20 PDF
20 PDF
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Cedera kepala memiliki definisi yang luas. Secara anatomis cedera kepala dapat diartikan
sebagai trauma yang mengenai bagian tubuh di atas batas bawah mandibula. Secara umum,
trauma maksilofasial dipisahkan dari cedera kepala, walaupun keduanya sering terjadi
yang terjadi pada wajah dan bagian frontal (Rilley dan Bullock , 2005).
Kepala meliputi scalp, tulang tengkorak, meningen, pembuluh darah, otak dan bagian
bahwa otak tidak dapat dipisahkan dari integumennya. „Trauma‟ merujuk pada sumber energi
eksternal, seperti gaya mekanik, yang menyebabkan cedera fisik pada semua jaringan yang
meliputi kepala. Trauma kimia, elektrik dan termal, biasanya terpisah dari cedera kepala dan
dikategorikan sebagai combustio (luka bakar), namun luka bakar kranioserebral yang dalam tetap
membutuhkan penanganan bedah saraf, walaupun kasus seperti ini sangat jarang (Rilley dan
Bullock, 2005).
Cedera kepala harus dibedakan dari cedera otak, di mana cedera otak lebih menunjukkan
kerusakan neurologis. Cedera otak sebaiknya digolongkan sebagai sub grup dari cedera kepala.
Berbagai definisi cedera kepala secara epidemiologis ditunjukkan dalam tabel berikut.
6
Tabel 2.1
Variasi definisi cedera kepala
Anderson dan „Trauma pada otak atau spinal cord . Di sini, trauma
McLaurin (1980) merujuk pada cedera fisik pada jaringan hidup yang
disebabkan oleh gaya eksternal‟.
Jennett dan „Pasien dengan riwayat pukulan pada kepala atau dengan
MacMillan (1981) gangguan kesadaran setelah cedera yang relevan atau
Dengan laserasi pada scalp atau dahi, atau yang mendapat
pemeriksaan X-Ray.
mL / 100 g/ min. Otak bergantung pada glukosa yang dibawa oleh aliran darah untuk 90%
kebutuhan energinya. Aliran darah serebral yang normal adalah kira – kira 55 mL / 100 g / min
dan biasanya dipertahankan pada level konstan lewat mekanisme autoregulasi serebral. Hal ini di
7
luar variasi Mean Arterial Pressure / MAP yang berkisar antara 50 – 150 mmHg. Pada TBI,
mekanisme auto regulasi serebral terganggu. Aliran darah serebral kemudian berfluktuasi dengan
MAP dan otak menjadi lebih rentan terhadap hipotensi (William et al, 2008).
Otak dilindungi oleh wadah yang rigid / kaku yaitu tulang tengkorak. Penambahan lesi
berefek massa akan menyebabkan kompensasi dengan cara memindahkan cairan serebrospinal
(Cerebrospinal Fluid / CSF) dan darah vena keluar dari ruang intra kranial. Selama periode ini,
tekanan intra kranial (Intra Cranial Pressure / ICP) akan tetap berada pada level normal. Pada
saat terjadi ekspansi lebih jauh dari lesi berefek massa, sedikit peningkatan volume akan
berakibat peningkatan TIK yang relatif besar, herniasi otak dan perburukan klinis (William et al,
2008).
Cedera otak primer (Primary Brain Injury) terjadi tepat pada saat benturan dan termasuk
cedera seperti kontusio hemisfer dan batang otak, diffuse axonal injury dan laserasi kortikal.
