Anda di halaman 1dari 32

BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tanah merupakan kekayaan alam yang merupakan
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Tanah merupakan
sumber kekayaan alam nasional yang memiliki potemso alam
yang dapat dimanfaatkan oleh manusia [ CITATION Adr07 \l
1057 ]. Tanah menjadi hal yang tak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Perkembangan perdaban manusia juga
berdampak pada peningkatan kebutuhan atas tanah bagi
setiap individu. Kebutuhan tanah yang terus meningkat
menuntut akan adanya peraturan yang mengikat yang
memuat ketentuan hokum pengaturan tanah
Undang Undang No 5 Tahun 1960 menjadi sumber
hukum mengikat bagi setiap warga Indonesia dalam
mengatur ketentuan tentang agraria. Peraturan ini memuat
tentang peraturan dasar pokok pokok agraria, mulai dari hak
atas tanah, ketentuan pidana pelanggaran undang undang,
hingga ketentuan peralihan. Secara umum, berdasarkan
peraturan tersebut, hak atas tanah di Indonesia dibagi
menjadi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut
hasil hutan. Pembagian kewenangan tersebut menjadi dasar
dalam penentuan kepemilikan tanah di Indonesia.
UU No 5 tahun 1960 juga mengatur tentang mekanisme
pengadaan untuk umum di Indonesia. Pengaturan tersebut
diatur dalam pasal 18 yang berbunyi:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa
dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak – hak
atas tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang –

1
Undang”.1Proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum
biasanya dilakukan oleh penerintah dalam melakukan
pembangunan infrastruktur serta fasilitas lainnya, seperti
jalan, taman, dan lain sebagainya. Ketentuan mengenai
pengadaan tanah untuk pembangunan juga diatur lebih
spesifik pada UU No 2 Tahun 2012. Peraturan ini mengatur
tentang asas, tujuan, pokok pokok pengadaan tanah,
penyelenggaraan pengadaan tanah, serta sumber dana yang
dapat digunakan dalam pengadaan tanah. 2.
Pengetahuan mengenai ketentuan agraria menjadi hal
yang harus dimiliki oleh setiap warga negara. Pengadaan
tanah merupakan topilk yang sensitif dan seringkali
menimbulkan sengketa. Secara umum, terdapat beberapa
faktor internal penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan,
seperti distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata,
sengketa mengenai kegalitas. Faktor eksternal juga menjadi
penyebab, berkaitan dengan keterlibatan oknum-oknum
tertentu yang dapat memprngaruhi administrasi pertanahan
[ CITATION Nin14 \l 1057 ]. Hal tersebut menyebabkan
timbulnya beberapa kasus konflik atas tanah antara lain
sengketa penataan ruang bagi pedagang kaki lima yang
melanggar izin mendirikan bangunan, konflik pada jual beli
tanah, konflik kepentingan antara perusahaan besar (seperti
pertambangan) dengan lingkungan sekitar, konflik dalam
pengadaan lahan untuk infrastruktur, ataupun sengketa
tanah adat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perkembangan sejarah tanah adat, hak-hak atas tanah, serta
pengadaan tanah untuk umum. Hasil dari penelitian ini

1
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria Pasal 18.
2
Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

2
diharapkan mampu menambah wawasan bagi pembaca
mengenai mekanisme pengadaan tanah di Indonesia.

3
1.2 Tujuan
Penelitian ini membahas tentang hukum pengadaan
tanah di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memberikan informasi mengenai sejarah hokum adat di
Indonesia
2. Memberikan informasi mengenai jenis hak-hak atas
tanah di Indonesia
3. Memberikan informasi mengenai mekanisme
pengadaan tanah untuk kepentingan umum
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkaan dapat menjadi sumber
informasi bagi pembaca mengenai ketentuan pengadaan
tanah di Indonesia. Penelitian ini berisi tentang sejarah
hokum adat, hak-hak atas tanah, mekanisme pengadaan
tanah, serta studi kasus terkait pengadaan tanah. Bagi
peneliti, penelitian ini diharapkan mampu menjadi media
pembelajaran yang efektif dalam memahami hukum agraria
di Indonesia.

4
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Sejarah Hukum Adat Tentang Tanah di Indonesia
Hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia
yang umumnya berbentuk tidak tertulis, tumbuh dan
berkembang serta dipertahankan oleh masyarakat hukum
adat, dan berpangkal dari kehendak nenek moyang. Menurut
[ CITATION Rub07 \l 1057 ]mengatakan bahwa hukum adat
itu berurat akar dalam kebudayaan tradisional, sesuai dengan
fitranya sendiri, terus menerus dalam keadaan tumbuh dan
berkembang seperti hidup itu sendiri. Hukum adat itu
mempunyai beberapa corak yakni mengandung sifat yang
sangat tradisional karena berpangkal pada kehendak nenek
moyang, hukum adat dapat berubah, tidak statis melainkan
dinamis, dan bersifat elastis, sanggup menyesuaikan diri.
Istilah hukum adat yang dipakai sekarang adalah
terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu dari Adatrecht, yang
pertama kali dikemukakan oleh Prof. Dr. C. Snouck Hungronje
dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” 1894. Beliau
dikenal sebagai salah satu dari “Trio penemu hukum adat”
bersama dengan George Alexander Wilken dan Frederik
Albert Lefrinck. Pada tahun 1929, istilah adatrecht secara
resmi mulai dikenal, yakni diatur dalam undang-undang
Belanda, Stbl. 1929-Nomor 221 jo Nomor 487 yang mulai
berlaku sejak tanggal 1 Januari 1929.
Fungsi hukum adat dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari dapat dijelaskan sebagai berikut. Hukum sebagai kaidah
sosial tidak lepas dari nilai yang berlaku dalam suatu
masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat,
tentunya merupakan pencerminan dari nailai-nilai yang

