Anda di halaman 1dari 52

AIDS penyakit

Surveilans HIV di wilayah Sosrowijayan Kulon, Kota Yogyakarta menunjukan kecenderungan


naik, dari 6,03 % pada tahun 2005, menjadi 12,45 % di tahun 2010. Hal ini menjadi titik awal
penyusunan kesepakatan lokal penggunaan kondom dan pemeriksaan IMS (Infeksi Menular
Seksual) di wilayah tersebut. Kesepakatan ini melibatkan Puskesmas, KPA dan juga organisasi
setempat.

Proses yang dijalani tidak mudah, yaitu dimulai November 2010, hingga akhirnya pada 31 Maret
2012 dilakukan penandatanganan dokumen peraturan kesepakatan lokal.

Sejak dilakukan penandatanganan kesepakatan lokal, kegiatan monitoring dan evaluasi selalu
dilakukan secara rutin. Hasilnya distribusi kondom meningkat. Hal ini kemudian berdampak
pada penurunan prevelensi HIV yang ditunjukan hasil surveilans tahun 2012, menjadi 5,39%.
Kedepan, kesepakatan kondisi ini akan terus dipertahankan sambil memperkuat organisasi yang
ada.

KOMPAS.com-Kondom sebaiknya selalu digunakan saat berhubungan seksual. Penggunaan


kondom dapat mencegah diri dan pasangan dari risiko infeksi berbagai penyakit yang ditularkan
lewat hubungan seksual, misalnya HIV/AIDS.

Menurut Koordinator Pelaporan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional Djadjat


Sudradjat, kondom semata digunakan sebagai alat proteksi diri. Tak tepat bila dikatakan kondom
untuk melegalkan atau mempermudah hubungan seksual.

 
"Penggunaan kondom tak lantas mempermudah hubungan seksual. Hal ini lebih kepada langkah
pencegahan terinfeksi penyakit yang bisa menular lewat hubungan seksual, salah satunya AIDS.
Siapa saja bisa menularkan AIDS termasuk pasangan yang sah," kata Dradjat pada seminar
Lindungi Generasi Muda dari HIV/AIDS yang diadakan di Jakarta pada Senin (25/11/13).
 
Penggunaan kondom menurutnya semakin penting karena jumlah orang yang terinfeksi HIV dan
menderita AIDS terus meningkat. Data KPA Nasional menyebutkan, jumlah kasus terinfeksi
HIV mencapai 21.511 jiwa pada 2012. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2011 yang hanya
mencapai 21.031 jiwa. Sementara pengukuran sampai Juni 2013 menyatakan, ada 10.210 jiwa
yang terinfeksi HIV.
 
Untuk jumlah penderita AIDS, pada 2012 tercatat ada 5.686. jiwa. Jumlah ini menurun
dibanding pada 2011 yang hahya sebesar 7.004 jiwa. Namun 5.686 jiwa ini lebih kecil daripada
infeksi pada 2010 yang mencapai 6.855 jiwa.
 
Dari data yang ada, kelompok umur 25-49 tahun memiliki persentase terinfeksi HIV paling
besar, yaitu 70,7 persen. Sementara kelompok umur yang paling banyak menderita AIDS adalah
kelompok umur 30-39 tahun sebesar 33,8 persen.
 
Meski begitu, risiko terinfeksi  HIV/AIDS sama besarnya antara pria dan wanita. "Dulu memang
lebih banyak pria yang terinfeksi, karena pria cenderung lebih suka "jajan" di luar. Namun saat
ini peluang hampir sama karena wanita tertular dari pasangan prianya," kata Djadjat.
 
Terkait penularan pada wanita, Djadjat mengatakan, istri harus bisa berkomunikasi dan
meyakinkan suami untuk menggunakan kondom. Hal ini janganlah dipandang sebagai mosi tidak
percaya, namun lebih kepada upaya bersama dalam menjaga kesehatan.
 
Pria jangan suka "jajan"
 
Terkait  pria atau suami yang  berisiko menularkan penyakit  kepada istrinya, Dradjat
menyarankan kaum Adam untuk menghindari perilaku seks berisiko. Bila bekerja jauh dari isteri
atau berada di tempat terpencil, upayakan tidak "jajan". 
 
Djajat menegaskan, perlindungan utama dari HIV tetaplah tidak melakukan hubungan seks
(abstinence)  dan penggunaan kondom adalah upaya pencegahan selanjutnya.

"Ingat ABCD, A untuk abstinence, B untuk be faithfull atau yakin pada pasangan, C untuk
Condom, dan D untuk jauhi Drugs. Rumus tersebut adalah langkah efektif pencegahan
HIV/AIDS pada pria yang jauh dari pasangannya," tuturnya.
- See more at: http://www.aidsindonesia.or.id/news/6023/3/27/11/2013/Kondom-Tak-Lantas-
Mudahkan-Seks-Bebas#sthash.a5L2wZfp.dpuf.
Duh 1 dari 2 Siswa SLTA etnis Papua di Kab. Mimika pernah berhubungan seks
Dipublikasi pada Monday, 19 December 2011 oleh toto  
Aang Sutrisna, 05 Desember 2011

Hampir semua responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika pernah
mendengar tentang HIV dan AIDS, dan juga pernah mengikuti berbagai penyuluhan terkait
program pengendalian HIV di sekolahnya. Hal ini sejalan dengan hasil Focus Group Discussion
(FGD) dengan para guru yang intinya menyatakan bahwa penyuluhan HIV sudah cukup intensif
dilakukan dilingkungan sekolah. Selain itu, Guru juga merupakan sumber informasi tentang
HIV dan AIDS yang paling banyak disebutkan oleh responden. Temuan ini berbeda dengan
hasil survei perilaku pada siswa SLTA di 6 kota lainnya (Yogyakarta, Tangerang, Pontianak,
Samarinda, Jakarta dan Surabaya) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2007-
2009, dimana televisi merupakan sumber informasi yang paling sering disebutkan oleh
respondennya. Program penyuluhan terbukti mampu memberikan pengaruh yang signifikan
secara statistik terhadap tingkat pengetahuan komprehensif tentang cara penularan dan
pencegahan HIV. Hal ini dibuktikan oleh rasio odds 10.1 dengan 95% CI 3.2 – 32.2 dan nilai p
<0.01 yang bisa diartikan bahwa responden yang pernah mengikuti program penyuluhan 10 kali
lebih mungkin untuk memiliki pengetahuan komprehensif. Walaupun demikian 1 dari 2
responden masih memiliki pemahaman yang keliru tentang cara pencegahan dan penularan
HIV. Banyaknya responden yang memiliki pemahaman keliru tentang cara penularan dan
pencegahan HIV, sedikit banyak berkontribusi pada tingginya perilaku stigma pada ODHA
yang mencapai 35% responden. Indikasi hubungan atau pengaruh tingkat pengetahuan
komprehensif dengan perilaku stigma ditunjukan oleh hasil analisis regresi yang signifikan
secara statistik (Rasio Odd 2.4; 95% CI 1.3 – 4.4; nilai p = 0.008). Persentase perilaku stigma
tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil survei perilaku di 6 kota lainnya yang berkisar antara
28% - 49%. Persentase responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika yang
mengaku pernah berhubungan seks (26%) 2.5 – 9 kali lebih tinggi dibanding hasil survei
perilaku pada siswa SLTA di 6 kota lainnya yang berkisar antara 3% (Tanggerang) - 11%
(Surabaya). Apalagi jika dibandingkan dengan persentase responden etnis/suku Papua yang
pernah berhubungan seks (41%) maka perbedaannya menjadi yaitu 4 – 12 kali lebih tinggi.
Selain itu, 1 dari 2 reponden yang mengaku pernah berhubungan seks juga mengaku
melakukannya dengan lebih dari 1 pasangan seks dalam 1 tahun terakhir. Hal ini
mengindikasikan bahwa siswa SLTA pada umumnya dan siswa SLTA etnis/suku Papua di
Kabupaten Mimika jauh lebih berisiko untuk terinfeksi HIV ataupun menghadapi masalah
kesehatan reproduksi lainnya dibanding siswa SLTA di kota-kota lainnya dimana survei
perilaku sejenis pernah dilakukan.

