Anda di halaman 1dari 14

Mungkinkah Putusan Cerai

Dijatuhkan pada Sidang Pertama?

Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.


Hukum Keluarga dan Waris
Bung Pokrol

Pertanyaan

Saya dan istri telah sepakat bercerai dan sudah tidak bisa rujuk kembali. Istri saya kemudian
mengurus cerai di pengadilan agama di daerahnya sendiri dan kami sudah sepakat bahwa saat
sidang nanti hanya istri yang akan menghadiri sidang agar proses cerainya bisa berjalan lebih
cepat. Pertanyaan saya apakah jika kami berdua sepakat bercerai maka pada saat sidang pertama
hasilnya bisa segera diputuskan oleh hakim tanpa perlu ada sidang berikutnya?

Ulasan Lengkap

Terima kasih atas pertanyaan Anda.


 
Intisari:
 
 
Agenda pada persidangan pertama pemeriksaan gugatan perceraian adalah perdamaian. Di sini, hakim tidak
langsung memutus cerai kedua belah pihak. Pada sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
 

Jika Anda (sebagai tergugat) sama sekali tidak datang atau tidak diwakili oleh kuasa untuk menghadap di
persidangan, maka berdasarkan Pasal 125 Herzien Indlandsch Reglement (HIR)(S.1941-44) hakim dapat
menjatuhkan putusan verstek, yakni putusan yang dijatuhkan apabila tergugat tidak hadir atau tidak juga
mewakilkan kepada kuasanya untuk menghadap meskipun ia sudah dipanggil dengan patut.
 

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
 

 
 
Ulasan:
 

Kami turut prihatin terhadap masalah yang sedang Anda hadapi. Perceraian hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi
pasangan suami istri setelah semua upaya perdamaian telah ditempuh untuk menjaga keutuhan rumah tangga.
 

Anda mengatakan bahwa istri Anda mengurus cerai di Pengadilan Agama, kemudian Anda dan istri juga sepakat
agar saat sidang nanti hanya istri yang akan hadir. Berdasarkan keterangan ini, kami menyimpulkan bahwa istri
Anda bertindak selaku penggugat dan Anda bertindak selaku tergugat.
 

Pada dasarnya, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat
hidup rukun sebagai suami isteri sebagaimana dikatakan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Apa saja alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk
perceraian itu?
 

Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian
adalah:
1.    salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
2.    salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
3.    salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
4.    salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
5.    salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/istri;
6.    antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah-tangga;
 

Selain alasan-alasan tersebut, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam juga berlaku ketentuan dalam Pasal
116 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang mengatur dua alasan perceraian yang tidak diatur dalam UU
Perkawinan yaitu:  
1.    Suami melanggar taklik talak;
2.    Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
 

Jika dilihat dari alasan-alasan perceraian di atas, Anda yang sudah sering cekcok dengan istri Anda, jika memang
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi sebagaimana disebut dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, maka hal
tersebut dapat dijadikan alasan perceraian.
 

Soal jalannya proses persidangan, istri Anda selaku penggugat dapat mengajukan perceraian sebagaimana diatur
dalam Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama(“UU 7/1989”)
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 jo. Pasal 132 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam(“KHI”) menyebutkan:
 
“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin tergugat.”
         

Berdasarkan Pasal 73 ayat (1) UU 7/1989 jo. Pasal 142 ayat (1) KHI memang pengajuan gugatan perceraian dapat
dikuasakan. Namun, untuk sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian ditentukan dalam Pasal 82 ayat (1) dan
(2) UU 7/1989 bahwa:
 
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah
satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi
dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
 

Mengacu pada ketentuan di atas, maka agenda pada persidangan pertama adalah pemeriksaan gugatan perceraian,
yang disebut dengan sidang perdamaian. Di sini, menjawab pertanyaan Anda, hakim tidak langsung memutus cerai
Anda dan istri. Pada sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
 
Bahkan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan selama perkara belum diputuskan.
Demikian yang diatur dalam Pasal 82 ayat (4) UU 7/1989 jo. Pasal 143 ayat (2) KHI.
 

Dalam hal suami istri diwakili oleh kuasa, untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim dapat memerintahkan yang
bersangkutan untuk hadir sendiri [Pasal 142 ayat (2) KHI]. Jika Anda (sebagai tergugat) sama sekali tidak datang
dan juga tidak diwakili oleh kuasa, maka berdasarkan Pasal 125 Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-
44)hakim dapat menjatuhkan putusan verstek.
 

Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan apabila tergugat tidak hadir atau tidak juga mewakilkan kepada
kuasanya untuk menghadap meskipun ia sudah dipanggil dengan patut. Apabila tergugat tidak mengajukan upaya
banding terhadap putusan verstek itu, maka putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum
tetap. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Putusan Verstek dan Sidang
Perceraian Tanpa Dihadiri Pihak Suami.
 

Apabila terhadap putusan verstek tersebut tidak dilakukan perlawanan (verzet) terhadapnya, maka putusan tersebut
dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Penjelasan lebih lanjut mengenai putusan berkekuatan
hukum tetap ini dapat Anda simak dalam artikel Kapan Putusan Pengadilan Dinyatakan Berkekuatan Hukum
Tetap? 
 

Jadi, Hakimlah yang akan memanggil tergugat secara patut untuk hadir di persidangan. Apabila Anda tidak juga
hadir atau tidak diwakili oleh kuasa untuk hadir di persidangan, maka persidangan tetap berjalan dengan dijatuhkan
putusan verstek. Jadi, melalui putusan verstek inilah Anda dan istri resmi bercerai.
 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.


 

Dasar hukum:
1.    Herzien Indlandsch Reglement (HIR)(S.1941-44);
2.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah oleh Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009;
4.    Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Cerai Karena Gugatan dan Cerai
Karena Talak

Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.


Hukum Keluarga dan Waris
Bung Pokrol

Pertanyaan

Apakah perbedaan dari cerai talak dengan cerai gugat? Dan apa pengertian dari talak 1, talak 2,
dan talak 3?

Ulasan Lengkap

Terima kasih atas pertanyaan Anda.


 
I.    Tentang cerai gugat dan cerai talak
 

Pengaturan masalah perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan(“UUP”),Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”).

Berdasarkan Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas
keputusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UUP mengatakan bahwa perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan.

Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975 adalah gugatan yang
diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20 ayat [1] PP 9/1975).

Bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, mengenai perceraian tunduk pada
Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan perbedaan cerai gugat dan cerai talak
yang dimaksud dalam KHI satu persatu sebagai berikut:

Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda dengan
yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP dan PP 9/1975 dikatakan
bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau istri, mengenai gugatan cerai menurut
KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132
ayat (1) KHI yang berbunyi:

“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama,
yang daerahhukumnya mewilayahitempat tinggal penggugat kecuali istri
meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.”
 

Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap
tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat [2] KHI)
 

Sedangkan, cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI
yangberbunyi:

“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena


talak atau berdasarkan gugatan perceraian”
 

Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di
hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini
diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:

“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan


permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar
diadakan sidang untuk keperluan itu.”
 

Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh
suami di Pengadilan Agama.

Sedangkan, mengenai cerai karena talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama,
menurut Nasrulloh Nasution, S.H. dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar
Pengadilan hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang
berlaku di negara Indonesia karena tidak dilakukan di Pengadilan Agama. Menurut
Nasrulloh, akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan
antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum.

Selain itu, Pasal 115 KHI mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.

Dengan demikian, dari penjelasan mengenai cerai karena gugatan dan cerai karena talak
sebagaimana yang dimaksud dalam KHI yang telah kami uraikan di atas dapat diketahui
bahwa keduanya hanya bisa dilakukan dan sah secara hukum apabila melalui proses sidang
di Pengadilan Agama.

II.   Tentang talak 1, talak 2, dan talak 3

Menjawab pertanyaan Anda yang lainnya mengenai talak satu dan talak dua, maka kami
berpedoman pada pendapat Sayuti Thalibdalam bukunya yang berjudul Hukum
Kekeluargaan Indonesia. Sayuti mengatakan bahwa Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 229
mengatur hal talaq, yaitu talaq hanya sampai dua kali yang diperkenankan untuk rujuk
kembali atau kawin kembali antara kedua bekas suami isteri itu (hal. 100). Jadi, apabila
suami menjatuhkan talak satu atau talak dua, ia dan istri yang ditalaknya itu masih bisa
rujuk atau kawin kembali dengan cara-cara tertentu.