5
hidup dalam masyarakat, nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat (tingkah laku) mungkin saja pada awalya
merupakan suatu kebiasaan yang kemudian timbul menjadi
suatu perasaan pada suatu masyarakat yang menganut
kebiasaan itu menjadi sesuatu yang patut. Sesuatu yang
patut kemudian meningkat menjadi adat [ CITATION Sya10 \l
1057 ].
Berikut dipaparkan beberapa pendapat para ahli yang
memberikan pengertian tentang hukum adat:
A. [ CITATION Bac82 \l 1057 ] mendefinisikan hukum adat
sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-
peraturan legislatif meliputi peraturan-peraturan hidup
yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib,
namun ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan
atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan
tersebut mempunyai kekuatan hukum.
B. [ CITATION Ach02 \l 1057 ], memberikan pengertian
hukum adat, yakni adat yang mempunyai sanksi (reaksi),
sedangkan adat yang tidak mempunyai sanksi (reaksi)
adalah merupakan kebiasaan normatif, yaitu kebiasaan
yang berujud sebagai tingkah laku yang berlaku di dalam
masyarakat.
Melalui penjelasan mengenai pengertian hukum adat
yang diberikan oleh para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa
oleh karena hukum adat lahir dan tumbuh bersama
masyarakat, maka keberadaannya tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat. Masyarakat hukum adat mentaati hukum
adat, bukan karena hukum adat tersebut mempunyai sanksi,
tetapi lebih didorong oleh keyakinan bahwa hukum adat
tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah, dan norma yang
disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

6
Berpedoman pada pengertian “Hukum Adat” yang
diberikan oleh para sarjana sebagaimana telah diuraikan di
atas, “Hukum Tanah Adat” dapat didefinisikan sebagai
aturan-aturan yang tidak tertulis atau kaidah-
kaidah hukum yang diciptakan oleh masyarakat hukum adat
untuk mengatur hak atas tanah beserta segala sesuatu
perbuatan hukum pemegang hak atas tanah tersebut
berkaitan dengan tanah yang dikuasainya. Dengan kalimat
lain, hukum tanah adat membicarakan hak-hak atas tanah
beserta perbuatan hukum yang terkait dengan tanah.
Perbuatan hukum yang terkait dengan tanah meliputi:
transaksi tanah dan transaksi yang bersangkutan dengan
tanah. Mengenai hak-hak atas tanah menurut hukum tanah
adat, [ CITATION Kar12 \l 1057 ] mengatakan:
“Konsepsi Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai
konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan
penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas
tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur
kebersamaan. Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya
hak-bersama para anggota masyarakat hukum adat atas
tanah, yang dalam kepustakaan disebut Hak Ulayat. Tanah
Ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama, yang diyakini
sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek
moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat
hukum adat, sebagai unsur pendukung utama bagi
kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang
masa. Di sinilah tampak sifat religius atau unsur keagamaan
dalam hubungan hukum antara para warga masyarakat
hukum adat dan tanah ulayatnya itu. Para warga sebagai
anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk
menguasai dan menggunakan sebagian tanah-bersama
tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan
keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara,

7
sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang umum
disebut hak milik”
Dalam hukum adat, hak penguasaan atas tanah yang
tertinggi yakni hak ulayat sebagai hak bersama, dan subyek
haknya adalah masyarakat hukum adat, baik masyarakat
hukum adat territorial maupun genealogis [ CITATION
Kar12 \l 1057 ]:
A. Hak Ulayat
Menurut Van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul
“Miskenningen in het Adatrecht” dan “De Indonesier en zijn
grond”, sebagaimana disimpulkan oleh [ CITATION Win83 \l
1057 ], ada 6 (enam) ciri hak ulayat, yakni:
1. Persekutuan dan anggotanya berhak untuk
memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala
sesuatu yang ada di dalam tanah dan yang tumbuh dan
hidup di atas tanah ulayat
2. Hak individu diliputi oleh hak persekutuan
3. Pimpinan persekutuan dapat menentukan untuk
menyatakan dan menggunakan bidang-bidang tanah
tertentu ditetapkan untuk kepentingan umum, dan
terhadap tanah tersebut tidak diperkenankan diletakkan
hak perseorangan
4. Orang asing yang mau menarik hasil dari tanah-tanah
ulayat harus terlebih dahulu minta izin dari kepala
persekutuan, dan harus membayar uang pengakuan,
dan setelah panen harus membayar uang sewa
5. Persekutuan bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang terjadi di atas lingkungan ulayat
6. Larangan mengasingkan tanah ulayat, artinya baik bagi
persekutuan maupun anggota-anggotanya tidak
diperkenankan memutuskan secara mutlak sebidang
tanah ulayat sehingga persekutuan sama sekali hilang
wewenangnya atas tanah ulayat tersebut

8
Menurut hukum tanah adat, hak ulayat mempunyai
daya berlaku ke dalam dan ke luar, artinya masyarakat
hukum adat mempunyai hak tertentu atas tanah ulayat dan
melakukan hak itu baik ke dalam maupun ke luar. Daya
berlaku ke dalam, artinya bahwa masyarakat hukum adat
berhak untuk memungut hasil dari tanah ulayat mereka
beserta isinya (binatang, tumbuhan) yang ada di atas tanah
ulayat tersebut [ CITATION Win83 \l 1057 ].

