Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA

DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959


Adv. Dian Megasari, S.H., M.H

Disusun Oleh Kelompok 4 :


1. Bagus Prasetya
2. Hanggayu Alvianta
Kelas : 01TPLE008
R.V. 309

UNIVERSITAS PAMULANG
Jl. Raya Puspiptek, Buaran, Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten
15310

2019
1
0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat,
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah  ini dalam bentuk
maupun isinya yang mungkin sangat sederhana. Makalah ini berisikan tentang
“DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959”
Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi tugas mata pelajaran
Pendidikan Pancasila, Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk dan juga berguna untuk menambah pengetahuan bagi para
pembaca.
          Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

1
0
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................. ii
BAB I – PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 2
C. Maksud dan Tujuan ......................................................... 2

BAB II – PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD ......................................................... 3
B. KEDUDUKAN IJTIHAD ......................................................... 4
C. BENTUK BENTUK IJTIHAD ............................................. 5
D. SYARAT SYARAT SEORANG MUJTAHID ..................... 7
E. PENGERTIAN AQIDAH ......................................................... 8
F. FUNGSI DAN PERAN AQIDAH ............................................. 8
G. GARIS BESAR AQIDAH ......................................................... 9
H. GARIS BESAR AQIDAH ISLAM ............................................. 11

BAB III - PENUTUP


A. KESIMPULAN ................................................................................ 14
B. SARAN ............................................................................................ 15
C. DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 16 1
0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setelah secara resmi diakui sebagai sebuah negara yang berdaulat pada
tanggal 27 Desember 1949 dengan nama RIS, Indonesia kemudian
dihadapkan kepada berbagai persoalan dalam negeri. Pada tanggal 17
Agustus 1950 RIS dibubarkan dan kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pada masa ini, Indonesia menerapkan demokrasi liberal
yang condong ke arah Barat.  Pada masa ini, gejolak politik begitu banyak
mewarnai. Sebut saja dengan begitu singkatnya umur sebuah kabinet. Bahkan
terhitung terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali pada masa 1950 –
1959.

Selanjutnya pemilu pertama tahun 1955 yang diharapkan mampu


menciptakan stabilitas politik pada masa itu tampaknya belum bisa
terwujud. Gejolak diberbagai daerah sebagai wujud ketidakpuasan terhadap
pemerintah pusat semakin menjadi. Bahkan diantaranya speerti PRRI dan
Permesta menyatakan untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia.

Dalam menyikapi kondisi yang ada saat itu, presiden Soekarno


mengeluarkan pemikirannya yang dikenal sebagai Konsepsi Presiden 21
Februari 1957. Konsepi yang diungkapkan oleh Presiden Soekarno pada
tahun 1957 menghendaki adanya perubahan dari demokrasi liberal menjadi
demokrasi terpimpin. Namun konsepsi ini ditolak oleh sebagian partai karena
menurut mereka itu adalah bagian dari tugas konstituante.

Konstituante sebagai hasil dari Pemilu 1955 bertugas menyusun UUD


baru pengganti UUDS 1950 mulai bersidang sejak tahun 1956. Tapi sampai
dengan tahun 1958, lembaga ini belum berhasil menyusun UUD baru
tersebut.  Hal ini lah yang kemudian mendorong keluarnya dekrit Presiden 5
Juli 1959.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penulisan ini antara lain :

1. Apakah yang melatarbelakangi keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ?

2. Bagaimana isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ?

3. Bagaimana pengaruh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 terhadap kehidupan


bangsa Indonesia ?

C. Maksud dan Tujuan


Makalah ini dimaksudkan untuk menambah referensi tentang peristiwa
yang berkaitan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan memenuhi salah satu
tugas dari mata kuliah Pendidikan Pancasila. Diharapkan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Makalah ini juga bertujuan untuk :
1. Mengetahui hal – hal apa saja yang melatarbelakangi keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
2. Mengetahui isi lengkap Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
3. Mengetahui pengaruh Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Sebelum keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959, kita dapat merunut


beberapa peristiwa sejarah sebagai latar belakang keluarnya dekrit presiden
tersebut. Di antara beberapa peristiwa tersebut, baik secara langsung mau pun
tidak, ikut menjadi sebab keluarnya dekrit presiden tersebut. Dekrit presiden
bermula dari adanya pemilihan umum tahun 1955, yang berhasil membentuk
konstituante, dan dalam pelaksanaan tugasnya, konstituante dianggap gagal.

1. Pemilihan Umum 1955

Pada masa Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer, keadaan


politik tidak stabil. Hal ini terjadi karena partai – partai politik tidak
bekerja untuk kepentingan rakyat, akan tetapi hanya untuk kepentingan
golongannya saja. Wakil – wakil rakyat yang duduk diparlemen
merupakan wakil – wakil partai yang saling bertentangan. Keadaan
demikian rakyat menginginkan segera dilaksanakan pemilihan umum.

a. Waktu Pemilihan

Pemilihan umum merupakan program pemerintah pada masa


Demokrasi Liberal. Setiap kabinet yang terbentuk menjadikan
pemilihan umum sebagai programnya. Bahkan Kabinet Ali
Sastroamidjojo I telah menentukan tanggal pelaksanaan pemilu. Pada
tanggal  31 Mei 1954, kabinet Ali membentuk Panitia Pemilu Pusat
yang diketua Hadikusumo (PNI). Selanjutnya pada tanggal 16 April
1955, Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilu akan diadakan pada
tang 29 September 1955. Namun sebelum berhasil melaksanakan
pemilu, Kabinet Ali Sastroamidjojo  mengundurkan diri. Alasannya
karena banyak sekali masalah yang tidak bisa di atasi, misalnya
pergolakan yang terjadi di daerah (DI/TII), tingkat korupsi yang tinggi,
tingkat kepercayaan masyarakat yang turun serta masalah Irian Barat
yang tidak kunjung selesai. Kabinet Ali kemudian mengembalikan
mandatnya pada tanggal 24 Juli 1955.
Setelah berakhirnya Kabinet Ali Sastroamidjojo I, maka pada
tanggal 12 Agustus 1955 dibentuk Kabinet Burhanuddin Harahap (12
Agustus 1955 – 24 Maret 1946). Pada masa Kabinet Burhanuddin
Harahap, Pemilihan Umum yang sudah direncanakan pada cabinet –
cabinet sebelumnya akhirnya dapat dilaksanakan dengan tahapan
sebagai berikut :

1) Tahap Pertama (29 September 1955) ditujukan untuk memilih


anggota DPR.
2) Tahap Kedua (15 Desember 1955) diselenggarakan untuk memilih
anggota Konstituante.
Pemilu pada tahun 1955 ini tercatat sebagai pemilu pertama kali di
Indonesia. Pengamat luar negeri menilai pelaksanaan pemilu pertama
tersebut berlangsung tertib dan sukses.

b. Partai Peserta

Menurut situs id.wikipedia.org, pemilu 1955 diikuti oleh 172


kontestan partai politik. Empat partai besar diantaranya yaitu :

1) PNI
2) Masyumi
3) Nahdatul Ulama
4) PKI

Sedangkan menurut data yang dilansir dari situs http://kepustakaan-


presiden.pnri.go.id/, pemilu 1955 merupakan pemilu yang bersifat
nasional dengan jumlah peserta sebanyak 30 partai politik

c. Hasil Pemilihan

Pemilu pada tahun 1955 diikuti oleh 37.875.299 pemilih. Pemilu


ini memunculkan empat partai terkemuka yaitu :

1) PNI meraih 22, 3 % suara dengan rincian 57 kursi di parlemen, dan


119 kursi di Konstituante.
2) Masyumi meraih 20,9 % suara dengan rincian 57 kursi di parlemen,
dan 112 kursi di Konstituante.
3) Nahdlatul Ulama meraih 18,4 % suara, dengan rincian 45 kursi di
parlemen dan 91 kursi di Konstituante.
4) PKI meraih 15,4 % suara dengan rincian 30 kursi di parlemen dan
80 kursi di konstituante.
Tabel 1.1

Hasil Pemilihan Umum 1955 Untuk Anggota DPR

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_195
5

No Jumlah Jumlah
Partai Persentase
. Suara Kursi

1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57

2. Masyumi 7.903.886 20,92 57

3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45

Partai Komunis
4. 6.179.914 16,36 39
Indonesia (PKI)

Partai Syarikat Islam


5. 1.091.160 2,89 8
Indonesia (PSII)

Partai Kristen
6. 1.003.326 2,66 8
Indonesia (Parkindo)

7. Partai Katolik 770.740 2,04 6

8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5

Ikatan Pendukung
9. 541.306 1,43 4
Kemerdekaan Indonesia (IPKI)

Pergerakan Tarbiyah
10. 483.014 1,28 4
Islamiyah (Perti)

11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2

12. Partai Buruh 224.167 0,59 2

13. Gerakan Pembela Panca 219.985 0,58 2


No Jumlah Jumlah
Partai Persentase
. Suara Kursi

Sila (GPPS)

14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2

Persatuan Pegawai Polisi


15. 200.419 0,53 2
RI (P3RI)

16. Murba 199.588 0,53 2

17. Baperki 178.887 0,47 1

Persatuan Indonesia Raya (PIR)


18. 178.481 0,47 1
Wongsonegoro

19. Grinda 154.792 0,41 1

Persatuan Rakyat Marhaen


20. 149.287 0,40 1
Indonesia (Permai)

21. Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1

22. PIR Hazairin 114.644 0,30 1

Partai Persatuan Tharikah


23. 85.131 0,22 1
Islam (PPTI)

24. AKUI 81.454 0,21 1

25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1

Partai Republik Indonesia


26. 72.523 0,19 1
Merdeka (PRIM)

Angkatan Comunis
27. 64.514 0,17 1
Muda (Acoma)

28. R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1

29. Lain-lain 1.022.433 2,71 -


No Jumlah Jumlah
Partai Persentase
. Suara Kursi

Jumlah 37.785.299 100,00 257

Tabel 1.2

Hasil Pemilu 1955 untuk anggota Konstituante

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_195
5

No Jumlah Persentas Jumlah


Partai/Nama Daftar
. Suara e Kursi

Partai Nasional Indonesia


1. 9.070.218 23,97 119
(PNI)

2. Masyumi 7.789.619 20,59 112

3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.333 18,47 91

Partai Komunis Indonesia


4. 6.232.512 16,47 80
(PKI)

Partai Syarikat Islam Indonesia


5. 1.059.922 2,80 16
(PSII)

Partai Kristen Indonesia


6. 988.810 2,61 16
(Parkindo)

7. Partai Katolik 748.591 1,99 10

8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10

Ikatan Pendukung
9. Kemerdekaan Indonesia 544.803 1,44 8
(IPKI)
No Jumlah Persentas Jumlah
Partai/Nama Daftar
. Suara e Kursi

Pergerakan Tarbiyah
10. 465.359 1,23 7
Islamiyah (Perti)

11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3

12. Partai Buruh 332.047 0,88 5

Gerakan Pembela Panca Sila


13. 152.892 0,40 2
(GPPS)

14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 134.011 0,35 2

Persatuan Pegawai Polisi RI


15. 179.346 0,47 3
(P3RI)

16. Murba 248.633 0,66 4

17. Baperki 160.456 0,42 2

Persatuan Indonesia Raya


18. 162.420 0,43 2
(PIR) Wongsonegoro

19. Grinda 157.976 0,42 2

Persatuan Rakyat Marhaen


20. 164.386 0,43 2
Indonesia (Permai)

21. Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3

22. PIR Hazairin 101.509 0,27 2

Partai Politik Tarikat Islam


23. 74.913 0,20 1
(PPTI)

24. AKUI 84.862 0,22 1

25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1


No Jumlah Persentas Jumlah
Partai/Nama Daftar
. Suara e Kursi

Partai Republik Indonesis


26. 143.907 0,38 2
Merdeka (PRIM)

Angkatan Comunis Muda


27. 55.844 0,15 1
(Acoma)

28. R.Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1

29. Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1

30. Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1

31. Radja Keprabonan 33.660 0,09 1

Gerakan Banteng Republik


32. 39.874 0,11 1
Indonesis (GBRI)

33. PIR NTB 33.823 0,09 1

34. L.M.Idrus Effendi 31.988 0,08 1

35. Lain-lain 426.856 1,13 -

Jumlah 37.837.105 514

2. Terbentuknya Konstituante

Konstituante adalah lembaga negara Indonesia yang ditugaskan untuk membentuk


Undang – Undang Dasar baru atau Konstitusi baru untuk menggantikan UUDS
1950. Pembentukan UUD baru ini diamanatkan dalam pasal 134 UUDS 1950
yang menyatakan bahwa “Konstituante (lembaga pembuat UUD) bersama-sama
pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan
menggantikan UUDS ini”. Konstituante terdiri dari 550 orang sebagai hasil dari
pemilu 1955 yang diketuai oleh Mr. Wilopo dari PNI sebagai hasil sidang
konstituante pada tanggal 20 November 1956.

 
a.      Sidang Konstituante

Konstituante mulai bersidang pada tanggal 10 Nopember 1956 di


Bandung. Sepuluh hari berikutnya yaitu pada tanggal 20 November 1956, terpilih
Mr. Wilopo dari PNI sebagai Ketua Konstituante setelah bersaing dengan
KH. Mohammad Dahlan. Mr. Wilopo meraih 220 suara, sedangkan
KH. Moh. Dahlan 210. Setelah terpilih ketua, selanjutnya di pilih wakil ketua I
dan wakil ketua II. Wakil Ketua I jatuh ke tangan Prawoto dari Masyumi,
sedangkan Wakil Ketua II dimenangkan oleh Fatturahman dari NU.

Berikutnya Konstituante melaksanakan sidang untuk merumuskan UUD yang


baru dalam rangka menggantikan UUDS 1950. Namun sampai tahun 1958
Konstituante belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Hal ini terjadi
karena adanya perdebatan sengit yang berlarut-larut  karena anggota Konstituante
lebih mementingkan partainya dibanding kepentingan negara. Dalam kondisi
tersebut, muncul pendapat di masyarakat untuk kembali kepada UUD
1945. Pawai, rapat, demonstrasi dan berbagai petisi dilancarkan dimana-mana
untuk menuntut agar diberlakukan kembali UUD 1945. Dalam keadaan tersebut
Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante
pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD
1945. Amanat ini diperdebatkan dan akhirnya diputuskan untuk melakukan
pemungutan suara.

Pada tanggal 30 Mei 1959, konstituante melaksanakan pemungutan suara untuk


menentukan pemberlakuan kembali UUD 1945. Hasilnya 269 suara menyetujui,
dan 199 suara tidak menyetujuinya. Meskipun suara yang menyetujui lebih
banyak dari pada yang tidak setuju, tetapi hasil pemungutan suara tersebut masih
belum memenuhi kuorum sehingga harus diulang lagi.

Pemungutan suara kembali di adakan pada 1 dan 2 Juni 1959. Dari dua kali
pemungutan suara, Konstituante kembali gagal mencapai dua pertiga suara yang
dibutuhkan. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan untuk reses
(istirahat dari kegiatan sidang) yang ternyata untuk selama-lamanya.

b.      Penyebab Gagalnya Konstituante

Kegagalan Konstituante dalam menyusun UUD yang baru terjadi karena sering
terjadi perpecahan pendapat antara anggota Konstituante. Terlebih, konstituante
terpecah ke dalam dua kelompok besar yang saling bertentangan, yaitu kelompok
Islam dan kelompok Nasionalis. Kelompok Islam menghendaki dasar Negara
Islam. Sedangkan kelompok nasionalis menghendaki dasar Negara Pancasila.
Kegagalan konstituante juga terjadi karena pada saat pemungutan suara tidak bisa
memenuhi kuorum seperti yang di amanatkan pada pasal 137 UUDS 1950 bahwa
untuk mengesahkan suatu keputusan harus mendapat persetujuan 2/3 jumlah
anggota.

Setelah gagal melakukan pemungutan suara,  banyak diantara anggota


konstituante menolak untuk menghadiri sidang konstituante, sehingga setelah
masa reses berakhir, sidang konstituante tidak kunjung juga dilaksanakan.

3.      Konsepsi Presiden

Pemilu 1955 ternyata tidak mampu menciptakan stabilitas politik seperti yang
diharapkan. Bahkan muncul perpecahan antara pemerintah pusat dengan beberapa
daerah. Beberapa daerah mengumumkan berdirinya gerakan-gerakan bersifat
kedaerahan seperti berdirinya Dewan Manguni di Sulawesi Utara, Dewan Gajah
di Sumatera Utara, Dewan Benteng di Sumatera Tengah, Dewan Garuda di
Sumatera Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan yang
kemudian menjadi gerakan yang ingin memisahkan diri. Daerah – daerah tersebut
tidak mengakui pemerintah pusat dan bahkan membentuk pemerintahan sendiri
seperti PRRI dan PERMESTA.

Karena adanya perpecahan dan ketidakstabilan politik seperti yang disebutkan


diatas, Presiden Soekarno beranggapan bahwa Sistem Demokrasi Liberal tidak
cocok untuk dilaksanakan di Indonesia, sehingga pada tanggal 21 Februari 1957,
Presiden Soekarno mengemukakan konsepnya yang terkenal dengan “Konsepsi
Presiden” yang isinya antara lain sebagai berikut :

1)      Sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin

2)      Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong” yang menteri-menterinya terdiri


atas orang –orang dari empat partai besar (PNI, Masyumi, NU dan PKI)

3)      Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan


fungsional dalam masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada
cabinet baik diminta atau pun tidak.
Partai – partai Masyumi, NU, PSII, Katholik, dan PRI menolak konsepsi ini dan
berpendapat bahwa merubah susunan ketatanegaraan secara radikal harus
diserahkan kepada konstituante.

Setelah keluarnya konsepsi presiden tersebut, pergolakan – pergolakan di daerah


justru semakin meningkat. Untuk meredakan pergolakan tersebut, pada tanggal 14
September 1957 diadakan Musyawarah Nasional di Gedung Proklamasi Jalan
Pegangsaan Timur 56 yang dihadiri oleh tokoh – tokoh dari pusat dan
daerah. Musyawarah tersebut membahas beberapa masalah, terutama masalah
pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang dan pembagian
wilayah RI. Musyawarah Nasional kemudian dilanjutkan dengan Musyawarah
Nasional Pembangunan (Munap) pada bulan Nopember 1957.

4.      Negara Dalam Keadaan Bahaya

Melihat kondisi politik yang tidak stabil, dengan banyaknya pergolakan


diberbagai daerah, maka pada tanggal 14 Maret 1957, Soekarno mengeluarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 40 Tahun 1957 dengan menimbang
“bahwa berhubungan dengan keadaan dan ketertiban umum diseluruh wilayah
negara Republik Indonesia pada waktu sekarang ini, maka perlu adanya keadaan
darurat perang dalam seluruh wilayah tersebut” . Keputusan ini juga menyatakan
bahwa seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk semua teritorial perairan,
dalam keadaan perang.

Kemudian Surat Keputusan ini diperkuat dengan dikeluarkannya kembali


Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 225 Tahun 1957 yang dikeluarkan
pada tanggal 17 Desember 1957. Keputusan ini kemudian di undangkan pada
tanggal 27 Desember 1957 dengan terbitnya Undang – Undang Republik
Indonesia No. 79 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Pernyataan Keadaan Perang
Sebagai Yang Telah Dilakukan Dengan Keputusan Republik Indonesia Nomor
225 Tahun 1957 Tanggal 17 Desember 1957.

Selanjutnya dengan gagalnya konstituante merumuskan UUD yang baru dan juga
tidak berhasil pada saat melakukan pemungutan suara untuk memberlakukan
kembali UUD 1945, dan reses sejak 3 Juni 1959, pemerintah menganggap negara
semakin dalam keadaan berbahaya. Untuk menanggulangi hal – hal yang dapat
membahayakan negara, Letjen AH. Nasution selaku Kepala Staf Angkatan Darat
mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik dengan
megeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat 
No. Prt/Peperpu/045/1959 tanggal 23 Juli 1959, disementara daerah
No. Prt/Peperpu/040/1959 tanggal 3 Juli 1959. Peraturan ini pada tahun 1960
diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Republik
Indonesia Nomor 60.  Isi dari peraturan tersebut pada intinya adalah melarang
semua kegiatan politik yaitu setiap perbuatan yang aktif dalam bentuk nyata
secara lahir yang dilakukan baik didepan umum maupun secara tertutup, baik oleh
perorangan, maupun secara kerja sama dari sejumlah orang yang mempunyai
persamaan faham, azas tujuan politik atau azas tujuan kepentingan golongan yang
langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi haluan negara.

B.     Pembacaan Dekrit 5 Juli 1959

1.      Pengertian Dekrit

Dekrit / dekret berasal dari bahasa latin decernere yang berarti mengakhiri,


memutuskan atau menentukan. Dekrit adalah perintah yang dikeluarkan oleh
kepala negara maupun pemerintahan dan memiliki kekuatan hukum. (id.
Wikipedia.org). Dekrit biasanya dikeluarkan dalam keadaan darurat tanpa status
hukum yang pasti. Tujuan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah Negara
yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara.

2.      Isi Dekrit 5 Juli 1959

Dengan melihat berbagai kondisi yang terjadi selama masa demokrasi Liberal,
pemilu yang tidak bisa menciptakan stabilitas politik, gejolak di berbagai daerah,
diperparah dengan kekagagalan Konstituante dalam merumuskan UUD yang baru,
maka presiden menganggap Indonesia dalam keadaan bahaya sehingga pada
tanggal 5 Juli 1959 ia mengeluarkan dekrit sebagai berikut :

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI


ANGKATAN PERANG

Dengan ini menyatakan dengan khidmat :

Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang


Dasar 1945 yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat
Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari
Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;

Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota-anggota Sidang


Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri sidang. Konstituante
tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat
kepadanya;

Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan keadaan ketatanegaraan yang


membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta
merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil makmur;

Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh
keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan Negara Proklamasi;

Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945


menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian
kesatuan dengan Konstitusi tersebut, Maka atas dasar-dasar tersebut di atas:

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI


ANGKATAN PERANG

Menetapkan pembubaran Konstituante.

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa


Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal
penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas


anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-
daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 5 Juli 1959

Atas nama Rakyat Indonesia

Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi


Angkatan Perang

SOEKARNO

Inti dari dekrit presiden 5 Juli 1959 tersebut antara lain :

1)      Menetapkan pembubaran Konstituante; hal ini terjadi karena konstituante


dianggap gagal dalam merumuskan UUD yang baru dan setelah pemungutan
suara tanggal 2 Juni 19659, konstituante tidak lagi bersidang atau membubarkan
diri.

2)      Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakuknya UUDS


1950. Hal ini sejalan dengan cita – cita awal berdirinya Negara Indonesia yang
tercantum dalam Piagam Jakarta.

3)      Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya.

3.      Tempat Pembacaan Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di


Istana Merdeka pada hari Minggu 5 Juli 1959 pukul 17.00 waktu Jawa.

C.    Pengaruh Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dekrit presiden 5 Juli 1959 mendapat dukungan dari masyarakat. Kepala Staf


Angkatan Darat memerintahkan kepada segenap anggota TNI untuk
melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Mahkamah Agung
membenarkan dekrit tersebut. DPr dalam sidangnya pada 22 Juli 1959 secara
aklamasi menyatakan kesediaannya untuk terus bekerja dengan berpedoman
kepada UUD 1945.

1.      Pembentukan Lembaga Negara Setelah Dekrit 5 Juli 1959

Setelah dikeluarkan dekrit presiden, maka Konstituante resmi


dibubarkan. Selanjutnya presiden membentuk lembaga – lembaga Negara
sebagai berikut :

a)      Pembentukan MPRS
Presiden Soekarno membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 
(MPRS) melalui Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Keanggotaan MPRS
terdiri atas anggota – anggota DPR sebanyak 261 orang, utusan daerah 94 orang,
dan wakil golongan sebanyak 200 orang.

Pada tahun 1960 – 1965 MPRS telah melakukan tiga kali persidangan yang
dilaksanakan di Gedung Merdeka Bandung. Adapun sidang – sidang tersebut
sebagai berikut :

1)      Sidang Umum Pertama (10 Nopember – 7 Desember 1960) menghasilkan


ketetapan sebagai berikut :

-          Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 yang menetapkan Manifesto


Politik Republik Indonesia Sebagai Garis – garis Besar Haluan Negara.

-          Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis – garis Pola


Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 – 1969.

2)      Sidang Umum Kedua (15 – 22 Mei 1963) menghasilkan Ketetapan MPRS


Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Presiden Soekarno Mandataris
MPRS Menjadi Presiden Seumur Hidup

3)      Sidang Umum ketiga (11 – 16 April 1956) diantaranya menghasilkan


Ketetapan MPRS Nomor V/MPRS/1965 tentang pidato Presiden Soekarno
berjudul “Berdiri di atas Kaki Sendiri (Berdikari)” sebagai pedoman revolusi dan
politik luar negeri Indonesia.

b)      Pembentukan DPAS

Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penpres


Nomor 3 tahun 1959. Anggota DPAS diangkat dan diberhentikan oleh presiden
dengan jumlah anggota DPAS sebanyak 45 orang.

c)      Pembentukan DPR – GR

Melalui Penpres No. 4 Tahun 1960, pemerintah membentuk Dewan Perwakilan


Rakyat Gotong Royong (DPR – GR). Parlemen ini dibentuk menggantikan DPR
hasil pemilu tahun 1955 yang dibubarkan sejak 5 Maret 1960.

d)     Pembentukan Kabinet Kerja

Dengan berlakunya kembali UUD 1945, Kabinet Djuanda


(Kabinet Karya ) dibubarkan terhitung mulai 10 Juli 1959. Sebagai gantinya
dibentuk cabinet yang perdana menterinya presiden sendiri. Sementara itu Ir.
Djuanda ditunjuk sebagai menteri pertama. Kabinet baru ini dinamakan Kabinet
Kerja.

e)      Pembentukan Front Nasional

Melalui Penpres No. 13 Tahun 1959 dibentuk Front Nasional pada tanggal 31
Desember 1959. Lembaga ini merupakan organisasi massa yang berusaha
memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita – cita bangsa yang terkandung
dalam UUD 1945.

2.      Manifesto Politik Republik Indonesia

Pada tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno berpidato dengan judul


“Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato ini terkenal dengan sebutan
“Manifesto Politik Republik Indonesia” (MANIPOL). Manifesto ini kemudian
oleh DPAS dan MPRS dijadikan sebagai Garis – garis Besar Haluan Negara.
Menurut Soekarno, inti dari Manipol adalah Undang – Undang Dasar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia. Kelima inti manipol ini sering disingkat USDEK.

Dengan demikian, sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memiliki


pengaruh yang besar dalam kehidupan bernegara baik dalam bidang politik,
ekonomi maupun social budaya. Dalam bidang politik, semua lembaga Negara
harus berintikan Nasakom, yakni ada unsur Nasionalis, Agama dan
Komunis. Dalam bidang ekonomi, pemerintah menerapkan ekonomi
terpimpinnya. Sedangkan dalam bidang social budaya, pemerintah melarang
budaya – budaya berbau Barat yang dianggap sebagai bentuk penjajahan baru atau
Neo Kolonialis dan Imperialisme (Neokolim).

3.      Demokrasi Terpimpin

Menurut id.wikipedia.org, demokrasi terpimpin adalah sebuah system demokrasi


dimana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, kala
itu Presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin muncul seiring keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 dan Tap MPRS Nomor VIII/MPRS/1959. Dekrit Presiden 5
Juli 1959 menjadi akhir dari Demokrasi Liberal dan awal bagi Demokrasi
Terpimpin di Indonesia. Dalam hal ini, Demokrasi Terpimpin diharapkan mampu
mengatasi berbagai persoalan yang ada pada masa Demokrasi Liberal.
Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965), politik luar negeri Indonesia
lebih banyak mengarah kepada politik konfrontasi. Politik konfrontasi ditujukan
kepada negara – negara kapitalis, yaitu Amerika Serikat dan Eropa Barat. Politik
ini kemudian dianggap bertentangan dengan politik luar negeri Indonesia Bebas
Aktif.

Kebijakan – kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin
selain bertentangan dengan politik bebas aktif, juga dianggap menguntungkan
PKI. Kebijakan yang dianggap menyimpang dari politik bebas aktif antara lain adanya
pandangan tentang kekuatan yang saling berlawanan yaitu Oldefo dan Nefo, yang dalam
hal ini memposisikan Indonesia masuk kedalam kelompok Nefo. Selain itu Indonesia juga
menggunakan politik mercusuar dan membentuk poros Jakarta – Peking

Anda mungkin juga menyukai