Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri".
Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian
pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau
daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri.
Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang
mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri mulai dari
ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan
ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan pelaksana,
kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan
pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan,
pemerataan, dan keanekaragaman.
Otonomi daerah tidak hanya pelaksanaan demokrasi pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Rakyat tidak saja menentukan nasibnya melainkan juga memperbaiki nasibnya sendiri. Di dalam
UUD 1945 antara lain tersurat bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Namun dalam
praktiknya hal tersebut belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan dan pemerataan bahkan dalam kenyataannya, terlihat sangat kuatnya kekuasaan
yang terpusat dan lemahnya kekuasaan daerah. Dalam perkembangannya, pemerintah pusat yang
semula dalam posisi kuat, kenyataannya justru mengandung kelemahan. Hal ini antara lain
disebabkan oleh berbagai permasalahan yang muncul. Salah satunya yang paling rawan adalah
ancaman beberapa daerah untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat.
Merespon perkembangan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan pemerintahan daerah ini,
pertimbangan yang sangat strategis adalah perlu adanya Undang-undang yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang sesuai dengan perkembangan baru dan mengantisipasi
perkembangan masa depan dengan tetap memperhatikan faktor eksistensi, efektifitas, dan keserasian
dengan tujuan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Sistem pemerintahan daerah di Indonesia menurut konstitusi Undang-Undang Dasar 1945,
berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan
daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah yang bersifat otonom atau
bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang ada akan ditetapkan dengan undang-
undang. Di daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah. Oleh karena itu
walaupun di daerah, pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai amanat UUD Negara RI tahun 1945 maka kebijakan
politik hukum yang ditempuh oleh pemerintah terhadap pemerintahan daerah yang dapat mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah, dengan
mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI.
Seiring dengan dilaksanakannya program otonomi daerah, pada umumnya masyarakat mengharapkan
adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi
masyarakat yang lebih luas dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal tersebut kurang
mendapat perhatian dari pemerintahan pusat. Namun kenyataannya sejak diterapkannya Undang-
Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak Januari 2001, belum
menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi pemenuhan harapan masyarakat tersebut.
Dengan berkembangnya globalisasi, demokratisasi dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan
tidak akan terlepas dari pengaruh global tersebut. Prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan
menuntut adanya pemberian peran serta kepada warga negara dalam sistem pemerintahan, antara lain
perlindungan konsitusional. Artinya, selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula
menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin, badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan berserikat atau berorganisasi dan beroposisi, serta pendidikan kewarganegaraan.
Prinsip keistimewaan atau kekhususan sehingga pemerintah memberikan otonomi khusus kepada
daerah tertentu dalam ikatan NKRI.
Kebijakan politik hukum pemerintahan guna efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah, diperlukan peningkatan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan
pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dann
tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah
dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan NKRI.
Dalam penulisan makalah ini, kami mengkaji mengenai peran Otonomi daerah yang dinilai mampu
mewujudkan tujuan pemerintahan NKRI yaitu peningkatan kesejahteraan, terkait pelaksanaan sistem
pemerintahan dalam wilayah NKRI.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini ada 4 masalah utama yang perlu dibahas yaitu:
1. Apa landasan hukum sistem otonomi Daerah?
2. Bagaimana karakter hubungan Pemerintah NKRI dengan Daerah?
3. Bagaimana realisasi otonomi daerah dalam pemerintahan NKRI?
4. Apa hasil penerapan kebijakan otonomi daerah di wilayah NKRI?
1.3. Tujuan
Tujuan penulisan mengenai sistem otonomi daerah di dalam Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara RI, adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui landasan hukum sistem otonomi Daerah.
2. Mengetahui karakter hubungan Pemerintah NKRI dengan Daerah.
3. Mengetahui realisasi otonomi daerah dalam pemerintahan NKRI.
4. Mengetahui penerapan kebijakan otonomi daerah di wilayah NKRI.
1.4. Manfaat
Tulisan dalam makalah ini dapat digunakan sebagai bahan yang mendukung proses perenungan serta
diskusi untuk mengkaji sistem yang dinilai tepat digunakan dalam sistem pemerintahan NKRI yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 terkait dengan pewujudan peningkatan
kesejahteraan rakyat melalui otonomi daerah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Hukum Otonomi Daerah


Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk
dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan
daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam
Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara
umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”
Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan
ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk
menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi otonomi daerah
sebagai berikut.
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.”
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut.
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.”
Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu.
Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan
perundang-undangan yang 5 Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32
Tahun 2004, LN No. 125 tahun 2004, TLN No. 4437, ps. 1. mengatur mengenai perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”
direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun
2005).
2.2 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Menurut amanat UU Nomor 32 Tahun 2004, publik seharusnya dilibatkan dalam pembuatan
kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan
yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusan belum melibatkan publik dan masih
berada di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota. Keterlibatan publik dalam pembuatan
kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah (perda).
Otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa perubahan politik di tingkat
lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Jika di masa sebelumnya DPRD hanya sebagai simbol dan kedudukannya di bawah legislatif, setelah
otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar, bahkan dapat memberhentikan kepala daerah.
Sebagai contoh dari gambaran tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Deli Serdang, Sumatera Utara, telah membuat 43 perda. Dari 43 perda itu, sebagian
berkaitan dengan peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda tentang retribusi dan pajak. Pembuatan
perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk dibahas di DPRD. Setelah dilakukan
pengesahan, perda-perda itu baru disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang cukup
produktif dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik yang mereka
berikan.
Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan pendapatan daerah, seperti
yang ditunjukkan dari ringkasan penelitian tentang desentralisasi di 13 kabupaten/kota di Indonesia,
implementasi otonomi daerah selain telah mendekatkan pemerintah setempat dengan masyarakat, juga
mendorong bangkitnya partisipasi warga.
Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu banyaknya lembaga sosial
masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik, perbedaan etnis, dan masalah sosial-
ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah lokal juga mencoba
mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas. Untuk mengatasi masalah
asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden Soeharto membentuk Badan Kesatuan Bangsa dan Pembaruan
Masyarakat (BKBPM), dan setelah reformasi, mengubah namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa
(BKB). Badan ini memberikan dana kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bertujuan
untuk menjalankan program asimilasi dan membangkitkan sensitif suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) dan saling pengertian antarkelompok minoritas. Program BKB juga
menggunakan LSM dan aparat pemerintah dalam membangun program asimilasi kebudayaan dan
kelompok etnis plural.
Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di
masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari
pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang
diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana
tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun
program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.
Dalam kehidupan modern yang kita jalani dewasa ini, eksistensi pemerintahan tidak dapat dipungkiri
lagi. Kehadiran pemerintah menjangkau hampir semua segi kehidupan, mulai dari kelahiran anak
(akte kelahiran), nikah (harus pakai akte nikah), bahkan sampai seseorang meninggal dunia (harus
mengurus akte kematian).
Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban di dalam mana
masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintahan modern, dengan kata lain, pada
hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidaklah diadakan untuk melayani
dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap
anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan
bersama. Oleh karena itu, secara umum, tugas-tugas pokok pemerintahan mencakup tujuh bidang
pelayanan, yaitu :
1. Menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar, dan menjaga agar tidak
terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat menggulingkan pemerintah yang sah melalui cara-cara
kekerasan;
2. Memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya perselisihan di antara warga masyarakat,
menjamin agar perubahan apapun yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara damai;
3. Menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga masyarakat tanpa membedakan
status apapun yang melatarbelakangi keberadaan mereka. Jaminan keadilan ini terutama harus
tercermin melalui keputusan-keputusan pengadilan, dimana kebenaran diupayakan pembuktiannya
secara maksimal, dan dimana konstitusi dan hukum yang berlaku dapat ditafsirkan dan diterapkan
secara adil dan tidak memihak, serta dimana perselisihan bisa didamaikan;
4. Melakukan pekerjaan umum dan memberikan pelayanan dalam bidang-bidang yang tidak mungkin
dikerjakan oleh lembaga non-pemerintah. Ini antara lain mencakup pembangunan jalan, penyediaan
fasilitas pendidikan yang terjangkau oleh mereka yang berpendapatan rendah, pelayanan pos dan
pencegahan penyakit menular;
5. Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial : membantu orang miskin dan
memelihara orang-orang cacat, jompo dan anak-anak terlantar, menampung serta menyalurkan para
gelandangan ke sektor kegiatan yang produktif, dan semacamnya;
6. Menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas, seperti mengendalikan laju
inflasi, mendorong penciptaan lapangan kerja baru, memajukan perdagangan domestik dan antar
bangsa, serta kebijakan lain secara langsung menjamin peningkatan ketahanan ekonomi negara dan
masyarakat;
7. Menerapkan kebijakan untuk pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti air,
tanah, dan hutan. Pemerintah juga berkewajiban mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan
untuk pemanfaatan sumber daya alam yang mengutamakan keseimbangan antara eksploitasi dan
reservasi.
Sementara itu, untuk melaksanakan tugas-tugas pokok tersebut, pemerintah mempunyai beberapa
fungsi. Pada umumnya pemerintah menjalankan dua fungsi pokok, fungsi pemerintahan umum. Yaitu
mengatur kehidupan politik, sosial, ketertiban, pertahanan keamanan, termasuk kependudukan. Fungsi
ini merupakan monopoli pemerintah, dalam arti pihak lain tidak mempunyai kewenangan untuk
melaksanakannya. Fungsi penyediaan pelayanan masyarakat dalam arti luas, antara lain, kesehatan,
pendidikan, pos, telekomunikasi, dan sebagainya. Fungsi ini bukan monopoli pemerintah, terbuka
untuk fihak swasta yang melakukannya. Selain dua fungsi tersebut, dalam negara berkembang
pemerintah juga dibebani fungsi ke tiga yaitu fungsi pembangunan.
Tugas pokok dan fungsi pemerintahan yang tertera di atas menggambarkan adanya jangkauan yang
luas dan kompleks, dengan tanggung jawab yang sangat berat, terpikul di atas pundak setiap
pemerintahan. Untuk melakukan tugas pokok dan fungsi tersebut, adalah hal yang sangat sulit jika
dilaksanakan secara terpusat (concentrated) oleh Pemerintah Pusat. Untuk itu, tugas pokok dan fungsi
tersebut harus diserahkan atau didelegasikan sebagian dalam bentuk kewenangan melalui asas
desentralisasi kepada daerah (otonom) untuk diselenggarakan.
Pilihan terhadap orientasi pemerintahan yang desentralistis didasarkan pada beberapa alasan yang
ditinjau dari beberapa dimensi, yaitu :
1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk
mencegah penumpukan kekuasaan pada salah satu pihak saja, yang pada akhirnya dapat menimbulkan
tirani;
2. Dalam bidang politik penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian,
untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak
demokrasi;
3. Dari sudut organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi)
adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama
diurus oleh pemerintah setempat pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat
di tangan pusat tetap diurus oleh Pemerintah Pusat;
4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan
kepada kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak
kebudayaan atau latar belakang sejarahnya;
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah
dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.
Desentralisasi dalam tinjauan etimologis (Latin ; “de” lepas, “centrum” pusat) dapat diartikan
melepaskan dari pusat. Pengertian ini dapat dikonotasikan sebagai pencerminan adanya pelepasan
dalam konteks penyerahan kekuasaan atau kewenangan dari pusat ke daerah. Scligman
mengemukakan bahwa desentralisasi merupakan suatu proses penyerahan wewenang (authority) dari
pemerintah yang lebih tinggi yang mempunyai kekuasaan (power) kepada pemerintah yang lebih
rendah derajatnya, yang menyangkut bidang legislatif atau administratif. Senada dengan hal tersebut,
selanjutnya Ruiter meneruskan bahwa kewenangan tersebut untuk secara mandiri dan berdasarkan
kepentingan, sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang
yang terjadi dari hal tersebut.
Format desentralisasi terdapat dalam dua bentuk, yakni : desentralisasi administratif atau
dekonsentrasi, yang berarti delegasi wewenang pelaksanaan kepada tingkat lokal, dan desentralisasi
politik atau devolusi, yang berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu
terhadap sumber daya diberikan kepada pejabat-pejabat regional dan lokal.