9
B. Hak Perseorangan
Anggota persekutuan/masyarakat hukum adat berhak
untuk memungut hasil dari tanah ulayat mereka beserta
isinya (binatang, tumbuhan) yang ada di atas tanah ulayat
tersebut. Sebagai konsekuensi dari adanya hak itu, anggota
masyarakat hukum adat berhak pula untuk mengadakan
hubungan hukum dengan tanah ulayat beserta segala isinya,
dan hubungan ini melahirkan hak-hak perseorangan dari
anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Macam-macam hak perseorangan menurut hukum tanah
adat, yakni hak milik atas tanah, hak menikmati (Genotrecht),
hak terdahulu (Voorkeursrecht), hak terdahulu untuk beli
(Naastingsrecht), hak memungut hasil karena jabatan
(Ambtelijk Profijtrecht), hak pakai (Gebruiksrecht), dan hak
gadai dan hak sewa (Pond end huursrecht) [ CITATION Win83
\l 1057 ]
2.2 Jenis-Jenis Hak Tanah di Indonesia
Sebelum membahas mengenai jenis hak tanah di
Indonesia, akan dibahas pengertian mengenai tanah. Tanah
mempunyai arti yang sangat penting bagi kelangsungan
kehidupan manusia [ CITATION Sal06 \l 1057 ]. Tanah
mempuyai nilai yang sangat tinggi bagi kehidupan manusia
secara ekonomis. Memiliki nilai ekonomis membuat tanah
bisa dipermasalahkan dalam aspek sosial dan politik.
Banyaknya terjadi penggusuran paksa dari pembebasan
tanah yang dilakukan oleh pihak swasta, pemerintah, dan
militer tanpa mengkaji hak-hak masyarakat. Tanpa ada hak
dari negara untuk mengatur peruntukan dan kepemilikan
tanah, tiap orang pasti akan berlomba-lomba untuk
mendapatkan/memiliki lebih banyak tanah yang ada di
Indonesia [ CITATION Pur10 \l 1057 ].
Negara memberikan 3 jenis hak tanah di Indonesia, yang
terdiri dari [ CITATION Pur10 \l 1057 ]:

10
A. Hak individual yang bersifat perdata
Hak tanah individual terdiri dari 2 yaitu hak primer dan
hak sekunder (derivatif).
1) Hak primer
Hak primer merupakan hak yang lansgung diberikan
oleh negara kepada pemegang haknya, dimana hak primer
meliputi hak milik, hak guna bangunan (HGB), hak guna
usaha (HGU), dan hak pakai. Hak milik merupakan hak yang
terkuat dan terpenuh, hak ini bisa dimiliki secara turun
temurun tanpa ada batasan waktu berakhirnya hak tersebut [
CITATION Pur10 \l 1057 ].
Hak milik berdasarkan undang-undang telah
mendapatkan pengaturan dalam UUPA (Undang-Undang
Pokok Agraria) pada bagian kedua mengenai ketentuan-
ketentuan konversi dan peraturan pelaksanaannya
[ CITATION Ism12 \l 1057 ]. Hak milik hanya diperbolehkan
dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan-
badan tertentu sebagaimana telah ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yaitu koperasi,
badan-badan negara, badan keagamaan, dan badan sosial
[ CITATION Ism12 \l 1057 ].
Hak guna bangunan disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf c UUPA. Hak guna bangunan diatur dalam pasal 35
sampai 40 UUPA. Beradasarkan pasal 37 UUPA hak guna
bangunan dapat berasal dari tanah yang dikuasai langsung
oleh negara atau tanah milik orang lain. Sedangkan dalam
pasal 36 UUPA menyebutkan yang dapat mempunyai hak
guna bangunan adalah warga negara Indonesia dan badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. Bagi pelanggar hak guna
bangunan sudah tertuang di pasal 36 ayat (2) UUPA juncto
pasal 20 peraturan pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yaitu

11
dengan sanksi berupa dalam jangka waktu 1 tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak atas tanah tersebut
kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai subjek hak
guna bangunan. Apabila si pelanggar dalam jangka waktu
satu tahun tidak dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain,
maka hak guna bangunan tersebut dihapus karena hukum
[ CITATION San15 \l 1057 ]
Hak guna usaha (HGU) merupakan hak baru guna
memenuhi kebutuhan masyarakat modern dan hanya
diberikan terhadap tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh
negara, jadi hak ini tidak terhadap tanah selain milik negara
dan tidak terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu
hak milik dengan orang lain [ CITATION Par98 \l 1057 ].
Hak pakai menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1996 adalah hak untuk menggunakan tanah dan/atau
memungut hasil dari tanah, asal tanah hak pakai adalah
tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik.
Hak pakai dapat dikuasai oleh WNI, orang asing yang
berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia,
dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan
indonesia[ CITATION San15 \l 1057 ].
2) Hak sekunder
Hak sekunder merupakan hak atas tanah yang timbul
dan/atau dibebankan di atas hak atas tanah yang sudah ada.
Hak ini bisa terjadi karena perjanjian antara pemilik tanah
sebagai pemegang hak primer dan calon pemegang hak
sekunder [ CITATION Pur10 \l 1057 ].
B. Hak pengelolaan
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) tidak membahas/mengatur
mengenai hak pengelolaan. Tapi dapat dikatakan hak tanah
tersebut adalah hak pengelolaan dikarenakan negara dapat