Cedera otak sekunder terjadi beberapa waktu setelah terjadinya benturan dan sering tidak dapat
dicegah. Penyebab utama dari cedera otak sekunder adalah hipoksia, hipotensi, peningkatan TIK,
penurunan tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion Pressure / CPP) dan pireksia (tabel
Tabel 2.1.2.1
• Pyrexia
• Seizures
• Metabolic disturbance
Beratnya cedera kepala dikelompokkan menurut Glasgow Coma Scale (GCS). GCS,
a. Cedera kepala minor (Minor Head Injury) : GCS 15 tanpa riwayat pingsan
b. Cedera kepala ringan (Mild Head Injury) : GCS 14 atau 15 dengan LOC ;
Tabel 2.1.2.2
Glasgow Coma Scale (GCS)
Tabel 2.1.2.3
Pemeriksaan fisik pada cedera kepala
Examination in head injury
2.2. Neurofisiologi
Otak bertanggung jawab terhadap 20% dari total konsumsi oksigen tubuh. Sebagian besar
konsumsi oksigen otak (60%) dipergunakan untuk menghasilkan adenosine triphosphat (ATP)
untuk mendukung aktivitas listrik saraf. Kecepatan metabolisme otak yang biasa disebut sebagai
konsumsi oksigen otak (CMRO2), sekitar 3-3,8 ml/100 g/menit pada orang dewasa. CMRO2
paling tinggi di substansia korteks serebri dan biasanya sejalan dengan aktivitas listrik di daerah
korteks. Oleh karena tingginya konsumsi oksigen dan tidak adanya cadangan oksigen,
berhentinya perfusi otak akan menyebabkan keadaan tidak sadar dalam waktu 10 detik saat
oksigen turun dengan cepat di bawah 30 mmHg. Jika aliran darah tidak kembali dalam waktu 3-8
menit, cadangan ATP akan menurun dan terjadi kerusakan sel yang menetap (Morgan, 2006).
Aliran darah otak (Cerebral Blood Flow/CBF) bergantung pada tekanan arteri serebral dan
resistensi pembuluh darah serebral. Aliran darah otak rata-rata sekitar 50-54 ml/100 gram
otak/menit atau kira-kira 15% dari curah jantung. Aliran darah ke substansia grisea 75-80 ml/100
gram otak/menit sedangkan ke substansia alba 20-30 ml/100 gram/menit karena metabolisme
12
otak lebih banyak di substansia grisea. Pada bayi dan anak-anak, aliran darah otak secara global
lebih tinggi daripada dewasa yaitu sekitar 65 ml/100 gram/menit. Bila aliran darah otak
iskemik. Sedangkan bila aliran darah otak mencapai 6-9 ml/100gram/menit, ion kalsium akan
Tekanan perfusi otak (Cerebral Perfusion Pressure/CPP) adalah perbedaan tekanan arteri
rerata dengan tekanan vena rata-rata pada sinus sagitalis. Nilai normalnya sekitar 80-90 mmHg.
CPP akan menurun bila ada penurunan tekanan arteri atau kenaikan tekanan intrakranial
(Intracranial Pressure/ICP). Bila CPP turun sampai 50 mmHg, EEG akan terlihat melambat dan
ada perubahan ke arah serebral iskemia. Pada CPP yang kurang dari 40 mmHg, EEG menjadi
datar, menunjukkan adanya proses iskemik yang berat yang dapat bersifat reversible atau
irreversible. Bila CPP kurang dari 20 mmHg untuk jangka waktu lama, akan terjadi iskemik
neuron yang bersifat irreversible (Bisri, 2012). Pasien dengan cedera kepala dengan CPP kurang
dari 50 mmHg akan mempunyai prognosis yang buruk. Pada ICP yang tinggi, supaya CPP
adekuat, maka perlu tetap mempertahankan tekanan darah yang normal atau sedikit lebih tinggi.
Tekanan perfusi otak perlu dipertahankan antara 50-70 mmHg (Bisri, 2012).
Banyak faktor yang mempengaruhi CBF. Metabolisme otak, tekanan darah, PaO2, PaCO2,
suhu tubuh, sistem simpatis-parasimpatis, dan juga obat-obatan dapat mempengaruhi CBF.
Keadaan patologik dalam otak juga mempengaruhi CBF secara global dan regional. Aliran darah
otak terutama diatur oleh autoregulasi, PaO2 dan PaCO2. (Saleh, 2004).
