipu pembeli lainnya agar membeli dengan harga
yang tinggi.
Dalam proses jual beli, terkadang penjual melakukan beberapa kecurangan seperti
melakukan riba. Asal makna ‘riba’ menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah).
Adapun yang dimaksud di sini menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan
pertukaran yang tertentu , tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’,
atau terlambat menerimanya.[18]

Pengertian Muamalah, Jual Beli, Khiyar, Riba,


Utang Piutang, Sewa Menyewa Dan Syirkah Dalam
Agama Islam
By Ase Satria — Agama

Pengertian muamalah, khiyar dan syirkah dalam agama islam adalah pembahasan yang akan

dijelaskan dibawah ini yang mana, materi pelajaran ini termasuk ke dalam materi pelajaran agama islam

tingkat kelas XI. Semoga pembahasan ini berguna untuk anda dan dapat anda jadikan referensi tugas sekolah

serta menambah wawasan anda dalam ilmu yang akan di jelaskan. Dan berikut ini adalah penjelasannya. 

Pengertian Muamalah
Definisi dan arti muamalah dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan

kemasyarakatan (seperti pergaulan, perdata, dan lain sebagainya).

Sementara muamalah dalam fiqih islam adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat

dengan cara di tempuhnya, seperti jual-beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan

bercocok tanam, berserikat dan lain-lain.

Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam,

islam melarang beberapa hal diantaranya sebagai berikut:

1. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil

2. Tidak boleh dengan cara-cara zalim (aniaya)

3. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas dan kehalalan

4. Tidak boleh melakukan kegiatan riba

5. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi atau berjudi

6. Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram


Macam-macam Muamalah
Ada beberapa macam-macam muamalah yang akan di jelaskan di bawah ini yaitu sebagai berikut:

1. Jual beli

Jual beli menurut syariat agama adalah kesepakatan tukar-menukar barang dengan tujuan untuk dimiliki
selamanya. Melakukan jual-beli di benarkan sesuai dengan firman  Allah SWT pada Q.S Al-Baqarah 2 :

275yang artinya: “Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”

a. Syarat-syarat jual beli


Berikut dibawah ini merupakan syarat-syarat dari adanya jual-beli yakni :

=> Penjual dan pembelinya haruslah :

    - Baligh

    - Berakal sehat

    - Atas kehendak sendiri

=> Uang dan barang nya haruslah :

    - Halal dan suci

Haram menjual arak, bangkai, begitu juga dengan babi dan berhala termasuk lemak bangkai tersebut.

    - Bermanfaat

Membeli barang yang tidak bermanfaat sama dengan menyia-nyiakan harta atau pemboros. Hal tersebut telah

di jelaskan di dalam Q.S Al-Isra 17 : 27 yang artinya:“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah

syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada tuhannya”.

    - Keadaan barang dapat di serah terimakan

Tidak sah menjual barang yang tidak dapat di serah-terimakan, contohnya menjual ikan di dalam laut atau

barang yang sedang di jadikan jaminan sebab semua itu mengandung tipu daya.

    - Keadaan barang di ketahui oleh penjual dan pembeli

    - Milik sendiri.

Rasulullah SAW bersabda : “Tak sah jual-beli melainkan atas barang yang di miliki” (HR Abu Daud

dan Tirmidzi)

=> Ijab qabul

Seperti pernyataan penjual ”saya jual barang ini dengan harga sekian” pembeli menjawab “baiklah saya beli”.

Dengan demikian, berarti jual-beli itu berlangsung dengan suka sama suka. Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka” (HR Ibnu Hibban)

b. Khiyar
Pengertian Khiyar
Khiyar adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkan nya. Penjual berhak

mempertahankan harga. Pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang di yakini nya.

Macam-macam Khiyar
=> Khiyar Majelis

Khiyar majelis adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya tawar-menawar.

Keduanya berhak meneruskan atau membatalkan transaksi.

=> Khiyar syarat

Khiyar syarat adalah khiyar yang di gunakan syarat dalam jual-beli. Misalnya “Saya jual barang ini seharga

sekian dengan syarat khusus 3 hari” maksudnya penjual memberi waktu pembeli selama 3 hari itu.

Penjual di larang menawarkan barang tersebut ke pembeli lain. Namun setelah 3 hari tersebut, si pembeli tidak

jadi beli. Maka penjual boleh menawarkan barangnya.

