Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bisa dikatakan Qawaid Fiqhiyyah merupakan bukti kemajuan


keilmuan Fiqih Islam, dimana para ulama telah membuat suatu bentuk
penyederhanaan dalam cabang-cabang ilmu fiqih ke dalam beberapa
kaedah dengan bahasa yang simpel, mudah dihafal dan bisa
diterapkan sepanjang masa. Perkembangan tersebut membuat
majunya logika berpikir para ulama.
Ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah salah satu cabang ilmu
didalam ilmu fiqih. Cikal Bakal Qawaid Fiqhiyyah sebenarnya sudah
tertulis dalam Al-Quran ataupun Sunnah. Namun, belum tersusun
dengan rapih dan sistematis. Barulah ketika abad ke-4 hijriyyah Ilmu
Qowaid Fiqiyah berkembang dengan pesat. Sehingga pada perjalanan
waktu sekitar abad ke 7 Hijiriah sampai abad ke 10 Hijriah banyak
ulama yang menuliskan ilmu ini ke dalam sebuah kitab.
Oleh sebab itu, dengan mempelajari Qawaid Fiqiyah banyak
manfaat yang bisa diambil. Salah satunya yakni dapat mempermudah
dalam memahami ilmu fiqih dan melafalkannya. Seperti satu cara
mempermudah dalam menghafal pelajaran adalah membuat
ringkasannya ketika akan menghadapi ujian.
B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Qawaid Fiqiyah?

2. Bagaimana Kaidah-kaidah Pokok Qawaid Fiqiyah?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qawaid Fiqiyah


Kata Qawaid “kaidah‟ secara kebahasaan berarti asal atau
asas ‘al-asl wa al-asas1. Adapun secara istilah, menurut Al Jurjani
kaidah adalah “Kaidah adalah proposisi universal yang sesuai bagi
partikular di bawahnya” 2.
Nomenklatur Qawaid Fiqhiyah terbagi atas dua suku kata,
yaitu qawaid dan fiqhiyah. Al-Nadwi mengutip dalam Dictionary of
Modern Written Arabic, karya Milton Cowan (ed) Kata qawaid
merupakan bentuk plural ‘jama’ dari kata qaidah, dalam istilah
bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang secara literal
berarti :asas, landasan, dasar, basis atau fondasi suatu bangunan atau
ajaran agama dan sebagainya. Dalam pengertian yang lebih khas,
qaidah dapat juga bermakna ajaran, garis panduan, formula, pola atau
metode. Qaidah memiliki makna yang sama dengan asas atau prinsip
yang mendasari suatu bangunan, agama atau yang semisalnya.3
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah
dengan : ”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan
sebagian besar bagiannya”. Sedangkan arti fikih secara etimologi
lebih dekat dengan ilmu, sedangkan menurut istilah, Fikih adalah

1 Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Kairo : Dar al-Hadith, 2003), jld. VII, hlm.
434. Fayruzabadi, Qamus al-Muhit, (Kairo : Hay‟at alMisriyyah, 1301 H), jld. I,
hlm. 365.
2 Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Singapura : al-Haramayn, t.th.), hlm. 171.
3 Ali Ahmad al-Nadwi, Al-qawa’id al-fiqhiyyah : Mafhumuha,
Nash’atuha, Tatawwuruha, Dirasatu Mu-allafatiha, Adallatuha, Muhimmatuha,
Tatbiqatuha, (Damaskus : Dar al-Qalam, 1412H/1991M), hlm. 23.

