Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Menurut Anthony Reid dalam bukunya Dari Ekspansi Hingga Krisis : Jaringan
Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, adalah sebuah kesalahan persepsi jika
dikatakan bahwa di masa itu, Asia Tenggara berada dalam periode statis, hanya
masyarakat statis yang memiliki teknologi sederhana, tertutup dari dunia luar, tidak mau
menerima ide-ide baru, dan berperadaban sederhana. Nenek moyang kita di masa itu
berperadaban kosmopolitan, dilambangkan dengan berdirinya kota-kota yang teratur,
keterbukaan terhadap pedagang asing, bahkan berada dalam tahap sejarah yang sama
(merujuk pada teori sejarah Alvin Toffler) yaitu pada gelombang revolusi pertanian.
Ketika Portugis dan Spanyol, kemudian Belanda dan Inggris, datang untuk menjajah dan
menguasai Nusantara berkedok Gold, Glory and Gospel, seketika itu pula sejarah
Nusantara berkutat pada perlawanan mengusir bangsa asing, tusuk-menusuk antar bangsa
sendiri.
Perdagangan Nusantara dimatikan oleh EIC dan VOC, sampai-sampai untuk mematikan
perdagangan Nusantara ini, bandar Banten dihancurkan dan kesultanan Banten
dimusnahkan, tinggallah para panglima dan prajuritnya lari ke hutan-hutan menjadi
jawara Banten sampai sekarang dilanjutkan oleh keturunannya. Kalau sejarah yang ditulis
di SMP dan SMA ditulis dalam bentuk bagaimana elit-elit politik, pedagang dan
intelektual Nusantara melawan VOC Belanda, adalah sebuah kenyataan bahwa Bangsa
Indonesia mampu bertarung di era globalisasi saat itu, untuk kemudian melawan Belanda
sampai baru benar-benar berada dalam satu kekuasaan Hindia Belanda awal abad ke-20,
disebabkan karena pendidikan yang berkualitas. Lembaga pendidikan semacam
Meunasah di Aceh, Surau di Minang, Pesantren di Palembang, Sunda dan Jawa, dan
lembaga pendidikan lainnya di seluruh pelosok nusantara, adalah tempat lahirnya para
pemimpin Nusantara saat itu.
Pada tahun 1899, seorang tokoh politik beraliran liberal bernama Van Deventer, pertama
kali mengusulkan adanya Politik Etik (Balas Budi) kepada orang-orang Indonesia. Ia
menulis sebuah artikel dalam majalah De Gids dengan judul Een Eeeres Chuld atau
‘Utang Kehormatan’. Dalam artikel tersebut, Van Deventer menjabarkan bahwa
kemakmuran yang dinikmati oleh bangsa Belanda waktu itu, sebenarnya adalah perasan
darah dan keringat penduduk pribumi Indonesia. Terutama berasal dari cultuur stelsel,
pajak, maupun kerja rodi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya apabila bangsa Belanda
membayar utang kebaikan dengan meningkatkan kesejahteraan hidup bangsa Indonesia.
Van Deventer menawarkan tiga solusi guna mencapai tujuan itu. Ketiga solusi tersebut
adalah edukasi, irigasi, dan transmigrasi (khususnya perpindahan dari Pulau Jawa ke luar
Pulau Jawa).
Dengan semakin timbulnya banyak desakan yang menginginkan perbaikan taraf hidup
orang pribumi, pemerintah Belanda terpaksa segera merealisasikan usulan Van Deventer
itu. Di dunia pendidikan, Belanda mendirikan Van Deventer School, yakni beberapa
sekolah mulai dari sekolah dasar hingga menengah untuk bangsa pribumi. Sebutlah
misalnya, Holland Inlands School (HIS) diperuntukkan bagi jenjang sekolah dasar
dengan lama pendidikan tujuh tahun. Setelah lulus jenjang sekolah dasar, selanjutnya
dapat masuk ke Meer Uitgebried Lager Onderwigs (MULO) yang saat ini setingkat
sekolah menengah pertama. Setelah itu untuk tingkat setaraf sekolah menengah atas
pemerintah Belanda mendirikan Algemene Middelbare School (AMS). Akan tetapi,
sekolah-sekolah bentukan Belanda tersebut dibatasi hanya untuk anak-anak dari kalangan
priyayi.
