PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
BAB II
PEMBAHASAN
1 Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Kairo : Dar al-Hadith, 2003), jld. VII, hlm.
434. Fayruzabadi, Qamus al-Muhit, (Kairo : Hay‟at alMisriyyah, 1301 H), jld. I,
hlm. 365.
2 Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Singapura : al-Haramayn, t.th.), hlm. 171.
3 Ali Ahmad al-Nadwi, Al-qawa’id al-fiqhiyyah : Mafhumuha,
Nash’atuha, Tatawwuruha, Dirasatu Mu-allafatiha, Adallatuha, Muhimmatuha,
Tatbiqatuha, (Damaskus : Dar al-Qalam, 1412H/1991M), hlm. 23.
2
ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara yang bersifat amaliyah
yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Kaidah
berbeda-beda sesuai ilmu yang membentuknya, misalnya kaidah
kebahasaan seperti nahw dan saraf. Dalam hal ini, Abd al-Karim
Zaydan mengutip definisi Ibn Nujaym berikut untuk menjelaskan
hakikat qaidah fiqhiyah : “Dalam terminologi fuqaha, qaidah
fiqhiyah adalah ketentuan umum yang mencakup seluruh atau
kebanyakan partikular di bawahnya sehingga hukum diketahui
darinya”.4 Kaidah fikih adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat
kemashalatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara
mensikapi kedua hal tersebut.5
Menurut Bani Ahmad Salbani kaidah fikih adalah pedoman
umum dan universal bagi pelaksanaan hukum Islam yang mencakup
seluruh bagiannya. Qawaid Fiqhiyah adalah sebagaimana yang telah
dikutip oleh Asymuni A. Rahman dari Tajjudin as-Subki, yaitu suatu
perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang banyak dari
padanya diketahui hukum-hukum juziyat.6 Menurut Musthafa al-
Zarqa yang dikutip oleh Abd. Rahman Dahlan, Qowaid Fiqhyah ialah
dasar-dasar fikih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk
undang- undangyang berisi hukum-hukum syara yang umum
terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang
lingkup kaidah tersebut.7
3
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa
Qawaid fiqhiyah adalah ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum)
yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang
banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Ilmu Qawaid al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu
ilmu yang sangat dibutuhkan bagi setiap orang yang berkecimpung
dalam dunia Islam terutama bagi penentu kebijakan-kebijakan hukum
apalagi yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama
sekali apa itu Qawaid al-Fiqhiyah. Dengan menguasai kaidah-kaidah
fikih akan mengetahui benang merah yang terdapat di berjuta masalah
fiqh melalui istimbath hukum, karena kaidah fikih itu memang
menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih. Penguasaan
terhadapnya juga menjadikan kita lebih arif di dalam menentukan dan
menerapkan fikih dalam keadaan, waktu dan tempat yang berbeda
untuk kasus, adat kebiasaan dan berbagai masalah yang muncul.
Selain itu juga Qawaid al-Fiqhiyah akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan
lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat agar tercapai tujuan
dibentuknya al-Syari‟ah yaitu kemaslahatan umat.8
Qawaid al-Fiqhiyah juga bisa dijadikan landasan aktifitas
umat Islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud
ajaran Islam Maqashid al-Syari’ah secara lebih menyeluruh,
keberadaan Qawa’id al-Fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat
4
penting, termasuk dalam kehidupan berekonomi, bersosial, beragama
dan berbudaya. Baik di mata para ahli usul maupun fuqaha,
pemahaman terhadap Qawa’id al-Fiqhiyyah adalah mutlak
diperlukan untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaharuan
pemikiran dalam berbagai masalah.
Manfaat keberadaan Qawa’id al-Fiqhiyyah adalah untuk
menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari nash
asalnya yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits. Kemunculan Qawaid al-
Fiqhiyah sudah ada sejak kemunculan agama Islam hingga
bermulanya zaman imam-imam mujtahid yaitu hingga akhir kurun
abad ketiga dan inilah yang disebut dengan fase pembentukan.
Walaupun pada masa ini mereka tidak menamakannya sebagai kaidah
namun telah dapat dilihat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
ulama terhadap beberapa ayat Al-Qur’an. Dimana masa pertumbuhan
dan pembentukan Qawaid alFiqhiyah berlangsung selama tiga abad
lebih dimuali dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 Hijriah.
