Anda di halaman 1dari 22

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Cedera kepala

Cedera kepala memiliki definisi yang luas. Secara anatomis cedera kepala dapat diartikan

sebagai trauma yang mengenai bagian tubuh di atas batas bawah mandibula. Secara umum,

trauma maksilofasial dipisahkan dari cedera kepala, walaupun keduanya sering terjadi

bersamaan. Terminologi „cedera kraniomaksilofasial‟ digunakan untuk mengelompokkan cedera

yang terjadi pada wajah dan bagian frontal (Rilley dan Bullock , 2005).

Kepala meliputi scalp, tulang tengkorak, meningen, pembuluh darah, otak dan bagian

konstituennya. Terminologi „cedera kranioserebral‟ biasanya digunakan untuk menggambarkan

bahwa otak tidak dapat dipisahkan dari integumennya. „Trauma‟ merujuk pada sumber energi

eksternal, seperti gaya mekanik, yang menyebabkan cedera fisik pada semua jaringan yang

meliputi kepala. Trauma kimia, elektrik dan termal, biasanya terpisah dari cedera kepala dan

dikategorikan sebagai combustio (luka bakar), namun luka bakar kranioserebral yang dalam tetap

membutuhkan penanganan bedah saraf, walaupun kasus seperti ini sangat jarang (Rilley dan

Bullock, 2005).

Cedera kepala harus dibedakan dari cedera otak, di mana cedera otak lebih menunjukkan

kerusakan neurologis. Cedera otak sebaiknya digolongkan sebagai sub grup dari cedera kepala.

Berbagai definisi cedera kepala secara epidemiologis ditunjukkan dalam tabel berikut.
6

Tabel 2.1
Variasi definisi cedera kepala

Field (1976) „Trauma yang menyebabkan resiko kerusakan otak‟


Menggunakan ICD-9.

Anderson dan „Trauma pada otak atau spinal cord . Di sini, trauma
McLaurin (1980) merujuk pada cedera fisik pada jaringan hidup yang
disebabkan oleh gaya eksternal‟.

Jennett dan „Pasien dengan riwayat pukulan pada kepala atau dengan
MacMillan (1981) gangguan kesadaran setelah cedera yang relevan atau
Dengan laserasi pada scalp atau dahi, atau yang mendapat
pemeriksaan X-Ray.

Klauber et al „Pasien yang cedera kepalanya menghasilkan fraktur tulang


(1981) tengkorak, tidak sadar, amnesia, defisit neurologis atau
kejang‟.

Selecki et al „Cedera pada otak atau tulang tengkorak‟


(1981)

Kraus et al „Kerusakan fisik pada, atau gangguan fungsional dari, isi


(1984) kranium, tidak termasuk trauma lahir‟.

Jagger, Levine „Cedera kepala yang tercatat dengan riwayat kehilangan


dan Jane (1984) kesadaran, amnesia post traumatik atau fraktur tulang
tengkorak‟.

Brookes et al „Setiap cedera pada scalp termasuk bengkak, abrasi, atau


(1990) kontusio maupun laserasi ; atau riwayat pukulan pada
kepala ; atau setiap pasien yang dilakukan Skull X-Ray
segera setelah trauma, dan pasien dengan bukti klinis
terdapat fraktur pada dasar tengkorak‟.

Sumber : Rilley dan Bullock, 2005.

2.1.1. Patofisiologi Cedera Kepala


Konsumsi oksigen otak (Cerebral Metabolicrate for Oxygen / CMRO2) adalah sekitar 3,5

mL / 100 g/ min. Otak bergantung pada glukosa yang dibawa oleh aliran darah untuk 90%

kebutuhan energinya. Aliran darah serebral yang normal adalah kira – kira 55 mL / 100 g / min

dan biasanya dipertahankan pada level konstan lewat mekanisme autoregulasi serebral. Hal ini di
7

luar variasi Mean Arterial Pressure / MAP yang berkisar antara 50 – 150 mmHg. Pada TBI,

mekanisme auto regulasi serebral terganggu. Aliran darah serebral kemudian berfluktuasi dengan

MAP dan otak menjadi lebih rentan terhadap hipotensi (William et al, 2008).

Otak dilindungi oleh wadah yang rigid / kaku yaitu tulang tengkorak. Penambahan lesi

berefek massa akan menyebabkan kompensasi dengan cara memindahkan cairan serebrospinal

(Cerebrospinal Fluid / CSF) dan darah vena keluar dari ruang intra kranial. Selama periode ini,

tekanan intra kranial (Intra Cranial Pressure / ICP) akan tetap berada pada level normal. Pada

saat terjadi ekspansi lebih jauh dari lesi berefek massa, sedikit peningkatan volume akan

berakibat peningkatan TIK yang relatif besar, herniasi otak dan perburukan klinis (William et al,

2008).

