Anda di halaman 1dari 19

STRUKTUR PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA TENGAH

TAHUN 2010-2019

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
2020
LANDASAN TEORI

A. Teori Perubahan Struktural


Teori perubahan struktural menitikberatkan pada mekanisme transformasi ekonomi yang
dialami oleh negara sedang berkembang yang semula lebih bersifat subsisten dan
menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern
dan sangat di dominasi oleh sektor industri dan jasa (Todaro, 1999).
1. Teori Fei-Ranis (Ranis and Fei)
Dalam model Fei-Ranis, konsep yang berkaitan dengan transfer tenaga kerja dari sektor
pertanian ke sektor industri. Tahapan transfer tenaga kerja dibagi menjadi tiga
berdasarkan pada produk fisik marginal (MPP) dan upah yang dianggap konstan dan
ditetapkan secara eksogenus, sebagai berikut:
1) Pada tahap pertama, karena tenaga kerja melimpah maka MPP tenaga kerja sama
dengan atau mendekati nol sehingga surplus tenaga kerja yang ditransfer dari sektor
pertanian ke sektor industri mempunyai kurva penawaran yang elastis sempurna. Pada
tahap ini walaupun ada transfer tenaga kerja, total produksi di sektor pertanian tidak
menurun, produktivitas tenaga kerja meningkat dan sektor industri dapat tumbuh karena
didukung oleh adanya tambahan tenaga kerja yang disediakan sektor pertanian. Dengan
demikian, transfer tenaga kerja menguntungkan kedua sektor ekonomi.
2) Pada tahap kedua, pengurangan satu satuan tenaga kerja di sektor pertanian akan
menurunkan produksi karena MPP tenaga kerja sudah positif (ruas AB) namun besarnya
MPP masih lebih kecil dari tingkat upah W. Transfer tenaga kerja dari pertanian ke
industri pada tahap ini mempunyai biaya seimbang yang positif, sehingga kurva
penawaran tenaga kerja di sektor industri mempunyai elastisitas positif sejak titik S 1.
Transfer akan tetap terjadi, produsen disektor pertanian akan melepaskan tenaga
kerjanya walaupun mengakibatkan produksi menurun karena penurunan tersebut lebih
rendah dari besarnya upah yang tidak jadi dibayarkan. Di pihak lain, karena surplus
produksi yang ditawarkan ke sektor industri menurun sementara permintaannya
meningkat (karena tambahan tenaga kerja masuk), harga relativf komoditi pertanian
akan meningkat. Tahap ketiga adalah tahap komersialisasi di kedua sektor ekonomi,
dimana MPP tenaga kerja sudah lebih tinggi dari tingkat upah. Produsen pertanian akan
mempertahankan tenaga kerjanya sehingga masing-masing sektor berusaha efisien.
Transfer masih akan terus terjadi jika inovasi teknologi di sektor pertanian dapat
menigkatkan MPP tenaga kerja. Sementara permintaan tenaga kerja terus meningkat
dari sektor industri dengan asumsi keuntungan di sektor ini diinvestasikan kembali
untuk memperluas usaha.
2. Teori W. Arthur Lewis
Transformasi struktural suatu perekonomian subsisten di rumuskan oleh seorang
ekonom besar yaitu W. Arthur Lewis. Dengan teorinya model dua sektor Lewis antara
lain:
a) Perekonomian Tradisional
Dalam teori ini Lewis mengasumsikan bahwa di daerah pedesaan dengan perekonomian
tradisional mengalami surplus tenaga kerja. Perekonomian tradisional adalah bahwa
tingkat hidup masyarakat berada pada kondisi subsisten, hal ini di akibatkan kelebihan
penduduk dan di tandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol. Ini
merupakan situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus
tenaga kerja (surplus labor) sebagai suatu fakta bahwa jika sebagian tenaga kerja
tersebut di tarik dari sektor pertanian, maka sektor itu tidak akan kehilangan outputnya.
