Anda di halaman 1dari 13

CRANIOFACIALIS DYSOSTOSIS

PENDAHULUAN
Craniofacial Dysostosis adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kelompok pasien yang disertai dengan kelainan craniofacial yang
kompleks. Craniofacial Dysostosis pertama kali ditemukan oleh O. Crouzon pada
tahun 1912 merupakan suatu kelainan yang terjadi sejak lahir atau selama masa
kanak-kanak. kelainan ini ditandai dengan kelainan bentuk pada wajah dan tengkorak
(craniofacial), Craniofacial Dysostosis muncul kira-kira 1 diantara 25.000 jumlah
kelahiran yang ada. 25% kasus dilaporkan diturunkan dan satu keluarga sedang yang
lain merupakan mutasi baru yang terjadi secara acak dan sporadik. Kelainan yang
terjadi umumnya didapatkan pada tengkorak, wajah (telinga, mata, hidung, dan
mulut), dan kelainan ini seperti kelainan neurologist dan muskuloskletal. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda yang didapatkan serta pengujian molekuler
untuk mengidentifikasi mutasi gen dari FGFR2 ditambah dengan pemeriksaan CT
scan, dan MRI. Pengobatan Craniofacial Dysostosis diarahkan pada tanda yang
muncul dari satu individu yang memerlukan suatu koordinasi yang baik dari berbagai
ahli medis.(1,2,3,4)

DEFENISI
Craniofacial Dysostosis atau Crouzon syndrom adalah kelainan
kongenital herediter yang jarang ditemukan dan diatandai dengan penutupan sutura
cranial lebih dini (premature cranial synostosis) ; dimana hampir menyerupai tipe
lain dari prematur cranial synostosis seperti Apert syndrome dan simple cranial
synostosis.(5)
SINONIM(6)
Nama lain dari craniofacial Dysostosis yang sering orang gunakan adalah :
1. Craniofacial dysarthrosis
2. Craniofacial Dysostosis
3. Craniofacial dysostosis syndrome
4. Craniofacial dysostosis, type 1; CFD1
5. Crouzon craniofacial dysostosis
6. Crouzon's Disease
7. Crouzons Disease

INSIDEN
Insiden crouzon syndrome secara internasional sangat rendah, dan bahkan
jarang terlihat di seluruh dunia. Di USA prevalensinya 1 kasus per 60.000 (kira-kira
16,5 kasus setiap 1 juta populasi pada kelahiran hidup). Crouzon sindrom terdapat
sekitar 4,8% dari semua kasus craniosynostosis. Ras dan jenis keiamin tidak
berpengaruh terhadap sindrom ini. Crouzon sindrom dideteksi pada bayi baru lahir
atau pada masa kanak-kanak karena gambaran dismorfik. Obstruksi jalan nafas dapat
mengakibatkan gangguan pernafasan akut. Atrofi optic dan peningkatan intracranial
dapat pula terjadi. Tekanan intracranial yang tinggi disebabkan oleh disproporsi
antara craniostenosis dan perkembangan otak yang dapat menyebabkan kematian.(7,8)
ANATOMI
Cranium terdiri atas serangkaian tulang-tulang yang saling berhubungan,
sebagian besar membentuk synarthrosis dan hanya mandibula yang membentuk
persendian dengan tulang temporal berbentuk dtarthrosis (=articulatio
temporomandibularis). Cranium pada umumnya dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Neurocranium
2. Viscerocranium (-splanchnocranium)
Neurocranium membentuk cavitas cranii, dan tulang-tulang yang
membentuknya adalah os frontale, os ethmoidale, os sphenoidale, os occipitale, os
temporale dan os parietale. Viscerocranium membentuk wajah, dibentuk o!eh
sebagian dari os frontale, os nasale, os lacrimale, os zygomaticum, os maxilla dan
mandibula.
Superior cranium berbentuk oval dengan bagian posterior yang lebih besar.
Diantara keempat buah tuiang tersebut terdapat sutura yakni sutura coronaria yang
menghubungkan tulang frontale dan parietale, sutura sagitalis yang menghubungkan
parietal kiri dan kanan, dan sutura tambdoidea yang menghubungkan parietale dan
occipitale. Pertemuan antara sutura coronaria dan sutura sagitalis membentuk bregma
yang pada bayi terbuka disebut fontanel anterior dan menutup pada usia 2 tahun.
Pertemuan antara sutura sagitalis dengan sutura lambdoidea disebut lambda (diraba
sebagai suatu cekungan) yang pada masa kehidupan foetal masih terbuka disebut
fontanel posterior dan segera menutup segera sebelum bayi lahir.
Bagian anterior dari cranium membentuk dahi (=forehead), orbita, tonjolan
pipi, hidung, rahang atas dan rahang bawah. Sedangkan bagian lateral is cranium
dibentuk oleh sebagian tulang temporaie.(9)