Gambar 2.1.1.1 Doktrin Monro-Kellie


Saat lesi berefek massa bertambah besar, awalnya terjadi kompensasi di mana tekanan intra
kranial tetap normal. Setelah mencapai titik dekompensasi, pertambahan ukuran yang sangat
kecil pada lesi berefek massa akan menyebabkan peningkatan bermakna tekanan intra cranial
(https://goo.gl/images/vJYtY3).
8

Gambar 2.1.1.2 Point of compensation and decompensation.


Intra kranial normal terdiri dari jaringan otak, CSF, darah arteri dan vena. Selama fase
kompensasi, volume CSF dan darah vena dikurangi. Saat kompensasi mencapai maksimal (titik
dekompensasi tercapai) ; sedikit pertambahan ukuran lesi berefek massa akan menyebabkan
herniasi otak
(https://goo.gl/images/vyqtGo).

Gambar 2.1.1.3 Herniasi otak.


Herniasi girus Cingulata, di bawah falx serebri disebut herniasi subfalcine. (1). Herniasi
berhubungan dengan midline shift. (2). Herniasi uncus dari lobus temporal (3) berhubungan
dengan kompresi N.III ipsilateral. Herniasi sentral (4) dan herniasi tonsiler (5) berhubungan
dengan kompresi struktur batang otak (https://goo.gl/images/Tb2mCV).
9

2.1.2. Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera otak primer (Primary Brain Injury) terjadi tepat pada saat benturan dan termasuk

cedera seperti kontusio hemisfer dan batang otak, diffuse axonal injury dan laserasi kortikal.

Cedera otak sekunder terjadi beberapa waktu setelah terjadinya benturan dan sering tidak dapat

dicegah. Penyebab utama dari cedera otak sekunder adalah hipoksia, hipotensi, peningkatan TIK,

penurunan tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion Pressure / CPP) dan pireksia (tabel

2.1.2.1). Pencegahan cedera otak sekunder menghasilkan peningkatan outcome neurologis

setelah cedera kepala (William et al, 2008).

Tabel 2.1.2.1

Penyebab cedera otak sekunder

• Hypoxia : PO2 < 8 kPa

• Hypotension : systolic blood pressure (SBP) < 90 mmHg

• Raised intracranial pressure (ICP) : ICP > 20 mmHg

• Low cerebral perfusion pressure (CPP) : CPP < 65 mmHg

• Pyrexia

• Seizures

• Metabolic disturbance

Sumber : William et al, 2008.

Beratnya cedera kepala dikelompokkan menurut Glasgow Coma Scale (GCS). GCS,

khususnya skor motorik, merupakan prediktor outcome neurologis terbaik.

a. Cedera kepala minor (Minor Head Injury) : GCS 15 tanpa riwayat pingsan

(loss of concsciousness / LOC) ;


10

b. Cedera kepala ringan (Mild Head Injury) : GCS 14 atau 15 dengan LOC ;

c. Cedera kepala sedang (Moderate Head Injury) : GCS 9-13 ;

d. Cedera kepala berat (Severe Head Injury) : GCS 3-8.

(Golden et al, 2013 ; William et al, 2008)

Tabel 2.1.2.2
Glasgow Coma Scale (GCS)

Sumber : William et al, 2008


11

Tabel 2.1.2.3
Pemeriksaan fisik pada cedera kepala
Examination in head injury

 Glasgow Coma Score


 Pupil size and response
 Lateralising signs
 Signs of base of skull fracture
Bilateral periorbital oedaema (racoon eyes)
Battle‟s sign (bruising over mastoid)
Cerebrospinal fluid rhinorrhoea or otorrhoea
Haemotympanum or bleeding from ear
 Full neurological examination : tone, power, sensation, reflexes

Sumber : William et al, 2008

2.2. Neurofisiologi

Otak bertanggung jawab terhadap 20% dari total konsumsi oksigen tubuh. Sebagian besar

konsumsi oksigen otak (60%) dipergunakan untuk menghasilkan adenosine triphosphat (ATP)

untuk mendukung aktivitas listrik saraf. Kecepatan metabolisme otak yang biasa disebut sebagai

konsumsi oksigen otak (CMRO2), sekitar 3-3,8 ml/100 g/menit pada orang dewasa. CMRO2

paling tinggi di substansia korteks serebri dan biasanya sejalan dengan aktivitas listrik di daerah

korteks. Oleh karena tingginya konsumsi oksigen dan tidak adanya cadangan oksigen,

berhentinya perfusi otak akan menyebabkan keadaan tidak sadar dalam waktu 10 detik saat

oksigen turun dengan cepat di bawah 30 mmHg. Jika aliran darah tidak kembali dalam waktu 3-8

menit, cadangan ATP akan menurun dan terjadi kerusakan sel yang menetap (Morgan, 2006).