b) Perekonomian Industri
Pada perekonomian ini terletak pada perkotaan modern yang berperan penting adalah
sektor industri. Ciri dari perekonomian ini adalah tingkat produktivitas yang tinggi dan
menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang di transfer sedikit demi sedikit dari
sektor subsisten. Dengan demikian perekonomian perkotaan merupakan daerah tujuan
bagi para pekerja yang berasal dari pedesaan sehingga penambahan tenaga kerja pada
sistem produksi yang ada akan meningkatkan output yang di produksi. Rangkaian proses
pertumbuhan berkesinambungan (self-sustaining growth) dan perluasan kesempatan
kerja di sektor modern tersebut di atas diasumsikan akan terus berlangsung sampai
semua surplus tenaga kerja pedesaan diserap habis oleh sektor industri. Selanjutnya,
tenaga kerja tambahan berikutnya hanya dapat di tarik dari sektor pertanian dengan
biaya yang lebih tinggi karena hal tersebut akan mengakibatkan merosotnya produksi
pangan. Transformasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan menjadi suatu
kenyataan dan perekonomian itu pun pada akhirnya pasti beralih dari perekonomian
pertanian tradisional yang berpusat di pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri
modern yang berorientasi kepada pola kehidupan perkotaan.
3. Teori Chenery
Analisis teori Pattern of Development menjelaskan perubahan struktur dalam tahapan
proses perubahan ekonomi dari negara berkembang yang mengalami transformasi dari
pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai mesin utama pertumbuhan
ekonomi. Peningkatan peran sektor industri dalam perekonomian sejalan dengan
peningkatan pendapatan perkapita yang berhubungan sangat erat dengan akumulasi
capital dan peningkatan sumber daya (Human Capital).
1) Dilihat dari Permintaan Domestik
Apabila dilihat dari permintaan domestik akan terjadi penurunan permintaan terhadap
konsumsi bahan makanan karena dikompensasikan oleh peningkatan permintaan
terhadap barang-barang non kebutuhan pangan, peningkatan investasi, dan peningkatan
anggaran belanja pemerintah yang mengalami peningkatan dalam struktur GNP yang
ada. Di sektor perdagangan internasional terjadi juga perubahan yaitu peningkatan nilai
ekspor dan impor. Sepanjang perubahan struktural ini berlangsung terjadi peningkatan
pangsa ekspor komoditas hasil produksi sektor industri dan penurunan pangsa sektor
yang sama pada sisi impor.
2) Dilihat dari Tenaga Kerja
Apabila dilihat dari sisi tenaga kerja ini akan terjadi proses perpindahan tenaga kerja
dari sektor pertanian di desa menuju sektor industri di perkotaan, meski pergeseran ini
masih tertinggal (lag) dibandingkan proses perubahan struktural itu sendiri. Dengan
keberadaan lag inilah maka sektor pertanian akan berperan penting dalam peningkatan
penyediaan tenaga kerja, baik dari awal maupun akhir dari proses tranformasi perubahan
struktural tersebut.
Secara umum negara-negara yang memiliki tingkat populasi tinggi yang pada dasarnya
menggambarkan tingkat permintaan potensial yang tinggi, cenderung untuk mendirikan
industri yang bersifat substitusi impor. Artinya mereka memproduksi sendiri barang-
barang yang dulunya impor untuk kemudian dijual di pasaran dalam negeri. Sebaliknya
negara-negara dengan jumlah penduduk yang relatif kecil, cenderung akan
mengembangkan industri yang berorientasi ke pasar internasional.
Teori perubahan struktural menjelaskan bahwa percepatan dan pola transformasi
struktural yang terdaji pada suatu negara dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal yang saling berkaitan satu dengan yang lain.

B. Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah


1. Adam Smith
Adam Smith membagi tahapan pertumbuhan ekonomi menjadi 5 tahap yang
berurutan yang dimulai dari masa berburu, masa berternak, masa bercocok taman,
masa berdagangan, dan tahap masa industri. Menurut teori ini, masyarakat akan
bergerak dari masyarakat tradisional kemasyarakat modern yang kapitalis. Dalam
prosesnya, pertumbuhan ekonomi akan semakin terpacu dengan adanya sistem
pembagian kerja antar pelaku ekonomi. Adam Smith memandang pekerja sebagai
salah satu input bagi proses produksi, pembagian tenaga kerja merupakan titik
sentral pembahasan dalam teori ini, dalam upaya peningkatan produktifitas kerja.
Dalam pembangunan ekonomi modal memegang peranan penting. Menurut teori ini,
akumulasi modal akan menentukan cepat atau lambatnya pertumbuhan ekonomi
yang terjadi pada suatu negara. Proses pertumbuhan akan terjadi secara simultan dan
memiliki hubungan keterkaitan satu sama lainnya. Timbulnya peningkatan kinerja
pada suatu sektor akan meningkatkan daya tarik bagi pemupukan modal, mendorong
kemajuan teknologi, meningkatkan spesialisasi dan memperluas pasar. Hal ini akan
mendorong pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat. Proses pertumbuhan
ekonomi sebagai suatu fungsi tujuan pada akhirnya harus tunduk pada pada fungsi
kendala yaitu keterbatasan sumber daya ekonomi (Mudrajat Kuncoro,1997).
2. Whilt Whitman Rostow
Menurut Rostow, proses pembangunan ekonomi bisa dibedakan kedalam 5 tahap
yaitu: masyarakat tradisional (the traditional society), prasyarat untuk tinggal landas
(the preconditions for take off), tinggal landas (take off), menuju kedewasaan (the
drive maturity) dan masakonsumsi tinggi (the age of high mass consumption).
3. Friedrich List
Menurut List, dalam bukunya yang berjudul Das Nationale der Politispvhen
Oekonomie (1840), sistem liberal yang laizes-faire dapat menjamin alokasi sumber
daya secara optimal. Perkembangan ekonomi menurut List melalui 5 tahap yaitu:
tahap primitif, beternak, pertanian dan industri pengolahan (Manufacturing), dan
akhirnya pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan.
4. Harrod Domar
Teori ini menganggap setiap perekonomian dapat menyisihkan suatu proporsi
tertentu dari pendapatan nasionalnya jika untuk mengganti barang-barang modal
yang rusak. Namun demikian untuk menumbuhkan perekonomian tersebut,
diperlukan investasi-investasi baru sebagai tambahan stok modal. Rasio modal
output (COR) sebagai suatu
hubungan antara investasi yang ditanamkan dengan pendapatan tahunan
yang dihasilkan dari investasi tersebut (Lincolin Arsyad,1999).
5. Thomas Robert Malthus
Malthus menitikberatkan perhatian pada perkembangan kesejahteraan suatu negara,
yaitu pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai dengan meningkatkan kesejahteraan
suatu negara. Kesejahteraan suatu negara sebagian tergantung pada jumlah output
yang dihasilkan oleh tenaga kerja, dan sebagian lagi pada nilai atas produk tersebut
(Jhinghan, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perkembangan Struktur Perekonomian Provinsi Jawa Tengah


Berikut ini perkembangan struktur perekonomian Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2019:
Tabel 1 . Struktur Perekonomian Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2019
KATEGORI LAPANGAN USAHA 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 15.98% 15.75% 15.41% 14.98% 14.09% 14.11% 13.70% 13.25% 12.92% 12.42%
B Pertambangan dan Penggalian 2.14% 1.99% 1.99% 2.01% 2.03% 2.02% 2.28% 2.28% 2.22% 2.17%
C Industri Pengolahan 34.52% 34.49% 34.94% 35.05% 35.50% 35.24% 34.86% 34.55% 34.23% 34.16%
D Pengadaan Listrik dan Gas 0.10% 0.10% 0.11% 0.11% 0.11% 0.11% 0.11% 0.11% 0.11% 0.11%
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
E 0.09% 0.08% 0.08% 0.08% 0.07% 0.07% 0.07% 0.07% 0.07% 0.07%
Limbah dan Daur Ulang
F Konstruksi 10.34% 10.04% 10.13% 10.11% 10.02% 10.08% 10.20% 10.38% 10.45% 10.41%
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi
G 14.71% 15.12% 14.62% 14.56% 14.50% 14.31% 14.36% 14.45% 14.51% 14.59%
Mobil dan Sepeda Motor
H Transportasi dan Pergudangan 2.99% 2.97% 3.01% 3.13% 3.25% 3.32% 3.31% 3.34% 3.41% 3.51%
Penyediaan Akomodasi dan Makan
I 3.01% 3.02% 3.02% 3.00% 3.07% 3.11% 3.14% 3.17% 3.26% 3.37%
Minum
J Informasi dan Komunikasi 3.34% 3.43% 3.57% 3.67% 3.94% 4.09% 4.21% 4.53% 4.83% 5.12%
K Jasa Keuangan dan Asuransi 2.77% 2.73% 2.69% 2.66% 2.63% 2.68% 2.77% 2.77% 2.72% 2.67%
L Real Estate 1.71% 1.72% 1.73% 1.77% 1.80% 1.84% 1.86% 1.89% 1.89% 1.89%
M,N Jasa Perusahaan 0.29% 0.30% 0.30% 0.32% 0.33% 0.34% 0.36% 0.37% 0.38% 0.40%
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
O 3.17% 3.09% 2.95% 2.88% 2.76% 2.75% 2.68% 2.61% 2.56% 2.52%
dan Jaminan Sosial Wajib
P Jasa Pendidikan 2.62% 2.95% 3.29% 3.43% 3.56% 3.63% 3.71% 3.77% 3.86% 3.94%
Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 0.66% 0.68% 0.72% 0.73% 0.77% 0.78% 0.82% 0.84% 0.87% 0.88%
R,S,T,U Jasa lainnya 1.56% 1.52% 1.45% 1.51% 1.56% 1.52% 1.57% 1.63% 1.69% 1.75%
Struktur Perekonomian Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014
40%

