Anda di halaman 1dari 38

PENDAHULUAN

Hati merupakan organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih
25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen dan
merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks. Secara fisiologis,
sirkulasi vena porta yang menyuplai 75% dari suplai sinusoid memegang peranan penting,
terutama dalam hal metabolisme karbohidrat, protein dan asam lemak. Fungsi utama hati juga
termasuk pembentukan dan ekskresi empedu. Bilirubin (pigmen empedu) penting sebagai
indikator penyakit hati dan saluran empedu karena dapat memberi warna pada jaringan dan
cairan yang berhubungan dengannya. Oleh sebab itu pada beberapa kelainan hati dapat
ditemukan adanya gejala sistemik bahkan hingga timbul ikterus.1

Berdasarkan kasus yang didapat kelompok kami, gejala yang dialami pasien mengarah
pada suatu penyakit sistem hepatobilier. Gejala demam yang muncul mengindikasikan
kemungkinan penyebab penyakit tersebut adalah virus, selain itu tampak sclera mata pasien yang
menguning dapat memperkuat indikasi bahwa kelainan tersebut pada organ hepatobilier. Salah
satu penyakit yang disebabkan virus yang sering menyerang hati ialah penyakit hepatitis. Pada
hepatitis terdapat berbagai virus yang dapat menimbulkan penyakit, oleh karena itu perlu
dilakukan peninjauan lebih lanjut mengenai agen penyebab penyakit sesuai dengan manifestasi
yang ditimbulkan .

1
PEMBAHASAN

Anamnesis

Dalam proses wawancara atau anamnesis, dokter akan bertanya mengenai keluhan apa
yang mendorong pasien datang berobat, apakah mual, nyeri perut, kembung, mata kuning, perut
bengkak, dan sebagainya. Perubahan warna kulit dan kornea mata yang menjadi kuning muda
serta mudah lelah adalah salah satu gejala umum hepatitis.
Dokter sering terkecoh dan salah mendiagnosis dengan penyakit lain yang memiliki
gejala yang sama. Untuk itu perlu ditanyakan bagaimana warna air kencingnya (biasanya seperti
air teh) dan melihat mata pasien, menguning atau tidak. Hepatitis yang secara awam lazim
disebut penyakit kuning, tidak selalu menampakkan warna kuning di matanya (konjungtiva).
Untuk lebih mengarah, perlu ditanyakan riwayat transfusi darah, hemodialisis, apakah ibu dari
anak pernah menderita hepatitis, dan juga mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan seperti
hubungan seks bebas dan pemakaian narkoba suntik sebelumnya.2

Adakah gejala lain (nyeri abdomen, demam, penurunan berat badan, anoreksia, steatorea,
urin gelap, pruritus), pernahkah bepergian, adakah acites. Riwayat penyakit dahulu: adakah
riwayat ikterus sebelumnya, riwayat hepatitis virus yang diketahui, riwayat penyakit hati kronis
atau keganasan, riwayat batu empedu yang diketahui atau pernah mengalami kolesistektomi.

Selain itu ditanyakan apakah sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu atau sering
mengkonsumsi alkohol, juga ditanyakan riwayat keluarga apakah ada keluarga yang mengalami
penyakit dengan gejala serupa.3

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan beberapa hal di antaranya apakah pasien
mengalami ikterus, kita dapat melihat pada sklera pasien jika warnanya mengnuning. Selain itu
adakah tanda-tanda anemia, tanda-tanda penurunan berat badan atau penyakit hati kronis,
ekskoriasi (menunjukkan pruritus), adakah hepatomegali, splenomegali, atau keduanya, apakah
kandung empedu teraba, adakah massa atau nyeri tekan abdomen, adakah tanda-tanda hipertensi
porta beberapa hal tersebut dapat diperhatikan melalui inspeksi.3

2
Karena sebagian besar hati (hepar) dilindungi oleh dinding iga, pemeriksaannya sulit
dilakukan. Namun, besar serta bentuk hati dapat diperkirakan melalui perkusi dan mungkin pula
palpasi, dan dengan tangan yang melakukan palpasi ini, Anda dapat mengevaluasi permukaan
hati, konsistensinya, serta nyeri tekan pada hati.

Perkusi
Ukur rentang vertikal pekak hati pada linea midklavikularis kanan. Dimulai pada
ketinggian di bawah umbilikus (pada daerah timpani, bukan pada daerah redup), lakukan perkusi
ringan ke arah atas menuju daerah hati. Pastikan lokasi bunyi redup yang menunjukkan tepi
bawah hati (margo inferior hepar) pada linea midklavikularis tersebut.
Selanjutnya, kenali tepi atas daerah pekak hati pada linea midklavikularis. Lakukan
perkusi ringan mulai dari daerah sonor paru ke bawah menuju daerah pekak hati. Jika perlu,
sisihkan payudara pada pasien wanita secara hati-hati agar Anda merasa yakin bahwa perkusi
benar-benar dimulai di daerah sonor. Lintasan gerakan perkusi diperlihatkan di bawah.
Kini, ukur dalam satuan sentimeter jarak antara dua titik yang Anda temukan jarak ini
merupakan rentang vertikal pekak-hati (liver dullness). Rentang hati yang normal, seperti terlihat
di bawah, umumnya berukuran lebih besar pada pria dibandingkan pada wanita dan pada orang
yang bertubuh tinggi dibandingkan pada orang yang pendek. Jika hati tampak membesar,
tentukan tepi bawah hati dengan melakukan perkusi pada daerah lainnya.
Meskipun perkusi mungkin merupakan metode klinis yang paling akurat untuk
memperkirakan ukuran vertikal hati, perkusi sering menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan
keadaan hati yang sebenarnya (underestimation).

Palpasi
Tangan kiri diletakan di belakang tubuh pasien dalam posisi sejajar dengan dan
menyangga iga ke-11 dan ke-12 kanan serta jaringan lunak di bawahnya. Jika perlu, ingatkan
kepada pasien untuk melemaskan tubuhnya pada tangan. Dengan menggunakan tangan kiri untuk
mengangkat bagian tubuh tersebut ke atas, hati pasien dapat diraba dengan lebih mudah
oleh tangan yang lain.
Tempatkan tangan kanan pada sisi kanan abdomen pasien di sebelah lateral muskulus
rektus sementara ujung jari-jari tangan Anda berada di sebelah inferior tepi bawah pekak hati.

3
Sebagian pemeriksa lebih suka mengarahkan jari-jari tangan mereka ke atas ke arah kepala
pasien, dan sebagian lainnya lebih suka posisi yang sedikit lebih miring. Kemudian, lakukan
penekanan secara hati-hati ke bawah dan ke atas.
Minta pasien untuk menarik napas dalam. Coba untuk meraba bagian tepi hati ketika
struktur ini bergerak menyentuh ujung jari-jari tangan. Jika dapat dirasakan, kendurkan sedikit
tekanan yang dilakukan oleh tangan agar hati dapat menyusup di bawah permukaan ventral jari
tangan dan dengan demikian permukaan anteriornya dapat teraba. Perhatikan setiap nyeri tekan
yang terjadi. Jika hati pasien dapat diraba sepenuhnya, bagian tepi hati yang normal akan terasa
lunak, tajam, serta teratur dengan permukaan hati yang licin. Hati yang normal mungkin
memberi rasa sedikit nyeri ketika ditekan.
Pada saat inspirasi, hati dapat diraba sekitar 3 cm di bawah margo kostalis kanan pada
linea midklavikularis.
Sebagian orang bernapas dengan lebih menggunakan dadanya daripada diafragma.
Barangkali kita harus melatih mereka untuk "bernapas dengan perutnya” yang akan membawa
hati--di samping lien dan ginjal-ke dalam posisi yang bisa diraba pada saat inspirasi.
Coba untuk menelusuri tepi hati ke arah lateral dan medial. Namun, palpasi melalui
muskulus rektus tidak mudah dilakukan. Kita dapat membuat sketsa tentang bagian tepi hati dan
ukur jaraknya dari margo kostalis kanan pada linea midklavikularis.
Untuk meraba hati, tekanan dapat diubah-ubah menurut ketebalan dan resistensi dinding
abdomen pasien. Jika tidak dapat merabanya, gerakkan tangan yang melakukan palpasi itu lebih
dekat dengan margo kostalis dan coba sekali lagi untuk merabanya.
'Teknik mengait (hooking technique)” mungkin membantu, terutama pada pasien yang
obesitas. Pertama-tama berdiri di sebelah kanan dada pasien lalu letakkan kedua bersebelahan
pada abdomen kanan di bawah batas pekak hati. Tekan dengan jari-jari tangan dan angkat
menuju margo kostalis. Minta pasien untuk menarik nafas dalam. Bagian tepi hati yang terlihat
di bawah ini dapat teraba oleh bantalan jari-jari kedua tangan.
Cara menilai nyeri tekan pada hati yang tidak teraba, yakni dengan mempatkan tangan
kiri dalam posisi yang rata pada dinding iga kanan bawah dan kemudian dengan permukaan
ulnaris kepalan tangan kanan, pukul tangan kiri itu dengan perlahan. Minta pasien untuk
membandingkan perasaan yang timbul dengan yang disebabkan oleh pukulan yang sama pada
sisi sebelah kiri.4

4
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengidap hepatitis dilakukan untuk
memastikan diagnosis, mengetahui penyebab hepatitis, dan menilai fungsi hati. Secara garis
besar, pemeriksaan laboratorium untuk hepatitis dibedakan atas dua macam, yaitu tes serologi
dan biokimia hati.