Aliran darah otak (Cerebral Blood Flow/CBF) bergantung pada tekanan arteri serebral dan

resistensi pembuluh darah serebral. Aliran darah otak rata-rata sekitar 50-54 ml/100 gram

otak/menit atau kira-kira 15% dari curah jantung. Aliran darah ke substansia grisea 75-80 ml/100

gram otak/menit sedangkan ke substansia alba 20-30 ml/100 gram/menit karena metabolisme
12

otak lebih banyak di substansia grisea. Pada bayi dan anak-anak, aliran darah otak secara global

lebih tinggi daripada dewasa yaitu sekitar 65 ml/100 gram/menit. Bila aliran darah otak

mencapai <20 ml/100 gram/menit, elektroensefalogram (EEG) akan menunjukkan tanda-tanda

iskemik. Sedangkan bila aliran darah otak mencapai 6-9 ml/100gram/menit, ion kalsium akan

masuk dalam sel (Bisri, 2012).

Tekanan perfusi otak (Cerebral Perfusion Pressure/CPP) adalah perbedaan tekanan arteri

rerata dengan tekanan vena rata-rata pada sinus sagitalis. Nilai normalnya sekitar 80-90 mmHg.

CPP akan menurun bila ada penurunan tekanan arteri atau kenaikan tekanan intrakranial

(Intracranial Pressure/ICP). Bila CPP turun sampai 50 mmHg, EEG akan terlihat melambat dan

ada perubahan ke arah serebral iskemia. Pada CPP yang kurang dari 40 mmHg, EEG menjadi

datar, menunjukkan adanya proses iskemik yang berat yang dapat bersifat reversible atau

irreversible. Bila CPP kurang dari 20 mmHg untuk jangka waktu lama, akan terjadi iskemik

neuron yang bersifat irreversible (Bisri, 2012). Pasien dengan cedera kepala dengan CPP kurang

dari 50 mmHg akan mempunyai prognosis yang buruk. Pada ICP yang tinggi, supaya CPP

adekuat, maka perlu tetap mempertahankan tekanan darah yang normal atau sedikit lebih tinggi.

Tekanan perfusi otak perlu dipertahankan antara 50-70 mmHg (Bisri, 2012).

Banyak faktor yang mempengaruhi CBF. Metabolisme otak, tekanan darah, PaO2, PaCO2,

suhu tubuh, sistem simpatis-parasimpatis, dan juga obat-obatan dapat mempengaruhi CBF.

Keadaan patologik dalam otak juga mempengaruhi CBF secara global dan regional. Aliran darah

otak terutama diatur oleh autoregulasi, PaO2 dan PaCO2. (Saleh, 2004).

1. Autoregulasi

Autoregulasi adalah kemampuan otak untuk melakukan regulasi dengan mengubah diameter

dari pembuluh darah serebral dengan tujuan mengimbangi perubahan MAP sehingga dapat
13

menjaga CPP tetap pada batas yang dapat ditoleransi otak. Aliran darah otak dipertahankan

konstan pada MAP 50-150 mmHg. Autoregulasi yang disebabkan oleh kontraksi otot polos

dinding pembuluh darah otak sebagai jawaban perubahan tekanan transmural. Jika melebihi

batas ini, walaupun dengan dilatasi maksimal atau konstriksi maksimal dari pembuluh darah

otak, aliran darah otak akan mengikuti tekanan perfusi otak secara pasif. Bila aliran darah otak

sangat berkurang (MAP <50 mmHg) bisa terjadi serebral iskemia. Jika diatas normal (>150

mmHg), tekanan akan merusak daya konstriksi pembuluh darah dan aliran darah otak akan

naik tiba-tiba yang akan menyebabkan kerusakan sawar darah otak. Rusaknya sawar darah otak

akan menyebabkan terjadinya edema serebri dan perdarahan otak (Saleh, 2004).

2. PaCO2

Perubahan CBF berkaitan langsung dengan PaCO2. Efeknya paling besar pada rentang variasi

fisiologis dari PaCO2. Nilai CBF berubah 1-2 ml/100 gram/menit setiap 1 mmHg perubahan

PaCO2 pada nilai PaCO2 normal. Respon ini menurun dibawah nilai PaCO2 25 mmHg.

