Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

DEPARTEMEN KEPERAWATAN ANAK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Keperawatan Departemen Keperawatan Anak Sebagai
Persyaratan Mencapai (S.Kep., Ners) Pada Program Studi Profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Malang

Disusun Oleh:

ALIF AKBAR HASYIMI


NIM. 201820461011099

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
STATUS EPILEPTICUS
DI RUANG HCU RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktek Klinik


Mata Kuliah Keperawatan Anak

Disusun oleh :

ALIF AKBAR HASYIMI


201820461011099

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
1. DEFINISI
Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas
kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar
kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status
epileptikus. Status epileptikus adalah gawat darurat medik yang memerlukan
pendekatan terorganisasi dan terampil agar meminimalkan mortalitas dan morbiditas
yang menyertai (Haslam, 2010).

Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan SE sebagai kejang yang terus-


menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah
tanpa pemulihan kesadaran di antaranya. Definisi ini telah diterima secara luas,
walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat dapat
merupakan suatu SE. Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai SE jika kejang
terus-menerus lebih dari 5 menit (Sirven, 2013).

Status Epileptikus bangkitan umum (GCSE) adalah bangkitan umum yang


berlangsung 30 menit atau lebih lama atau bangkitan tonik klonik berulang yang
terjadi lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran diantara tiap bangkitan. Definisi
operasional status epileptikus yang dipakai saat ini untuk dewasa dan anak, yaitu
bangkitan yang berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit atau terdapat 2 atau
lebih bangkitan tanpa pulih kesadaran di antaranya (Mastrangelo, 2012)

2. ETIOLOGI
Beberapa penyebab utama SE pada anak adalah infeksi (meningitis dan ensefalitis),
demam, trauma kepala, ketidakpatuhan terhadap obat antiepilepsi, tumor pada
susunan saraf pusat, trauma serebrovaskular, ensefalopati hipoksik-iskemia, gangguan
elektrolit, dan sindrom neurokutaneous. Sekitar 25% penyebab SE diklasifikasikan
sebagai idiopatik. Sebuah penelitian prospektif berbasis populasi di Amerika serikat
telah melakukan stratifikasi penyebab SE pada anak. Urutan penyebab terbanyak
sebagai berikut :
Tabel 1.Etiologi terbanyak  status epileptikus pada anak.

Akut
Simptomatis akut (17%-52%)

Infeksi SSP akut (meningitis bakteri, meningitis viral,      ensefalitis)

Gangguan metabolik (hipoglikemia, hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia, sedera


anoksia)

Ketidakpatuhan minum obat anti epilepsi

Overdosis obat anti epilepsi

Penyebab di luar ketidakpatuhan dan overdosis obat anti epilepsi

Prolonged febrile convulsion (23%-30%)

Influenza

Exantema Subitum
Remote symptomatic/simptomatis berulang (16%-39%)
Cerebral Migrational Disorders (lissencephaly, schizencephaly)

Cerebral Dysgenesis

Perinatal Hypoxic-Ischemic Encephalopathy

Progressive Neurodegenerative Disorders


Idiopatik/Kriptogenik (5%-19%)
(Dikutip dari Singh RK dan Gaillard WD, 2009)

Penyebab status epilepticus sangat bervariasi berdasarkan usia anak (yaitu anak usia
<6 tahun vs >6 tahun). Beberapa penyebab tersebut antara lain:
Penyebab
Anak usia <6 tahun Anak usia >6 tahun
 Kejang demam  Cidera saat dilahirkan
 Cidera saat dilahirkan  Trauma
 Infeksi (bacterial meningitis, viral  Infeksi
meningitis atau ensepalitis)  Epilepsy dengan tingkat
 Gangguan metabolik pengobatan/obat yang tidak memadai
 Trauma  Penyakit degenerative serebral
 Sindrom neurocutaneous  Tumor
 Penyakit degenerative serebral  Keracunan
 Tumor  Idiopatik
 Idiopatik
(Ramachandrannair, de-Menezes, & Simon, 2014).
3. FAKTOR RESIKO
 Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan,
air panas
 Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya
golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikimia, kelelehan fisik
 Faktor mental: stress, gangguan emosi