Benih-benih kaidah fikih pada melalui nash-nash Al-Qur’an
yang terkandung didalamnya asas dan dasar ilmu kaidah fikih.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menjadi petunjuk kepada ilmu ini,
diantaranya ayat 29 Surah al-Nisa' dan ayat 38 Surah al-Syura. Dasar
ilmu kaidah fikih juga dapat dipahami melalui ucapan Nabi Saw yang
bersifat “Jawami‘ al-Kalim” yaitu ucapan beliau yang ringkas, padat
dan mempunyai makna yang dalam. Di samping itu juga, ia menjadi
dasar kepada kaidah pokok “Qawaid al-Kulliyah‟ yang terangkum di
dalamnya hukum untuk berbagai perkara dan macam-macam masalah
furu’.
5
Para sahabat juga berjasa dalam ilmu kaidah fikih, mereka
turut serta dalam pembentukan kaidah fikih. Para sahabat dapat
membentuk kaidah fikih karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah
murid Rasulullah Saw dan mereka mengetahui situasi dan kondisi
turunnya wahyu. Setelah fase sahabat munculah zaman Tabi’in dan
Tabi tabi’in, diantara ulama yang mengembangkan kaidah fikih pada
generasi tabi’in yakni Abu Yusuf Ya‟kub ibn Ibrahim Karyanya yang
terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun salah satunya
adalah : ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris
diserahkan ke Bait al-Mal” Kaidah tersebut berkenaan dengan
pembagian harta pusaka Bait al-Mal sebagai salah satu lembaga
ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan tirkah atau
mauruts‟, apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Al-Nadwi menyatakan dalam bukunya al-Qawaid al
Fiqhiyyah, ulama fikih pertama yang mencetuskan fenomena ini ialah
Abu Yusuf serta beberapa ulama yang sezaman dengannya seperti
Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan lain-lain. Awal mula Qawaid al-
Fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada
abad ke 4 H. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai tampak
dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fikih mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-
kotaknya fikih dalam madzhab.9 Ketika hukum furu’ dan fatwa para
ulama semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya
persoalan, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan
6
dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama
tersebut dari kesemerawutan. Mustafa Syalaby menukilkan bahwa
penyusunan kaidah fikih yang pertama telah dirintis oleh Abu Tahir
al-Dabbas melalui risalahnya yang berjudul Ta’sis alNazar, Abu
Hasan al-Karkhi dalam bukunya yang berjudul Ushul al-Karkhi,
Imam al Khusyni dengan karyanya Ushul al-Fataya, Abi Laits al-
Samarqandi dengan karyanya Ta’sis al-Nadhri. 10
Pada abad ke-7 H Qawaid al-Fiqhiyah mengalami
perkembangan yang sangat signifikan. Di antara ulama yang menulis
kitab Qawaid pada abad ini adalah Muhammad bin Ibrahim al-Jurjani
al-Sahlaki dengan judul al-Qawaid fi Furu’i al- Syafi’iyah, al-Imam
Izzudin Abd al-Salam menulis kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih
al-Anam, Muhammad bin Abdullah bin Rasyid al-Bakri al-Qafshi
menulis alMadzhab fi Qawaid al-Madzhab. Pada abad ke-8 H,
Qawaid al-Fiqhiyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan
banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah.
Perkembangan ini terbatas hanya pada penyempurnaan hasil
karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama
Syafi‟iyah. Abad ke-10 H dianggap sebagai periode kesempurnaan
kaidah fikih, yaitu pada zaman Imam al-Suyuti. Dalam kurun waktu
ini, kaidah fikih telah berada dalam keadaan yang kukuh dan teguh.11
Meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan
kaidah fikih pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang
7
disempurnakan di abad ke-13 H adalah “Seseorang tidak dibolehkan
mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya” Kaidah
tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi
idzn. Oleh karena itu kaidah fikih tersebut adalah “Seseorang tidak
diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin‟. Faktor-faktor
pendorong timbulnya Qawaid alFiqhiyyah, dapat diambil dari
pernyataan Muhamma al-Zarqa’ dalam kitabnya Syarh al-Qawa’id
al-Fiqhiyyah.