Desentralisasi adalah merupakan penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Daerah
Otonom, untuk secara mandiri dapat mengembangkan kreatifitas dan prakarsa dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Hak dan wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri (local self government) ini
dikenal dengan otonomi daerah.
Wewenang dalam konsep organisasi dan manajemen diartikan sebagai hak suatu unit kerja atau
seseorang pejabat untuk melakukan sesuatu tugas dengan penuh tanggung jawab. Terry (2000 : 101)
berpendapat bahwa pada organisasi-organisasi resmi yang berjalan, wewenang harus didelegasikan
atau dibagi dari seorang manajer atau kelompok kerja organisasi pada pihak-pihak lain untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban khusus. Pendelegasian wewenang adalah untuk memutuskan
perkara yang cenderung menjadi kewajibannya. Walaupun demikian, manajer yang mendelegasikan
wewenang tidak menyerahkan secara permanen baik wewenang maupun tanggung jawabnya. Hal-hal
yang dilakukan itu merupakan penyerahan hak untuk mengelola tugas-tugas di dalam batas-batas
yang telah ditentukan, namun wewenang akhir tetap berada pada manajer yang memegang wewenang
untuk mengelola seluruh kegiatan dan memikul tanggung jawab terakhir.
Lebih lanjut Terry (2000 : 101) mengemukakan bahwa pendelegasian wewenang merupakan suatu
faktor yang vital di dalam organisasi dan manajemen, karena :
1. Menetapkan hubungan oraganisatoris format di antara anggota-anggota;
2. Memberikan kekuasaan manajerial;
3. Mengembangkan bawahan dengan cara memberi izin kepada mereka untuk mengambil keputusan.
Dalam melaksanakan pendelegasian wewenang, Nitisemito (1996 : 136-137) berpendapat bahwa hal-
hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Kemampuan mengkategorikan antara tugas yang penting dan yang kurang penting;
2. Wewenang dan tanggung jawab harus dikemukakan dengan jelas;
3. Dalam pendelegasian wewenang diperlukan tanggapan, rasa tanggung jawab, inisiatif dan
kreatifitas yang diberi wewenang, untuk itu dibutuhkan kepercayaan dari pemberi wewenang;
4. Dalam pendelegasian wewenang tidak setengah dan dalam batas kemampuan.
Melengkapi pendapat di atas, menurut Purbopranoto dalam Nihin (1999 : 47), untuk mewujudkan
pemerintahan yang dikehendaki “good governance” adalah melalui asas-asas umum pemerintahan
yang baik, antara lain sebagai berikut : asas jangan mencampuradukkan kewenangan, bahwa
keputusan badan-badan pemerintah yang dikeluarkan harus sesuai dengan tujuan dan kewenangan
yang diberikan kepada badan-badan pemerintah itu, atau dengan perkataan lain, bahwa tidak boleh
menggunakan kewenangan untuk lain tujuan selain daripada tujuan yang telah ditetapkan oleh
kewenangan tersebut.
Apabila rambu-rambu tersebut diikuti dengan baik, maka akan memberi manfaat yang signifikan.
Terry (2000 : 105) mengemukakan bahwa manfaat yang diperoleh dari desentralisasi wewenang, yaitu
antara lain : mendorong efektifitas hubungan, terdapat kesempatan yang lebih besar berkembang.
Penyerahan atau pembagian kewenangan daerah dari Pemerintah Pusat kepada daerah, membawa
konsekuensi pada terbaginya urusan dan tugas pemerintahan. Beberapa sistem dalam pembagian
kewenangan, yaitu antara lain :
1. Sistem Residu; Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang
menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga Daerah.
2. Sistem Material; Dalam sistem ini tugas Pemerintah Daerah ditetapkan satu per satu secara
limitative atau terinci. Selain dari tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan Pemerintah Pusat.
3. Sistem Formal; Dalam sistem ini urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga Daerah tidak
secara apriori ditetapkan atau dengan Undang-Undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal tidak mencakup urusan yang telah diatur oleh
pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatnya.
4. Sistem Riil; Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah
didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan riil dari Daerah
maupun Pemerintah Pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi.
Faktor yang menjadi dasar pembagian wewenang antara pusat dan daerah adalah : Fungsi yang
sifatnya berskala nasional dan berkaitan dengan eksistensi negara sebagai kesatuan politik,
wewenangnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat; fungsi yang menyangkut pelayanan masyarakat
yang perlu disediakan secara seragam atau standard untuk seluruh daerah, kewenangan ini lebih
sesuai dikelola oleh Pemerintah Pusat mengingat lebih ekonomis bila diusahakan dalam skala besar
(economic of scale); fungsi pelayanan yang bersifat lokal. Fungsi ini melibatkan masyarakat luas
tetapi tidak memerlukan tingkat pelayanan yang seragam, untuk melaksanakan fungsi tersebut
wewenangnya dapat diserahkan pada Pemerintah Daerah.
2.3 Pelaksanaan Otonomi Daerah
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi
daerah dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung
jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan
pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan
otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di
bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah,
sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam
wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi,
berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkain baik, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat
dan daerah serta antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah :
1. Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.

4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai
Wilayah Administratis untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada
Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah,
tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan
prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang dilaksanakan mulai 1
Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan yang perlu segera dicarikan pemecahannya. Namun
sebagian kalangan beranggapan timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat dari
kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga merekapun mengupayakan
dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999 tersebut.
Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan
UU 22/1999 yang baru berjalan memasuki bulan kesepuluh bulan ini, berbagai permasalahan yang
timbul tersebut seharusnya dapat dimaklumi karena masih dalam proses transisi. Timbulnya berbagai
permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena terbatasnya peraturan pelaksanaan yang bisa
dijadikan pedoman dan rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut.
2.4 Otonomi Daerah dan Masa Depannya
Perhatian dalam prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan otonomi Daerah dapat diperkirakan
prospek ke depan dari Otonomi Daerah tersebut. Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan
dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini adalah
aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi
dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah
upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi
aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat
dan Daerah.
Dari aspek ideologi, sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup
dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan,
semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan
dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur
Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa
Indonesia.
