Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Osteoporosis merupkan masalah kesehatan yang utama. Berdasarkan


data dari Third National Health and Nutrition Examination Survey, yang
mencakup pengukuran densitas mineral tulang pada pinggul, 20% wanita
dan 5% pria berusia 50 tahun keatas menderita osteoporosis. Densitas tulang
yang rendah merupakan penyebab utama dari meningkatnya resiko retak
atau patah tulang. Kira-kira 250,000 kasus patah tulang terjadi setiap tahun.
Dari data dapat disimpulkan bahwa pria dan wanita yang mengalami
patah tulang pinggul mengalami tingkat mortalitas tinggi, sedangkan yang
berhasil sembuh setelah dirawat memiliki resiko cacat jangka panjang.
Osteoporosis merupakan akibat dari kombinasi berkurangnya masa
puncak tulang dan meningkatnya masa otot yang hilang. Masa puncak
tulang biasanya dicapai pada usia20-an dan tergantung pada faktor
keturunan pada masa anak-anak dan remaja. Hal ini merupakam masalah
kesehatan yang serius karena hamper 1 dari 4 wanita berusia di atas 65
tahun, 1 dari 2 wanita berusia di atas 80 tahun akan mengalami penyakit ini.
WHO memasukkan osteoporosis dalam daftar 10 penyakit degeneratif
utama di dunia. Tercatat bahwa terdapat kurang lebih 200 juta pasien di
seluruh dunia yang menderita osteoporosis.
Di Indonesia sendiri prevalensi osteoporosis pada tahun 2002 adalah
19,7%, yaitu pada aki-laki 14,8% dan perempuan 21,7%. Sedangkan pada
tahun 2003 sebesar 7,7%, kemudian sebesar 7% pada tahun 2004 dan tahun
2005 sebesar 10,3% yaitu laki-laki 14,3% dan perempuan sebesar 8,2%.
Pada umur 55 tahun, resiko osteoporosis lebih tinggi pada laki-laki dan pada
umur di atas 55 tahun proporsi penderita osteoporosis lebih tinggi pada
wanita.

1
Spondilitis TB pada Negara yang sedang berkembang sekitar
60%kasus terjadi pada usia dibawah 20 tahun. Sedangkan pada Negara
maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua. Meskipun
perbandingan antara pria dan wanita hampir sama. Di Indonesia tercatat
70% spondilitis TB dari seluruh tuberculosis tulang yang terbanyak di
daerah ujung pandang. Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang
berada dalam keadaan ekonomi rendah.
WHO pada tahun 2000 emperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3
juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB. Insiden
spondilitis TB masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB
ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan 1,8% dari total kasus TB.
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta
per tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh
Mycobacterium tubrculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga
setelah India dan China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang
pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000
orang pertahun.Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun
di Amerika, tempat yang paling sering terkena adalah tulang belakang yaitu
terjadi hampir setengah dari kejadian TB ekstrapulmonal yang mengenai
tulang dan sendi. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25%-30%
anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5%-10% anak
yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun, namun dapat juga
2-3 tahun kemudian.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai


berikut.

1. Bagaimana asuhan keprawatan pada gangguan osteoporosis?


2. Bagaimana asuhan keprawatan pada gangguan spondilitis TB?

2
C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Tujuan umumdalam penulisan makalah ini adalah untuk
memahami asuhan keperawatan pada sistem Muskuloskeletal dengan
gangguan Osteoporosis dan Spondilitis TB.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut.
a. Untuk memahami definisi Osteoporosis
b. Untuk memahami penyebab Osteoporosis
c. Untuk memahami klasifikasi Osteoporosis
d. Untuk memahami patofisiologi Osteoporosis
e. Untuk memahami manifestasi klinis Osteoporosis
f. Untuk memahami komplikasi Osteoporosis
g. Untuk memahami pemeriksaan diagnostik Osteoporosis
h. Untuk memahami penatalaksaan Osteoporosis
i. Untuk memahami definisi Spondilitis TB
j. Untuk memahami penyebab Spondilitis TB
k. Untuk memahami klasifikasi Spondilitis TB
l. Untuk memahami patofisiologi Spondilitis TB
m. Untuk memahami manifestasi klinis Spondilitis TB
n. Untuk memahami komplikasi Spondilitis TB
o. Untuk memahami pemeriksaan diagnostic Spondilitis TB
p. Untuk memahami penatalaksaan Spondilitis TB.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dalam penulisna makalah ini adalah untuk menambah ilmu


pengetahuan pada Sistem Muskuloskeletal khususnya pada asuhan
keperawatan dengan gangguan Osteoporosis dan Spondilitis TB.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Oteoporosis

1. Definisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan massa
tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostatis normal,
kecepatan resorbsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang,
mengakibatkan penurunan massa tulang total. Tulang secara progresif
menjadi porus, rapuh dan mudah patah, tulang menjadi mudah fraktur
dengan stress yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang
normal (Smeltzer & Bare, 2002).
Osteoporosis adalah penyakit tulang metabolik yang ditandai oleh
penurunan densitas tulang yang parah sehingga mudah terjadi fraktur
(Corwin, 2009).
Osteoporosis (pengeroposan tulang) merupakan gangguan
metabolik tulang dengan meningkatnya kecepatan resorbsi tulang tetapi
kecepatan pembentukannya berjalan lambat sehingga terjadi kehilangan
massa tulang (Kowalak, Welsh & Mayer, 2014).
Jadi berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat kami
simpulkan bahwa osteoporosis adalah gangguan metabolik tulang yang
terjadi akibat meningkatnya kecepatan resorbsi tulang diikuti dengan
perlambatan pembentukan tulang sehingga mengakibatkan penurunan
massa tulang. (Corwin, 2009; Smeltzer & Bare, 2002; Kowalak, Welsh&
Mayer, 2014).

