Anda di halaman 1dari 8

Nama : Shafira Fatahaya

NIM : 1810611085

Matkul : Hukum Perburuhan kelas A (08.00-09.40 WIB)

Analisis terhadap kasus Eksploitasi Kerja di Pabrik Es Krim Aice1

Sebelum membahas mengenai eksploitasi yang dilakukan oleh PT AICE. Kita harus tau dulu
apa yang dimaksud dengan outsourcing, karena pada kasus ini terkait pula dengan para
pekerja outsourcing. Dimana PT AFI (AICE) memakai perusahaan jasa outsourcing yang
berpusat di Tangerang bernama PT Mandiri Putra Bangsa.

Outsourcing adalah bentuk kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja
sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya serta pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhannya.2 Outsourcing bisa diartikan sebagai penggunaan tenaga kerja dari pihak ketiga
untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu. Saat merekrut pekerja outsource, perusahaan bisa
bekerja sama dengan perusahaan outsource.

Akan ada 3 pihak dalam pelaksanaan outsourcing, yakni :

- perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing (vendor) : PT Mandiri Putra Bangsa


- perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing (user) : PT AFI (AICE)
- tenaga kerja outsourcing itu sendiri.

Terkait dengan kasus ini, memang tidak adanya perlindungan bagi para pekerja outsourcing.
Buruh outsourcing merupakan pihak yang paling dirugikan dalam suatu perjanjian kerja, karena
apabila terjadi pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan, maka buruh outsourcing tidak
mendapatkan hak-hak normatif sebagaimana layaknya tenaga kerja atau buruh biasa,
walaupun masa kerja sudah bertahun-tahun.

1
Tirto.id, Hukum : "Eksploitasi Kerja di Pabrik Es Krim Aice, Sponsor Asian Games 2018". Diakses dari
https://tirto.id/eksploitasi-kerja-di-pabrik-es-krim-aice-sponsor-asian-games-2018-cA7h pada tanggal 16 Maret
2020 pukul 08.16 WIB
2
Fontian Munzil, Artikel Hukum : “Kedudukan dan Eksitensi Tenaga Kerja Outsourcing dalam Dunia
Bisnis”, (Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, 2018)
Masa kerja buruh outsourcing tidak merupakan faktor penentu, karena tiap tahun kontrak
kerjasama dapat diperbarui, sehingga masa pengabdian dimulai lagi dari awal saat terjadi
kesepakatan kontrak kerja antara perusahaan dengan buruh.

Padahal disi lain, banyak sekali hak tenaga kerja (termasuk pekerja/buruh dalam hubungan
kerja) yang diatur dan dituangkan dalam Undang-Undang mengenai Ketenagakerjaan, relatif
sangat banyak. Akan tetapi pada kasus ini, pelaksanaan aturan yang terdapat dalam
perusahaan bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Disini sudah terlihat
bahwa PT AICE mempunyai regulasi yang berantakan dan dari regulasi perusahaannya
tersebut sangat merugikan para pekerjanya. Banyak pekerja yang menyatakan bahwa hak-hak
para buruh tidak terpenuhi dan bahkan tidak diberikan oleh pihak perusahaan.

Hal-hal yang bermasalah dalam kasus eksploitasi Kerja di Pabrik AICE antara lain :

1. Permasalahan kontrak kerja


Permasalahan kontrak kerja ini dialami oleh :
 Agus, dimana dia bekerja di PT tanpa adanya kontrak kerja.
 Imam, salah satu buruh terlama di PT AFI. Ia diterima sejak Juni 2014 melalui jalur
PT Mandiri Putra Bangsa. Masalahnya juga serupa dengan Agus: ia bekerja tanpa
kontrak resmi sejak akhir 2016. Sampai Oktober 2016, Imam bekerja dengan status
buruh tak tetap. Pada Oktober 2017, kontraknya diputus. Namun, ia masih bekerja
seperti biasa, di bagian pengaduk campuran es krim. Ia juga tetap menerima upah
saban bulan, meski statusnya ambigu.

Apa yang dialami Imam dan Agus jelas bertentangan dengan aturan hukum
ketenagakerjaan tahun 2003. Salah satu pasal dalam regulasi ini menyebutkan bahwa
"perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap." Pendeknya, sistem buruh kontrak PT AFI lewat perusahaan outsourcing
PT Mandiri Putra Bangsa telah menyalahi regulasi; dan tidak sepatutnya mengombang-
ambingkan status kerja buruh.