Selain untuk memenuhi tuntutan kaum humanis dan sosial demokrat Belanda,
pemberlakuan politik etis di bidang pendidikan ada kaitannya dengan kepentingan politik
pintu terbuka. Dengan berakhirnya politik konservatif atau politik eksploitasi dan dengan
di mulainya politik pintu terbuka telah memunculkan kebutuhan akan tenaga yang
terdidik dan terampil di bidang Administrasi. Oleh karena itu pendidikan di Indonesia
diarahkan untuk sebesar-besarnya kepentingan Belanda. Dengan kata lain telah terjadi
penyelewengan politik etis di dalam pelaksanaannya yakni menjadi politik Assosiasi,
artinya di arahkan untuk kepentingan Belanda.
Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri pendidikan pada masa
kolonial Belanda, yaitu :
1. Sistem Dualisme, dalam sistem Dualisme diadakan garis pemisah antara sistem
pendidikan untuk golongan Eropah dan sistem pendidikan untuk golongan bumi putera.
2. Sistem Konkordansi, sistem ini berarti bahwa pendidikan di daerah penjajah di arahkan
atau disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di negeri Belanda.
3. Sentralisasi, kebijakan pendidikan di Zaman kolonial diurus oleh sebuah Departemen
pengajaran.
4. Menghambat Gerakan Nasional, sistem pendidikan pada masa itu sangat selektif
karena bukan di peruntukan agar masyarakat bumi putera dapat memperoleh pendidikan
yang seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi.
5. Perguruan Swasta yang Militan, salah satu sekolah swasta yang sangat gigih
menentang kekuasaan kolonial ialah sekolah-sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh
Ki Hajar Dewantara.
Sekolah dan universitas mulai banyak didirikan atas nama politik etis. Sudah bukan
merupakan rahasia umum bahwasannya Politik Etis merupakan representasi dari
kemenangan Kaum Liberal di Negeri Belanda telah menciptakan suatu babak baru bagi
sistem pendidikan di Nusantara. Di mana program politik etis (balas budi) bukan
dimaksudkan untuk membalas budi, namun untuk membentuk kelas baru, kaum elit baru,
demi memenuhi tenaga kerja dengan upah murah yang akan tetap membungkuk kepada
orang Barat dan memandang rendah kaum inlander (bumiputera) kelas bawah.
Kebijakan ini mencakup tiga hal yaitu Edukasi, Transmigrasi dan Irigasi. Awalnya Van
Deventer yang berwatak Humanisme Liberal bermaksud memberikan pendidikan yang
dapat mencerdaskan kehidupan bangsa jajahan, tetapi sekali lagi (setelah irigasi dan
transmigrasi), sekolah-sekolah tersebut lebih dimanfaatkan untuk mencetak para pegawai
rendahan yang sekadar bisa sedikit berbahasa Belanda, mampu memahami perintah
atasannya, namun sekaligus dibuat sedemikian rupa agar tamatannya sangat loyal kepada
Belanda.
Pada tahun 1850, Belanda mendirikan STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandse
Artsen), artinya adalah Sekolah Pelatihan (Opleiding) Dokter Pribumi, walaupun
pendidikannya diselesaikan dalam waktu 9 Tahun. STOVIA menerima lulusan setingkat
SMP saat itu, dan baru dibuka untuk pribumi pada awal abad ke-20.
Kalau kita tidak jeli dan hanya melihat pada permukaannya saja, kebijakan itu pasti
tampak sangat humanis (manusiawi). Akan tetapi bila digali lebih mendalam lagi, itu
semua ternyata hanya diatas kertas saja. Pelaksanaan proyek tersebut masih tetap saja
untuk melayani kepentingan pengusaha Belanda saja. Memuluskan dan memudahkan
pengusaha Belanda, Amerika, dan Inggris dalam mendapatkan buruh-buruh murah yang
terdidik dan terampil yang kemudian akan dipekerjakan dalam kantor-kantor
pemerintahan, pabrik, jasa transportasi atau perkebunan.