Tes serologi dilakukan dengan cara memeriksa kadar antigen maupun antibody terhadap
virus penyebab hepatitis. Tes ini bertujuan untuk memastikan diagnosis hepatitis serta
mengetahui jenis virus penyebabnya. Sementara tes biokimia hati dilakukan dengan cara
memeriksa sejumlah parameter zat-zat kimia maupun enzim yang dihasilkan atau diproses oleh
jaringan hati. Tes biokimia hati dapat menggambarkan derajat keparahan atau kerusakan sel
sehingga dapat menilai fungsi hati.

Hati yang sehat memiliki fungsi yang sangat beragam. Demikian pula penyakit yang
dapat mengganggu fungsi hati dan kelainan biokimia hati yang bervariasi pula. Pemeriksaan
fungsi hati yang hanya menggunakan satu jenis parameter saja, misalnya aspartat
aminotransferase (AST/SGOT), kurang dapat dipercaya untuk dijadikan acuan dalam
menentukan fungsi hati. Penderita penyakit hati secara umum, termasuk hepatitis, akan diperiksa
darahnya untuk beberapa jenis pemeriksaan parameter biokimia, seperti AST, ALT (alanin
aminotransferase), alkalin fosfatase, bilirubin, albumin, dan juga waktu protrombin. Pemeriksaan
laboratorium ini juga dapat dilakukan secara serial, yakni diulang beberapa kali setelah tenggang
waktu tertentu. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi perjalanan penyakit maupun perbaikan sel
dan jaringan hati.5

1. Parameter biokimia hati

Beberapa parameter biokimia hati yang dapat dijadikan pertanda fungsi hati,
antara lain sebagai berikut:

5
 Aminotransferase (transaminase)

Parameter yang termasuk golongan enzim ini adalah aspartat


aminotransferase (AST/SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT/SGPT).
Enzim-enzim ini merupakan indikator yang sensitif terhadap adanya kerusakan
sel hati dan sangat membantu dalam mengenali adanya penyakit pada hati yang
bersifat akut seperti hepatitis. Dengan demikian, peningkatan kadar enzim-enzim
ini mencerminkan adanya kerusakan sel-sel hati. ALT merupakan enzim yang
lebih dipercaya dalam menentukan adanya kerusakan sel hati dibandingkan AST.

ALT ditemukan terutama di hati, sedangkan enzim AST dapat ditemukan


pada hati, otot jantung, otot rangka, ginjal, pankreas, otak, paru, sel darah putih,
dan sel darah merah. Dengan demikian, jika hanya terjadi peningkatan kadar AST
maka bisa saja yang mengalami kerusakan adalah sel-sel organ lainnya yang
mengandung AST. Pada sebagian besar penyakit hati yang akut, kadar ALT lebih
tinggi atau sama dengan kadar AST. Pada saat terjadi kerusakan jaringan dan sel-
sel hati, kadar AST meningkat 5 kali nilai normal. ALT meningkat 1-3 kali nilai
normal pada perlemakan hati, 3-10 kali nilai normal pada hepatitis kronis aktif
dan lebih dari 20 kali nilai normal pada hepatitis virus akut dan hepatitis toksik.

 Alkalin fosfatase (ALP)

Enzim ini ditemukan pada sel-sel hati yang berada di dekat saluran
empedu. Peningkatan kadar ALP merupakan salah satu petunjuk adanya sumbatan
atau hambatan pada saluran empedu (enzim kolestatik). Peningkatan ALP dapat
disertai dengan gejala warna kuning pada kulit, kuku, atau bagian putih bola mata.

 Serum protein

6
Serum protein yang dihasilkan hati, antara lain albumin, globulin, dan
faktor pembekuan darah. Pemeriksaan serum protein-protein tersebut dilakukan
untuk mengetahui fungsi biosintesis hati.

Penurunan kadar albumin menunjukkan adanya gangguan fungsi sintesis


hati. Namun karena usia albumin cukup panjang (15-20 hari), serum protein ini
kurang sensitif digunakan sebagai indikator kerusakan sel hati. Kadar albumin
kurang dari 3 g/L menjadi petunjuk perkembangan penyakit menjadi kronis
(menahun).

Globulin merupakan protein yang membentuk gammaglobulin.


Gammaglobulin meningkat pada penyakit hati kronik, seperti hepatitis kronis atau
sirosis. Gammaglobulin mempunyai beberapa tipe, seperti Ig G, Ig M, serta Ig A.
Masing-masing tipe sangat membantu dalam mengenali penyakit hati kronis
tertentu.

Hampir semua faktor-faktor pembekuan darah disintesis di hati. Umur


faktor-faktor pembekuan darah lebih singkat dibandingkan albumin, yaitu 5-6 hari
sehingga pengukuran faktor-faktor pembekuan darah merupakan pemeriksaan
yang lebih baik dibandingkan albumin untuk menentukan fungsi sintesis hati.
Terdapat lebih dari 13 jenis protein yang terlibat dalam pembekuan darah, salah
satunya adalah protrombin. Adanya kelainan pada protein-protein pembekuan
darah dapat dideteksi, terutama dengan menilai waktu protrombin. Waktu
protrombin adalah ukuran kecepatan perubahan protrombin menjadi trombin.
Waktu protrombin tergantung pada fungsi sintesis hati dan asupan vitamin K.
Kerusakan sel-sel hati akan memperpanjang waktu protrombin karena adanya
gangguan pada sintesis protein-protein pembekuan darah. Dengan demikian, pada
hepatitis dan sirosis, waktu protrombin memanjang.

 Bilirubin

7
Bilirubin merupakan pigmen kuning yang dihasilkan dari pemecahan
hemoglobin (Hb) di hati. Bilirubin dikeluarkan lewat empedu dan di buang
melalui feces. Bilirubin ditemukan di darah dalam dua bentuk, yaitu bilirubin
direk dan bilirubin indirek. Bilirubin direk larut dalam air dan dapat dikeluarkan
melalui urin. Sementara bilirubin indirek tidak larut dalam air dan terikat pada
albumin. Bilirubin total merupakan penjumlahan bilirubin direk dan indirek.

Peningkatan bilirubin indirek jarang terjadi pada penyakit hati.


Sebaliknya, bilirubin direk yang meningkat hampir selalu menunjukkan adanya
penyakit pada hati dan atau saluran empedu. Adapun nilai normal untuk masing-
masing pemeriksaan laboratorium disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Nilai Normal untuk masing-masing Pemeriksaan Laboratorium


5

Parameter Biokimia Hati Rentang Nilai Normal


Bilirubin total 2-20 mmol/L
Bilirubin direk (terkonjugasi) 1,7-5,1 mmol/L
Bilirubin indirek 1,7-17,1 mmol/L
AST / SGOT ≥37 U/L (pria), ≥ 31 U/L (wanita)
ALT / SGPT ≥ 42 U/L (pria), ≥ 32 U/L (wanita)
ALP 53-128 U/L (pria), 49-98 U/L (wanita)
Gamma glutamil transferase (GGT) 0-45 IU/L (rata-rata dewasa)
10-80 IU/L (pria)
5-25 IU/L (wanita)
Albumin 3,8-5,1 g/dL
Waktu protrombin 10-14 detik

2. Pemeriksaan serologi

Diagnosis mengenai jenis hepatitis merupakan hal yang penting karena akan
menentukan jenis terapi yang akan diberikan. Salah satu pemeriksaan hepatitis adalah
pemeriksaan serologi, dilakukan untuk mengetahui Jenis virus penyebab hepatitis.

8
 Diagnosis hepatitis A

Diagnosis berdasarkan hepatitis A akut berdasarkan hasil laboratorium


adalah tes serologi untuk immunoglobulin M (IgM) terhadap virus hepatitis A.
IgM antivirus hepatitis A positif pada saat awal gejala dan biasanya disertai
dengan peningkatan kadar serum alanin amintransferase (ALT/SGPT). Jika telah
terjadi penyembuhan, antibodi IgM akan menghilang dan akan muncul antibodi
IgG. Adanya antibodi IgG menunjukkan bahwa penderita pernah terkena hepatitis
A. Jika seseorang terkena hepatitis A maka pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan beberapa diagnosis berikut:

- Serum IgM anti-HAV positif


- Kadar serum bilirubin, gammaglobulin, ALT, dan AST meningkat ringan.
- Kadar alkalin fosfatase, gammaglobulin transferase dan total bilirubin
meningkat pada penderita yang kuning.

 Diagnosis hepatitis B

Adapun diagnosis pasti hepatitis B dapat diketahui berdasarkan pemeriksaan


laboratorium.