PT AICE juga memberlakukan system kontrak yang diberlakukan berkali-kali dengan


tidak sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dima pihak perusahaan sistem
kontrak ketika ada sekitar 16 buruh yang dikontrak lebih dari 3 kali ditambah 56 buruh
yang diperpanjang pada kontrak ketiga tanpa 30 hari jeda.

Berdasarkan regulasi ketenagakerjaan :


kontrak terhadap para buruh Aice ini hanya bisa disepakati paling lama 2 tahun dan
diperpanjang 1 kali dengan waktu perpanjangan paling lama setahun.
Perpanjangan ini harus diberitahukan paling lama 7 hari secara tertulis, tapi perusahaan
abai atas ketentuan ini. Padahal, bila patuh terhadap regulasi perburuhan di Indonesia,
perusahaan dengan model investasi asing ini secara hukum terikat untuk mengangkat
para buruh kontrak yang melampaui tempo sebagai "karyawan tetap". Hal ini
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 ayat 6 UU Ketenagakerjaan dimana
pembaharuan kontrak kerja hanya bisa dilakukan satu kali saja

Pasal 59 ayat 7 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa PKWT yang bekerja atau


diberlakukan lebih dari 3 tahun, masa maksimalnya, maka demi hukum perjanjian kerja
PKWT tersebut akan menjadi PKWTT atau karyawan tetap.

Artinya adalah ketika PT telah melakukan hal tersebut, maka PT telah menyalahi aturan
regulasi ketenagakerjaan dan kontrak kerja yang dibuat dianggap “BATAL DEMI
HUKUM” dan dengan begitu status Pekerja Kontrak akan berubah menjadi Pekerja /
Karyawan Tetap.

2. Pemberlakuan jam kerja


Jam kerja buruh pun menyalahi regulasi. Perusahaan menerapkan tiga shift pekerjaan.
Jam 7 sampai jam 3 sore, jam 3 sore sampai 12 malam, dan jam 11 malam sampai jam
7 pagi. Mesin produksi bekerja terus selama 24 jam, dan buruh yang mendapatkan
jadwal kerja hanya diberi 1 jam rehat setiap hari. Jam kerja 7 jam sepintas wajar belaka,
tapi yang menjadi masalah adalah penghitungan hari kerja. Tak ada hari libur atau
bahkan hitungan lembur di hari Sabtu dan Minggu. Dalam sebulan, para buruh es
krim Aice dipaksa masuk berturut-turut selama 25 hari. Sisanya baru mendapatkan jatah
lembur.
Hal ini tentu sangat bertentangan dengan pasal 77 UU Ketenakerjaan yang mengatur
mengenai waktu kerja sebagaimana berikut :
1) 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk enam hari kerja dalam satu minggu
2) 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk lima hari kerja dalam satu minggu

Memang tidak ada yang salah dalam 7 jam dalam jam kerja, yang salah adalah para
pekerja tidak mendapat jatah libur di hari sabtu ataupun minggu sebagaimana yang
diatur dalam UU Ketenagakerjaan tentu hal ini sangat bertentangan dan merugikan
pihak buruh atau para pekerja. Dan hal ini jelas lebih kejam darioada RUU Cipta Kerja
yang diatur pula dalam Pasal 77 dimana para pekerja masih mendapatkan jatah libur 1
hari dalam seminggu. Hal ini tentu menyalahi hak-hak yang seharusnya didapat oleh
para buruh.

3. Pemberian cuti hamil


Hak buruh dalam surat pernyataan tahun 2017 itu pun digerus. Buruh tak diberikan hak-
haknya seperti BPJS Ketenagakerjaan ataupun BPJS Kesehatan. Mereka bahkan harus
menyatakan diri tidak akan meminta izin kerja dalam kondisi apa pun alasannya. Poin
pernyataan, “Bersedia untuk masuk terus tanpa izin apa pun alasannya” telah
memapras hak cuti haid ataupun cuti melahirkan. Kejadian ini menimpa Ida yang hamil 7
bulan.

Padahal cuti hamil adalah hak yang harus diberikan oleh para pekerja. Dimana diatur
dalam Pasal 82 jo Pasal 84 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kandungan atau bidan.

Padahal dalam kasus ini sudah jelas bahwa pekerja tersebut sedang hamil dan meminta
hak nya untuk cuti selama masa kehamilan sebagaimana yang telah diatur dalam
undang-undang. Akan tetapi perusahaan seakan menutup telingan untuk tidak mau
menerima alasan apapun termasuk hamil. Padahal kehamilan adalah hal yang sangat
perlu untuk diperhatikan. Bagaimana bisa seseorang yang sudah hamil tua masih
diberikan pekerjaan yang berat dan apa yang akan terjadinya nantinya jika hal ini terus
diterapkan pada PT AICE.