Alasan berhubungan seks yang sering disebutkan oleh siswa SLTA laki-laki peserta FGD
adalah karena ingin mencoba dan mengikuti teman sebaya, sehingga banyak juga diantaranya
yang berhubungan seks dengan Wanita Pekerja Seks karena tidak mempunyai pacar atau
pacarnya tidak mau diajak berhubungan seks. Sedangkan pada siswa SLTA perempuan peserta
FGD, alasan yang diungkapkan cukup mencengangkan karena lebih banyak yang melakukan
hubungan seks untuk mendapatkan uang dan melakukannya dengan laki-laki yang lebih tua
usianya seperti Karyawan, Supir Taxi dan juga TNI/Polisi. Temuan ini perlu mendapat
perhatian yang serius dari semua pihak karena risiko terinfeksi HIV perempuan muda yang
berhubungan seks dengan laki-laki yang jauh lebih tua menjadi jauh lebih tinggi dibanding
dengan laki-laki sebaya. Alasan berhubungan seks responden survei perilaku siswa SLTA laki-
laki di Kabupaten Mimika sejalan dengan temuan dari Survei Kesehatan Reproduksi Remaja
Indonesia (SKRRI) yang dilakukan Badan Pusat Statistik tahun 2007, dimana alasan
berhubungan seks 1 dari 2 laki-laki usia 15-24 tahun dan belum menikah adalah karena ingin
tahu. Sedangkan alasan berhubungan seks responden perempuan berbeda dengan hasil SKRRI,
dimana pada responden SKRRI alasan sebagian besar responden perempuan berhubungan seks
adalah karena terjadi begitu saja (38%) dan karena dipaksa oleh pasangannya (21%).

Beberapa faktor yang mempengaruhi riwayat hubungan seks responden Survei Perilaku Siswa
SLTA di Kabupaten Mimika adalah riwayat menonton adegan/film porno, status tinggal dengan
orang tua, serta pengetahuan komprehensif tentang cara pencegahan dan penularan HIV. Hasil
survei kuantitatif tersebut didukung dengan temuan dari FGD dengan siswa/siswi SLTA yang
menyatakan sering melakukan hubungan seks sambil atau setelah menonton film porno dan
tempat melakukan hubungan seks yang paling sering adalah tempat kos yang diistilahkan
dengan “Mabes”. Konsistensi penggunaan kondom dalam hubungan seks 1 tahun terakhir dari
responden masih sangat rendah, dimana alasan yang paling sering diungkapkan untuk tidak
menggunakan kondom adalah karena sayang/cinta pasangannya dan malu untuk membeli
kondom. Walaupun demikian jika dibandingkan dengan hasil survei perilaku pada siswa SLTA
di 6 kota lainnya (3%-18%), tingkat konsistensi penggunaan kondom dalam hubungan seks 1
tahun terakhir siswa SLTA di Kabupaten Mimika termasuk kedalam kelompok yang tinggi.
Rendahnya tingkat penggunaan kondom dan tingginya frekuensi hubungan seks responden
Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika menyebabkan tingginya tingkat kehamilan
yang tidak diinginkan dari responden perempuan maupun pasangan responden laki-laki.
Persentase responden perempuan yang pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan
tersebut bahkan hingga hampir 10 kali lebih tinggi dibanding hasil SKRRI pada perempuan usia
15-24 tahun yang belum menikah. Analisis regresi berganda beberapa variabel yang diduga
berpengaruh terhadap kehamilan yang tidak diinginkan seperti status tinggal dengan orang tua,
pengetahuan komprehensif tentang cara penularan dan pencegahan HIV, cakupan program
penyuluhan dan suku/etnis orang tua menunjukan bahwa hanya suku/etnis yang berpengaruh
secara statistik. Responden atau pasangan responden suku/etnis Papua yang pernah
berhubungan seks 2 – 8.5 kali lebih mungkin hamil dibanding responden Non-Papua (Rasio
Odd 4.3; 95% CI 2.1 – 8.5; nilai p < 0.001). Bahkan responden atau pasangan responden
suku/etnis Papua yang hamil 8 kali lebih banyak yang meneruskan kehamilannya hingga
melahirkan dibanding responden Non-Papua, yang juga berarti lebih banyak responden
suku/etnis Papua yang terpaksa tidak melanjutkan sekolahnya akibat hamil karena dari hasil
FGD dengan para guru diketahui bahwa sekolah akan mengeluarkan siswi yang hamil.

Perilaku berisiko lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan penularan HIV tetapi cukup
banyak dilakukan oleh siswa SLTA di Kabupaten Mimika adalah mabuk karena minum
minuman beralkohol dan mengkonsumsi Napza lainnya. Perilaku tersebut sangat di pengaruhi
oleh perilaku merokok responden.

Sumber: http://aangsutrisna.blogspot.com/
 
Meratanya HIV diantara orang dewasa per negara pada akhir tahun 2005.
██ 15–50% ██ 5–15% ██ 0.5–1.0% ██ 0.1–0.5% ██ <0.1% ██ tidak ada data
██ 1–5%

AIDS
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Wikipedia Indonesia tidak dapat bertanggung jawab dan tidak bisa menjamin
bahwa informasi kedokteran yang diberikan di halaman ini adalah benar.
Mintalah pendapat dari tenaga medis yang profesional sebelum melakukan pengobatan.
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
Klasifikasi dan bahan-bahan eksternal

Pita Merah terlipat adalah simbol solidaritas orang-orang yang positif terinfeksi virus
HIV dan AIDS.
ICD-10 B24.
ICD-9 042
DiseasesDB 5938
MedlinePlus 000594
eMedicine emerg/253 
MeSH D000163
Daftar singkatan dalam
artikel ini :

AIDS: Acquired immune


deficiency syndrome
HIV: Human
immunodeficiency virus
CD4+: Sel T pembantu
CCR5: Chemokine (C-C
motif) receptor 5
CDC: Centers for Disease
Control and Prevention
WHO: World Health
Organization
PCP: Pneumocystis
pneumonia
TB: Tuberkulosis
MTCT: Mother-to-child
transmission
HAART: Highly active
antiretroviral therapy
STI/STD: Sexually
transmitted infection/disease

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome


(disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena
rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;[1] atau infeksi virus-virus lain
yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).

Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah
ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa
disembuhkan.

HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit
dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti
darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi
melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang
terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk
kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS
telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh
dunia.[5] Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS
telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5
Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam
sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada
tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga dari
jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan
ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus
sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses
terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.[6]

Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan
penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut
tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang
yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).

Daftar isi
 1 Gejala dan komplikasi
o 1.1 Penyakit paru-paru utama
o 1.2 Penyakit saluran pencernaan utama
o 1.3 Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
o 1.4 Kanker dan tumor ganas (malignan)
o 1.5 Infeksi oportunistik lainnya
 2 Penyebab
o 2.1 Penularan seksual
o 2.2 Kontaminasi patogen melalui darah
o 2.3 Penularan masa perinatal
 3 Diagnosis
o 3.1 Sistem tahapan infeksi WHO
o 3.2 Sistem klasifikasi CDC
o 3.3 Tes HIV
 4 Pencegahan
o 4.1 Hubungan seksual
o 4.2 Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
o 4.3 Penularan dari ibu ke anak
 5 Penanganan
o 5.1 Terapi antivirus
o 5.2 Penanganan eksperimental dan saran
o 5.3 Pengobatan alternatif
 6 Epidemiologi
 7 Sejarah
 8 Sosial dan budaya
o 8.1 Stigma
o 8.2 Dampak ekonomi
o 8.3 Penyangkalan atas AIDS
 9 Lihat pula
 10 Referensi
 11 Bacaan lanjutan
 12 Pranala luar

Gejala dan komplikasi

Gejala-gejala utama AIDS.

Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem
kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi
dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak
HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.[7] HIV memengaruhi hampir
semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma
Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.

Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama
pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat
badan.[8][9] Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat
kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.

Penyakit paru-paru utama


Foto sinar-X pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii.

Pneumonia pneumocystis (PCP)[10] jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan
tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.

Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis,
perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini
umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih
merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya
indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL.[11]

Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV,
karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan
(respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium
awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC
terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini.

Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya
terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang
terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal
infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada
stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian
tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik
(konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering
menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah
bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat.[12] Dengan demikian, gejala yang muncul
mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.

