Syeikh Kuala memang bukan nama asing bagi masyarakat Aceh saja. Tetapi
dikenal di seantero ranah Melayu dan dunia Islam international. Syeikh Kuala
atau Syeikh Abdurauf Singkel adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih yang
disegani. Lelaki asal Sinkel, Fansur Aceh Utara ini dikenal sebagai salah satu
ulama produktif. Karyanya banyak mulai tasawuf hingga fikih. Pengaruhnya
sangat besar dalam perkembangan Islam di Nusantara. Tak salah kalau
menghormati jasanya namanya diabadikan menjadi nama universitas di
Banda Aceh.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutnya sebagai salah satu orang yang
bertanggung jawab dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia
internasional. Berkat jasanya orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam
jajaran jaringan ulama dunia. Tidak salah kalau kemudian muncul nama-
nama ulama besar seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Mahfudz At
Tirimisi, dan lain-lain yang mempunyai reputasinya mendunia. Ayahnya
menjadi guru pertama dalam pengetahuan agama di Dayah (Madrasah)
Simpang Kanan, di kawasan pedalaman Singkel. Selepas itu melanjutkan
pendidikan ke sekolah tinggi di Barus (Dayan Tengku Chik) yang dipimpin
oleh Hamzah Fansuri. Di sekolah ini beliau belajar ilmu agama, sejarah,
mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi.
Setelah tamat kemudian meneruskan pengajian ke sekolah Samudra Pasai
yang dipimpin oleh Syeikh Syamsuddin As Samathrani. Sewaktu Syamsuddin
diangkat menjadi Qadli Malikul Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar
Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke Mekah dan
merantau ke beberapa buah negara Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di
sana.
Tercatat Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika zaman
Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja
Safiatuddin, Abdurauf memulai perjalanan intelektualnya menuju tanah suci.
Banyak pusat-pusat keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur
perjalanan haji. Disamping itu, Syeikh Abdurauf tidak belajar secara formal
dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti
Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia
menjadi ladang pencarian ilmu secara informal. Syeikh Muhammad Al Babili
merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain.
Adapaun Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh
Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di Mekah.
Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama modern Indonesia, di
dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh
Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek
kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956
di Kuala Kangsar), yang berbunyi: “Maka adalah saya Fakih Shaghir
menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil
pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan
tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang
aulia Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah
Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf.”
Tarikat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah
Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul
dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan
Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan
tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-
Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun
1884. Sebagai ulama tasawuf, Syeikh Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan tarekat Syatariyah. Hampir semua ordo tarekat Syatariyah di
Nusantara silsilahnya berujung padanya. Tarekat ini tersebar mulai dari Aceh
hinga ke Sumatera Barat. Kemudian berkembang menyusur ke Sumatera
Selatan hingga Cirebon.
Syeikh Abdurauf juga sangat tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud.
Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa
betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap
mempunyai arti sendiri. Banyak karya yang dihasilkan olehnya. Ada 21 kitab
yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3
kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syeikh Abdurauf menulis dalam bahasa
Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid diakui
sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa
Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al
Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya
memuat berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi
panduan para kadi di kerajaan Aceh.
Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi
sebagai pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh
Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di
lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur, serta membangun
sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad
Arsyad juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga
daerah terpencil. Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat.
Kondisi ini menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam
masyarakat.
Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga
metode. Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil
hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik dan tutur
kata sehari-hari yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad
Arsyad juga memberikan pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah. Metode
bil lisan dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa disaksikan diikuti
siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat maupun handai taulan, sedangkan metode
bil kitabah menggunakan bakatnya di bidang tulis menulis.
Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-
kitab itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad tutup usia pada 1812
M, di usia 105 tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabil al-Muhtadin, Tuhfat ar-
Raghibiin, al-Qaul al-Mukhtashar, disamping kitab ushuluddin, tasawuf, nikah,
faraidh dan kitab Hasyiyah Fath al-Jawad. Karyanya paling monumental adalah
kitab Sabil al-Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan
dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand Selatan).
Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak
sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun
menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu
menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi
warga istana. Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.
Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari belajar bersama tiga ulama Indonesia lainnya: Syekh Abdus Shomad al-
Palembani (Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman Mesri
(Betawi). Mereka berempat dikenal dengan Empat Serangkai dari Tanah Jawi yang
sama-sama menuntut ilmu di al-Haramain asy-Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul
Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya karena kawin dengan anak pertama
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke
kampung halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di
Jakarta. Ia menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah.
Bahkan, menurut kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sempat
memberikan petunjuk arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum
kembali ke Kalimantan.
Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung
halamannya di Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan
Tahmidullah, menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap
rakyat mengelu-elukannya sebagai seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya
diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar.
Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya
dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan
prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para
santrinya, tapi juga berdakwah dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan
istana maupun masyarakat kelas bawah.
Kitab-kitab yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di
Indonesia cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama
asal Timur Tengah, ulama Nusantara maupun para ilmuwan kontemporer yang
memiliki spesifikasi tentang keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam.