1. Autoregulasi
Autoregulasi adalah kemampuan otak untuk melakukan regulasi dengan mengubah diameter
dari pembuluh darah serebral dengan tujuan mengimbangi perubahan MAP sehingga dapat
13
menjaga CPP tetap pada batas yang dapat ditoleransi otak. Aliran darah otak dipertahankan
konstan pada MAP 50-150 mmHg. Autoregulasi yang disebabkan oleh kontraksi otot polos
dinding pembuluh darah otak sebagai jawaban perubahan tekanan transmural. Jika melebihi
batas ini, walaupun dengan dilatasi maksimal atau konstriksi maksimal dari pembuluh darah
otak, aliran darah otak akan mengikuti tekanan perfusi otak secara pasif. Bila aliran darah otak
sangat berkurang (MAP <50 mmHg) bisa terjadi serebral iskemia. Jika diatas normal (>150
mmHg), tekanan akan merusak daya konstriksi pembuluh darah dan aliran darah otak akan
naik tiba-tiba yang akan menyebabkan kerusakan sawar darah otak. Rusaknya sawar darah otak
akan menyebabkan terjadinya edema serebri dan perdarahan otak (Saleh, 2004).
2. PaCO2
Perubahan CBF berkaitan langsung dengan PaCO2. Efeknya paling besar pada rentang variasi
fisiologis dari PaCO2. Nilai CBF berubah 1-2 ml/100 gram/menit setiap 1 mmHg perubahan
PaCO2 pada nilai PaCO2 normal. Respon ini menurun dibawah nilai PaCO2 25 mmHg.
Perubahan pada CBF yang disebabkan oleh PaCO2 tergantung pada pengaruh pH di cairan
ekstraseluler dari otak. Respon vasodilatasi terhadap hiperkapnia juga dimediasi oleh
prostaglandin. Perubahan pH ekstraseluler dan CBF segera terjadi setelah penyesuaian PaCO2
oleh karena CO2 berdifusi secara bebas melewati endotel pembuluh darah otak. Perubahan
CBF akibat dari pengaruh PaCO2 terjadi cepat namun tidak terus menerus. Meskipun pH arteri
naik, CBF akan kembali normal dalam waktu 6 sampai 8 jam oleh karena pH cairan
bikarbonat. Akibatnya, pada pasien dengan kondisi hiperventilasi atau hipoventilasi harus
menjadi perhatian. Kembalinya PaCO2 secara cepat akan menyebabkan asidosis CSF yang
14
signifikan. Hasil akhirnya yaitu terjadinya peningkatan tekanan intrakranial atau TIK (Miller,
2010).
3. PaO2
PaO2 hanya mempengaruhi CSF jika terjadi perubahan yang besar dimana hiperoksia hanya
menghasilkan penurunan minimal (10%) pada CBF dan hipoksemia berat (PaO2 <50 mmHg)
meningkatkan CBF. Bila PaO2 <50 mmHg akan terjadi vasodilatasi serebral dan aliran darah
otak akan meningkat. Peningkatan PaO2 hanya sedikit pengaruhnya terhadap resistensi
Atap tengkorak merupakan suatu sistem tertutup, dibentuk dari tulang – tulang dan
mempunyai volume konstan. Volume intra kranial ini dideskripsikan oleh doktrin „Monro-
Karena sebagian besar komponen intra kranial berupa cairan, dan bersifat non-compressible,
maka pada saat inta kranial terisi, TIK akan meningkat secara dramatis. Peningkatan TIK ini
dapat menyebabkan gangguan peredaran darah otak akibat penurunan tekanan perfusi serebral
Bila terjadi edema serebri atau lesi berefek massa, maka akan terjadi kompensasi di mana
cairan serebrospinal dan darah akan berpindah ke canalis spinalis dan vaskuler di extra
kranial. Pada keadaan yang lebih lanjut, tidak dapat terjadi kompensasi lagi sehingga TIK
Kurva ini memiliki 3 bagian : bagian yang mendatar, menggambarkan kompensasi yang baik
(A-B), bagian eksponensial menggambarkan penurunan kompensasi (B-C) dan bagian
terakhir yang mendatar menggambarkan gangguan terminal respon serebrovaskuler pada TIK
tinggi (C-D) (https://goo.gl/images/XzYzZZ)
adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan
pembedahan definitif. Dimana pasien yang menjalani tindakan operasi adalah pasien dengan
adanya tanda – tanda berupa penurunan kesadaran tiba-tiba, adanya tanda herniasi/lateralisasi,
adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi. Derajat serta durasi TBI
berhubungan dengan outcome setelah TBI, sehingga tindakan operasi yang dilakukan adalah
tindakan emergency guna menurunkan tekanan intra kranial yang terjadi pada pasien sehingga
diharapkan CPP akan membaik serta kesadaran pasien juga akan membaik. (Smith, 2008 ;
2.4 Kesadaran
Secara fisiologik, kesadaran memerlukan interaksi yang terus-menerus dan efektif antara
hemisfer otak dan formasio retikularis di batang otak. Kesadaran dapat digambarkan sebagai
kondisi awas-waspada dalam kesiagaan yang terus menerus terhadap keadaan lingkungan atau