Penyakit saluran pencernaan utama

Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke
lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur
kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh
mikobakteria, meskipun kasusnya langka.[13]
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai
penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella,
Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan
virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus
sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).

Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk
menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu,
diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani
bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare
diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap
nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang
berhubungan dengan HIV.[14]

Penyakit syaraf dan kejiwaan utama

Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf
(neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang
telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.

Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut
Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut
(toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada
mata dan paru-paru.[15] Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi
otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat
menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami
sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.

Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang


menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga
merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya
terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem
kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang
cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam
waktu sebulan setelah diagnosis.[16]

Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang
terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh
infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia
pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.[17] Kerusakan
syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik,
yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan
rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka
kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%,[18] namun di India
hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV.[19][20] Perbedaan ini mungkin terjadi karena
adanya perbedaan subtipe HIV di India.
Kanker dan tumor ganas (malignan)

Sarkoma Kaposi

Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya
beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama
virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia
(HPV).[21][22]

Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV.
Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu
pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili
gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma
Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi
dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.

Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah
putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's
lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL),
dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV.
Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus,
limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-
Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.

Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini
disebabkan oleh virus papiloma manusia.

Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker
usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum
seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada
pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif
(HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan
AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang
paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.[23]

Infeksi oportunistik lainnya

Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama
demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi
Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan
gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang
pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang
disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi
oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang
positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.[24]

Penyebab
Untuk detail lebih lanjut tentang topik ini, lihat HIV.

HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai
hijau) pada permukaan limfosit setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop
elektron.

AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya
menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T),
makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung,
padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah
membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL)
darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut
AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala
infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+
di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.

Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah
sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya
sekitar 9,2 bulan.[25] Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat
bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang memengaruhinya,
diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh)
dari orang yang terinfeksi.[26][27] Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah
daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit
yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti
tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini.[25][28][29] Warisan genetik orang
yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap
beberapa varian HIV.[30] HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang
berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula.[31]
[32][33]
Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu
berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.

Penularan seksual

Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina
atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut
pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan
seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko
hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk
melalui seks oral reseptif maupun insertif.[34] Kekerasan seksual secara umum meningkatkan
risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik
terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.[35]

Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan
gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena
adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi
vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya
borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga
meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti
kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal
limfosit dan makrofaga.[36]

Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan
pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap
penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak
selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali
penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi
HIV.[36][37] Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta
fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.[38][39]
Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.

Kontaminasi patogen melalui darah


Poster CDC tahun 1989, yang mengetengahkan bahaya AIDS sehubungan dengan pemakaian
narkoba.

Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan
resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik
(syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab
penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B
dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua
infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan
Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan
orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat
anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.[40] Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja
laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan
ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh.
Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena
sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari
semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan
yang tidak aman.[41] Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh
opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan
kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.[42]

Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara
maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian,
menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan
"antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".[43]

Penularan masa perinatal


Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal,
yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat
penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun
demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara
bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.[44] Sejumlah faktor dapat memengaruhi
risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus,
semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.[45]

Diagnosis
Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS,
seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization tentang AIDS tahun 1994.
Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan
bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif
ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi
HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju
digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.

Sistem tahapan infeksi WHO

Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+ pada rata-rata infeksi HIV yang tidak
ditangani. Keadaan penyakit dapat bervariasi tiap orang. jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm³)
                    

jumlah RNA HIV per mL plasma

Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan
kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan
HIV-1.[46] Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini
adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.

 Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS


 Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernapasan
atas yang berulang
 Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan,
infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
 Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau
paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.

Sistem klasifikasi CDC

Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease
Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini;
sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah
limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus
tersebut.[47][48] CDC mulai menggunakan kata AIDS pada bulan September tahun 1982, dan
mendefinisikan penyakit ini.[49] Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan
memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per µL darah atau 14% dari
seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV.[50] Mayoritas kasus AIDS di negara maju
menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis
terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per µL
darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh.

Tes HIV

Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV.[51] Kurang dari 1% penduduk
perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan
lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang
mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani
pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas
kesehatan umum pedesaan.[51] Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah
yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-
nya.

Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk
mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien.
Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang
dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa
dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula
tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat
digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat
terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis
infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.

Pencegahan
Perkiraan risiko masuknya HIV per aksi,
menurut rute paparan[52]
Rute paparan Perkiraan infeksi
per 10.000
paparan
dengan sumber
yang terinfeksi
Transfusi darah 9.000[53]

Persalinan 2.500[44]

Penggunaan jarum suntik bersama-sama 67[54]

Hubungan seks anal reseptif* 50[55][56]

Jarum pada kulit 30[57]

Hubungan seksual reseptif* 10[55][56][58]

Hubungan seks anal insertif* 6,5[55][56]

Hubungan seksual insertif* 5[55][56]

Seks oral reseptif* 1[56]§

Seks oral insertif* 0,5[56]§


*
tanpa penggunaan kondom
§
sumber merujuk kepada seks oral
yang dilakukan kepada laki-laki

Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual,
persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin
atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan
pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi
dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara umum dapat
diabaikan.[59]

Hubungan seksual

Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah
satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia.[60]
Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi
kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti
terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan
HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom
digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan.[61] Kondom laki-laki berbahan lateks, jika
digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi
yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit
menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan
minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena
bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan,
pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar
minyak digunakan dengan kondom poliuretan.[62]

Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang
memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita
lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk
cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian
dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina — untuk memasukkan kondom wanita,
cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan
harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa
dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan
meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita
merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.[63]

Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan
penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi
adalah di bawah 1% per tahun.[64] Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-
negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara
menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan
berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko
yang mereka hadapi atas infeksi HIV.[65] Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna
narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-
negara maju.

Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali
mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual
Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang
terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu
sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli
mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat
meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.
[66]

Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC
untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual.[67] Adapun rumusannya dalam
bahasa Indonesia:[68]

Anda jauhi seks,


“ Bersikap saling setia dengan pasangan,
Cegah dengan kondom. ”
Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
Wabah AIDS di Afrika Sub-Sahara tahun 1985-2003.

Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan
lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.

Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum
dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat
suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan
jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum
menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di
sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau
tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan
mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.

Penularan dari ibu ke anak

Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan
formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission,
MTCT).[69] Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah,
terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak
mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif
disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin.
[5]
Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui
penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika.[70] Dari semua anak yang
diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.[5]

Penanganan
Lihat pula HIV dan Obat antiretrovirus.
Abacavir – Nucleoside analog reverse transcriptase inhibitor (NARTI atau NRTI)

Struktur kimia Abacavir

Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang
diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal,
perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut
post-exposure prophylaxis (PEP).[40] PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut
banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak
enak badan, mual, dan lelah.[71]

Terapi antivirus

Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active
antiretroviral therapy, disingkat HAART).[72] Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-
orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang
menggunakan protease inhibitor.[6] Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari
setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas")
bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse
transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya
pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif
untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa.[73] Di negara-negara berkembang yang
menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban
virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai
perawatan awal.[74]

Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam
darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan
gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya
kembali setelah perawatan dihentikan.[75][76] Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup
seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART.[77] Meskipun
demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan
kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan
(morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV.[78][79][80] Tanpa perawatan HAART,
berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara
sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS
hanyalah 9.2 bulan.[25] Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama
4 sampai 12 tahun.[81][82] Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima
puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya
efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang
tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan
dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal
memperoleh manfaat dari penerapan HAART.[83] Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap
tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama
ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan,
serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam
kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan
secara rutin .[84][85][86] Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur
dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan
risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.[87][88]

Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki
akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut.[89]

Penanganan eksperimental dan saran

Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global
(pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-
negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian.[89]
Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi
vaksin.[89]

Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping
obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan
urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa
penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi
bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A
dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi.[90]
Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan
terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien
toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari
terapi propilaktik tersebut.[71]