Gambar 1.struktur tulang yang membentuk superior cranium dan sutura


(Dikutip dari kepustakaan 4)
ETIOLOGI

Pada beberapa individu, crouzon sindrom diturunkan sebagai suatu autosomal


dominan dengan beberapa ekspresi. Sifat pembawaan manusia termasuk penyakit
genetik, merupakan hasil interaksi dari dua gen, salah satunya berasal dari ayah dan
satunya dari ibu, dalam penyakit dominan, suatu turunan tunggal dari gen penyakit
(yang diterima baik dari gen ayah atau ibu) akan memperlihatkan dominasi gen
normal yang lain dan mengakibatkan penyakit tersebut tampak. Resiko transmisi
penyakit dari orang tua ke keturunannya berpengaruh 50% untuk setiap kehamilan
dengan mengabaikan jenis kelamin dari anak tersebut. Resikonya sama untuk setiap
kehamilan individu lain yang mengidap crouzon sindrom yang mungkin tidak
mempunyai riwayat keluarga. Kasus seperti ini dapat dipikirkan akibat dari
perubahan mutasi gen baru yang muncul secara sporadik. Menurut laporan dari
literatur medis kasus sporadik mungkin dihubungkan dengan meningkatnya umur
ayah. Pada kebanyakan kasus, individu dengan mutasi gen untuk crouzon sindrom
akan menampakkan tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan penyakit. Pada
beberapa keluarga dan kasus sporadik, menunjukkan bahwa crouzon sindrom
disebabkan oleh mutasi tertentu pada gen fibroblast growth factor receptor-2
(FGFR2) Gen diperlihatkan pada lengan panjang (q) kromosom 10 (10q26).
Kromosom ditemukan di dalam nucleus dari semua badan sel. Kromosom ini
msmbawa karakteristik genetik dari setiap individu. Sepasang kromosom manusia
dinomori X dan Y untuk laki-iaki dan dua kromosom X untuk perempuan. Setiap
kromosom mempunyai lengan pendek yang ditunjukkan dengan "P" dan lengan
panjang diidentifikasi dengan huruf "q". Kromosom kemudian dibagi lagi menjadi
bagian-bagian yang dinomori. Sebagai contoh, "10q26': menunjukkan ke pita 26 pada
lengan panjang dari kromosom 10. Gen FGFR mengatur produksi dari protein yang
dikenal sebagai fibroblast growth factor receptor. Mutasi genetik tersebut yang
mengganggu fungsi dari setiap protein yang menyebabkan kelainan dari pertumbuhan
tulang dan perkembangannya, yang akhirnya mendorong ke arah malformasi tertentu
dari area craniofacial. Bukti menunjukkan bahwa perbedaan mutasi dalam gen FGFR2
dapat menyebabkan sejumlah penyakit yang saling berhubungan, termasuk beberapa
kasus dari Apert's sindrom. Menurut beberapa laporan, mutasi FGFR2 tertentu dapat
mengakibatkan crouzon sindrom pada beberapa keluarga, sedangkan mutasi yang
sama menyebabkan Pleiffer sindrom pada keluarga lain.(10)

Gambar.2 sitogenik lokasi pada Crouzon sindrom: 10q25.3-q26


(Dikutip dari kepustakaan 10)

PATOGENESIS
Displasia tulang rangka (termasuk craniofacial dysostosis) disebabkan oleh
malformasi dari mesenkim dan ectoderm. Faktor teratogenik yang tidak diketahui
dapat juga dilibatkan. Displasia diwariskan secara autosom dominant. Displasia
disebabkan oleh mutasi gen FGFR2 yang dapat menjadi penyebab dari crouzon
sindrom. Synostosis dim dari sutura coronal, sagiatal, dan kadang-kadang lambdoidea
muncul pada tahun pertama kelahiran dan lengkap pada usia 2-3 tahun. Menutupnya
sutura dengan cepat dapat menunjukkan derajat deformitas dan kecacatan. Sekali
sutura tersebut bergabung. perkembangan perpendicular kearah sutura tersebut
menjadi terbatas dan penyatuan tulang-tulang tersebut seolah-olah teriihat seperti
struktur tulang yang tunggal. Kompensasi perkembangan muncul pada bekas sutura
yang terbuka untuk memenuhi perkembangan otak selanjutnya. Sutura synostosis
yang multiple seringkali memperluas penyatuan dini dari sutura tengkorak, ini
menyebabkan hipoplasia midfacial, kantong mata dangkal, hipoplasia maksilla dan
kadang-kadang terjadi obstruksi jalan nafas bagian atas.(11,12)