Arti rujuk kembali ialah kembali terjadi hubungan suami isteri antara seorang suami yang
telah menjatuhkan talaq kepada isterinya dengan insteri yang telah ditalaq-nya itu dengan
cara yang sederhana. Caranya ialah dengan mengucapkan saja “saya kembali kepadamu”
oleh si suami di hadapan dua orang saksi laki-laki yang adil. Sedangkan, arti kawin kembali
ialah kedua bekas suami isteri memenuhi ketentuan sama seperti perkawinan biasa, yaitu ada
akad nikah, saksi, dan lain-lainnya untuk menjadikan mereka menjadi suami isteri kembali.
Sungguhpun demikian, dalam masyarakat kita di Indonesia orang selalu menyebut kawin
kembali itu dengan sebutan rujuk juga (hal. 101). Mengenai talaq satu atau talaq dua ini
disebut juga talaq raj’i atau talak ruj’i, yaitu talaq yang masih boleh dirujuk (hal. 103).

Mengenai talak raj’i ini dapat kita jumpai pula pengaturannya dalam dalam Pasal 118 KHI
yang berbunyi:

“Talak raj'i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama
istri dalam masa iddah.”
 

Kemudian, mengenai talak tiga kita berpedoman pada Al Qur’an Surat Al-Baqarah.
Berdasarkan Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 230, kalau seorang suami telah
menjatuhkan talaq yang ketiga kepada isterinya, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya
untuk mengawininya sebelum perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. Maksudnya ialah
kalau sudah talaq tiga, perlu muhallil untuk membolehkan kawin kembali antara pasangan
suami isteri pertama. Arti muhallil ialah orang yang menghalalkan. Maksudnya ialah si
isteri harus kawin dahulu dengan seorang laki-laki lain dan telah melakukan persetubuhan
dengan suaminya itu sebagai suatu hal yang merupakan inti perkawinan. Laki-laki lain itulah
yang bernama muhallil. Kalau pasangan suami isteri ini bercerai pula, maka barulah
pasangan suami isteri semula dapat kawin kembali (ibid hal. 101-102).

Talak tiga ini disebut juga dengan talak ba’in kubraa yang pengaturannya dapat kita temui
dalam Pasal 120 KHI yang berbunyi:

“Talak ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.Talak jenis ini
tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila
pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan
kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan habis masa iddahnya.”
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

1.     Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2.     Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan

3.     Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

 
Referensi:

Sayuti Thalib. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. UI-Press: Jakarta.


Langkah-Langkah Mengajukan Gugatan
Cerai ke Pengadilan
Edited by Fiki Ariyanti • 29 November 2018

Menjelang akhir tahun, kabar mengejutkan datang dari pasangan artis Gisella Anastasia dan
Gading Marten. Gisel telah menggugat cerai suaminya Gading ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, beberapa waktu lalu. Setelah ramai berita perceraian tersebut, muncul tagar #SaveGempi
yang menjadi trending topic di media sosial. 

Kasus perceraian memang bukan hanya menimpa para selebriti. Banyak orang mengalami
masalah serupa, hanya saja tidak terekspos. Penyebab utama perceraian macam-macam, seperti
sudah tidak cocok lagi, karena masalah ekonomi, sampai karena kehadiran orang ketiga.

Sebenarnya apa sih perceraian itu dan bagaimana cara mengajukan gugatan cerai ke pengadilan
berdasarkan hukum yang berlaku?

Baca Juga: Cara Agar KTA Cepat Disetujui dan Cara Menghitung Cicilannya

Anda Bingung Cari Produk Kredit Tanpa Agunan Terbaik? Cermati punya solusinya!
Pengertian Cerai

Pengertian Cerai

Perceraian adalah berakhirnya pernikahan antara suami dan istri. Suami atau istri dapat
mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Ketika kasus ditangani pengadilan, untuk mencapai
ketuk palu cerai, ada tahapan-tahapannya. Harus melalui tahap mediasi dulu, menghadirkan
saksi-saksi di persidangan, dan jika alasan pisah diterima, maka pengadilan akan mengabulkan
gugatan tersebut.

Perceraian telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Sidang perceraian bisa dilanjutkan apabila kedua belah pihak telah sepakat untuk
menandatangani surat perceraian dan melengkapi seluruh syarat yang dibutuhkan di pengadilan
nanti.

