Anda di halaman 1dari 17

PEMAHAMAN STRUKTURASI ATAS PRAKTIK AUDIT INVESTIGATIF

PADA KANTOR PERWAKILAN BPK DI PROVINSI BALI


(Studi Kasus Tindak Pidana Korupsi)

Oleh :

A.A. Ngr. Agung Wira Gita

1881611052

Program Magister Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana
2019

1
PENDAHULUAN
Masalah korupsi bukan hal yang baru di Indonesia. Secara yuridis istilah korupsi

sudah dikenal sejak tahun 1957 dalam bentuk Peraturan Militer Angkatan Darat dan Laut

Republik Indonesia Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan Penguasa Militer dibuat karena

Undang-Undang Hukum Pidana yang dianggap tidak mampu lagi menanggulangi

permasalahan korupsi, pada saat itu korupsi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang

menggerogoti kesejahteraan rakyat, menghambat pembangunan, merugikan perekonomian,

dan mengabaikan moral. Peraturan Penguasa Militer dapat dikatakan sebagai upaya awal bagi

Pemerintah untuk menanggulangi korupsi, sehingga saat ini dikeluarkannya Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun adanya peraturan perundang-

undangan tersebut belum mampu menekan angka korupsi yang semakin meningkat. Apalagi

di era orde baru, yang semula paling lantang menentang praktik korupsi, justru membuat

korupsi semakin tumbuh subur dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan

yang penuh dengan unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Menurut Arifin (2000,

2) mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menyatu menjadi sistem penyelenggaraan

pemerintahan (sistemik), bahkan pemerintahan akan hancur jika korupsi benar-benar

diberantas.

Salah satu upaya Pemerintah untuk menanggulangi tindak korupsi adalah dengan

melaksanakan audit investigatif. BPK sebagai lembaga yag dipercaya dan memiliki

kewenangan dalam melaksanakan audit investigatif serta terpercaya dalam memberantas

korupsi. Audit investigatif diawali dengan pembentukan peraturan-peraturan yang berkaitan

dengan dunia bisnis. Peraturan-peraturan tersebut dibuat seiring dengan meningkatnya

penyelewengan pada kontrak-kontrak pemerintah dan semakin merebaknya kejahatan kerah

putih (white collar crime) terhadap kepentingan publik. Praktik Audit investigatif BPK

sendiri dilaksanakan tidak hanya di kantor pusat, melainkan juga di kantor-kantor perwakilan.

2
Masing-masing kantor perwakilan memiliki kewenangan untuk melakukan audit Investigatif,

dan nantinya laporannya akan diserahkan kepada BPK pusat dan DPR/DPRD. Audit

Investigatif menjadi sangat penting terutama apabila nanti hasil audit menunjukkan bukti

adanya pelanggaran hukum materiil dan formil, maka hasil laporan audit investigatif akan

diserahkan kepada kejaksaan untuk diproses secara hukum (Karni, 2000, 118).

Pelaksanaan audit investigatif pada Perwakilan BPK Provinsi Bali melibatkan semua

pihak, mulai pimpinan, para pejabat struktural, tim konsulen hukum, dan auditor investigatif.

Adanya hubungan auditor dengan pejabat struktural sejalan dengan pemikiran Giddens

(2003) mengenai strukturasi, dimana adanya keterkaitan auditor sebagai agen, dan BPK

sendiri sebagai struktur.

Salah satu proporsi utama teori strukturasi adalah bahwa aturan dan sumberdaya yang

digunakan dalam produksi dan reproduksi merupakan tindakan sosial sekaligus alat

reproduksi sistem, yang disebutnya sebagai dualitas struktur (Giddens, 2003, 22). Teori

strukturasi menyebutkan bahwa pelaku (agency) dan struktur saling berkaitan, tidak ada

”struktur tanpa pelaku, sebagaimana tidak ada tindakan tanpa struktur” (Priyono, 2002, x).