Seandainya tidak ada Qawa’id al-Fiqhiyyah, tentu hukum-
hukum fikih akan menjadi hukum furu’ yang berserakan dan kadang-
kadang lahiriyahnya tampak saling bertentangan, tanpa ada ushul
“Kaidah‟ yang dapat mengokohkannya dalam pikiran, menampakkan
‘illat-’illatnya, menentukan arah-arah pembentukannya, dan
membentangkan jalan pengqiyasan dan penjenisan padanya‟.12
Dapat ditarik juga dari pernyataan Imam al-Qarafi dalam
kitabnya al-Furuq “Siapa yang berhujjah dengan hanya menghapal
juz’iyyah saja, maka hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan
menghabiskan umurnya tanpa dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya,
siapa yang memperdalam fikih melalui kaidah-kaidah fikih tidak
harus menghapalkan berbagai macam cabang fikih, karena telah
tercakup oleh kulliyyah‟.13
8
B. Kaidah Pokok Qawaid Fiqiyah
9
membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan
adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh: Kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang
namanya niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat
berarti kita tidak pernah sholat. Begitu juga dengan yang lainnya,
seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya
niat. Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang
berbunyi:
اب ٱل ُّد ۡنيَا نُ ۡؤتِ ِهۦ ۗ ٗ ٱَّللِ ِك َٰتَبٗ ا ُّمؤَ ج
َ اٗل َو َمن ي ُِر ۡد ثَ َو س أَن تَ ُموتَ إِ اَّل بِإ ِ ۡذ ِن اٍ َو َما َكانَ لِن َۡف
٥٤١ َٱأل ِخ َر ِة نُ ۡؤتِِۦه ِم ۡنهَ ۚا َو َسن َۡج ِزي ٱل َٰ اش ِك ِرين ٓ ۡ اب
َ ِم ۡنهَا َو َمن ي ُِر ۡد ثَ َو
َ َ “ فَا َ ْخطَأsuatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak
ضر
10
disyaratkan secara terperinci, karena apabila disebut secara terprinci
dan ternyata salah, kesalahannya itu dapat membahayakan.”
4. Kaidah ُّام َوَّلَ تَ ُع ُّم ْالخاص
ِ فى ْاليَ ِمي ِْن تُخَ صِّصُ اللا ْفظَ ْال َع
ِ ُ“ النِّبَةniat dalam
sumpah mengkhususkan lafadz umum dan tidak pula menjadikan
umum pada lafadz yang khusus.”
5. Kaidah اضى ِ َاح ٍد َوه َُو ْاليَ ِميْنُ ِع ْن َد ْالق ِ َْمقَاصُ اللا ْف ِظ َعلَى نِيَ ِة ااَّلفِ ِظ اِ اَّل فِى َمو
ِ ض ٍع َو
ِ َفَاِناهَا َعلَى نِيَ ِة ْالق
اضى
“maksud dari suatu lafadz adalah menerut niat orang yang
mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat, yang dalam sumpah
dihadapan hakim. Dalam keadaan demikian, maksud lafadz menurut
niat hakim.”
6. Kaidah اظ َو ْال َم َعانِى
ِ َاص ُد َو ْال َم َعانِى ََّل لِ ْْلَ ْلف
ِ َ“ ْال ِعبَ َرةُ فِى ْال ُعقُوْ ِد ْال َمقyang
dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafadz atau
bentuk perkataan.”15
11
sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan
kesukaran.16
Contoh: Apabila kita melakukan perjalanan yang mana
perjalanan tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya
mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena
apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak
akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena
seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu
untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan
yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu
sholat tersebut.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an
yang berbunyi:
٨٢ ض ِع ٗيفا ِۡ ق
َ ٱۡلن َٰ َس ُن َ ِٱَّللُ أَن يُ َخفِّفَ عَن ُكمۡۚ َو ُخل
ي ُِري ُد ا
12
َ اوزَ َح ُّدهُ إ ْن َع َك
ِ س إِلَى
2. Kaidah ض ِّد ِه َ “ ُكلُّ َما ت ََجsemua yang melampaui
batas, hukumnya berbalik mejadi keblikannya,”
ِ “ الر ْاخصُ ََّل تُنَطُ بِال َم َعrukhsah-rukhsah itu tidak boleh
3. Kaidah اصى
dihubungkan dengan kemaksiatan.”
“ الر ْاخصُ ََّل تُنَطُ بِال اrukhsah itu tidak dapat di sangkut
4. Kaidah ِّشك
pautkan dengan keraguan.” 17
13
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.”
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
1. Kaidah ح ْال َمحْ ظُ َر ِة
ُ ضرُوْ َرةُ تُبِ ْي
“ال اkemudaratan membolehkan
yang mudarat (dilarang).”
2. Kaidah رهَا “ َما أُبِ ْي ُح لِل اapa-apa yang dibolehkan
ِ ضرُوْ َر ِة يُقَ اد ُر بِقَ اد
karena mudarat diperkirakan sewajarnya, atau menurut batasan
ukuran kebutuhan minimal.”
3. ِ “الض َار ُر ََّل يُزَ ا ُل بِالض َارkemudaratan tidak dapat
Kaidah ر
hilang kemudaratan lain.”
4. ِ ص َررًا بِارْ تِ َكا
Kaidah ب ِ ض ْال ُم ْف ِس َدت
َ َان رُوْ ِع َي أَ ْعظَ ُمهُ َما َ إ ِِ َذا تَ َع
َ ار
“أَخَ فِّ ِه َماjika ada dua kemudaratan yang bertentangan, diambil
kemudaratan yang paling besar.”[7]
5. Kaidah ح َ ب ْال َم
ِ ِصال ِ اس ِد ُمقَ ادم َعلَى َج ْل
ِ َ “ َدرْ ُء ْال َمفmenolak
kemafasadatan didahulukan daripada mengambil kemalahatan.”
6. Kaidah َت أَوْ خَ ا ا
ً صة َ “ ْال َح
ْ اجةُ تَ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ الض َاروْ َر ِة عَا امةً َكان
kebutuhan itu menempati kemudaratan, baik secara umum maupun
khusus.’19
14
yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima
akal dan secara terus menerus manusia mau mengulanginya.
Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa
merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya, karena sudah
sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.
Kata Al-‘aadah atau al-u’rf, menurut Imam Abi al Faidh terkadang
digunakan dalam satu makna akan tetapi sama dalam bidang ilmu
lain. Bahwasannya ‘urf atau al ‘aadah adalah sesuatu yang dianggap
baik oleh syara atau perkara yang dianggap baik.20
Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah
“Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-
‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga
menjadi kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan
‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi
adat kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak
menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan yang wajib.
Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat
kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang
haram atau membatalkan yang wajib.
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-
syarat berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
15
2. Tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menghilangkan
kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah.
5. Sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
6. Tidak bertentangan dengan Qur’an dan sunnah.21
Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang
mana kebiasaan tersebut telah mendarah daging, maka dengan
sendirinya kebiasaan tersebut akan menjadi hukum, misalkan
kebiasaan petik laut, kalau ada masyarakat pesisir yang tidak
melakukan petik laut tersebut, maka dia akan dikucilkan oleh
masyarakat setempat.
Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat
199:
Artinya:
“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”
Cabang-cabangnya antara lain sebagai berikut:
1. Kaidah ْر ْاألَ ْز ِمنَ ِة َو ْاألَ ْم ِكنَ ِة
ِ “ ََّل يُ ْن َك ُر تَ ْغيِ ْي ُر ْاألحْ َك ِام بِتَ ْغيِيtidak
diingkari perubahan hukum disebaban perubahan zaman dan
tempat.”
2. ِ ف عُرْ فًا َك ْال َم ْشر
Kaidah ُط شَرْ طًا ُ ْ“ ْال َم ْعرُوyang baik itu menjadi
‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
16
3. ِ ْت بِ ْال َم ْعرُو
Kaidah ِّف َكالثاابِ ِة بِالناص ُ ِ“الثاابyang ditetapkan melalui
‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash. 22
17
4. ِ ث تُقَ ِد ُرهُ بِأ َ ْق َر
ِ ب ال از َم
Kaidah ان ٍ “ ْاألَصْ ُل فِى ُكلِّ َح ِد ْيasal dalam
setiap keadaan dilihat dari waktunya yang terdekat.”
5. Kaidah َ َ“ ْاألَصْ ُل فِى ْاألَ ْشيَا ِء اَ ْ ِۡلبasal dari sesuatu adalah
احة
kebolehan”
6. َ َ“ ْاألَصْ ُل فَى ْاۡلبasal dari kemubahan adalah
Kaidah اح ِة التاحْ ر ْي ُم
keharaman.”
BAB III
KESIMPULAN
18
4. (الـعـادة محكـمةKebiasaan dapat menjadi hukum)
5. (َّليزال بالشـك اليـقـينKeyakinan tidak dapat hilang karena
adanya keraguan)
19
DAFTAR PUSTAKA
20
Tatawwuruha, Dirasatu Mu-allafatiha, Adallatuha,
Muhimmatuha, Tatbiqatuha, (Damaskus : Dar al-Qalam,
1412H/1991M)
Usman, Mukhlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah
Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2002), Cet. 4
21