2
ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara yang bersifat amaliyah
yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Kaidah
berbeda-beda sesuai ilmu yang membentuknya, misalnya kaidah
kebahasaan seperti nahw dan saraf. Dalam hal ini, Abd al-Karim
Zaydan mengutip definisi Ibn Nujaym berikut untuk menjelaskan
hakikat qaidah fiqhiyah : “Dalam terminologi fuqaha, qaidah
fiqhiyah adalah ketentuan umum yang mencakup seluruh atau
kebanyakan partikular di bawahnya sehingga hukum diketahui
darinya”.4 Kaidah fikih adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat
kemashalatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara
mensikapi kedua hal tersebut.5
Menurut Bani Ahmad Salbani kaidah fikih adalah pedoman
umum dan universal bagi pelaksanaan hukum Islam yang mencakup
seluruh bagiannya. Qawaid Fiqhiyah adalah sebagaimana yang telah
dikutip oleh Asymuni A. Rahman dari Tajjudin as-Subki, yaitu suatu
perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang banyak dari
padanya diketahui hukum-hukum juziyat.6 Menurut Musthafa al-
Zarqa yang dikutip oleh Abd. Rahman Dahlan, Qowaid Fiqhyah ialah
dasar-dasar fikih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk
undang- undangyang berisi hukum-hukum syara yang umum
terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang
lingkup kaidah tersebut.7

4 Abd al-Karim Zaydan. Al-Wajiz fi Syarh al-Qawa‘id alFiqhiyyah fi al-


Syari‘ah al-Islamiyyah. (Beirut : Mu‟assasah al-Risalah, 2001), hlm. 7.
5 Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam, Qawaid al Ahkam
fi Mashalih al Anam, (Beirut : Dar al-Kutub alIlmiyah, 1999), Cet. Ke-I, vol. I
6 Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan bintang.
1976), Hlm. 11.
7 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. (Jakarta : Amzah, t.th.), hlm. 13.

3
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa
Qawaid fiqhiyah adalah ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum)
yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang
banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Ilmu Qawaid al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu
ilmu yang sangat dibutuhkan bagi setiap orang yang berkecimpung
dalam dunia Islam terutama bagi penentu kebijakan-kebijakan hukum
apalagi yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama
sekali apa itu Qawaid al-Fiqhiyah. Dengan menguasai kaidah-kaidah
fikih akan mengetahui benang merah yang terdapat di berjuta masalah
fiqh melalui istimbath hukum, karena kaidah fikih itu memang
menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih. Penguasaan
terhadapnya juga menjadikan kita lebih arif di dalam menentukan dan
menerapkan fikih dalam keadaan, waktu dan tempat yang berbeda
untuk kasus, adat kebiasaan dan berbagai masalah yang muncul.
Selain itu juga Qawaid al-Fiqhiyah akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan
lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat agar tercapai tujuan
dibentuknya al-Syari‟ah yaitu kemaslahatan umat.8
Qawaid al-Fiqhiyah juga bisa dijadikan landasan aktifitas
umat Islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud
ajaran Islam Maqashid al-Syari’ah secara lebih menyeluruh,
keberadaan Qawa’id al-Fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat

8 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : Pustaka


Amani, 2003), Cet 1, hlm 20

4
penting, termasuk dalam kehidupan berekonomi, bersosial, beragama
dan berbudaya. Baik di mata para ahli usul maupun fuqaha,
pemahaman terhadap Qawa’id al-Fiqhiyyah adalah mutlak
diperlukan untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaharuan
pemikiran dalam berbagai masalah.
Manfaat keberadaan Qawa’id al-Fiqhiyyah adalah untuk
menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari nash
asalnya yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits. Kemunculan Qawaid al-
Fiqhiyah sudah ada sejak kemunculan agama Islam hingga
bermulanya zaman imam-imam mujtahid yaitu hingga akhir kurun
abad ketiga dan inilah yang disebut dengan fase pembentukan.
Walaupun pada masa ini mereka tidak menamakannya sebagai kaidah
namun telah dapat dilihat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
ulama terhadap beberapa ayat Al-Qur’an. Dimana masa pertumbuhan
dan pembentukan Qawaid alFiqhiyah berlangsung selama tiga abad
lebih dimuali dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 Hijriah.
Benih-benih kaidah fikih pada melalui nash-nash Al-Qur’an
yang terkandung didalamnya asas dan dasar ilmu kaidah fikih.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menjadi petunjuk kepada ilmu ini,
diantaranya ayat 29 Surah al-Nisa' dan ayat 38 Surah al-Syura. Dasar
ilmu kaidah fikih juga dapat dipahami melalui ucapan Nabi Saw yang
bersifat “Jawami‘ al-Kalim” yaitu ucapan beliau yang ringkas, padat
dan mempunyai makna yang dalam. Di samping itu juga, ia menjadi
dasar kepada kaidah pokok “Qawaid al-Kulliyah‟ yang terangkum di
dalamnya hukum untuk berbagai perkara dan macam-macam masalah
furu’.