=> Khiyar aibi (cacat)

Khiyar aibi adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang di belinya jika terdapat cacat yang dapat

mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin. 

c. Riba
Pengertian Riba
Riba adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan

makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam. Riba apapun bentuknya, dalam syariat islam hukumnya haram.

Sanksi hukumnya juga sangat berat. Di jelaskan dalam hadis yang di riwayatkan bahwa : “Rasulullah

mengutuk orang yang mengambil riba, orang yang mewakilkan, orang yang mencatat dan orang

yang menyaksikan nya” (HR Muslim).

Macam-macam Riba
  => Riba Fadli 

Riba fadli adalah pertukaran barang sejenis tidak sama timbangannya.

  => Riba Qordi

Riba qordi adalah pinjam-meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikannya.

  => Riba Yadi
Riba yadi adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangan nya, namun penjual dan pembeli berpisah

sebelum melakukan serah terima.

  => Riba Nasi’ah

Riba nasi'ah adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian.

2. Utang-Piutang
Pengertian Utang-Piutang
Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan di kembalikan

pada waktu kemudian.

Rukun Utang-Piutang
Rukun utang-piutang ada 3 yaitu :

    - Yang berutang dan yang berpiutang

    - Ada harta atau barang

    - Lafadz kesepakatan

3. Sewa-menyewa

Pengertian sewa-menyewa
Sewa menyewa dalam fiqih islam di sebut ijarah, artinya imbalan yang harus di terima oleh seseorang atau

jasa yang di berikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.

Syarat dan Rukun Sewa-menyewa


Berikut ini merupakan syarat dan rukun sewa-menyewa:

   a. Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah baligh dan berakal sehat.

   b. Sewa-menyewa di langsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena di 

        paksa.

   c. Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau wali nya.

   d. Manfaat yang akan di ambil dari barang tersebut harus di ketahui secara jelas oleh     

       kedua belah pihak.

   e. Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.

   f. Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus di sebutkan dengan jelas.
   g. Harga sewa dan cara pembayaran nya juga harus di tentukan dengan jelas serta di 

      sepakati bersama.

Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah di ketahui secara jelas dan di sepakati bersama

sebelum nya hal-hal berikut:

1. Jenis pekerjaan dan jam kerjanya

2. Berapa lama masa kerja

3. Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya

4. Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada

Syirkah
Pengertian syirkah secara bahasa, kata syirkah, (perseroan) berarti mencampurkan 2 bagian atau lebih

sehingga tidak dapat lagi di bedakan antara bagian yang satu dengan yang lain nya.

Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang di lakukan oleh 2 pihak atau lebih yang bersepakat untuk

melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.

Rukun dan Syirkah


Adapun rukun syirkah secara garis besar ada 3, yaitu seperti berikut:

1. Dua belah pihak yang berakad (aqidani).

Syarat orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasarruf

(pengelolaan harta).

2. Objek akad yang di sebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal.

Adapun syarat pekerjaan atau benda yang di kelola dalam syirkah harus halal dan di perbolehkan     dalam

agama dan pengelolaannya dapat di wakil kan.

3. Akad atau yang disebut juga dengan istilah sigat.

Adapun syarat sah akad harus berupa tasarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.

Macam-macam Syirkah
Syirkah dibagi menjadi beberapa macam, yaitu syirkah ‘inan, syirkah ‘abdan, syirkah wujuh, dan syirkah

mufawadah.

=> Syirkah ‘Inan
Adalah Syirkah antara 2 pihak atau lebih yang masing-masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modl (mal).

Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.

=> Syirkah ‘Abdan

Adalah Syirkah antara 2 pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal),

tanpa kontribusi modal (mal). Kontribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) ataupun

kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga di sebut syirkah ‘amal.

=> Syirkah Wujuh

Adalah kerja sama karena di dasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di

tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak yang sama-sama memberikan kontribusi

kerja (amal) dengan pihak ke 3 yang memberikan kontribusi modal (mal).

=> Syirkah Mufawadah

Adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah

mufawadah dalam pengertian ini boleh di praktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh di

gabungkan menjadi satu.

Keuntungan yang di peroleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian di tanggung sesuai

dengan jenis syirkah nya, yaitu di tanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah ‘inan

atau di tanggung pemodal saja jika berupa mufawadah, atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan

persentase barang dagangan yang di miliki jika berupa syirkah wujuh.

