Anda di halaman 1dari 15

KEBUDAYAAN JEPANG DARI PRA SEJARAH SAMPAI AWAL JAMAN

SEJARAH.

Tujuan akhir pembelajaran dari bab ini adalah Mahasiswa memiliki kemampuan untuk
menjelaskan kebudayaan Jepang dari Pra Sejarah sampai Awal Zaman Sejarah

A. Pendahuluan

Jepang adalah sebuah negara yang membentang dari Timur Laut sampai
Barat Daya dan mempunyai luas wilayah sekitar 370.000 km2. Jepang memiliki
empat pulau besar, yaitu Hokkaido, Honshu, Shikoku dan Kyushu.
Sampai saat sekarang Jepang merupakan negara kekaisaran yang hanya
memiliki satu dinasti yang berkuasa. Menurut buku Kojiki (catatan kuna) yang
ditulis pada tahu 712, Kaisar Jepang adalah keturunan Dewa Ameterasu Omikami
(Dewa Matahari. Ameterasu Omikami memerintahkan cucunya yang bernama
Ninigi no Mikoto turun ke bumi untuk mengatur pemerintahan. Ia mendarat di pantai
timur Kyushu. Kemudian cucu Ninigo no Mikoto yang bernama Kan Yamato
Iwarehiko no Mikoto dengan para pengikutnya menyusuri pantai timur bagian utara
Kyushu hingga sampai ke Yamato (Propinsi Nara sekarang) dan menaklukkan para
penguasa di sepanjang kawasan tersebut. Setelah menaklukkan Yamato pada tahun
660 SM ia mulai pemerintahannya dengan mengangkat dirinya sebagai Kaisar
dengan sebutan Kaisar Jinmu (Jinmu Tenno) (Fairbank, 1970).
Menurut kepercayaan orang Jepang, Dewa Matahari ini merupakan dewa
yang berkedudukan paling tinggi. Oleh karena itu mereka sangat mengagungkannya.
Karena kaisar dianggap keturunan serta wakilnya di bumi, maka mereka juga
melakukan pemujaan kepada kaisar. Cara ini kemudian menjadi kepercayaan
tertinggi bagi bangsa Jepang yang terkenal dengan sebutan agama "Shinto", yang
berarti jalan dewa-dewa. Melalui Shinto ini maka terjadilan pemujaan terhadap
kekuasaan negara dengan Tenno sebagai lambangnya.
Dengan bangkitnya suku Yamato dan mulainya kerajaan Jepang yang
diperintah oleh Kaisar sebagai keturunan Dewa, maka terkecuali suatu masa yang
sangat pendek yaitu selama 60 tahun pada abad ke-14, negeri ini sudah diperintah
secara turun-temurun oleh hanya sebuah keluarga secara turun-temurun sejak tahun
660 SM, yaitu sebagai tahun permulaan sejarah mereka dan dikenal dengan sebutan
Jaman Yamato.
Menurut cerita tradisi, terjadinya Kepulauan Jepang adalah sebagai berikut.
Sebelum Kepulauan Jepang terjadi, ada banyak dewa. Dari antara dewa- dewa
tersebut terjadi perkawinan, antara lain dewa Izanagi mengawini dewi Izanami. Dari
perkawinan tersebut lahirlah pulau-pulau Jepang dengan segala isinya. Perkawinan
Izanagi dengan Izanami juga melahirkan seorang puteri yang bernama Ameterasu
Omikami (Dewi Bergelimangan Langit Besar). Lahir juga seorang alki-laki yang
diberi nama Susano-o-no Mikoto. Amterasu Omikami sebagai Dewi Matahari
memberi cahaya ke seluruh dunia dan dipuja oleh seluruh dewa. Pada suatu hari,
Ameterasu Omikami diganggu oleh adiknya, Susano-o-no Mikoto sehingga marah
dan bersembunyi di gua. Dunia menjadi sangat gelap karena tidak ada sinar.
Seorang dewi bernama Ameno Uzumeno-Mikoto mengajukan usul yang baik
sekali untuk mengeluarkan Ameterasu Omikami dari dalam gua. Ia menarikan suatu
tarian yang lucu sehingga para dewa sorak sorai dan riuh sekali. Tawa ria dan sorak-
sorai tersebut menarik perhatian Dewi Matahari yang sedang bersembunyi dalam
gua. Sewaktu sedang mengintip, ia segera ditarik oleh para dewa sehingga dunia
menjadi terang kembali (Fairbank, 1970).
Namun uraian di atas adalah menjelaskan situasi Jepang ketika sudha
mengenal suatu sistem pemerintahan. Bagaimanakah kondisi Jepang sebelum mereka
mengenal sistem pemerintahan ? Bagaimanakah kondisi Jepang pada masa pra
sejarah ?
Sejarah Jepang sebenarnya dapat dikaji dengan cara memberi atau membagi
dalam bab-bab atau pembabakan-pembabakan. Namun pembabakan kajian sejarah
Jepang tidak sama dengan pembabakan kajian sejarah Cina. Bila didasarkan pada
perkembangan- perkembangan politik, sosial dan kebudayaan, maka sejarah Jepang
dapat dibagi sebagai berikut :
1. Jaman Kuna
Jaman kuna Jepang dibagi menjadi beberapa jaman, yaitu sebagai berikut:
a. Jaman Yamato
Jaman Yamato (sampai 645 Masehi) belum ada satu kerajaan di
Jepang. Yamato yang diperintah oleh Tenno adalah suatu kerajaan kecil yang
terdiri dari daerah-daerah yang lebih kecil lagi dan masing-masing
mempunayi kepala sendiri dan mengakui Tenno sebagai kepala yang
terpenting (primus inter pares). Sejak abad ke-4 Yamato meluaskan
daerahnya ke sebagian besar kepulauan Jepang. Secara berangsur-angsur
perhubungan dengan Korea dan Cina kian terjadi dan kemudian Jepang
meniru/mencontoh peradaban dan sistem pemerintahan Cina (Dasuki, 1963).
b. Jaman mencontoh kebudayaan Cina (645 - 784)
Jaman ini boleh disebut jaman klasik kebudayaan Jepang. Dalam
bidang kebudayaan, agama dan politik, Jepang mencontoh dari Cina. Jaman
ini dibagi atas (Dasuki, 1963) :
1) Jaman pembaharuan Taikwa (645 - 702).
Dalam jaman ini diadakan pembaharuan dalam bidang pemerintahan
yang ditujukan kepada sentralisasi kekuasaan.
2) Jaman Nara (710 - 784). Nara dijadikan ibukota yang tetap. Sebelum
tahun 710 pusat pemerintahan selalu berpindah- pindah. Dalam jaman ini
agama Budha mengalami jaman keemasan dalam perkembangannya.
Kesenian dan sastra Jepang mencontoh Cina dan maju dengan pesat.
Dalam lapangan politik, pengaruh kekuasaan keluarga Fujiwara kian
membesar.
3) Jaman Heian
Pada jaman Heian pusat pemerintahan dipindahkan ke Nagaoka (tidak
jauh dari Nara) sampai tahun 794. Kemudian pusat pemerintahan tersebut