rentetan pikiran kita. Hal ini berarti bahwa seseorang menyadari seluruh asupan dari panca
indera dan mampu bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun
dari dalam tubuh. Orang normal dengan tingkat kesadaran yang normal mempunyai respon
penuh terhadap pikiran atau persepsi yang tercermin pada perilaku dan bicaranya serta sadar
akan diri dan lingkungannya. Dalam keseharian, status kesadaran normal bisa mengalami
fluktuasi dari kesadaran penuh (tajam) atau konsentrasi penuh yang ditandai dengan pembatasan
area atensi sehingga berkurangnya konsentrasi dan perhatian, tetapi pada individu normal dapat
segera mengantisipasi untuk kemudian bisa kembali pada kondisi kesadaran penuh lagi.
Mekanisme ini hasil dari interaksi yang sangat kompleks antara bagian formasio retikularis
dengan korteks serebri dan batang otak serta semua rangsang sensorik (Hawthorne dan Piper,
2014).
Pada saat manusia tidur, sebenarnya terjadi sinkronisasi bagian-bagian otak. Bagian rostral
substansia retikularis disebut sebagai pusat penggugah atau arousal centre, merupakan pusat
diubah menjadi keadaan awas waspada. Bila pusat tidur tidak diaktifkan maka pembebasan dari
inhibisi mesensefalik dan nuklei retikularis pons bagian atas membuat area ini menjadi aktif
secara spontan. Keadaan ini sebaliknya akan merangsang korteks serebri dan sistem saraf tepi,
yang keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal umpan balik positif kembali ke nuklei
17
retikularis yang sama agar sistem ini tetap aktif. Begitu timbul keadaan siaga, maka ada
kecenderungan secara alami untuk mempertahankan kondisi ini, sebagai akibat dari seluruh
Masukan impuls yang menuju SSP yang berperan pada mekanisme kesadaran pada
prinsipnya ada dua macam, yaitu input yang spesifik dan non-spesifik. Input spesifik merupakan
impuls aferen khas yang meliputi impuls protopatik, propioseptif dan panca-indera.
Penghantaran impuls ini dari titik reseptor pada tubuh melalui jaras spinotalamik, lemniskus
medialis, jaras genikulo-kalkarina dan sebagainya menuju ke suatu titik di korteks perseptif
primer. Impuls aferen spesifik ini yang sampai di korteks akan menghasilkan kesadaran yang
sifatnya spesifik yaitu perasaan nyeri di kaki atau tempat lainnya, penglihatan, penghiduan atau
juga pendengaran tertentu. Sebagian impuls aferen spesifik ini melalui cabang kolateralnya akan
menjadi impuls non-spesifik karena penyalurannya melalui lintasan aferen non-spesifik yang
terdiri dari neuron-neuron di substansia retikularis medulla spinalis dan batang otak menuju ke
inti intralaminaris thalamus (dan disebut neuron penggalak kewaspadaan) berlangsung secara
multisinaptik, unilateral dan lateral, serta menggalakkan inti tersebut untuk memancarkan impuls
yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral yang dikenal sebagai diffuse
ascending reticular system. Neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls
aferen non-spesifik tersebut dinamakan neuron pengemban kewaspadaan. Lintasan aferen non-
spesifik ini menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke titik-titik pada seluruh
sisi korteks serebri. Jadi pada kenyataannya, pusat-pusat bagian bawah otaklah yaitu substansia
retikularis yang mengandung lintasan non-spesifik difus, yang menimbulkan “kesadaran” dalam
Derajat kesadaran itu sendiri ditentukan oleh banyak neuron penggerak atau neuron
pengemban kewaspadaan yang aktif. Unsur fungsional utama neuron-neuron ialah kemampuan
untuk dapat digalakkan sehingga menimbulkan potensial aksi. Selain itu juga didukung oleh
proses-proses yang memelihara kehidupan neuron-neuron serta unsur-unsur selular otak melalui
proses biokimiawi, karena derajat kesadaran bergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut
yang aktif. Adanya gangguan baik pada neuron-neuron pengemban kewaspadaan ataupun
penggerak kewaspadaan akan menimbulkan gangguan kesadaran. Struktur yang berperan dalam
Jaringan neuron dan serat saraf di batang otak yang menerima input dari traktus spinothalamikus
(sensorik) dan diteruskan ke seluruh korteks serebral. Arousal bergantung sepenuhnya pada
fungsi RAS yang adekuat. Arousal tidak ada hubungannya dengan fungsi berpikir otak. Respon
buka mata saat dipanggil berarti RAS berfungsi tapi tidak berarti orang tersebut sadar / aware.