GAMBARAN KLINIS
1. Tengkorak
 Craniosynostosis
 Brachycephaly (diameter A-P yang pendek)
 Ubun-ubun cekung
 Tulang frontal menonjol
2. Wajah
 Muka rata dengan hipoplasia dari maksilla
 Prognatism dari mandibula
a. Telinga
 Hilang pendengaran akibat atresia dari meatus akustikus
b. Mata
 Celah palpebra melebar
 Eksolftalmus
 Ptosis
 Keratitis exposure
 Tajam penglihatan menurun
 Hipertelorisme
 Nigtasmus dan strabismus
c. Hidung
 Bunyi sengau akibat dan deviasi septum nasi
 Atresia dan stenosis dari choana
 Penekanan bagian hidung
d. Mulut
 Langit-langit mulut yang sempit
 Bibir atas yang pendek
 Prognatism mandibula
 Kadang-kadang oligodontia, makrodontia, jarak antara gigi lebar.
3. Fitur kerangka lain
 Cervical fusion (18%), C2-C3, C3-C4, dan C5-C6 4
 Blok fusions melibatkan beberapa vertebra
 Subluksasi dari radial kepala
 Ankylosis dari siku
4. Kulit:
Sekitar 5% pasien memiliki acanthosis nigricans, yang terdeteksi
setelah masa kanak-kanak. Ciri khas dari lesi ini adalah kulit yang gelap
dengan aksen menebal tanda-tanda dan beludru merasa.
5. SSP
 Sekitar 73% dari pasien mengalami herniasi tonsillar kronis (47%
memiliki progresif hidrosefalus).
 Syringomyelia mungkin hadir.
6. Pasca kelahiran Crouzon subtipe dari sindrom (pada pasien berisiko, seperti
anggota keluarga pasien dengan sindrom Crouzon, atau mereka dengan
beberapa derajat exorbitism pada saat lahir) dari lahir sampai setidaknya umur
3 tahun 5
 Pengembangan tayangan digital dan / atau pengerasan dari sutura dimulai
dari daerah oksipital tengkorak
 Pengembangan terkemuka bregma
 Pengembangan "spontan" hipertensi intrakranial
 Progresif karakteristik fitur crouzonoid seperti progresif exorbitism. (11)
Gambar.3 Anak dengan sindrom Crouzon midfacial hypoplasia, proptosis sekunder
dangkal orbit, dan mata hypertelorism.
(Dikutip dari kepustakaan 11)

DIAGNOSIS
Craniofacial dysostosis pada umumnya didiagnosa pada kelahiran atau pada
masa kanak-kanak berdasarkan suatu penemuan klinik yang seksama atau dengan
suatu tes khusus misalnya pengujian molekuler untuk mengidentifikasi mutasi gen
dari FGFR2 dan juga pemeriksaan tambahan yaitu dengan X-RAY dan CT-Scan
(Computed Tomografi) atau dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging).(13)

Gambar. 4 : Foto X-ray pasien Crouzon syndrome, abnormal bentuk kepala,


dengan prematur fusi dari sutura sagital hipoplastik dan rahang atas, yang sangat
tidak sepadan dengan normal mandibula.
(Dikutip dari kepustakaan 13)
Gambar. 5 :Tiga dimensi CT scan menunjukkan brachycephaly. Diameter AP
memendek, dengan sutura coronal menyatu dan sutura lambdoid terbuka
(Dikutip dari kepustakaan 13)
Pemeriksaan-pemeriksaan lain :
 Pemeriksaan Ophthalmologic dengan ophthalmoscopy
 Pemeriksaan Laryngologic dengan audiography
 Pemeriksaan umum dengan ECG
 Pemeriksaan Psychiatric dan tes psikologi.
 Pemeriksaan Stomatologic
 EEG tegangan rendah, menurunkan rsiko convulsif
 Tes Genetic. (14)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari Craniofacial dysostosis memerlukan usaha yang
terkoordinasi dengan baik dari berbagai ahli medis antara lain ahli bedah, ahli mata,
ahli anak, ahli THT, ahli saraf dan ahli lainnya yang berhubungan dengan kelainan
yang terjadi pada Craniofacial Dysostosis.(14)
Perawatan bedah:
Langkah pertama penanganan pada pasien crouzon sindrom meliputi
penanganan terhadap craniosynostosis dengan pembentukan kembali dari penonjolan
fronto orbita secara keseluruhan. Prosedur ini biasanya dilakukan pada usia 4-6 bulan
dan efektif dengan peningkatan ruang htrakranial dan pembesaran bola mata. Ini
bukan merupakan hal yang luar biasa diperlukan suatu ventricuio-peritoneal shunt
untuk penanganan seperti hidrosefalus. Kadang-kadang pengulangan craniotomy
dibutuhkan pada masa kanak-kanak untuk pembentukan kembaii lebih lanjut rongga
calvarial dan perluasan orbita. Langkah kedua rekonstruksi adalah melakukan
peluasan "midface" pada umur 4-6 tahun. Tipe perluasan ini dapat dikerjakan dengan
osteotomi Le Fort III atau osteotomi monoblok (seluruh wajah dan dahi). Posisi dari
dahi dan alis menentukan prosedur mana yang menjadi alternatif terbaik. Jika perlu,
osteotomi monoblok dapat dibuka lagi pada garis tengah untuk koreksi hipertelorisme
orbita (kedua sisi wajah). Langkah terakhir dari rekonstruksi adalah penanganan pada
maloklusi gigi kelas III. Osteotomi Le Fort 1 digunakan untuk mengoreksi
ketidaksesuaian gigi yang dikombinasikan dengan intervensi ortodontik. Ini biasanya
dilakukan setetah perkembangan wajah lengkap dan mungkin dikombinasikan dengan
genioplasti (reduksi atau perluasan dagu). Prosedur tambahan seperti rhinoplasti
mungkin diperlukan.(1,5)