12
memberikan tanah yang sedemikian itu kepada sesorang
atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan
dan keperluannya. Contohnya hak milik, hak guna-usaha, hak
guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam
pengelolaan kepada badan penguasa (departemen, jawatan,
atau daerah swatantra) agar dapat dipergunakan bagi
pelaksanaan tugasnya masing-masing [ CITATION Tun13 \l
1057 ]. Terdapat 7 jenis hak pengelolaan tanah yang dapat
dijabarkan sebagai berikut [ CITATION Sum07 \l 1057 ]:
1) HPL pelabuhan
2) HPL otorita
3) HPL perumahan
4) HPL Pemerintah Daerah
5) HPL Transmigrasi
6) HPL instansi pemerintah
7) HPL industri/pertanian/pariwisata/perkeretaapian
C. Tanah Wakaf
Arti dari kata wakaf secara etimologis yaitu berasal dari
kata waqafa-yaqifu-waafan yang mempunyai arti
menghentikan atau menahan [ CITATION Pra18 \l 1057 ].
Menurut [ CITATION Abd94 \l 1057 ] adalah suatu pranata
yang berasal dari Hukum Islam. Oleh karena itu, apabila
membicarakan masalah perwakafan pada umumnya dan
perwakafan tanah pada khususnya, tidak mungkin untuk
melepaskan diri dari pembicaraan tentang konsepsi wakaf
menurut Hukum Islam. Akan tetapi, dalam Hukum Islam tidak
ada konsep yang tunggal tentang wakaf karena terdapat
banyak pendapat yang sangat beragam. Tanah wakaf adalah
melanggengkan manfaat tanah untuk kepentingan umum
seperti pembangunan prasarana keagamaan baik untuk
pembangunan masjid, madrasah, pesantren, sekolah,
kampus perguruan tinggi, tanah pemakaman, rumah-rumah

13
perlindungan anak yatim, dan lain-lain [ CITATION Sup12 \l
1057 ].
Tanah wakaf menurut [ CITATION Har03 \l 1057 ]
merupakan salah satu hak penguasaan atas tanah yang
bersifat perseorangan, yang didalamnya terdapat wewenang
(kewenangan), kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang
tanah wakaf. Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia
diumlai dari adanya wakaf yang telah ada di lingkup
masyarakat hukum adat. Pemerintah melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 telah mengatur tentang
perwakafan yang dibatasi hanya tanah hak milik saja serta
harus melalui prosedur dengan akta ikrar wakaf yang
nantinya sertfikat hak milik diubah menjadi sertifikat wakaf
[ CITATION Sir13 \l 1057 ].
Penyelenggaraan wakaf di Indonesia secara yuridis
diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 jo Peraturan Mendagri
No. 6 Tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun
1978. Teknis administrasi tentang perwakafan berada di
Departemen Agama dan yang berkaitan dengan masalah
tanah terutama tentang pensertifikatan tanah wakaf
Departemen Agama bekerja sama dengan Badan Pertahanan
Nasional. Sedangkan dalam syari’at Islam tidak secara khusus
wakaf diterangkan dalam al-qur’an, namun para ulama
menggunakan keumuman ayat tentang infaq fisabilillah
[ CITATION Nur17 \l 1057 ].
Adanya lembaga yang menaungi pengurusan tanah
wakaf dapat memudahkan masyarakat. Lembaga yang
mengatur tanah wakaf berhubungan juga dengan masalah
keagamaan [ CITATION Sup12 \l 1057 ]. Wakaf yang
disyariatkan Islam mempunyai 2 (dua) dimensi sekaligus.
Pertama, dimensi religius, bahwa wakaf merupakan anjuran
agama Allah yang perlu dipraktekkan pada masyarakat
muslim, sehingga mereka yang memberi wakaf (wakif)

14
mendapat pahala dari Allah karena melakukan anjuran
tersebut. Kedua, dimensi sosial ekonomi, bahwa kegiatan
wakaf melalui uluran tangan sang dermawan telah
membantu sesama untuk saling tenggang rasa sehingga
dapat menimbulkan rasa cinta kasih kepada sesama manusia
[ CITATION RID03 \l 1057 ].

2.3 Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum


Tanah sebagai modal dasar bagi kehidupan manusia
memiliki dua fungsi yakni fungsi produksi dan fungsi non
produksi. Mengingat jumlah luas tanah suatu negara adalah
terbatas dan di sisi lain terdapat ledakan jumlah penduduk
maka terjadilah penggunaan tanah yang saling berbenturan.
Suatu negara dalam melaksanakan pembangunan selalu
berkaitan dengan tanah dan selalu memerlukan tanah.
Seringkali terjadi dalam kepentingan pelaksanaan program
pembangunan berbenturan dengan tanah yang sudah ada
alas haknya atau sudah dikuasai oleh orang atau badan
hukum (Zakie, 2011).
Jumlah penduduk tiap tahun yang semakin tinggi
sedangkan keadaan tanah yang tetap menyebabkan minat
penduduk terhadap tanah juga semakin tinggi. Hal tersebut
menjadikan manusia menggiatkan usahanya untuk
mendapatkan tanah demi tercapainya tujuan masing-masing
dalam memanfaatkan tanah. Jika usaha tersebut tidak
dilakukan pengendalian atau pengawasan, makan akan
terjadi ketidakadilan dalam menggunakan atau
memanfaatkan tanah. Meningkatnya penggunaan tanah
mengakibatkan terjadinya bermacam-macam corak dan
bentuk hubungan antara manusia dan tanah sekaligus
menyebabkan terjadinya perkembangan dalam bidang
hokum maupun tidak. Perkembangan tersebut turut