4
2. Etiologi Osteoporosis
a. Wanita
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini
disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun
kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun
mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun.
b. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru
menurun. Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat
dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan tulang trabekular
karena proses penuaan, penyerapan kalsium menurun dan fungsi
hormon paratiroid meningkat.
c. Ras/Suku
Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau
keturunan asia memiliki risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara
umum konsumsi kalsium wanita asia rendah. Salah satu alasannya
adalah sekitar 90% intoleransi laktosa dan menghindari produk dari
hewan. Pria dan wanita kulit hitam dan hispanik memiliki risiko
yang signifikan meskipun rendah.
d. Keturunan Penderita Osteoporosis
Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka
berhati-hatilah. Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik
tulang tertentu. Seperti kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh.

5
Itu artinya dalam garis keluarga pasti punya struktur genetik tulang
yang sama.
e. Gaya Hidup Kurang Baik
1) Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya
mengandung fosfor yang merangsang pembentukan horman
parathyroid, penyebab pelepasan kalsium dari dalam darah.
2) Minuman berkafein dan beralkohol.
Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat
menimbulkan tulang keropos, rapuh dan rusak. Hal ini dipertegas
oleh Dr.Robert Heany dan Dr. Karen Rafferty dari creighton
University Osteoporosis Research Centre di Nebraska yang
menemukan hubungan antara minuman berkafein dengan
keroposnya tulang. Hasilnya adalah bahwa air seni peminum kafein
lebih banyak mengandung kalsium, dan kalsium itu berasal dari
proses pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat
toksin yang menghambat proses pembentukan massa tulang
(osteoblas).
3) Malas Olahraga
Mereka yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat
proses osteoblasnya (proses pembentukan massa tulang). Selain itu
kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak
dan olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk
massa.
4) Merokok
Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit
osteoporosis. Perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena
zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan tulang. Selain
penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas
hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan-
susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan.
Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa mengalami

6
hipertensi, penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke
seluruh tubuh. Kalau darah sudah tersumbat, maka proses
pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin jelas menyebabkan
osteoporosis baik secara langsung tidak langsung. Saat masih
berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa
karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat
melewati umur 35, efek rokok pada tulang akan mulai terasa,
karena proses pembentukan pada umur tersebut sudah berhenti.
5) Kurang Kalsium
Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan
hormon yang akanmengambil kalsium dari bagian tubuh lain,
termasuk yang ada di tulang.(Nancy E. Lane, Osteoporosis, 2001)
6) Mengkonsumsi Obat
Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti
peradangan pada penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan
risiko penyakit osteoporosis. Jika sering dikonsumsi dalam jumlah
tinggi akan mengurangi massa tulang. Sebab, kortikosteroid
menghambat proses osteoblas. Selain itu, obat heparin dan anti
kejang juga menyebabkan penyakit osteoporosis. Konsultasikan ke
dokter sebelum mengkonsumsi obat jenis ini agar dosisnya tepat
dan tidak merugikan tulang.
Tulang adalah jaringan dinamis yang diatur oleh faktor
endokrin, nutrisi, dan aktivitas fisik. Biasanya penanganan gangguan
tulang terutama osteoporosis hanya fokus pada masalah hormon dan
kalsium, jarang dikaitkan dengan olahraga. Padahal, Wolff sejak 1892
menyarankan bahwa olahraga sangatlah penting.
Osteoporosis (kekeroposan tulang) adalah proses degenerasi
pada tulang. Mereka yang sudah terkena perlu berolahraga atau
beraktivitas fisik sebagai bagian dari pengobatan. Olahraga teratur dan
cukup takarannya tidak hanya membentuk otot, melainkan juga
memelihara dan meningkatkan kekuatan tulang. Dengan demikian,

7
latihan olahraga dapat mengurangi risiko jatuh yang dapat memicu
fraktur (patah tulang) (Mulyaningsih, 2008).
3. Klasifikasi Osteoporosis
Menurut Farida Mulyaningsih (2008), osteoporosis diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Osteoporosis Postmenopausal
Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada
wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam
tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia
di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun
lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang samauntuk
menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah
timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.

b. Osteoporosis Sinilis
Merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang
berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara
kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru.
Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih
sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis
senilis dan postmenopausal.

8
c. Osteoporosis Sekunder
Dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang
disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.
Penyakit osteoporosis bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan
kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-
obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon
tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan
merokok bisa memperburuk keadaan osteoporosis.
d. Osteoporosis Juvenil Idiopatik
Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya belum
diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang
memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang
normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang
(Mulyaningsih, 2008).
Berikut stadium pada osteoporosis :
1) Pada stadium 1, tulang bertumbuh cepat, yang dibentuk masih lebih
banyak dan lebih cepat daripada tulang yang dihancurkan. Ini biasanya
terjadi pada usia 30-35 tahun.
2) Pada stadium 2, umumnya pada usia 35-45 tahun, kepadatan tulang
mulai turun (osteopenia).
3) Pada stadium 3, usia 45-55 tahun, fraktur bisa timbul sekalipun hanya
dengan sentuhan atau benturan ringan.
4) Pada stadium 4, biasanya diatas 55 tahun, rasa nyeri yang hebat akan
timbul akibat patah tulang. Anda tidak bisa bekerja, bergerak , bahkan
mengalami stres dan depresi (Waluyo, 2009)