Halaman | 1
dipindahkan lagi ke Heian-kyo (sekarang bernama Kyoto, dekat
Nagaoka). Dalam lapangan kebudayaan, lanjutan dari Nara tetapi telah
mencapai titik kematangan yang tua dan sudah lebih banyak
menghasilkan atau menciptakan kebudayaan sendiri. Kejadian-kejadian
yang berkaitan dengan bidang politik, adalah (Dasuki, 1963) :
a) Keluarga Fujiwara mencapai puncak kekuasaannya dari tahun 858
sampai tahun 1160.
b) Masa Gempei (1160 - 1199). Adalah pertikaian antara keluarga Taira
melawan keluarga Minamoto.
Dalam masa Gempei tersebut, keluarga Taira dapat dihancurkan oleh
keluarga Minamoto dalam pertempuran laut di Dan-no- Ura (dekat
Shimonoseki). Setelah itu diletakkan dasar-dasar pemerintahan Jepang
sebagai awal jaman feodalisme.
2. Jaman Feodalisme.
Pada jaman ini Jepang diperintah oleh shogunat atau Bakufu. Hal ini
terjadi dari tahun 1192 - 1868. Secara kronologis pemerintahan shogunat atau
bakufu tersebut adalah sebagai berikut (Dasuki, 1963) :
a. Bakufu Kamakura (1192 - 1333). Pusat kekuasaan Bakufu Kamakura terletak
di Kamakura (dekat teluk Tokyo sekarang).
b. Jaman Ashikaga dan Bakufu Muromachi (1333 - 1568). Muromachi terletak
di suatu bagian kota Kyoto. Sejak 1392 menjadi pusat kekuasaan Bakufu.
Pemerintahan dalam jaman ini sangat kacau oleh peperangan saudara yang
berlangsung terus-menerus. Masa dari tahun 1467 - 1615 disebut jaman
negara dalam keadaan perang (sengoku jidai).
c. Jaman Azuchi-Momoyama terjadi antara tahun 1568 - 1600. Jaman ini
disebut juga jaman penyatuan nasional.
d. Jaman Tokugawa atau jaman Yedo (1602 – 1868). Pada masa ini kekuasaan
Bakufu berada di tangan keluarga Tokugawa dan pusatnya di Yedo
(sekarang bernama Tokyo).
3. Jaman Modern
Ketika kekuasaan Tokugawa hancur, maka Jepang muali memasuki era
modern. Pada masa ini Jepang memasuki jaman Meiji (1868 - 1912). Pada masa
ini dilakukan suatu restorasi dalam segala bidang kehidupan Jepang. Restorasi
tersebut disebut dengan Restorasi Meiji. Restorasi ini mengantarkan Jepang
menjadi sebuah negara modern.
Ketika restorasi Meiji berhasil, maka Jepang berubah, yaitu dari negara
kerajaan yang terbelakang menjadi negara yang bersifat imperialis. Jepang mulai
melakukan ekspansi ke negara-negara tetangganya untuk melakukan
imperialisme Jepang.
B. Pra Sejarah Jepang
Jepang ketika memasuki jaman sejarah belum memiliki kebudayaannya
sendiri. Kebudayaan Jepang yang berkembang kemudian hanyalah merupakan

Halaman | 2
modifikasi dari perkembangan kebudayaan Cina yang masuk ke Jepang. Apakah
benar demikian ? Apakah Jepang ketika masih dalam jaman pra sejarah juga tidak
memiliki kebudayaan ? ternyata tidak demikian. Hasil-hasil kebudayaan Jepang pra
sejarah cukup banyak. Tentang uraian kebudayaan Jepang pada masa pra sejarah
akan diuraikan seagai berikut.
1. Jaman Paleolithikum dan Neolithikum
Menurut hasil-hasil penyelidikan disiplin arkeologi, ditunjukkan bahwa
kebudayaan Jepang relatif masih muda. Dari jaman paleolithikum, hanya sedikit
yang dapat diketahui tentang jejak-jejak peninggalan jaman pra sejarah Jepang.
Dalam tahun 1931 di Honshu Selatan ditemukan benda-benda
paleolithikum yang berupa alat-alat dari batu kasar bersama-sama dengan sisa-
sisa tulang sebangsa binatang gajah yang sudah musnah. Umurnya dan
hubungannya dengan peninggalan-peninggalan jaman berikutnya belum dapat
ditemukan (Dasuki, 1963:10). Hal ini menunjukkan adanya suatu hubungan yang
hilang antara jaman pra sejarah dengan jaman- jaman berikutnya.
Di sepanjing pantai Jepang terdapat bukit-bukit timbunan kulit kerang,
yang disebut dengan kaikuza dan sifatnya sama dengan bukit-bukit
kjokkenmoddingen di pantai Denmark maupun di pantai sebelah timur pulau
Sumatera. Di bukit-bukit tersebut terdapat bekas-bekas rumah yang disebut
dengan tate- ana (Dasuki, 1963:10).
Dari dalam kjokkenmoddingen ditemukan juga benda-benda
neolithikum yang terdiri dari alat-alat batu halus dan juga keramik. Dalam
bentuknya yang tertua, kebudayaan tersebut berasal dari nenek moyang bangsa
Ainu yang merupakan suku bangsa asli bangsa Jepang.
Benda-benda keramik mempunyai bentuk dan corak yang khas yang
dalam lingkup arkeologi Jepang disebut dengan Jomon. Keramik tersebut
disebut demikian sesuai dengan bekas-bekas anyaman (jomon) yang sering
terdapat pada benda-benda tersebut. Hiasannya terutama pada periuk jomon dari
jaman neolitikum, yaitu terdiri dari lukisan yang berliku-liku dalam bentuk
relief. Dalam kjokkenmoddingen tersebut ditemukan juga patung-aptung dari
tanah liat, kecil dan sangat sederhana yang disebut dengan haniwa. Periuk
jomon itu banyak ditemukan di Honshu Timur dan Utara (Hane, 197).
Orang-orang pada jaman ini hidupnya masih bersifat berburu dan
menangkap ikan. Rumah-rumah mereka berbentuk sarang lebah dan dibuat dari
luabng yang digali dalam tanah (semacam gua). Bentuknya persegi, namun
diujung-ujungnya dibulatkan. Atapnya terbuat dari rumput-rumputan dan daun-
daunan.
Manusia Jepang pada masa ini telah mengenal kehidupan kolektif dan
tidak mengenal perbedaan kaya maupun miskin atau tingkatan berdasarkan pada
strata. Mereka juga sudah mengenal kepercayaan yang bercorak pada
dinamisme. Patung-patung haniwa boleh jadi merupakan cerminan atau
personifikasi dewa-dewa mereka. Ditemukan semacam gada yang terbuat dari
batu dan kemungkinan besar dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan yang
bersifat magi (Dasuki, 1963).