2. Korteks Serebri
Memodulasi informasi yang berasal dari RAS karenanya korteks membutuhkan RAS untuk
berfungsi. Awareness berarti korteks serebral bekerja dengan baik dan pasien dapat berinteraksi
Selama evolusi praktek anestesi modern, penilaian kedalaman anestesi pada pasien
sebelumnya dari tanda-tanda klinis seperti respon pupil, pola pernapasan, kualitas denyut
nadi ditambah dengan pengukuran langsung dari titik akhir fisiologis termasuk tekanan
darah, denyut jantung dan laju pernapasan dan volume pernapasan. Dengan perkembangan
pulseoximetry dan kapnografi, penilaian yang tepat dari manajemen ventilasi mampu
dokter anestesi untuk mengukur konsentrasi agen farmakologis dan efek masing-masing
obat. Saat ini, fungsi jantung dapat dievaluasi dengan menggunakan teknologi canggih
yaitu dari kateter arteri pulmonalis dan transesophageal echocardiography (TEE) untuk
metode baru tekanan darah secara kontinu dan pemantauan curah jantung (Kelley, 2003).
20
selama anestesi, penentuan langsung efek dari anestesi dan obat penenang pada sistim saraf
pusat tetap menjadi suatu tantangan. Penyelidikan klinis yang cermat menunjukkan bahwa
respon hemodinamik tidak selalu memberikan representasi akurat dari respon sistim saraf
pusat untuk agen anestesi dan karena itu tidak dapat diandalkan indikator status otak.
dari sistim saraf pusat akan menyediakan ukuran langsung status otak selama anestesi dan
mencapai hasil terbaik untuk setiap pasien. Pemantauan yang akurat dan pentargetan efek
terhadap otak, dalam kombinasi dengan penilaian tanda-tanda klinis dan pemantauan
tradisional, akan memungkinkan pendekatan yang lebih lengkap untuk menyesuaikan dosis
dan campuran anestesi, obat penenang dan agen analgesik. (Kelley, 2003)
Monitor Indeks Bispectral (BIS) awalnya muncul untuk membantu praktisi anestesi
profesional sebagai sebuah metode langsung dan akurat dalam memonitor aktivitas otak
secara kontinu sepanjang perjalanan anestesi dan pembedahan. Monitor BIS dinilai mampu
menyediakan pengukuran terhadap efek hipnotik obat-obat anestesi. BIS adalah alat
pertama yang mampu secara kuantitatif memberikan gambaran EEG. Alat BIS terdiri dari
sensor, pengubah sinyal digital, dan monitor. Sensor ditempatkan pada dahi pasien untuk
mengambil sinyal listrik dari korteks serebral dan mentransfernya ke pengubah sinyal
digital. Monitor BIS ini mampu mengintegrasikan berbagai subparameter dari EEG
Artefak pada BIS dapat muncul apabila terdapat kegiatan listrik yang timbul dari
sumber selain otak, seperti anggota tubuh lainnya (misalnya gerakan mata dan gerakan
Telah diketahui selama puluhan tahun bahwa terjadi perubahan EEG dalam merespon
efek dari anestesi. Walaupun masing-masing obat dapat menginduksi beberapa efek unik
pada EEG, pola perubahan gelombang EEG tersebut secara keseluruhan sangatlah mirip
satu sama lain (Billard dkk., 2001). Seperti yang terlihat pada Gambar 2.4.1, selama
anestesi umum, perubahan EEG khas meliputi peningkatan rata-rata amplitudo (kekuatan)
Salah satu tujuan utama dalam pengembangan teknologi pemantauan status otak
adalah untuk mengidentifikasi fitur EEG yang sangat berhubungan dengan sedasi atau
hipnosis yang disebabkan oleh agen anestesi yang umum digunakan. Dalam