9
10
4. Patofisiologi Osteoporosis

Konsumsi Obat-obatan Gaya Hidup Usia lanjut

Defisiensi Vit. D Konsumsi ↓Aktivitas Gangguan Hormon


alcohol / rokok &
kurang
Absorbs kalsium berolahraga Ketidakseimbangan Pada wanita
terganggu kecepatan regenerasi
Menghambat Osteoblas dan pembentukan
tulang Pasca menopouse
Merangsang
aktivitas osteoblas
dan menghambat Pembentukan tulang
Kadar estrogen ↓
sel-sel osteoklas terganggu

Osteoblas & osteoklas


Massa tulang ↓
↓ Reabsorbsi tidak terangsang

↓Densitas ↓ Reabsorbsi

Tulang mudah rapuh


OSTEOPOROSIS

Gangg. Keseimbangan,
↓aktivitas, dan kekuatan
otot ↓Densitas Tulang Kurang pengetahuan

Fraktur Deformitas
Hambatan mobilitas fisik

Resiko Cedera Gangg. Fungsi


Pergeseran frakmen ekstremitas
tulang

Hambatan mobilitas fisik


Nyeri akut

Konstipasi

11
5. Manifestasi Klinis Osteoporosis
Gejala yang paling sering dan paling mencemaskan pada
osteoporosis adalah :
1) Nyeri tulang akut. Nyeri terutama terasa pada tulang belakang, nyeri
dapat dengan atau tanpa fraktur yang nyata dan nyeri timbul
mendadak
2) Nyeri timbul mendadak
3) Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yang terserang
4) Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur.
5) Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan  dan akan bertambah oleh
karena melakukan aktivitas
6) Postur tubuh kelihatan memendek atau penurunan tinggi badan
akibat dari Deformitas vertebra thorakalis (Nancy E. Lane,
Osteoporosis, 2001).
6. Komplikasi Osteoporosis
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi
panas, rapuh dan mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan
fraktur. Berbagai fraktur yang terjadi akibat komplikasi dari osteoporosis
antara lain ; fraktur vertebra, fraktur pinggul, fraktur femur, fraktur
pergelangan tangan, dan berbagai macam fraktur lainnya.
7. Pemeriksaan Diagnostik Osteoporosis
a. Dual- atau single-photon absorbtiometry untuk mengukur massa
tulang dalam ekstremitas, pangkal paha dan tulang belakang.

12
b. Foto rontgen yang memperlihatkan degenerasi uang khas pada
vertebra torakal bawah dan vertebra lumbal (korpus vertebra dapat
terlihat rata dan tampak lebih padat daripada keadaan normal,
kehilangan mineral tulang akan terlihat hanya pada stadium lanjut)

c. Pemeriksaan CT scan untuk mengkaji kehilangan massa tulang


belakang

d. Kadar kalsium, fosfor serta alkali fosfotase serum yang normal, dan
mungkin kenaikan kadar hormone paratiroid.
e. Biopsy tulang yang memperlihatkan tulang yang tipis dan Porous
tetapi bisa juga jaringan tulang tersebut masih terlihat normal
Kowalak, Welsh & Mayer, 2014).

13
f. Pemeriksaan DEXA, digunakan untuk mengukur densitas tulang dan
menghitung derajat osteopenia (kehilangan tulang ringan-sedang)
atau osteoporosis (kehilangan tulang berat) (NANDA, 2015)

8. Penatalaksaan Osteoporosis
a. Pencegahan osteoporosis dimulai sejak masa kanak-kanak dan remaja
denganpembentukan kebiasaan berolahraga dan nutrisi yang baik
sepanjang hidup untuk memperkuat tulang.
b. Olahraga menahan beban, bahkan pada usia yang sangat tua
(>85tahun), terbukti meningkatlan densitas tulang dan massa otot,
dan memperbaiki daya tahan fisik dan keseimbangan. Efek olahraga
dengan kekuatan tinggi, seperti melompat dan berlari, untuk
mempertahankan kesehatan tulang pada anak sedang diteliti dengan
lebih ketat. Penggunaan vibrasi untuk mempertahankan kesehatan
tulang pada anak dan lansia dengan mobilitas yang terbatas juga
sedang diteliti.

14
c. Suplemen vitamin D dan kalsium melalui makanan mengurangi
perkembangan osteoporosis pada lansia dan anak, kemudian
merupakan komponen non esensial dalam pencegahan.
d. Merokok harus dihindari
e. Terapi penggantian estrogen-progesteron atau modulator reseptor
estrogen selektif (selective estrogen receptor modulator, SERM) yang
dilakukan selama dan setelah menopause dapat mengurangi
perkembangan osteoporosis pada wanita. Kontraindikasi terapi
penggantian estrogen adalah riwayat kanker payudara pada individu
atau keluarga atau riwayat individu mengalami pembentukan bekuan
darah.
f. Obat-obatan yang dikenal sebagai bifosfonat (mis, alendronat,
risedronat, dan ibandronat) terbukti mengurangi resorbsi tulang dan
mencegah pengoroposan tulang. Obat-obatan ini, dalam kombinasi
dengan suplemen vitamin D dan kalsium, digunakan signifikan
meningkatkan densitas tulang terutama pada panggul dan spina, dan
dapat digunakan pada osteoporosis pasca menopause dan
osteoporosis akibat obat (glukokortikoid). Bifosfonat juga digunakan
sebagai adjuvans kemoterapeutik pada trapi kanker karena potensinya
untuk mencegah metastatis tulang.bisfosfonat tidak mudah diabsorbsi
oleh tubuh sehingga harus digunakan pada lambung yang kosong
dengan segelas penuh air. Pasien harus tetap tegak lurus dan menahan
diri dari makan selama periode tertentu setelah itu, untuk memastikan
absorbs dan mencegah efek samping gastrointestinal. Oleh karena itu,
kepatuhan untuk menggunakan bisfosfonat sering menjadi masalah.
g. Pasien yang tidak berespons secara positif terhadap strategi lain dapat
diberi teriparatida, hormone paratiroid sintetik yang membantu
pembentukan tulang.
h. Kalsitonin juga dapat diberikan untuk individu yang mengalami
osteoporosis berat. Pemberian intranasal baru-baru ini tersedia
sehingga meningkatkan penggunaannya pada pasien.