Susu sapi adalah salah satu produk tepat yang bisa mencegah penularan penyakit yang belum ada
obatnya ini. Awalnya ilmuwan melihat bahwa sapi ternyata tidak dapat terinfeksi HIV. Setelah
melewati proses penelitian yang cukup lama, ternyata para peneliti tersebut menemukan fakta
kalau sapi bisa menghasilkan antibodi yang bisa mencegah penularan HIV. Para peneliti tersebut
kemudian menyuntikkan sapi betina dengan protein HIV. Setelah sapi melahirkan, para ilmuwan
tersebut mengumpulkan kolostrum (susu pertama yang dihasilkan setelah melahirkan). Dan
ternyata kolostrum tersebut mengandung antibodi HIV.[91]

Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah
perkembangan penyakit.[92] Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala,
misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri;
namun tidak menyembuhkan infeksi HIV.[93] Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan
jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki
dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek
samping negatif yang serius.[94]

Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan


mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang
menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang
memiliki status nutrisi yang baik.[95] Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga
memiliki beberapa manfaat.[95] Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan
beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat
digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar,
tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.[96]

Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit
efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup
individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif
tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.[97]

Namun oleh penelitian yang mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada penderita
AIDS yang terjangkit virus HIV-1, beberapa pakar menyarankan terapi dengan asupan hormon
tiroksin.[98] Hormon tiroksin dikenal dapat meningkatkan laju metabolisme basal sel eukariota[99]
dan memperbaiki gradien pH pada mitokondria.[100]

Epidemiologi

Meratanya HIV diantara orang dewasa per negara pada akhir tahun 2005.
██ 15–50% ██ 5–15% ██ 0.5–1.0% ██ 0.1–0.5% ██ <0.1% ██ tidak ada data
██ 1–5%

UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak
pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling
menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus bertambah
baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4
dan 3,3 juta) hidup pada tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan anak-
anak.[5] Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV.[5] Pada tahun 2005,
antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal
dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981.[5]

Afrika Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan perkiraan 21,6
sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta [1,5&-3,0 juta] dari mereka adalah anak-
anak yang usianya lebih rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari semua orang yang hidup
dengan HIV ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per empat (76%) dari semua wanita hidup
dengan HIV. Pada tahun 2005, terdapat 12.0 juta [10.6-13.6 juta] anak yatim/piatu AIDS hidup
di Afrika Sub Sahara.[5] Asia Selatan dan Asia Tenggara adalah terburuk kedua yang terinfeksi
dengan besar 15%. 500.000 anak-anak mati di region ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi
HIV/AIDS di Asia muncul di India, dengawn perkiraan 5.7 juta infeksi (perkiraan 3.4 - 9.4 juta)
(0.9% dari populasi), melewati perkiraan di Afrika Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1 juta)
(11.9% dari populasi) infeksi, membuat negara ini dengan jumlah terbesar infeksi HIV di dunia.
[101]
Di 35 negara di Afrika dengan perataan terbesar, harapan hidup normal sebesar 48.3 tahun -
6.5 tahun sedikit daripada akan menjadi tanpa penyakit.[102]

Sejarah
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control and
Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih
diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima
laki-laki homoseksual di Los Angeles.[103]

Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih
mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi
HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat.[104] Baik
HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes
troglodytes yang ditemukan di Kamerun selatan.[105] HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey
(Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun.

Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan
primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging.[106] Teori yang lebih
kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik
AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary
Koprowski terhadap vaksin polio.[107][108] Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya
berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada.[109][110][111]

Sosial dan budaya


Stigma
Ryan White sebagai model poster HIV. Ia dikeluarkan dari sekolah dengan alasan terinfeksi
HIV.

Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS
terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan,
diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba
HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya; dan
penerapan karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV.[112] Kekerasan atau ketakutan atas
kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil
tes mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga mungkin mengubah suatu
sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi "hukuman mati" dan menjadikan meluasnya
penyebaran HIV.[113]

Stigma AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:

 Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang
berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.[114]
 Stigma simbolis AIDS - yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap
terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan
penyakit tersebut.[114]
 Stigma kesopanan AIDS - yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu
HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.[115]

Stigma AIDS sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan
dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan narkoba melalui suntikan.

Di banyak negara maju, terdapat penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau
biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya
sikap-sikap anti homoseksual.[116] Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara
AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan
yang belum terinfeksi.[114]

Dampak ekonomi
Perubahan angka harapan hidup di beberapa negara di Afrika.                      Botswana                     
Zimbabwe                      Kenya                      Afrika Selatan                      Uganda

HIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia
dengan kemampuan produksi (human capital).[5] Tanpa nutrisi yang baik, fasilitas kesehatan dan
obat yang ada di negara-negara berkembang, orang di negara-negara tersebut menjadi korban
AIDS. Mereka tidak hanya tidak dapat bekerja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas kesehatan
yang memadai. Ramalan bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya ekonomi dan hubungan di
daerah. Di daerah yang terinfeksi berat, epidemik telah meninggalkan banyak anak yatim piatu
yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang telah tua.[117]

Semakin tingginya tingkat kematian (mortalitas) di suatu daerah akan menyebabkan mengecilnya
populasi pekerja dan mereka yang berketerampilan. Para pekerja yang lebih sedikit ini akan
didominasi anak muda, dengan pengetahuan dan pengalaman kerja yang lebih sedikit sehingga
produktivitas akan berkurang. Meningkatnya cuti pekerja untuk melihat anggota keluarga yang
sakit atau cuti karena sakit juga akan mengurangi produktivitas. Mortalitas yang meningkat juga
akan melemahkan mekanisme produksi dan investasi sumberdaya manusia (human capital) pada
masyarakat, yaitu akibat hilangnya pendapatan dan meninggalnya para orang tua. Karena AIDS
menyebabkan meninggalnya banyak orang dewasa muda, ia melemahkan populasi pembayar
pajak, mengurangi dana publik seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan lain yang tidak
berhubungan dengan AIDS. Ini memberikan tekanan pada keuangan negara dan memperlambat
pertumbuhan ekonomi. Efek melambatnya pertumbuhan jumlah wajib pajak akan semakin
terasakan bila terjadi peningkatan pengeluaran untuk penanganan orang sakit, pelatihan (untuk
menggantikan pekerja yang sakit), penggantian biaya sakit, serta perawatan yatim piatu korban
AIDS. Hal ini terutama mungkin sekali terjadi jika peningkatan tajam mortalitas orang dewasa
menyebabkan berpindahnya tanggung-jawab dan penyalahan, dari keluarga kepada pemerintah,
untuk menangani para anak yatim piatu tersebut.[117]

Pada tingkat rumah tangga, AIDS menyebabkan hilangnya pendapatan dan meningkatkan
pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah tangga. Berkurangnya pendapatan menyebabkan
berkurangnya pengeluaran, dan terdapat juga efek pengalihan dari pengeluaran pendidikan
menuju pengeluaran kesehatan dan penguburan. Penelitian di Pantai Gading menunjukkan
bahwa rumah tanggal dengan pasien HIV/AIDS mengeluarkan biaya dua kali lebih banyak untuk
perawatan medis daripada untuk pengeluaran rumah tangga lainnya.[118]
Penyangkalan atas AIDS

Sekelompok kecil aktivis, diantaranya termasuk beberapa ilmuwan yang tidak meneliti AIDS,
mempertanyakan tentang adanya hubungan antara HIV dan AIDS,[119] keberadaan HIV itu
sendiri,[120] serta kebenaran atas percobaan dan metode perawatan yang digunakan untuk
menanganinya. Klaim mereka telah diperiksa dan secara luas ditolak oleh komunitas ilmiah,[121]
walaupun terus saja disebarkan melalui Internet dan sempat memiliki pengaruh politik di Afrika
Selatan melalui mantan presiden Thabo Mbeki, yang menyebabkan pemerintahnya disalahkan
atas respon yang tidak efektif terhadap epidemik AIDS di negara tersebut.[122][123][124]

