Anda di halaman 1dari 6

NAMA : NAFHA TAZKIYA

KELAS/RUANG : HUKUM PIDANA ISLAM 1/SYARIAH 06

NIM : 1810103045

MATA KULIAH : FIQH MUAMALAH

1. DITINJAU DARI SEGI PEMILIKNYA, HAK TERBAGI TIGA, SEBUT DAN


JELASKAN SECARA SINGKAT.
2. DITINJAU DARI SEGI BOLEH DAN TIDAKNYA MENGAMBIL MANFAAT DARI
HARTA, HARTA TERBAGI MENJADI DUA BAGIAN SEBUTKAN DAN
JELASKAN DENGAN CONTOH.
3. SEBUTKAN RUKUN AKAD DAN UNSUR-UNSURNYA.
4. SEBUTKAN DASAR HUKUM JUAL-BELI, RUKUN JUAL-BELI DAN MACAM-
MACAM KHIYAR DALAM JUAL BELI.
5. JELASKAN PERBEDAAN AKAD SALAM DAN ISTISNA.

JAWABAN

(1). Dari segi kepemilikan hak, hak dibedakan menjadi dua yaitu hak Allah
dan hak manusia (mukallaf) :

1. Hak Allah adalah hak yang kemanfaatannya untuk


memelihara kemashlahatan umum. Adapun yang menjadi hak
Allah yaitu segala bentuk ibadah dalam Islam seperti shalat,
zakat, puasa, haji, dan segala macam hukuman pidana
seperti hadd zina dan qishash pembunuhan.
2. Hak manusia (mukallaf) adalah hak yang ditujukan untuk
kepentingan manusia secara individu sebagai pemilik hak,
contohya yaitu hak milik.
3. Hak campuran menurut Wahbah zuhaili mendefinisikan Hak
campuran adalah suatu yang di dalamnya berkumpul dua hak
: hak Allah dan hak perorangan, akan tetapi adakalanya hak
Allah lebih dominan, dan adakalanya hak individu.
Dari definisi tersebut, dapat difahami bahwa meskipun di
dalam hak tersebut terdapat dua hak, namun dalam segi
hukumannya tetap hanya satu. Apabila yang lebih dominan
itu hak Allah maka hukumnya termasuk hak Allah. Apabila
yang lebih dominan itu hak manusia, maka hukumnya
termasuk hak manusia.

(2). Mustafa Syalabi mendefinisikan harta mutaqawwim adalah sesuatu yang


dapat dikuasai dan dibolehkan syara’ mengambil manfaatnya(bernilai) seperti
makanan, pakaian, kebun apel, dan lainnya. Sedangkan Ghairu Mutaqawwim yaitu
sesuatu yang tidak dibolehkan syara’ mengambil manfaatnya, seperti babi,
anjing dan khamar.

(3). A) Aqid atau pelaku akad ialah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri
dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang, pelaku akad yang di maksud itu bisa satu
orang atau banyak orang,bisa pribadi atau entitas hukum,baik sebagai pelaku akad langsung atau
sebagai pelaku akad. Pelaku akad harus memenuhi dua kriteria berikut ini:

1. Ahliyah (kompentensi) yaitu bisa melaksanakan kawajiban dan mendapatkan hak sebagai
pelaku akad. Ada dua jenis kompetensi:

a. Ahliyah wujub yaitu pelaku akad berkompeten untuk menuaikan kewajiban dan mendapatkan
hak.

b. Ahliyyatul ‘ada yaitu pelaku akad berkompeten untuk melaksanakan transaksi secara benar
sesuai syariat.

2. Wilayah adalah kewenangan untuk melakukan transaksi (dengan segala konsekuensi


hukumnya) menurut syar’i.

Syarat-syarat pelaku akad, yaitu :

1. Kondisi yang mempengaruhi akal

2. Kondisi yang tidak mempengaruhi akal

B) Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam
akad jual beli, dalam akad hibbah (pemberian), dalam akad gadai, utang yang dijamin
seseorang dalam akad kafalah. Objek akad yaitu harga atau barang yang menjadi objek
transaksi seperti objek jual beli seperti dalam akad jual beli (bai’), hadiah dalam akad
hibah,barang yang di gadaikan dalam akad rahn, utang yang di jamin dalam akad
kafalah.
Syarat-syarat objek akad adalah sebagai berikut:

1. Barang yang masyru’ (legal)

2. Bisa diserahkanterimakan waktu akad

3. Jelas diketahui oleh para pihak akad

4. Objek akad harus ada pada waktu akad.

C) Maudhu’ al’aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka
berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli tujuan pokoknya ialah
memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan akad
hibah adalah memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya
tanpa ada pengganti (iwadh’). Tujuan pokok akad ijarah adalah memberikan manfaat
dengan adanya pengganti. Tujuan pokok i’arah adalah memberikan manfaat dari
seseorang kepada yang lain tanpa ada pengganti.

D) Shigat al’aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah
seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad,
sedangkan qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan
setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengamalan dewasa ini ialah
bertukarnya sesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya seorang yang berlangganan
majalah panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli menerima
majalah tersebut dari petugas pos. Para ulama menerangkan beberapa cara yang
ditempuh dalam akad.

1. Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua aqid berjauhan tempatnya, maka ijab dan
qabul boleh dengan cara kitabah atau dasar inilah para fuqaha membentuk kaidah : “
tulisan itu sama dengan ucapan “. dengan ketentuan kitab tersebut dapat di pahami
kedua belah pihak dengan jelas.

2. Isyarat, bagi orang-orang tertentu akad atau ijab dan qabul tidak dapat dilaksanakan
dengan ucapan dan tulisan. Misalnya seseorang yang bisu tidak dapat untuk
mengadakan ijab kabul dengan bahasa, orang tidak pandai tulis baca tidak mampu
mengadakan ijab dan kabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis
baca tidak dapat melakukan ijab kabul dengan ucapan dan dengan tulisan. Dengan
demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatlah kaidah berikut :”
Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah “.

3. Ta’athi (saling memberi), seperti seseorang yang melakukan pemberian kepada seseorang
dan orang tersebut memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa di tentukan besar
imbalan. Dengan contoh yang jelas dapat uraian sebagai berikut “seorang pengail ikan
sering memberikan ikan hasil pancingannya kepada seorang petani, petani tersebut
memberikan bebrapa liter beras kepada pengail yang memberikan ikan, tanpa
disebutkan besaran imbalan yang dikehendaki oleh pemberi ikan”.

4. Lisan al hal, menurut sebagian para ulama, apabila seseorang meninggalkan barang-barang di
hadapan orang lain, kemudian dia pergi dan orang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja,
hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang dengan yang
menghadapi letakan barang titipan dengan jalan dalalat al-hal.

(4). Dasar hokum jual-beli

-al-baqarah 275

Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-
Baqarah [2] : 275).

-al-baqarah 298

Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 198).

-an-nisa 29

Artinya: “....Kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu.” (QS. An-Nisa [4] : 29).

Rukun jual-beli

Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari
pembeli) dan kabul (ungkapan menjual dari penjual). Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan
bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:

a. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).


b. Ada shighat (lafal ijab dan kabul).
c. Ada barang yang dibeli.
d. Ada nilai tukar pengganti barang.

Macam-macam Khiyar dalam jual-beli

Khiyar itu ada yang bersumber dari syara’ seperti khiyar majlis, aib, dan ru’yah. Selain itu,
ada juga khiyar yang bersumber dari kedua belah pihak yang berakad, seperti khiyar syarat dan
ta’yin. Berikut ini dikemukakan pengertian masing-masing khiyar tersebut:

a. Khiyar majlis, yaitu hak pilih dari kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan
akad, selama keduanya masih berada dalam majlis akad (diruangan toko) dan belum
berpindah badan, artinya transaksi baru dianggap sah apabilah kedua belah pihak yang
melaksanakan akad telah berpisah badan, atau salah seseorang diantara mereka telah
melakukan pilihan untuk menjual atau membeli. Khiyar seperti ini hanya berlaku dalam
transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi, seperti
jual beli dan sewa-menyewa.
b. Khiyar aib’, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua
belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada objek yang diperjualbelikan,
dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung. Misalnya, seseorang
membeli telur satu kg. Kemudian satu butir diantaranya telah busuk, atau ketika telur
dipecahkan telah menjadi anak ayam. Hal ini sebelumnya tidak diketahui baik oleh
penjual maupun pembeli. Jadi, dalam khiyar aib itu apabila terdapat bukti cacat pada
barang yang dibelinya, pembeli dapat mengembalikan barang tersebut dengan meminta
ganti barang yang baik, atau kembali barang dengan uang.
c. Khiyar Ru’yah, yaitu khiyar (hak pilih) bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau
batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad
berlangsung. Akad seperti ini, menutur mereka, tidak boleh terjadi disebabkan objek
yang akan dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad, atau karena sulit dilihat
seperti ikan kaleng.
d. Khiyar ru’yah, menurut mereka mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan ia
beli. Akan tetapi, ulama syafi’iyah, dalam pendapat baru (al-mazhab al-jadi),
mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah, baik barang itu disebutkan
sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu menurut mereka khiyar ru’yah tidak
berlaku, karena akad itu mengandung unsur penipuan yang boleh membawa kepada
perselisihan.
e. Khiyar syarat, yaitu khiyar (hak pilih) yang dijadikan syarat oleh keduanya (pembeli dan
penjual), atau salah seseorang dari keduanya sewaktu terjadi akad untuk meneruskan atau
membatalkan akadnya itu agar, dipertimbangkan setelah sekian hari. Lama syarat yang
diminta paling lama tiga hari. Contoh: seseorang berkata: saya jual mobil ini dengan
harga seratus juta rupiah (Rp. 100.000.000,-) dengan syarat boleh memilih selama tiga
hari.
f. Artinya, jual beli dapat dilangsungkan dan dinyatakan sah bila mereka telah berpisah,
kecualii bila disyaratkan oleh salah satu kedua belah pihak, atau kedua-duanya adanya
syarat dalam masa tertentu.jika masa waktu yang ditentukan telah berakhir dan akad
tidak dilaksanakan, maka jual beli akan dilangsungkan. Khiyar batal dengan ucapan dan
tindakan si pembeli terhadap barang yang ia beli, dengan jalan mewakafkan,
menghisabkan, atau membayar harganya, karena dengan demikian ia menunjukan
kerelaannya.
g. Khiyar ta’yin, yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda
kualitas dalam jual beli. Contoh: pembelian keramik adanya berkualitas super (KW1)
dan sedang (KW2). Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui secara pasti kramik yang
super dan berkualitas sedang.untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan pakar keramik
dan arsitek. Khiyar seperti ini, menurut ulama Hanafiyah yaitu boleh, dengan alasan
bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas sangat banyak, yang kualitas itu tidak
diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia tidak tertipu dan agar produk yang ia
cari sesuai dengan keperluannya, maka khiyar ta’yin dibolehkan.

(5). Perbedaan akad salam dan istishna adalah cara penyelesaian pembayaran salam dilakukan
diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishnâ’ tidak secara kontan bisa
dilakukan di awal, tengah atau akhir.

Anda mungkin juga menyukai