=> Mudarabah

Adalah akad kerja sama usaha antara 2 pihak, di mana pihak pertama menyediakan semua modal (sahibul

mal), pihak lain nya menjadi pengelola atau pengusaha (mudarrib).

=> Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah

a. Musaqah adalah kerja sama antara pemilik kebun dan petani dimana sang pemilik kebun menyerahkan

kepada petani agar di pelihara dan hasil panen nya nanti akan dibagi 2 menurut persentase yang di tentukan

pada waktu akad.

b. Muzara’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan petani dan penggarap di mana

benih tanaman nya berasal dari petani.


c. Mukhabarah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani.

Riba hukumnya adalah haram, karena riba hanya menguntungkan salah satu pihak saja
di dalam jual beli. Berikut adalah beberapa terjemah dalil tentang masalah riba di dalam
Al-Qur’an yang terdapat pada Q.S Al-Baqarah ayat 275-279 :“[275] Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [276] Allah memusnahkan Riba dan
menyuburkan sedekah.[277] Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal
saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya.tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
[278]  Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. [279] Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”[19]
Menurut sebagian ulama, riba dibagi menjadi empat macam[20], yaitu :
Riba Fadli (menukar dua barang yang sejenis dengan tidak sama).
Riba Qardi (utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi utang).
Riba Yad ( berpisah dari tempat akad sebelum timbang terima).
Riba nasa’ (disyaratkan salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan ditangguhkan
penyerahannya).
 
 
BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan
Muamalah adalah hukum yang mengatur tentang hubungan manusia dengan sesama
manusia, seperti jual-beli, sewa-menyewa, berserikat,pernikahan, jinayat, dan lain-lain
dengan tujuan mencari ketentraman dan berkah dari Allah SWT.
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang lain dengan syarat , rukun, dan
cara tertentu yang hukumnya adalah mubah/boleh.
Masalah di dalam jual beli, salah satunya adalah riba yang berarti penambahan. Riba
hukumnya adalah haram karena riba merupakan kecurangan yang dilakukan untuk
mendapatkan keuntungan dari pihak lain di dalam sebuah transaksi, seperti jual-beli.
Saran
Kejujuran dan rasa takut kepada Allah adalah hal yang perlu ditanamkan di dalam hati,
sehingga ketika kita melakukan hubungan dengan sesama makhluk ciptaan-Nya, kita
tidak akan melakukan kecurangan yang akan merugikan pihak lain.
Selain itu, pendidikan dan pengetahuan akan hukum dalam muamalah sangat
dibutuhkan sebagai pembatas bagi diri kita supaya tidak melakukan penyimpangan di
dalam masyarakat.
 

HUKUM PEGADAIAN DALAM FIQIH ISLAM


Posted on Juli 29, 2011 | 5 Komentar
Oleh: Muhammad Wasitho, Lc

A. Defenisi Ar-Rahn (Gadai):


Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan
langgeng)(1); dan bisa juga berarti al-ihtibas (2) wa al-luzum (3) (tertahan dan
keharusan).
Sedangkan secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang
(pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya,
jika dia gagal (berhalangan) melunasinya.(4)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah harta
benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi (semuanya),
atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya
itu”.(5)

Sebagai contoh, bila ada seseorang memiliki hutang kepada anda sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah). Lalu dia memberikan suatu barang yang nilainya sekitar
Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) sebagai jaminan utangnya. Maka di dalam gambaran
ini, utangnya kelak dapat dilunasi dengan sebagian nilai barang yang digadaikannya itu
bila dijual.
Contoh lain, bila ada seseorang yang berhutang kepada anda sebesar RP.10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah). Lalu dia memberikan kepada anda sebuah barang yang nilainya
sebesar Rp.500.000,- (Lima ratus ribu rupiah) sebagai jaminan utangnya. Di dalam
gambaran kedua ini, sebagian hutang dapat dilunasi dengan nilai barang tersebut.
Dalam dua gambaran di atas, baik nilai barang gadaiannya itu lebih besar maupun lebih
kecil dari jumlah utang, hukumnya tetap sama, diperbolehkan.