Lihat pula
 Sel Langerhans
 p21

Referensi
1. ^ Marx, J. L. (1982). "New disease baffles medical community". Science 217
(4560): 618–621. PubMed.
2. ^ Divisions of HIV/AIDS Prevention (2003). "HIV and Its Transmission".
Centers for Disease Control & Prevention. Diakses 2006-05-23.
3. ^ San Francisco AIDS Foundation (2006-04-14). "How HIV is spread". Diakses
2006-05-23.
4. ^ Gao, F., Bailes, E., Robertson, D. L., Chen, Y., Rodenburg, C. M., Michael, S.
F., Cummins, L. B., Arthur, L. O., Peeters, M., Shaw, G. M., Sharp, P. M. and Hahn, B.
H. (1999). "Origin of HIV-1 in the Chimpanzee Pan troglodytes troglodytes". Nature 397
(6718): 436–441. PubMed DOI:10.1038/17130.
5. ^ a b c d e f g h i UNAIDS (2006). "Overview of the global AIDS epidemic" (PDF).
2006 Report on the global AIDS epidemic. Diakses 2006-06-08.
6. ^ a b Palella, F. J. Jr, Delaney, K. M., Moorman, A. C., Loveless, M. O., Fuhrer,
J., Satten, G. A., Aschman and D. J., Holmberg, S. D. (1998). "Declining morbidity and
mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus infection. HIV
Outpatient Study Investigators". N. Engl. J. Med 338 (13): 853–860. PubMed.
7. ^ Holmes, C. B., Losina, E., Walensky, R. P., Yazdanpanah, Y., Freedberg, K. A.
(2003). "Review of human immunodeficiency virus type 1-related opportunistic
infections in sub-Saharan Africa". Clin. Infect. Dis. 36 (5): 656–662. PubMed.
8. ^ Guss, D. A. (1994). "The acquired immune deficiency syndrome: an overview
for the emergency physician, Part 1". J. Emerg. Med. 12 (3): 375–384. PubMed.
9. ^ Guss, D. A. (1994). "The acquired immune deficiency syndrome: an overview
for the emergency physician, Part 2". J. Emerg. Med. 12 (4): 491–497. PubMed.
10. ^ Dahulu pernah dinamakan Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), dan
sekarang singkatannya masih digunakan tetapi merupakan kependekan dari Pneumocystis
pneumonia.
11. ^ Feldman, C. (2005). "Pneumonia associated with HIV infection". Curr. Opin.
Infect. Dis. 18 (2): 165–170. PubMed.
12. ^ Decker, C. F. and Lazarus, A. (2000). "Tuberculosis and HIV infection. How to
safely treat both disorders concurrently". Postgrad Med. 108 (2): 57–60, 65–68. PubMed.
13. ^ Zaidi, S. A. & Cervia, J. S. (2002). "Diagnosis and management of infectious
esophagitis associated with human immunodeficiency virus infection". J. Int. Assoc.
Physicians AIDS Care (Chic Ill) 1 (2): 53–62. PubMed.
14. ^ Guerrant, R. L., Hughes, J. M., Lima, N. L., Crane, J. (1990). "Diarrhea in
developed and developing countries: magnitude, special settings, and etiologies". Rev.
Infect. Dis. 12 (Suppl 1): S41–S50. PubMed.
15. ^ Luft, B. J. and Chua, A. (2000). "Central Nervous System Toxoplasmosis in
HIV Pathogenesis, Diagnosis, and Therapy". Curr. Infect. Dis. Rep. 2 (4): 358–362.
PubMed.
16. ^ Sadler, M. and Nelson, M. R. (1997). "Progressive multifocal
leukoencephalopathy in HIV". Int. J. STD AIDS 8 (6): 351–357. PubMed.
17. ^ Gray, F., Adle-Biassette, H., Chrétien, F., Lorin de la Grandmaison, G., Force,
G., Keohane, C. (2001). "Neuropathology and neurodegeneration in human
immunodeficiency virus infection. Pathogenesis of HIV-induced lesions of the brain,
correlations with HIV-associated disorders and modifications according to treatments".
Clin. Neuropathol. 20 (4): 146–155. PubMed.
18. ^ Grant, I., Sacktor, H., and McArthur, J. (2005). "HIV neurocognitive disorders"
(PDF). In H. E. Gendelman, I. Grant, I. Everall, S. A. Lipton, and S. Swindells. (ed.). The
Neurology of AIDS (ed. 2nd). London, UK: Oxford University Press. hlm. 357–373.
ISBN 0-19-852610-5.
19. ^ Satishchandra, P., Nalini, A., Gourie-Devi, M., Khanna, N., Santosh, V., Ravi,
V., Desai, A., Chandramuki, A., Jayakumar, P. N., and Shankar, S. K. (2000). "Profile of
neurologic disorders associated with HIV/AIDS from Bangalore, South India (1989–
1996)". Indian J. Med. Res. 11: 14–23. PubMed.
20. ^ Wadia, R. S., Pujari, S. N., Kothari, S., Udhar, M., Kulkarni, S., Bhagat, S., and
Nanivadekar, A. (2001). "Neurological manifestations of HIV disease". J. Assoc.
Physicians India 49: 343–348. PubMed.
21. ^ Boshoff, C. and Weiss, R. (2002). "AIDS-related malignancies". Nat. Rev.
Cancer 2 (5): 373–382. PubMed.
22. ^ Yarchoan, R., Tosatom G. and Littlem R. F. (2005). "Therapy insight: AIDS-
related malignancies — the influence of antiviral therapy on pathogenesis and
management". Nat. Clin. Pract. Oncol. 2 (8): 406–415. PubMed.
23. ^ Bonnet, F., Lewden, C., May, T., Heripret, L., Jougla, E., Bevilacqua, S.,
Costagliola, D., Salmon, D., Chene, G. and Morlat, P. (2004). "Malignancy-related
causes of death in human immunodeficiency virus-infected patients in the era of highly
active antiretroviral therapy". Cancer 101 (2): 317–324. PubMed.
24. ^ Skoulidis, F., Morgan, M. S., and MacLeod, K. M. (2004). "Penicillium
marneffei: a pathogen on our doorstep?". J. R. Soc. Med. 97 (2): 394–396. PubMed.
25. ^ a b c Morgan, D., Mahe, C., Mayanja, B., Okongo, J. M., Lubega, R. and
Whitworth, J. A. (2002). "HIV-1 infection in rural Africa: is there a difference in median
time to AIDS and survival compared with that in industrialized countries?". AIDS 16 (4):
597–632. PubMed.
26. ^ Clerici, M., Balotta, C., Meroni, L., Ferrario, E., Riva, C., Trabattoni, D.,
Ridolfo, A., Villa, M., Shearer, G.M., Moroni, M. and Galli, M. (1996). "Type 1 cytokine
production and low prevalence of viral isolation correlate with long-term non progression
in HIV infection". AIDS Res. Hum. Retroviruses. 12 (11): 1053–1061. PubMed.
27. ^ Morgan, D., Mahe, C., Mayanja, B. and Whitworth, J. A. (2002). "Progression
to symptomatic disease in people infected with HIV-1 in rural Uganda: prospective
cohort study". BMJ 324 (7331): 193–196. PubMed.
28. ^ Gendelman, H. E., Phelps, W., Feigenbaum, L., Ostrove, J. M., Adachi, A.,
Howley, P. M., Khoury, G., Ginsberg, H. S. and Martin, M. A. (1986). "Transactivation
of the human immunodeficiency virus long terminal repeat sequences by DNA viruses".
Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 83 (24): 9759–9763. PubMed.
29. ^ Bentwich, Z., Kalinkovich., A. and Weisman, Z. (1995). "Immune activation is
a dominant factor in the pathogenesis of African AIDS.". Immunol. Today 16 (4): 187–
191. PubMed.
30. ^ Contohnya adalah orang dengan mutasi CCR5-Δ32 (delesi 32 nukleotida pada
gen penyandi reseptor chemokine CCR5 yang memengaruhi fungsi sel T) yang kebal
terhadap beberapa galur HIV.Tang, J. and Kaslow, R. A. (2003). "The impact of host
genetics on HIV infection and disease progression in the era of highly active
antiretroviral therapy". AIDS 17 (Suppl 4): S51–S60. PubMed.
31. ^ Quiñones-Mateu, M. E., Mas, A., Lain de Lera, T., Soriano, V., Alcami, J.,
Lederman, M. M. and Domingo, E. (1998). "LTR and tat variability of HIV-1 isolates
from patients with divergent rates of disease progression". Virus Research 57 (1): 11–20.
PubMed.
32. ^ Campbell, G. R., Pasquier, E., Watkins, J., Bourgarel-Rey, V., Peyrot, V.,
Esquieu, D., Barbier, P., de Mareuil, J., Braguer, D., Kaleebu, P., Yirrell, D. L. and Loret
E. P. (2004). "The glutamine-rich region of the HIV-1 Tat protein is involved in T-cell
apoptosis". J. Biol. Chem. 279 (46): 48197–48204. PubMed.
33. ^ Kaleebu P, French N, Mahe C, Yirrell D, Watera C, Lyagoba F, Nakiyingi J,
Rutebemberwa A, Morgan D, Weber J, Gilks C, Whitworth J. (2002). "Effect of human