35%

30%
2010
25%
2011
20% 2012
2013
15%
2014
10%

5%

0%
A B C D E F G H I J K L M,N O P Q R,S,
T,U

Struktur Perekonomian Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015-2019


40%

35%

30%

25% 2015
2016
20% 2017
2018
15%
2019
10%

5%

0%
A B C D E F G H I J K L M,N O P Q R,S,
T,U

Berdasarkan Struktur Perekonomian Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2019, sektor


Industri Pengolahan memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah
dengan nilai sekitar 35%. Selanjutnya diikuti oleh sektor Perdagangan Besar dan Eceran
dengan nilai sekitar 15%. Dan diikuti oleh sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
dengan nilai sekitar 14%. Sedangkan kontribusi terendah dimiliki oleh sektor Pengadaan Air,
Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang dengan nilai 0,08%. Dan diikuti oleh sektor
Jasa Perusahaan dengan nilai 0,3%.
5 Sektor Unggulan Tahun 2010-2014
40%
34.52% 34.49% 34.94% 35.05% 35.50%
35%

30%

25%

20%
15.98% 15.75% 15.12% 15.41% 14.62% 14.98% 14.56%
14.71% 14.09% 14.50%
15%
10.34% 10.04% 10.13% 10.11% 10.02%
10%

5% 3.34% 3.43% 3.57% 3.67% 3.94%

0%
2010 2011 2012 2013 2014

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan


Industri Pengolahan
Konstruksi
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
Informasi dan Komunikasi

5 Sektor Unggulan Tahun 2015-2019


40%
35.24% 34.86% 34.55%
35% 34.23% 34.16%

30%

25%

20%

13.70% 14.36% 14.45% 14.51% 14.59%


15% 14.11% 14.31% 13.25% 12.92% 12.42%
10.08% 10.20% 10.38% 10.45% 10.41%
10%

4.53% 4.83% 5.12%


5% 4.09% 4.21%

0%
2015 2016 2017 2018 2019

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan


Industri Pengolahan
Konstruksi
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
Informasi dan Komunikasi
Berdasarkan grafik Struktur Perekonomian Provinsi Jawa Tengah di atas, sektor
Industri Pengolahan memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah.
Lalu diikuti oleh sektor Perdagangan Besar dan Eceran. Selanjutnya, ada sektor
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Disusul oleh sektor Konstruksi dan sektor
Informasi dan Komunikasi.
Dari urutan sektoral 5 besar di atas, selisih nilai kontribusi antara sektor Industri
Pengolahan dengan sektor Perdagangan Besar dan Eceran sekitar 20%. Ini menunjukkan
bahwa sektor Industri Pengolahan memiliki peningkatan output terbesar bagi PDRB
Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan selisih nilai kontribusi antara sektor Perdagangan
Besar dan Eceran dengan sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan cukup tipis,
bahkan tidak lebih dari 2%. Ini menunjukkan bahwa terdapat persaingan yang cukup
ketat antara pertumbuhan output sektor Perdagangan Besar dan Eceran dengan sektor
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Mengingat sudah menipisnya lahan, kondisi alam
yang tidak menentu dan rendahnya value added dari sektor Pertanian, Kehutanan, dan
Perikanan di Jawa Tengah, maka wajar jika sektor tersebut sudah mulai ditinggalkan
oleh penduduk Provinsi Jawa Tengah. Dapat terlihat pula, bahwa sektor Pertanian,
Kehutanan, dan Perikanan diikuti oleh sektor Konstruksi. Di mana, sektor Konstruksi
dinilai membutuhkan lahan untuk mendirikan bangunan yang dibutuhkan sebagai sarana
penunjang kebutuhan masyarakat. Layaknya sektor Informasi dan Komunikasi yang
kontribusinya mengalami peningkatan tiap tahun. Apalagi sektor ini menjadi penunjang
kebutuhan masyarakat di era modern ini.
B. Kontribusi Kelompok Sektor Provinsi Jawa Tengah