Perubahan pada CBF yang disebabkan oleh PaCO2 tergantung pada pengaruh pH di cairan

ekstraseluler dari otak. Respon vasodilatasi terhadap hiperkapnia juga dimediasi oleh

prostaglandin. Perubahan pH ekstraseluler dan CBF segera terjadi setelah penyesuaian PaCO2

oleh karena CO2 berdifusi secara bebas melewati endotel pembuluh darah otak. Perubahan

CBF akibat dari pengaruh PaCO2 terjadi cepat namun tidak terus menerus. Meskipun pH arteri

naik, CBF akan kembali normal dalam waktu 6 sampai 8 jam oleh karena pH cairan

serebrospinal (cerebrospinal fluid/CSF) akan kembali normal sebagai akibat pengeluaran

bikarbonat. Akibatnya, pada pasien dengan kondisi hiperventilasi atau hipoventilasi harus

menjadi perhatian. Kembalinya PaCO2 secara cepat akan menyebabkan asidosis CSF yang
14

signifikan. Hasil akhirnya yaitu terjadinya peningkatan tekanan intrakranial atau TIK (Miller,

2010).

3. PaO2

PaO2 hanya mempengaruhi CSF jika terjadi perubahan yang besar dimana hiperoksia hanya

menghasilkan penurunan minimal (10%) pada CBF dan hipoksemia berat (PaO2 <50 mmHg)

meningkatkan CBF. Bila PaO2 <50 mmHg akan terjadi vasodilatasi serebral dan aliran darah

otak akan meningkat. Peningkatan PaO2 hanya sedikit pengaruhnya terhadap resistensi

pembuluh darah serebral (Saleh, 2004).

2.3 Tekanan Intra Kranial (TIK)

Atap tengkorak merupakan suatu sistem tertutup, dibentuk dari tulang – tulang dan

mempunyai volume konstan. Volume intra kranial ini dideskripsikan oleh doktrin „Monro-

Kellie‟ pada awal abad ke-19.

v. intracranial (constant) = v. brain + v. CSF + v. blood + v. mass lesion.

Karena sebagian besar komponen intra kranial berupa cairan, dan bersifat non-compressible,

maka pada saat inta kranial terisi, TIK akan meningkat secara dramatis. Peningkatan TIK ini

dapat menyebabkan gangguan peredaran darah otak akibat penurunan tekanan perfusi serebral

(Bhatia dan Kumar Gupta, 2007 ; Karamanos et al, 2014).

Bila terjadi edema serebri atau lesi berefek massa, maka akan terjadi kompensasi di mana

cairan serebrospinal dan darah akan berpindah ke canalis spinalis dan vaskuler di extra

kranial. Pada keadaan yang lebih lanjut, tidak dapat terjadi kompensasi lagi sehingga TIK

terus meningkat (Dawodu, 2007).


15

Gambar 2.3 Kurva volume TIK

Kurva ini memiliki 3 bagian : bagian yang mendatar, menggambarkan kompensasi yang baik
(A-B), bagian eksponensial menggambarkan penurunan kompensasi (B-C) dan bagian
terakhir yang mendatar menggambarkan gangguan terminal respon serebrovaskuler pada TIK
tinggi (C-D) (https://goo.gl/images/XzYzZZ)

Peningkatan TIK merupakan penyebab cedera otak sekunder. Trepanasi/kraniotomi

adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan

pembedahan definitif. Dimana pasien yang menjalani tindakan operasi adalah pasien dengan

adanya tanda – tanda berupa penurunan kesadaran tiba-tiba, adanya tanda herniasi/lateralisasi,

adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi. Derajat serta durasi TBI

berhubungan dengan outcome setelah TBI, sehingga tindakan operasi yang dilakukan adalah

tindakan emergency guna menurunkan tekanan intra kranial yang terjadi pada pasien sehingga

diharapkan CPP akan membaik serta kesadaran pasien juga akan membaik. (Smith, 2008 ;

Hawthorne dan Piper, 2014).