perkembangannya, BIS ini kemudian dapat pula digunakan untuk memonitor aktivitas
listrik otak pada pasien-pasien yang dirawat di ICU (Nasraway dkk., 2002), memberikan
prediksi terhadap hasil luaran neurologis pasien (Dou dkk., 2014; Xifeng, 2014),
22
memberikan gambaran tingkat kesadaran pada pasien dengan cedera otak traumatik (Jung,
2013), dan memperkirakan prognosis pada pasien koma (Schnakers dkk., 2008). Skor BIS
dianggap mampu mencerminkan status fungsional dari korteks serebri (Dou, 2014).
Angka yang muncul pada monitor BIS diperoleh dengan memanfaatkan gabungan dari
berbagai tehnik pemrosesan sinyal EEG termasuk analisis bispectral, analisis daya
algoritma untuk mengoptimalkan korelasi antara EEG dan efek klinis anestesi. Akibat dari
canggih dan rumitnya proses analisis ini, maka skor yang muncul pada monitor BIS
tidaklah menggambarkan kondisi aktivitas otak secara real time. Terdapat waktu
penundaan sekitar 15-30 detik dari didapatnya sinyal sampai saat skor BIS dari data
Indeks BIS adalah hasil pengolahan dari analisis bispektral dan algoritme BIS.
Analisis bispektral merupakan bagian dari gambaran EEG kortikal yang menggambarkan
perubahan yang terjadi pada hubungan antara neural generators di kortikal dan sub
kortikal. Apabila hubungan kortikal-sub kortikal tersebut berubah maka akan terlihat
perubahan pola pada EEG. Analisis bispektral ada sebuah metode pengolahan sinyal yang
rumit yang menilai hubungan antara komponen-komponen yang berubah akibat perubahan
sinyal yang diterima, dan kemudian melakukan sinkronisasi terhadap perubahan sinyal
tersebut. Dengan melakukan kuantifikasi terhadap hubungan antara semua frekuensi yang
tambahan dari EEG yang menggambarkan aktivitas otak selama fase hipnosis. (Jung, 2013)
Algoritma BIS didapatkan dari hasil observasi terhadap lebih dari 5.000 subjek yang
mendapatkan agen hipnotika tertentu. Berbagai modalitas digunakan untuk menilai efek
23
sedasi dari obat tersebut secara simultan. Salah satu modalitas kunci dalam penilaian itu
adalah gambaran EEG. Dari observasi itu diharapkan ditemukannya satu atau beberapa
fitur kunci (atau disebut juga „prediktor‟) yang berkorelasi kuat dengan kondisi sedasi atau
hipnosis. Data hasil observasi tersebut kemudian dianalisis dengan uji multivariat untuk
Secara umum sangatlah penting untuk mengukur tingkat kesadaran pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran. Hal ini membantu memiliki skala yang objektif dan
universal dalam mengukur tingkat kesadaran pasien, di mana tingkat kesadaran yang
diukur oleh satu dokter akan selalu memberikan hasil yang sama apabila diperiksa oleh
seorang dokter yang lain. Sebuah sistem penilaian yang konsisten akan mampu
24
meminimalkan perbedaan antar individu dokter, sehingga skala tersebut akan memberikan
yang hasil yang lebih baik bagi pasien karena para dokter akan mampu berkomunikasi
Penelitian yang dilakukan oleh Paul dan Rao (2006) mendapatkan bahwa BIS
memiliki korelasi yang signifikan terhadap GCS pada kasus-kasus cedera otak traumatik
(r=0,67, p<0,001). Rerata nilai BIS dilaporkan meningkat sesuai dengan meningkatnya
skor GCS. Rerata nilai BIS pada pasien CKR adalah 65,7 ± 16,1 dan pada CKS adalah
86,7 ± 6,1. Sementara Jung (2013) mendapatkan bahwa rerata nilai BIS pada keadaan