Kontribusi Kelompok Sektor Terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah


Tahun 2010-2019
50%
45.05% 44.71% 45.25% 45.35% 45.71% 45.50% 45.23% 45.11% 44.87% 44.75%
45%
39.36% 40.00% 40.66%
37.55% 37.35% 37.67% 38.17% 38.38% 38.79%
40% 36.83%
35%
30%
25%
20% 18.12% 17.74% 17.40% 16.99% 16.13% 16.13% 15.98% 15.53% 15.13% 14.59%
15%
10%
5%
0%
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

PRIMER SEKUNDER TERSIER

Berdasarkan grafik di atas, kelompok sektor Sekunder memiliki kontribusi terbesar


terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah dengan nilai rata-rata 45,15%. Selanjutnya diikuti
oleh sektor Tersier dengan nilai rata-rata 38,47%. Dan terakhir terdapat sektor Primer
dengan nilai rata-rata 16,37%. Ini menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah mengalami
transformasi struktural dari sektor Primer ke sektor Sekunder. Dan mulai bertransformasi
lagi ke sektor Tersier dengan ditandai dengan nilai kontribusi yang mulai menipis antara
sektor Sekunder dengan sektor Tersier.

Kontribusi Sektor Primer Provinsi Jawa Tengah


Tahun 2010-2019
20.00%
18.12% 17.74%
18.00% 17.40% 16.99%
16.13% 16.13% 15.98%
16.00% 15.53% 15.13% 14.59%
14.00%
12.00%
10.00%
8.00%
6.00%
4.00%
2.00%
0.00%
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Berdasarkan grafik di atas, kontribusi sektor Primer selalu mengalami penurunan tiap
tahun. Yang awalnya memiliki kontribusi sebesar 18,12% di tahun 2010, menurun secara
bertahap sampai di nilai kontribusi sebesar 14,59% di tahun 2019. Hal ini merupakan
cerminan bahwa sektor Pertanian dan Pertambangan di Provinsi Jawa Tengah sudah
kurang diminati untuk berproduksi. Sektor Pertanian mulai mengalami penurunan seiring
perkembangan jaman di Provinsi Jawa Tengah. Kondisi lahan yang semakin berkurang
secara kuantitas akibat adanya peningkatan infrastruktur. Kondisi lahan yang semakin
berkurang secara kualitas akibat penggunaan pupuk kimia yang dapat merusak kesuburan
tanah, penangkapan ikan besar-besaran (yang mengancam hasil panen nelayan di masa
yang akan datang), dan eksploitasi hasil hutan. Secara geografis, memang Provinsi Jawa
Tengah tidak optimal untuk kegiatan penambangan karena sebagian besar wilayah
Provinsi Jawa Tengah adalah dataran rendah. Serta bahan tambang yang tersedia di
Provinsi Jawa Tengah mulai menipis.

Kontribusi Sektor Sekunder Provinsi Jawa Tengah


Tahun 2010-2019
45.80% 45.71%

45.60% 45.50%

45.40% 45.35%
45.25% 45.23%
45.20% 45.11%
45.05%
45.00%
44.87%
44.80% 44.71% 44.75%

44.60%

44.40%

44.20%
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Berdasarkan grafik di atas, kontribusi sektor Sekunder cenderung mengalami


penurunan tiap tahun. Yang awalnya memiliki kontribusi sebesar 45,05% di tahun 2010,
mengalami fluktuasi sampai di nilai kontribusi sebesar 44,75% di tahun 2019. Kontribusi
terbesar sektor Sekunder di tahun 2014 senilai 45,71%. Dan kontribusi terendah sektor
Sekunder di tahun 2011 senilai 44,71%. Setelah tahun 2014, kontribusi sektor Sekunder
mengalami penurunan secara bertahap. Hal ini ditopang dari penurunan nilai kontribusi
sektor Industri Pengolahan yang cenderung turun sejak tahun 2017 sampai tahun 2019.
Dan kontribusi sektor Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
yang stabil di angka 0,07% sejak tahun 2014. Tak dipungkiri bahwa sektor Industri
Pengolahan menjadi penyumbang kontribusi terbesar untuk kelompok sektor Sekunder di
Provinsi Jawa Tengah. Penurunan kontribusi sektor Industri Pengolahan diduga
mengalami transformasi ke sektor lain yang termasuk dalam kelompok sektor Tersier.
Meskipun sektor Konstruksi mengalami kenaikan kontribusi, namun kenaikannya tidak
cenderung pesat.