5
Para sahabat juga berjasa dalam ilmu kaidah fikih, mereka
turut serta dalam pembentukan kaidah fikih. Para sahabat dapat
membentuk kaidah fikih karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah
murid Rasulullah Saw dan mereka mengetahui situasi dan kondisi
turunnya wahyu. Setelah fase sahabat munculah zaman Tabi’in dan
Tabi tabi’in, diantara ulama yang mengembangkan kaidah fikih pada
generasi tabi’in yakni Abu Yusuf Ya‟kub ibn Ibrahim Karyanya yang
terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun salah satunya
adalah : ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris
diserahkan ke Bait al-Mal” Kaidah tersebut berkenaan dengan
pembagian harta pusaka Bait al-Mal sebagai salah satu lembaga
ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan tirkah atau
mauruts‟, apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Al-Nadwi menyatakan dalam bukunya al-Qawaid al
Fiqhiyyah, ulama fikih pertama yang mencetuskan fenomena ini ialah
Abu Yusuf serta beberapa ulama yang sezaman dengannya seperti
Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan lain-lain. Awal mula Qawaid al-
Fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada
abad ke 4 H. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai tampak
dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fikih mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-
kotaknya fikih dalam madzhab.9 Ketika hukum furu’ dan fatwa para
ulama semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya
persoalan, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan

9 Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman


Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002),
Cet. 4, hlm.79

6
dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama
tersebut dari kesemerawutan. Mustafa Syalaby menukilkan bahwa
penyusunan kaidah fikih yang pertama telah dirintis oleh Abu Tahir
al-Dabbas melalui risalahnya yang berjudul Ta’sis alNazar, Abu
Hasan al-Karkhi dalam bukunya yang berjudul Ushul al-Karkhi,
Imam al Khusyni dengan karyanya Ushul al-Fataya, Abi Laits al-
Samarqandi dengan karyanya Ta’sis al-Nadhri. 10
Pada abad ke-7 H Qawaid al-Fiqhiyah mengalami
perkembangan yang sangat signifikan. Di antara ulama yang menulis
kitab Qawaid pada abad ini adalah Muhammad bin Ibrahim al-Jurjani
al-Sahlaki dengan judul al-Qawaid fi Furu’i al- Syafi’iyah, al-Imam
Izzudin Abd al-Salam menulis kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih
al-Anam, Muhammad bin Abdullah bin Rasyid al-Bakri al-Qafshi
menulis alMadzhab fi Qawaid al-Madzhab. Pada abad ke-8 H,
Qawaid al-Fiqhiyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan
banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah.
Perkembangan ini terbatas hanya pada penyempurnaan hasil
karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama
Syafi‟iyah. Abad ke-10 H dianggap sebagai periode kesempurnaan
kaidah fikih, yaitu pada zaman Imam al-Suyuti. Dalam kurun waktu
ini, kaidah fikih telah berada dalam keadaan yang kukuh dan teguh.11
Meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan
kaidah fikih pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang

10 Mustafa Syalabi, Al-Madkhal fi Fiqh al-Islami, (Beirut : Dar al-


Jami„ah, 1985), Cet. X, hlm. 326.
11 Jalal al-Din al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nadza’ir, (Singapura : al-
Haramain, 1960), hlm. 5.