15
mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap tanah, baik
dari segi pemilikan, penguasaan maupun penggunaannya.
Hal ini terlihat apabila dilakukan pengamatan terhadap
perubahan masyarakat agraris menjadi masyarakat industry
(Zakie, 2011).
Di Indonesia, hak-hak atas tanah tidak bersifat mutlak,
namun bersifat relative (terbatas) yaitu untuk kepentingan
umum. Pengadaan tanah terdiri dari unsur-unsur sebagai
berikut:
A. Perbuatan hukum berupa pelepasan hak atas tanah
menjadi tanah Negara
B. Pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum
C. Perbuatan hukum didasarkan pada musyawarah dan
kesukarelaan
D. Disertai ganti rugi yang adil dan layak (Zakie, 2018).
Negara dapat melakukan pengambilan hak atas tanah
dengan memberi ganti rugi yang layak kepada pemegang
haknya. Hal tersebut termuat pada Pasal 18 UUPA yang
berbunyi: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak, dan menurut cara yang diatur dengan
undang-undang”. Dapat disimpulkan bahwa dalam pasar
tersebut, tatacara pengambilan hak atas tanah diatur dalam
bentuk undang-undang. Oleh karena itu, maka dibuat
undang-undang yang mengatur tentang pengambilan hak
atas tanah yaitu, Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang
Pengambilan hak-hak Atas Tanah Dan Benda-benda yang Ada
di Atasnya. Penjelasan atas Undang-Undang No. 20 Tahun
1961 menyatakan: “Oleh karena kepentingan umum harus
didahulukan dari kepentingan perseorangan, maka jika
tindakan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk
kepentingan umum, dalam keadaan yang memaksa yaitu jika

16
jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang
diharapkan, haruslah ada kuasa pada pemerintah untuk
mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan.
Pengambilan itu dilakukan dengan cara mengadakan
pengambilan hak sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 18
Undang-undang Pokok Agraria tersebut di atas…”. Tampak
jelas hubungan pengambilan hak atas tanah dengan
kepentingan umum adalah suatu pengambilan hak atas tanah
hanya dibenarkan karena alasan kepentingan umum disertai
adanya ganti kerugian yang layak. Tanpa adanya klausa
kepentingan umum suatu pengambilan hak atas tanah atau
suatu kegiatan yang dianggap sebagai suatu pengambilan hak
atas tanah tidak dibenarkan.
Pada tanggal 3 Mei 2005, dikeluarkan Peraturan Presiden
(Perpres) No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Perlaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Keputusan Presiden tersebut mendefinisikan kepentingan
umum sebagai kepentingan sebahagian besar masyarakat.
Kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan kepentingan umum
dalam Pasal 5 Pepres ini dilaksanakan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah yang dijabarkan ke dalam 21 jenis
kegiatan.
Apabila dibandingkan dengan Keputusan Presiden No. 55
Tahun 1993 yang digantikannya, makna kepentingan umum
dalam Pepres No. 36 Tahun 2005 telah mengalami
pergeseran. Menurut Keputusan Presiden No. 55 Tahun
1993, kepentingan umum mensyaratkan adanya pelaksana
dan pemilik kepentingan umum adalah pemerintah dan
bersifat tidak komersial, sedangkan Peraturan Presiden No.
36 Tahun 2005 tidak memberikan batasan yang tegas.
Selanjutnya, Pada 6 Jun 2006, presiden telah
menandatangani Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006
tentang Perubahan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005

17
tentang Pengadaan Tanah Bagi Perlaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum. Peraturan Presiden No. 65 Tahun
2006 masih mendefinisikan kepentingan umum sama dengan
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 yaitu kepentingan
sebahagian besar lapisan masyarakat (Pasal 1 ayat (5))
namun ditambah dengan ketentuan bahwa pembangunan
kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah atau
Pemerintah Daerah yang selanjutnya dimiliki atau akan
dimiliki oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah Pasal 2
ayat (2). Mencermati dari beberapa peraturan mengenai
pengadaan tanah di Indonesia dapat dilihat adanya
perubahan konsep dalam mengartikan kepentingan umum
itu. Pada awalnya kepentingan umum diartikan sebagai
kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari
rakyat dan kepentingan pembangunan pengertian yang
diberikan Undang-undang No. 20 Tahun 1961, dijelaskan
kepentingan umum itu misalnya, pembuatan jalan raya,
pelabuhan, bangunan untuk industri dan pertambangan,
perumahan, Puskesmas dan usaha-usaha lain dalam rangka
perlaksanaan pembangunan negara.
Dalam mewujudkan adanya perlindungan dan kepastian
hukum tentang ha katas tanah, maka pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan
dengan cara pembebasan hak-hak atas tanah masyarakat
harus diatur dengan jelas oleh Undang-Undang. Hal tersebut
dapat mencerminkan pengakuan dan penghormatan terhada
hak-hak asasi manusia khususnya hak-hak mengenai
keperdataan dan hak-hak ekonomi yang dimiliki.
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki Undang-
Undang yang mengatur khusus tentang pengadaan tanah,
melainkan diatur dengan Peraturan Presiden. Namun,
dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006 tersebut, dinilai telah sedikit memberikan kepastian

18
hukum dan aturan-aturan pengadaan tanah yang lebih
demokratis, serta sedikit menutup ruang bagi aparat
pemerintah untuk bertindak secara sewenang-wenang
(Mulyadi, 2017).