Kontribusi Sektor Tersier Provinsi Jawa Tengah


Tahun 2010-2019
41.00% 40.66%
40.00%
40.00%
39.36%
39.00% 38.79%
38.38%
38.17%
38.00% 37.55% 37.67%
37.35%
37.00% 36.83%

36.00%

35.00%

34.00%
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Berdasarkan grafik di atas, kontribusi sektor Tersier selalu mengalami kenaikan tiap
tahun. Yang awalnya memiliki kontribusi sebesar 36,83% di tahun 2010, naik secara
bertahap sampai di nilai kontribusi sebesar 40,66% di tahun 2019. Semakin pesatnya
perkembangan jaman, tak dipungkiri bahwa penetrasi internet merambah ke segala lini
kehidupan. Bahkan menjadi penunjang perekonomian berbasis jasa. Meskipun sektor
Perdagangan Besar dan Eceran memiliki nilai kontribusi terbesar terhadap sektor Tersier,
namun nilainya cenderung stabil. Justru sektor Transportasi dan Pergudangan, sektor
Penyediaan Akomodasi dan Makan-Minum, sektor Informasi dan Komunikasi, sektor
Jasa Pendidikan dan sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial yang selalu mengalami
kenaikan tiap tahun. Ini berarti, kelima sektor ini menjadi pendorong besar kenaikan
kontribusi sektor Tersier secara bersama-sama. Dapat dikatakan bahwa mulai terjadi
transformasi sektoral dari sektor Industri Pengolahan menuju 5 sektor ini. Sektor Tersier
ini memiliki kenaikan kontribusi karena penggunaan teknologi dan inovasi yang semakin
berkembang sesuai kebutuhan jaman. Sehingga value added sektor Tersier semakin
meningkat.
C. Perkembangan PDRB 3 Sektor Unggulan Provinsi Jawa Tengah
1. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

PDRB Sektor Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Provinsi Jawa


Tengah Tahun 2010-2019 (juta Rupiah)
120,000,000
110,273,020.89
108,891,280.26
110,000,000 106,046,744.67
104,440,496.90
102,150,557.53
100,000,000 97,413,889.93
95,601,895.16 96,286,410.28
92,778,620.48
89,361,030.57
90,000,000
80,000,000
70,000,000
60,000,000
50,000,000
40,000,000
30,000,000
20,000,000
6,851,394.31
6,482,316.19
6,222,958.87 7,433,615.86
7,324,771.88 8,353,130.32
8,066,663.27
7,678,173.27 8,935,320.54
8,556,979.08
10,000,0003,988,451.64
4,128,396.24
4,083,413.65
4,093,448.74
4,073,354.75
3,997,568.24 4,108,281.90
4,050,296.81
3,823,956.28 4,005,853.85
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian


Kehutanan dan Penebangan Kayu
Perikanan

Berdasarkan grafik di atas, Subsektor Pertanian, Peternakan, Perburuan dan


Jasa Pertanian memiliki nilai PDRB tertinggi yang cenderung mengalami
kenaikan tiap tahun. Subsektor Perikanan juga cenderung mengalami kenaikan
tiap tahun meskipun nilai PDRB masih berkisar 7,5 juta rupiah. Sedangkan
Subsektor Kehutanan dan Penebangan Kayu cenderung stabil di kisaran 4 juta
rupiah. Subsektor Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian menjadi
penopang besar. Mengingat subsektor ini sangat rawan berfluktuasi akibat kondisi
cuaca, maka perlu adanya kebijakan mitigasi apabila Subsektor Pertanian,
Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian mengalami penurunan. Tak dipungkiri
bahwa PDRB Subsektor Kehutanan dan Penebangan Kayu cenderung rendah dan
stabil dikarenakan masa tumbuh tanaman kayu yang cukup lama.
2. Sektor Industri Pengolahan