15
i. Terapi testosterone untuk dapat mengurangi osteoporosis pada pria
(Corwin, 2009).

E. Spondilitis TB

2. Definisi
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis
berupa infeksi granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu
mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra
(Abdurrahman, et al 1994)
Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai
paraplegi atau deficit neurologis. Spondilitis ini paling sering
ditemukan pada vertebra Th 8-L3 dan paling jarang pada vertebra C2.
Spondilitis TB biasanya mengenaikorpus vertebra, sehingga jarang
menyerangarkus vertebra (Mansjoer, 2000)

3. Etiologi
Spondilitis tuberculosis atau tuberculosis tulang belakang
merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis di tempat lain, 90-95%

2
disebabkan oleh mikobakterium tuberculosis tipik ( dari tipe human
3

1
dan dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkola atipik.
3
Kuman mycobacterium tuberkulosa bersifat tahan asam dan cepat mati
apabila terkena matahari langsung.

16
4. Manifestasi Klinis
Secara klinis gejala spondilitis TB hampir sama dengan penyakit
TB yang lain, yaitu badan lemah dan lesu, nafsu makan dan berat badan
yang menurun, suhu tubuh meningkat terutama pada malam hari, dan
sakit pada daerah punggung. Pada anak kecil biasanya diikuti dengan
sering menangis dan rewel.
Pada awal gejala dapat dijumpai adanya nyeri radikuler di sekitar
dada atau perut, kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun
kian memberat. Kemudian muncul adanya spastisitas, klonus, hiper-
refleksia dan refleks babinski bilateral. Pada stadium awal ini belum
ditemukan deformitas tulang vertebra, demikian pula belum terdapat
nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang
menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis
merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan
neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus,termasuk akibat penekanan
medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun
nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah
adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-
tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas.
(Harsono,2003)
5. Patofisiologi
Infeksi berawal dari bagian epifisial korpus vertebra. Kemudian,
terjadi hiperemia dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
pelunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis,
diskus internertebra, dan vertebra sekitarnya. Kemudain eksudat
menyebar ke depan, di bawah longitudinal anterior. Eksudap ini dapat
menembus ligamen dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis
ligamen yang lemah. Pada daerah vertebra servikalis, eksudat
terkumpul di belakang paravertebral dan menyebar ke lateral di
belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami

17
protusi ke depan dan ke dalam faring yang dikenal sebagai abses
faringeal.
Perubahan struktur vertebra servikalis menyebabkan spasme
otot dan kekakuan leher yang merupakan stimulus keluhan nyeri pada
leher. Pembentukan abses faringeal menyebabkan nyeri tenggorokan
dan gangguan menelan sehingga terjadi penurunan asupan nutrisi dan
masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan. Kekakuan
leher menyebabkan keluhan mobilitas leher dan risiko tinggi trauma
sekunder akibat tidak optimalnya cara mobilisasi. Tindakan dekompresi
dan stabilisasi servikal pada pasca bedah menimbulkan port de entree
luka pasca bedah risiko tinggi infeksi.

18
Pathway

Invasi hematogen ke korpus dekat diskus


invertebra daerah servikal

Kerusakan dan penjalaran ke vertebra yang Gangguan citra


berdekatan tubuh

Perubahan struktur vertebra


servikalis

Kurang
pengetahuan

Kompresi diskus dan Spasme otot Pembentukan


kompresi radiks abses faringeal
saraf di sisinya

Kekakuan
leher Nyeri tenggorokan
Tindakan dan gangguan
dekompresi dan menelan
stabilisasi
nyeri

Port deentree Ketidakseimbang


Gangguan an nutrisi kurang
mobilitas fisik dari kebutuhan

Resiko tinggi
infeksi

19
6. Komplikasi
Komplikasi yang paling serius dari spondilitis TB adalah Pott’s
paraplegia. Pada stadium awal spondilitis TB, munculnya Pott’s
paraplegia disebabkan oleh tekanan ekstradural pus maupun sequester
atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis dan jika Pott’s
paraplegia muncul pada stadium lanjut spondylitis TB maka itu
disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau
perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses
paravertebra torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema
tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka nanah akan turun
ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abcess.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Peningkatan laju endapan darah (LED) dan mungkin disertai
mikrobakterium
2) Uji mantoux positif
3) Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan
mikrobakterium
4) Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limpe regional
b. Pemeriksaan Radiologis
1) Foto thoraks untuk melihat adanya tuberculosis paru

20
2) Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis disertai
penyempitan diskus intervertebralis yang berada di korpus
tersebut
3) Pemeriksaan mieleografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala
penekanan sumsum tulang.