7
disempurnakan di abad ke-13 H adalah “Seseorang tidak dibolehkan
mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya” Kaidah
tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi
idzn. Oleh karena itu kaidah fikih tersebut adalah “Seseorang tidak
diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin‟. Faktor-faktor
pendorong timbulnya Qawaid alFiqhiyyah, dapat diambil dari
pernyataan Muhamma al-Zarqa’ dalam kitabnya Syarh al-Qawa’id
al-Fiqhiyyah.
Seandainya tidak ada Qawa’id al-Fiqhiyyah, tentu hukum-
hukum fikih akan menjadi hukum furu’ yang berserakan dan kadang-
kadang lahiriyahnya tampak saling bertentangan, tanpa ada ushul
“Kaidah‟ yang dapat mengokohkannya dalam pikiran, menampakkan
‘illat-’illatnya, menentukan arah-arah pembentukannya, dan
membentangkan jalan pengqiyasan dan penjenisan padanya‟.12
Dapat ditarik juga dari pernyataan Imam al-Qarafi dalam
kitabnya al-Furuq “Siapa yang berhujjah dengan hanya menghapal
juz’iyyah saja, maka hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan
menghabiskan umurnya tanpa dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya,
siapa yang memperdalam fikih melalui kaidah-kaidah fikih tidak
harus menghapalkan berbagai macam cabang fikih, karena telah
tercakup oleh kulliyyah‟.13

12 Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum


Fiqh Islami, (Bandung : Al Ma‟arif, 1986), Cet. 1, hlm. 522

8
B. Kaidah Pokok Qawaid Fiqiyah

Berdasarkan buku-buku yang membahas tentang kaidah,


kaidah dibagi atas kaidah asasiah (pokok) dan kaidah ghairu asasiah
(cabang). Kaidah asasiah oleh Imam Muhammad Izzudin bin Abdis
Salam diringkas menjadi kaidah “Menolak kerusakan dan menarik
kemashlahatan‟. Kaidah ini merupakan kaidah yang oleh para Imam
Mazhab telah disepakati tanpa ada pihak yang memperselisihkan
kekuatannya. Sedangkan kaidah-kaidah ghairu asasiah merupakan
pelengkap dari kaidah asasiah , dan keabsahannya masih tetap diakui,
yang oleh beberapa ulama dibagi atas beberapa macam, di antaranya
terdapat 40 kaidah cabang yang disepakati dan 20 kaidah cabang yang
diperselisihkan. Lima kaidah pokok itu digali dari sumber-sumber
hukum, baik melalui Al-Quran dan Al-Sunnah maupun dalil-dalil
istimbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok
yang dapat dinilai sebagai standar hukum fikih, sehingga sampai dari
nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam.

Adapun bentuk-bentuk lima kaidah pokok itu adalah :


1. ِ َ‫( األُ ُموْ ُر بِ َمق‬Segala sesuatu bergantung pada
‫اص ِدهَا‬
tujuannya)

Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasikan


terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan
subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari
perkara tersebut.14 Tujuan utama disyariatkan niat adalah untuk

14 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam


(penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 6

9
membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan
adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh: Kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang
namanya niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat
berarti kita tidak pernah sholat. Begitu juga dengan yang lainnya,
seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya
niat. Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang
berbunyi:
‫اب ٱل ُّد ۡنيَا نُ ۡؤتِ ِهۦ‬ ۗ ٗ ‫ٱَّللِ ِك َٰتَبٗ ا ُّمؤَ ج‬
َ ‫اٗل َو َمن ي ُِر ۡد ثَ َو‬ ‫س أَن تَ ُموتَ إِ اَّل بِإ ِ ۡذ ِن ا‬ٍ ‫َو َما َكانَ لِن َۡف‬
٥٤١ َ‫ٱأل ِخ َر ِة نُ ۡؤتِِۦه ِم ۡنهَ ۚا َو َسن َۡج ِزي ٱل َٰ اش ِك ِرين‬ ٓ ۡ ‫اب‬
َ ‫ِم ۡنهَا َو َمن ي ُِر ۡد ثَ َو‬