immunodeficiency virus (HIV) type 1 envelope subtypes A and D on disease progression
in a large cohort of HIV-1-positive persons in Uganda". J. Infect. Dis. 185 (9): 1244–
1250. PubMed.
34. ^ Rothenberg, R. B., Scarlett, M., del Rio, C., Reznik, D., O'Daniels, C. (1998).
"Oral transmission of HIV". AIDS 12 (16): 2095–2105. PubMed.
35. ^ Koenig, Michael et al (2004). "Coerced first intercourse and reproductive health
among adolescent women in Rakai, Uganda". International Family Planning
Perspectives 30 (4:156): 156.
36. ^ a b Laga, M., Nzila, N., Goeman, J. (1991). "The interrelationship of sexually
transmitted diseases and HIV infection: implications for the control of both epidemics in
Africa". AIDS 5 (Suppl 1): S55–S63. PubMed.
37. ^ Tovanabutra, S., Robison, V., Wongtrakul, J., Sennum, S., Suriyanon, V.,
Kingkeow, D., Kawichai, S., Tanan, P., Duerr, A., Nelson, K. E. (2002). "Male viral load
and heterosexual transmission of HIV-1 subtype E in northern Thailand". J. Acquir.
Immune. Defic. Syndr. 29 (3): 275–283. PubMed.
38. ^ Sagar, M., Lavreys, L., Baeten, J. M., Richardson, B. A., Mandaliya, K.,
Ndinya-Achola, J. O., Kreiss, J. K., Overbaugh, J. (2004). "Identification of modifiable
factors that affect the genetic diversity of the transmitted HIV-1 population". AIDS 18
(4): 615–619. PubMed.
39. ^ Lavreys, L., Baeten, J. M., Martin, H. L. Jr., Overbaugh, J., Mandaliya, K.,
Ndinya-Achola, J., and Kreiss, J. K. (2004). "Hormonal contraception and risk of HIV-1
acquisition: results of a 10-year prospective study". AIDS 18 (4): 695–697. PubMed.
40. ^ a b Fan, H. (2005). In Fan, H., Conner, R. F. and Villarreal, L. P. eds. AIDS:
science and society (ed. 4th). Boston, MA: Jones and Bartlett Publishers. ISBN 0-7637-
0086-X.
41. ^ WHO (2003-03-17). "WHO, UNAIDS Reaffirm HIV as a Sexually Transmitted
Disease". Diakses 2006-01-17.
42. ^ Physicians for Human Rights (2003-03-13). "HIV Transmission in the Medical
Setting: A White Paper by Physicians for Human Rights". Partners in Health. Diakses
2006-03-01.
43. ^ WHO (2001). "Blood safety....for too few". Diakses 2006-01-17.
44. ^ a b Coovadia, H. (2004). "Antiretroviral agents—how best to protect infants
from HIV and save their mothers from AIDS". N. Engl. J. Med. 351 (3): 289–292.
PubMed.
45. ^ Coovadia HM, Bland RM (2007). "Preserving breastfeeding practice through
the HIV pandemic". Trop. Med. Int. Health. 12 (9): 1116–1133. PMID 17714431.
46. ^ World Health Organization (1990). "Interim proposal for a WHO staging
system for HIV infection and disease". WHO Wkly Epidem. Rec. 65 (29): 221–228.
PubMed.
47. ^ Centers for Disease Control (CDC) (1982). "Persistent, generalized
lymphadenopathy among homosexual males.". MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 31 (19):
249–251. PubMed.
48. ^ Barré-Sinoussi, F., Chermann, J. C., Rey, F., Nugeyre, M. T., Chamaret, S.,
Gruest, J., Dauguet, C., Axler-Blin, C., Vezinet-Brun, F., Rouzioux, C., Rozenbaum, W.
and Montagnier, L. (1983). "Isolation of a T-lymphotropic retrovirus from a patient at
risk for acquired immune deficiency syndrome (AIDS)". Science 220 (4599): 868–871.
PubMed.
49. ^ Centers for Disease Control (CDC) (1982). "Update on acquired immune
deficiency syndrome (AIDS)—United States.". MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 31 (37):
507–508; 513–514. PubMed.
50. ^ CDC (1992). "1993 Revised Classification System for HIV Infection and
Expanded Surveillance Case Definition for AIDS Among Adolescents and Adults".
CDC. Diakses 2006-02-09.
51. ^ a b Kumaranayake, L. and Watts, C. (2001). "Resource allocation and priority
setting of HIV/AIDS interventions: addressing the generalized epidemic in sub-Saharan
Africa". J. Int. Dev. 13 (4): 451–466. doi:10.1002/jid.798.
52. ^ Smith, D. K., Grohskopf, L. A., Black, R. J., Auerbach, J. D., Veronese, F.,
Struble, K. A., Cheever, L., Johnson, M., Paxton, L. A., Onorato, I. A., Greenberg, A. E.
(2005). "Antiretroviral Postexposure Prophylaxis After Sexual, Injection-Drug Use, or
Other Nonoccupational Exposure to HIV in the United States". MMWR 54 (RR02): 1–20.
53. ^ Donegan, E., Stuart, M., Niland, J. C., Sacks, H. S., Azen, S. P., Dietrich, S. L.,
Faucett, C., Fletcher, M. A., Kleinman, S. H., Operskalski, E. A., et al. (1990). "Infection
with human immunodeficiency virus type 1 (HIV-1) among recipients of antibody-
positive blood donations". Ann. Intern. Med. 113 (10): 733–739. PubMed.
54. ^ Kaplan, E. H. and Heimer, R. (1995). "HIV incidence among New Haven
needle exchange participants: updated estimates from syringe tracking and testing data".
J. Acquir. Immune Defic. Syndr. Hum. Retrovirol. 10 (2): 175–176. PubMed.
55. ^ a b c d European Study Group on Heterosexual Transmission of HIV (1992).
"Comparison of female to male and male to female transmission of HIV in 563 stable
couples". BMJ. 304 (6830): 809–813. PubMed.
56. ^ a b c d e f Varghese, B., Maher, J. E., Peterman, T. A., Branson, B. M. and
Steketee, R. W. (2002). "Reducing the risk of sexual HIV transmission: quantifying the
per-act risk for HIV on the basis of choice of partner, sex act, and condom use". Sex.
Transm. Dis. 29 (1): 38–43. PubMed.
57. ^ Bell, D. M. (1997). "Occupational risk of human immunodeficiency virus
infection in healthcare workers: an overview.". Am. J. Med. 102 (5B): 9–15. PubMed.
58. ^ Leynaert, B., Downs, A. M. and de Vincenzi, I. (1998). "Heterosexual
transmission of human immunodeficiency virus: variability of infectivity throughout the
course of infection. European Study Group on Heterosexual Transmission of HIV". Am.
J. Epidemiol. 148 (1): 88–96. PubMed.
59. ^ "Facts about AIDS & HIV". Diakses 2006-12-14.
60. ^ Johnson AM & Laga M, Heterosexual transmission of HIV, AIDS, 1988,
2(suppl. 1):S49-S56; N'Galy B & Ryder RW, Epidemiology of HIV infection in Africa,
Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes, 1988, 1(6):551-558; dan Deschamps
M et al., Heterosexual transmission of HIV in Haiti, Annals of Internal Medicine, 1996,
125(4):324-330.
61. ^ Cayley, W. E. Jr. (2004). "Effectiveness of condoms in reducing heterosexual
transmission of HIV". Am. Fam. Physician 70 (7): 1268–1269. PubMed.
62. ^ Durex. "Module 5/Guidelines for Educators" (Microsoft Word). Diakses 2006-
04-17.
63. ^ PATH (2006). "The female condom: significant potential for STI and
pregnancy prevention". Outlook 22 (2).
64. ^ WHO (August, 2003). "Condom Facts and Figures". Diakses 2006-01-17.
65. ^ Dias, S. F., Matos, M. G. and Goncalves, A. C. (2005). "Preventing HIV
transmission in adolescents: an analysis of the Portuguese data from the Health
Behaviour School-aged Children study and focus groups". Eur. J. Public Health 15 (3):
300–304. PubMed.
66. ^ NIAID (2006-12-13). "Adult Male Circumcision Significantly Reduces Risk of
Acquiring HIV: Trials Kenya and Uganda Stopped Early". Diakses 2006-12-15.
67. ^ Pendekatan ABC oleh Pemerintah Amerika Serikat:

Abstinence or delay of sexual activity, especially for youth (berpantang atau menunda
kegiatan seksual, terutama bagi remaja),
Being faithful, especially for those in committed relationships (setia pada pasangan,
terutama bagi orang yang sudah memiliki pasangan),
Condom use, for those who engage in risky behavior (penggunaan kondom, bagi orang
yang melakukan perilaku berisiko).