Dari berbagai kitab fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li
at-Tafaqquh fi Amr ad-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk agar
menjadi faqih alim dalam urusan agama).
Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama
dalam bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh
Muhammad Arsyad mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama
terdahulu, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj karya Imam ar-Ramly, kitab Syarh
Minhaj oleh Imam Zakaria al-Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib asy-
Syarbini, kitab Tuhfat al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Mir’atu
ath-Thullab oleh Syekh Abdurrauf as-Sinkili dan kitab Shirath al-Mustaqim karya
Syekh Nurruddin ar-Raniri.
Selain itu, ada alasan utama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab
ini. Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat
Islam di Banjar (Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab.
Maka itu, masyarakat Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-
kitab berbahasa Melayu. Salah satunya adalah kitab Shirath al-Mustaqim yang
ditulis Syekh Nurruddin ar-Raniri.
Kitab Shirath al-Mustaqim ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih
bernuansa bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi
masyarakat Islam Banjar untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan
Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian
menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih mudah
dipahami masyarakat Islam Banjar.
Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan
Tahmidullah dan diselesaikan pada 1195/1781 M.
Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas
masalah-masalah fikih, antara lain ibadah shalat, zakat, puasa dan haji. Kitab ini
lebih banyak menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat
dibahas. Walaupun begitu, kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad
menerapkan hukum Islam di wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan
Tahmidullah yang memerintah saat itu.
Fikih Kontekstual
Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian
Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul “Ijtihad Zakat
dalam kitab Sabil al-Muhtadin” menyatakan: “Meskipun ditulis pada abad ke-18,
terdapat banyak sekali pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang
sangat kontekstual di era sekarang. Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab
Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau tentang zakat.”
Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat
(mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang
sangat progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu. Syekh Arsyad
al-Banjari menyatakan: “Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai
pengrajin maupun pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk
perbelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Misalnya, umur yang biasa
ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun dan
tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan zakat kepadanya,
sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.”
Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang
cukup untuk masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam
masa yang disebutkan di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan
izin Imam, seperti kebun yang sewanya memadai atau harga buahnya untuk
belanjanya di masa sisa umur manusia secara umum agar ia menjadi mampu dengan
perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan diwariskannya kepada keluarganya
karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada mustahik yang lain. Inilah
tentang fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan tidak bisa
berdagang.
Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah
melampaui zamannya. “Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep
kemaslahatan umum (mashlahat al-‘ammah), dimana zakat tidak sekedar dimaknai
sebagai pemberian karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan
sosial, yaitu supaya harta tidak hanya terputar di kalangan orang kaya semata”, ujar
Kailani.
“Beliau memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa
menghidupi keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan
penerima zakat lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara
kesejahteraan (welfare-state) di Eropa, dimana negara menjamin kesejahteraan
warga negaranya yang belum memperoleh pekerjaan layak”, tambahnya.
Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti
Yusuf al-Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Masudi mengenai zakat
yang ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali
gagasan Syekh Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya-
upaya reinterpretasi kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim
kontemporer.
Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di
Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh
ulama-ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang
yang terlontar melampaui zamannya.
Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih
bagi umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu
lainnya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia hingga Thailand.
“Sudah saatnya kita membuang sikap apriori terhadap tradisi klasik, terutama karya-
karya ulama Nusantara sebagai ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan problem
kekinian. Dari contoh gagasan Syekh Arsyad di atas, menyadarkan kita betapa
banyak kekayaan gagasan Islam Nusantara yang bisa dikembangkan kembali untuk
konteks keindonesiaan sekarang”, kata Kailani.
Hal ini sejalan dengan gagasan dan pemikiran yang dilakukan oleh Departemen
Agama yang kini tengah mentahqiq karya-karya ulama Nusantara. Tujuannya, agar
umat Islam Indonesia mengenal dengan baik ulama-ulama Nusantara dan karya-
karyanya.
Biografi KH. Hasyim Asy'ari (Pendiri Nahdlatul Ulama)
KH. Hasyim Asy'ari lahir pada tanggal 10 april 1875, di Desa Gedang, Kecamatan Diwek,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan anak ketiga dari sebelas bersaudara.
Ayahnya bernama Asy'ari sedangkan Ibunya bernama Halimah. Beliau merupakan pendiri
Nahdlatul Ulama, organisasi massa islam terbesar di Indonesia. Beliau juga merupakan
seorang ulama dan sekaligus pemimpin dari pondok pesantren tebuireng. Sejak umur 14
tahun, beliau telah mendapat banyak wejangan serta pengajaran tentang ilmu agama langsung
dari ayah dan kakek beliau. Berbagai motivasi besar beliau dapatkan dari kalangan keluarga,
serta minat dalam menuntut ilmu yang beliau miliki, membuat KH. Hasyim Asy'ari muda
tumbuh menjadi seorang yang sangat pandai.