”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan


kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS. Ali-
Imran: 145)

Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:


ُ َ‫ص ْيٗلً اِ َذا َعيانَهُ َواَ ْخطَأ َ لَ ْم ي‬
1. Kaidah ‫ض ار‬ ِ ‫َما َّلَ يُ ْشت ََرطُ التا َعرُّ ضُ لَهُ ُج ْملَةً َو تَ ْف‬
“ suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara
global maupun secara terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah,
kesalahannya itu tidak membhayakan (membatalkan).”
ِ ‫“ َو َما يُ ْشت ََرطُ فِ ْي ِه التا َعرُّ ضُ فَ ْالخَ طَأ ُ فِ ْي ِه ُم ْب‬suatu amal yang
2. Kaidah ‫طل‬
disyaratkan penjelasannya maka kesalahannya membatalkan
perbuatan tersebut.”
ِ ‫َو َما يَ ِجبُ التا َعرُّضُ لَهُ ُج ْملَةً َو َّلَ يُ ْشت ََرطُ تَ ْعيِ ْينُهُ تَ ْف‬
َ ‫ص ْيٗلً اِ َذا‬
3. Kaidah ُ‫عيانَه‬

َ َ ‫“ فَا َ ْخطَأ‬suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak
‫ضر‬

10
disyaratkan secara terperinci, karena apabila disebut secara terprinci
dan ternyata salah, kesalahannya itu dapat membahayakan.”
4. Kaidah ُّ‫ام َوَّلَ تَ ُع ُّم ْالخاص‬
ِ ‫فى ْاليَ ِمي ِْن تُخَ صِّصُ اللا ْفظَ ْال َع‬
ِ ُ‫“ النِّبَة‬niat dalam
sumpah mengkhususkan lafadz umum dan tidak pula menjadikan
umum pada lafadz yang khusus.”
5. Kaidah ‫اضى‬ ِ َ‫اح ٍد َوه َُو ْاليَ ِميْنُ ِع ْن َد ْالق‬ ِ ْ‫َمقَاصُ اللا ْف ِظ َعلَى نِيَ ِة ااَّلفِ ِظ اِ اَّل فِى َمو‬
ِ ‫ض ٍع َو‬
ِ َ‫فَاِناهَا َعلَى نِيَ ِة ْالق‬
‫اضى‬
“maksud dari suatu lafadz adalah menerut niat orang yang
mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat, yang dalam sumpah
dihadapan hakim. Dalam keadaan demikian, maksud lafadz menurut
niat hakim.”
6. Kaidah ‫اظ َو ْال َم َعانِى‬
ِ َ‫اص ُد َو ْال َم َعانِى ََّل لِ ْْلَ ْلف‬
ِ َ‫“ ْال ِعبَ َرةُ فِى ْال ُعقُوْ ِد ْال َمق‬yang
dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafadz atau
bentuk perkataan.”15

2. ‫التيسير‬ ‫تجلب‬ ‫المشقة‬ (Kesukaran mendatangkan


kemudahan)

Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang


dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran
bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya,

15 Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman


Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002),
Cet. 4

11
sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan
kesukaran.16
Contoh: Apabila kita melakukan perjalanan yang mana
perjalanan tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya
mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena
apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak
akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena
seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu
untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan
yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu
sholat tersebut.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an
yang berbunyi:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki


kesukaran bagimu”(Q.S Al Baqarah : 185)

٨٢ ‫ض ِع ٗيفا‬ ِۡ ‫ق‬
َ ‫ٱۡلن َٰ َس ُن‬ َ ِ‫ٱَّللُ أَن يُ َخفِّفَ عَن ُكمۡۚ َو ُخل‬
‫ي ُِري ُد ا‬

