NIM : 1810611085
Sebelum membahas mengenai eksploitasi yang dilakukan oleh PT AICE. Kita harus tau dulu
apa yang dimaksud dengan outsourcing, karena pada kasus ini terkait pula dengan para
pekerja outsourcing. Dimana PT AFI (AICE) memakai perusahaan jasa outsourcing yang
berpusat di Tangerang bernama PT Mandiri Putra Bangsa.
Outsourcing adalah bentuk kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja
sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya serta pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhannya.2 Outsourcing bisa diartikan sebagai penggunaan tenaga kerja dari pihak ketiga
untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu. Saat merekrut pekerja outsource, perusahaan bisa
bekerja sama dengan perusahaan outsource.
Terkait dengan kasus ini, memang tidak adanya perlindungan bagi para pekerja outsourcing.
Buruh outsourcing merupakan pihak yang paling dirugikan dalam suatu perjanjian kerja, karena
apabila terjadi pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan, maka buruh outsourcing tidak
mendapatkan hak-hak normatif sebagaimana layaknya tenaga kerja atau buruh biasa,
walaupun masa kerja sudah bertahun-tahun.
1
Tirto.id, Hukum : "Eksploitasi Kerja di Pabrik Es Krim Aice, Sponsor Asian Games 2018". Diakses dari
https://tirto.id/eksploitasi-kerja-di-pabrik-es-krim-aice-sponsor-asian-games-2018-cA7h pada tanggal 16 Maret
2020 pukul 08.16 WIB
2
Fontian Munzil, Artikel Hukum : “Kedudukan dan Eksitensi Tenaga Kerja Outsourcing dalam Dunia
Bisnis”, (Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, 2018)
Masa kerja buruh outsourcing tidak merupakan faktor penentu, karena tiap tahun kontrak
kerjasama dapat diperbarui, sehingga masa pengabdian dimulai lagi dari awal saat terjadi
kesepakatan kontrak kerja antara perusahaan dengan buruh.
Padahal disi lain, banyak sekali hak tenaga kerja (termasuk pekerja/buruh dalam hubungan
kerja) yang diatur dan dituangkan dalam Undang-Undang mengenai Ketenagakerjaan, relatif
sangat banyak. Akan tetapi pada kasus ini, pelaksanaan aturan yang terdapat dalam
perusahaan bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Disini sudah terlihat
bahwa PT AICE mempunyai regulasi yang berantakan dan dari regulasi perusahaannya
tersebut sangat merugikan para pekerjanya. Banyak pekerja yang menyatakan bahwa hak-hak
para buruh tidak terpenuhi dan bahkan tidak diberikan oleh pihak perusahaan.
Hal-hal yang bermasalah dalam kasus eksploitasi Kerja di Pabrik AICE antara lain :
Apa yang dialami Imam dan Agus jelas bertentangan dengan aturan hukum
ketenagakerjaan tahun 2003. Salah satu pasal dalam regulasi ini menyebutkan bahwa
"perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap." Pendeknya, sistem buruh kontrak PT AFI lewat perusahaan outsourcing
PT Mandiri Putra Bangsa telah menyalahi regulasi; dan tidak sepatutnya mengombang-
ambingkan status kerja buruh.
Artinya adalah ketika PT telah melakukan hal tersebut, maka PT telah menyalahi aturan
regulasi ketenagakerjaan dan kontrak kerja yang dibuat dianggap “BATAL DEMI
HUKUM” dan dengan begitu status Pekerja Kontrak akan berubah menjadi Pekerja /
Karyawan Tetap.
Memang tidak ada yang salah dalam 7 jam dalam jam kerja, yang salah adalah para
pekerja tidak mendapat jatah libur di hari sabtu ataupun minggu sebagaimana yang
diatur dalam UU Ketenagakerjaan tentu hal ini sangat bertentangan dan merugikan
pihak buruh atau para pekerja. Dan hal ini jelas lebih kejam darioada RUU Cipta Kerja
yang diatur pula dalam Pasal 77 dimana para pekerja masih mendapatkan jatah libur 1
hari dalam seminggu. Hal ini tentu menyalahi hak-hak yang seharusnya didapat oleh
para buruh.