16

2.4 Kesadaran

Secara fisiologik, kesadaran memerlukan interaksi yang terus-menerus dan efektif antara

hemisfer otak dan formasio retikularis di batang otak. Kesadaran dapat digambarkan sebagai

kondisi awas-waspada dalam kesiagaan yang terus menerus terhadap keadaan lingkungan atau

rentetan pikiran kita. Hal ini berarti bahwa seseorang menyadari seluruh asupan dari panca

indera dan mampu bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun

dari dalam tubuh. Orang normal dengan tingkat kesadaran yang normal mempunyai respon

penuh terhadap pikiran atau persepsi yang tercermin pada perilaku dan bicaranya serta sadar

akan diri dan lingkungannya. Dalam keseharian, status kesadaran normal bisa mengalami

fluktuasi dari kesadaran penuh (tajam) atau konsentrasi penuh yang ditandai dengan pembatasan

area atensi sehingga berkurangnya konsentrasi dan perhatian, tetapi pada individu normal dapat

segera mengantisipasi untuk kemudian bisa kembali pada kondisi kesadaran penuh lagi.

Mekanisme ini hasil dari interaksi yang sangat kompleks antara bagian formasio retikularis

dengan korteks serebri dan batang otak serta semua rangsang sensorik (Hawthorne dan Piper,

2014).

Pada saat manusia tidur, sebenarnya terjadi sinkronisasi bagian-bagian otak. Bagian rostral

substansia retikularis disebut sebagai pusat penggugah atau arousal centre, merupakan pusat

aktivitas yang menghilangkan sinkronisasi (melakukan desinkronisasi), di mana keadaan tidur

diubah menjadi keadaan awas waspada. Bila pusat tidur tidak diaktifkan maka pembebasan dari

inhibisi mesensefalik dan nuklei retikularis pons bagian atas membuat area ini menjadi aktif

secara spontan. Keadaan ini sebaliknya akan merangsang korteks serebri dan sistem saraf tepi,

yang keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal umpan balik positif kembali ke nuklei
17

retikularis yang sama agar sistem ini tetap aktif. Begitu timbul keadaan siaga, maka ada

kecenderungan secara alami untuk mempertahankan kondisi ini, sebagai akibat dari seluruh

ativitas umpan balik positif tersebut (Hawthorne dan Piper, 2014).

Masukan impuls yang menuju SSP yang berperan pada mekanisme kesadaran pada

prinsipnya ada dua macam, yaitu input yang spesifik dan non-spesifik. Input spesifik merupakan

impuls aferen khas yang meliputi impuls protopatik, propioseptif dan panca-indera.

Penghantaran impuls ini dari titik reseptor pada tubuh melalui jaras spinotalamik, lemniskus

medialis, jaras genikulo-kalkarina dan sebagainya menuju ke suatu titik di korteks perseptif

primer. Impuls aferen spesifik ini yang sampai di korteks akan menghasilkan kesadaran yang

sifatnya spesifik yaitu perasaan nyeri di kaki atau tempat lainnya, penglihatan, penghiduan atau

juga pendengaran tertentu. Sebagian impuls aferen spesifik ini melalui cabang kolateralnya akan

menjadi impuls non-spesifik karena penyalurannya melalui lintasan aferen non-spesifik yang

terdiri dari neuron-neuron di substansia retikularis medulla spinalis dan batang otak menuju ke

inti intralaminaris thalamus (dan disebut neuron penggalak kewaspadaan) berlangsung secara

multisinaptik, unilateral dan lateral, serta menggalakkan inti tersebut untuk memancarkan impuls

yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral yang dikenal sebagai diffuse

ascending reticular system. Neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls

aferen non-spesifik tersebut dinamakan neuron pengemban kewaspadaan. Lintasan aferen non-

spesifik ini menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke titik-titik pada seluruh

sisi korteks serebri. Jadi pada kenyataannya, pusat-pusat bagian bawah otaklah yaitu substansia

retikularis yang mengandung lintasan non-spesifik difus, yang menimbulkan “kesadaran” dalam

korteks serebri (Saleh, 2004).


18

Derajat kesadaran itu sendiri ditentukan oleh banyak neuron penggerak atau neuron

pengemban kewaspadaan yang aktif. Unsur fungsional utama neuron-neuron ialah kemampuan

untuk dapat digalakkan sehingga menimbulkan potensial aksi. Selain itu juga didukung oleh

proses-proses yang memelihara kehidupan neuron-neuron serta unsur-unsur selular otak melalui

proses biokimiawi, karena derajat kesadaran bergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut

yang aktif. Adanya gangguan baik pada neuron-neuron pengemban kewaspadaan ataupun

penggerak kewaspadaan akan menimbulkan gangguan kesadaran. Struktur yang berperan dalam

kesadaran antara lain:

1. Reticular Activating System (RAS)

Jaringan neuron dan serat saraf di batang otak yang menerima input dari traktus spinothalamikus

(sensorik) dan diteruskan ke seluruh korteks serebral. Arousal bergantung sepenuhnya pada

fungsi RAS yang adekuat. Arousal tidak ada hubungannya dengan fungsi berpikir otak. Respon

buka mata saat dipanggil berarti RAS berfungsi tapi tidak berarti orang tersebut sadar / aware.