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia


dijadikan bersifat lemah.”(QS. An-Nisa: 28)
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
1. Kaidah ‫ق‬ َ ‫ق األا ْم ُر إِتا َس َع َوإِ َذا اتا َس َع ْاألَ ْم ُر‬
َ ‫ضا‬ َ ‫“ إِ َذا‬apabila suatu
َ ‫ضا‬
peerkara itu sempit, hkumnya menjadi luas, sebaliknya, jika suatu
perkara itu luas, huumnya menjadi sempit.”

16 Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan bintang.


1976), hlm 34

12
َ ‫اوزَ َح ُّدهُ إ ْن َع َك‬
ِ ‫س إِلَى‬
2. Kaidah ‫ض ِّد ِه‬ َ ‫“ ُكلُّ َما ت ََج‬semua yang melampaui
batas, hukumnya berbalik mejadi keblikannya,”
ِ ‫“ الر ْاخصُ ََّل تُنَطُ بِال َم َع‬rukhsah-rukhsah itu tidak boleh
3. Kaidah ‫اصى‬
dihubungkan dengan kemaksiatan.”
‫“ الر ْاخصُ ََّل تُنَطُ بِال ا‬rukhsah itu tidak dapat di sangkut
4. Kaidah ِّ‫شك‬
pautkan dengan keraguan.” 17

3. ‫ (الضرر يـزال‬Kemudharatan harus dihilangkan)


Arti dari kaidah itu adalah kemudharatan atau kesulitan harus
dihilangkan, jadi konsepsinya kaidah ini memberikan pengertian
bahwa harus dijauhkan dari idhar (tidak menyakiti) baik oleh dirinya
maupun orang lain, dan tidak semestinya menimbulkan bahaya bagi
orang lain.18 Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah
yang banyak yang mana buah tersebut sering jatuh dan sering
mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang harus
dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon
tersebut harus di tebang.
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat
56:
Artinya:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).

17 Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan bintang.


1976), hlm 36
18 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. (Jakarta : Amzah, t.th.), hlm. 45

13
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.”
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
1. Kaidah ‫ح ْال َمحْ ظُ َر ِة‬
ُ ‫ضرُوْ َرةُ تُبِ ْي‬
‫“ال ا‬kemudaratan membolehkan
yang mudarat (dilarang).”
2. Kaidah ‫رهَا‬ ‫ “ َما أُبِ ْي ُح لِل ا‬apa-apa yang dibolehkan
ِ ‫ضرُوْ َر ِة يُقَ اد ُر بِقَ اد‬
karena mudarat diperkirakan sewajarnya, atau menurut batasan
ukuran kebutuhan minimal.”
3. ِ ‫ “الض َار ُر ََّل يُزَ ا ُل بِالض َار‬kemudaratan tidak dapat
Kaidah ‫ر‬
hilang kemudaratan lain.”
4. ِ ‫ص َررًا بِارْ تِ َكا‬
Kaidah ‫ب‬ ِ ‫ض ْال ُم ْف ِس َدت‬
َ ‫َان رُوْ ِع َي أَ ْعظَ ُمهُ َما‬ َ ‫إ ِِ َذا تَ َع‬
َ ‫ار‬
‫ “أَخَ فِّ ِه َما‬jika ada dua kemudaratan yang bertentangan, diambil
kemudaratan yang paling besar.”[7]
5. Kaidah ‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬
ِ ِ‫صال‬ ِ ‫اس ِد ُمقَ ادم َعلَى َج ْل‬
ِ َ‫ “ َدرْ ُء ْال َمف‬menolak
kemafasadatan didahulukan daripada mengambil kemalahatan.”
6. Kaidah ‫َت أَوْ خَ ا ا‬
ً ‫صة‬ َ ‫“ ْال َح‬
ْ ‫اجةُ تَ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ الض َاروْ َر ِة عَا امةً َكان‬
kebutuhan itu menempati kemudaratan, baik secara umum maupun
khusus.’19

4. ‫(الـعـادة محكـمة‬Kebiasaan dapat menjadi hukum)


Kaidah fiqih ini berkenaan tentang adat atau kebiasaan, dalam
bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan
yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan

19 Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan bintang.