19
Studi Kasus I
Model Upaya Hukum terhadap Ganti Kerugian dalam
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Studi Kasus:
Pembangunan Jalan Tambaklorok, Kota Semarang
Pengadaan tanah untuk umum diatur dalam UU Agraria
Nomor 5 Tahun 1960. Pemerintah Kota Semarang
mengadakan perbaikan kondisi jalan dalam rangka
peningkatan kualitas lingkungan Kampung Nelayan Tepi Air
Kelurahan Tanjung Mas Kota Semarang, yang telah
direncanakan sejak tahun 2015. Namun, realisasi pelebaran
jalan baru terjadi pada tahun 2017. Hingga tahun 2018,
sengketa hasil tanah terus terjadi akibat permasalahan ganti
rugi yang masih menimbulkan polemik. Pada Oktober 2018,
permohonan hukum kasasi diajukan pihak terdampak
pembangunan jalan ke Mahkamah Agung, dengan nomor
registrasi 374/Pdt.P/2018/PN.Smg.3 Pengajuan ini didasarkan
atas penolakan permohonan tuntutan serupa sebelumnya ke
Pengadilan Negeri Semarang, namun putusan pengadilan
menolak gugatan pemohon. Upaya Hukum Kasasi terhadap
ganti kerugian dalam pembangunan Pelebaran Jalan
Kampung Tambaklorok, Kota Semarang merupakan upaya
hukum terakhir bagi pemilik tanah untuk mendapatkan
keadilan. Apabila MA menolak, maka pemohon sudah tidak
dapat mengajukan lagi gugatan, karena upaya hukum ini
merupakan final dan putusan yang dijatuhkan bersifat
mengikat.
Proses ganti rugi tanah terkait pembangunan jalan
sudah sesuai dengan PP No 71 tahun 2012 tentang
3
Nur Adhim. Model Upaya Hukum terhadap Ganti Kerugian dalam
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Studi Kasus:
Pembangunan Jalan Tambaklorok, Kota Semarang. Jurnal Gema
Keadilan. Vol 6 No 1, 2019, hal.77.

20
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum. Namun, dalam praktiknya,
beberapa tahapan dalam pengadaan ganti rugi ttdak sesuai
dengan hukum yang berlaku. Permasalahan terjadi pada
tahap sosialisasi, musyawarah, dan penitipan kerugian. Saat
sosialisasi, panitia pengadaan tanah tidak melibatkan tokoh
masyarakat dan masyarakat dalam kegiatan. Padahal pihak
yang terkait dapat menjadi salah satu pertimbangan penting
dalam menentukan besar kerugian. Pada tahap musyawarah
penetapan kerugian, DInas PU hanya memberikan
kewenangan seutuhnya kepada tim penilai independen dan
menyampaikan hasilnya kepada masyarakat. Dinas PU hanya
berperan sebagai tim pengukur dalam pengadaan tanah. Atas
dasar tersebut masyarakat menanggap ganti rugi tidak adil.
Pada tahap penitipan kerugian, terdapat pertentangan
dengan asas penguasaan hak atas tanah. Penitipan ganti
kerugian ini hanya sebagai alat untuk mempercepat proses
pengadaan tanah, namun pelaksanaan ganti rugisecara
procedural belum memenuhi ketentuan yang berlaku.
Proses pengajuan kasasi menuju Pengadilan Negeri
Semarang dalam sengketa ini sebenarnya juga sudah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Namun substansi
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Penetapan
Pengadilan Negeri Semarang No. 374/Pdt.P/2018/PN.
Semarang serta memori kasasi yang diajukan terhadap
putusan tersebut, belum menyelesaikan sengketa
pertanahan dalam hal mengenai terkait besar ganti rugi,
karena itu harapan terakhir adalah putusan Kasasi MA yang
sampai saat ini masih dalam proses di Mahkamah Agung RI 4.

4
Ibid., 1.

21
Studi Kasus 2
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Studi Kasus
Pelebaran Jalan Ngaliyan-Mijen.
Pengadaan tanah untuk pelebaran Jalan Raya Ngaliyan
Mijen hingga kini belum lepas dari konflik. Permasalahan
utama yakni terkait ganti rugi tanah. Tanah yang telah
dibebaskan sepanjang 8,8 km dengan lebar 30 m. Namun,
teradpat beberapa titik tanah yang belum dibebaskan. Dalam
pelaksanaan pengadaan tanah, Pemerintah Kota Semarang
membentuk tim melalui Surat Keputusan Walikotamadya
tanggal 2 juni 1997 nomor 593/571.
Tahapan dalam proses pengadaan tanah di Jalan
Ngaliyen Mijen terdiri dari sosialisasi tentang SK Walikota
Semarang, inventarisasi, serta pelaksanaan musyawarah.
Saat ini, tanah yang dibebaskan sejumlah 13 kavling dengan
status hak milik dan hak guna bangunan. Dalam proses
pengadaan tanah, terdapat beberapa hambatan, antara lain
kekurangan dana, proses negosiasi yang alot, hingga
beberapa warga yang masih enggan tanahnya dibebaskan 5

5
Alfiyani Mayasari et al. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum: Studi Kasus Pelebaran Jalan Ngaliyan Mijen. Diponegoro
Law Review. Vol.1 No 2, 2013, hal 1-14.