Padahal cuti hamil adalah hak yang harus diberikan oleh para pekerja. Dimana diatur
dalam Pasal 82 jo Pasal 84 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kandungan atau bidan.
Padahal dalam kasus ini sudah jelas bahwa pekerja tersebut sedang hamil dan meminta
hak nya untuk cuti selama masa kehamilan sebagaimana yang telah diatur dalam
undang-undang. Akan tetapi perusahaan seakan menutup telingan untuk tidak mau
menerima alasan apapun termasuk hamil. Padahal kehamilan adalah hal yang sangat
perlu untuk diperhatikan. Bagaimana bisa seseorang yang sudah hamil tua masih
diberikan pekerjaan yang berat dan apa yang akan terjadinya nantinya jika hal ini terus
diterapkan pada PT AICE.
Selain itu para buruh tentu mempunyai hak dan perlindungan atas keselamatan dan
kesehatan kerja (K3), perlindungan moral dan kesusilaan serta perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat [1] Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat [1] Undang-
Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
Bagaimana jika para buruh yang sudah hamil tua diberikan pekerjaan yang berat dan
terjadi masalah dengan kehamilannya, hal ini tentu akan menimbulkan masalah baru,
dimana tidak didapatkannya keselamatan dan kesehatan kerja bagi para buruh
sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU Ketenakerjaan.
Disini sudah terlihat jelas bahwa perusahaan tidak menjalankan aturan sebagimana
yang telah diamanatkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan,
dimana pihak perusahaan menguras habis tenaga para pekerja, dengan tidak
memberikan hak-hak yang sesuai.
Padahal sudah jelas bahwasannnya, para buruh yang tidak bekerja dengan alasan sakit
tentunya disertai dengan hukti yang kuat tetap diberikan upah yang telah ditentukan
tanpa harus menggantikan pekerjaannya dihari lain atau lembuh atau dengan
memotong upah yang seharusnya didapat,
5. Pemberian gaji
Pemberian gaji yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, salah satunya adalah Agus
bekerja tanpa kontrak, dan langsung diminta ke bagian kualitas produk. Hari-hari
berikutnya tenaga Agus diperas oleh PT AFI. Ia hanya mendapatkan libur sehari setiap
tiga minggu. Gajinya di bawah upah minimum Kabupaten Bekasi tahun 2016, yakni
Rp2,7 juta dari seharusnya Rp3,3 juta.
Upah minimum itu sendiri telah diatur dalam Pasal 88
1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) meliputi:
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e.
upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Setiap pemerintah provinsi tentunya telah menetapkan upah minimum masing-
masing.penetapannya juga berdasarkan kebutuhan hidup yang layak dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi disetap kotanya. Dan dalam
kasus ini PT AICE tidak menetapkan upah minimum para karyawan yang sesuai dengan
apa yang telah diatur oleh Pemerintah, dengan demikian akan banyak para pekerja
yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, karena uoah yang
diberikan tidak sesuai dengan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Padahal disatu sisi, tenaga dan waktu para pekerja sudah dikuras habis oleh pihak PT
AICE, dengan tidak memberikan hak-hak sebagaimana mestinya.
Dalam kasus ini jelas selain menyalahi aturan UU Nomor 13 Tahun 2003, juga menyalahi
aturan yang dituangkan dalam PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2012. Dimana perjanjaian kerja
atau kontrak kerja yang dibuat oleh perusahaan dengan para pekerja jelas tidak memenuhi
unsur-unsur sebagaimana yang tertuang dalam Pasal :
Pasal 28
Setiap perjanjian kerja penyediaan jasa pekerja/buruh wajib memuat ketentuan yang menjamin
terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 29