68. ^ "Yayasan Bhakti Gelar Orasi Panggung", Bali Post, 02-12-2003


69. ^ Sperling, R. S., Shapirom D. E., Coombsm R. W., Todd, J. A., Herman, S. A.,
McSherry, G. D., O'Sullivan, M. J., Van Dyke, R. B., Jimenez, E., Rouzioux, C., Flynn,
P. M., Sullivan, J. L. (1996). "Maternal viral load, zidovudine treatment, and the risk of
transmission of human immunodeficiency virus type 1 from mother to infant". N. Engl. J.
Med. 335 (22): 1621–1629. PubMed.
70. ^ Berry, S. (2006-06-08). "Children, HIV and AIDS". avert.org. Diakses 2006-
06-15.
71. ^ a b Department of Health and Human Services (February, 2006). "A Pocket
Guide to Adult HIV/AIDS Treatment February 2006 edition". Diakses 2006-09-01.
72. ^ Department of Health and Human Services (February, 2006). "A Pocket Guide
to Adult HIV/AIDS Treatment February 2006 edition". Diakses 2006-09-01.
73. ^ Department of Health and Human Services Working Group on Antiretroviral
Therapy and Medical Management of HIV-Infected Children (3 November, 2005).
"Guidelines for the Use of Antiretroviral Agents in Pediatric HIV Infection" (PDF).
Diakses 2006-01-17.
74. ^ Department of Health and Human Services Panel on Clinical Practices for
Treatment of HIV Infection (October 6, 2005). "Guidelines for the Use of Antiretroviral
Agents in HIV-1-Infected Adults and Adolescents" (PDF). Diakses 2006-01-17.
75. ^ Martinez-Picado, J., DePasquale, M. P., Kartsonis, N., Hanna, G. J., Wong, J.,
Finzi, D., Rosenberg, E., Gunthard, H. F., Sutton, L., Savara, A., Petropoulos, C. J.,
Hellmann, N., Walker, B. D., Richman, D. D., Siliciano, R. and D'Aquila, R. T. (2000).
"Antiretroviral resistance during successful therapy of human immunodeficiency virus
type 1 infection". Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 97 (20): 10948–10953. PubMed.
76. ^ Dybul, M., Fauci, A. S., Bartlett, J. G., Kaplan, J. E., Pau, A. K.; Panel on
Clinical Practices for Treatment of HIV. (2002). "Guidelines for using antiretroviral
agents among HIV-infected adults and adolescents". Ann. Intern. Med. 137 (5 Pt 2): 381–
433. PubMed.
77. ^ Blankson, J. N., Persaud, D., Siliciano, R. F. (2002). "The challenge of viral
reservoirs in HIV-1 infection". Annu. Rev. Med. 53: 557–593. PubMed.
78. ^ Palella, F. J., Delaney, K. M., Moorman, A. C., Loveless, M. O., Fuhrer, J.,
Satten, G. A., Aschman, D. J. and Holmberg, S. D. (1998). "Declining morbidity and
mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus infection". N.
Engl. J. Med. 338 (13): 853–860. PubMed.
79. ^ Wood, E., Hogg, R. S., Yip, B., Harrigan, P. R., O'Shaughnessy, M. V. and
Montaner, J. S. (2003). "Is there a baseline CD4 cell count that precludes a survival
response to modern antiretroviral therapy?". AIDS 17 (5): 711–720. PubMed.
80. ^ Chene, G., Sterne, J. A., May, M., Costagliola, D., Ledergerber, B., Phillips, A.
N., Dabis, F., Lundgren, J., D'Arminio Monforte, A., de Wolf, F., Hogg, R., Reiss, P.,
Justice, A., Leport, C., Staszewski, S., Gill, J., Fatkenheuer, G., Egger, M. E. and the
Antiretroviral Therapy Cohort Collaboration. (2003). "Prognostic importance of initial
response in HIV-1 infected patients starting potent antiretroviral therapy: analysis of
prospective studies". Lancet 362 (9385): 679–686. PubMed.
81. ^ King, J. T., Justice, A. C., Roberts, M. S., Chang, C. H., Fusco, J. S. and the
CHORUS Program Team. (2003). "Long-Term HIV/AIDS Survival Estimation in the
Highly Active Antiretroviral Therapy Era". Medical Decision Making 23 (1): 9–20.
PubMed.
82. ^ Tassie, J.M., Grabar, S., Lancar, R., Deloumeaux, J., Bentata, M., Costagliola,
D. and the Clinical Epidemiology Group from the French Hospital Database on HIV.
(2002). "Time to AIDS from 1992 to 1999 in HIV-1-infected subjects with known date of
infection". Journal of acquired immune deficiency syndromes 30 (1): 81–7. PubMed.
83. ^ Becker SL, Dezii CM, Burtcel B, Kawabata H, Hodder S. (2002). "Young HIV-
infected adults are at greater risk for medication nonadherence". MedGenMed. 4 (3): 21.
PubMed.
84. ^ Nieuwkerk, P., Sprangers, M., Burger, D., Hoetelmans, R. M., Hugen, P. W.,
Danner, S. A., van Der Ende, M. E., Schneider, M. M., Schrey, G., Meenhorst, P. L.,
Sprenger, H. G., Kauffmann, R. H., Jambroes, M., Chesney, M. A., de Wolf, F., Lange, J.
M. and the ATHENA Project. (2001). "Limited Patient Adherence to Highly Active
Antiretroviral Therapy for HIV-1 Infection in an Observational Cohort Study". Arch.
Intern. Med. 161 (16): 1962–1968. PubMed.
85. ^ Kleeberger, C., Phair, J., Strathdee, S., Detels, R., Kingsley, L. and Jacobson, L.
P. (2001). "Determinants of Heterogeneous Adherence to HIV-Antiretroviral Therapies
in the Multicenter AIDS Cohort Study". J. Acquir. Immune Defic. Syndr. 26 (1): 82–92.
PubMed.
86. ^ Heath, K. V., Singer, J., O'Shaughnessy, M. V., Montaner, J. S. and Hogg, R. S.
(2002). "Intentional Nonadherence Due to Adverse Symptoms Associated With
Antiretroviral Therapy". J. Acquir. Immune Defic. Syndr. 31 (2): 211–217. PubMed.
87. ^ Montessori, V., Press, N., Harris, M., Akagi, L., Montaner, J. S. (2004).
"Adverse effects of antiretroviral therapy for HIV infection.". CMAJ 170 (2): 229–238.
PubMed.
88. ^ Saitoh, A., Hull, A. D., Franklin, P. and Spector, S. A. (2005).
"Myelomeningocele in an infant with intrauterine exposure to efavirenz". J. Perinatol. 25
(8): 555–556. PubMed.
89. ^ a b c Ferrantelli F, Cafaro A, Ensoli B. (2004). "Nonstructural HIV proteins as
targets for prophylactic or therapeutic vaccines". Curr Opin Biotechnol. 15 (6): 543–556.
PubMed.
90. ^ Laurence J. (2006). "Hepatitis A and B virus immunization in HIV-infected
persons". AIDS Reader 16 (1): 15–17. PubMed.
91. ^ Susu Sapi Bisa Obatin HIV
92. ^ Saltmarsh, S. (2005). "Voodoo or valid? Alternative therapies benefit those
living with HIV". Positively Aware 3 (16): 46. PubMed.
93. ^ Nicholas PK, Kemppainen JK, Canaval GE, et al (February 2007). "Symptom
management and self-care for peripheral neuropathy in HIV/AIDS". AIDS Care 19 (2):
179–89. doi:10.1080/09540120600971083. PMID 17364396. Diakses 2008-04-28. Text
"1B69BA326FFE69C3F0A8F227DF8201D0 " ignored (help)
94. ^ Liu JP, Manheimer E, Yang M (2005). "Herbal medicines for treating HIV