Pelaku secara refleksif bisa merubah atau menentukan struktur yang telah ada, yang artinya

bisa menjadi tuan atas nasibnya sendiri, maka dari itu penulis mengambil judul:

”Pemahaman Strukturasi atas Praktik Audit Investigatif pada


Perwakilan BPK di Provinsi Bali”.

Penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai :

(1) Bagaimanakah praktik audit investigatif pada Perwakilan BPK di Provinsi Bali?
(2) Bagaimanakah peran auditor dan organisasi dalam konteks interaksi?
(3) Bagaimanakah peran individu dan organisasi dalam lingkungan sosial?

3
KAJIAN EMPIRIS

Kecurangan

Pengertian kecurangan ialah serangkaian irregularities dan illegal acts yang

dilakukan untuk menipu atau memberikan gambaran kekeliruan terhadap pihak lain yang

dilakukan pihak intern dan ekstern suatu organisasi dengan tujuan menguntungkan dirinya

sendiri dan oang lain dengan merugikan orang lain (Anonim, 2000) dalam (Widayanti dan

Subekti, 2001, 100). Pengertian kecurangan sesuai Standar Profesional Akuntan Publik (PSA

No.70 seksi 316.2 paragraf 4) adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau

pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan.

Kecurangan merupakan tindakan pidana yang menguntungkan diri sendiri atau

organisasi atau keduanya (Albrecht, W. Steve dan Chad O. Albrecht. 2003, 27). Ada tiga

motif seseorang melakukan kecurangan, yaitu (1) perceived pressure, (2) perceived

opportunities, dan (3) rationalizations. Menurut Karni (2000, 38) menyebutkan bahwa

kecurangan terjadi akibat tekanan kebutuhan dari seseorang, dan lingkungan yang

memungkinkan untuk bertindak. GONE dalam Majalah Pemeriksa No.5 tahun 1993

merupakan singkatan dari: (G – Greed – keserakahan, ketamakan, kerakusan). (O –

Opportunity – kesempatan). (N – Need – kebutuhan). (E – Exposure – pengungkapan)

Korupsi

Korupsi merupakan permasalahan yang komplek. Korupsi sudah ada sejak zaman

dahulu sampai sekarang. Dengan adanya otonomi daerah, korupsi semakin tumbuh subur bak

jamur di musim hujan. Misalnya saja, pada tahun 2004 terungkapnya kasus korupsi terjadi

hampir di seluruh pemerintahan daerah dengan nilai yang sangat material, membuktikan

bahwa praktik korupsi telah semakin banyak terjadi. Upaya membasmi korupsi bukanlah

pekerjaan yang mudah, ibarat “memutus siklus lingkaran setan” yang tidak akan ada

habisnya. Selanjutnya, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio berarti penyuapan, dan

4
coruptore berarti merusak. Gejala dimana pejabat, badan-badan negara telah

menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta ketidakberesan

dan lainnya. Adapun arti harfiah korupsi diartikan sebagai kejahatan, kebusukan, dapat

disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran (Hartanti, 2006, 8). Unsur-unsur tindak

pidana korupsi menurut UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

adalah : (a) melakukan perbuatan melawan hukum, (b) merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, (c) menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada

padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi.

Memberantas korupsi di Indonesia bukan suatu hal yang mudah terutama korupsi

telah menyebar, menjangkit, mengakar dan dipraktekkan secara sistemik. Apalagi upaya

penegakan hukum belum optimal mengikis korupsi, malah korupsi juga terjadi di lembaga

peradilan. Untuk itu Dalam memberantas korupsi yang terpenting adalah bagi pembenahan

moral masing-masing individu dalam bentuk kesadaran. Penting bagi setiap individu agar

memiliki kesadaran, dimana kesadaran sendiri terbagi atas tiga hal yaitu motivasi tak sadar,

kesadaran diskursif, dan kesadaran praktis (Priyono, 2002, 29). Pemberantasan korupsi hanya

bisa dihentikan secara komprehensif dengan melakukan revolusi kesadaran, jika seseorang

benar-benar sadar, maka akan merasa enggan dan malu untuk melakukan korupsi. Atas dasar

kesadaran inilah nantinya bisa menjadi suatu kebiasaan yang baik, sehingga nantinya bangsa

ini benar-benar bebas dari praktik korupsi.