Halaman | 3
Mereka juga sudah mengenal sistem penguburan orang mati. Namun
orang mati tidak dikuburkan dalam peti. Posisi kaki dan tangan ditekuk dan
kadang-kadang dada mayat ditindih dengan batu yang besar. Penguburan
semacam ini dipercaya bahwa roh orang yang meninggal tersebut tidak akan
kembali kepada tubuhnya.
2. Jaman Batu Perunggu dan Perunggu Besi
Dari beberapa temuan peninggalan kebudayaan pada jaman batu
perunggu dan perunggu besi, sebenarnya dapat dideteksi bahwa kebudayaan
Cina telah masuk ke Jepang melalui Korea. Dapat juga diperkirakan bahwa
kebudayaan Cina tersebut telah mendapat modifikasi atau campuran antara corak
Cina dengan corak Korea. Dengan demikian dapat diduga bahwa kebudayaa Cina
tersebut terjadi sinkritisme antara kebudayaan Cina dengan kebudayaan Korea.
Sekitar tahun 200 SM, pengaruh kebudayaan Cina mulai masuk ke
Jepang melalui Korea tersebut mempengaruhi adanya sistem pertanian dan juga
patung-patung dari tanah liat. Kebudayaan baru tersebut disebut dengan corak
Yayoi, menurut tempat penemuannya yang pertama kali. Pusat-pusat kebudayaan
Yayoi terutama terletak di Kyushu dan Honshu selatan. Sedangkan pusat-pusat
kebudayaan Jomon terletak di Honshu Timur dan Selatan. Di tempat-tempat
tersebut kedua corak periuk ditemukan. Biasanya periuk jomon terdapat dalam
lapisan yang dibawah Yayoi. Oleh sebab itu Yayoi dianggap lebih muda (Hane,
1972 ; Dasuki, 1963).
Melalui Korea masuk juga peninggalan- peninggalan yang berupa
kampak neolithikum yang berbentuk corong (kampak lensa). Periuk- periuk
Yayoi, bentuk dan perhiasannya lebih sederhana, tetapi teknik pembuatannya
lebih maju daripada periuk jomon (Hane, 1972).
Di antara benda-benda logam, yang ditemukan antara lain terdapat
pedang, tombak dan lonceng dari perunggu. Alat-alat perunggu tersebut mungkin
sekali dipergunakan dalam upacara-upacara ritual. Pada lonceng perunggu yang
disebut dengan dotaku terdapat lukisan- lukisan serangga, ikan dan binatang
buas, atau lukisan-lukisan yang menggambarkan cara penghidupan penduduk
yang telah mengenal pertanian sederhana.
Secara berangsur-angsur penduduk Jepang menyadari akan perlunya
kehidupan secara kolektif yang teratur. Untuk menanam padi di sawah orang
harus membuka tanah, mengatur irigasi, dll. Pekerjaan semacam ini memerlukan
suatu organisasi yang teratur dan suatu pimpinan untuk mengatur organisasi
tersebut. Orang mulai membentuk tempat- tempat untuk pengumpulan hasil
pertanian (semacam lumbung). Di samping itu mulai muncul suatu dikotomi
adanya kaya dan miskin. Situasi seperti ini menimbulkan perbedaan sosial dan
politik antara kelompok yang memerintah dengan kelompok yang diperintah.

Halaman | 4
C. Pengaruh Kebudayaan Cina atas Jepang
1. Perkembangan Kebudayaan Asli Jepang Sebelum Masuknya Kebudayaan Cina
Ke Jepang
Sebelum mendapat pengaruh secara intensif dari Cina, sebenarnya kebudayaan
Jepang sendiri belum berkembang dan juga belum memiliki corak kekhasan sendiri.
Kebudayaan Jepang masih dalam taraf kebudayaan yang bersifat universal. Artinya setiap
kebudayaan di muka bumi ini pasti melalui tahap-tahap kebudayaan purba seperti yang
terjadi di Jepang.
Pada jaman Yamato saja Jepang sebenarnya belum mampu menciptakan kekhasan
kebudayaannya. Bahkan pada jaman Yamato ini sebenarnya Jepang belum memasuki
jaman sejarah. Dikatakan suatu kawasan atau negara memasuki jaman sejarhnya ketika
wilayah atau kerajaan tersebut mulai mengenal huruf. Padahal sebenarnya masyarakat
Jepang pada umumnya dan para penguasa Jepang pada khususnya belum mengenal huruf-
huruf. Dengan demikian dapat dikatakan sebenarnya Jepang masih dalam taraf jaman pra
sejarah.
Meskipun belum memasuki jaman sejarah, dalam jaman ini sudah berkembang
kepercayaan Shinto yang tujuannya adalah untuk pemujaan para dewa. Shinto sendiri
berarti jalan dewa. Pusat pemujaan dalam Shintoisme sendiri adalah Dewi Matahari
(Ameterasu Omikami) dan Tenno sebagai wakilnya di bumi. Untuk pemujaan Dewi
Matahari itu, didirikan sebuah kuil pemujaan di Ise, dan di Idzumo untuk Dewi Bumi.
Dalam kuil pemujaan tersebut tersimpan cermin suci dari Shintoisme. Melalui agama
Shinto terjadi pemujaan kekuasaan negara dengan Tenno sebagai lambangnya (Dasuki,
1963).
Perkembangan dalam bidang kebudayaan lainnya adalah perkembangan teknik
bercocok tanam yang menjadi sifat dasar agraris Jepang sebelum berkembang menjadi
negara industrialis. Dalam bidang ini telah dikembangkan semacam gilde yang mengatur
sistem perekonomian Jepang pada waktu itu.
Pada jaman Yamato telah dikenal juga sistem penguburan jenasah orang yang telah
meninggal. Penguburan ini telah menggunakan peti mati dan diiringi dengan upacara
penguburan. Untuk keluarga Tenno dan juga para orang terkemuka, kuburan tersebut
dibangun di bukit- bukit yang disebut dengan tumuli. Kuburan- kuburan atau tumuli
tersebut untuk Tenno disebut dengan misasagi dan memiliki ukuran yang sangat besar.
Misalnya untuk Tenno Nintoku termasuk tumuli yang terbesar di seluruh dunia. Di dalam
tumuli tersebut tersimpan cermin perunggu, pedang, pakaian perang, helm dan ikat
pinggang dari perunggu, manik-manik kecil berbentuk bulan sabit dan batu permata.
Manik-manik bulan sabit tersebut sebesar kuku dan disebut dengan magatama (Dasuki,
1963; Hane, 1972).
Agama Shinto berkembang dengan pesat. Tempat-tempat pemujaan banyak
didirikan. Dalam bentuknya yang asli, upacara pemujaan dalam agama Shinto sebenarnya
sangat sederhana. Agama tersebut terdiri dari pemujaan-pemujaan terhadap tenaga alam,
tidak mempunyai sistem etika atau kesusilaan, teologi dan tidak menyebut adanya surga
atau neraka.