koma, semi-koma, stupor, dan drowsiness adalah seacar berturut-turut 0,14 ± 0,23, 38,9 ±
18,0, 60,3 ± 14,5, dan 73,6 ± 16,5. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan BIS rupanya
tidak hanya terbatas pada tindakan anestesia, melainkan juga dapat pula digunakan untuk
menilai tingkat aktivitas kelistrikan otak pada pasien cedera otak traumatik. Apabila
korelasi antara BIS dan GCS ini kuat, maka proses pelaporan dan komunikasi antara
personil medis di masa depan akan lebih universal dan lebih objektif dibandingkan
Banyak skala yang telah dikembangkan untuk menilai fungsi serta kecacatan yang
mengikuti cedera otak traumatik. Skala fungsional ini bertujuan untuk menilai secara
obyektif pada kehidupan pasien setelah terjadinya cedera otak traumatik. Glasgow Outcome
Scale Extended (GOSE) Awalnya dijelaskan pada tahun 1975, GOSE telah menjadi metode
yang paling banyak digunakan untuk mengklasifikasikan hasil pada pasien cedera otak
Banyak penelitian mengenai keluaran pasien traumatik brain injury yang dilakukan
penguruan BIS sebelumnya, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Hana dan
kawan – kawan. Penelitian saat itu dilakukan pada 25 pasien diantaranya terdiri dari 18
pasien pasien dengan cedera otak traumatik berat dan 7 pasien dengan cedera otak traumatik
sedang. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa adanya hubungan yang kuat
antara BIS dan GOS, dimana nilai BIS yang lebih besar atau sama dengan 60 berhubungan
dengan keluaran yang baik sementara nilai BIS dibawah atau sama dengan 40 berhubungan
Outcome atau hasil akhir kondisi pasien setelah cedera otak dan setelah dilakukan
Outcome Scale Extended (GOSE). GOSE dapat dinilai setelah pasien keluar dari rumah
sakit (saat kontrol pertama kali), pada 3 bulan, 6 bulan bahkan 12 bulan setelah mengalami
cedera otak (Sharda et al, 2014). Adapun hasil interpretasi akan GOSE tersebut adalah
dimulainya kembali kehidupan normal dengan kapasitas untuk bekerja walaupun statusnya
pra-luka belum tercapai. Beberapa pasien memiliki neurologis minor atau psikologis
defisit. Jika defisit ini tidak menganggu disebut tingkat atas good recovery (GOSE 8), jika
menganggu maka itu adalah tingkat yang lebih rendah dari good recovery (GOSE 7).
Pasien memiliki beberapa kecacatan seperti aphasia, hemiparesis atau epilepsi dan / atau
defisit memori atau kepribadian tetapi mampu menjaga diri mereka sendiri. Mereka
independen di rumah, tetapi tergantung di luar. Jika mereka dapat kembali bekerja bahkan
dengan pengaturan khusus itu adalah tingkat atas dari moderate disability (GOSE 6), jika
tidak maka itu adalah rendahnya tingkat moderate disability (GOSE 5). Pasien yang
tergantung dukungan setiap hari untuk mental atau cacat fisiknya, biasanya kombinasi
26
keduanya. Jika pasien dapat ditinggalkan sendirian selama lebih dari 8 jam di rumah itu
tingkat atas dari severe disability (GOSE 4), jika tidak maka itu adalah rendahnya tingkat
severe disability (GOSE 3). Pasien dengan vegetative state (GOSE 2) menunjukkan tidak
adanya kesadaran terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitarnya. Nilai GOSE yang
terakhir adalah kematian (GOSE 1) (Pettigrew et al, 1998 ; Jennett, 2005 ; William et al,
2008).
Tabel 2.6
vegetative state 2
Dead 1