- HBsAg (antigen permukaan virus hepatitis B) merupakan material


permukaan/kulit HBV, mengandung protein yang dibuat oleh sel hati yang
terinfeksi HBV. Jika hasil tes HBsAg positif artinya individu tersebut
terinfeksi HBV, menderita hepatitis akut, karier, atau pun hepatitis B kronis.
HBsAg positif setelah 6 minggu terinfeksi virus hepatitis B dan menghilang
dalam 3 bulan. Bila hasil menetap setelah lebih dari 6 bulan artinya hepatitis
telah berkembang menjadi kronis atau karier.
- Anti-HBsAg (antibody terhadap HBsAg) merupakan antibody tehadap
HBsAg yang menunjukkan adanya antibody terhadap HBV. Antibodi ini
memberikan perlindungan terhadap penyakit hepatitis B. Jika tes anti-HBsAg
positif artinya individu itu telah mendapat vaksin HBV, atau pernah
mendapat immunoglobulin, atau juga bayi yang mendapat kekebalan dari

9
ibunya. Anti-HBsAg yang positif pada individu yang tidak pernah mendapat
imunisasi hepatitis B menunjukkan individu tersebut pernah terinfeksi HBV.
- HBeAg (antigen HBV) merupakan antigen e HBV yang berada di dalam
darah. Bila positif menunjukkan virus sedang replikasi dan infeksi terus
berlanjut. Apabila hasil positif menetap sampai 10 minggu akan berlanjut
menjadi hepatitis B kronis. Individu yang positif HBeAg dalam keadaan
infeksius dan dapat menularkan penyakitnya baik terhadap orang lain,
maupun ibu ke janinnya.
- Anti-HBe (antibodi HBeAg) merupakan antibody terhadap antigen HBeAg
yang dibentuk oleh tubuh. Apabila anti-HBeAg positif artinya HBV dalam
keadaan fase non replikatif.
- HBcAg (antigen core HBV) merupakan antigen cora (inti) HBV yang berupa
protein dan dibuat dalam inti sel hati yang terinfeksi HBV. HBcAg positif
menunjukkan keberadaan protein dari inti HBV.
- Anti-HBc (antibodi terhadap antigen inti hepatitis B) merupakan antibodi
terhadap HBcAg dan cenderung menetap sampai berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Antibodi ini ada dua tipe yaitu IgM anti-HBc dan IgG anti-
HBc. IgM anti-HBc tinggi artinya infeksi akut, IgG anti-HBc positif dengan
IgM anti-HBc yang negatif menunjukkan infeksi kronis atau pernah
terinfeksi HBV.

 Diagnosis hepatitis C

Diagnosis hepatitis C dapat ditentukan dengan pemeriksaan serologi


untuk menilai antibodi dan pemeriksaan molekuler sehingga partikel virus dapat
terlihat. Sekitar 30% pasien hepatitis C tidak dijumpai anti-HCV (antibodi
terhadap HCV) yang positif pada 4 minggu pertama infeksi. Sementara sekitar
60% pasien positif anti-HCV setelah 5-8 minggu terinfeksi HCV dan beberapa
individu bisa positif setelah 5-12 bulan. Sekitar 80% penderita hepatitis C menjadi
kronis dan pada hasil pemeriksaan laboratorium dijumpai enzim alanine
aminotransferase (ALT) dan peningkatan aspartate aminotransferase (AST).5

10
Deteksi antibodi terhadap HCV dikatakan umumnya dengan teknik
enzyme immune assay (EIA). Antigen yang digunakan untuk deteksi dengan cara
ini adalah antigen C-100 dan beberapa antigen non-struktural (NS3,4 dan 5)
sehingga tes ini menggunakan poliantigen dari HCV. Dikenal beberapa generasi
pemeriksaan antibody HCV ini di mana antigen yang digunakan semakin banyak
sehingga saat ini generasi III mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.1

Pemeriksaan molekuler merupakan pemeriksaan yang dapat mendeteksi


HCV RNA. Tes ini terdiri atas 2 jenis, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Tes
kualitatif menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan dapat
mendeteksi HCV RNA kurang dari 100 kopi per milliliter darah. Tes kualitatif
dilakukan untuk konfirmasi viremia (adanya HCV dalam darah) dan juga menilai
respon terapi. Selain itu, tes ini juga berguna untuk pasien yang anti-HCV-nya
negatif, tetapi dengan gejala klinis hepatitis C atau pasien hepatitis yang tidak
teridentifikasi jenis virus penyebabnya.

Adapun tes kuantitatif sendiri terbagi atas 2 metode, yakni metode dengan
teknik branched-chain DNA dam teknik reverse transcriprion PCR. Tes kuantitatif
berguna untuk menilai derajat perkembangan penyakit. Pada tes kuantitatif ini
dapat diketahui derajat viremia. Biopsi (pengambilan sedikit jaringan suatu organ)
dilakukan untuk mengetahui derajat dan tipe kerusakan sel-sel hati.5

3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis


hepatitis adalah USG (ultrasonografi). Fungsi USG adalah untuk mengetahui adanya
kelainan pada organ dalam atau tidak. USG dilakukan terutama jika pemeriksaan fisik
kurang mendukung diagnosis. Sementara keluhan klinis dari pasien dan pemeriksaan
laboratorium menunjukkan tanda sebaliknya. Misalnya, seorang pasien datang dengan
keluhan sakit kuning, mual, malas makan, dan badan terasa lemas. Pada pemeriksaan
fisik, dokter hanya menemukan kelainan berupa warna kuning pada kulit, kuku dan
bola mata bagian putih pasien, dan tidak teraba adanya suatu pembesaran pada hati.
Kemudian, pemeriksaan laboratorium awal menunjukkan kadar ALT dan AST yang

11
tinggi. Dengan demikian, pada pasien tersebut dapat dilakukan pemeriksaan USG
agar dapat lebih memastikan diagnosis mengenai kelainan hatinya. Pemeriksaan USG
pada kasus hepatitis dapat memberikan informasi mengenai pembesaran hati,
gambaran jaringan hati secara umum, atau ada tidaknya sumbatan saluran empedu.

Ukuran hati manusia bervariasi antara satu dengan lainnya sehingga terkadang
dokter tidak menemukan adanya pembesaran hati. USG dapat membuktikan ada
tidaknya pembesaran hati, yakni dari pengamatan tepi hati terlihat tumpul atau tidak.
Tepi hati yang tumpul menunjukkan adanya pembesaran hati. USG juga dapat
melihat banyak tidaknya jaringan ikat (fibrosis). Selain itu, karena hepatitis
merupakan proses peradangan maka pada USG densitas (kepadatan) hati terlihat lebih
gelap jika dibandingkan dengan densitias ginjal yang terletak dibawahnya. Pada
keadaan normal, hati dan ginjal mempunyai densitas yang sama.

USG hanya dapat melihat kelainan pada hepatitis kronis atau sirosis.
Pemeriksaan USG untuk hepatitis akut tidak akurat karena pada hepatitis akut, proses
penyakit masih awal sehingga belum terjadi kerusakan jaringan. Pemeriksaan USG
pun dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding, yakni diagnosis lain
yang mungkin terkait kelainan hati, misalnya tumor hati, abses hati, radang empedu,
atau amubiasis hati (komplikasi infeksi amuba ke dalam hati sehingga terjadi abses
hati).5

Diagnosis Kerja

Infeksi oleh HCV dapat diidentifikasi dengan memeriksa antibodi yang dibentuk oleh
tubuh terhadap HCV bila virus ini menginfeksi pasien. Antibodi ini akan bertahan lama setelah
infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti protektif. Walaupun pasien dapat menghilangkan infeksi
HCV pada infeksi akut, namun antibodi terhadap HCV masih terus bertahan sampai bertahun-
tahun (18-20 tahun).

Selain itu, deteksi HCV RNA digunakan untuk mengetahui adanya virus ini dalam tubuh
pasien terutama dalam serum sehingga memberi gambaran infeksi yang sebenarnya.

12
Bila hasil pemeriksaan antibodi HCV menunjukkan hasil positif didukung dengan deteksi
HCV RNA yang hasilnya juga positif, maka diagnosa mengarah pada Hepatitis akut et causa
HCV.1

Diagnosis Banding

Hepatitis A Akut

Penyakit yang disebabkan oleh virus RNA single stranded yang penyebarannya melalui
fecal – oral atau akibat produk makanan seperti kerang. Penyakit ini terutama mengenai orang
berusia muda, kurang lebih umur 5 – 14 tahun.

Masa inkubasinya selama 2 – 6 minggu, setelah itu gejala klinik yang terjadi bertahap,
seperti influenza, lalu disertai demam, malaise, anoreksia, mual, muntah dan rasa tidak enak di
perut bagian atas yang berhubungan dengan pembesaran hati disertai nyeri tekan, dan yang lebih
jarang adalah pembesaran limpa. Setelah 3 – 4 hari timbul gejala khas berupa urin menjadi gelap
dan tinja pucat, tanpa adanya kolestasis. Ikterus dan gejala lain cenderung membaik setelah 1 – 2
minggu dan pemulihan biasanya sempurna, walaupun gejala ringan berlanjut selama 3 – 4 bulan
pada sebagian pasien. Kekambuhan pada hepatitis A sangat jarang terjadi dan kekebalan
mungkin dimiliki seumur hidup.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukannya antivirus hepatitis A dalam serum.


Virus terdapat dalam tinja selama 1 – 2minggu sebelum onset ikterus, dan setelah 1 minggu
setelahnya. Biasanya hanya dilakukan pengobatan simtomatik pada keadaan penyakit aktif.
Untuk makanan tidak ada yang dibatasi, kecuali alkohol. Pemeriksaan fungsi hati biasanya
kembali normal dalam 1 – 3 bulan.

Pemulihan terjadi pada hampir semua kasus. Namun, terkadang ikterus bisa terjadi
berkepanjangan akibat kolestasis intrahepatik, dan kortikosteroid bisa digunakan untuk
meredakan ikterus dengan cepat, khususnya jika berhubungan dengan pruritus.

Sebagai tindakan profilaksis, imunisasi aktif dengan virus yang inaktif dianjurkan pada
pelancong yang akan ke daerah endemik, serta imunisasi pasif dengan memberikan atau
menyuntikkan antibodi ke dalam tubuh manusia.6

13
Hepatitis B Akut

Penyakit yang disebabkan oleh virus DNA, virus ini dapat menyebar melalui darah dan
serum yang terinfeksi dan juga ditemukan dalam saliva, semen, dan secret vagina. Transmisi
terjadi melalui paparan perkutaneus (jarum yang terkontaminasi), kontak seksual, dan infeksi
maternal – neonatal. Paling sering pada pecandu narkoba dan homoseksual.

Masa inkubasinya 6 minggu sampai 6 bulan, lalu timbul gejala bertahap seperti letargi,
anoreksia, rasa tidak enak pada perut, ikterus, dan hepatomegali. Kadang – kadang terjadi
penyakit mirip serum sickness disertai poliartritis, ruam kulit, dan glomerulonefritis. Sekitar 1 %
akan berkembang menjadi gagal hati fulminan.

Diagnosis virus hepatitis B dengan tiga jenis antigen, yaitu antigen permukaan (HBsAg),
antigen inti / core (HBcAg), dan komponen internal (HBeAg). HBsAg muncul dalam darah
sekitar 6 minggu setelah infeksi akut dan biasanya menghilang dalam 3 bulan. HBeAg muncul
pada saat yang sama dan menunjukkan tingginya infektivitas. HBcAg biasanya hanya ditemukan
dalam hati. Munculnya anti HBsAg setelah infeksi akut merupakan tanda imunitas. Sekitar 5 %
kasus, antibodi tidak muncul dan HBeAg menetap dalam darah, dan ini disebut dengan karier.

Sama halnya seperti hepatitis A akut, sebagian besar hepatitis B juga terjadi pemulihan
secara spontan dan hanya diberikan pengobatan suportif. Infeksi di masa anak – anak lebih
memungkinkan untuk menjadi kronis daripada infeksi saat dewasa. Pada kondisi karier biasanya
asimtomatik namun, berhubungan dengan hepatitis kronis dan kanker hepatoseluler.

Imunisasi dapat diberikan pada kelompok berisiko tinggi seperti petugas kesehatan,
pasien dengan gagal ginjal kronis, pemakai obat dengan jarum suntik, pria homoseksual, dan
wanita pekerja seksual. Imunisasi ini diberikan tiga kali yaitu pada bulan 0,1,6 bulan dan status
antibody diperiksa dalam 2- 4 bulan setelahnya. Booster juga dianjurkan setiap 5 tahun. Selain
itu, immunoglobulin hepatitis B (HBIg) bisa diberikan bersama vaksin pada mereka yang
terinfeksi secara tak sengaja.6

Leptospirosis

14
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme
Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Leptospira termasuk dalam
famili treponemataceae, suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni
fleksibel, tipis, panjangnya 5-15um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah
satu ujungnya membengkak, membentuk suatu kait. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak
ditemukan adanya flagella. Secara sederhana leptospira terdiri atas dua spesies: Leptospira
interogans dana Leptospira biflexa. Spesies Leptospira interogans dibagi menjadi beberapa
serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisis antigennya.

Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua, kecuali Antartika, namun


terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti
anjing, babi, lembu, dan lain-lain atau pada binatang pengerat lainnya, seperti tupai musang,
kelelawar dan sebagainya. Tikus merupakan vektor utama dari L. Icterohaemorrhagica penyebab
leptospirosis pada manusia. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa
puncak insiden dijumpai pada musim panas dan musim gugur, sedangkan di daerah tropis
insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.

Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur yang telah
terkontaminasi oleh urin binatang yang telah terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika
terjadi luka/erosi pada kulit ataupun selaput lendir. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi
mendapat penyakit ini adalah pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan,
pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan atau orang-orang yang mengadakan
perkemahan di hutan, dokter hewan.

Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran
darah, dan berkembang biak, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi
respon imunologi baik secara seluler maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan
terbentuk antibodi spesifik.

Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis
mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu leptospiremia dan fase imun. Pada fase
leptospiremia, leptospira terdapat di dalam darah dan cairan serebrospinal, berlangsung secara
tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat

15
terutama pada paha, betis pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi
kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah
disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada
pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari 3-4 dapat
dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang
berbentuk makular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali,
hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari.

Fase imun ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang
mencapai 400C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh
pada leher, perut dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis,
gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikteri. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase
ikterik, purpura, ptechie, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang
paling sering. Conjuctiva injection dan conjuctival suffusion dengan ikterus merupakan tanda
patognomonis untuk leptospirosis.1

Yellow Fever (Demam Kuning)

Merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh arbovirus yang termasuk dalam
family Flaviviridae. Pada kasus-kasus yang parah, infeksi virus menyebabkan demam yang
tinggi, perdarahan ke dalam kulit, dan nekrosis (kematian 20 % - 50 %) dari sel-sel dalam ginjal
dan hati. Kerusakan yang dilakukan pada hati dari virus berakibat pada jaundice yang parah yang
menguningkan kulit. Makanya, "kuning" dalam "demam kuning."

Virus ini ditemukan di Afrika dan Amerika Selatan. Dan penyakit ini tidak bisa
ditularkan secara langsung dengan kontak antar manusia, tetapi membutuhkan vector untuk
menularkan penyakit ini. Vector penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti.

Masa inkubasi virus dalam tubuh selama 3 – 6 hari. Gejala klinik yang biasa terjadi
adalah demam, myalgia, sakit kepala, anoreksia, bahkan muntah. Gejala – gejala klinik tersebut
secara cepat akan berkembang menjadi ikterus dan keluhan lain seperti kram perut dengan
muntah. Pendarahan juga dapat terjadi dari mulut, hidung, mata atau perut. Jika ini terjadi, maka
akan terjadi hematemesis dan melena.

16
Yellow fever sulit untuk didiagnosis, terutama selama stadium awal karena sama seperti
malaria, Dengue Hemorragic Fever (DHF), leptospirosis, hepatitis virus (terutama bentuk
hepatitis fulminan dan hepatitis B dan D), demam hemoragik lainnya, dan penyakit lainnya
seperti keracunan.

Tes darah bisa mendeteksi antibodi yellow fever yang diproduksi sebagai respon infeksi.
Teknik lain yang bisa digunakan adalah untuk mengidentifikasi virus dalam specimen darah atau
jaringan hepar yang diambil dari orang mati atau mayat.

Nyamuk Aedes aegypti adalah vector utama, nyamuk membawa virus dari host ke orang
lain. Yang diserang biasanya adalah manusia dan hewan primata.7

Abses Hati

Berdasarkan penyebabnya abses hati terdiri dari abses hati piogenik dan abses hati amoeba.

Abses hati piogenik dulu lebih banyak terjadi melalui infeksi porta, terutama pada anak
muda dan sekunder terhadap peradangan apendiks. Tetapi sekarang abses hati piogenik sering
terjadi sekunder terhadap obstruksi dan infeksi saluran empedu. Infeksi terutama disebabkan oleh
kuman gram negatif dan penyebab terbanyak adalah E.coli. Abses hati piogenik dapat mengenai
kedua lobus hati pada 53,2%, lobus kanan saja 41,8% dan lobus kiri saja hanya 4,8%. Abses hati
umumnya multipel. Selain pembentukan abses dapat terjadi peradangan perihepatitis atau
perlengketan. Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih
berat dari abses hati amuba. Terutama demam yang dapat intermiten, remiten atau kontinyu yang
disertai menggigil. Keluhan lain dapat berupa sakit perut, mual, muntah, lesu dan berat badan
menurun. Dapat juga disertai batuk, sesak nafas serta nyeri pleura. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan pasien yang septik disertai nyeri perut kanan atas dan hepatomegali yang
nyeri tekan. Kadang-kadang disertai ikterus karena adanya penyakit bilier seperti kolangitis.
Pada pemeriksaan laboratorium mungkin didapatkan leukositosis dengan pergeseran ke kiri,
anemia, gangguan fungsi hati peninggian bilirubin atau fosfatase alkali.

Abses hati amoeba biasanya dapat dipicu oleh keadaan sanitasi buruk, status sosial-
ekonomi yang rendah serta status gizi yang kurang baik. Penularan umumnya melalui jalur oral-
fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita abses hati amoeba adalah pria

17
dengan rasio lebih tinggi dari wanita dan terutama pada dewasa muda. Agen penyebab utama
umumnya ialah Entamoeba histolytica yang merupakan organisme komensal di usus manusia.
Mekanisme amubiasis hati awalnya terjadi penempelan E.histolytica pada mukosa usus,
perusakan sawar intestinal, lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respon
imun seluler yang disebabkan enzim atau toksin parasit. Juga karena penyakit tuberkulosis,
malnutrisi, keganasan dan penyebaran amoeba ke hati. Penyebaran amoeba dari usus ke hati
sebagian besar melalui vena porta. Di hati, terjadi fokus akumulasi netrofil periportal yang
disertai nekrosis dan infiltrasi. Besarnya abses bervariasi yang isinya berupa bahan nekrotik,
jumlah abses dapat tunggal atau multipel, tetapi pada umumnya tunggal dan letak abses umunya
di lobus kanan. Gejala klinis yang klasik pada abses hati amoeba dapat berupa demam, nyeri
perut kanan atas, hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai gejala
komplikasi. Kadang-kadang gejalanya tidak khas dan timbul pelan-pelan. Diagnosis semakin
pasti apabila hasil tes serologi positif. 8

Kolesistitis

Kolesistitis akut merupakan inflamasi akut pada kandung empedu. Faktor presipitasi
yang paling sering memicu keadaan ini adalah obstruksi batu empedu. Sepuluh persen kasus
kolesistitis akut tanpa obstruksi batu empedu biasanya ditemukan pada pasien-pasien yang sakit
berat seperti misalnya: keadaan pascabedah, trauma berat, luka bakar berat, kegagalan organ
multisystem, sepsis, hiperalimentasi yang lama atau keadaan postpartum. Gejalanya meliputi
nyeri abdomen kuadran kanan atas atau nyeri epigastrium, demam yang ringan, anoreksia,
takikardia, diaphoresis dan nausea serta vomitus. Gejala ikterus menunjukkan obstruksi duktus
koledokus.9

Kolesistitis akut adalah peradangan akut kandung empedu, yang 90%nya dipicu oleh
obstruksi leher atau duktus sistikus. Hal ini merupakan komplikasi tersering batu empedu dan
alas an utama dilakukannya kolesistektomi darurat. Kolesistitis akalkulosa akut terjadi tanpa
disertai adanya batu, umumnya pada pasien yang sakit berat. Sebagian besar kasus kolesistitis
tanpa batu empedu terjadi pada keadaan-keadaan berikut, keadaan pasca operasi setelah bedah
mayor non empedu, trauma berat kecelakaan lalu lintas, luka bakar luas, gagal multiorgan dan
sepsis, hiperalimentasi intravena yang berkepanjangan, dan pasca partum.

18
Serangan kolesistasis akut berawal dari nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas yang
bersifat progresif, sering disertai demam ringan, anoreksia, takikardia, berkeringat, mual,
muntah. Abdomen atas nyeri tekan, tetapi kandung empedu yang melebar biasanya tidak jelas
diraba. Sebagian besar pasien tidak ikterik; adanya hiperbilirubinemia mengisyaratkan obstruksi
duktus biliaris komunis. Terjadi leukositosis ringan sampai sedang dan mungkih disertai oleh
peningkatan ringan kadar alkali fosfatase serum.

Pasien kolesistitis batu akut biasanya pernah mengalami serangan-serangan nyeri


empedu, tetapi tidak selalu. Kolesistitis batu akut mungkin timbul mendadak dan suatu
kedaruratan bedah akut atau mungkin menimbulkan gejala ringan yang mereda tanpa intervensi
medis. Tanpa penanganan medis, serangan biasanya mereda dalam 7-10 hari dan sering dalam 24
jam. Namun, hampir 25% pasien memperlihatkan gejala yang semakin parah, yang memerlukan
intervensi bedah segera. Pada pasien yang pulih, sering terjadi kekambuhan.

Kolesistitis kronik merupakan sekuele dari serangan berulang kali kolesistitis akut ringan
sampai berat, tapi pada banyak kasus, penyakit ini timbul tanpa serangan sebelumnya. Karena
penyakit ini disebabkan oleh kolelitiasis pada lebih dari 90% kasus, populasi pasien kolelitiasis
kronis serupa dengan populasi kolelitiasis. Perkembangan kolesistitis ko=ronik tidak jelas, yaitu
bahwa batu empedu tidak jelas berperan langsung dalam memicu peradangan atau nyeri,
terutama karena kolesistitis akalkulosa yang kronik memperlihatkan gejala dan histology serupa
dengan kolesistitis yang disebabkan oleh batu. Supersaturasi empedu mempermudah peradangan
kronik dan pembentukan batu. Mikroorganisme (e.coli dan enterococcus) dapat dibiak dari
empedu pada sepertiga kasus. Tidak seperti kolesistitis batu akut, tidak selalu harus terdapat
obstruksi pintu keluar kandung empedu. Bagaimanapun, gejala kolesistitis batu kronik serupa
dengan bentuk akut dan berkisar dari kolik empedu hingga nyeri kuadran atas kanan indolen
serta distress epigastrium. Kaena sebagian besar kandung empedu yang diangkat pada bedah
elektif unntuk batu empedu memperlihatkan gambaran kolesistitis kronik, dapat disimpulkan
bahwa adanya batu empedu dan peradangan ringan dalam jangka waktu yang lama, akan
menimbulkan gejala empedu.9

Kolangitis

19
Kolangitis adalah infeksi saluran empedu (duktus koledokus), yakni saluran yang
membawa cairan empedu dari hati ke kantung empedu dan usus. Empedu adalah cairan yang
dibuat oleh hati untuk membantu mencerna makanan.

Kolangitis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri, yang dapat terjadi ketika saluran
tersebut dihambat oleh sesuatu, seperti batu empedu atau tumor. Infeksi yang menyebabkan
kondisi ini juga dapat menyebar ke hati.

Faktor risiko termasuk riwayat batu empedu , kolangitis sklerosing, HIV, penyempitan
saluran empedu umum, dan yang jarang dapat disebabkan akibat perjalanan ke suatu negara
kemudian terpapar cacing atau infeksi parasit.

Gejala-gejala berikut dapat terjadi: 10

 Nyeri perut
o Di sisi kanan atas atau tengah perut bagian atas

o Dapat hilang timbul

o Nyeri tajam, kram

o Nyeri bisa pindah ke belakang atau di bawah tulang belikat kanan

 Menggigil

 Demam

 Tinja berwarna seperti tanah liat

 Urin warna gelap

 Mual dan muntah

 Menguningnya kulit (jaundice) - dapat hilang timbul

Sirosis Hati

20
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoseluler. Jaringan
penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan
regenerasi nodularis parenkim hati. Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati
kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata
yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan
kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara
klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.

Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makrobodular atau mikronodular


atau campuran. Selain itu diklasifikasikan berdasarkan etiologi, fungsional, namun hal ini juga
kurang memuaskan.

Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis
menjadi alkhoholik, kriptogenik dan post hepatitis, biliaris, kardiak, dan metabolik, keturunan,
dan terkait dengan obat. Di negara barat yang tersering akibat alkhoholik sedangkan di Indonesia
terutama akibatinfeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan
virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan
10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C. Alkhoholik
sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuemsunya kecil sekali karena belum ada
datanya.

Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien
melakukan pemeriksaan kesehata rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis
meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkuran, perasaan perut kembung,
mual, berat badan turun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada
membesar, dan hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut, gejala-gejala lebihmenonjol
terutama bila tmbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut
badan, gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan
siklus haid, ikterus dengan air kemih bewarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena,
serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.

21
Temuan klinis sirosis meliputi spider angioma-spiderangiomata, suatu lesi vaskular yang
dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas.
Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio
estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan
ditemukan pul pada orang sehat, walau umumnya ukuran lesi kecil.

Eritema palmaris. Warna kemerahan pada tena dan hipotenar telapak tangan. Hal ini juga
dikaitkan dengan peruahan metabolisme hosrmon estrogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada
sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, RA, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.

Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan dengan warna
normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat hipoalbuminemia. Tanda
ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik. Jari
gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier. Osteoartropati hipertrofi suatu periositis
proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.

Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae


laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga hilangnya
rambut dada dan aksila pada laki-laki mengalami perubahan ke arah feminisme. Kebalikannya
pada perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira fase menopause. Atrofi testis
hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini menonjol pada lakhoholik sirosis
dan hemokromatosis.

Hepatomegali, ukuran hati yang sirosis bisa membesar, normal, atau mengecil. Bilamana
hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular. Splenomegali, sering ditemukan terutama pada
sirosis yang penyebabnya non-alkhoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien
karena hipertensi porta. Asites, penimbunan cairan dalam ringga peritoneum akibat hipertensi
porta dan hipoalbuminemia. Caput medusae juga sebagai akibat dari hipertensi porta. Ikterus
pada kulit dan membran mukosa akibat hiperbilirubinemia. Bila kadar bilirubin kurang 2-3 mg/dl
tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.1

Etiologi

22
HCV adalah salah satu virus RNA yang digolongkan dalam flavivirus bersama-sama
dengan virus hepatitis G, yellow fever, dan dengue. Virus ini umumnya masuk ke dalam darah
melalui transfusi atau kegiatan-kegiatan yang memungkinkan virus ini terpapar dengan sirkulasi
darah. Target utama HCV adalah sel –sel hati dan mungkin juga sel limfosit B melalui reseptor
yang mungkin sekali serupa dengan CD81 yang terdapat di sel-sel hati maupun limfosit sel B
atau reseptor LDL (LDLR).

Setelah berada dalam sitoplasma sel hati, HCV akan melepaskan selubung virusnya dan
RNA virus siap untuk melalakukan translasi protein dan kemudian replikasi RNA. Struktus gen
HCV adalah sebuah RNA untai tunggal, positif sepanjang kira-kira 10.000 pasanga basa dan
daerah open reading frame (ORF) diapit oleh susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan
(untranslated region atau UTR) pada masing-masing ujung 5’ dan 3’.

Protein core dalam proses pengmasan virus setelah keluar dari sel akan membungkus
HCV RNA untai tunggal positif di retikulum endoplasma. Protein ini juga ditemukan dalam
nukleus sel hati dan mungkin bertangguang jawab dalam timbulnya kerusakan hati atau dalam
fungsi penekanan imunoregulasi dan apoptosis sel hati yang terinfeksi HCV.

Virus ini bereplikasi melalui RNA-dependent RNA polymerase yang akan menghasilkan
salinan RNA virus tanpa mekanisme proof - reading (mekanisme yang akan menghancurkan
salinan nukleotida yang tidak persis sama dengan aslinya). Kondisi ini akan menimbulkan
banyak salinan –salinan HCV RNA yang sedikit berbeda namun masih berhubungan satu sama
lain pada seorang pasien yang disebut sebagai quasispecies. Perbedaan nuleotida di antara
quasispecies tidak lebih dari 10% namun menimbulkan masalah pada pengenalan sistem
imunologik pasien terhadap virus ini karena perbedaan struktur antigen yang diekspresikan oleh
HCV.

Kecepatan replikasi HCV sangat besar, melebihi HIV maupun HBV. Data yang ada
menunjukkan replikasi HCV terjadi dalam sitoplasma sel hati dengan membuat salinan RNA
negatif sementara yang dilakukan oleh RNA- dependent RNA polymerase, protein yang dikode
oleh regio NS5B pada gen HCV. Melului salinan RNA negatif ini dibuat salinan-salinan RNA
positif.

23
Saat ini telah diidentifikasi 6 genotipe yang berbeda dengan subtipe yang banyak dan
setiap saat bertambah terus. Di Indonesia, Amerika Serikat dan Eropa barat terbanyak adalah
genotipe 1a dan 1b. Lebih dari 60% di antara genotipe yang berhasil diidentifikasi pada beberapa
studi di Indonesia genotipe 1a dan 1b.

Genotipe mempunyai arti tidak saja dalam menentukan penyebaran HCV secara
geografis tetapi juga bermanfaat dalam menentukan prognosis perjalanan penyakit dan efektifitas
pengobatan dengan interferon. Genotipe 1 mempunyai kecepatan replikasi lebih besar daripada
genotipe lainnya sehingga umumnya kandungan virus pada seorang pasien lebih besar. Genotipe
ini diketahui pila mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan pasien dengan genotipe
lainnya. Genotipe 1 dan 4 memerlukan terapi yang lebih lama dibandingkan dengan genotipe 2
dan 3.1

Gambar 1. Derajat Keparahan Hepatitis C. (diunduh dari jellygamat-luxor. Biz tanggal


8/6/2012).

24
Gambar 2. Hepatitis C Virus. (diunduh dari umm.edu tanggal 8/6/2012).

Epidemiologi

Prevalensi infeksi virus hepatitis C di dunia

Infeksi virus hepatitis C (HCV) adalah suatu masalah kesehatan global. Diperkirakan
sekitar 170 juta orang di dunia telah terinfeksi secara kronik oleh HCV. Prevalensi global infeksi
HCV adalah 2,9%. Menurut data WHO angka prevalensi ini amat bervariasi dalam distribusi
secara geografi, dengan seroprevalensi terendah di Eropa sekitar 1% hingga tertinggi 5,3% di
Afrika. Angka seroprevalensi di Asia Tenggara sekitar 2,2% dengan jumlah penderita sekitar
32,3 juta orang.

Gambar 3. Distribusi Geografis Genotipe HCV (diunduh dari wwwnc.cdc.gov tanggal 8/6/2012).

Prevalensi infeksi virus hepatitis C di Indonesia

25
Di Indonesia prevalensi infeksi virus hepatitis C ditemukan sangat bervariasi, mengingat
geografis yang sangat luas. Selain itu terdapat juga variasi hasil beberapa peneliti sehubung
dengan berbedanya kelompok yang diteliti.

Hasil pemeriksaan pendahuluan anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di


Indonesia menunjukkan bahwa prevalensinya adalah di antara 3,1% - 4%. Dengan bantuan
Namru-2 dimana dimungkinkan untuk penggunaan reagen anti-HCV generasi kedua dan juga
bantuan unit PUTD Palang Merah Indonesia, data donor darah di kota-kota besar menunjukkan
prevalensi yang lebih kecil 0,5% -3,37% dibandingkan data sebelumnya.8

Patogenesis

Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati HCV masih sulit dilakukan karena
terbatasnya kultur sel untuk HCV dan tidak adanya hewan model kecuali simpanse yang
dilindungi. Kerusakan sel akibat HCV atau partikel virus secara langsung masih belum jelas.
Namun beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan
kerusakan sel-sel hati.

Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi
menyeluruh HCV pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif lemah masih
mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak bisa
menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik HCV sehingga kerusakan sel hati
berjalan terus menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivitas limfosit sel T-
helper (Th) spesifik HCV. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat
pada reaksi toleransi dan melemahnya respons CTL.

Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α,


TGF-β, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivasi sel-sel
stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan tenang (quiscent)
kemudian berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan
matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-
inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus-menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak

26
berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada semakin
sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati.

Pada gambaran histopatologis pasien hepatitis C kronik dapat ditemukan pada proses
inflamasi kronik berupa nekrosis gerigit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis portal yang
lebih lanjut dapat masuk ke lobulus hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat menyebabkan
nekrosis dan fibrosis jembatan (bridging necrosis/fibrosis). Gambaran yang agak khas untuk
infeksi HCV adalah agregat limfosit di lobulus hati namun tidak didapatkan pada semua kasus
inflamsi akibat HCV.1

Tabel 1. Detail penanganan untuk HCV. (Miksad R. Last Minute Internal Medicine. Chicago: McGraw-
Hill 2008; p. 220-222.). 13

Hepatit Penatalaksanaan Potensi Efek Prognosis Berasosiasi dengan


is Virus Samping

Hepatit  PEG-  Penyakit  80%  Cryoglobulinemia.


is C Interferon seperti Infeksi  Membranoproliferativ
flu. kronis e glomerulonephritis.
 Depresi. dengan  Liver transplantasi jika
 Supresi 10-20% decompensated
Sumsum menjadi cirrhosis.
Tulang. cirrhosis.
 Ribavirin  Anemia  1-5%
Hemolyti berkemba
c. ng
 Defek menjadi
Kelahihan hepatocell
. ular
 Penyakit carcinoma
Cardiac .
yang  Tambah
parah. parah
pada
penderita

27
HIV,
orangtua,
dan
alkoholik.
 Genotipe
1 lebih
susah
ditangani
daripada 2
dan 3.

Manifestasi Klinis

Umumnya penyakit infeksi akut HCV tidak memberikan gejala atau hanya bergejala
minimal. Hanya 20-30% kasus saja yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7-8 minggu
(berkisar 2 - 26 minggu) setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi akut sangat
sukar dikenali karena pada umumnya tidak terdapat gejala sehingga sulit pula menentukan
perjalanan penyakit akibat infeksi HCV. Dari beberapa laporan yang berhasil mengidentifikasi
pasien dengan infeksi hepatitis C akut, didapatkan adanya gejala malaise, mual-mual dan ikterus
seperti halnya hepatitis akut akibat infeksi virus-virus hepatitis lainnya. Hepatitis fulminan
sangat jarang terjadi. ALT meninggi sampai beberapa kali di atas batas atas nilai normal tetapi
umumnya tidak sampai lebih dari 1000 U/L. Umumnya, berdasarkan gejala klinis dan laboratorik
saja tidak dapat dibedakan antara infeksi oleh virus hepatitis A, B maupun C.

Infeksi akan menjadi kronik pada 70 - 90 % kasus dan sering kali tidak menimbulkan
gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Hilangnya HCV setelah terjadinya
hepatitis kronik sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu 20 -30 tahun untuk terjadinya sirosis hati
yang akan terjadi pada 15 — 20 % pasien hepatitis C kronik.

Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaan fisik
maupun laboratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Pada pasien di mana ALT selalu
normal, 18 - 20 % sudah terdapat kerusakan hati yang bermakna, sedangkan diantara pasien
28
dengan peningkatan ALT, hampir semuanya sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai
berat.

Progresifitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati tergantung beberapa faktor risiko yaitu :
asupan alcohol, ko-infeksi dengan virus hepatitis B atau Human Immunodeficiency Virus (HIV),
jenis kelamin laki-laki, dan usia saat terjadinya infeksi. Setelah terjadi sirosis hati, maka dapat
timbul kanker hati dengan frekuensi 1 - 4 % tiap tahunnya. Kanker hati dapat terjadi tanpa
melalui sirosis hati walaupun hati ini amat jarang terjadi.

Ko-infeksi dengan HIV diketahui menjadi masalah karena dapat memperburuk


perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat terjadinya sirosis hati dan mungkin pula
mempercepat penurunan sistem kekebalan tubuh, terutama infeksi oleh HCV genotipe 1. Adanya
ko-infeksi HCV dan HIV juga menyulitkan terapi dengan obat-obatan anti retrovirus karena
memperbesar proporsi pasien yang menderita gangguan fungsi hati dibandingkan dengan mereka
yang tidak terdapat ko-infeksi VCV-HIV. Di Indonesia permasalahan Ko-infeksi HCV dan HIV
banyak ditemukan pada pengguna narkotika suntik yang menggunakan alat suntik bergantian.
Lebih dari 80% pengguna narkotika suntik terinfeksi oleh HCV. Pada populasi ini juga
ditemukan semakin tingginya proporsi kejadian hepatotoksisitas penggunaan obat antiretroviral
(ALT >5 kali nilai normal) pada mereka dengan ko-infeksi HCV-HIV dibandingkan dengan
mereka yang hanya menderita infeksi HIV saja. Proporsi hepatotoksisitas juga semakin
meningkat bila terdapat ko-infeksi HCV-HIV dan HBV yang juga tidak jarang ditemukan pada
pengguna narkotika di Indonesia.

Ko-infeksi HCV dengan virus hepatitis B (HBV) juga memperburuk perjalanan penyakit
pasien. Dilaporkan kejadian sirosis hati relatif lebih banyak ditemukan pada mereka yang
menderita ko-infeksi HCV-HBV dibandingkan dengan HCV atau HBV saja. Selain itu, risiko
terjadinya kanker hati meningkat menjadi amat tinggi pada mereka yang menderita ko-infeksi ini
dibandingkan hanya terinfeksi salah satu virus tersebut saja.

Superinfeksi oleh virus hepatitis A (HAV) pada pasien yang telah terinfeksi HCV
dilaporkan dapat menjadi hepatitis akut yang berat maupun hepatitis fulminan. Untuk itu, pasien
HCV yang belum pernah terinfeksi HAV (anti-HAV total negatif) dianjurkan untuk vaksinasi
terhadap infeksi HAV.

29
Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi ekstra hepatik, antara
lain: krioglobulinemia dengan komplikasi-komplikasinya (glomerulopati, kelemahan, vaskulitis,
purpura, atau artralgia), porphyria cutanea tarda, sicca syndrome, atau lichen planus.
Patofisiologi gangguan-gangguan ekstra hepatik ini belum diketahui pasti, namun dihubungkan
dengan kemampuan HCV untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga mengganggu respons
sistem imunologis. Sel-sel limfoid yang terinfeksi dapat berubah sifatnya menjadi ganas karena
dilaporkan tingginya angka kejadian limfoma non-Hodgkin pada pasien dengan infeksi HCV.1

Penatalaksanaan

Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan peningkatan ALT lebih dari
batas atas nilai normal. Menurut panduan penatalaksanaan yang dikeluarkan beberapa badan
peneliti hati di dunia, nilai ALT lebih dari 2 batas atas nilai normal. Hal ini mungkin tidak
berlaku mutlak karena berapapun nlai ALT di atas batas nilai normal biasanya sudah
menunjukkan adanya fibrosis yang nyata bila dilakukan biopsi hati. Bila nilai ALT normal, harus
diketahui terlebih dahulu apakah nilai normal ini menetap (persisten) atau berfluktuasi dengan
memonitor nilai ALT setiap bulan untuk 4-5 kali pemeriksaan. Nilai ALT yang berfluktuasi
merupakan indikasi untuk melakukan terapi namun bila nilai ALT tetap normal, biopsi hati perlu
dilakukan agar dapat lebih jelas diketahui fibrosis yang sudah terjadi.

Pada pasien yang tidak terjadi fibrosis hati atau hanya merupakan fibrosis hati ringan,
mungkin terapi tidak perlu dilakukan karena mereka biasanya tidak berkembang menjadi sirosis
hati setelah 20 tahun menderita infeksi HCV. Nilai fibrosis hati tingkat menengah atau tinggi,
sudah merupakan indikasi untuk terapi, sedangkan apabila sudah terdapat sirosis hati, maka
pemberian interferon harus berhati-hati karena dapat menimbulkan penurunan fungsi hati secara
bermakna.

Pengobatan hepatitis C kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin.
Umumnya disepakati bila HCV dengan genotipe 1 dan 4, maka terapi perlu diberikan selama 48
minggu dan bila genotipe 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24 minggu.

Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengan penggunaan interferon dan ribavirin
tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun, Hb < 10g/dL, leukosit darah < 2500/uL,

30
trombosit <100.000/uL, adanya gangguan jiwa berat, dan adanya hipertiroid tidak diindikasikan
untuk terapi dengan interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan ginjal juga tidak
diindikasikan menggunakan ribavirin karena dapat memperberat gangguan ginjal yang terjadi.

Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3 kali seminggu
dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian. Interferon yang telah diikat dengan
poly-ethylen glycol (PEG) atau dikenal dengan Peg-Interferon, diberikan setiap minggu dengan
dosis 1,5ug/kg BB/kali (untuk Peg-Interferon 12 KD) atau 180 ug (untuk Peg-interferon 40 KD).

Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis pada pasien
dengan berat badan < 50 kg 800 mg setiap hari, 50-70 kg 1000mg setiap hari, dan > 70 kg 1200
mg setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian.

Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu dilakukan pemeriksaan HCV
RNA secara kualitatif untuk mengetahui apakah HCV resisten terhadap pengobatan dengan
interferon yang tidak akan bermanfaat untuk memberikan terapi lanjutan dengan interferon dan
tidak memerlukan pemeriksaan HCV RNA 6 bulan kemudian. Keberhasilan terapi dinilai 6
bulan setelah pengobatan dihentikan dengan memeriksa HCV RNA kualitatif. Bila HCV RNA
tetap negatif, maka pasien dianggap mempunyai respons virologik menetap (sustained
virological response atau SVR) dan HCV RNA kembali positif, pasien dianggap kambuh
(relapser). Mereka yang tergolong kambuh ini dapat kembali diberikan Interferon dan ribavirin
nantinya dengan dosis yang lebih besar atau bila sebelumnya menggunakan interferon
konvensional, Peg-Interferon mungkin akan bermanfaat. Beberapa peneliti menganjurkan
pemeriksaan HCV RNA kuantitatif 12 minggu setelah terapi dimulai untuk menentukan
prognosis keberhasilan terapi di mana prognosis dikatakan baik bila HCV RNA turun > 2 log.

Efek samping penggunaan interferon adalah demam dengan gejala-gejala menyerupai flu
(nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan, dan sejenisnya), depresi dan gangguan emosi,
kerontokan rambut lebih dari normal, depresi sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang
timbul tiroiditis. Ribavirin dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk mengantisipasi timbulnya
efek samping tersebut, pemantauan pasien mutlak perlu dilakukan. Pada awal pemberian
interferon dan ribavirin dilakukan pemantauan klinis, laboratoris (Hb, leukosit, trombosit, asam
urat, dan ALT) setiap 2 minggu yang kemudian dapat dilakukan setiap bulan. Terapi tidak boleh

31
dilanjutkan bila Hb < 8g/ dL, leukosit < 1500/uL atau kadar netrofil < 500/uL, trombosit <
50.000/uL, depresi berat yang tidak teratasi dengan obat anti-depresi, atau timbul gejala-gejala
tiroiditis yang tidak teratasi.

Keberhasilan terapi dengan interferon dan ribavirin untuk eradikasi HCV lebih kurang
60%. Tingkat keberhasilan terapi tergantung pada beberapa hal. Pada pasien dengan genotipe 1
hanya 40% pasien yang berhasil dieradikasi sedangkan untuk genotipe lain, tingkat keberhasilan
terapi dapat mencapai lebih dari 70%. Peg-Interferon dilaporkan mempunyai tingkat
keberhasilan terapi yang lebih baik daripada interferon konvensional. Hal lain yang juga
berpengaruh dalam kurangnya keberhasilan respons terapi dengan interferon adalah semakin tua
umur, semakin lama infeksi terjadi, jenis kelamin laki-laki, berat badan berlebih, dan tingkat
fibrosis hati yang berat.

Pada hepatitis C akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik daripada pasien
hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Pada kelompok pasien ini interferon dapat digunakan
secara monoterapi tanpa Ribavirin dan lama terapi pada satu laporan hanya 3 bulan. Namun sulit
untuk menentukan infeksi akut HCV karena tidak adanya gejala akibat infeksi virus ini sehingga
umumnya tidak diketahui waktu yang pasti adanya infeksi. Apabila jelas infeksi akut tersebut
terjadi misalnya pada tenaga medis yang secara rutin dilakukan pemeriksaan anti-HCV dengan
hasil negatif dan kemudian setelah tertusuk jarum anti-HCV menjadi positif maka monoterapi
dengan interferon dapat diberikan.

Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi dengan interferon dan ribavirin dapat diberikan bila
jumlah CD4 pasien ini > 200 sel/mL. Bila CD4 kurang dari nilai tersebut, respons terapi sangat
tidak memuaskan. Untuk pasien dengan ko-infeksi HCV-HBV, dosis pemberian interferon untuk
HCV sudah sekaligus mencukupi untuk terapi HBV sehingga kedua virus dapat diterapi
bersama-sama sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus untuk HBV. 1

Komplikasi

32
Risiko hepatitis fulminan adalah rendah pada HCV, tetapi risiko hepatitis kronis paling
tinggi pada virus hepatitis. Perjalanan kronis biasa adalah ringan walaupun terjadi sirosis,
pemantauan jangka lama menunjukkan bahwa mortalitas keseluruhan orang-orang dengan HCV
akibat transfusi tidak berbeda dengan mortilitas kontrol noninfeksi. 11

Infeksi HCV yang terus selama bertahun-tahun dapat menimbulkan komplikasi yang
signifikan seperti: 12

 Sirosis hati
Setelah 20-30 tahun infeksi hepatitis C, sirosis dapat terjadi. Jaringan parut
(fibrosis) yang terbentuk di hati akan menghambat fungsi hati. Sirosis sendiri adalah
suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang
berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif.

http://www.mayoclinic.com/images/image_popup/r7_normcirrhosis.jpg

 Hepatocellular carcinoma (HCC)


Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor risiko
penting ari HCC. Prevalensi anti-HCV pada pasien HCC di Cina dan Afrika Selatan
sekitar 30%, sedangkan di Eropa Selatan dan Jepang 70-80%. Meta analisis penelitian
kasus-kelola menyimpulkan bahwa resiko terjadinya HCC pada pengidap infeksi HCV
adalah 17 kali lipat dibandingkan dengan resiko pada bukan pengidap. Di area

33
hiperendemik HBV, prevalensi anti-HCV jauh lebih tinggi pada kasus HCC dengan
HbsAg negatif daripada yang HbsAg positif. Juga ditemukan bahwa prevalensi HCV-
RNA dalam serum dan jaringan hati lebih tinggi pada pasien HCC dengan HBsAg-
negatif dibanding dengan yang HbsAg positif. Ini menunjukkan bahwa infeksi HCV
berperan penting dalam patogenesis HCC pada pasien yang bukan pengidap HBV. Pada
kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah dengan anti-HCV positif, interval
antara saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun.
Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktivitas nekroinflamasi kronik
dan sirosis hati.1

 Gagal hati
Jaringan-jaringan hati yang telah rusak parah dan mengalami sirosis dapat
menyebabkan hati tidak berfungsi. Gagal hati disebabkan oleh nekrosis sel hati yang luas
diikuti kegagalan fungsi hati secara mendadak, yang ditandai dengan ensefalopati.12

 Kanker hati

Kanker hati biasanya ditemui pada pasien yang pernah mengidap hepatitis B dan hepatitis C
atau penyakit hati kronis. Kanker hati primer merupakan kanker hati yang berasal dari hepatosit
(karsinoma hepatoseluler) atau dari duktus empedu (kolangiokarsinoma). Semua jenis kanker
hati memiliki prognosis yang sangat buruk, sehingga sering kali dihubungkan dengan
kekambuhan kanker intrahepatik. Angka bertahan hidup lebih dari 5 tahun pada orang yang
menderita kanker hati adalah kurang dari 5%.

http://www.mayoclinic.com/images/image_popup/mcdc7_liver_cancer.jpg

34
Pencegahan

Belum tersedia vaksin untuk hepatitis yang disebabkan HCV, dan mungkin tidak
dikembangkan karena penelitian dengan hewan percobaan memberi kesan bahwa infeksi HCV
tidak menimbulkan imunitas protektif. Individu yang sama dapat terinfeksi beberapa kali dengan
virus yang sama. Ig tidak terbukti bermanfaat. Ig yang dibuat di Amerika Serikat tidak
mengandung antibodi terhadap HCV karena donor darah dan plasma diskrin untuk anti-HCV,
dan pengeluaran orang-orang HCV-positif dari kumpulan donor dianjurkan.11,12

Selain itu penelitian untuk menemukan vaksin hepatitis HCV telah dilakukan, namun
dikarenakan oleh tingginya tingkat mutasi dari HCV, maka sangatlah sulit untuk
mengembangkan vaksin yang efektif untuk HCV. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha -usaha
berikut untuk mencegah terjadinya infeksi yaitu di antaranya: 1) melakukan skrining dan
pemeriksaan terhadap darah dan organ donor; 2) menginaktivasi virus dari plasma dan produk-
produk plasma; 3) senantiasa mengimplementasikan tindakan-tindakan untuk mengontrol infeksi
dalam setting pekerja kesehatan, termasuk prosedur sterilisasi yang benar terhadap alat-alat
medis dan dentis; 4) mempromosikan perubahan tingkah laku pada masyarakat umum dan
pekerja kesehatan untuk mengurangi penggunaan berlebihan obat-obat suntik dan penggunaan
cara penyuntikan yang aman, serta konseling untuk menurunkan risiko pada IDU dan praktek
seksual.8

Bentuk pencegahan lainnya berupa perlindungan diri masing-masing ialah dengan tidak
menggunakan atau menghentikan penggunaan obat-obatan terlarang, jika merupakan pengguna
maka segera minta pertolongan. Pada saat melakukan body piercing dan tato perlu berhati-hati,
sebaiknya dilakukan di tempat yang terpercaya di mana peralatan terutama jarum yang
digunakan steril. Orang yang sering berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seks
perlu untuk menerapkan perilaku seks yang lebih aman untuk menghindari penularan hepatitis C
sekaligus penyakit-penyakit menular seksual seperti HIV dan Hepatitis B. 12

Prognosis

35
Kebanyakan orang yang terinfeksi hepatitis C biasanya dalam bentuk kronik. Penderita
yang terinfeksi HCV genotipe 2 atau 3 umumnya memberi respon lebih baik terhadap
pengobatan dibandingkan dengan genotipe 1.

Dokter-dokter sering menggunakan istilah “sustained virologic response” dibandingkan


istilah sembuh ketika virus sudah tidak terdapat di darah, karena tidak diketahui pasti apakah
keadaan ini akan tetap bertahan seumur hidup pasien. Bahkan jika pengobatan tidak
menghilangkan virus, tetapi masih dapat mengurangi kemungkinan komplikasi penyakit hati
yang parah.

Hepatitis C merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan penyakit hati kronik
yang mungkin dapat mencetuskan sirosis hati atau bahkan kanker hati. Hepatitis C biasanya
dapat kembali menginfeksi setelah transplantasi hati di mana dapat mengakibatkan sirosis pada
hati yang baru tersebut.12

KESIMPULAN

Hepatitis C merupakan penyakit peradangan hati yang disebabkan oleh HCV. Penularan
baisanya terjadi secara parenteral. Infeksi akut pada Hepatitis C umumnya jarang menunjukkan
gejala atau hanya gejala minimal sehingga sulit untuk terdeteksi, namun pada kasus
menunjukkan adanya gejala serupa hepatitis akut et causa viral yang dialami oleh pasien. Oleh
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium secara serologi dan juga biokimia untuk
mengetahui kerusakan pada sel hati. Perjalanan penyakit hepatitis C sering kronik sehingga dapat
menyebabkan penyakit-penyakit hati lainnya yang lebih parah. Pada hepatitis C akut,
keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik daripada pasien hepatitis C kronik sehingga
dapat dilakukan monoterapi, tetapi untuk kronik perlu diberikan gabungan interferon dan
antivirus. Pencegahan dalam bentuk vaksin HCV belum ada, oleh karena itu pencegahan
penularan dapat dilakukan terutama pada transfusi darah perlu dilakukan skrining terhadap donor
darah dan menghindari penggunaan jarum suntik secara bergantian yang umumnya sering
dilakukan oleh pengguna obat-obatan terlarang. Deteksi dini akan sangat membantu mengurangi
tingkat kerusakan sel hati dan fungsi hati.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simardibrata M, dan Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam: Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009
2. Cahyono JBSB. Hepatitis B. Jakarta: Kanisius; 2010.h.46-8
3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h.81
4. Bickley, Lynn S.Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi 8.
Jakarta: EGC; 2009. h. 344-7.
5. Sari W, Lili I, Djing OG. Care your self: hepatitis. Jakarta: Penebar plus; 2008.h.26-33
6. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Edisi VI. Jakarta : Erlangga
Medical Series; 2005.h. 242-4.
7. Department of Health and Human Service Center for Disease Control and Prevention.
Vaccine information statement yellow fever vaccine, 30 Maret 2011. CDC. Diunduh dari
www.cdc.gov/vaccine/pubs/vis/downloads/vis-yf.pdf, 6 Juni 2012, 08.51 WIB.

37
8. Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Noer HMS. Buku ajar ilmu penyakit hati. Edisi
1. Jakarta: Penerbit jayabadi; 2007
9. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins dan Cotran dasar patologis penyakit ed 7.
Jakarta: EGC; 2009.h.539, 954-5
10. Zieve D. Kolangitis. 23 Mei 2010. Diunduh dari: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus, 9
Juni 2012, 03:10 WIB
11. Behrman, Kliegman, Arwin, Nelson. Ilmu kesehatan anak nelson. Volume 2. Edisi 15.
Jakarta: EGC; 2000.h. 1123
12. Zieve D. Hepatitis C, 16 Oktober 2011. Diunduh dari:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus, 10 Juni 2012, 12.37 WIB.
13. Miksad R. Last Minute Internal Medicine. Chicago: McGraw-Hill 2008; p. 220-222.

38

Anda mungkin juga menyukai