Halaman | 5
Dewa-dewa yang baik disebut dengan kami dan jin atau setan disebut dengan oni.
Orang-orang yang berjasa, setelah meninggal akan mencapai tingkatan kami dan dianggap
sebagai dewa. Di dalam kuil pemujaan tidak terdapat patung-patung dewa. Bentuk kuil
juga sangat sederhana. Di depan kuil terdapat gerbang kuil yang disebut dengan torii yang
terdiri dari dua tinag yang ujungnya saling berdekatan, kemudian di atasnya dipasang
sebuah balok yang melintang (Dasuki, 1963).
Orang yang akan melakukan pemujaaan dengan maksud meminta pertolongan
kepada para dewa harus menyucikan dirinya dengan membasuh muka dan tangannya
dengan air suci. Sebuah lonceng dibunyikan untuk meminta perhatian para dewa dan ia
membungkukkan diri untuk memberi hormat. Setelah selesai mempersembahkan sajian,
diucapkan maksud kedatangannya. Setelah selesai kemudian membungkuk dan memohon
diri.
Sebenarnya nama Shinto diberikan pada kepercayaan atau agama tersebut setelah
agama Budha masuk ke Jepang. Tujuannya untuk membedakan ajaran dan pelaksanaan
antara kedua agama tersebut.
2. Pengaruh Kebudayaan Cina Terhadap Perkembangan Kebudayaan Jepang.
Pada abad ke-5 Masehi dibuka hubungan resmi antara Jepang dengan dinasti-
dinasti yang berkuasa di Cina Selatan. Sebagai salah satu hasilnya adalah mengalirnya
kebudayaan Cina ke Jepang, baik secara langsung maupun melalui Korea. Bentuk-bentuk
kebudayaan Cina yang masuk ke Jepang antara lain adalah tulisan, agama Budha dan
arsitektur bangunan.
Selain dalam bentuk kebudayaan, pengaruh lain dari Cina tehadap Jepang adalah
bentuk negara kesatuan. Jepang melihat bahwa ketika terjadi kontak-kontak antara Cina
dengan Jepang, Cina mengalami masa kestabilan politik dan penyatuan seluruh Cina
dalam satu kekuasaan. Hal ini mendatangkan ide bagi penguasa Yamato untuk
menaklukkan penguasa-penguasa Jepang lainnya agar tunduk kepada kekuasaan Yamato.
Akibatnya, sejak saat itu sebenarnya Jepang telah mengalami masa penyatuan seluruh
Jepang dalam satu kekuasaan (Dasuki, 1963).
Proses intrusi budaya Cina ke Jepang sebenarnya berlangsung cukup lama. Hal ini
terbukti dalam penulisan kitab Nihongi atau Nihonshoki serta kitab yang berisi cerita-
cerita lama, yaitu Kojiki baru selesai tahun 712 dan tahun 720 Masehi. Sementara itu,
Jepang sendiri tidak memiliki huruf-huruf sendiri dalam menulis kitab- kitab tersebut.
Akibatnya, dalam penulisan-penulisan kitab-kitab, Jepang meniru huruf-huruf Cina.
Dalam pemakaian huruh-huruf Cina, bangsa Jepang menggunakan dau cara, yaitu
dengan cara fonetis dan cara ideografis. Dalam cara pertama dipergunakan untuk menulis
atau membaca ucapan-ucapan Jepang yang ditulis dengan huruf Cina dan sebunyi dengan
artinya, tetapi dipergunakan dengan ucapan-ucapan Jepang. Pada permulaan pemakaian,
memang banyak terjadi kekacauan, terutama dalam pemakaian cara fonetis. Namun,
setelah mengalami perkembangan yang lama dan ditemukan sistem yang sempurna,
akhirnya dapat dituliskan tiap-tiap kata Jepang. Dalam perkembangan huruf fonetis,
dihasilkan dua macam huruf dalam penulisan Jepang, yaitu huruf Katagana dan
Hiragana. Kedua huruf tersebut dipakai dalam kepentingan yang berbeda. Huruf

Halaman | 6
katagana dipergunakan dalam kepentingan sehari- hari, sedangkan huruf hiragana
dipergunakan dalam upacara-upacara yang bersifat ritual religius (Dasuki, 1963).
Pengaruh lain dari kebudayaan Cina yang berkembang di Jepang adalah ajaran
Konfusianisme. Ajaran ini sangat dikagumi, sehingga dijadikan pedoman kehidupan
masyarakat Jepang sehari-hari. Bahkan kalangan para bangsawan juga mempergunakan
ajaran ini untuk mengatur kehidupan di lingkungan bangsawan dan istana (Yeti Nurhayati,
1987 : 2).
Setelah Konfusianisme masuk ke Jepang, kemudian agama Agama Agama Budha
juga masuk ke Jepang pada tahun 552 sebelum Masehi. Agama ini, menurut orang Jepang,
sangat mengesankan karena wujudnya yang konkret berupa hasil patung dan kuil,
sehingga lambat laun mempengaruhi seluruh kepulauan Jepang. Karena itu di seluruh
kepulauan Jepang mulai dibangun kuil-kuil atau biara-biara agama Agama Budha.
D. Dampak Pengaruh Kebudayaan Cina Terhadap Perkembangan Kebudayaan Jepang
1. Dampak Dalam Bidang Kebudayaan
Sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Cina ke Jepang, sebenarnya Jepang
telah memiliki kebudayaannya sendiri. Namun, tingkat kebudayaan tersebut jauh berada
di bawah tingkat kebudayaan Cina. Karena kebudayaan Cina jauh lebih tinggi, maka
masuknya kebudayaan tersebut ke Jepang pasti memberi pengaruh yang tidak sedikit.
Sebelum masuknya kebudayaan Cina, Jepang belum memiliki tulisan yang
menjadi pertanda masuknya suatu wilayah atau perdaban ke dalam jaman sejarah. Ketika
Jepang mulai mengenal tulisan, maka pola tulisan yang dipergunakan adalah tulisan Cina.
Kemudian seluruh cerita yang sebelum mengenal tulisan disampaikan dalam bentuk oral,
maka ketika Jepang mengenal tulisan, cerita-cerita tersebut disalin dalam buku-buku.
Dampak lain adalah dalam bidang arsitektur. Rumah-rumah Jepang juga
terpengaruh oleh pola-pola rumah-rumah Cina. Namun, Jepang tidak meniru begitu saja,
tetapi justur memadukan unsur-unsur arsitektur Jepang asli dengan unsur-unsur arsitektur
Cina. Dengan demikian di Jepang muncul pola-pola arsitektur baru, yaitu perpaduan unsur
arsitektur Cina dengan unsur arsitektur Jepang.
Meskipun Jepang menerima unsur- unsur kebudayaan Cina, tetapi tidak semua
unsur diterima. Semua unsur kebudayaan Jepang tersebut diolah dan dipadukan dengan
kebudayaan Jepang. Dengan demikian terjadi adanya akulturasi budaya antara budaya
Cina dengan budaya Jepang.
Akulturasi tersebut terlihat dalam bentuk kerajaan pada jaman Yamato yang
sudah berbentuk kerajaan kesatuan. Di samping itu juga terlihat dalam menyusun tarikh
Jepang dan juga dalam bentuk peraturan-peraturan kerajaan.
Di atas telah disinggung bahwa meskipun mendapat pengaruh kebudayaan Cina,
namun tidak seluruhnya diterima. Ada beberapa ciri khas kebudayaan Jepang tidak bisa
dipengaruhi atau diganti dengan kebudayaan Cina. Hal tersebut menyangkut kedudukan
Tenno sebagai simbol dewa yang memanusia, karena Tenno adalah keturunan langsung
dari Ameterasu Omikami. Selain itu juga kepercayaan Shinto tidak berubah menjadi
Konfusianisme yang dikembangkan oleh Cina.