infection and AIDS". Cochrane Database Syst Rev (3): CD003937.
doi:10.1002/14651858.CD003937.pub2. PMID 16034917.
95. ^ a b Irlam JH, Visser ME, Rollins N, Siegfried N (2005). "Micronutrient
supplementation in children and adults with HIV infection". Cochrane Database Syst Rev
(4): CD003650. doi:10.1002/14651858.CD003650.pub2. PMID 16235333.
96. ^ Hurwitz BE, Klaus JR, Llabre MM, et al (January 2007). "Suppression of
human immunodeficiency virus type 1 viral load with selenium supplementation: a
randomized controlled trial". Arch. Intern. Med. 167 (2): 148–54.
doi:10.1001/archinte.167.2.148. PMID 17242315.
97. ^ Power R, Gore-Felton C, Vosvick M, Israelski DM, Spiegel D (June 2002).
"HIV: effectiveness of complementary and alternative medicine". Prim. Care 29 (2):
361–78. PMID 12391716.
98. ^ (Inggris)"Hypothyroxinemia in acquired immune deficiency syndrome
(AIDS).". Department of Radiation Medicine, University of Nigeria Teaching Hospital;
Ezeala CC, Chukwurah E. Diakses 2010-07-18.
99. ^ (Inggris)"Hyperthyroidism stimulates mitochondrial proton leak and ATP
turnover in rat hepatocytes but does not change the overall kinetics of substrate oxidation
reactions". Department of Biochemistry, University of Cambridge; Harper ME, Brand
MD. Diakses 2010-07-18.
100. ^ (Inggris)"Chemiosmotic Gradient: Generation and Maintenance". Department
of Biochemistry & Cell Biology; Rice University. Diakses 2010-07-18.
101. ^ UNAIDS (2006). "Annex 2: HIV/AIDS estimates and data, 2005" (PDF). 2006
Report on the global AIDS epidemic. Diakses 2006-06-08.
102. ^ UNAIDS (2001). "Special Session of the General Assembly on HIV/AIDS
Round table 3 Socio-economic impact of the epidemic and the strengthening of national
capacities to combat HIV/AIDS" (PDF). Diakses 2006-06-15.
103. ^ CDC (1981). "Pneumocystis Pneumonia — Los Angeles". CDC. Diakses 2006-
01-17.
104. ^ Reeves, J. D. and Doms, R. W (2002). "Human Immunodeficiency Virus Type
2". J. Gen. Virol. 83 (Pt 6): 1253–1265. PubMed.
105. ^ Keele, B. F., van Heuverswyn, F., Li, Y. Y., Bailes, E., Takehisa, J., Santiago,
M. L., Bibollet-Ruche, F., Chen, Y., Wain, L. V., Liegois, F., Loul, S., Mpoudi Ngole, E.,
Bienvenue, Y., Delaporte, E., Brookfield, J. F. Y., Sharp, P. M., Shaw, G. M., Peeters,
M., Hahn, B. H. (2006). "Chimpanzee Reservoirs of Pandemic and Nonpandemic HIV-
1". Science. Online 2006-05-25. PubMeddoi:10.1126/science.1126531.
106. ^ Cohen, J. (2000). "Vaccine Theory of AIDS Origins Disputed at Royal
Society". Science 289 (5486): 1850–1851. PubMed.
107. ^ Curtis, T. (1992). "The origin of AIDS". Rolling Stone (626): 54–59, 61, 106,
108.
108. ^ Hooper, E. (1999). The River : A Journey to the Source of HIV and AIDS (ed.
1st). Boston, MA: Little Brown & Co. hlm. 1–1070. ISBN 0-316-37261-7.
109. ^ Worobey M, Santiago ML, Keele BF, Ndjango JB, Joy JB, Labama BL,
Dhed'A BD, Rambaut A, Sharp PM, Shaw GM, Hahn BH (2004). "Origin of AIDS:
contaminated polio vaccine theory refuted". Nature 428 (6985): 820. PubMed.
110. ^ Berry N, Jenkins A, Martin J, Davis C, Wood D, Schild G, Bottiger M, Holmes
H, Minor P, Almond N (2005). "Mitochondrial DNA and retroviral RNA analyses of
archival oral polio vaccine (OPV CHAT) materials: evidence of macaque nuclear
sequences confirms substrate identity". Vaccine 23: 1639–1648. PubMed.
111. ^ Centers for Disease Control and Prevention (2004-03-23). "Oral Polio Vaccine
and HIV / AIDS: Questions and Answers". Diakses 2006-11-20.
112. ^ UNAIDS (2006). "The impact of AIDS on people and societies" (PDF). 2006
Report on the global AIDS epidemic. Diakses 2006-06-14.
113. ^ Ogden, J. and Nyblade, L. (2005). "Common at its core: HIV-related stigma
across contexts" (PDF). International Center for Research on Women. Diakses 2007-02-
15.
114. ^ a b c Herek, G. M. and Capitanio, J. P. (1999). "AIDS Stigma and sexual
prejudice" (PDF). Am. Behav, Scientist. Diakses 2006-03-27.
115. ^ Snyder M, Omoto AM, Crain AL. (1999). "Punished for their good deeds:
stigmatization for AIDS volunteers". American Behavioral Scientist 42 (7): 1175–1192.
116. ^ Herek GM, Capitanio JP, Widaman KF. (2002). "HIV-related stigma and
knowledge in the United States: prevalence and trends, 1991–1999" (PDF). Am. J. Public
Health. 92 (3): 371–377. Text " [http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?
cmd=retrieve&db=pubmed&list_uids=11867313&dopt=Abstract PubMed] " ignored
(help)
117. ^ a b Greener, R. (2002). "AIDS and macroeconomic impact". In S, Forsyth (ed.).
State of The Art: AIDS and Economics (PDF). IAEN. hlm. 49–55.
118. ^ Over, M. (1992). "The macroeconomic impact of AIDS in Sub-Saharan Africa,
Population and Human Resources Department". The World Bank.
119. ^ Duesberg, P. H. (1988). "HIV is not the cause of AIDS". Science 241 (4865):
514, 517. PubMed.
120. ^ Papadopulos-Eleopulos, E., Turner, V. F., Papadimitriou, J., Page, B., Causer,
D., Alfonso, H., Mhlongo, S., Miller, T., Maniotis, A. and Fiala, C. (2004). "A critique of
the Montagnier evidence for the HIV/AIDS hypothesis". Med Hypotheses 63 (4): 597–
601. PubMed.
121. ^ Untuk bukti konsensis ilmu pengetahuan bahwa HIV menyebabkan AIDS, lihat:
 "The Durban Declaration". Nature 406 (6791): 15–6. 2000.
doi:10.1038/35017662. PMID 10894520. - full text here.
 Cohen, J. (1994). "The Controversy over HIV and AIDS". Science 266
(5191): 1642–1649.
 Various. "Focus on the HIV-AIDS Connection: Resource links". National
Institute of Allergy and Infectious Diseases. Diakses 2006-09-07.
 O'Brien SJ, Goedert JJ (1996). "HIV causes AIDS: Koch's postulates
fulfilled". Curr. Opin. Immunol. 8 (5): 613–8. PMID 8902385.
 Galéa P, Chermann JC (1998). "HIV as the cause of AIDS and associated
diseases". Genetica 104 (2): 133–42. PMID 10220906.
122. ^ Watson J (2006). "Scientists, activists sue South Africa's AIDS 'denialists'".
Nat. Med. 12 (1): 6. doi:10.1038/nm0106-6a. PMID 16397537.
123. ^ Baleta A (2003). "S Africa's AIDS activists accuse government of murder".
Lancet 361 (9363): 1105. PMID 12672319.
124. ^ Cohen J (2000). "South Africa's new enemy". Science 288 (5474): 2168–70.
PMID 10896606.

Anda mungkin juga menyukai