Gambar.6 : Tampak depan dan samping sebelum dan sesudah operasi


osteotomi Le Fort III pasien dengan Crouzon’s syndrome berusia 3 tahun
(Dikutip dari kepustakaan 15)
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS (14)
 Apert syndrome/acrocephalosyndactylia
 Franceschetti-Zwahlen syndrome
 Marie-Sainton syndrome
 Greig syndrome

KOMPLIKASI (1.5)
 Infeksi luka, osteomielitis pada tulang frontal, abses ekstradural dan abses
periorbital.
 Peningkatan tekanan intracranial dan hidrosefalus setelah operasi
 Bocornya cairan serebrospinalis (CSS)
 Gangeuan pemafasan dan obstruksi jalan nafas
 Facial nerve palsy, buta, diplopia dan valopharingeal incompetence.

PROGNOSIS (1)
Prognosis tergantung dari beratnya malformasi:
 Craniosynostosis dapat menyebabkan kompresi otak dan retardasi mental
pada individu kecuali jika dibebaskan dengan craniotomy dini.
 Inovasi pada perawatan craniofacial telah memungkinkan pasien untuk
mencapai potensi mereka dengan memaksimalkan perkembangan intelektual,
kemampuan fisik dan penerimaan sosial.
DAFTAR PUSTAKA

1. A. Craig Kolk V. MD. FACS, Syndromic Chraniosynostosis : Craniofacial


Dysostosis in Plastic Surgery. Volume two. A. Harcouni Health Sciences
Company, Philadelphia. P.707-17.
2. Katzen JT, Jarrahy R.. [Online] march 27 2010. [3 sreens]. Available from:
URL:http//www.google.com
3. Ananymous. Crouzon Syndrome [Online]. 2010. [Cited 2010 February 19]: [ 3
screens]. Available from: URL:http//www.wikipedia.com
4. Ananymous. Craniofacial/skull condition. [Online]. 2010. [Cited 2010 March
15]: [4 screens]. Available from: URL:http//www.medical.com
5. C. Grabb W. MD. W. Smith J.MD. Crouzon syndrome in Plastic Surgey, Edisi
III. Little Brown company, Boston 1973. h.119-220
6. Ananymous. Crouzon Syndrome. [Online]. 2010. [Cited 2010 March]: [2
screens]. Available from: URL:http//www.google.com
7. Malusiak Lukas. Crouzon Syndrome. [Online]. 2010. [Cited 2008 July 2]: [2
screens]. Available from: URL:http//www. emedicine.com
8. Ananymous. Craniofacialis. [Online]. 2010. [Cited 2008 February]: [2 screens].
Available from: URL:http//www.Craniofacialis.net.com
9. Mathiasen R.. Crouzon Syndrome. [Online]. 2010: [3 screens]. Available from:
URL:http//www. emedicine.com
10. Luhulima. Anatomy Systema Musculoskeletal. Jilid I. Bagian Anatomi Fakultas
Kedokteran UNHAS. 2004. p: 23-41.
11. Ananymous. Crouzon Syndrome. [Online]. 2010. [Cited 2008 February]: [8
screens]. Available from: URL:http//www.Genetic home references.com
12. Harrold Chen.. Crouzon Syndrome. [Online]. 2010: [Cited 2009 Sepember 10]:
[12 screens]. Available from: URL:http//www. emedicine.com
13. Majid A khan. Craniosynostosis. [Online]. 2010: [Cited 2010 January 21]: [9
screens]. Available from: URL:http//www. emedicine.com
14. Matusiak Lukas. Crouzon Syndrome. [Online]. 2010: [Cited 2008 July 2]: [7
screens]. Available from: URL:http//www. emedicine.com
15. Ananymous. Crouzon Syndrome. [Online]. 2010. [Cited 2008 February]: [3
screens]. Available from: URL:http//www.Medic8.com

Anda mungkin juga menyukai