4) Foto CT Scan dapat memberikan gambaran tulangsecara lebih


detail dari lesi, skelerosisi, kolap diskus dan gangguan
sirkumferensi tulang
5) Pemeriksaan MRI mengevaluasi infeksi diskus intervetebra
dan osteomielitis tulang belakang dan adanya menunjukan
penekanan saraf.
8. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus
dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit
serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott adalah:
a. Pemberian obat antituberkulosis
b. Dekompresi medulla spinalis
c. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
d. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Penatalaksanaan pada pasien spondilitis TB terdiri atas:

21
a. Terapi konservatif berupa:
1) Tirah baring (bed rest)
2) Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi
gerak vertebra
3) Memperbaiki keadaan umum penderita
4) Pengobatan antituberkulosa
Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program P2TB paru
adalah:
a. Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-) / rontgen (+),
diberikan dalam 2 tahap:
Tahap 1:
Rifampisin 450 mg + Etambutol 750 mg + INH 300 mg +
Pirazinamid 1500 mg. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan
pertama (60 kali).
Tahap 2:
Rifampisin 450 mg + INH 600 mg. Diberikan 3 kali seminggu
(intermitten) selama 4 bulan (54 kali).
b. Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat
selama sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang
kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :
Tahap I
Streptomisin 750 mg + INH 300 mg + Rifampisin 450 mg +
Pirazinamid 1500mg + Etambutol 750 mg
Obat ini diberikan setiap hari. Untuk Streptomisin injeksi hanya 2
bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
Tahap 2
INH 600 mg + Rifampisin 450 mg + Etambutol 1250 mg. Obat ini
diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).

22
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum
penderita bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap,
gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran
radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.
1. Terapi operatif
Indikasi dilakukannya tindakan operasi adalah:
a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan
paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu
sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis
tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses
secara terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos,
mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan
adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan
utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan
operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu
bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan
kifosis.
a. Abses Dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh
karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian
tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
1) Debrideman fokal
2) Kosto-transveresektomi
3) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian
depan.
b. Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:

23
1) Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
2) Laminektomi
3) Kosto-transveresektomi
4) Operasi radikal
5) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
c. Kifosis
Operasi pada pasien kifosis dilakukan dengan 2 cara:
1) Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang
hebat, Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat
terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi
posterior atau melalui operasi radikal.
2) Operasi PSSW
Operasi PSSW adalah operasi fraktur tulang belakang
dan pengobatan tbc tulang belakang yang disebut total
treatment.
Metode ini mengobati tbc tulang belakang berdasarkan
masalah dan bukan hanya sebagai infeksi tbc yang dapat
dilakukan oleh semua dokter. Tujuannya, penyembuhan TBC
tulang belakang dengan tulang belakang yang stabil, tidak ada
rasa nyeri, tanpa deformitas yang menyolok dan dengan
kembalinya fungsi tulang belakang, penderita dapat kembali ke
dalam masyarakat, kembali pada pekerjaan dan keluarganya.

24
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Askep Osteoporosis

1. Pengkajian Keperawatan

a. Riwayat kesehatan
Anamnese memgang peranan penting pada evaluasi penderita
osteoporosis. Kadang-kdang keluhan utama mengarahkan ke
Diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis. Faktor
lain yang diperhatikan adalah umur, jenis kelamin, ras, status haid,
fraktur pada trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi
badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan
kalsium, fosfor dan vitamin D, latihan teratur dan bersifat weight
bearing.
Obata-obatan yang diminum jangka panjang harus diperhatikan,
seperti kortikosteroid, hormon tiroid, anti konvulsan, antasida yang
mengandung aluminium, sodium florida, dan bifosfonat etidronat,
alkohol dan merokok juga merupakan faktor resiko terjadinya
osteoporosis.
Penyakti lain yang harus ditanyakan juga berhubungan d engan
osteoporosis adalah penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrine dan
isufisiensi pankreas.
Riwayat haid, umur menarche dan menopause, penggunaan obat
kontrasepsi juga diperhatikan. Riwayat keluarga dengan osteoporosis
juga harus diperhatikan karena ada beberapa penyakti tulang
metabolik yang bersifat herediter.
b. Pengkajian psikososial
Gambaran klinik penderita dengan osteoporosis adalah wanita
post menopause dengan keluhan nyeri punggung yang merupakan

25
faktor predisposisi adanya multiple fraktur karena trauma. Perawat
perlu mengkaji konsep diri penderita terutama body image khususnya
kepada penderita kiposis berat.
Klien mungkin membatasi interaksi sosial sebab adanya
perubahan yang tampak atau keterbatas fisik, tidak mampu duduk di
kursi danlain-lain. Perubahan seksual bisa terjadi karena harga diri
rendah atau tidak nyaman selam posisi intercoitus.
Osteoporosis bisa menyebabkan fraktur berulang maka perlu
dikaji perasaan cemas dan takut bagi penderita.
c. Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olah
raga. Pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, makan, mandi
dan toilet. Olah raga dapat membentuk pribadi yang baik dan individu
akan merasa lebih baik. Selain itu mempertahankan tonus otot dan
gerakan sendi. Untuk usia lanjut perlu aktivitas yang adequat untuk
mempertahankan fungsi tubuh. Aktivitas tubuh memerlukan interaksi
yang kompleks antara saraf dan muskoloskletal. Beberapa perubahan
yang terjadi sehubungan denga nmenurunnya gerak persendian adalah
agifity (kemampuan gerak cepat dan lancar menurun), stamina
menurun, koordinasi menurun dan dexterity (kemampuan
memanipulasi keterampilan motorik halus menurun).
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem pernafasan
Terjadi perubahan pernafasan pada kasus kiposis berat, karena
penekanan pada fungsional paru.
b. Sistem kardiovaskuler
c. Sistem persyarafan
Nyeri punggung yang disertai pembatasan pergerakan spinal
yang disadari dan halus merupakan indikasi adanya fraktur satu atau
lebih fraktur kompresi vertebral.
d. Sistem perkemihan