22
Studi Kasus 3
Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat (Studi Kasus di
Provinsi Aceh khususnya Kabupaten Bener Meriah)
Kabupaten Bener Meriah memiliki hak atas tanah yang
dimanfaatkan bersama oleh masyarakat adatnya untuk untuk
keperluan bersama seperti hulu air sebagai kerperluan
sehari-hari dalam mengairi sawah ladang, air minum, dan
tanah wilayah peternakan. Tanah adat merupakan hasil dari
persekutuan Suku Gayo.
Keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Bener
Meriah diakui keberadaannya dengan dibentuknya Lembaga-
lembaga Adat di tingkat Kabupaten maupun di setiap
kecamatan dan kampung berdasarkan Qanun Aceh Nomor 10
Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat dan Qanun Kabupaten
Bener Meriah Nomor: 08 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan
Mukim.
Tanah adat di Kabupaten Bener Meriah masih cukup
dikenal, seperti contoh istilah perueren yang merupakan
istilah untuk tanah peruntukan pertanian. Hukum tanah adat
ini didasarkan atas Qanun Kabupaten Bener Meriah Nomor
05 tahun 2011 tentang Lokasi Peternakan (Peruweren) Uber-
Uber dan Blang Paku 6. Hak Tanah Ulayat lain meliputi
Mersah dan Berawang serta Doyah (tempat Ibadah dan
Tempat pemandian), Pekuburen (tanah Kuburan), Tamak
(Tambak)/Nien (Kulam), Arul/Rerak/Tali Air
(Irigasi/Pengairan), Belang Kampung/Penyemuren (Lapangan
Kampung), Tanoh Pengkaron (Medan Berburu), serta Empus
Kampung (Kebun Kampung) terdapat di kampung Kenawat.
Hak atas tanah ini berlaku hokum adat gayo yang bersifat

6
Ahyar Ari Gayo. Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat (Studi
Kasus Di Provinsi Aceh Khususnya Kabupaten Bener Meriah). Jurnal
Penelitian Hukum. Vol. 19 No. 3, September 2018, hal 289-304

23
mengikat, dimana setiap pelanggaran akan diberikan sanksi.
7
.

7
Yowa Abardani Lauta Syafruddin Kalo et.al. Perlindungan Hak Atas
Tanah Ulayat Masyarakat Adat Gayo Di Kabupaten Bener Meriah.
USU Law Review. Vol. 4. No. 3, Juni 2016

24
Studi Kasus 4
Penyelesaian Konflik Pertanahan pada Kawasan Pariwisata
Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan
Lombok) 8
Konflik pertanahan di Gili Trawangan telah berlangsung
lama. Sektor pariwisata menjadi andalan dalam meningkatan
pendapatan asli daerah. Hal tersebut berdampak pada
meningkatnya klaim atas kepemilikan tanah antara
masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Investor bertindak
sebagai spekulan tanah. Tanah rakyat dapat diperjual belikan
dikarenakan adanya relasi dengan pemerintah. Hak guna
usaha dengan mudahnya diberikan kepadan relasi penguasa.
Banyak tanah yang pada akhirnya terlantar dikarenakan
pengelolaannya tidak sesuai dengan asas dalam hukum
agrarian. Sebagai contoh, pemberian HGU usaha kepada
relasi Gubernur NTB saat itu (H Wasita Kusuma) kepada
segelintir kerabat. Contoh konflik lain yakni pemberian izin
untuk pengalihan status dari Hak Guna Usaha menjadi Hak
Guna Bangunan kepada PT. Wanawisata Hayati. Padahal,
tanah yang diberikan telah terdapat aktivitas masyarakat.
Faktor faktor penyebab sengketa hak atas tanah di Gili
Trawangan antara lain kurang tegasnya pemerintah daerah
dan BPN dalam penegahan hukum PP No 11 tahun 2010
tentang Tatacara Penertiban Tanah Terlantar dan Peraturan
BPN No 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah
Terlantar, kecemburuan sosial masyarakat lokal serta tidak
adanya hukum yang melindungi masyarakat lokal, pihak
pengusaha yang memperoleh izin hak guna usaha kurang
bertanggung jawab, serta aparat yang cenderung arogan
8
Zaina Asikin. Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan
Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan
Lombok). Jurnal DInamika Hukum. Vol 14 No. 2, Mei 2014, hal 240-
249.

25
dalam menghadapi masyarakat lokal. Penyelesaian konflik
agaria dapat diselesaikan melalui non litigasi dengan
mempertimbangkan asas kebermanfaatan, keadilan, dan
jaminan hukum Pemerintah harus memberikan priroritas
berlebih kepada masyarakat Gili Trawangan untuk
mendapatkan pengakuan akan hak milik atau hak guna
usaha, serta selektif dalam memberikan sertifikat HGU
kepada pengusaha .