Audit Investigatif

Istilah audit investigatif di lingkungan lembaga pemerintahan seperti BPK sudah

umum dan sering dipakai oleh BPK, BPKP dan KPK, sedangkan menurut Indonesian

Corruption Watch (2004, 1) pelaku investigatif digolongkan menjadi dua yaitu:

1) Investigatif internal dilakukan oleh BPK, BPKP, KPK, Inteljen, SPI.

2) Investigatif eksternal (publik) dilakukan oleh Ormas, LSM, Parpol, dan wartawan.
5
Menurut BPK sendiri pengertian audit investigatif ialah pemeriksaan yang bertujuan

untuk mengungkapkan ada tidaknya indikasi kerugian negara atau daerah dan atau unsur

pidana. ICW (2004, 3) membagi tahapan pelaksanaan audit investigatif menjadi 8 tahap

yaitu: petunjuk awal, pengembangan informasi awal, wawancara ahli dan pendalaman

literatur, pencarian informasi dan dokumen, pengorganisasian data dan menganalisis,

pelaporan, pengumuman hasil ke pihak internal, serta pengumuman hasil kepada publik.

6
METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan pendekatan interpretif.

Menurut Moleong (2006, 6) penelitian kualitatif ialah penelitian yang bermaksud memahami

fenomena mengenai apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi,

motivasi, tindakan dan sebagainya, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata dan bahasa dalam konteks khusus yang alamiah dengan menggunakan metode

alamiah. Paradigma intepretif berakar pada sosiology of regulation dengan sudut pandang

subyektif. Perhatian utamanya ada pada bagaimana memahami dunia sosial sebagaimana

adanya, memahami tabiat fundamental dari dunia sosial berdasarkan pengalaman subjektif.

Paradigma ini berupaya untuk menjelaskan kesadaran seseorang dan subyektivitas, dalam

bingkai rujukan seseorang yang terlibat langsung, bukan sebagai pengamat. (Mardiko dan

Albert. K, 2006, 5)

Peneliti menggunakan metode penelitian studi kasus, Menurut Widjanarti, dkk

(1999,1) studi kasus merupakan strategi riset yang terfokus pada pemahaman terhadap

sesuatu yang dinamis dalam konteks tunggal. Studi kasus dapat digunakan untuk memberikan

gambaran terhadap suatu masalah, pengujian teori, atau pembentukan teori. Obyek penelitian

dilakukan pada kantor Perwakilan BPK di Provinsi Bali, yang berada.

Analisis penelitian ini menggunakan teori strukturasi berarti mengkaji tempat

produksi dan direproduksinya sistem-sistem interaksi tindakan atau praktik sosial. Mengacu

pada teori strukturasi, domain dasar kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah pengalaman individual

maupun keberadaan bentuk totalitas kemasyarakatan, namun merupakan praktik-praktik

sosial yang ditata menurut ruang dan waktu (Priyono, 2002, 36). Dengan demikian upaya

rekontruksi audit investigatif dalam konteks organisasi BPK ini, peneliti tidak hanya

memperhatikan auditor (sebagai aktor) atau organisasi BPK sebagai totalitas kemasyarakatan

(struktur), tetapi juga lebih penting dari itu adalah interaksi yang terjadi diantara keduanya

dalam konteks ruang dan waktu. Adanya praktik audit investigatif sendiri terwujud bukan
7
dari peran agen saja atau strukturnya saja, melainkan hasil interaksi diantara keduanya.

Auditor yang bertindak sebagai agen mempunyai nilai-nilai yang tidak sama dengan struktur,

dari situ muncul kebijakan-kebijakan dalam hal ini sangat menpengaruhi struktur, sehingga

menimbulkan strukturasi.

Sejalan dengan perkembangan dinamika kehidupan, dimana begitu besar peran

individu dalam mempengaruhi pembentukan struktur, terlepas dari dimensi internal atau

susunan psikologis yang diajukan oleh Giddens (2003) yang lanjutkan oleh Dillard dan

Yuthas (2002) dalam model pengaruh rekursif nilai dan norma melalui struktur dan agen.

Kemudian Ludigdo (2005, 64) menambahkan teori lain untuk mempertajam pengembangan

diri individu untuk berperilaku etis, teori tersebut disebut kecerdasan spiritual (SQ).

Penajaman itu dipandang perlu utuk dilakukan sebab teori strukturasi banyak mengacu pada

teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh sigmud Freud yang kemudian dilanjutkan oleh

Erick H. Erikson dengan tambahan adopsi ilmu sosial didalamnya (Giddens, 2003, 49-80).

Teori psikoanalisis untuk saat ini (id, ego, dan superego) dianggap tdak lagi sesuai dalam

menjelaskan keadaan diri individu.

IQ merupakan bentuk kemampuan seseorang menggunakan daya nalar seperti

membaca, menulis, dan menghitung. EQ merupakan kemampuan seseorang untuk

mengendalikan diri, semangat, ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri dalam

menghadapi dorongan hati dan perasaan (Daniel, 1995). SQ (kecerdasan spiritual) merupakan

kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan

untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks yang lebih luas dan kaya,

kecerdasan untuk menilai apakah hidup kita lebih bermakna dari yang lain. Kecerdasan

spiritual (SQ) adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara

efektif, dan bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi (Zohar dan Marshall, 2001, 4) dalam

Ludigdo (2005, 65).

8
SQ dipandang perlu dikembangkan mengingat bahwa banyaknya perilaku yang

menyimpang dari perilaku etis, terlebih ketika seseorang dihadapkan dalam suatu realitas

dunia sosial yang amat luas. Selain itu dalam memahami realitas dunia sosial dengan

mempertajam aspek dimensi internal individu maka pada teori strukturasi ditambahkan

perspektif kecerdasan spiritual (SQ) dari Zohar dan Marshall (2001) sebagai cerminan atas

kesadaran spiritual (Ludigdo, 2005, 74). Peneliti sendiri mendukung penggunaan kecerdasan

spiritual yang dikembangkan oleh Ludigdo (2005) dengan maksud bahwa SQ sesuai dengan

dimensi kehidupan masyarakat Indonesia yang masih memegang nilai-nilai agama, dan

budaya dalam setiap tindakan, terlebih ketika auditor melaksanakan audit investigatif. Seperti

apa yang dinyatakan oleh Ludigdo bahwa:

”Agen dan struktur merupakan suatu kesatuan yang utuh dalam menghadapi
dunia sosial”.

Praktik audit invetigatif tersebut tidak terlepas dari peran auditor (agen) dan

organisasi (struktur) sebagai satu kesatuan yang memperoleh pengaruh dari lingkungan

sosial, dari situ akhirnya muncul berbagai kebijakan dan kekuatan dari agen dan struktur

dalam menghadapi pengaruh tersebut.

9
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Memahami Praktik Audit Investigatif

Berdasarkan Surat Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia

No.12/SK/I-VII.3/7/2004 Tentang Organisasi dan Tata Kerja BPK. Peresmian dilakukan oleh

Anwar Nasution selaku kepala BPK-RI Pusat. BPK-RI terdiri atas 13 karyawan sebagai

pejabat struktural dan 114 pejabat fungsional, termasuk auditor. Dari penelitian yang

dilakukan pada kantor perwakilan BPK-RI di Provinsi Bali menunjukkan bahwa pelaksanaan

audit investigatif bertujuan untuk membuktikan ada tidaknya tindak pidana korupsi yang

terjadi di suatu organisasi. Dalam melaksanakan audit investigatif, auditor menggunakan

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang di dalamnya mencakup Standar

Profesional Akuntan Publik, serta panduan manajemen pemeriksaan investigatif yang

dikeluarkan BPK-RI dalam melaksanaan tugas tersebut. Yang terpenting bagi auditor adalah

memahami Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Studi Kasus Korupsi Kabupaten Badung di Bali

Audit Investigatif atas kasus korupsi di kabupaten Badung merupakan salah satu

contoh dari banyak kasus korupsi yang ada di Indonesia. Korupsi di kabupaten Badung Bali

terungkap dari dari hasil laporan pemeriksaan keuangan semester pertama pada tahun 2005,

kasus ini bermula dari adanya tekanan dewan kepada Bupati Badung, pada saat itu dewan

meminta bantuan keuangan kepada Bupati Badung, jika permintaan dewan tidak dipenuhi,

maka Dewan akan mengancam memberhentikan Bupati sebelum masa jabatannya berakhir

dengan mengajukan surat pemberhentian kepada Menteri Dalam Negeri. Karena

kekhawatiran Bupati terhadap ancaman Dewan dan keinginannya untuk mempertahankan

jabatannya, akhirnya Bupati mau mengabulkan permintaan dewan tersebut, dana yang

diberikan kepada dewan diperoleh dari APBD. Dalam kasus tersebut terdapat empat

1
penyimpangan yaitu: (1) bantuan keuangan kepada DPRD, (2) biaya asuransi, (3) uang purna

bakti DPRD, dan (4) bantuan keuangan kunjungan kerja DPRD.

Atas dasar kasus korupsi di kabupaten Badung maka kepala perwakilan Perwakilan

BPK-RI membentuk tim audit investigatif berdasarkan Surat tugas Nomor

48/ST/XIV.5/09/2005 tanggal 8 September 2005 untuk melakukan audit Investigatif, tim

audit yang terdiri dari empat orang, Pak Kardi sebagai ketua tim, dan Anita, Edi, Sandi

sebagai anggota tim. Praktik audit Investigatif sendiri terdiri dari tiga tahap, yaitu : (1) Tahap

perencanaan. Perencanaan audit Investigatif dilakukan setelah adanya informasi awal dari

hasil laporan audit keuangan kabupaten Badung tahun 2004. dari informasi awal tersebut,

akhirnya BPK-RI membentuk tim audit Investigatif, dan tugas pertama tim tersebut menelaah

informasi awal tersebut. Pada tahap ini tim harus menentukan jenis-jenis penyimpangan yang

terjadi, modus operandi, sebab-sebab penyimpangan, unsur-unsur kerjasama, pihak-pihak

yang terlibat, besarnya kerugian daerah akibat kasus korupsi tersebut. (2) Tahap pelaksanaan.

Pelaksanaan audit Investigatif harus dilakukan oleh auditor yang kompeten, memiliki

integritas serta independensi. Pada tahap ini tim harus memperoleh bukti audit yang

memperkuat dugaan tindakan pidana korupsi. Bukti diperoleh dengan cara-cara inspeksi,

observasi, wawancara, konfirmasi, analisa, pemeriksaan bukti tertulis, perbandingan,

rekonsiliasi, penelusuran, perhitungan kembali, penelahaan, review analitis, dan pemaparan.

(3) Tahap Pelaporan. Pelaporan hasil audit investigatif harus memenuhi unsur akurat, jelas,

berimbang, relevan, dan tepat waktu. Hasil laporan yang teah disetujui Kepala Perwakilan

akan diserahkan kepada lembaga perwakilan DPR/DPRD dan DPD. Hasil audit Investigatif

ternyata membuktikan adanya tindak pidana korupsi di kabupaten Badung, maka laporan

audit Investigatif akan diserahkan kepada kejaksaan untuk ditindaklanjuti dan diproses secara

hukum. Berdasarkan hasil pemeriksaan audit investigatif tersebut ketua tim audit diminta

memberikan keterangan berdasarkan keahliannya di pengadilan.

1
SIMPULAN

Praktik korupsi bisa dikatakan menjadi rutinitas atau kebiasaan sebagian besar

mesyarakat Indonesia, mulai dari struktur pemerintah daerah sampai pemerintah pusat. Jika

korupsi menjadi suatu praktek yang lazim maka sebenarnya masyarakat telah dihegemoni

oleh sebuah struktur atau pola yang sejak lama dan terulang. Apalagi besarnya pengaruh

lingkungan sosial terhadap organisasi BPK-RI sendiri menjadikan auditor tidak siap

mengadapi dunia sosial yang terlanjur salah kaprah, menganggap suap sebagai suatu hal yang

lumrah, terdapat ketidakadilan, dan berlakunya hukum rimba ”siapa yang kuat/berkuasa, dia

yang akan menang”. Pengaruh yang demikian akan mengurangi integritas, independensi,

serta profesionalitas auditor BPK-RI, untuk itu teori strukturasi yang diperkenalkan oleh

Giddens maka memberikan angin segar bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi,

strukturasi secara jelas memberikan gambaran kepada auditor BPK-RI bahwa segala tindakan

direfleksikan bentuk kesadaran dan individu memiliki kekuatan dalam menciptakan

kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai nilai-nilai yang ada pada struktur organisasi BPK-RI,

sehingga tercipta pola strukturasi.

Bentuk kesadaran auditor yang diupayakan dalam bentuk kesadaran praktis, dimana

agar nantinya pemberantasan korupsi oleh auditor bukan sebagi bentuk formalitas melainkan

menjadi sesuatu kebiasaan. Kesadaran diskursif dicontohkan dengan tindakan auditor dalam

menolak segala bentuk suap. Kesadaran tersebut timbul karena menganggap suap merupakan

bagian dari korupsi dan tindakan menerima suap berarti melanggar undang-undang, serta ada

sanksi hukumnya. Motivasi tidak sadar dicontohkan pada keberanian auditor dalam

menghadapi segala bentuk ancaman dan tantangan, secara sadar sebenarnya auditor

mengetahui bahwa tugas yang diembannya begitu berat, dan sulit rasanya untuk diselesaikan,

namun berkat keberanian yang dimiliki maka praktik audit investigatif dapat terselesaikan.

Kesadaran etis dicontohkan dengan keyakinan dan keimanan yang dimiliki Pak Kardi dengan

1
anggota timnya dalam menghadapi tantangan dan ancaman selama pelaksanaan audit

investigatif.

Pemberantasan korupsi bisa terwujud jika masing-masing auditor secara

komprehensif melakukan revolusi kesadaran. Kesadaran praktis yang diwujudkan dengan

ketaatan terhadap peraturan merupakan imperatif kesadaran yang bersifat internal. Kesadaran

yang dimiliki auditor seharusnya mendapat supporting dari eksternal berupa penegakan

hukum. Semuanya akan bisa terlaksana jika masing-masing masyarakat Indonesia, tidak

hanya auditor BPK memiliki kemampuan untuk intropeksi dan mawas diri, yang diperlukan

saat ini adalah merubah pola pikir yang telanjur menganggap korupsi merupakan suatu hal

yang wajar menjadi suatu perbuatan yang tercela. Dengan membangun kesadaran global anti

korupsi dan harus ditegakkan secara terus menerus serta diperjuangkan, sehingga masyarakat

Indonesia dengan penuh kesadaran akan merasa malu jika melakukan korupsi, dan

menemukan struktur yang baru menuju bangsa yang lebih bermartabat.

Keterbatasan Penelitian

Organisasi BPK bersikap defensif kepada peneliti, sehingga peneliti tidak bisa

mengeksplorasi data serta mendapatkan informasi yang lebih banyak. Waktu penelitian

sangat singkat kurang lebih hanya 1 bulan, padahal metode studi kasus sendiri menekankan

kepada peneliti agar lebih memahami kasus yang akan diteliti. Dengan demikian peneliti

berusaha mempelajari kasus secara mendalam dengan memanfaatkan informasi yang

diperoleh dari informan.

Saran

Saran Untuk organisasi BPK seharusnya lebih bersikap terbuka terhadap siapapun yang

hendak melakukan penelitian, sepanjang tidak merugikan instansi BPK-RI. Hendaknya

auditor BPK beserta pejabat struktural melakukan revolusi kesadaran, sebab korupsi tidak

bisa diberantas oleh orang-orang suci, melainkan bisa diberantas oleh orang-orang yang

sadar. Saran untuk peneliti selanjutnya agar (1) melakukan pendekatan persuasif dengan para
1
pejabat BPK-RI dengan tujuan mempermudah perolehan data. (2) Melakukan perijinan

penelitian jauh dari sebelumnya waktu penelitian yang akan dilakukan, sehingga bisa BPK-RI

lebih fleksibel menentukan waktu penelitian sehingga bisa mengeksplorasi data lebih banyak.

(3) Diharapkan peneliti selanjutnya bisa memperoleh kasus lebih dari satu, sehingga antar

kasus tersebut bisa diperbandingkan hasil laporan audit investigatif yang membuktikan ada

tidaknya kerugian daerah yang mengarah pada unsur pidana. (4) Obyek penelitian bisa juga

ditambahkan, tidak hanya di kantor Perwakilan BPK di Provinsi Bali, melainkan di kantor-

kantor perwakilan yang lain. Begitu banyak kantor perwakilan memungkinkan mempunyai

berbagai macam kebijakan, nilai-nilai, prosedur, interaksi yang dihasilkan, serta realitas yang

dihadapi.

1
DAFTAR PUSTAKA

Albrecht, W. Steve dan Chad O. Albrecht, (2003), Fraud Examination, South Western, a
division Thomson Learning, United States of America

Arifin, Johan, (2000), Korupsi dan Upaya Pemberantasannya Melalui Strategi Auditing:
Audit Forensik, Media Akuntansi, No.13 Th VII, September, hlm II-IX

Chazawi, Adami. 2006. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. PT. Alumni, Bandung

Daniel, (1995), IQ, EQ, dan SQ, artikel, (http://www.kecerdasanindividu.htm, diakses


tanggal 2 Februari 2008)

Giddens, A, (2003), The Constitution of Society; Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial,
Penerbit PT Pedati, Pasuruan. Diterjemahkan dari judul asli “The Consequences of
Modernity”, Stanford University Press – UK, 1995

Grahani, Irma, (2006), Pengaruh Independensi, Locus Of Control, dan Pengembangan Moral
Auditor Terhadap Fraud Auditing, Skripsi, Malang: Fakultas Ekonomi Jurusan
Akuntansi Universitas Brawijaya

Hartanti, Evi, (2006), Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta

Hardjapamekas, E.R, (1999), Audit Forensik Skandal Bank Bali, Majalah Tempo,
No.28/XXVIII/13-19 September hlm 1-3

Hardjapamekas, E.R, (2001), Skandal Akuntan: Kecelakaan Atau Keserakahan, Majalah


Tempo, N0.20/XXXI/15-21 Juli hlm 1-3

IAI, (2001), Standar Profesional Akuntan Publik Per Januari 2001, Penerbit Salemba Empat,
Jakarta; 20000.1-20000.6

Irianto, Gugus, (2003), Skandal Korporasi Dan Akuntan, Lintasan Ekonomi, Volume XX,
Nomor 2, Juli, hlm 104-114

Indonesia Corruption Watch, Investigasi Korupsi, artikel, (http://www.icw.go.id diakses pada


tanggal 6 Mei 2007)

Junaedi, Fajar, (2005), Teori tentang Interaksi Simbolik, dan Strukturasi, artikel,
(http://www.teorikomunikasi.htm, diakses pada tanggal 26 Juli 2007)

Karni, Soejono, (2000), Auditing Khusus dan Audit Forensik Dalam Praktik. Lembaga
Penerbit FE-UI, Jakarta

Ludigdo, Unti, (2005), Pemahaman Strukturasi Atas Praktik Etika di Sebuah Kantor Akuntan
Publik, Disertasi, Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya

Mardiko, dan Albert Kurniawan, (2006), Elements of the Sociology or Corporate Life,
Artikel, Ringkasan Karya Gibson Burrel and Gareth Morgan; Social Paradigms and
Organizational Analysis, Hainemann, London, Chapter 1-3
1
Moleong, Lexy, (2006), Metode Penelitian Kualitatif, Penerbit Rosdakarya, Bandung

Mulyana, Dedy, (2003), Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya, Penerbit Rosdakarya, Bandung

Murtanto dan Gudono, (1999), Identifikasi Karakteristik Keahlian Audit: Profesi Akuntan
Publik di Indonesia, JRAI. Volume2, No.1, hlm 38-52

Peraturan BPK-RI Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Kode Etik BPK RI, (http://bpk_ri.go.id
diakses pada tanggal 12 September 2007)

Priyono, B.H, (2002), Anthony Giddens; Suatu Pengantar, KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia), Jakarta

Rasuli, M. 2000. Mengungkap Tindak Kecurangan (Korupsi) dengan Bantuan Forensik


Akuntan. Media Akuntansi, No. 15 Tahun VII, hlm vi-xii

Ritzer, G dan D.J Goodman, (2003), Teori Sosiologi Modern, Penerbit Prenada Media,
Jakarta. Diterjemahkan dari Modern Sociological Theory, Sixth Edition

Salim, M, Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Artikel,


(http://www.transparansi.or.id, diakses 21 Desember 2006)

Salman, Chairiansyah, (2005), Audit Investigatif: Metode Efektif dalam Pengungkapan


Kecurangan, Economics Business Accounting Review, Edisi I, November, hlm 5-17

Soemardjan, Selo, (1998), Membasmi Tindak Pidana Korupsi, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta

Soesilo, (2005), Kejawen: Philosofi dan Perilaku, Yayasan Yasula, Malang

Subana dan Sudrajat, (2001), Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, Penerbit CV. Pustaka Setia,
Bandung

Sudrajat, Akhmat, (2008), IQ, EQ, dan SQ dari Kecerdasan Tunggal Ke Kecerdasan
Majemuk, artikel, (http://www.akhmat_sudrajat.htm, diakses tanggal 2 Februari 2008)

Supelli, Karlina, (2004), Carpe Diem; Modernitas, Artikel, (http://www.cdc-ftui.htm, diakses


pada tanggal 18 Agustus 2007)

Suryono, Agus, (2002), Pentingnya Manajemen Birokrasi Profesional untuk Mengatasi


Kemunduran Birokrasi dalam Pelayanan Publik, Artikel, (diakses pada tanggal 12
Agustus 2007)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor


31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Widayanti Dan Subekti, (2001), Analisis Keahlian Auditor BPK-RI Menuju Pelaksanaan
Fraud Auditing, Tema, Volume II, No.2, hlm 97-115

1
Widjayanti, dkk, (2004), Membangun Teori dari Studi Kasus, Artikel,
(http://www.bebas.vlsm.org, diakses pada tanggal 3 September 2007)

Widoyoko, (2005), Premi Bagi Pelapor Perbuatan Korupsi, Artikel,


(http://www.sinarharapan.co.id, diakses pada tanggal 3 September 2007)

Yin, Robert K, (2006), Studi Kasus; Desain dan Metode, Penerbit PT RajaGrafindo
Persada,Jakarta

Anda mungkin juga menyukai