4. PATOFISIOLOGI
Terlampir
5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala berupa :
 Suhu anak tinggi
 Anak pucat / diam saja
 Mata terbelalak ke atas disertai kekakuan dan kelemahan.
 Umumnya kejang berlangsung singkat.
 Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan atau hanya sentakan atau
kekakuan fokal.
 Serangan tonik klonik ( dapat berhenti sendiri )
 Kejang dapat diikuti sementara berlangsung beberapa menit
 Seringkali kejang berhenti sendiri.
(Arif Mansjoer, 2010)

Menurut Commusion of Classification andf Terminologi of the International League


against Epilepsi (ILAE), klasifikasi epilepsy sebagai berikut:
1. Sawan parsial (fokal,local)
a) Sawan parsial sederhana: sawan parsial dengan tetap kesadaran normal
 Dengan gejala motorik
o Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian
tubuh saja
o Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas kebagian lain. Disebut juga epilepsi Jacksen
o Versif: sawan disertai gerakan memutar kapala, mata, tubuh
o Postural sawan disertaidengan lengat atau tungkai kaku dalam
sikap tertentu
o Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang terhenti
atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
 Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial: sawan disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kalima panca indra dan bangkitan
yang disertai vertigo
o Somatosensorik: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum
o Visual: terlihat cahaya
o Auditoris: terdengar sesuatu
o Olfaktoris: terhidu sesuatu
o Gustatoris: terkecap sesuatu
o Disertai vertigo
 Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,
pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil)
 Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
o Disfasia: ganguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata
atau bagian kalimat
o Dismnesia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat,atau sebaliknya tidak pernah
mnegalami,mendangar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin
mendadak mengingat suatu peristiwa dimasa lalu, merasa seperti
melihat lagi.
o Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
o Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
o Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil
atau lebih besar
o Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara,
musik melihat sesuatu fenomena tertentu dan lain-lain
b) Sawan parsial komplek
 Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-
mula baik kemudian baru menurun.
o Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti
golongan A1 - A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
o Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-geraka, perilaku
yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-
ngunyah, menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti
ketakutan, menata-nata sesuatu, memegang-megang kancing baju,
berjlan, mengembara tak menentu, berbicara dan lain-lain.
 Dengan penurunan kesadaran sejak serangan: kesadaran menurun sejak
permulaan serangan.
o Hanya dengan penurunan kesadaran.
o Dengan automatisme.
o Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-
klonik, tonik, klonik)
2. Sawan umum (konfulsif atau non konfulsif)
a) Sawan Lena (Absance)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
menbengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak.
 Hanya penurunan kesadaran.
 Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya
bilateral.
 Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot leher, lengan
tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak lunglai.
 Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstrenitas,
leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengentul atau mengendang.
 Dengan automatisme.
 Dengan komponen autonom.
b) Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot, sekali atau berulang-ulang. Bangkitan ini
dapat dijumpai pada semua umur.
c) Sawan klonik
Pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelonjot.
Dijumpai tertutama sekali pada anak.
d) Sawan tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku, juga
terdapat pada anak.
e) Sawan tonik-klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur diatas balita yang terkenala dengan nama
grandmal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang mendahului
suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku.
Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang otot-otot seluruh
badang. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas menjadi dlam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut
menjadi berbusa karena hembusan nafas. Mungkin pula pasien kencing ketika
mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat
pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah atau langsung menjadi sadar
dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f) Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali
dijumpai pada anak.
3. Sawan tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang
ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil atau pernafasan
yang mendadak berhenti sementara.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Anamnesis
Riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat
kejang (fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat
kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga, demam, riwayat
persalinan, tumbuh kembang, dan penyakit yang sedang diderita.
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan
pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat
peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu
parestesia, hipestesia, anestesia.
 Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal
dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka
dilakukan kultur darah dan
 Imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di
otak
 EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat
mungkin jika pasien mengalami gangguan mental
 Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau
perdarahan subarachnoid.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan
anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan
segera. Mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol
penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus
Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan status
epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering
digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed).

Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA)
oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di
bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil
menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase


1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %
4. Fenitoin 18 44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam


dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak
dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal,
konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula
kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari
Lorazepam adalah sama.

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan


Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan
tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika
kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%).
Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %
untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan
dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan
alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia
rekuren, atau hipokalsemia persisten.
Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat
meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi
dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama. Dalam mengatasi
status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat atau
Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi
dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton.
Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat
ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.

Protokol penanganannya adalah sebagai berikut:

Stadium I (0-10 menit)


Pada kondisi ini, perbaikan fungsi kardio-respirasi adalah yang paling utama. Harus
dipatikan bahwa jalan napas pasien tidak terganggu. Dapat pula diberikan oksigen.
Jika diperlukan resusitasi dapat dilakukan
Stadium II (1-60 menit)
Pada stadium ini, perlu dilakukan pemeriksaan status neurologis dan tanda vital.
Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring terhadap status metabolik, analisa gas
darah dan status hematologi. Pemeriksaan EKG jika memungkinan juga perlu
dilakukan .

Selanjutnya dilakukan pemasangan infus dengan NaCl 0,9%. Bila direncakanan akan
digunakan 2 macam obat anti epilepsi, dapat dipakai 2 jalur infus. Darah sebanyak 50-
100 cc perlu diambil untuk pemeriksaan laboratorium (AGD, glukosa, fungsi ginjal
dan hati, kalsium, magnesium, pemeriksaan lengkap hematologi, waktu pembekuan
dan kadar AED).

Pemberian OAE emergensi berupa:


Diazepam 0,2 mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/menit IV –> evaluasi kejang
5 menit–> masih kejang (?) –> ulangi pemberian diazepam.

Selama penanganan ini, etiologi penyebab kejang harus dipastikan.


Stadium III (0-60/90 menit)
Jika kejang masih saja berlangsung, dapat diberikan:

Fenitoin IV 15-20 mg/kg dengan kecepatan <50 mg/menit (tekanan darah dan EKG
perlu dimonitor selama pemberian fenitoin). Jika masih kejang, dapat diberikan
fenitoin tambahan 5-10 mg/kgbb. Bila kejang berlanjut, berikan phenobarbital 20
mg/kgbb dengan kecepatan pemberian 50-75 mg/menit (monitor pernapasan saat
permberian phenobarbital). Pemberian phenobarbital dapat diulang 5-10
mg/kgbb. Pada pemberian phenobarbital, fasilitas intubasi harus tersedia karena
resikonya dalam menimbulkan depresi napas. Selanjutnya, dapat dipertimbangkan
apakah diperlukan pemberian vasopressor (dopamin).

Stadium IV (30-90 menit)


Bila selama 30-60 menit kejang tidak dapat diatasi, penderita perlu mendapatkan
perawatan di ICU. Pasien diberi propofol (2mg/kgBB bolus IV) atau midazolam
(0,1 mg/kgBB dengan kecepatan pemberian 4 mg/menit) atau tiopentone (100-250
mg bolus IV  pemberian dalam 2o menit dilanjutkan bolus 50 mg setiap 2-3 menit),
dilanjutkan hingga 12-24 jam setelah bangkitan klinik atau bangkitan EEG terakhir,
lalu lakukan tapering off. Selama perawatan, perlu dilakukan monitoring bangkitan
EEG, tekanan intrakranial serta memulai pemberian OAE dosis rumatan.

Perawatan pasien yang mengalami kejang :


a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
(pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang memerlukan waktu
untuk mengamankan, mencari tempat yang aman dan pribadi
b) Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk
mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.
c) Lepaskan pakaian yang ketat
d) Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.
e) Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
f) Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan
diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g) Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk
memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat terjadi
karena tindakan ini.
h) Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena
kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i) Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala
fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran
salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk
membersihkan secret
j) Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah
aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode
ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi selama
atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus
diorientasikan terhadap lingkungan.

8. PROGNOSIS
Prognosis SE tergantung pada berbagai faktor, termasuk klinis, durasi bangkitan, usia
pasien, dan yang terpenting adalah gangguan yang mendasari terjadinya bangkitan.
Kematian refraktori SE terbanyak pada lanjut usia.

Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari status
epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan atau
akibat alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan
dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi komplikasi. Pasien dengan meningitis
sebagai etiologi maka prognosis tergantung dari meningitis tersebut.

9. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian
dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama: Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
3) Riwayat penyakit: Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-
spiritual. Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan,
ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil.
Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran,
kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-
obat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol. Klien
mengalami gangguan interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu
,merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu
waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.
a) Riwayat kesehatan
b) Riwayat keluarga dengan kejang
c) Riwayat kejang demam
d) Tumor intrakranial
e) Trauma kepala terbuka, stroke
4) Riwayat kejang :
a) Bagaimana frekwensi kejang.
b) Gambaran kejang seperti apa
c) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal
d) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
e) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
f) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
5) Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
c) Ekstermitas
Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan
tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
d) Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal
terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
e) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan
aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
peningkatan sekresi mucus
b. Resiko tinggi injuri b.d perubahann kesadaran , kerusakan kognitif,selama kejang
atau kerusakan perlindungan diri.
c. Gangguan harga diri/identitas pribadi berhubungan dengan stigma berkenaan
dengan kondisi, persepsi tidak terkontrol ditandai dengan pengungkapan tentang
perubahan gaya hidup, takut penolakan; perasaan negative tentang tubuh
d. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses perjalanan penyakit berhubungan
dengan kurangnya informasi

Rencana Intervensi
No Perencanaan
Dx Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
.
1 Pola napas tidak Mempertahanka       a. Anjurkan klien a. Menurunkan resiko
efektif n pola untuk mengosongkan aspirasi atau masuknya
berhubungan pernapasan mulut dari benda / zat benda asing ke faring
dengan efektif dengan tertentu / gigi palsu b. Meningkatkan aliran
kerusakan jalan napas paten atau alat lainnya jika (drainase) secret,
neuromuskuler, fase aura terjadi dan mencegah lidah jatuh
peningkatan untuk menghindari sehingga menyumbat
sekresi mucus rahang mengatup jika jalan napas
kejang terjadi tanpa c. Untuk memfasilitasi
ditandai gejala awal. usaha bernapas
b. Letakkan klien pada d. Mencegah
posisi miring, tergigitnya lidah dan
permukaan datar, memfasilitasi saat
miringkan kepala melakukan
selama serangan kejang penghisapan lender.
c. Tanggalkan pakaian Jalan napas buatan
pada daerah leher, mungkin diindikasikan
dada, dan abdomen setelah meredanya
d. Masukkan spatel aktivitas kejang jika
lidah / jalan napas pasien tersebut tidak
buatan atau gulungan sadar dan tidak dapat
benda lunak sesuai mempertahankan posisi
indikasi lidah yang aman
e. Lakukan e. Menurunkan resiko
penghisapan sesuai aspirasi atau asfiksia
indikasi f. Dapat menurunkan
f. Berikan tambahan hipoksia serebral
oksigen / ventilasi sebagai akobat dari
manual sesuai sirkulasi yang menurun
kebutuhan pada fase atau oksigen sekunder
posiktal terhadap spasme
g. Siapkan / bantu vaskuler selama
melakukan intubasi jika serangan kejang
ada indikasi g. Munculnya apneu
yang berkepanjangan
pada fase posiktal
membutuhkan
dukungan ventilator
mekanik
2 Resiko tinggi Mengurangi a. Kaji karakteristik a. Untuk mengetahui
injuri b.d resiko injuri kejang seberapa besar
perubahann pada pasien b. Jauhkan pasien dari tingkatan kejang yang
kesadaran , benda benda tajam / dialami pasien
kerusakan membahayakan bagi sehingga pemberian
kognitif,selama pasien intervensi berjalan
kejang atau c. Masukkan spatel lebih baik
kerusakan lidah / jalan napas b. Benda tajam dapat
perlindungan buatan atau gulungan melukai dan
diri. benda lunak sesuai mencederai fisik pasien
indikasi c. Dengan meletakkan
d. Kolaborasi dalam spatel lidah diantara
pemberian obat anti rahang atas dan rahang
kejang bawah, maka resiko
pasien menggigit
lidahnya tidak terjadi
dan jalan nafas pasien
menjadi lebih lancer
d. Obat anti kejang
dapat mengurangi
derajat kejang yang
dialami pasien,
sehingga resiko untuk
cidera pun berkurang
3 Gangguan harga Mengidentifikasi a. Diskusikan perasaan a. Reaksi yang ada
diri/identitas perasaan dan pasien mengenai bervariasi diantara
pribadi metode untuk diagnostic, persepsi diri individu dan
berhubungan koping dengan terrhadap penanganan pengetahuan /
dengan stigma persepsi negative yang dilakukannya. pengalaman awal
berkenaan pada diri sendiri b. Anjurkan untuk dengan keadaan
dengan kondisi, mengungkapkan / penyakitnya akan
persepsi tentang mengekspresikan mempengaruhi
tidak terkontrol perasaannya penerimaan
ditandai dengan c. Identifikasi/antisipasi b. Adanya keluhan
pengungkapan kemungkinan reaksi merasa takut, marah
tentang orang pada keadaan dan sangat
perubahan gaya penyakitnya. Anjurkan memperhatikan tentang
hidup, takut klien untuk tidak implikasinya di masaa
penolakan; merahasiakan yang akan datang dapat
perasaan masalahnya mempengaruhi pasien
negative tentang d. Gali bersama pasien untuk menerima
tubuh mengenai keberhasilan keadaanya
yang telah diperoleh c. Memberikan
atau yang akan dicapai kesempatan untuk
selanjutnya dan berespon pada proses
kekuatan yang pemecahan masalah
dimilikinya dan memberikan
e. Tentukan sikap / tindakan control
kecakapan orang terhadap situasi yang
terdekat. Bantu dihadapi
menyadari perasaan d. Memfokuskan pada
tersebut adalah normal, aspek yang positif
sedangkan merasa dapat membantu untuk
bersalah dan menghilangkan
menyalahkan diri perasaan dari
sendiri tidak ada kegagalan atau
gunanya kesadaran terhadap diri
f. Tekankan pentingnya sendiri dan membentuk
orang terdekat untuk pasien mulai menerima
tetap dalam keadaan penangan terhadap
tenang selama kejang penyakitnya
e. Pandangan negative
dari orang terdekat
dapat berpengaruh
terhadap perasaan
kemampuan/ harga diri
klien dan mengurangi
dukungan yang
diterima dari orang
terdekat tersebut yang
mempunyai resiko
membatasi penanganan
yang optimal
f. Ansietas dari
pemberi asuhan adalah
menjalar dan bila
sampai pada pasien
dapat meningkatkan
persepsi negative
terhadap keadaan
lingkungan/diri sendiri
4 Kurang pengetahuan a. Kaji tingkat a. pendidikan
pengetahuan keluarga pendidikan keluarga merupakan salah satu
keluarga tentan meningkat, klien. faktor penentu tingkat
proses keluarga b. Kaji tingkat pengetahuan seseorang
perjalanan mengerti dengan pengetahuan keluarga b. untuk mengetahui
penyakit proses penyakit klien. seberapa jauh
berhubungan epilepsy, c. Jelaskan pada informasi yang telah
dengan keluarga klien keluarga klien tentang mereka
kurangnya tidak bertanya penyakit kejang demam ketahui,sehingga
informasi lagi tentang melalui penyuluhan. pengetahuan yang
penyakit, d. Beri kesempatan nantinya akan
perawatan dan pada keluarga untuk diberikan dapat sesuai
kondisi klien. menanyakan hal yang dengan kebutuhan
belum dimengerti. keluarga
e. Libatkan keluarga c. untuk meningkatkan
dalam setiap tindakan pengetahuan
pada klien. d. untuk mengetahui
seberapa jauh
informasi yang sudah
dipahami
e. agar keluarga dapat
memberikan
penanngan yang tepat
jika suatu-waktu klien
mengalami kejang
berikutnnya.
DAFTAR PUSTAKA

Darto, S. 2010. Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri  Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak –


FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Friedman JN. Emergency management of the paediatric patient with generalized convulsive
status epilepticus. Paediatr Child Health. 2011;11:2.
Huff, Steven. 2013. Status Epilepticus. Available from: http://emedicine.medscape.com/
Kedaruratan pada anak. UKK Pediatri Gawat Darurat Ikatan Dokter Indonesia. Tata Laksana
Syok Pada Anak. Manado : Juli 2011
Kravljanac R, Jovic N, Djuric M, Jankovic B, Pekmezovic T. Outcome of status epilepticus
in children treated in the intensive care unit: a study of 302 cases. Epilepsia. 2011;
52(2):358-63
Mansjoer, Arif; dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius. Jakarta: FKUI.
Mastrangelo MC. A diagnostic work-up and therapeutic options in management of pediatric
status epilepticus. World J Pediatr. 2012;8:2
Rekomendasi Tata Laksana Syok berdasarkan Ikatan Dokter Anak Indonesia No. 004/Rek/PP
IDAI/III/2014 http://www. idai.com
Saz EU, Karapinar B, Ozcetin M, Polat M, Tosun A. Serdaglu G, et al. Convulsive status
epilepticus in children. Seizure. 2011; 20:115-118

Anda mungkin juga menyukai