Dari aspek politik, pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu wujud dari
pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta
kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan
yang harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya dukungan
Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap
peningkatan kehidupan politik di Daerah.
Dari aspek ekonomi, kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas
daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan
perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh
yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang
dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk
meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah
melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku
ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.
Dari aspek sosial budaya, kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap
keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi
lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap keberagaman daerah merupakan suatu
nilai penting bgi eksistensi daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar
dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa
dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana
pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.
Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan, kebijakan Otonomi Daerah memberikan
kewenangan kepada masing-msing daerah untuk memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam
kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan
kepercayaan Daerah terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat
akan dapat mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia .
Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi, politik, sosal budaya dan
pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah
mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara.
Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika berbagai kendala dan
tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi
Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu:
• Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga
perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
• Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi
Daerah.
• Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam pemerintah dalam mewujudkan
cita-cita Otonomi Daerah.
Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi Daerah mempunyai
prospek yang sangat cerah di masa mendatang. Kita berharap melalui dukungan dan kerjasama
seluruh komponen bangsa kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
III
PEMBAHASAN

3.1 Landasan Hukum


Di dalam pokok-pokok perubahan UUD 1945 pada bab IV pasal 18 ayat 1 tentang pengaturan
pemerintahan daerah, dijelaskan bahwa negara Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Setiap provinsi, kabupaten dan kota
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Sebagai negara kesatuan, kita
tidak mengenal adanya negara dalam negara, karena memang bukan negara federal (serikat).
Pembagian daerah adalah sekedar suatu desentralisasi dengan otonomi yang luas untuk melancarkan
jalannya pemerintahan. Selanjutnya dalam ayat 2 diatur tentang otonomi pemerintahan daerah.
Dijelaskan dalam pasal tersebut bahwa pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Selain mengatur tentang otonomi daerah, UUD 1945 hasil
amandemen juga mengakui keistimewaan pemerintahan daerah. Dalam pasal 18B ayat 1, hubungan
pemerintah pusat dan daerah provinsi, kabupaten dan kota diatur dalam suatu undang-undang dengan
memperhatikan keistimewaan daerah masing-masing. Selain itu, negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yan diatur dalam undang-undang (pasal
18B ayat2). Hal ini merupakan perwujudan kebinekaan masyarakat dan wilayah Negara Indonesia
dengan segala kekayaan etnis, budaya, adat istiadat dan karakter masing-masing.
Kebebasan dan keterbukaan politik yang terjadi pasca Orde Baru membawa konsekuensi logis pada
pemerintahan untuk segera mengubah diri. Segala macam kebijakan dan regulasi yang berbau orde
baru yang sentralistis diubah sedemikian besarnya menjadi sangat terdesentralisasi. Kebijakan
desentralisasi diperkenalkan pada tahun 1999 melalui UU No.22/1999 dan UU 25/1999. Dua undang-
undang ini lahir untuk merespon dua kondisi sosial-politik yaitu merebaknya tuntutan daerah untuk
memperoleh otonomi yang lebih luas, bahkan tuntutan federasi dan merdeka, serta semangat
demokrasi yang menuntut ruang partisipasi yang luas.
Dengan setting sosial politik ini maka UU No. 22/1999 dan UU 25/1999 hadir dengan dua misi
utama. Untuk memuaskan semua daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi
melalui ‘desentralisasi politik’ dari pusat kepada daerah, dan memberikan kesempatan dan kepuasan
politik kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan untuk menikmati simbol-simbol utama
demokrasi lokal (misal pemilihan Kepala Daerah). Untuk memuaskan daerah-daerah kaya
sumberdaya alam yang ‘memberontak’ dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati
sumberdaya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.
Regulasi yang baru ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah otonom yang meliputi
seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal,
agama, serta beberapa kewenangan bidang lain. Disamping memperoleh kewenangan politik yang
luas, daerah juga memperoleh peluang partisipasi politik yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
kesempatan untuk memilih Kepala Daerah secara langsung, juga pembentukan Badan Perwakilan
Desa sebagai perkembangan baru bagi kehidupan demokrasi di tingkat desa. Secara lebih detail, UU
No.22/1999 yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32/2004 dengan beberapa revisi, telah
melakukan perubahan signifikan dibandingkan dengan sistem yang digunakan di masa Orde Baru.
Semangat otonomi daerah yang lebih besar ini dimulai dengan perubahan simbolisasi pada nama
daerah otonom. Istilah tingkatan daerah otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan, dan diganti dengan
istilah yang lebih netral, yaitu Propinsi, Kabupaten dan Kota. Hal ini didasari semangat untuk
menghindari citra bahwa tingkatan lebih tinggi (Dati I) secara hierarkhis lebih berkuasa daripada
tingkatan lebih rendah (Dati II). Padahal dua-duanya merupakan badan hukum yang terpisah dan
sejajar yang mempunyai kewenangan berbeda. UU No.22/1999 memperpendek jangkauan asas
dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai pemerintahan Propinsi. Pemerintahan Kabupaten dan Kota
telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui perangkapan jabatan Kepala Daerah
Otonom (Local Self-government) dan Kepala Wilayah Administratif (Field Administration). Bupati
dan Walikota adalah Kepada Daerah Otonom saja. Sementara itu jabatan Kepala Wilayah pada
kabupaten dan Kota (dulu Kotamadya) sudah tidak dikenal lagi. UU No.22/1999 yang kemudian
dilanjutkan oleh UU No.32/2004 menghapuskan posisi wilayah administratif (field administration)
pada level Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Integrated Prefectoral System yang sentralistis yang
digunakan UU No.5/1974 diubah menjadi Functional System, dan bukan sekedar Unintegrated
Prefectoral System yang dikenal pada UU No.1/1957.
UU tersebut menempatkan pemerintahan kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat Daerah otonom,
yaitu Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan menempati
posisi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan daerah otonom (desentralisasi), dan bukan sebagai
aparat dekonsentrasi.
Bupati dan Walikota dipilih secara mandiri di daerah tanpa melibatkan pemerintah Propinsi maupun
pemerintah Pusat. Dalam UU No.22/1999, Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Oleh karena itu,
Bupati/Walikota harus bertanggung jawab kepada dan bisa diberhentikan oleh DPRD sebelum masa
jabatannya usai. Sementara itu, pemerintah pusat (Presiden) hanya diberi kekuasaan untuk
‘memberhentikan sementara’ seorang Bupati/Walikota jika dianggap membahayakan integrasi
nasional. Pada tahun 2004, diperkenalkanlah Pilkada Langsung di mana Kepala Daerah dipilih secara
langsung oleh rakyat dari para pasangan calon yang diajukan oleh partai politik. Perubahan ke arah
pendalaman demokrasi ini terus berkembang. UU No.32/2004 ini kemudian direvisi di tahun 2008
dengan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan untuk berkompetisi dalam Pilkada
Langsung.
Kewenangan yang lebih luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan
kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta ‘kewenangan bidang
lain’. Hanya saja, definisi ‘kewenangan bidang lain’ ini ternyata masih sangat luas, sebab mencakup
perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan,
sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM,
pendaya gunaan SDA serta teknologi tinggi strategis, koservasi dan standarisasi nasional.
Sementara itu, keuangan daerah juga mengalami beberapa perubahan. Melalui UU No.25/1999 dan
UU No. 33/2004, secara makro sumber-sumber keuangan daerah diperbesar, sejalan dengan
dikembangkannya prinsip perimbangan. Jumlah alokasi transfer keuangan ke daerah terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah ini juga semakin terasa untuk dua provinsi yang memperoleh
otonomi khusus, yaitu Papua dan Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) melalui dana Otsus dan
penyesuaian. Semua ini dilakukan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah,
meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah, serta meningkatkan sinergi perencanaan
pembangunan pusat dan daerah.
3.2 Karakter Hubungan Pusat dan Daerah
Sentralisasi sumberdaya politik dan ekonomi di tangan sekelompok kecil elit di pemerintah pusat
adalah konsekuensi yang melekat dari sistem politik otoritarian tersebut. Bahkan, sentralisasi ini
masih diperparah lagi dengan dikembangkannya uniformitas supra- dan infra-struktur politik.
Orde Baru mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional (Devas
1989). Organ-organ supra-struktur politik lokal diatur secara terpusat dan seragam tanpa
mengindahkan heterogenitas ‘sistem politik’ lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep
kebangsaan Indonesia. Melalui strategi korporatisme negara, pemerintah Orde Baru melakukan
penunggalan kelompok kepentingan yang dikontrol secara terpusat. Para buruh di seluruh nusantara
hanya diakui eksistensinya apabila bernaung di bawah SPSI. Demikian pula halnya untuk pegawai
negeri yang telah disediakan Korpri, untuk guru telah disediakan PGRI, untuk petani telah disediakan
HKTI, untuk pengusaha telah disediakan KADIN, untuk para wartawan telah disediakan PWI, dan
lain-lain.
Mekanisme kontrol politik secara nasional tersebut bahu-membahu dengan sentralisasi pengelolaan
sumber daya ekonomi secara nasional yang sangat bias pusat (Jakarta, dan kemudian Jawa). Dengan
wacana pembangunan nasional, pemerataan pembangunan antar daerah dan integrasi nasional,
pemerintah melakukan pengelolaan sumber daya ekonomi daerah secara nasional. Pertambangan,
hutan, beberapa hasil laut dan beberapa jenis perkebunan dikelola secara nasional yang hasilnya
dibawa secara penuh ke Jakarta.
Mekanisme sentralistis semacam ini terus berkepanjangan karena dua hal utama. Pada tingkat
nasional, elit politik pembuat keputusan tidak mempunyai basis politik lokal sama sekali. Kekuatan
eksekutif nasional yang menjadi aktor tunggal dalam pentas politik nasional tidak berakar dari bawah,
dan bahkan tidak membutuhkan dukungan politik dari masyarakat untuk kelangsungan kekuasaan
politik mereka. Pada tingkat daerah, masyarakat politik lokal teralienasi dari mekanisme politik yang
telah sepenuhnya ternasionalisasi. Bahkan juga, arena politik lokal telah dimonopoli oleh orang pusat
yang ada di daerah.
Cara kerja politik yang sentralistis dan monolitis ini hanya mampu memperbaiki keadaan sesaat dan
bersifat semu belaka. Sinyal-sinyal kegagalan pengaturan politik lokal Orde baru semakin mencolok
ke permukaan tatkala beberapa masyarakat daerah, terutama Irian Jaya dan Aceh, menuntut
perubahan mendasar dalam pengaturan politik lokal dan dalam hubungan pusat-daerah di tahun
1997an. Bahkan, salah satu bentuk tuntutan itu adalah tuntutan separatis untuk membentuk negara
sendiri. Tuntutan pembentukan negara sendiri atau melepaskan diri dari bagian wilayah NKRI benar-
benar terwujud yakni dengan lepasnya Propinsi Timor Timur dari bagian wilayah NKRI melalui
referendum pada era Presiden Habibie.
Fakta-fakta tentang adanya tuntutan separatis yang akhirnya diwujudkan melalui lepasnya Timor
Timur dari wilayah Indonesia merupakan bukti bahwa ‘ketaatan’ komunitas politik lokal terhadap
pusat yang terjadi selama ini adalah sebuah ketaatan yang semu dan penuh keterpaksaan. Tentu saja
konsep negara-bangsa semacam ini sangat rentan terhadap gejolak.
3.3 Realisasi dalam Pemerintahan NKRI
Daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. Berdasarkan rumusan tersebut,
dalam otonom terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
1. Unsur batas wilayah. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, batas suatu wilayah adalah sangat
menentukan untuk kepastian hukum bagi pemerintah dan masyarakat dalam melakukan interaksi
hukum, misalnya dalam penetapan kewajiban tertentu sebagai warga masyarakat serta pemenuhan
hak-hak masyarakat terhadap fungsi pelayanan umum pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan
secara luas kepada masyarakat setempat. Di sisi lain, batas wilayah ini sangat penting apabila ada
sengketa hukum yang menyangkut wilayah perbatasan antar daerah. Dengan perkataan lain, dapat
dinyatakan bahwa suatu daerah harus mempunyai wilayah dengan batas-batas yang jelas sehingga
dapat dibedakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
2. Unsur pemerintahan. Eksistensi pemerintahan di daerah didasarkan atas legitimasi undang-undang
yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan
yang berwenang mengatur kreativitasnya sendiri. Elemen pemerintahan daerah adalah meliputi
pemerintahan daerah dan lembaga DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Unsur masyarakat. Masyarakat sebagai suatu elemen pemerintahan daerah merupakan kesatuan
masyarakat hukum, kebiasaan dan adat istiadat yang turut mewarnai sistem pemerintahan daerah,
mulai dari bentuk cara berpikir, bertindak dan kebiasaan tertentu dalam kehidupan masyarakat.
Bentuk-bentuk partisipasi budaya masyarakat antara lain gotong-royong, permusyawaratan, cara
menyampaikan pendapat dan pikiran yang menunjang pembangunan daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan melalui pelayanan pemerintahan.
Kebijakan pemerintah memberikan pengakuan keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama
dalam ikut serta menetapkan kebijakan daerah. Adapun keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta
adalah pengangkatan gubernur dan wakil gubernur, sedangkan di Papua kekhususan adalah dengan
mempertimbangkan tentang peran kepala adat masyarakat Papua yang mendapat wewenang dalam
keikutsertaannya menetapkan kebijakan pemerintahan dan pembangunan masyarakat Papua. Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah, dirasakan kurang
menampung aspirasi masyarakat dan ulama berdasarkan hak keistimewaan Aceh di atas.
Berdasarkan kebijakan politik hukum pemerintah di atas, penyelenggaraan pemerintahan wilayah
NKRI dilakukan dengan penetapan strategi sebagai berikut:
1. Peningkatan pelayanan. Pelayanan di bidang pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan
adalah suatu hal yang bersifat esensial guna mendorong atau menunjang dinamikan interaksi
kehidupan masyarakat baik sebagai sarana untuk memperoleh hak-haknya, maupun sebagai sarana
kewajiban masyarakat sebagai warga negara yang baik. Bentuk pelayanan pemerintahan tersebut
antara lain meliputi rekomendasi, perizinan, dispensasi, hak berusaha, surat keterangan kependudukan
dan sebagainya.
2. Pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Konsep pembangunan dalam rangka otonomi daerah
ini, bahwa peran serta masyarakat lebih menonjol yang dituntut kreativitas masyarakat baik
pengusaha, perencana, pengusaha jasa, pengembang dalam menyusun konsep strategi pembangunan
daerah, dimana peran pemerintah hanya terbatas pada memfasilitasi dan mediasi. Disamping itu
dalam kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
masyarakat khususnya partai politik untuk memberikan pendidikan politik rakyat guna meningkatkan
kesadaran bernegara dan berbangsa guna tercapainya tujuan nasional dalam wadah NKRI.
3. Peningkatan daya saing daerah. Peningkatan daya saing daerah ini guna tercapainya keunggulan
lokal dan apabila dipupuk kekuatan ini secara nasional akan terwujud resultan daya saing nasional.
Disamping itu daya saing nasional akan menunjang sistem ekonomi nasional yang bertumpu pada
strategi kebijakan perekonomian rakyat.
Dalam politik hukum, yang paling esensi dalam penyelenggaraan peemerintahan daerah yang bersifat
otonomi ialah pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian
hak dan kewajiban tertentu. Dalam realita di lapangan, ternyata kebijakan ini hanya tinggal kebijakan
belaka, dalam beberapa kewenangan tertentu yang berpotensial sering ditarik ulur sehingga
berpengaruh terhadap efektivitas dan efisien penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hubungan antar
pemerintahan yakni hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dengan pemerintah
kabupaten/kota, di era pemberlakuan otonomi daerah, kebiasaan-kebiasaan penyelenggaraan
pemerintahan daerah sering terjadi salah tafsir yang berimplikasi pada hubungan masing-masing
kepala daerah. Adapun hubungan antar pemerintah daerah, khususnya hubungan antara pemerintah
daerah dengan Badan Legislatif Daerah sering terjadi disharmonisasi sehingga mengganggu sistem
kemitraan antara pemerintah daerah dan legislatif daerah. Atas dasar itulah, Undang-Undang Nomor
22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan dan tuntutan otonomi daerah sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang nomor 32
tahun 2004.
3.4 Hasil Penerapan Kebijakan
Berbagai daerah juga telah semakin maju mengembangkan lembaga-lembaga kerjasama antar daerah
untuk memfasilitasi manajemen konflik, pengembangan ekonomi lintas daerah, efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik, dan sebagainya. Beberapa lembaga kerjasama antar daerah yang sudah
mulai dikenal antara lain Javapromo (kerjasama 13 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dan D.I.
Yogyakarta di bidang Pariwisata), Kartamantul (kerjasama Kota Yogyakarta, Kab Sleman, dan Kab
Bantul), Subosuko Wonosraten (mencakup daerah Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,
Wonogiri, Sragen, dan Klaten), Pawonsari (Pacitan, Wonogiri, Wonosari), Barlingmascakeb
(Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen), Gerbangkertosusilo (Gresik,
Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoardjo dan Lamongan), dan lain-lain.
Gambaran di atas telah memperluas arena dan memperbesar sumberdaya yang tersedia di daerah.
Melalui desentralisasi dan otonomi, pemerintah daerah memiliki kesempatan lebih luas untuk
memperbaiki kondisi pelayanan publik, perkembangan perekonomian daerah, serta dalam
mengembangkan berbagai terobosan baru dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Lembaga-lembaga
pemantau pelaksanaan otonomi daerah seperti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
(KPPOD), Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP), SMERU Research Institute, Sustainable
Capacity Building for Decentralization Project (SCBD), Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah
(YIPD), dan berbagai lembaga lain telah berhasil mendokumentasikan sejumlah inovasi baru daerah
yang dikembangkan pada masa implementasi otonomi daerah.
Berbagai kemajuan tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah semakin memiliki kebebasan untuk
mengembangkan wilayahnya sesuai kebutuhan masyarakat lokal dengan bekal kebijakan otonomi
yang diberikan oleh pusat.
Namun di sisi lain, masyarakat lokal belum sepenuhnya menikmati desentralisasi fungsi dan fiskal
yang diberikan ke daerah. Banyak bagian-bagian dari daerah yang kecewa terhadap kebijakan daerah
otonom maupun pemerintah pusat yang pada gilirannya kemudian menuntut mandiri menjadi daerah
otonom sendiri. Fenomena inilah yang disebut dengan pemekaran daerah.
Hanya dalam waktu setengah dekade, jumlah daerah otonom di Indonesia bertambah menjadi hampir
dua kali lipat. Sejak Oktober 1999 sampai Januari 2008, tercatat telah terbentuk 164 daerah baru
terdiri dari 7 provinsi baru, 23 kota baru, dan 134 kabupaten baru,
Fenomena pemekaran daerah pada dasarnya merupakan bentuk lain dari upaya daerah dalam menarik
perhatian pusat. Jika pada era Orde Lama daerah menyuarakan tuntutannya melalui pemberontakan,
pada era Orde Baru pemberontakan daerah diredam melalui mekanisme penyuapan loyalitas yang
elitis dari pusat, maka pada era reformasi pusat merespon tuntutan dari daerah dengan lebih
terlembaga melalui pemberian rekognisi politik dan kultural serta alokasi sumberdaya ekonomi yang
tidak merata ke seluruh bagian daerah.
Sebagian besar kajian akademis tentang pemekaran daerah menunjukkan bahwa inisiasi pemekaran
daerah dipicu oleh kebutuhan untuk pemerataan ekonomi, dan upaya memperbaiki kondisi pelayanan
publik dengan menghadirkan negara di tengah-tengah masyarakat. Disamping itu, adanya insentif
pemekaran dalam bentuk alokasi DAU dan DAK juga menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah-
daerah untuk mengajukan usul pemekaran.
Kebijakan pemekaran daerah yang berjumlah lebih dari 160 kasus tersebut tidak membawa dampak
yang sama. Pemekaran di masing-masing daerah mempunyai kekhasannya sendiri yang tidak mudah
untuk digeneralisasikan. Untuk kepentingan perumusan kebijakan di tingkat nasional, perlu dilakukan
identifikasi dampak pemekaran secara umum. Dampak ini tidak hanya terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan di tingkat nasional, tetapi juga
dampak sosial, politik dan ekonominya di tingkat daerah.
Mengambil pelajaran dari studi-studi yang dilakukan oleh beberapa lembaga riset, seperti Percik, LIPI
dan beberapa lembaga lainnya, dampak sosial dan politik kebijakan pemekaran tidak bisa
digambarkan secara generik. Sangat tidak mudah untuk disimpulkan apakah pemekaran daerah
berdampak positif ataukah negatif. Setiap dimensi, sosio-kultural, politik dan pemerintahan, serta
pelayanan publik dan pembangunan ekonomi, dampak pemekaran selalu bermata ganda: bisa positif,
tetapi pada saat yang sama juga bersifat negatif. Belum lagi apabila dampak tersebut diletakkan dalam
skala yang berbeda dalam skala daerah ataukah dalam skala nasional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, gambaran tentang dampak pemekaran dalam tulisan ini
diletakkan dalam pandangan ganda. Menghindari ataupun meminimalisasi dampak negatif pada
dasarnya adalah mengelola proses kebijakan pemekaran dan proses pasca pemekaran.
1. Dampak Sosio Kultural
Pemekaran daerah membawa implikasi positif dalam bentuk pengakuan sosial, politik dan kultural
masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran, entitas masyarakat yang mempunyai sejarah
kohesivitas dan kebesaran yang panjang, memperoleh pengakuan sebagai daerah otonom baru.
Pengakuan ini pada gilirannya memberikan kontribusi positif terhadap kepuasan masyarakat, sehingga
meningkatkan dukungan daerah terhadap pemerintah nasional.
Namun demikian, kebijakan pemekaran juga bisa memicu konflik yang pada gilirannya juga
menimbulkan masalah horisontal dan vertikal dalam masyarakat. Sengketa antara pemerintah daerah
induk dengan pemerintah daerah pemekaran dalam hal pengalihan aset dan batas wilayah, seringkali
berimplikasi pada ketegangan antar kubu masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah
daerah.
2. Dampak Pada Pelayanan Publik
Kebijakan pemekaran daerah mampu memperpendek jarak geografis antara pemukiman penduduk
dengan sentra pelayanan, juga mempersempit rentang kendali antara pemerintah daerah dengan unit
pemerintahan di bawahnya. Disamping itu, pemekaran juga memungkinkan untuk menghadirkan
jenis-jenis pelayanan baru, seperti pelayanan listrik, telepon, serta fasilitas urban lainnya, terutama di
wilayah ibukota daerah pemekaran.
Tetapi, pemekaran juga menimbulkan implikasi negatif bagi pelayanan publik, terutama pada skala
nasional, terkait dengan alokasi anggaran untuk pelayanan publik yang berkurang. Hal ini disebabkan
adanya kebutuhan belanja aparat dan infrastruktur pemerintahan lainnya yang bertambah dalam
jumlah yang signifikan sejalan dengan pembentukan DPRD dan birokrasi di daerah hasil pemekaran.
3. Dampak Bagi Pembangunan Ekonomi
Pasca terbentuknya daerah otonom baru, terdapat peluang yang besar bagi akselerasi pembangunan
ekonomi di wilayah yang baru. Bukan hanya infrastruktur pemerintahan yang terbangun, tetapi juga
infrastruktur fisik dan infrastruktur kebijakan pembangunan ekonomi yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah otonom baru. Semua infrastruktur ini membuka peluang yang lebih besar bagi
wilayah hasil pemekaran untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi.
Namun, kemungkinan akselerasi pembangunan ini harus dibayar dengan besarnya anggaran yang
dikeluarkan untuk membiayai belanja pegawai dan belanja operasional pemerintahan daerah. Dari sisi
teoritik, belanja ini bisa diminimalisir melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang menjangkau
seluruh wilayah, sehingga akselerasi pembangunan ekonomi tetap dimungkinkan dengan harga yang
murah. Namun, dalam perspektif masyarakat daerah, selama ini tidak ada bukti yang meyakinkan
bahwa pemerintah nasional akan melakukannya tanpa kehadiran pemerintah daerah otonom.
4. Dampak Bagi Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional
Pembentukan daerah otonom baru, bagi beberapa masyarakat pedalaman dan masyarakat di wilayah
perbatasan merupakan isu politik nasional yang penting. Bagi masyarakat tersebut, bisa jadi mereka
tidak pernah melihat dan merasakan kehadiran 'Indonesia', baik dalam bentuk simbol pemerintahan,
politisi, birokrasi dan bahkan kantor pemerintah. Pemekaran daerah otonom, oleh karenanya, bisa
memperbaiki kenangan politik nasional di daerah melalui peningkatan dukungan terhadap pemerintah
nasional dan menghadirkan pemerintah pada level yang lebih bawah.
Dalam sudut pandang pemerintah pusat, kebijakan pemekaran juga sangat penting ditempuh dalam
kaitannya untuk mendorong munculnya aktivitas perekonomian dan akselerasi pertumbuhan ekonomi
di daerah perbatasan dan tertinggal, penguatan identitas kenegaraan dengan mendekatkan pelayanan
pada masyarakat sehingga negara akan dirasakan kehadirannya sangat riil oleh masyarakat, dan
sebagai upaya untuk penjagaan wilayah aktif dalam rangka membangun pertahanan dan keamanan di
wilayah perbatasan. Namun, biaya politik untuk menghadirkan pemerintahan daerah otonom baru ini
seringkali juga bisa sangat mahal, apabila pengelolaan politik selama proses dan pasca pemekaran
tidak bisa dilakukan dengan baik. Berdasarkan pengamatan pada beberapa daerah hasil pemekaran,
ketidakmampuan untuk membangun ornamen politik antar kelompok dalam masyarakat
mengakibatkan munculnya tuntutan untuk memekarkan lagi daerah yang baru saja mekar.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan
Untuk melaksanakan amanat memang tidak mudah, apalagi amanat yang di dalam Undang-undang
dasar 1945. Amandemen kedua tahun 2000 mengatur pelaksanaan sistem pemerintahan khususnya
pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan
daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri
tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Bangsa Indonesia menaruh harapan yang besar terhadap keberhasilan format kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah dalam memperkuat integrasi nasional dan semangat kebangsaan. Kekecewaan
masyarakat lokal di tahun 1950an dan 1960an ternyata hanya bisa diselesaikan secara semu oleh
pemerintah Orde Baru. Pemberontakan daerah diselesaikan dan represi politik dan militer, dan
tuntutan alokasi sumberdaya ekonomi diselesaikan dengan pola pembangunan yang sentralistis dan
otoriter. Gejolak politik daerah memang tidak ada, namun sebenarnya hanya sekedar tidak bisa
mencuat ke permukaan belaka.
Indonesia pasca 1999 mencoba untuk merumuskan kebijakan baru. Kekecewaan masyarakat daerah
yang muncul dalam bentuk semangat ingin merdeka dari Aceh, Papua, Kalimantan Timur dan Riau di
akhir dekade 1990an tidak direspon semata-mata dengan kekuatan represif. Justru yang dilakukan
oleh pemerintah pusat adalah melalui kebijakan desentralisasi, baik itu desentralisasi politik,
desentralisasi fungsi maupun desentralisasi fiskal. Kebijakan inilah yang membuat mobilitas vertikal
masyarakat daerah menjadi terbuka, ekspresi politik semakin mungkin dilakukan, dan otonomi
pengelolaan sumberdaya semakin terbuka.
Kebijakan tersebut ternyata tidak serta merta membuat kekecewaan daerah usai. Berangkat dari
fenomena pambangunan daerah yang tidak merata, representasi politik yang tidak adil, pembangunan
ekonomi yang diskriminatif, dan praktek korupsi yang merajalela, kekecewaan masyarakat lokal tetap
berlanjut. Hal ini terbukti dari semakin maraknya tuntutan untuk membentuk daerah-daerah otonom
baru. Di satu sisi pemekaran daerah ini menjadi obat 'penurun panas' yang efektif untuk meredam
kekecewaan masyarakat lokal, dan bahkan pula memperbaiki kinerja pemerintahan, pembangunan
dan pelayanan publik. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan pemekaran tersebut juga
bisa membawa menguatnya regionalisasi berbasis primordial jika tidak disertai dengan kebijakan
untuk merangkai sinergi lintas daerah.
Masih banyak ekspresi kekecewaan daerah terhadap pemerintah daerah atasan ataupun terhadap
pemerintah pusat di era desentralisasi sekarang ini. Pemerintah pusat yang terfragmentasi dan tanpa
koordinasi, serta pusat yang tidak konsisten dengan kebijakan desentralisasi merupakan contoh
ekspresi yang bisa ditemukan di kalangan pelaku pemerintahan daerah. Kesalahan pengelolaan yang
parah dan kinerja pemerintah pusat yang buruk yang terjadi secara berkesinambungan akan
memperpuruk legitimasi politik dan moral pemerintah pusat di hadapan masyarakat daerah. Jika hal
ini terjadi, Negara Kesatuan Republik Indonesia akan mendapatkan dampaknya.

b. Saran
Dalam penulisan makalah ini, diperlukan pengkajian yang lebih mendalam mengenai pengukuran
dampak terkait penerapan otonomi daerah terhadap kehidupan rakyat NKRI, dengan menggunakan
instrumen penelitian yang lebih fokus pada usaha mendapatkan deskripsi keadaan yang terjadi,
sehingga dapat menjadi masukan bagi penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan yang merupakan amanah dari rakyat
NKRI dengan keanekaragaman karakteristik.
DAFTAR PUSTAKA

Attamimi, A, Hamid, 1990. Peranan keputusan Presiden RI dalam penyelanggarakan Pemerintahan


Negara. Desertasi Jakarta : UII.
Bambang PS Brodjonegoro. 2008. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Ekonomi. Jakarta:FEUI.
Devas, Nick. 1989. Financing Local Government in Indonesia, Ohio University Press, Ohio.
Kaho, Josef Riwu, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identifikasi
Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Jakarta, Rajawali Press.
Mubarak M. Zaki, dkk. (eds). 2006. Blue Print Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta: Yayasan Harkat
Bangsa bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia (PGRI) dan European
Union (EU).

Anda mungkin juga menyukai