2. Korteks Serebri

Memodulasi informasi yang berasal dari RAS karenanya korteks membutuhkan RAS untuk

berfungsi. Awareness berarti korteks serebral bekerja dengan baik dan pasien dapat berinteraksi

dan menginterpretasi lingkungannya.


19

Gambar 2.4 Reticular Activating System (http://goo.gl/images/h6FjAd)

2.5 Indeks Bispectral (BIS)

Selama evolusi praktek anestesi modern, penilaian kedalaman anestesi pada pasien

telah mengalami perubahan bertahap dan perbaikan. Pengamatan kedalaman anestesi

sebelumnya dari tanda-tanda klinis seperti respon pupil, pola pernapasan, kualitas denyut

nadi ditambah dengan pengukuran langsung dari titik akhir fisiologis termasuk tekanan

darah, denyut jantung dan laju pernapasan dan volume pernapasan. Dengan perkembangan

pulseoximetry dan kapnografi, penilaian yang tepat dari manajemen ventilasi mampu

ditegakkan. Penggunaan end-tidal dan stimulasi saraf perifer memberikan kemampuan

dokter anestesi untuk mengukur konsentrasi agen farmakologis dan efek masing-masing

obat. Saat ini, fungsi jantung dapat dievaluasi dengan menggunakan teknologi canggih

yaitu dari kateter arteri pulmonalis dan transesophageal echocardiography (TEE) untuk

metode baru tekanan darah secara kontinu dan pemantauan curah jantung (Kelley, 2003).
20

Meskipun perkembangan yang luar biasa dalam penilaian sistim kardiovaskular

selama anestesi, penentuan langsung efek dari anestesi dan obat penenang pada sistim saraf

pusat tetap menjadi suatu tantangan. Penyelidikan klinis yang cermat menunjukkan bahwa

respon hemodinamik tidak selalu memberikan representasi akurat dari respon sistim saraf

pusat untuk agen anestesi dan karena itu tidak dapat diandalkan indikator status otak.

Sebaliknya, teknologi yang akan memungkinkan pemantauan neurofisiologis independen

dari sistim saraf pusat akan menyediakan ukuran langsung status otak selama anestesi dan

sedasi, yang memungkinkan dokter untuk menyempurnakan manajemen perioperatif dan

mencapai hasil terbaik untuk setiap pasien. Pemantauan yang akurat dan pentargetan efek

terhadap otak, dalam kombinasi dengan penilaian tanda-tanda klinis dan pemantauan

tradisional, akan memungkinkan pendekatan yang lebih lengkap untuk menyesuaikan dosis

dan campuran anestesi, obat penenang dan agen analgesik. (Kelley, 2003)

Monitor Indeks Bispectral (BIS) awalnya muncul untuk membantu praktisi anestesi

profesional sebagai sebuah metode langsung dan akurat dalam memonitor aktivitas otak

secara kontinu sepanjang perjalanan anestesi dan pembedahan. Monitor BIS dinilai mampu

menyediakan pengukuran terhadap efek hipnotik obat-obat anestesi. BIS adalah alat

pertama yang mampu secara kuantitatif memberikan gambaran EEG. Alat BIS terdiri dari

sensor, pengubah sinyal digital, dan monitor. Sensor ditempatkan pada dahi pasien untuk

mengambil sinyal listrik dari korteks serebral dan mentransfernya ke pengubah sinyal

digital. Monitor BIS ini mampu mengintegrasikan berbagai subparameter dari EEG

menjadi variabel tunggal. (Kelley, 2003)


21

Artefak pada BIS dapat muncul apabila terdapat kegiatan listrik yang timbul dari

sumber selain otak, seperti anggota tubuh lainnya (misalnya gerakan mata dan gerakan

rahang), lingkungan, atau peralatan.