Ketika usia 15 tahun, beliau berkelana mencari ilmu ke Pesantren lain. Hal ini dilakukan
karena beliau merasa belum cukup menimba ilmu yang diterima sebelumnya. Beberapa
Pesantren yang beliau singgahi antara lain: Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren
Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), Pesantren Siwalan, dan Pesantren Panji
(Sidoarjo). Pada tahun 1892, KH. Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah Haji sekaligus
menimba ilmu kepada Syech Ahmad Khatib dan Syech Mahfudh At-Tarmisi, merupakan
guru dibidang Hadist. Ketika pulang, beliau menyempatkan diri untuk singgah ke Johor,
Malaysia. Di sana beliau mengajar kepada para santri sampai tahun 1899.\
KH. Hasyim Asy'ari mendirikan Pondok Pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi
Pesantren terbesar dan terpenting di tanah jawa pada abad ke-20. Mulai tahun 1900, beliau
memosisikan Pesantren Tebuireng menjadi pusat pembaharuan bagi pengajaran Islam
Tradisional.
Dalam pesantren tersebut bukan hanya diajarkan ilmu agama saja, namun juga pengetahuan
umum ikut mengiringi pengajaran agama Islam. Para santri belajar membaca huruf latin,
menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, beroganisasi, dan
berpidato.
Menurut beliau, mengajarkan agama Islam berarti memperbaiki manusia. Mendidk para
santri agar siap terju8n ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan KH.
Asy'ari.
Peran KH. Hasyim Asy'ari tidak hanya sebatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, tetapi
juga dalam bidang sosial dan kebangsaan. Pada tanggal 1937 beliau didatangi pimpinan
pemerintah Belanda dengan memberikan bintang mas dan perak sebagai tanda kehormatan
namun beliau menolaknya.
Kemudian pada waktu itu, beliau memberikan nasehat kepada para santri-santrinya tentang
peristiwa --peristiwa tersebut dan menganalogikan dengan kejadian yang dialami Nabi
Muhammad SAW. Yang melakukan kompilasi dengan orang-orang muda dengan tiga hal,
yaitu: Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan, Harta benda yang berlimpah-
limpah, dan Gadis-gadis tercantik. Akan tetapi, Nabi SAW. Menolaknya bahkan berkata:
"Demi Allah, jika mereka kuasa menempatkan matahari ditangan kananku dan bulan
ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau
menerimanya bahkan nyawa taruhannya."
Masa-masa revolusi fisik di tahun 1940, barangkali memang menjadi kurun biaya terberat
bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau dipanggil oleh pemerintah fasisme Jepang.
Dalam tahanan itu sendiri, penyiksaan demi penyiksaan dialami oleh beliau sehingga salah
satu jari beliau menjadi cacat. Pada saat yang sama, beliau sedang menuliskan lembaran-
lembaran dalam bahasa Indonesia, yakni dengan diserukan resolusi jihad yang beliau
memfokuskan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari
pahlawan nasional. KH. Hasyim Asy'ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 dalam usia 72
tahun, beliau dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang.
Biografi KH Ahmad Dahlan Singkat
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus
1868, Nama kecil KH Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak
keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali
Pendiri Muhammadiyah ini termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik
Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran
agama Islam di Jawa.
Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin,
Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai
Ilyas, Kyai Murtadla, KH Muhammad Sulaiman, KH Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy
(Ahmad Dahlan).
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode
ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam
Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad
Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun.
Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari
pendiri NU, KH Hasyim Asyari. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah,
sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai
Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak
yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Disamping itu KH Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah.
la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu)
Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin
Pakualaman Yogyakarta.
Bergabung Dengan Organisasi Budi Utomo
Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo –
organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan
pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota.
Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo
sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar ia membuka sekolah sendiri
yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang
terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia.
Mendirikan Muhammadiyah
Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi
yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330).
Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi
inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.
Pemikiran KH Ahmad Dahlan bahwa Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata
modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional.
Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat
tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur’an semata, melainkan dapat
memahami makna yang ada di dalamnya.
Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang
diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat
sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami
isinya.
Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati. Di bidang pendidikan, ia
mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu.
Yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran
mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan
ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan
bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad
SAW.
Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan
wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen,
Brontokusuman, wilayah bernama Mergangsan di Yogyakarta.
Gelar Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau
gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut
dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961.
Kisah tentang KH Ahmad Dahlan juga diangkat ke layar lebar pada tahun 2010 dengan
judul film ‘Sang Pencerah‘ yang menceritakan tentang kisah KH Ahmad Dahlan dan
terbentuknya Muhammadiyah.
Tokoh KH Ahmad Dahlan sendiri dibintangi oleh Iksan Tarore sebagai Tokoh Ahmad
Dahlan Muda dan kemudian Lukman Sardi sebagai KH Ahmad Dahlan. Film ini sendiri
disutradarai oleh Hanung Bramatyo. Itulah profil dan biografi KH Ahmad Dahlan sebagai
pendiri Muhammadiyah dan sejarah perjuangannya