26
e. Sistem Pencernaan
Pembatasan pergerakan dan deformitas spinal mungkin
menyebabkan konstipasi, abdominal distance.
f. Sistem musklooskletal
Inspeksi dan palpasi pada daerah columna vertebralis, penderita
dengan osteoporosis seirng menunjukkan kiposis atau gibbus
(dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan dan berat badan.
Adanya perubahan gayaberjalan, deformitas tulang, leg-length
inequality, nyeri spinal. Lokasi fraktur yang sering terjadi adalah
antara vertebrae thorakalis 8 dan lumbalis.
3. Manifestasi radiologi

a. Gejala radiologi yang khas adalah densitas atau massa tulang yang
menurun yang dapat dilihat pada vertebrae spinalis. Dinding depat
corpus vertebral bisanya merupakan lokalisasi yang paling berat.
Penipisan cortex dan hilangnya trabeculla transversal
merupakankelainan yang sering didapat. Lemahnya corpus vertebrae
menyebabkan penonjolan yang menggelembung dari nuklieus
pulposus ke dalam ruang intervertebralis dan menyebabkan deformitas
mbiconcave.
b. CT-Scan, dengan alat ini dapat diukur densitas tualgn secara
kunatitatif yang mempunyai nilai penting dalam dignostik dan follow
up terapi. Vertebral mineral di atas 110 mg/cm3 biasanya
tidakmenimbulkan fraktur vertebrae atau penonjolan, sedangkan
dibawah 65 mg/cm3 hampir semua penderita mengalami fraktur.
4. Pemeriksaan laboratorium
a. Kadar Ca., P dan alkali posfatase tidak menunjukkan kelainan yang
nyata.
b. Kadar HPT (pada post menopause kadar HPT meningkat) dan Ct
(terapi estrogen merangsang pembentukan Ct)
c. Kadar 1,25-(OH)2-D3 dan absorbsi CA menurun.

27
d. Ekskresi fosfat dan hydroksyproline terganggu sehingga meningkat
kadarnya.
5. Diagnosa dan Intervensi
a. Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program
terapi
b. Nyeri yang berhubungan dengan fraktur dan spasme otot
c. Konstipasi yang berhubungan dengan imobilitasi atau terjadinya ileus
(obstruksi usus)
d. Risiko terhadap cedera : fraktur, yang berhubungan dengan tulang
osteoporotik

Intervensi :
a. Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program
terapi
Tujuan : Memahami osteoporosis dan program tindakan.
Kriteria hasil : Mendapatkan pengetahuan mengenai oesteoporosis dan
program penanganannya.
Menyebutkan hubungan asupan kalsium dan latihan terhadap massa
tulang
Mengkonsumsi kalsium diet dalam jumlah yang mencukupi
Meningkatkan tingkat latihan.
Intervensi :
1) Ajarkan pada klien tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya osteoporosis
2) Anjurkan diet atau suplemen kalsium yang memadai.
3) Timbang Berat badan secara teratur dan modifikasi gaya hidup
seperti Pengurangan kafein, sigaret dan alkohol, hal ini dapat
membantu mempertahankan massa tulang.
4) Anjurkan Latihan aktivitas fisik yang mana merupakan kunci
utama untuk menumbuhkan tulang dengan kepadatan tinggi yang
tahan terhadap terjadinya oestoeporosis.

28
5) Anjurkan pada lansia untuk tetap membutuhkan kalsium, vitamin
D, sinar matahari dan latihan yang memadai untuk meminimalkan
efek oesteoporosis.
6) Berikan Pendidikan pasien mengenai efek samping penggunaan
obat. Karena nyeri lambung dan distensi abdomen merupakan
efek samping yang sering terjadi pada suplemen kalsium, maka
pasien sebaiknya meminum suplemen kalsium bersama makanan
untuk mengurangi terjadinya efek samping tersebut. Selain itu,
asupan cairan yang memadai dapat menurunkan risiko
pembentukan batu ginjal.
7) Bila diresepkan HRT, pasien harus diajar mengenai pentingnya
skrining berkala terhadap kanker payudara dan endometrium.
b. Nyeri yang berhubungan dengan fraktur dan spasme otot
Tujuan : Meredakan rasa nyeri
Kriteria hasil : Mendapatkan peredaan nyeri
·Mengalami redanya nyeri saat beristirahat
·Mengalami ketidaknyamanan minimal selama aktivitas kehidupan
sehari-hari.
Intervensi :
1) Peredaaan nyeri punggung dapat dilakukan dengan istirahat di
tempat tidur dengan posisi telentang atau miring ke samping
selama beberapa hari.
2) Kasur harus padat dan tidak lentur.
3) Fleksi lutut dapat meningkatkan rasa nyaman dengan merelaksasi
otot.
4) Kompres panas intermiten dan pijatan punggung memperbaiki
relaksasi otot.
5) Pasien diminta untuk menggerakkan batang tubuh sebagai satu
unit dan hindari gerakan memuntir.
6) Postur yang bagus dianjurkan dan mekanika tubuh harus
diajarkan. Ketika pasien dibantu turun dari tempat tidur,