Halaman | 7
Dampak lain dari masuknya kebudayaan Cina ke Jepang adalah berkembangnya
ajaran Konfusianisme, Taoisme dan agama Agama Budha di Jepang. Konfusianisme
menanamkan pengaruhnya dalam pemujaan roh nenek moyang atau roh leluhur, kesetiaan
kepada keluarga, kebaktian anak terhadap orang tua, dan sebagainya. Sementara Taoisme
dengan unsur magi dan sihir dan pemujaan dan penghargaan terhadap kekuatan alam. Di
sisi lain, Budhisme mengajarkan ajaran-ajaran Agama Budha.
2. Dampak Dalam Bidang Sosial Politik
Pengaruh agama Budha yang masuk ke Jepang memiliki kekuatan yang sangat
besar untuk memberi dorongan dalam menciptakan perubahan yang menyeluruh pada
pandangan hidup bangsa Jepang. Lebih-lebih ketika pada tahun 590 dinasti Sui berhasil
mempersatukan Cina kembali setelah mengalami perpecahan dan kekacauan politik
selama tiga setengah abad. Tindakan ini ditiru oleh Jepang, sehingga mereka juga
mengadakan pemusatan kekuasaan. Setelah memasuki tahun 593, yaitu pada masa
pemerintahan Putri Suiko, terjadi perubahan penting dalam sejarah politik Jepang. Pada
waktu itu Shotoku Taishi (Pangeran Shotoku), cucu Tenno Kinmei diangkat sebagai wali
(mangkubumi) bagi Tenno Suiko. Di bawah pimpinannya bangsa Jepang mulai
mengadakan pemusatan kekuasaan pemerintahan Yamato dan terjadi perubahan susunan
masyarakat. Karena dengan bertambah banyaknya penduduk dan daerah yang
ditaklukkan, susunan masyarakat Jepang yang berintikan pada Uji sudah tidak dapat
dipertahankan lagi (Yetti Nurhayati, 1987; Dasuki, 1963; Fairbank, 1970).
Struktur sosial kaku yang menentukan pangkat dan pekerjaan berdasarkan
keturunan sangat melemahkan keinginan seseorang untuk maju. Oleh karena itu Pangeran
Shotoku membebaskan setiap orang dari kekangan kelahiran dan keturunan. Dengan
demikian setiap orang dapat memangku jabatan sesuai dengan jabatan dan jasanya.
Dalam bidang pemerintahan, ia menegakkan cita-cita untuk mempersatukan
seluruh negeri dan rakyat Jepang berada di bawah satu pemerintahan pusat. Di samping
itu juga ia mulai menentukan sistem pangkat resmi dengan cara memberikan topi dengan
warna tertentu kepada para pegawai istana sesuai dengan jasa masing-masing. Maksudnya
ialah untuk memperbesar kewibawaan istana sekaligus memanfaatkan bakat-bakat para
pegawai istana dengan baik. Dengan demikian, pangkat seseorang menjadi jelas karena
tidak ditentukan oleh keturunan, melainkan oleh kemampuan pribadinya. Sistem seperti
ini kemudian berkembang dan bertahan sepanjang sejarah sebagai cara untuk
membedakan kedudukan pegawai istana (Yetti Nurhayati, 1987 : 3). Warna topi ini sangat
sesuai dengan warna topi dari Cina yang menunjukkan kedudukan pemakainya.
Perubahan sistem ketatanegaraan yang dilakukan oleh Pangeran Shotoku
dirumuskan dalam Undang-undang Dasar yang disebut dengan "Konstitusi Tujuhbelas
Bab" yang dirumuskan pada tahun 604. Undang-undang Dasar ini mengatur dasar-dasar
pemeliharaan negara dengan menghapuskan Ujigami (Kepala Uji) sebagai kepala daerah,
semua orang harus mempunyai aktivitas serta menghormati dewa, agama Budha dan taat
kepada Tenno. Ketentuan ini merupakan uaha untuk menuliskan kode tingkah laku bagi
para pejabat pemerintah dan rakyat, berdasarkan pada agama Budha dan Konfusianisme
mengenai kehidupan manusia (Hane, 1986 : 7; Yetti Nurhayati, 1987 : 3).
Upaya yang dilakukan oleh Pangeran Shotoku ini belum membuahkan hasil,
ketika ia meninggal pada tahun 625. Kemudian upaya ini diteruskan oleh pengikutnya

Halaman | 8
yaitu Nakano Oe dan Fujiwara Kamatari, masing-masing berasal dari clan (keluarga)
Nakano dan Fujiwara. Akhirnya konsep Pangeran Shotoku ini berhasil pada tahun 645.
Ketika itu terjadi kudeta terhadap keluarga Soga yang menjabat sebagai menteri secara
turun-temurun dan kekuasaannya melebih kekuasaan istana. Gerakan pembaharuan ini
kemudian dikenal dengan nama Pembaharuan Taika (Dasuki, 1963; Hane, 1986 : 7).
Langkah pertama yang diambil dalam program pembaharuan tersebut adalah
mengambil alih semua tanah dan rakyat yang dikuasai oleh para Uji utuk diserahkan
kepada kekuasaan Tenno. Daerah-daerah bekas kekuasaan Uji tersebut kemudian dibagi
secara administratif menjadi propinsi dan distrik. Propinsi disebut dengan kuni dan
dipimpin oleh Gubernur, sedangkan distrik disebut dengan kori dipimpin oleh seorang
Gunji. Tanah pertanian yang diambil dari para Ujigami dibagi rata kepada rakyat dan
dipungut pajak berdasarkan pada hasil pertanian (Yetti Nurhayati, 1987 : 4; Dasuki,
1963).
Selama pembaharuan-pembaharuan dilakukan, pada tahun 661, Pangeran
Nakano Oe naik tahta menjadi Tenno dan bergelar Tenno Tenji. Upaya-upaya yang
dilakukan adalah meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan memperbaiki negerinya
dan sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa Kamatari, ia memperkenankan Kamatari
memakai gelar "Fujiwara" sebagai gelar keluarganya.
Tenno Tenji juga membuat rencana penyusunan kitab Undang-undang dan
peraturan-peraturan hukum yang baru selesai disusun pada tahun 701 di masa
pemerintahan Tenno Tenmu. Kita tersebut diberi nama Ritsu Ryo yang mengandung inti
pembaharuan tertulis. Namun, pada masa pemerintahan Tenno Mommu, undang-undang
ini mengalami perubahan dan mencapai bentuknya yang terakhir. Kitab ini kemudian
dikenal dengan nama Taiho Ritsu Ryo dan menjadi landasan hukum bagi pemerintah
Jepang dalam mengatur negerinya (Dasuki, 1963; Yetti Nurhayati, 1987 : 4).
Berbagai pembaharuan yang dilakukan selama masa pemerintahan Yamato ini
tetap tidak menghapuskan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh masyarakat lapisan atas
dan kalangan bangsawan. Mereka tetap menduduki posisi yang menguntungkan serta
memiliki hak- hak istimewa untuk mendapatkan tanah dan bebas dari pajak. Selain itu
anak-anak mereka juga diberi hak-hak istimewa untuk mendapatkan kedudukan jabatan
tinggi di kalangan istana maupun di dalam pemerintahan daerah tanpa memiliki kecakapan
dan kepandaian yang memadai. Oleh karena itu, jabatan tinggi dalam peerintahan pusat
dan daerah selalu diduduki oleh keluarga yang berpengaruh secara turun-temurun.
Akibatnya pembaharuan Taika ini mengarah pada dualisme pemerintahan, yaitu yang
dipusatkan pada penghormatan kepada Tenno dan bagian yang mengendalikan kekuasaan
secara nyata (Yetti Nurhayati, 1987; Dasuki, 1963). Dengan kata lain, sebenarnya
pembaharuan Taika mengalami kegagalan, bahkan menciptakan sistem pemerintahan
baru, yaitu kekuasaan politik tidak lagi dipegang oleh Tenno, melainkan oleh sebuah
keluarga yang berpengaruh. Tenno hanya sebagai simbol ritual dan seremonial saja.
Dalam pelaksanaan pembaharuan Taika tersebut keluarga Fujiwara berhasil
menduduki puncak kekuasaan politik. Kedudukan tersebut diperoleh sejak keluarga
Fujiwara Kamatari dapat menghancurkan kekuatan keluarga Soga pada masa
pemerintahan Tenno Tenji. Kedudukan keluarga Soga sebagai pemegang kekuasaan
politik ini, oleh keluarga Fujiwara, tidak diserahkan kembali kepada Tenno, melainkan

Halaman | 9
dipegangnya sendiri. Kedudukan Tenno tetap dipertahankan dengan memperluas
kekuasaannya secara teoritis. Segala jabatan politis, ekonomi, dan jabatan-jabatan penting
lainnya diduduki oleh keluarga Fujiwara dan permaisuri Tenno harus berasal dari keluarga
Fujiwara (Dasuki, 1963; Yetti Nurhayati, 1987; Fairbank, 1970).
Sebagai kelanjutan dari pembaharuan Taika adalah ditetapkannya ibukota
sebagai pusat pemerintahan, terpisah dari pusat ritual agama dan pemujaan kepada Tenno.
Pada tahun 710 Hijo dijadikan pusat pemerintahan dan kemudian nama tersebut diubah
menjadi Nara. Dari nama ibukota tersebut kemudian terkenal dengan sebutan jaman Nara.
Pada jaman ini kedudukan Fujiwara mencapai puncaknya. Banyak di antara anggota
keluarga ini yang mejadi hartawan dan memiliki pengaruh terhadap pemerintahan sangat
besar. Apalagi mereka memiliki cara-cara tertentu untuk mencapai tujuannya, yaitu
dengan memberi banyak kesibukan kepada Tenno dalam bidang ritual dan seremonial,
misalnya menjadi Kepala Agama dengan demikian Tenno menjadi sangat sibuk dan tidak
lagi memperhatikan tugas-tugas politik. Karena kesibukan yang padat terseut, maka
Tenno menginginkan kehidupan yang bebas dan meminta pensiun untuk masuk ke biara.
Karena Tenno berhenti, maka putra mahkota, dan biasanya belum cukup umur, diangkat
untuk menduduki jabata Tenno. Karena belum cukup usianya, maka diangkat seorang
wali untuk mendampingi Tenno dalam pemerintahannya. Wali yang diangkat harus
berasal dari keluarga Fujiwara (Hane, 1986 : 8; Yetti Nurhayati, 1987 : 5). Dengan
menggunakan cara-cara dan strategi demikian, maka keluarga Fujiwara dapat memegang
kekuasaan terbesan dalam pemerintahan Jepang. Mereka selalu berusaha untuk
mempertahankan eksistensinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam bidang
politik dan ekonomi. Salah satu cara adalah dengan menyingkirkan anggota keluarga
selain Fujiwara keluar dari kalangan istana. Hal seperti ini akhirnya mendatangkan
pemberontakan dari pihak-pihak yang dikecewakan oleh keluarga Fujiwara.
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa pengaruh kebudayaan Cina yang masuk
ke Jepang, sangat berpengaruh dalam segala bidang kehidupan di Jepang. Bahkan pola-
pola pemerintahan di Cina pun diikuti oleh Jepang untuk mengelola sistem pemerintahan.
Bahkan pola-pola kebudayaan tersebut dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi
Jepang. Akibatnya muncul suatu pola kebudayaan baru sebagai hasil dari sinkritisme
budaya, antara kebudayaan Cina dengan kebudyaan asli Jepang.
Pola sistem pemerintahan yang berasal di Cina dikembangkan di Jepang. Bahkan
sistem perwalian di Cina dikembangkan dan dijadikan sebagai kekuatan untuk menjaga
eksistensi sebuah keluarga, Fujiwara, untuk tampil sebagai pimpinan tertinggi dalam
bidang sosial, ekonomi dan politik. Bahkan Tenno yang secara de jure dan de facto
sebagai penguasa tertinggi di Jepang, disingkirkan dengan segala cara yang sangat halus,
sehingga Tenno sendiri tidak merasa bahwa dirinya disingkirkan. Di samping itu, secara
de facto, sebenarnya Tenno, yang menurut anggapan dan kepercayaan orang Jepang,
sebagai wakil dan keturunan langsung dari Dewi Ameterasu Omikami, adalah keturunan
dari keluarga Fujiwara. Hal ini disebabkan permaisuri Tenno harus berasal dari keluarga
Fujiwara.
Intrik-intrik politik yang dikembangkan oleh keluarga Fujiwara tersebut akhirnya
mendatangkan berbagai pemberontakan yang berasal dari keluarga yang berpengaruh
lainnya dan tersingkir dari pusat pemerintahan. Pemberontakan-pemberontakan ini
akhirnya mampu menyingkirkan keluarga Fujiwara dari puncak kekuasaan politik di

Halaman | 10
Jepang. Namun keluarag yang mampu menyingkirkan keluarga Fujiwara ini akhirnya juga
mengikuti jejak dan pola pemerintahan yang telah dilakukan oleh keluarga Fujiwara.
Akibatnya Jepang diperintah secara langsung oleh keluarga yang berpengaruh dan
bukannya oleh Tenno yang dipercayai oleh masyarakat Jepang sebagai dewa yang
menjadi manusia.
Bahkan dalam perkembangan berikutnya Tenno betul-betul terasing dari
rakyatnya sendiri. Hal ini disebabkan rakyat atau para bangsawan bila ingin menghadap
kepada Tenno harus melalui birokrasi yang dicipatakan oleh penguasa politi. Hal ini
sebenarnya untuk menjaga eksistensi keluaraga yang berkuasa agar dapat mencegah
munculnya perlawanan-perlawanan, baik dari rakyat maupun dari Tenno sendiri bila ia
sadar bahwa dirinya hanya sebagai alat kekuasaan.
E. Peranan Agama Budha dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Kebudayaan
Jepang.
Salah satu aspek budaya yang masuk ke Jepang dari Cina adalah agama Budha. Pada
mulanya aliran agama Budha yang masuk ke Jepang adalah aliran Hinayana. Namun, kemudian
diikuti juga oleh aliran Mahayana dan aliran ini lebih diminati oleh rakyat Jepang.
Agama Budha juga berkembang di kalangan bangsawan istana. Justru kalangan inilah
yang pertama kali berminat untuk menganut agama ini. Sementara rakyat Jepang sebenarnya
menganut sifat paternalistik, sehingga apabila pimpinan mereka menganut salah satu
kepercayaan atau agama, maka kepercayaan atau agama terseut secara otomatis akan dianut
oleh rakyat (Yeti Nurhayati, 1987 : 2).
Sementara itu, rakyat Jepang juga senang menerima kedatangan agama Agama Budha
tersebut. Hal ini disebabkan biara-biara agama Budha tersebut tidak berpusat di istana, namun
justru membaur di kalangan rakyat. Di samping itu, para rahib agama Budha tidak sekedar
mengajarkan kepada rakyat hanya ajaran-ajaran agama Budha saja, melainkan juga
pengetahuan-pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi rakyat. Karena rakyat juga senang
menganut agama Budha, maka banyak biara-biara didirikan, baik oleh rakyat maupun oleh
para penguasa (Hane, 1986).
Meskipun agama Budha banyak dianut oleh rakyat Jepang, namun kepercayaan asli
bangsa Jepang, yaitu Shintoisme tidak terdesak sama sekali. Bahkan sebenarnya terjadi
semacam sinkritisme budaya antara kepercayaan Shintoisme dengan agama Budha. Mereka,
rakyat dan penguasa Jepang, Percaya bahwa antara Shinto dengan Agama Budha adalah dua
aspek dari satu agama yang sama. Dewi Ameterasu Omikami tidak lain dari penjelmaan
Agama Budha dan dewa-dewa Shinto yang lain merupakan penjelmaan dari Bodhisatwa
(Dasuki, 1963).
Ketika Cina dikuasai oleh dinasti T'ang, banyak orang Jepang pergi ke Cina untuk
belajar agama Budha. Setelah selesai mereka pulang ke Jepang dan mengembangkan beberapa
mazab (tarekat) yang mendapat perlindungan dari pemerintah. Mazab-mazab agama Budha
yang berkembang di Jepang antara lain Tarekat Sanron, Tarekat Hosso, Tarekat Kegon.
Kesemuannya dari aliran Mahayana. Sedangkan dari aliran Hinayana berkembang tarekat
Jojitsu, Kusha dan Ritsu (Hane, 1986 : 13; Dasuki, 1963 : 27).
Dalam perkembangannya, agama Budha memberi sumbangan yang tidak sedikit
terhadap perkembangan kebudayaan Jepang. Sumbangan tersebut bisa dalam bentuk arsitektur,

Halaman | 11
politik, seni- budaya maupun dalam bidang ekonomi, serta dalam bidang perkembangan ilmu
pengetahuan.
Dalam bidang perkembangan pengetahuan, para pendeta agama Budha menjadi
pusatnya. Bahkan mereka memegang monopoli perkembangan pengetahuan tersebut. Di
tingkat propinsi, biara-biara agama Budha menjadi pusat peradaban yang sangat besar
pengaruhnya kepada rakyat. Mereka belajar dari biara-biara tersebut.
Biara Budha juga menjadi pusat pengkajian politik dan bahkan pernah menjadi pusat
kekuasaan ketika Tenno Godaigo menerapkan sistem insei. Pada waktu itu istana Tenno
hanyalah tempat yang menjadi bayang-bayang kekuasaan sebenarnya dari tenno yang telah
hidup membiara, sementara kekuasaan sebenarnya yang mengendalikan sistem pemerintahan
berada di biara agama Budha. Di samping itu, para pendeta agama Budha juga memberi
masukan-masukan dalam bidang politik kepada penguasa. Bahkan sebenarnya secara tidak
langsung para pendeta agama Budha tersebut mengendalikan pemerintahan melalui para
penguasa yang minta dukungan para pendeta tersebut (Hane, 1986).
Rakyat Jepang sangat percaya kepada para pendeta agama Budha. Banyak para
penguasa dan rakyat menghadiahkan kepada para pendeta agama Budha tersebut berupa tanah
yang luas, emas, harta kekayaan sebagai persembahan kepada Sang Buddha. Akibatnya adalah,
biara-biara agama Budha menjadi sangat kaya. Di samping itu, biara- biara tersebut bebas dari
pajak yang diterapkan oleh pemerintah. Dengan kekayaan tersebut, biara-biara akhirnya
mampu mengendalikan kekuasaan (Dasuki, 1963).
F. Perkembangan Agama Budha dan Politik Di Jepang
1. Perkembangan Sebelum Jaman Heian
Agama Budha berkembang dengan pesat ketika Jepang berada pada kurun waktu
yang disebut dengan Jaman Nara. Artinya pusat kekuasaan berada di Nara yang disebut
juga Heijo. Sebelumnya, istana kekuasaan Tenno berpindah- pindah, namun tidak pernah
keluar dari wilayah Yamato dan biasanya letak istana yang baru tidak begitu jauh dari
istana yang lama. Alasan selalu berpindah-pindahnya istana Tenno tersebut tidak jelas,
mungkin hanya berdasarkan pada kepercayaan.
Jaman Nara merupakan puncak kejayaan kebudayaan Jepang. Arsitektur yang
dibangun pada jaman Nara ini sangat persisi dengan kebudayaan Cina pada masa
kekuasaan dinasti T'ang, dengan atap genting warna merah dan tiang-tiang kayu bercat
merah (Hane, 1986 :13 - 15).
Pada jaman Nara ini agama Budha dijadikan alat utuk memperluas kekuasaan
pemerintah pusat. Akibatnya adalah agama Budha dalam jaman ini sangat berkembang,
bahkan seolah- olah menjadi agama negara. Penguasa Jepang mewajibkan setiap propinsi
mendirikan kuil-kuila dan biara-biara agama Budha. Kuil dan biara yang terkenal antara
lain kuil dan biara Todaiji dan patung Dai Butsu (Buddha Besar) dari aliran agama Budha
Vairocana.
Agama Budha dalam perkembangan berikutnya akhirnya mengadakan semacam
sinkritsime dengan Shintoisme yang akhirnya melahirkan aliran Budha Zen yang
memusatkan ajarannya pada sikap konsentrasi dan meditasi. Segala keputusan didekatkan
pada kehidupan yang mendekati kehidupan para samurai. Memang Budha Zen ini banyak