1976), hlm 43

14
yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima
akal dan secara terus menerus manusia mau mengulanginya.
Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa
merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya, karena sudah
sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.
Kata Al-‘aadah atau al-u’rf, menurut Imam Abi al Faidh terkadang
digunakan dalam satu makna akan tetapi sama dalam bidang ilmu
lain. Bahwasannya ‘urf atau al ‘aadah adalah sesuatu yang dianggap
baik oleh syara atau perkara yang dianggap baik.20
Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah
“Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-
‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga
menjadi kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan
‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi
adat kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak
menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan yang wajib.
Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat
kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang
haram atau membatalkan yang wajib.
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-
syarat berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.

20 Ali Ahmad al-Nadwi, Al-qawa’id al-fiqhiyyah : Mafhumuha,


Nash’atuha, Tatawwuruha, Dirasatu Mu-allafatiha, Adallatuha, Muhimmatuha,
Tatbiqatuha, (Damaskus : Dar al-Qalam, 1412H/1991M),

15
2. Tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menghilangkan
kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah.
5. Sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
6. Tidak bertentangan dengan Qur’an dan sunnah.21
Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang
mana kebiasaan tersebut telah mendarah daging, maka dengan
sendirinya kebiasaan tersebut akan menjadi hukum, misalkan
kebiasaan petik laut, kalau ada masyarakat pesisir yang tidak
melakukan petik laut tersebut, maka dia akan dikucilkan oleh
masyarakat setempat.
Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat
199:
Artinya:
“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”
Cabang-cabangnya antara lain sebagai berikut:
1. Kaidah ‫ْر ْاألَ ْز ِمنَ ِة َو ْاألَ ْم ِكنَ ِة‬
ِ ‫“ ََّل يُ ْن َك ُر تَ ْغيِ ْي ُر ْاألحْ َك ِام بِتَ ْغيِي‬tidak
diingkari perubahan hukum disebaban perubahan zaman dan
tempat.”
2. ِ ‫ف عُرْ فًا َك ْال َم ْشر‬
Kaidah ‫ُط شَرْ طًا‬ ُ ْ‫“ ْال َم ْعرُو‬yang baik itu menjadi
‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”

21 Abd al-Karim Zaydan. Al-Wajiz fi Syarh al-Qawa‘id alFiqhiyyah fi al-


Syari‘ah al-Islamiyyah. (Beirut : Mu‟assasah al-Risalah, 2001),

16
3. ِ ْ‫ت بِ ْال َم ْعرُو‬
Kaidah ِّ‫ف َكالثاابِ ِة بِالناص‬ ُ ِ‫“الثااب‬yang ditetapkan melalui
‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash. 22

5. ‫(َّليزال بالشـك اليـقـين‬Keyakinan tidak dapat hilang karena


adanya keraguan)
Kaidah fiqih ini menunjukan bahwa suatu perkara yang
diyakini telah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali dengan dalil yang
pasti dan meyakinkan. Dengan kata lain, tidak bisa dihilangkan hanya
dengan sebuah keraguan. Demikian pula sebaliknya, suatu perkara
yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi telah terjadi
kecuali dengan dalil yang meyakinkan pula.23
Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita
masih ragu apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita
harus berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih
punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada
kenyataannya wudhu’ kita telah batal.
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
1. َ َ‫“األَصْ ُل بَقَا ُء َما َكان‬asal itu tetap sebagaimana
Kaidah َ‫علَى َما َكان‬
semula bagaimanapun keberadaannya.”
2. Kaidah ‫“ ْاألَصْ ُل بَ َرا َءة ال ِّذ ام ِة‬asal itu bebas dari tangugan.”

3. Kaidah ‫“ ْاألَصْ ُل ْال َع َد ُم‬asal itu tidak ada”

22 Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan bintang.


1976), hlm 47
23 Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman
Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002),
Cet. 4

17
4. ِ ‫ث تُقَ ِد ُرهُ بِأ َ ْق َر‬
ِ ‫ب ال از َم‬
Kaidah ‫ان‬ ٍ ‫“ ْاألَصْ ُل فِى ُكلِّ َح ِد ْي‬asal dalam
setiap keadaan dilihat dari waktunya yang terdekat.”
5. Kaidah َ َ‫“ ْاألَصْ ُل فِى ْاألَ ْشيَا ِء اَ ْ ِۡلب‬asal dari sesuatu adalah
‫احة‬
kebolehan”
6. َ َ‫“ ْاألَصْ ُل فَى ْاۡلب‬asal dari kemubahan adalah
Kaidah ‫اح ِة التاحْ ر ْي ُم‬
keharaman.”

BAB III
KESIMPULAN

Qawaid fiqhiyah adalah Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah


umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-
cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum
cabang itu. Ilmu Qawaid al-Fiqhiyah adalah suatu ilmu yang sangat
dibutuhkan bagi setiap orang yang berkecimpung dalam dunia Islam
terutama bagi penentu kebijakan-kebijakan hukum apalagi yang
kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu
Qawaid al-Fiqhiyah.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih akan mengetahui
benang merah yang terdapat di berjuta masalah fiqh melalui istimbath
hukum, karena kaidah fikih itu memang menjadi titik temu dari
masalah-masalah fikih.
Ada lima kaidah pokok Qawaid al-Fiqhiyah:
1. ِ َ‫( األُ ُموْ ُر بِ َمق‬Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
‫اص ِدهَا‬
2. ‫( المشقة تجلب التيسير‬Kesukaran mendatangkan kemudahan)
3. ‫ (الضرر يـزال‬Kemudharatan harus dihilangkan)

18
4. ‫ (الـعـادة محكـمة‬Kebiasaan dapat menjadi hukum)
5. ‫(َّليزال بالشـك اليـقـين‬Keyakinan tidak dapat hilang karena
adanya keraguan)

19
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Karim Zaydan. Al-Wajiz fi Syarh al-Qawa‘id


alFiqhiyyah fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah. (Beirut : Mu‟assasah al-
Risalah, 2001)
Ali Ahmad al-Nadwi, Al-qawa’id al-fiqhiyyah : Mafhumuha,
Nash’atuha,
Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Singapura : al-Haramayn, t.th.)
Al-Suyuti, Jalal al-Din. Al-Asybah wa al-Nadza’ir,
(Singapura : al-Haramain, 1960)
Dahlan,Abd. Rahman. Ushul Fiqih. (Jakarta : Amzah, t.th.),
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Kairo : Dar al-Hadith, 2003), jld.
VII
Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam, Qawaid
al Ahkam fi Mashalih al Anam, (Beirut : Dar al-Kutub alIlmiyah,
1999), Cet. Ke-I, vol. I
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : Pustaka
Amani, 2003), Cet 1
Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islami, (Bandung : Al Ma‟arif, 1986), Cet. 1
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad
Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah,
2009
Rahman, Asymuni A. Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan
bintang. 1976)
Syalabi, Mustafa. Al-Madkhal fi Fiqh al-Islami, (Beirut : Dar
al-Jami„ah, 1985), Cet. X,

20
Tatawwuruha, Dirasatu Mu-allafatiha, Adallatuha,
Muhimmatuha, Tatbiqatuha, (Damaskus : Dar al-Qalam,
1412H/1991M)
Usman, Mukhlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah
Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2002), Cet. 4

21

Anda mungkin juga menyukai