Disinilah, untuk pertama kalinya masyarakat Indonesia mulai bersentuhan dan mengenal
sistem pendidikan formal. Anak-anak elite local ini ada yang belajar ke sekolah
kedokteran dan pangreh praja, tetapi ada pula yang melanjutkan studinya ke Belanda,
negeri sang penjajah. Di awal abad ke dua puluh ini jumlah kaum terpelajar dari seluruh
wilayah Hindia Belanda ini tidak lebih seratus orang dan sekitar tiga puluhan orang
belajar ke Belanda di antaranya Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, Sjahrir, dan
sebagainya. Politik Etis ini membawa perubahan struktural seperti semakin terbukanya
akses pendidikan
Tapi sekolah ini sangat diskriminatif. Murid yang bisa bersekolah disana adalah hanyalah
anak-anak dari Pejabat Belanda, Indo Belanda, Timur Asing (Eropa, Cina, Arab) dan
tentunya keturunan bangsawan kerajaan. Sementara itu, anak petani dan buruh tidak
diperbolehkan untuk bersekolah lebih tinggi. Hal ini adalah siasat licik Belanda agar
tenaga mereka dapat digunakan secepatnya untuk menjalankan mesin-mesin produksi
serta untuk mencegah perlawanan dari anak petani dan buruh, dua kelas sosial yang
selama ini adalah lapisan masyarakat yang paling tertindas oleh penjajahan Belanda.
Tapi alumni dan sarjana didikan Belanda ini bukannya tidak ada yang sadar kalau mereka
dididik hanya untuk menjadi buruh berdasi. Mereka tetap berorganisasi untuk menjaga
cita-cita memerdekan Indonesia serta berupaya mendidik rakyat Indonesia yang tidak
memiliki kesempatan menikmati pendidikan. Baik dengan cara Tjokroaminoto dengan
SI-nya, Soekarno dengan PNI-nya, Tan Malaka dengan PKI-nya, Hatta dan Sjahrir
dengan PI-nya, Mohammad Yamin dengan Kongres Pemoeda-nya, dan lain-lain dengan
cara masing-masing tapi dengan satu tujuan, Indonesia Merdeka.
Kekuatan buruh dan tani mengalami peningkatan. Sangat ditakuti dan diperhitungkan
oleh Belanda karena mempunyai semangat radikal dan revolusioner dalam melakukan
pemogokan-pemogokan. Salah satu Serikat Buruh yang terbesar pada waktu ini adalah
ISDV (1919). Tapi sayangnya, perlawanan tersebut terhenti dan akhirnya meredup,
seiring dengan kekalahan PKI pada saat mereka melakukan Perjuangan Bersenjata
melawan kolonial Belanda (1926/1927) di Jawa dan Sumatera. Kemudian, tidak kurang
dari 13.000 lebih kader PKI dibuang ke Pulau Digul, Papua.
Kemudian beliau juga sempat menulis berbagai artikel yang intinya memprotes berbagai
kebijakan para penjajah (Belanda) yang kadang membunuh serta menghambat tumbuh
dan berkembangnya pendidikan di Indonesia. Hingga salah satu artikel "Seandainya Aku
Seorang Belanda" (judul asli : Als ik eens Nederlander was) yang pernah dimuat dalam
surat kabar de Expres milik Douwes Dekker tahun 1913 adalah salah satu artikel yang
mengubah paradigma banyak orang terlebih khusus para penjajah bahwa orang Indonesia
khususnya penduduk pribumi membutuhkan pendidikan yang layaknya sama dengan para
penguasa dan kalangan berduit.
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu
usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak
hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta
memperkembangkan kebudayaan menuju kea rah keluhuran hidup kemanusiaan.
Ki Hajar Dewantara memaknai pendidikan sebagai usaha penurunan nilai-nilai budaya
kepada generasi berikutnya dalam setiap zamannya. Pendangan Ki Hajar Dewantara
mengenai pendidikan dan kebudayaan ini tertuang dalam sebuah teori sebagai hasil
pemikirannya yang dikenal dengan teori Trikon.
Upaya pembudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal
dengan Teori Trikon, yakni:
1. Kontinyu
2. Konsentris
3. Konvergen
Pelaksanaan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dapat berlangsung dalam berbagai
tempat yang oleh beliau diberi nama Tri Sentra Pendidikan, yaitu:
1. Alam keluarga
2. Alam perguruan
3. Alam pergerakan pemuda
2. Bidang Pengajaran
Pengajaran merupakan salah satu jalan pendidikan yaitu suatu usaha memberi ilmu
pengetahuan serta kepandaian dengan latihan-latihannya yang perlu dengan maksud
memajukan kecerdasan fikiran (intelek) serta berkembangnya budi pekerti.
Ki Hajar Dewantara di bidang pengajaran meletakkan konsep-konsep dasar pengajaran
meliputi:
1. Teori dasar-ajar
2. Trisakti jiwa
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan
(relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga
relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait);
segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu
meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti
perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu:
menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan
keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga
performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial,
kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu
adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi
pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.
Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat
fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang
yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran
dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on
love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu
berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu
menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar
Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.
Jika dilihat dari apa yang menjadi misi Politik Etis dapat dikatakan mengalami kegagalan
karena tujuannya tidak tercapai. Anak-anak didik sang penjajah yang sejatinya disiapkan
mengisi birokrasi kolonial tidak terwujud, malah sebaliknya anak-anak didik (kaum
terpelajar yang memelopori pergerakan kebangsaan) justru melawan kekuasaan Belanda.
Perlawanan terhadap sistem pendidikan yang dinilai diskriminatif , tetap dilakukan oleh
kaum pergerakan; dengan mengupayakan pendidikan rakyat dalam rangka
membangkitkan kesadaran massa. Terdapat sebagian kecil dari mereka kemudian sadar
dan membawa obor penerang pergerakan rakyat Indonesia. Mereka rela membuang
kesempatan untuk hidup kaya dengan cara mengabdi kepada Belanda ini, dengan rajin
membentuk dan membangun berbagai organisasi-organisasi tani dan buruh sebagai
wadah perlawanan. Melakukan pendidikan rakyat mengenai kondisi penjajahan dan juga
membuat sekolah rakyat gratis untuk anak-anak Buruh dan Petani. Disinilah kosakata
baru seperti Demokrasi, Sosialisme, Nasionalisme, dan Kemerdekaan mulai
diperkenalkan dan disemaikan.
Lalu tahun 1930-an Hatta dan Sjahrir ditangkap dan diasingkan. Setelah penangkapan
dan pengasingan pemimpin pergerakan ini situasi politik agak mereda dan kekuasaan
kolonial semakin represif dan konservatif. Pemerintah kolonial pada September 1932
memberlakukan Wilde Scholen Ordonatie. Praktis setelah itu hingga kedatangan fasisme
jepang, pergerakan rakyat mengalami kelumpuhan dan para aktifis lebih banyak berjuang
membangun kesadaran dan kekuatan rakyat lewat jalur bawah tanah (Underground),
menghindari tindakan represif dari PID (Agen Intelijen belanda).
Sikap pemerintah Hindia Belanda tersebut jelas bersandar pada kekuatan perlawanan
rakyat yang banyak menggunakan sentimen agama. Bahkan kemudian bersamaan dengan
penetrasi kapitalisme yang secara brutal pada zaman kolonial; ketika kaum borjuis
transnasional mulai menguasai alat-alat produksi, mengubah struktur masyarakat, serta
melakukan eksploitasi secara kejam; kontrol sosial yang dilakukan pemerintah makin
mengakar dalam. Namun, kekuasaan kolonial yang represif itu tidak bertahan lama
karena kekuasaan yang angker itu tidak berdaya alias bertekuk lutut ketika Jepang
mengalahkan Belanda tahun 1942.
Lalu tahun 1930-an Hatta dan Sjahrir ditangkap dan diasingkan. Setelah penangkapan
dan pengasingan pemimpin pergerakan ini situasi politik agak mereda dan kekuasaan
kolonial semakin represif dan konservatif. Pemerintah kolonial pada September 1932
memberlakukan Wilde Scholen Ordonatie. Praktis setelah itu hingga kedatangan fasisme
jepang, pergerakan rakyat mengalami kelumpuhan dan para aktifis lebih banyak berjuang
membangun kesadaran dan kekuatan rakyat lewat jalur bawah tanah (Underground),
menghindari tindakan represif dari PID (Agen Intelijen belanda).
Sikap pemerintah Hindia Belanda tersebut jelas bersandar pada kekuatan perlawanan
rakyat yang banyak menggunakan sentimen agama. Bahkan kemudian bersamaan dengan
penetrasi kapitalisme yang secara brutal pada zaman kolonial; ketika kaum borjuis
transnasional mulai menguasai alat-alat produksi, mengubah struktur masyarakat, serta
melakukan eksploitasi secara kejam; kontrol sosial yang dilakukan pemerintah makin
mengakar dalam. Namun, kekuasaan kolonial yang represif itu tidak bertahan lama
karena kekuasaan yang angker itu tidak berdaya alias bertekuk lutut ketika Jepang
mengalahkan Belanda tahun 1942.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall
Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.
Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.