Selain itu para buruh tentu mempunyai hak dan perlindungan atas keselamatan dan
kesehatan kerja (K3), perlindungan moral dan kesusilaan serta perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat [1] Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat [1] Undang-
Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
Bagaimana jika para buruh yang sudah hamil tua diberikan pekerjaan yang berat dan
terjadi masalah dengan kehamilannya, hal ini tentu akan menimbulkan masalah baru,
dimana tidak didapatkannya keselamatan dan kesehatan kerja bagi para buruh
sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU Ketenakerjaan.

4. Pemberian izin sakit


Jangankan cuti hamil, izin sakit pun harus ditebus sendiri oleh buruh. Jika mereka izin
sakit, mereka harus mengambil jatah lembur untuk menggantikan jam kerja. Jika tidak,
penghasilan mereka per bulan dipotong sesuai jumlah absen hari kerja.
Hal ini tentu bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan pasal 93 ayat 2, dimana upah
tidak bayar bila tidak melakukan pekerjaan kecuali untuk hal-hal sebagai berikut :
a) pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;.
b) pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa
haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c) pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,
mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran
kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau
mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan
kewajiban terhadap negara;
e) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah
yang diperintahkan agamanya;
f) pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun
halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g) pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h) pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas
persetujuan pengusaha; dan
i) pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Disini sudah terlihat jelas bahwa perusahaan tidak menjalankan aturan sebagimana
yang telah diamanatkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan,
dimana pihak perusahaan menguras habis tenaga para pekerja, dengan tidak
memberikan hak-hak yang sesuai.
Padahal sudah jelas bahwasannnya, para buruh yang tidak bekerja dengan alasan sakit
tentunya disertai dengan hukti yang kuat tetap diberikan upah yang telah ditentukan
tanpa harus menggantikan pekerjaannya dihari lain atau lembuh atau dengan
memotong upah yang seharusnya didapat,

5. Pemberian gaji
Pemberian gaji yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, salah satunya adalah Agus
bekerja tanpa kontrak, dan langsung diminta ke bagian kualitas produk. Hari-hari
berikutnya tenaga Agus diperas oleh PT AFI. Ia hanya mendapatkan libur sehari setiap
tiga minggu. Gajinya di bawah upah minimum Kabupaten Bekasi tahun 2016, yakni
Rp2,7 juta dari seharusnya Rp3,3 juta.
Upah minimum itu sendiri telah diatur dalam Pasal 88
1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) meliputi:
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e.
upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Setiap pemerintah provinsi tentunya telah menetapkan upah minimum masing-
masing.penetapannya juga berdasarkan kebutuhan hidup yang layak dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi disetap kotanya. Dan dalam
kasus ini PT AICE tidak menetapkan upah minimum para karyawan yang sesuai dengan
apa yang telah diatur oleh Pemerintah, dengan demikian akan banyak para pekerja
yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, karena uoah yang
diberikan tidak sesuai dengan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Padahal disatu sisi, tenaga dan waktu para pekerja sudah dikuras habis oleh pihak PT
AICE, dengan tidak memberikan hak-hak sebagaimana mestinya.

6. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


Pola PHK : ia tak diberitahu minimal tujuh hari sebelum masa kontrak berakhir.
Dimana pola PHK yang digunakan jelas merugikan pihak buruh karena tidak ada
penjelasan lebih dulu pihak perusahaan kepada para buruh yang di PHK

Dalam kasus ini jelas selain menyalahi aturan UU Nomor 13 Tahun 2003, juga menyalahi
aturan yang dituangkan dalam PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2012. Dimana perjanjaian kerja
atau kontrak kerja yang dibuat oleh perusahaan dengan para pekerja jelas tidak memenuhi
unsur-unsur sebagaimana yang tertuang dalam Pasal :

(banyak sekali hak-hak buruh yang terbengkalai dan tidak diberikan)

Pasal 28

Setiap perjanjian kerja penyediaan jasa pekerja/buruh wajib memuat ketentuan yang menjamin
terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.

Pasal 29

1) Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan


pekerja/buruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
2) Dalam hal hubungan kerja didasarkan atas perjanjian kerja waktu tertentu yang objek
kerjanya tetap ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya harus
memuat:
a. jaminan kelangsungan bekerja;
b. jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan yang diperjanjikan; dan
c. jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh untuk menetapkan upah.
3) Hak-hak pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
b. hak atas jaminan sosial;
c. hak atas tunjangan hari raya;
d. hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;
e. hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir bukan karena
kesalahan pekerja;
f. hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi masa kerja yang telah
dilalui; dan
g. hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau
perjanjian kerja sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai