Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus


akibat inflamasi pada ruang subarachnoid yang dibuktikan dengan pleositosis
cairan serebrospinalis (CSS). Meningitis dapat terjadi akut, subakut atau kronis
tergantung etiologi dan pengobatan awal yang tepat. Meningitis akut terjadi dalam
waktu beberapa jam sampai beberapa hari, yang disebabkan oleh bakteri, virus,
non infeksi.

1 Meningitis akut pada anak dirawat di rumah sakit secara rutin dan diberikan
antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur karena sulit membedakan
meningitis bakterial dengan meningitis aseptik.2 Meningitis akut pada anak
umumnyang merupakan meningitis aseptik dan tidak memerlukan pengobatan
spesifik, namun 618% kasus meningitis akut merupakan meningitis bakterial.2,3
Meningitis bakterial merupakan infeksi sistem saraf pusat (SSP) yang paling berat
dan sering serta masih menjadi masalah kesehatan di dunia.4 Angka kematian
mencapai 25% di negara maju dan lebih tinggi lagi di negara berkembang
walaupun telah ada terapi antimikroba dan perawatan intensif yang canggih.5,6
Meningitis bakterial terutama menyerang anak usia <2 tahun, dengan puncak
angka kejadian pada usia 6-18 bulan. Insidens meningitis bakterial di negara maju
sudah menurun sebagai akibat keberhasilan imunisasi Hib dan pneumokokus.7
Kasus meningitis

bakterial diperkirakan 1-2 juta setiap tahun dan 135.000 meninggal dan menjadi
salah satu dari 10 penyakit infeksi yang menyebabkan kematian di dunia serta 30-
50% akan mengalami sekuele neurologis.6,8 Di Indonesia, kasus tersangka
meningitis bakterial sekitar 158/100.000 per tahun9 dan menduduki urutan ke-9
dari 10 pola penyakit di 8 rumah sakit pendidikan.

1
10 Istilah meningitis aseptik digunakan untuk semua jenis radang meningen otak
yang tidak disebabkan oleh bakteri yang memproduksi pus. Meskipun virus adalah
penyebab utama, banyak etiologi yang lain baik infeksi dan non infeksi yang dapat

menyebabkan meningitis aseptik. Meningitis aseptik tidak identik dengan meningitis viral
meskipun keduanya sering digunakan secara bergantian.11 Meningitis aseptik adalah
salah satu penyebab peradangan meningen yang banyak ditemukan, dapat dibandingkan
dengan 8,6/100.000 pada meningitis bakterial. Meningitis aseptik menyebabkan 26.000-
42.000 pasien rawat inap setiap tahun di Amerika Serikat.12

Penelitian yang dilakukan pada anak-anak di Singapura ditemukan kejadian

meningitis aseptik sekitar 37 kasus per 10.000 pasien yang dirawat di rumah sakit.13

Meningitis bakterial memerlukan penanganan dan terapi segera namun meningitis akut
pada anak umumnya merupakan meningitis aseptik dan tidak memerlukan pengobatan
spesifik.14 Setiap anak dengan gejala klinis meningitis akut diberikan antibiotik sampai
hasil kultur tersedia, kira-kira 48 sampai 72 jam kemudian karena sulit membedakan
antara meningitis bakterial dan meningitis aseptik pada awal perjalanan penyakitnya,
sehingga angka rawat inap menjadi meningkat, efek samping penggunaan antibiotik,15
infeksi nosokomial dan biaya pengobatan yang tinggi.dikutp dari 16 Pasien yang dicurigai
meningitis akut maka sampel darah harus dikultur dan lumbal pungsi segera dilakukan
untuk menentukan apakah pemeriksaan CSS sesuai dengan meningitis bakterial. Pada
beberapa pasien, lumbal pungsi tidak dapat dilakukan segera misalnya masih diragukan
dengan massa intrakranial, adanya peningkatan tekanan intrakranial dan CT
(computerized tomography) scan kepala harus dilakukan sebelum lumbal pungsi. Pada
pasien dengan kondisi ini lumbal pungsi ditunda dan memulai terapi antimikroba yang
tepat karena keterlambatan terapi meningkatkan morbiditas dan mortalitas, jika pasien
memang didiagnosis meningitis bakterial. Hasil kultur CSS dan pewarnaaan gram CSS
akan berkurang bila antibiotik telah diberikan sebelum lumbal pungsi dilakukan dan
analisis CSS

2
(peningkatan jumlah leukosit, konsentrasi glukosa berkurang, dan konsentrasi protein
tinggi) mungkin dapat memberikan bukti untuk diagnosis meningitis bakterial.14 Di RS
M.

1.2. TUJUAN
a. Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswa, tenaga kesehatan maupun penulis dapat mengetahui dan mengerti
mengenai konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien “ Menginitis”.
b. Tujuan Khusus

 Mengetahui secara teori Menginitis

 Mengetahui pengkajian tentang apa itu menginitis

 Mengetahui diagnosa keperawatan pada pasien menginitis


 Mengetahui Intervensi keperawatan pada pasien menginitis
 Mengetahui Evaluasi keperawatan pada pasien menginitis

3
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 . ANATOMI FISIOLOGI

Selaput otak terdiri dari 3 lapisan dari luar kedalam yaitu Durameter, Aranoid,
Piameter. Durameter terdiri dari lapisan yang berfungsi kecuali didalam tulang tengkorak,
dimana lapisan terluarnya melekat pada tulang dan terdapat sinus venosus. Falx serebri
adalah lapisan vertikal durameter yang memisahkan kedua hemisfer serebri pada garis
tengah. Tentorium serebri adalah ruang horizontal dari Durameter yang memisahkan
lobus oksipitalis dari serebelum. Araknoid merupakan membran lembut yang bersatu
ditempatnya dengan parameter, diantaranya terdapat ruang subarnoid dimana terdapat
arteri dan vena serebral dan dipenuhi oleh cairan serebrospinal. Sisterna magna adalah
bagian terbesar dari ruang subaranoid disebelah belakang otak belakang, memenuhi celah
diantara serebelum dan medulla oblongata. Piamater merupakan membran halus yang
kaya akan pembuluh darah kecil yang mensuplai darah keotak dalam jumlah yang
banyak. Piameter adalah lapisan yang langsung melekat dengan permukaan otak dan
seluruh medula spinalis.

Miningitis dapat disebabkan oleh berbagai organisme yang bervariasi, tetapi ada
tiga tipe utama yakni:

1. Infeksi bakteri, piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus, terutama
meningokokus, pneumokokus, dan basil influenza.
2. Tuberkulosis, yang disebabkan oleh basil tuberkel (Mycobacterium tuberculose).
3. Infeksi virus, yang disebabkan oleh agen-agen virus yang sangat bervariasi.

4
2.2. DEFINISI

Meningitis adalah inflamasi akut pada meninges. Organisme penyebab meningitis


bacterial memasuki area secara langsung sebagai akibat cedera traumatic atau secara
tidak langsung bila dipindahkan dari tempat lain di dalam tubuh ke dalam cairan
serebrospinal ( CSS ). Berbagai agens dapat menimbulkan inflamasi pada meninges
termasuk bakteri, virus, jamur dan zat kimia (Betz, 2009). Meningitis adalah infeksi yang
terjadi pada selaput otak ( termasuk durameter, arachnoid, dan piameter ) (Harold, 2005 ).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat ( Suriadi, 2006 ).

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa meningitis


adalah suatu peradangan dari selaput-selaput (meningen) yang mengililingi otak dan
sumsum tulang belakang (spinal cord ).

2,3 . ETIOLOGI

Penyebab dari meningitis meliputi :

1. Bakteri piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus, terutama meningokokus,
pneumokokus, dan basil influenza.
2. Virus yang disebabkan oleh agen-agen virus yang sangat bervariasi.
3. Organisme jamur (Muttaqin, 2008).

2.4. KLASIFIKASI

1. Meningitis diklasifikasikan sesuia dengan factor penyebabnya :

a. Asepsis

5
Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau menyebabkan
iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis, limfoma, leukimia,
atau darah di ruang subarachnoid.
Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi pada meningitis
virus dan tidak ditemukan organisme pada kultur cairan otak. Peradangan terjadi
pada seluruh konteks serebri dan lapisan otak. Mekanisme atau respons dari
jaringan otak terhadap virus bervariasi bergantung pada jenis sel yang terlibat.
b. Sepsis
Meningitis sepsis menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh bakteri seperti
meningokokus, stafilokokus, atau basilus influenza. Bakteri paling sering dijumpai
pada meningitis bakteri akut, yaitu Neiserria meningitdis (meningitis
meningokokus), Streptococcus pneumonia (pada dewasa), dan Haemophilus
influenza ( pada anak-anak dan dewasa muda ). Bentuk penularannya melalui
kontak langsung, yang mencakup dropet dan secret dari hidung dan tenggoro yang
membawa kuman (paling sering) atau infeksi dari orang lain. Akibatnya, banyak
yang tidak berkembang menjadi infeksi tetapi menjadi pembawa (carrier). Insiden
tertinggi pada meningitis disebabkan olah bakteri gram negative yang terjadi pada
lansia sama seperti pada seseorang yang menjalani bedah saraf atau seseorang yang
mengalami gangguan respons imun.
c. Tuberkulosa
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus tuberkel.
Infeksi meningen umumnya dihubungkan dengan satu ayau dua jalan, yaitu melalui
salah satu aliran darah sebagai konsekuensi dari infeksi-infeksi bagian lain, seperti
selilitis, atau melalui penekanan langsung seperti didapat setelah cedera traumatic
tulang wajah. Dalam jumlah kecil pada beberapa kasus merupakan iatrogenic atau
hasil sekunder invasive seperti lumbal pungsi atau alat-alat invasive (seperti alat
pemantau TIK) (Mutaqqin, 2008).

2. Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak,
yaitu :

a) Meningitis Serurosa

6
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih.
Penyebabnya terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya virus,
Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
b) Meningitis Purulenta
Adalah radang bernanah arachnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis.
Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumonia (pneumokokus), Neisseria meningitis
(meningokokus), Streptococcus aureus, Haemophilus influenza, Escherichia coli,
Klebsella pneumonia, Peudomonas aeruginosa (Satyanegara, 2010).

2.5. PATOFISIOLOGI

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti oleh septicemia, yang
menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.

Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia
sel sabit dan hemoglobibinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh
imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran
mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang
menyokong perkembangan bakteri.

Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen
dan di bawah korteks yang dapat menyebabkan thrombus dan penurunan aliran darah serebral.
Jaringan sersbral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskuliti dan
hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang
juga menyebar ke dinding membrane ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan
fisiologis intracranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan
otak (barier otak), edema serebral dan peningkatan TIK.

Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi
terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan
meluasnya hemoragi (pada sindom Waterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya
kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus (Corwin,
2009).

7
2.6. PATHWAY

Faktor- faktor predisposissi mencakup : infeksi jalan nafas bagian atas,


otitis media , mastoiditis , anemia sel sabit and hemoglobinopatis lain,
prosedur bedah sarah baru, trauma kepala , dan pengaruh imunologis

Invasi kuman kejaringan serebral , via saluran vena nasofaring


posterior, telinga bagian tengah, dan saluran mastoid

Reaksi peradangan serebral

Eksudat meningkat Gangguan metabolism serebral hipoperfusi

Thrombus daerah kortaks dan


aliran darah serebral

Kerusakan adrenal ,kolaps


sirkulasi , kerusakan endotel ,
dan nekrosis pembuluh darah

Infeksi / septicemia jaringan otak

Iritasi meringan
8
Perubahan fisiologis
Sakit kepala dan intrakranial
demam

Edema serebral dan Peningkatan pemeabilitas darah otak


peningkatan TIK
Hipertermi

Perubahan bradikardia
sistim
Adhesi Perubahan tingkat Perubahan pernafasan
Penekanan area
kesadaran , gastrointesti
fokal kortikal
. Kelumpuhan saraf perubahan perilaku, nal
disorentasi fotofabia
pe sekresi ADH Perubahan perfusi
Rigiditas nukal Koma jaringan otak.
,tanda Mual dan muntah
kernig(-)tanda Resiko gangguan
brudzineki perfusi perifer
Kematian
Kejang Resiko deficit
cairan

Resiko injuri Ketidah


Prosedur invasif efektifan pola
Takut
,lumbal pungsi pernafasan.
kecemasan
Ketidak
efektifan
bersihan jalan
nafas

Kelemahan fisik
Peningkatan
permeabilitas kapiler
dan retensi cairan

Gangguan9ADL
Resiko berlebihnya
volume cairan

2.7. TANDA DAN GEJALA (Manifestasi Klinis)

1. Neonatus : menolak untuk makan, reflex mengisap kurang, muntah, diare, tonus otot
melemah, menangis lemah.
2. Anak-anak dan remaja : demam tinggi, sakit kepala, muntah, perubahan sensori,
kejang, mudah testimulasi, foto pobia, delirium, halusinansi, maniak, stupor, koma,
kaku tunduk, kaku kernig dan brudinzinski positif, petechial (menunjukkan infeksi
meningococcal) (Nurarif, 2013).

2.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan pungsi lumbal

Dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan
syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intracranial.

. a. Pada meningitis serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah
utih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).

b. Pada meningitis purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel
darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis
bakteri.

2. Pemeriksaan darah

Dilakukan pemeriksaan kadar Hb , jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar

glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.

a. Pada meningitis Serurosa didapatkan peningkatan leukosat saja. Disamping itu,


pada

10
Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.

b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.

3. Pemeriksaan Radiologis
 Pada Meningitis Serurosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin
dilakukan CT Scan.

 Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus


paranasal, gigi geligi) dan foto dada (Smeltzer, 2002).

2.9 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan medis meningitis yaitu :

1. Antibiotik sesuia jenis agen penyebab

2. Steroid untuk mengatasi inflamasi

3. Antipiretik untuk mengatasi demam

4. Antikonvulsant untuk mencegah kejang

5. Neuroprotector untuk menyelamatkan sel-sel otak yang masih bisa


dipertahankan

6. Pembedahan : seperti dilakukan VP Shunt (Ventrikel Peritoneal Shunt)

Ventriculoperitoneal Shunt adalah prosedur pembedahan yang dilakukan untuk

membebaskan tekanan intracranial yang diakibatkan oleh terlalu banyaknya


cairan

serbrospinal. Cairan dialirkan dari vebtrikel di otak menuju rongga peritoneum.


Prosedur

pembedahan ini dilakukan di dalam kamar operasi dengan anastesi umum


selama 90 menit.

11
Rambut di belakang telinga dicukur, lalu dibuat insisi tapal kuda di belakang
telinga dan

Inisisi lainnya di dindning abdomen. Lubang kecil dibuat pada tulang kepala, lalu
selang

Kateter dimasukkan ke dalam ventrikel otak. Kateter lain dimasukkan ke bawah


kulit melaui

Insisi di belakang telinga, menuju ke rongga peritoneum. Sebuah katup diletakkan


bawah kulit di belakang telinga yang menempel pada kedua kateter. Bila terdapat
tekanan

intracranial meningkat, maka CSS akan mengalir melalui katup menuju rongga peritoneum

(Jeferson, 2004).

Tetapi bedah merupakan pilihan yang baik. Alternatif lain selain pemasangan shunt antara

lain :

a. Choroid pleksotomi atau koagulasi pleksua Choroid

b . Membuka stenosis akuaduktus

c. Eksisi tumor

d. Fenestrasi endoskopi

2.10 . PENGKAJIAN

1. Anamnesa

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk

meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang dan penurunan tingkat

kesadaran .

2. Riwayat penyakit saat ini

12
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui jenis kuman penyebab. Pada penyakit
klien

dengan meningitis, biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan akibat dari

infeksi dan peningkatan TIK. Keluhan gejala awal tersebut biasanya sakit kepala dan
demam.

Sakit kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi

meningen. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan

meningitis bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan awal adanya

penyakit.

3. Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau

menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernakah klien mengalami infeksi jalan

napas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis,
tindakan

bedah saraf, riwayat trauma kepala, dan adanya pengaruh immunologis pada masa

sebelumnya.

4. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital (TTV). Pada klien

meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih normal, yaitu 38-41 0 C,
dimulai

dari fase sistemik, kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya

dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah mengganggu pusat

pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda

peningkatan TIK.

13
a. Tingkat kesadaran

Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya berkisar pada tingkat

letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian

GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk

Memantau pemberian asuhan keperawatan.

b. Fungsi serebri

Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien

dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang ada pada klien meningitis tahap

lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.

c. Pemeriksaan saraf kranial

1) Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan fungsi penciuman.
2) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan
papilledema mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif disertai
abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK.
3) Saraf III, IV dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien meningitis
yang tidak disertai penurunana kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap
lanjut meningitis yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari
fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui,
klien meningitis mengeluh mengalami fotofobia dan sensitif yang berlebihan
terhadap cahaya.
4) Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot
wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
7) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya
usaha dari klien untuk melakukan fleksi lefer dan kaku tunduk (regiditas nukal).

14
9) Saraf XII. Lidah simetris, Tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.

d. Sistem motorik

Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada meningitis tahap

Lanjut mengalami perubahan.

e. Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum


derajat

refleks pada respon normal. Respon patologis akan didapatkan pada klien meningitis

dengan tingkat kesadaran koma. Adanya refleks Babinski (+) merupakan tanda adanya

lesi UMN.

f. Gerakan involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada keadaan tertentu
klien

biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan meningitis disertai

peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan

dengan meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.

g. Sistem sensorik

Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri, dan
suhu

normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. Sensasi proprioseptif dan

diskriminatif normal.

5. Pemeriksaan diagnostic

15
Pemeriksaan diagnotis rutin pada klien meningitis meliputi laboratorium klinik rutin
(Hb,

Leukosit, LED, trombosit, retikulosit, glukosa). Pemeriksan faal hemostatis diperlukan

untuk mengetahui secara awal adanya DIC. Seru elektrolit dan serum glukosa
dinilai untuk

mengidentifikasi adanya keseimbangan eletrolit terutama hyponatremia (Mutqqin, 2008).

2.11 . DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1) Gangguan perfusi serebra berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial.


2) Nyeri akut berhubungan dengan adanya iritasi lapisan otak.
3) Potensial terjadinya injuri berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status
mental dan penurunan tingkat kesadaran.
4) Resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran diseminata hematogen dari patogen, stasis
cairan tubuh, penekanan respon inflamasi (akibat-obat), pemajanan orang lain terhadap
pathogen.
5) Resiko tinggi trauma berhubungan dengan iritasi korteks serebral, kejang lokal,
kelemahan umum, paralisis paresthesia, ataksia, vertigo.
6) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukkan secret pada
saluran nafas.
7) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan.
8) Gangguan pola nafas berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.
9) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi penyakit (Herdma, 2009).

2.12 . INTERVENSI KEPERAWATAN

1) Gangguan perfusi serebra berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.


Tujuan :
 Pasien kembali pada keadaan status neurologis sebelum sakit
 Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsi sensoris

Kriteria hasil :

16
 Tanda-tanda vital dalam batas normal
 Rasa sakit kepala berkurang
 Kesadaran meningkat
 Adanya peningkatan kognitif dan tidak ada atau hilangnya tanda-tanda
tekanan intrakranial yang meningkat

Rencana Tindakan :

Intervensi Rasionalisasi
Pasien bed rest total dengan posisi tidur Perubahan pada tekanan intrakranial akan
terlentang tanpa bantal dapat menyebabkan resiko untuk terjadinya
herniasi otak
Monitor tanda-tanda status neurologis dengan Dapat mengurangi otak lebih lanjut
GCS
Monitor tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Pada keadaan normal autoregulasi
Suhu, Resoirasi dan hati-hati pada hopertensi memprtahankan keadaan tekanan darah
sistolik sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan
autoreguler akan menyebabkan keruaskan
vaskuler cerebral yang dapat dimanifestasikan
dengan peningkatan sisitolik dan diikuti oleh
penurunan tekanan diastolik. Sedangkan
peningkatan suhu dapat menggambarkan
perjalanan infeksi.
Monitor intake dan output Hipertermi dapat menyebabkan peningkatan
IWL dan meningkatkan resiko dehidrasi
terutama pada pasien yang tidak sadar, nausea
yang menurunkan intake per oral
Bantu pasien untuk mengatasi muntah, batuk. Aktifitas ini dapat meningkatkan tekanan
Anjurkan pasien untuk mengeluarkan napas intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan
apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur napas sewaktu bergerak atau merubah posisi
dapat melindungi diri dari efek valsava
Kolaborasi Meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler
Berikan cairan perinfus dengan perhatian dan takanan intrakranial, vetriksi cairan dan
ketat cairan dapat menurunkan edema cerebral

17
Monitor AGD bila diperlukan pemberian Adanya kemungkinan asidosis disertai dengan
oksigen pelepasan oksigen pada tingkat sel dapat
menyebabkan terjadinya iskhemik serebral
Berikan terapi sesuia advis dokter seperti : Terapi yang diberikan dapat menurunkan
Steroid, Aminofel, Antibiotika permeabilitas kapiler, menurunkan erema
serebri, menurunkan metabolik sel / konsumsi
dan kejang

2. Potensial terjadinya injuri berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status


mental

dan penurunan tingkat kesadaran

Tujuan :

 Pasien beas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran

Rencana tindakan :

Intervensi Rasionalisasi
Mandiri Gambaran tribalitas sistem saraf pusat
Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut dan memerlukan evaluasi yang sesuia dengan
otot-otot muka lainnya intervensi yang tepat untuk mencegah
terjadinya komplikasi
Persiapkan lingkungan yang aman seperti Melindungi pasien bola terjadi kejang
batasan ranjang, papan pengaman, dan alat
sunction selalu berada dekat pasien
Pertahankan bedrest total selama fae akut Mengurangi resiko jatuh / terluka jika vertigo,
sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
Berikan terapi sesuia advis dokter seperti : Catatan : Phenobarbital dapat menyebabkan
diazepam, phenobarbital, dll respirastorius depresi dan sedasi

3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukkan secret


pada

18
saluran nafas.

Tujuan :

 Jalan nafas pasien kembali efektif

Kriteria hasil :

 Frekuensi napas 16-20 kali/ menit


 Tidak menggunakan otot bantu napas
 Tidak ada suara tambahan
 Dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif
 Sesak napas berkurang

Rencana tindakan :

Intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas Memantau dan mengatasi komplikasi
tambahan, perubahn irama dan kedalaman, potensial. Pengkajian fungsi pernapasan
penggunaan otot-otot aksesori, warna, dan dengan interval yang teratur adalah penting
kekentalan sputum karena pernapasan yang tidak efektif dan
adanya kegagalan, akibat adanya kelemahan
atau paralisis pada otot-otot intercostal dan
diafragma berkembang dengan cepat
Atur posisi fowler dan semifowler Peninggian kepala tempat tidur memudahkan
pernapasan, meningkatkan ekspansi dada, dan
meningkatka batuk lebih efektif
Ajarkan cara batuk efektif Klien berada ada resiko tinggi bila tidak dapat
batuk dengan efektif untuk membersihkan
jalan napas dean mengalami kesulitan dalam
menelan, sehingga menyebabkan aspirasi
saliva dan mencetuskan gagal naps akut
Lakukan fisio terapi dada : Vibrasi dada Terapi fisik dada membantu meningkatkan
batuk lebih efektif
Lakukan persiapan lendir di jalan napas Pengisapan mungkin diperlukan untuk
mempertahankan kepatenan jalan napas

19
menjadi bersih

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Meningitis adalah inflamasi akut pada meninges. Organisme penyebab meningitis


bacterial memasuki area secara langsung sebagai akibat cedera traumatic atau secara
tidak langsung bila dipindahkan dari tempat lain di dalam tubuh ke dalam cairan
serebrospinal ( CSS ). Berbagai agens dapat menimbulkan inflamasi pada meninges
termasuk bakteri, virus, jamur dan zat kimia (Betz, 2009). Meningitis adalah infeksi yang
terjadi pada selaput otak ( termasuk durameter, arachnoid, dan piameter ) (Harold, 2005 ).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat ( Suriadi, 2006 ).

B. SARAN
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan bahan untuk
menambah pengetahuan

20
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.


. Rencana asuhan keperawatan medikal-bedah : diagnosis NANDA-I 2015-2017
intervensi NIC hasil NOC, 2016)
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika. Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma.
2013. Aplikasi Asuhan

Mediaction Publishing. Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf edisi IV. Tangerang :
Gramedia Pustaka

Utama. Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner

& Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester,dkk. Edisi 8. Jakarta :
EGC.

21
22

Anda mungkin juga menyukai