B. Landasan Disyariatkannya Gadai:


Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal
ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Di
antaranya:
a. Al-Qur’an:
Firman Allah

‫ضة‬
َ ‫مقْبُو‬ ٌ ‫جدُوا كَاتِبًا فَرِهَا‬
َ ‫ن‬ ْ َ ‫سفَرٍ وَل‬
ِ َ‫م ت‬ َ ‫م عَلَى‬
ْ ُ ‫ن كُنْت‬
ْ ِ ‫وَإ‬

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)
Di dalam ayat tersebut, secara eksplisit Allah  menyebutkan “barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa
dikenal sebagai jaminan atau obyek pegadaian.

b. Al-Hadits:
َ َ
‫ن‬
ْ ‫م‬ِ ‫ه دِ ْرعًا‬
ُ َ ‫ وَ َرهَن‬، ‫ل‬ َ ‫ن يَهُودِىٍّ إِلَى أ‬
ٍ ‫ج‬ ْ ‫م‬ ً ‫اشْ ت َ َرى طَعَا‬- ‫َصلى الله عليه وسلم‬-‫ى‬
ِ ‫ما‬ َّ ‫ أ‬-‫َن عَائِشَ ةَرضى الله عنها‬
ّ ِ ‫ن النَّب‬ ْ ‫ع‬
ٍ‫حدِيد‬
َ

Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah


membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan
kepadanya baju besi.” (HR Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al-Buyu’, dan Muslim
III/1226 (no. 1603) dalam kitab Al-Musaqat

Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam


pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau
mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.”
(HR. Bukhari II/729 (no. 1963) dalam kitab Al-Buyu’).

c. Ijma’ (konsensus) para ulama:


Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun
sebagian mereka bersilang pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan mukim.(6)
Akan tetapi, pendapat yang lebih rajih (kuat) ialah bolehnya melakukan gadai dalam
dua keadaan tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas
jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah
gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.
C. Unsur dan Rukun Gadai (Ar-Rahn):
Dalam prakteknya, gadai secara syariah ini memiliki empat unsur, yaitu:
1. Ar-Rahin, Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan
jaminan barang.
2. Al-Murtahin, Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang
meminjamkan uangnya.
3. Al-Marhun/ Ar-Rahn, Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.
4. Al-Marhun bihi, Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.(7)
Sedangkan rukun gadai (Ar-Rahn) ada tiga, yaitu:
• Shighat (ijab dan qabul).
• Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang menggadaikan
(ar-râhin) dan yang menerima gadai/agunan (al-murtahin)
• Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang digadaikan/diagunkan
(al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada
ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).
Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan
oleh orang yang layak melakukan tasharruf (tindakan), maka akad gadai (ar-rahn)
tersebut sah.

Syarat gadai (ar-rahn):


Disyaratkan dalam muamalah gadai hal-hal berikut:
Pertama: Syarat yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu Orang yang
menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu
baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
Kedua: Syarat yang berhubungan dengan Al-Marhun (barang gadai) ada dua:
1. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik
barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
2. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan
baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
3. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya,(8) karena Al-rahn
adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
Ketiga: Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib
atau yang akhirnya menjadi wajib.
D. Kapan Serah Terima Ar-Rahn (Barang Gadai) Dianggap Sah?
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah
dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk pemberi
utang tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar
maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan
maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang
timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya
dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang
diukur.
Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara
tumpukan, dalam hal ini ada perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya. Ada
yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang
menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sedangkan
murtahin dapat mengambilnya.

Beberapa Ketentuan Umum Dalam Muamalah Gadai:


Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima
barang gadai. Di antaranya:
1. Barang yang Dapat Digadaikan. 
Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat
menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat
diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan,
adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan,
tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang
haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
Oleh karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan,
kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian,
bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak
sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
َ َ َ ‫ع‬
ِ‫مهْر‬
َ َ‫ب و‬ ِ ْ ‫ن الْكَل‬ ِ ‫م‬ ْ ‫ِ صلى الله عليه وسلم نَهَى ع‬-‫ل اللَّه‬
َ َ ‫َن ث‬ َ ‫سو‬
ُ ‫ن َر‬
َّ ‫رضى الله عنه أ‬- ّ‫صارِى‬
َ ْ ‫سعُودٍ األن‬
ْ ‫م‬
َ ‫َن أبِى‬
ْ
‫ن‬ ‫ه‬ ‫ا‬َ ‫ك‬ْ ‫ال‬ ‫ان‬ ‫و‬ ْ ‫ل‬‫ح‬ ‫و‬ ‫ِى‬ ‫غ‬‫ب‬ْ ‫ال‬
ِ ِ ِ َ ُ َ ِّ َ

Dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah
perdukunan.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu,


yang pada saat akad gadai berlangsung, (barang yang hendak digadaikan tersebut)
tidak halal untuk diperjual-belikan.”(9)

2. Barang Gadai Adalah Amanah.


Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, dia hanya
diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak, misalnya jika pemilik uang khawatir
uangnya tidak atau sulit untuk dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai
penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan dia
pinjam. Karenanya jika dia telah membayar utangnya maka barang tersebut kembali ke
tangannya.
Status barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai amanah
yang harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila
terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam
perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan,
seandainya orang yang menggadaikan barang itu mensyaratkan agar pemberi utang
memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini
tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.
3. Barang Gadai Dipegang Pemberi utang.
Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian gadai
tersebut, sebagaimana firman Allah: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283).
Dan sabda Nabi

:‫ه‬ ُ َ ‫م ْرهُونًا وَعَلَى الَّذِى ي َ ْرك‬


ُ ‫ب وَيَشْ َر‬
ُ ُ ‫ب نَفَقَت‬ َ ‫ب إِذ َا كَا‬
َ ‫ن‬ ُ َ ‫م ْرهُونًا وَلَب‬
ُ ‫ن الد َّ ِّر يُشْ َر‬ َ ‫ن‬ ُ َ ‫الظَّهْ ُر ي ُ ْرك‬
َ ‫ب إِذ َا كَا‬
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum
apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum,
(untuk) memberi nafkahnya.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari (no.2512), dan At-Tirmidzi
(no.1245), dan ini lafazhnya).

4. Pemanfaatan Barang Gadai.


Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab,
sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang,
sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya.
Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai
jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang
gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia
memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan
dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Karena setiap pinjaman yang
mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.(10) Demikianlah hukum asal pegadaian.

Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi utang


memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau
hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya
apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut. Pemanfaatan
barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan
memperhatikan keadilan. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda: “Binatang
tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila
sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan
atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum
susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir
no.3962, F

 
DAFTAR PUSTAKA
Syafei, Rachmat. Fiqih MuamalahUntuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum. Bandung: Pustaka
Setia, 2001.
Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam (Jilid III : Muamalah). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial.Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.
Abdurrahman, Masduha. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Perdata Islam (Fiqih
Muamalah).Surabaya: Central Media, 1992.
Afandi, M. Yazid. Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syariah. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
Salim, Peter dan Yanny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Medern
English Press, 1991.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi . Pengantar Fiqih Muamalah. Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1997.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo,1994.
Mas’ud, Ibnu dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana, 2003.
http://www.al-azim.com/masjid/infoislam/muamalat/home.htm. (Diakses pada 27
November 2013)
http://forum.muslim-menjawab.com/2012/03/17/hablumminallah-dan-hablumminannas/.
(Diakses pada 27 November 2013).
 
[1] http://forum.muslim-menjawab.com/2012/03/17/hablumminallah-dan-hablumminannas/
[2] Rachmad Syafei, Fiqih MuamalahUntuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum(Bandung:
Pustaka Setia, 2001), 14.
[3]Rachmad Syafei, ibid, 15.
[4] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1993), 70-71.
[5] Rachmat Syafei, opcit, 16.
[6] Masjfuk Zuhdi, Studi Islam (Jilid III : Muamalah) (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1993), 2.
[7] Masduha Abdurrahman ,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Perdata Islam (Fiqih
Muamalah) (Surabaya: Central Media, 1992), 28.
[8] Rachmad Syafei, Fiqih MuamalahUntuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum(Bandung:
Pustaka Setia, 2001), 17-18.
[9] M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syariah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 2.
[10] http://www.al-azim.com/masjid/infoislam/muamalat/home.htm
[11]Peter Salim dan Yanny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Medern
English Press, 1991), 623.
[12]T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997), 93.
[13] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo,1994), 278.
[14]Sulaiman Rasjid, Ibid, 281.
[15] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia,
2007), 26-29.
[16] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), 101-102.
[17] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), 201-209.
[18] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo,1994), 290.
[19] Sulaiman Rasjid, Ibid, 291-292.
[20]Sulaiman Rasjid, Ibid, 290.

Anda mungkin juga menyukai