29
c. Konstipasi yang berhubungan dengan imobilitasi atau terjadinya ileus
(obstruksi usus)
Tujuan: Memperbaiki pengosongan usus
Kriteria hasil: Menunjukkan pengosongan usus yang normal
·Bising usus aktif
·Gerakan usus teratur
Intervensi :
Konstipasi merupakan masalah yang berkaitan dengan imobilitas,
pengobatan dan lansia.
1) Berikan diet tinggi serat.
2) Tambahan cairan dan gunakan pelunak tinja sesuai ketentuan
dapat membantu atau meminimalkan konstipasi.
3) Pantau asupan pasien, bising usus dan aktivitas usus karena bila
terjadi kolaps vertebra pada T10-L2, maka pasien dapat
mengalami ileus.
d. Resiko terhadap cedera : fraktur, yang berhubungan dengan tulang
osteoporotik
Tujuan : Mencegah cidera
Kriteria hasil : Tidak mengalami fraktur baru
·Mempertahankan postur yang bagus
·Mempegunakan mekanika tubuh yang baik
·Mengkonsumsi diet seimbang tinggi kalsium dan vitamin D
·Rajin menjalankan latihan pembedahan berat badan (berjalan-jalan
setiap hari)
·Istirahat dengan berbaring beberapa kali sehari
Intervensi :
1) Anjurkan melakukan Aktivitas fisik secara teratur hal ini sangat
penting untuk memperkuat otot, mencegah atrofi dan
memperlambat demineralisasi tulang progresif.
2) Ajarkan Latihan isometrik, latihan ini dapat digunakan untuk
memperkuat otot batang tubuh.

30
3) Anjurkan untuk Berjalan, mekanika tubuh yang baik, dan postur
yang baik.
4) Hindari Membungkuk mendadak, melenggok dan mengangkat
beban lama.
5) Lakukan aktivitas pembebanan berat badan Sebaiknya dilakukan
di luar rumah di bawah sinar matahari, karena sangat diperlukan
untuk memperbaiki kemampuan tubuh menghasilkan vitamin D.

F. Askep Spondilitis TB
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan.
Pengkajian di lakukan dengan cermat untuk mengenal masalah klien,
agar dapat memeri arah kepada tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian
dalam tahap pengkajian. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan
yaitu: pengumpulan data, pengelompokan data, perumusan diagnose
keperawatan.(Lismidar, 1990)
a. Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan,
status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, alamat,
tanggal/jam MRS dan diagnosa medis
b. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri
pada punggung bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat
kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang
mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan meningkat pada
malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan
tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa
mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, keringat
dingin dan penurunan berat badan.

31
c. Riwayat penyakit dahulu
Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasanya pada
klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit
tuberkulosis paru. (R. Sjamsu hidajat, 1997)
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu
penyebab timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan
penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada
lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit menular tersebut.
e. Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita,
sehingga kan kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan
tentang penyakit, pengobatan dan perawatan terhadapnya maka
penderita akan merasa takut dan bertambah cemas sehingga
emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai penderita.
f. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan
mempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri,
yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar perjalanan
penyakitnya.Sehingga menimbulkan salah persepsi
dalampemeliharaankesehatan.Dan juga kemungkinan
terdapatnya riwayat tentang keadaan perumahan, gizidan
tingkat ekonomi klien yang mempengaruhi keadaan
kesehatan klien.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya
menjadi lemah dan amnesia. Sedangkan kebutuhan
metabolism tubuh semakin meningkat,sehingga klien akan
mengalamigangguan pada status nutrisinya.(Abdurahman, et al
1994)

32
3) Pola eliminasi
Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang
semula bisa ke kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada
punggung serta dengan adanya penata laksanaan perawatan
imobilisasi, sehingga kalau mau BAB dan BAK harus
ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya perubahan
tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses
aliminasi.
4) Pola aktivitas
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada
punggung serta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan
menyebabkan klien membatasi aktivitas fisik dan
berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisik
tersebut.
5) Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau
dampak hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam
pemenuhankebutuhan tidur dan istirahat.
6) Pola hubungan dan peran
Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami
perubahan peran atau tidak mampu menjalani peran sebagai
mana mestinya, baik itu peran dalam keluarga ataupun
masyarakat. Hal tersebut berdampak terganggunya hubungan
interpersonal.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu
terhadap bentuk tubuhnya dan kadang-kadang mengisolasi diri.
8) Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan
badan akan terganggu untuk sementara waktu, karena di rum

33
ah sakit. Tetapi dalam hal curahan kasih sayang dan perhatian
dari pasangan hidupnya melalui cara merawat sehari-hari tidak
terganggu atau dapat dilaksanakan.
9) Pola penaggulangan stress
Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti
penyakitnya, akan mengalami stres.Untuk mengatasi rasa
cemas yang menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya-tanya
tentang penyakitnya untuk mengurangi stres.
10) Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada klien yang dalam kehidupan sehari-hari selalu taat
menjalankan ibadah, maka semasa dia sakit iaakan
menjalankan ibadah pula sesuai dengan kemampuannya.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pada klien dengan Spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah,
pucat, dan pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis.
b. Palpasi
Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang
belakangterdapat adanya gibus pada area tulang yang
mengalamiinfeksi.
c. Perkusi
Pada tulang belakangyang mengalami infeksi terdapat nyeri
ketuk.
d. Auskultasi
Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak ditemukan
kelainan.(Abdurahman, et al 1994)
3. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien Spondilitis
tuberkulosa adalah:
a. Gangguan mobilitas fisik
b. Gangguan rasa nyaman; nyeri sendi dan otot
c. Perubahan konsep diri: Body image