Gambar 2.5.1 Kompleksitas gambaran gelombang EEG- gambaran gelombang dianalisa


menggunakan tipe gelombang amplitude (microvolts) dan frekuensi (cycles/second – Hz).
(https://goo.gl/images/SfSkrW)

Telah diketahui selama puluhan tahun bahwa terjadi perubahan EEG dalam merespon

efek dari anestesi. Walaupun masing-masing obat dapat menginduksi beberapa efek unik

pada EEG, pola perubahan gelombang EEG tersebut secara keseluruhan sangatlah mirip

satu sama lain (Billard dkk., 2001). Seperti yang terlihat pada Gambar 2.4.1, selama

anestesi umum, perubahan EEG khas meliputi peningkatan rata-rata amplitudo (kekuatan)

dan penurunan frekuensi rata-rata. (Dou dkk., 2014)

Salah satu tujuan utama dalam pengembangan teknologi pemantauan status otak

adalah untuk mengidentifikasi fitur EEG yang sangat berhubungan dengan sedasi atau

hipnosis yang disebabkan oleh agen anestesi yang umum digunakan. Dalam

perkembangannya, BIS ini kemudian dapat pula digunakan untuk memonitor aktivitas

listrik otak pada pasien-pasien yang dirawat di ICU (Nasraway dkk., 2002), memberikan

prediksi terhadap hasil luaran neurologis pasien (Dou dkk., 2014; Xifeng, 2014),
22

memberikan gambaran tingkat kesadaran pada pasien dengan cedera otak traumatik (Jung,

2013), dan memperkirakan prognosis pada pasien koma (Schnakers dkk., 2008). Skor BIS

dianggap mampu mencerminkan status fungsional dari korteks serebri (Dou, 2014).

Angka yang muncul pada monitor BIS diperoleh dengan memanfaatkan gabungan dari

berbagai tehnik pemrosesan sinyal EEG termasuk analisis bispectral, analisis daya

spektral, dan analisis domain waktu. Langkah-langkah ini dikombinasikan melalui

algoritma untuk mengoptimalkan korelasi antara EEG dan efek klinis anestesi. Akibat dari

canggih dan rumitnya proses analisis ini, maka skor yang muncul pada monitor BIS

tidaklah menggambarkan kondisi aktivitas otak secara real time. Terdapat waktu

penundaan sekitar 15-30 detik dari didapatnya sinyal sampai saat skor BIS dari data

tersebut muncul di monitor BIS. (Dou, 2014)

Indeks BIS adalah hasil pengolahan dari analisis bispektral dan algoritme BIS.

Analisis bispektral merupakan bagian dari gambaran EEG kortikal yang menggambarkan

perubahan yang terjadi pada hubungan antara neural generators di kortikal dan sub

kortikal. Apabila hubungan kortikal-sub kortikal tersebut berubah maka akan terlihat

perubahan pola pada EEG. Analisis bispektral ada sebuah metode pengolahan sinyal yang

rumit yang menilai hubungan antara komponen-komponen yang berubah akibat perubahan

sinyal yang diterima, dan kemudian melakukan sinkronisasi terhadap perubahan sinyal

tersebut. Dengan melakukan kuantifikasi terhadap hubungan antara semua frekuensi yang

dihasilkan oleh sinyal tersebut, analisis bispektral mampu menghasilkan deskriptor

tambahan dari EEG yang menggambarkan aktivitas otak selama fase hipnosis. (Jung, 2013)

Algoritma BIS didapatkan dari hasil observasi terhadap lebih dari 5.000 subjek yang

mendapatkan agen hipnotika tertentu. Berbagai modalitas digunakan untuk menilai efek
23

sedasi dari obat tersebut secara simultan. Salah satu modalitas kunci dalam penilaian itu

adalah gambaran EEG. Dari observasi itu diharapkan ditemukannya satu atau beberapa

fitur kunci (atau disebut juga „prediktor‟) yang berkorelasi kuat dengan kondisi sedasi atau

hipnosis. Data hasil observasi tersebut kemudian dianalisis dengan uji multivariat untuk

menilai korelasi antar variabelnya. (Jung, 2013)

Gambar 2.5.2 Bagan langkah pengolahan data dari algoritma BIS.


(https://goo.gl/images/ADxRoj)

Secara umum sangatlah penting untuk mengukur tingkat kesadaran pada pasien yang

mengalami penurunan kesadaran. Hal ini membantu memiliki skala yang objektif dan

universal dalam mengukur tingkat kesadaran pasien, di mana tingkat kesadaran yang

diukur oleh satu dokter akan selalu memberikan hasil yang sama apabila diperiksa oleh

seorang dokter yang lain. Sebuah sistem penilaian yang konsisten akan mampu
24

meminimalkan perbedaan antar individu dokter, sehingga skala tersebut akan memberikan

yang hasil yang lebih baik bagi pasien karena para dokter akan mampu berkomunikasi

perihal kondisi neurologis pasien dengan lebih tepatnya. (Jung, 2013)

Penelitian yang dilakukan oleh Paul dan Rao (2006) mendapatkan bahwa BIS

memiliki korelasi yang signifikan terhadap GCS pada kasus-kasus cedera otak traumatik