Halaman | 12
dianut oleh para samurai. Zen juga mempengaruhi Jepang dalam bidang seni dan
kebudayaan (Hane, 1986 : 15).
Dalam perkembangan selanjutnya agama Budha menjiwai seluruh kehidupan
bangsa Jepang. Hal tersebut disatukan atau disinkritkan dengan kepercayaan Shinto.
Sebagai bukti adalah adanya semangat Bushido yang menjwai seluruh rakyat Jepang.
Meskipun demikian, kepercayaan Shinto yang menganggap bahwa Tenno sebagai
keturunan Ameterasu Omikami tetap tidak hilang. Bahkan Tenno dijadikan sebagai dewa
yang memanusia dan sebagai alat pemersatu bangsa Jepang.
Agama Budha berkembang dengan pesat pada jaman Nara dan banyak kuil-kuil
dan biara dibangun. Perkembangan agama Budha ini juga mempengaruhi perubahan
kedudukan para biksu. Mereka dipandang tingii dan sangat berpengaruh. Di samping itu
mereka juga memonopoli hampir semua kepandaian dan ilmu pengetahuan. Di tingkat
propinsi, biara-biara agama Budha tersebut dijadikan tempat belajar dan sering mendapat
hadiah berupa tanah yang luas maupun harta benda. Hal ini mengakibatkan biara-biara
agama Budha menjadi sangat kaya. Kekayaan biara-biara tersebut bebas pajak.
Perhatian yang sangat besar terhadap agama Budha tersebut menimbulkan
masalah di ibukota, karena para pendeta agama Budha (biksu) mulai mencampuri urusan
politik kenegaraan. Untuk menghindari hal tersebut, maka pada tahun 784 pada masa
pemerintahan Tenno Kenmu, ibukota negara dipindahkan ke Nagaoka. Hal ini terjadi
karena Tenno telah merasakan besarnya pengaruh agama Agama Budha. Oleh karena itu
ia berusaha untuk memutuskan hubungan yang tidak diinginkan, yaitu antara agama
Budha dan politik. Ibukota tersebut kemudian diberi nama Heian, yang berarti damai atau
tenang (Yetti Nurhayati, 1987:5-6; Hane, 1986 : 8). Pemindahan pusat pemerintahan ini
menjadi awal dari jaman baru bagi Jepang, yaitu Jaman Heian.
Pada jaman ini kedudukan keluarga Fujiwara semakin kuat, karena setelah
memasuki abad VIII para pegawai tinggi istana dan bangsawan dan sebagian besar
merupakan anggota keluarga Fujiwara, mendapat kesempatan untuk memiliki tanah bebas
pajak yang disebut dengan Shõen. Untuk perkembangan selanjutnya Shõen ini menjadi
milik turun-temurun.
2. Perkembangan Agama Budha Pada Jaman Heian
Setelah pusat kekuasaan pindah ke Heian, Jepang terus-menerus mengirimkan
para pendeta agama Budha ke Cina yang masih dikuasai oleh dinasti T'ang. Mereka
belajar ke Cina tentang agama Budha. Beberapa pendeta agama Budha terkenal yang
diutus ke Cina adalah Saicho dan Kukai.
Mulai tahun 894 kebiasaan mengirimkan orang untuk belajar ke Cina mulai
berkurang. Apalagi ketika kekuasaan dinasti T'ang runtuh, maka antara Jepang dengan
Cina tidak ada lagi hubungan resmi. Juga ketika Cina dikuasai oleh dinasti Sung, penguasa
Jepang tidak menjalin hubungan resmi dengan Cina. Namun, pengiriman pendeta agama
Budha dimulai lagi meskipun sangat jarang (Dasuki, 1963 : 33).
Tiadanya hubungan resmi antara Jepang dengan Cina tersebut juga mempengaruhi
berkurangnya intensitas pengaruh kebudayaan Cina terhadap Jepang. Hal ini sanngat
menguntungkan Jepang karena mampu mengembangkan corak kebudayaannya sendiri,
termasuk perkembangan agama Budha.

Halaman | 13
Agama Budha dalam perkembangannya justru mendapat dorongan dan penemuan
pola baru. Saicho setelah meninggal, terkenal dengan nama Dengyo Daishi dan Kukai
dengan nama Kobo Daishi. Daishi artinya "Guru Besar". Kedua tokoh tersebut setelah
pulang dari Cina, mulai menyempurnakan "penjepangan" agama Budha (Dasuki, 1963 :
33).
Di Cina Dengyo Daishi telah mempelajari tarekat T'ien T'ai dari aliran Mahayana.
Setelah kembali ke Jepang, ia mendirikan tarekat Tendai yang merupakan tiruan dari
Cina. Tarekat ini sangat berpengaruh di kalangan istana Jepang. Sementara itu Kobo
Daishi juga mendirikan tarekat Singon, tiruan dari tarekat Chên-yen di Cina yang juga
beraliran Mahayana. Kobo Daishi juga menyempurnakan anggapan Gyogi (670 - 749).
Anggapan Gyogi adalah sinkritisme antara Shintoisme dengan Budhisme yang dalam
melakukan upacara ritual sesuai dengan Budhisme, namun namanya tetap
mempergunakan nuansa Shintoisme (Dasuki, 1963 : 33). Dengan demikian, pengaruh
agama Budha sangat besar terhadap perkembangan kebudayaan Jepang.

G. Review Bab 2.
H. Latihan Soal-soal dan tugas-tugas
1. Jelaskan latar belakang masuknya kebudayaan Cina ke Jepang.
2. Jelaskan jenis-jenis kebudayaan Cina yang masuk ke Jepang
3. Jelaskan dampak yang timbul akibat masuknya kebudayaan Cina ke Jepang.
4. Uraikan dan jelaskan pengaruh kebudayaan Cina terhadap perkembangan kebudayaan
Jepang selanjutnya.
5. Jelaskan proses masuknya agama Budha ke Jepang.
6. Jelaskan tanggapan rakyat Jepang terhadap masuknya agama Budha.
7. Jelaskan perkembangan agama Budha di Jepang.
8. Jelaskan sumbangan agama Budha terhadap perkembangan kebudayaan Jepang.
I. Refleksi

Halaman | 14

Anda mungkin juga menyukai