34
d. Kurang pengetahuan tentang perawatan di rumah

Intervensi:

a. Gangguan mobilitas fisik


Tujuan: klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal
Kriteria hasil:
1) Klien dapat ikut serta dalam program latihan
2) Mencaribantuan sesuai kebutuhan
3) Mempertahankan koordinasidan mobilitas sesuai tingkat
optimal.
Rencanatindakan:
1) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap
peningkatan kerusakan.
2) Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai
toleransi.
3) Mempertahankanpostur tubuh yang baik dan latihan
pernapasan
b. Gangguan rasa nyaman; nyeri sendi dan otot
Tujuan:
1) Rasa nyaman terpenuhi
2) Nyeri berkurang/hilang
Kriteria hasil:
1) Klien melaporkan penurunan nyeri
2) Menunjukkan perilaku yang lebih relaks
3) Memperagakan keterampilan reduksi nyeri yang
dipelajari dengan peningkatan keberhasilan.
Rencana tindakan:
1) Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri; observasi terhadap
kemajuan nyeri ke daerah yang baru.
2) Berikan analgesik sesuai terapi dokter dan kaji
efektivitasnya terhadap nyeri.

35
3) Gunakan brace punggung atau korset bila di rencanakan
demikian.
4) Berikan dorongan untuk mengubah posisi ringan dan
sering untuk meningkatkan rasa nyaman
c. Gangguan citra tubuh sehubungan dengan gangguan struktur
tubuh.
Tujuan: Klien dapa mengekspresikan perasaannya dan dapat
menggunakan koping yang adaptif.
Kriteriahasil: Klien dapat mengungkapkan perasaan/perhatian
dan menggunakan keterampilan koping yang positif dalam
mengatasi perubahan citra.
Rencana tindakan:
1) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan
perasaan. Perawat harus mendengarkan dengan penuh
perhatian.
2) Bersama-sama klien mencari alternative koping yang
positif.
3) Kembangkan komunikasidan bina hubungan antara klien
keluarga dan teman serta berikan aktivitas rekreasi dan
permainan guna mengatasi perubahan body image.
d. Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi
tentang penatalaksanaan perawatan di rumah.
Tujuan: Klien dan keluarga dapat memahami cara perawatan di
rumah.
Kriteria hasil:
1) Klien dapat memperagakan pemasangan dan perawatan
brace atau korset.
2) Mengekspresikan pengertian tentang jadwal pengobatan
3) Klien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit,
rencana pengobatan, dan gejala kemajuan penyakit.
Rencana tindakan:

36
1) Diskusikan tentang pengobatan
2) Peragakan pemasangan dan perawatan brace atau
korset
3) Tekankanpentingnya lingkungan yang aman untuk
mencegah fraktur

37
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang


total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal,
kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang,
pengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang secara progresif
menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur
dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal.
Adapun klasifikasi osteoporosis yaitu : Osteoporosis Primer,
Osteoporosis Sinilis, Osteoporosis Skunder, dan Osteoporosis Idiopatik.
2. Etiologi dari osteoporosis adalah umur, jenis kelamin, gaya hidup,
keturunan penderita osteoporosis, ras/suku. Manifestasi berupa nyeri
mendadak serta perubahan bentuk tubuh (memendek). Apabila tidak
ditangani dapat berdampak buruk berupa terjadinya fraktur tulang.
Penangan/pencegahan adalah dilakukannya terapi pemberian kalsium dan
vitamin D serta hormon estrogen.
3. Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycobacterium
tuberculosa yang mengenai tulang vertebra. Spondilitis TB disebut
juga penyakit Pott bila disertai paraplegi atau defisit neurologis.
4. Manifestasi badan lemah dan lesu, nafsu makan dan berat badan yang
menurun, suhu tubuh meningkat terutama pada malam hari, dan sakit
pada daerah punggung, serta perubahan bentuk tubuh (kifosis).
Penanganan dapat dilakukan dengan pemberian obat dan dilakukan
pembedahan.

38
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, kelompok memberikan beberapa saran
bagi perawat dalam memberikan pelayanan yang professional untuk pasien
osteoporosis dan spondilitis TB sebagai berikut.

1. Ada pengkajian perawat perlu melakukan pengkajian dengan teliti


melihat kondisi klien serta senantiasa mengembangkan teknik terapeutik
dalam berkomunikasi dengan klien.
2. Agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap profesional
dalam menetapkan diagnosa keperawatan.

39
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Kowalak, Welsh & Mayer. 2014. Buku Ajar Patofiologi. Jakarta: EGC
Lane, Nancy E. 2001. Lebih Lengkap Tentang: Osteoporosis. Jakarta: Fajar
Interpratama Offset.
Mulyaningsih, F. 2008. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Osteoporosis.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,Edisi
8.Jakarta : EGC.
Tandra, H. 2009. Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang
Osteoporosis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Waluyo, Srikandi. 2009. 100 Question & Answers Osteoporosis. Jakarta : PT.
Elex
Wilkinson, Judith M. 2015. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: diagnosis
NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta: EGC.

40

Anda mungkin juga menyukai