(r=0,67, p<0,001). Rerata nilai BIS dilaporkan meningkat sesuai dengan meningkatnya

skor GCS. Rerata nilai BIS pada pasien CKR adalah 65,7 ± 16,1 dan pada CKS adalah

86,7 ± 6,1. Sementara Jung (2013) mendapatkan bahwa rerata nilai BIS pada keadaan

koma, semi-koma, stupor, dan drowsiness adalah seacar berturut-turut 0,14 ± 0,23, 38,9 ±

18,0, 60,3 ± 14,5, dan 73,6 ± 16,5. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan BIS rupanya

tidak hanya terbatas pada tindakan anestesia, melainkan juga dapat pula digunakan untuk

menilai tingkat aktivitas kelistrikan otak pada pasien cedera otak traumatik. Apabila

korelasi antara BIS dan GCS ini kuat, maka proses pelaporan dan komunikasi antara

personil medis di masa depan akan lebih universal dan lebih objektif dibandingkan

menggunakan skor GCS saja. (Jung, 2013)

2.6 Glasgow Outcome Scale Extended (GOSE)

Banyak skala yang telah dikembangkan untuk menilai fungsi serta kecacatan yang

mengikuti cedera otak traumatik. Skala fungsional ini bertujuan untuk menilai secara

obyektif pada kehidupan pasien setelah terjadinya cedera otak traumatik. Glasgow Outcome

Scale Extended (GOSE) Awalnya dijelaskan pada tahun 1975, GOSE telah menjadi metode

yang paling banyak digunakan untuk mengklasifikasikan hasil pada pasien cedera otak

traumatik. (Senapathi, 2017)


25

Banyak penelitian mengenai keluaran pasien traumatik brain injury yang dilakukan

penguruan BIS sebelumnya, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Hana dan

kawan – kawan. Penelitian saat itu dilakukan pada 25 pasien diantaranya terdiri dari 18

pasien pasien dengan cedera otak traumatik berat dan 7 pasien dengan cedera otak traumatik

sedang. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa adanya hubungan yang kuat

antara BIS dan GOS, dimana nilai BIS yang lebih besar atau sama dengan 60 berhubungan

dengan keluaran yang baik sementara nilai BIS dibawah atau sama dengan 40 berhubungan

dengan keluaran yang buruk ( Hana et al, 1999).

Outcome atau hasil akhir kondisi pasien setelah cedera otak dan setelah dilakukan

pengukuran dengan mempergunakan BIS, dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow

Outcome Scale Extended (GOSE). GOSE dapat dinilai setelah pasien keluar dari rumah

sakit (saat kontrol pertama kali), pada 3 bulan, 6 bulan bahkan 12 bulan setelah mengalami

cedera otak (Sharda et al, 2014). Adapun hasil interpretasi akan GOSE tersebut adalah

dimulainya kembali kehidupan normal dengan kapasitas untuk bekerja walaupun statusnya

pra-luka belum tercapai. Beberapa pasien memiliki neurologis minor atau psikologis

defisit. Jika defisit ini tidak menganggu disebut tingkat atas good recovery (GOSE 8), jika

menganggu maka itu adalah tingkat yang lebih rendah dari good recovery (GOSE 7).

Pasien memiliki beberapa kecacatan seperti aphasia, hemiparesis atau epilepsi dan / atau

defisit memori atau kepribadian tetapi mampu menjaga diri mereka sendiri. Mereka

independen di rumah, tetapi tergantung di luar. Jika mereka dapat kembali bekerja bahkan

dengan pengaturan khusus itu adalah tingkat atas dari moderate disability (GOSE 6), jika

tidak maka itu adalah rendahnya tingkat moderate disability (GOSE 5). Pasien yang

tergantung dukungan setiap hari untuk mental atau cacat fisiknya, biasanya kombinasi
26

keduanya. Jika pasien dapat ditinggalkan sendirian selama lebih dari 8 jam di rumah itu

tingkat atas dari severe disability (GOSE 4), jika tidak maka itu adalah rendahnya tingkat

severe disability (GOSE 3). Pasien dengan vegetative state (GOSE 2) menunjukkan tidak

adanya kesadaran terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitarnya. Nilai GOSE yang

terakhir adalah kematian (GOSE 1) (Pettigrew et al, 1998 ; Jennett, 2005 ; William et al,

2008).

Tabel 2.6

Glasgow Outcome Scale Extended (GOSE)

Upper good recovery 8

Lower good recovery 7

Upper moderate dissability 6

Lower moderate disability 5

Upper severe disability 4

Lower Severe disability 3

vegetative state 2

Dead 1

Sumber : William et al, 2008.

Anda mungkin juga menyukai