Langkah Mengajukan Gugatan Cerai ke Pengadilan

 
Langkah Mengajukan Gugatan Cerai ke Pengadilan

Perceraian terjadi karena antara suami atau istri tidak dapat lagi mempertahankan mahligai
pernikahan mereka. Cerai adalah jalan terakhir untuk mengakhiri kemelut rumah tangga yang
terjadi. Jika itu sudah keputusan bersama, berikut langkah-langkah mengajukan gugatan cerai:

Baca Juga: Cara Mencairkan Jamsostek BPJS JHT sampai 100%

1. Menyiapkan Dokumen yang Dibutuhkan

Dokumen-dokumen yang perlu Anda siapkan dalam pengajuan gugatan cerai cukup banyak,
meliputi:

 Surat nikah asli


 Fotokopi surat nikah
 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari penggugat
 Surat keterangan dari kelurahan
 Fotokopi Kartu Keluarga (KK)
 Fotokopi akte kelahiran anak (jika memiliki anak)
 Meterai
Nah jika ingin menggugat harta gono gini atau harta milik bersama, siapkan pula berkas-berkas,
seperti surat sertifikat tanah, surat-surat kepemilikan kendaraan bermotor (BPKB dan STNK),
dan dokumen harta lainnya.

2. Mendaftarkan Gugatan Cerai ke Pengadilan

Setelah menyiapkan kelengkapan dokumen, Anda dapat pergi mendaftarkan gugatan cerai ke
Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri. Mendaftarkan gugatan cerai harus ke pengadilan di
wilayah kediaman pihak tergugat. Jika istri akan menggugat cerai suami, maka istri harus
mengajukan gugatan tersebut di pengadilan tempat suami.

3. Membuat Surat Gugatan

Begitu tiba di pengadilan, Anda bisa langsung menuju pusat bantuan hukum di pengadilan guna
membuat surat gugatan. Surat gugatan cerai ini harus mencantumkan alasan menggugat cerai.
Alasan gugatan cerai harus dapat diterima pengadilan, seperti ada unsur penganiayaan,
penelantaran, kekerasan, pertengkaran terus menerus, dan alasan lainnya.  

4. Menyiapkan Biaya Perceraian

Biaya selama masa sidang cerai wajib dibayar pihak yang mengajukan gugatan cerai. Biaya-
biaya tersebut, antara lain biaya pendaftaran, biaya meterai, biaya proses (ATK), biaya redaksi,
dan biaya panggilan sidang. Biaya yang dikeluarkan selama proses sidang perceraian tergantung
dari kedua belah pihak yang bercerai. Kalau salah satu pihak tidak pernah menanggapi surat
panggilan persidangan, maka pihak pengadilan berhak membebankan biaya yang lebih besar.
Tapi, hal ini kembali lagi tergantung pada jumlah ketidakhadiran pihak yang bercerai.

5. Mengetahui Tata Cara dan Proses Persidangan

Saat proses persidangan berjalan, kedua belah pihak harus menghadiri persidangan untuk
mengikuti mediasi. Dengan adanya mediasi, diharapkan kedua belah pihak bisa berdamai dan
menarik gugatannya. Akan tetapi, kalau keputusan untuk bercerai sudah bulat, maka akan
dilanjutkan dengan pembacaan surat gugat perceraian.

Jika pihak tergugat tidak pernah memenuhi panggilan dari pihak pengadilan untuk mengikuti
sidang, maka pihak pengadilan dapat membuat amar putusan yang berisi pemutusan sah antara
suami dan istri.
Amar putusan ini kemudian akan dikirimkan kepada pihak tergugat sebagai bukti kalau
pernikahan sudah berakhir. Apabila pihak yang tergugat sama sekali tidak memberi tanggapan
mengenai amar putusan, maka pihak pengadilan berhak membuat surat akta cerai.

6. Menyiapkan Saksi 

Gugatan perceraian dapat berjalan lancar jika pihak penggugat memberikan alasan yang jelas
terkait pengajuan gugatan cerai. Alasan ini juga akan disampaikan di pengadilan, termasuk
menghadirkan saksi-saksi yang dapat memperkuat alasan perceraian. Saksi-saksi tersebut bakal
dihadirkan saat sidang perceraian.

Jika Anda masih bingung, tidak mau ribet mengurus sendiri gugatan cerai, Anda bisa menyewa
jasa pengacara yang akan melancarkan semua masalah perceraian Anda. Dengan adanya
pengacara, Anda setidaknya sudah memiliki shield untuk melindungi diri dari adanya ancaman
yang datang dari pasangan secara tiba-tiba.

Ikuti Seluruh Instruksi dari Pengadilan

Selengkap apapun dokumen perceraian yang Anda serahkan ke pengadilan, tetap tidak akan
berguna jika Anda tidak mengikuti seluruh instruksi dari pengadilan dengan baik dan benar. Oleh
karena itu, ikuti seluruh instruksi pengadilan dan selalu memenuhi panggilan sidang, apalagi jika
Anda sebagai penggugat. 

Anda mungkin juga menyukai