26
BAB III
Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan
Hukum adat tanah di Indonesia merupakan aturan-
aturan yang tidak tertulis atau hukum yang diciptakan oleh
masyarakat hukum adat untuk mengatur hak tanah mereka.
Hukum adat tanah tidak tertulis di dalam dokumen, berbeda
dengan hak milik tanah, hak guna bangunan, hak guna usaha,
hak pakai, hak pengelolaan, dll. Hak atas pertanahan tersebut
diatur di dalam undang-undang dan bagi yang melanggar
akan dikenakan sanksi sesuai perundang-undangan yang
bersangkutan.
Jenis hak tanah di Indonesia secara garis besar dapat
dibagi dalam 3 kelompok yaitu hak individual, hak
pengelolaan, dan tanah wakaf. Selain mengetahui jenis hak
tanah di Indonesia, perlunya diketahui terkait tata cara
pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia
yang baik dan benar agar tidak menimbulkan konflik
pertanahan.
3.2 Saran
Untuk mengatasi permasalahan konflik pertanahan di
Indonesia perlunya sikap pemerintah yang tegas dan peran
badan pertanahan dalam melakukan penegakan peraturan
hukum pertanahan yang sudah diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar Peraturan Badan
Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010 tentang Tatacara
Penertiban Tanah Terlantar.
Pada era presiden jokowi, pemerintah indonesia melalui
beberapa kementrian agraria dan tata ruang terus mendoring
penyelesaian RUU pertanahan di Indonesia. RUU pertahanan
ini merupakan solusi pemerintah dalam mewujudkan sistem
pertanahan nasional yang utuh dan terpadu guna dengan

27
tujuan mengatasi permasalahan pertanahan (sengketa tanah,
sengketa pertanian, dll).

28
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. (1994). Masalah Perwakafan Tanah Milik dan
Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Achmad, A. C. (2002). Hukum Pertanahan. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Adhim, N. (2019). Model Upaya Hukum terhadap Ganti
Kerugian dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum. Studi Kasus: Pembangunan Jalan
Tambaklorok, Kota Semarang. Jurnal Gema Keadilan,
77.
Adrian, S. (2007). Implementasi Prinsip Kepentingan Umum
Dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Jakarta: Sinar Grafika.
Bachtiar, E. (1982). Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah.
Bandung: Kencana.
Gayo, A. A. (2016). PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS
TANAH ADAT (Studi Kasus di Provinsi Aceh khususnya
Kabupaten Bener Meriah). Jurnal Penelitian Hukum,
289-303.
Harsono, B. (2003). Hukum Agraria Indonesia Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi,
dan pelaksanaannya. Jakarta.
Ismail, I. (2012). Kajian Terhadap Hak Milik atas Tanah yang
Terjadi Berdasarkan Hukun Adat. Jurnal Ilmu Hukum.
Kalo, Yowa Abardani et al. (2016). Perlindungan Hak Atas
Tanah Ulayat Masyarakat Adat Gayo Di Kabupaten
Bener Meriah. USU Law Journal, Vol 4 No 3.

29
Kartini, M. (2012). Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana.
Mayasari, A. (2013). Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum. Diponegoro Law Review, 1-14.
Mulyadi, M. (2017). Implementasi Kebijakan Tanah Untuk
Kepentingan Umum di Jakarta Utara. Jurnal Aspirasi,
8(2), 145–159

Ningrum, H. R. (2014). Analisis Hukum Sistem Penyelesaian


Sengketa Atas Tanah Berbasis Keadilan. Jurnal
Pembaharuan Hukum, 220.

Nurhidayani, Muaidyyasin, & Busaini. (2017). PENGELOLAAN


DAN PEMANFAATAN WAKAF TANAH DAN
BANGUNAN. Jurnal Kajian Ekonomi Islam, 164-175.

Parlindungan, A. (1998). Pendaftaran Tanah-tanah Konversi


Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA. Bandung:
Alumni.
Prasetyo, Y. (2018). Ekonomi Syariah. Bandung: Aria Mandiri
Grup

Purnamasari, & Devita, I. (2010). Panduan Lengkap Hukum


Praktis Populer; Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak
Mengatasi Masalah Hukum Pertahanan. Bandung:
PT. Mizan Pustaka.
RI, D. A. (2003). Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan
Wakaf. Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.

Rubaie, A. (2007). Hukum Pengadaan Tanah Untuk


Kepentingan Umum. Malang: Bayumedia Publishing.

30
Saleh, A. R., Nasution, I. A., & Fenwick, S. (2006). Panduan
Bantuan Hukum di Indonesia,. Jakarta Pusat: Yayasan
Obor Indonesia.
Santoso, U. (2015). Hak Atas tanah. Jakarta: Prenada Media
Group.
Siregar, R. P. (2013). Problematika Pendaftaran tanah Wakaf
(Studi di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli
Serdang). Sumatera Utara: Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Sumardjono, M. S. (2007). Hak Pengelolaan: Perkembangan,
Regulasi, dan Implementasinya. Mimbar Hukum, 29.
Supraptiningsih, U. (2012). Problematika Implementasi
Sertifikasi Tanah Wakaf Pada Masyarakat. Nuansa,
76-96

Sutedi, A. (2007). Implementasi Prinsip Kepentingan Umum


Dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Jakarta: Sinar Grafika.
Syahbandir, M. (2010). Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem
Hukum. Kanun, 5-13

Tunardy, W. T. (2013). Tanah Hak Pengelolaan. Jurnal Hukum.


Wingjodipuro, S. (1983). Pengantar dan Asas-Asas Hukum
Adat. Jakarta: PT. Gunung Agung.
Zakie, mukmin. (2011). Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum (Perbandingan Antara Malaysia Dan Indonesia).
Ius Quia Iustum Law Journal, 18, 187–206.

31
Zakie, M. (2018). Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum.
Makalah, 1(6), 22

Nama Anggota Kelompok:


Ditha Nurrizkyta 17506060711009
Desak Ayu Puspa Wedani 175060601111029
Firdayanti 175060601111003
Akhmad Rizki 175060607111031

32

Anda mungkin juga menyukai