PDRB 5 Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-


2019 (juta Rupiah)
120,000,000

110,000,000

100,000,000

90,000,000

80,000,000

70,000,000

60,000,000

50,000,000

40,000,000

30,000,000

20,000,000

10,000,000

0
Industri Batubara Industri Makanan Industri Pengolahan Industri Tekstil dan Industri Kayu,
dan Pengilangan dan Minuman Tembakau Pakaian Jadi Barang dari Kayu
Migas dan Gabus dan
Barang Anyaman
dari Bambu, Rotan
dan Sejenisnya

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Penulis awalnya ingin menyajikan 16 Subsektor Industri Pengolahan. Namun


karena keterbatasan area kertas, maka penulis hanya menyajikan 5 Subsektor
Unggulan Industri Pengolahan sesuai grafik di atas. Kelima subsektor tersebut
cenderung mengalami kenaikan PDRB dari tahun 2010 sampai tahun 2019.
Meskipun Subsektor Industri Makanan dan Minuman mendominasi PDRB Sektor
Industri Pengolahan, namun Subsektor Industri Batubara dan Pengilangan Migas
dan Subsektor Industri Pengolahan Tembakau memiliki nilai PDRB yang hampir
setara. Subsektor Industri Makanan dan Minuman memang menjadi primadona
(dengan nilai rata-rata PDRB senilai 88 juta rupiah), karena jumlah barang yang
diminta cenderung besar dan beragam. Bahkan UMKM di Provinsi Jawa Tengah
salah satunya didominasi Industri Makanan dan Minuman. Meskipun Sektor
Pertambangan dan Penggalian di Provinsi Jawa Tengah memiliki nilai PDRB
yang rendah, namun Subsektor Industri Batubara dan Pengilangan Migas
memiliki nilai PDRB 49 juta rupiah. Di mana Sektor Industri Pengolahan
memiliki value added lebih tinggi daripada Sektor Pertambangan dan Penggalian.
Kondisi cukup buruk menimpa Subsektor Industri Tekstil dan Pakaian Jadi dan
Subsektor Industri Kayu, Gabus dan Anyaman yang menjadi komoditas ekspor
Indonesia justru memiliki nilai PDRB yang rendah di Provinsi Jawa Tengah.
Apabila kedua subsektor ini dapat meningkatkan hasil produksinya dengan
teknologi secara optimal, maka nilai PDRB subsektor ini dapat meningkat.
3. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

PDRB Sektor Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan


Sepeda Motor Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2019 (juta Rupiah)
120,000,000 115,856,997.83
109,138,034.75
110,000,000 102,652,017.49
100,000,000 97,028,761.78
91,472,498.38
88,032,671.26
90,000,000 83,923,690.82
80,712,124.77
79,929,120.89
80,000,000 72,780,862.38
70,000,000
60,000,000
50,000,000
40,000,000
28,901,378.88
27,450,100.72
26,481,489.56
30,000,000 24,942,045.22
23,957,622.46
22,866,522.32
21,901,615.49
20,346,483.91
19,298,459.99
18,897,806.85
20,000,000
10,000,000
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya


Perdagangan Besar dan Eceran, Bukan Mobil dan Sepeda Motor

Berdasarkan grafik di atas, PDRB Subsektor Perdagangan Besar dan Eceran;


Bukan Mobil dan Sepeda Motor (dengan nilai rata-rata 92 juta rupiah) jauh lebih
tinggi daripada Subsektor Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya
(dengan nilai rata-rata 23,5 juta rupiah). Meskipun banyak pengguna kendaraan
mobil dan motor di Jawa Tengah, bukan berarti PDRB Subsektor Perdagangan
Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya menjadi tinggi. Justru Subsektor
Perdagangan Besar dan Eceran, Bukan Mobil dan Sepeda Motor, yang
menandakan bisnis otomotif selain mobil dan motor memiliki PDRB yang tinggi
di Provinsi Jawa Tengah. Meskipun sektor otomotif Provinsi Jawa Tengah tidak
menjadi komoditas ekspor, namun Provinsi Jawa Tengah cukup bangga ketika
PDRB Sektor Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
memiliki nilai yang cukup tinggi. Kebijakan mengenai pembatasan emisi
kendaraan bermotor perlu diperketat lagi mengingat bahan bakar kendaraan
bermotor masih menggunakan bahan bakar fosil dan asap kendaraan bermotor
yang merusak lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai