Anda di halaman 1dari 4

Profil Penulis:

Muammar Iksan berasal dari Bima, provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pernah menempuh
pendidikan S1 kesehatan masyarakat di Universitas Muslim Indonesia Makassar. Ia dapat dihubungi
melalui email: muammariksan31@gmail.com.
Tulisan yang dikirim ini jenisnya adalah opini.
Terima Kasih,
Iksan

COVID-19, LOCKDOWN ATAU COUNTDOWN MORTALITAS MASSAL

Jumlah kasus korona kembali meningkat. Data terbaru yang dilansir dari CNN Indonesia per 26
Maret, ada sebanyak 893 kasus positif, 78 meninggal, dan sembuh 35 orang yang tersebar di 27
Provinsi. Angka positif dan meninggal tersebut masih akan terus menanjak naik kedepannya sebab
upaya pendeteksian yang belum optimal. Sebagaimana prediksi ahli Australia, Ian Henderson yang
merupakan Direktur Institut Molekular Biosains di the University of Queensland, Indonesia akan
menghadapi gelombang badai besar korona karena tampaknya memiliki kasus yang lebih banyak dari
yang dilaporkan.

Memang seperti yang terlihat di lapangan juga yang diberitakan oleh media-media, Indonesia tampak
tidak siap dan kurang sigap dalam menangani wabah, dunia pun khawatir dengan cara penanganan
wabah di negeri ini yang seolah bercanda dan amburadul. Kurangnya infrastruktur pelayanan
kesehatan, buruknya komunikasi informasi dan manajemen kontrol yang tak terintegrasi, hingga
kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga medis di Rumah Sakit mewarnai huru-hara
kondisi wabah yang melanda.

Bahkan ada tenaga kesehatan yang sampai memakai jas hujan dan kantong plastik sembari menangani
pasien korona yang kian hari bertambah. Sebuah pemandangan yang sungguh miris. Padahal alarm
warning wabah korona (Covid-19) sudah berbunyi nyaring sejak awal Januari. Dua bulan lebih
sebenarnya waktu yang tidaklah sedikit dan sudah lebih dari cukup untuk melakukan persiapan kalau
pemerintah betul-betul serius merespon pandemi korona sedari dini, namun nyatanya tak demikian,
sikap pongah, jumawa terlalu meremehkan berbalik membuat bangsa ini panik kewalahan di tengah
situasi krisis berkepanjangan.

Dalam upaya untuk memutus rantai penyebaran virusnya sendiri, hingga saat ini pemerintah hanya
menghimbau untuk menerapkan social distancing/ menjaga aktifitas kumpul-kumpul, yang oleh
organisasi kesehatan dunia (WHO) istilahnya dirubah menjadi physical distancing/ menjaga jarak
fisik dalam interaksi pergaulan, akan tetapi di lapangan himbauan tersebut tak dihiraukan oleh
kebanyakan masyarakat yang masih belum sadar bahaya pandemi korona.
Sementara ini Pak Presiden dan Jubirnya menyatakan takkan mengambil kebijakan lockdown
(karantina penguncian wilayah), karena Indonesia punya karakter penanganan korona sendiri.
Keputusan pemerintah itu amat bertolak belakang dengan anjuran para pengamat, ilmuwan dan
desakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) agar pemerintah secepatnya mengambil tindakan
lockdown tersebut, yang berarti melarang orang-orang untuk keluar masuk perbatasan negara dan
menutup wilayah-wilayah dalam negeri yang terdampak virus.

Mari sejenak kita membuka mata dan berkaca pada negara lain seperti Inggris dengan 8.007 kasus
koronanya di mana ada 422 orang meninggal. Prancis 22.300 Kasus dan mencapai 1.100 kasus
kematian. Italia saja menyesal sampai banting kepala karena banyaknya kasus akibat terlambat
lockdown, sekarang sudah mencapai lebih dari 69.176 yang positif dan 6.820 meninggal (25/3).
Negara-negara tersebut kini sudah memberlakukan lockdown di wilayah-wilayahnya. Meskipun
sangatlah terlambat, tapi minimal langkah tersebut efektif memperlambat laju gerakan penyebaran
virus yang lebih luas.

Indonesia kapan? Kenapa belum juga dilockdown? Apakah harus menunggu lebih dari 200 orang
yang meninggal?

Menurut Menkopolhukam Mahfud MD lockdown tak efektif dan tak manusiawi, Menhan Prabowo
Subianto juga menilai lockdown sebagai tindakan otoriter terhadap rakyat. Kalau Menteri koordinator
bidang kemaritiman dan investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan opsi lockdown masih dikaji.
Apalagi yang mau dikaji? Entah kacamata buram apa yang mereka pakai untuk melihat fakta yang
terjadi di masyarakat. Secara spesifik pun pemerintah beralasan lebih concern pada terganggunya
ekonomi rakyat kecil yang nanti berdampak menuju anjloknya ekonomi nasional. Wait, bukannya
ekonomi nasional sudah ambruk sebelum munculnya korona?

Padahal dari realita selama ini, pemerintah jarang memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat
bawah, terbukti dengan kebijakan-kebijakan listrik, BBM, pelayanan kesehatan, dan harga sembako
yang naik mencekik rakyat. Makanya penulis melihat paradigma yang digunakan pemerintah dalam
memandang persoalan wabah ini sangat kental berciri kapitalis, hanya berbicara untung rugi ekonomi
dibandingkan dengan keprihatinan melayangnya nyawa rakyat secara masif.

Kekhawatiran akan kerugian ekonomi memang tak bisa dipungkiri akan terjadi, namun dalam hal ini,
yang seharusnya menjadi prioritas utama adalah keselamatan nyawa kita bersama. Meniadakan
lockdown sendiri sebenarnya sama-sama membuat gigi roda ekonomi berjalan dengan pincang,
kenaikan harga dan kelangkaan barang-barang kebutuhan justru mengakibatkan chaos di lapangan.

Bisa diprediksi kondisi selanjutnya di tengah-tengah masyarakat yang dilanda wabah, selain
mempermudah transmisi penyebaran virus lebih luas karena interaksi tak dibatasi dengan kontrol
tegas lockdown, ia juga berujung pada memburuknya ekonomi yang lebih besar dalam jangka
panjang. Tentunya kerugian negara akan berkali-kali lipat. Sayangnya pihak pemerintah tak sampai
berpikir lebih jauh kearah sana. Pertanyaannya, untuk apa ekonomi kalau manusianya mati semua..?
Dari sisi rakyat, pun jika nanti khawatir kalau lockdown membuat mereka tak bisa bekerja dan tak
bisa makan, bisa langsung ditangani oleh negara. Di sinilah peran pemerintah sebagaimana amanat
UU no 6 tahun 2018 Pasal 55 itu. Bahwa dalam karantina semua wilayah, kebutuhan dasar rakyat
ditanggung penuh oleh pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah. Dananya dari mana?

Dananya ada, untuk memperbaiki nilai rupiah yang tembus Rp.16.000 per 1 USD kemarin saja
pemerintah bisa menggelontorkan sebesar Rp. 300 Triliun, membayar influencer Rp. 72 Miliar pun
bisa. Indonesia punya SDA melimpah, sekalian tak usah bicara pindah ibu kota yang menelan biaya
Rp. 466 Triliun. Kalau masih kurang tinggal potong semua gaji Presiden dan Wapres, jajaran menteri,
stafsus, BPIP, DPR, MPR dan seluruh pejabat negara maupun kepala daerah hingga wabah virus yang
melanda negeri mereda dan dapat teratasi. Dari sini kita bisa melihat bagaimana keseriusan mereka.
Jadi alasan tak punya anggaran menangani wabah itu hanya bualan semata.

OK kembali ke solusi, selain upaya lockdown yang tak kunjung direspon oleh pemerintah, ada juga
pihak yang menganjurkan agar menerapkan herd immunity atau kekebalan imun komunitas sebagai
alternatif solusi. Untuk mendapatkan kekebalan kelompok, minimal sekitar 60 persen dari 270-an juta
jumlah rakyat harus terinfeksi virus lebih dulu, alias membiarkan lebih dari 160-an juta orang untuk
positif. Hitung saja berapa juta rakyat yang harus meninggal karena imun dalam tubuhnya lemah, usia
renta, terdapat penyakit lain yang mengiringi. Sebagian memang takkan mati namun tetap menjadi
carrier, dan akan ada juga yang kebal total, namun besar jumlahnya pun tak dapat dibuktikan.

Jadi herd immunity Ini adalah solusi konyol, bunuh diri, membuat pemerintah terkesan cuci tangan
berlepas tanggung jawab, dan konsepnya sama saja dengan hukum rimba hewan liar, siapa yang kuat
dia yang selamat. Padahal sangat bisa diupayakan sejak awal untuk mencegah dan meminimalisir
terjadinya kasus positif maupun meninggal, kalau kita serius.

Oleh karenanya, sembari menunggu adanya vaksin yang menurut para ahli setidaknya membutuhkan
waktu lebih dari 12 bulan untuk bisa digunakan secara luas semenjak onset dan inisiasi penelitian di
laboratorium, semua pihak harusnya tak main-main, terutama bagi pemerintah untuk sadar, lebih
agresif bergerak dan belajar dari tamparan negara-negara lain yang berhasil pulih maupun yang
ditimpa bencana yang lebih parah gara-gara lamban. Plus, rakyat juga jangan ngeyel terkait Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan himbauan social/physical distancing.

Sehingga intinya selain harus bergerak cepat melakukan tes secara luas agar teridentifikasi semua
yang terkena virus baik melalui serologi maupun Polymerase Chain Reaction (PCR), keputusan untuk
menerapkan lockdown nasional menjadi pilihan terbaik saat ini untuk menghentikan penyebaran dan
memutus rantai berkembangnya virus, dengan demikian para petugas kesehatan bisa fokus
menyembuhkan yang terlanjur positif. Jangan sampai terjadi seperti yang dikatakan dr. Tifauzia
Tyassuma seorang Clinical Epidemiologist bahwa Indonesia tinggal menyiapkan kuburan massal
sebab virusnya sudah terlanjur masuk merebak kemana-mana menjadi local transmitted.
Seberapapupun parahnya kondisi sekarang, alangkah baiknya kita menghindari terjadinya kematian
massal di tengah wabah ini dengan mencontoh seperti yang pernah dilakukan di masa Rasulullah dan
Khalifah Umar dahulu. Menjalankan anjuran Nabi ketika kita berhadapan dengan wabah penyakit.
Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini:

‫ض َوأَ ْنتُ ْم بِهَا فَالَ ت َْخ ُرجُوا ِم ْنهَا‬


ٍ ْ‫ َوإِ َذا َوقَ َع بِأَر‬،‫ض فَالَ تَ ْد ُخلُوهَا‬
ٍ ْ‫ُون بِأَر‬
ِ ‫إِ َذا َس ِم ْعتُ ْم بِالطَّاع‬

Artinya: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi
jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari)

Untuk itu kita semua harus menyadari betul terlebih sebagai kaum Muslimin, bahwa solusi lockdown
dan social/physical distancing merupakan solusi dari Islam yang telah Rasulullah sabdakan dalam
hadits 1400 tahun lalu. Sungguh semua ajaran Rasulullah telah sempurna untuk kehidupan manusia
hingga akhir zaman. Yang mesti dilakukan ialah kita tinggal menerapkannya saja dalam kondisi hari
ini. Makanya kembalilah pada penerapan aturan Islam agar kita bisa selamat dunia akhirat. Aamiin.
Wallahu A'lam Bishowab

Anda mungkin juga menyukai