Agregat Mental
Agregat Mental
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Komunitas
DISUSUN OLEH :
2017/2018
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat limpahan rahmat
dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah yang berjudul
Asuhan keperawatan pada agregat dalam komunitas populasi rentan berupa penyakit mental ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Komunitas, tahun akademik
2017/2018. Penulis menyadari dalam pen-yusunan makalah ini tanpa adanya bimbingan,
dorongan, motivasi, dan doa, makalah ini tidak akan terwujud. Untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Eny selaku dosen Mata Kuliah Keperawatan Komunitas yang telah
membimbing dalam kegiatan belajar mengajar. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembacanya khususnya mahasiswa dan masyarakat umum.
Akhir kata penulis menyadari makalah ini masih banyak kesalahan, baik dalam
penulisan maupun informasi yang terkandung didalam makalah ini, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik maupun saran yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan dimasa
yang akan datang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II Pembahasan
3.1 Pengkajian................................................................................................................. 12
3.2 Diagnosa.................................................................................................................... 12
3.3 Implementasi............................................................................................................. 12
3.4 Evaluasi..................................................................................................................... 14
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan........................................................................................................... 15
4.2 Saran..................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Populasi berasal dari bahasa latin yaitu populous (rakyat, berarti penduduk). Didalam
pelajaran ekologi, populasi adalah sekelompok individu yang sejenis. Apabila kitamembicarakan
populasi, haruslah disebut jenis individu yang dibicarakan dengan menentukan batas – batas
waktunya serta tempatnya. Jadi, populasi adalah Kumpulan individu sejenis yang hidup pada
suatu daerah dan waktu tertentu.
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam
Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain
genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome
negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau rentan
merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan
untuk menerima pelayanan kesehatan.
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Refugees (Pengungsi)
c. National Minorities
d. Migrant Workers
e. Indigenous Peoples
f. Children
g. Women.
Keberadaan kelompok rentan yang antara lain mencakup anak, kelompok perempuan
rentan, penyandang cacat, dan kelompok minoritas mempunyai arti penting dalam, masyarakat
yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Untuk memberikan gambaran keempat kelompok
masyarakat tersebut selama ini, maka penelaahan perlu diawali dengan mengetahui keadaan
sebenarnya yang terjadi di dalam masyarakat.
Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa masih dijumpai keadaan dari kelompok rentan
yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Upaya perlindungan guna mencapai
pemenuhan hak kelompok rentan telah banyak dilakukan Pemerintah bersama masyarakat,
namun masih dihadapkan pada beberapa kendala yang antara lain berupa:
3
b. belum terlaksananya sosialisasi dengan baik
Gangguan kesehatan mental bukanlah sebuah keluhan yang hanya diperoleh dari garis
keturunan. Tuntutan hidup yang berdampak pada stress berlebih akan berdampak pada gangguan
kesehatan mental yang lebih buruk. Di berbagai pelosok Indonesia masih ditemui cara
penanganan yang tidak tepat bagi para penderita gangguan kesehatan mental. Penderita dianggap
sebagai makhluk aneh yang dapat mengancam keselamatan seseorang untuk itu penderita layak
diasingkan oleh masyarakat. Hal ini sangat mengecawakan karena dapat mengurangi
kemungkinan untuk seorang penderita pulih. Untuk itu pemberian informasi, mengedukasi
masyarakat sangatlah penting terkait kesehatan mental agar stigma yang ada di masyarakat dapat
dihilangkan dan penderita mendapatkan penanganan yang tepat.
Menurut WHO, kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari
individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan
yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di
komunitasnya.
Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan
semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain. Jadi
dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan
kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu secara optimal, dan
yang selaras dengan perkembangan orang lain. Seseorang yang “sehat jiwa atau mental”
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
e. Menilai dirinya secara realistis, tidak berlebihan dan tidak pula merendahkan
4
2. Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain serta
e. Tidak "mengakali" orang lain dan juga tidak membiarkan orang lain "mengakali" dirinya
Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa merupakan istilah resmi
yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi
gangguan mental (mental disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III adalah:
“Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku, atau
psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu
gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi
yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi
dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di
dalam hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim, 2007). Dari penjelasan di atas, kemudian
dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan mental (mental disorder) terdapat butir-butir
sebagai berikut:
1. Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola perilaku Sindrom atau
pola psikologik
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa: rasa
nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
5
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi,
berpakaian, makan, kebersihan diri, dll). (Maslim, 2007).
Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat didefinisikan sebagai
bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental, disebabkan oleh
kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsifungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan
ketegangan-ketegangan; sehingga muncul gangguan fungsional atau struktural dari satu bagian,
satu orang, atau sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80).
Pendapat yang sejalan juga dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80),
yaitu: “Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang bentuk ketidakmampuan
menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang
mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber gangguan/kekacauannya bisa bersifat
psikogenis atau organis, mencakup kasuskasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang
gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental disorder) adalah
ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun
phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.
6
Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana perasaan (mood)
atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau
kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). (Maslim, tth:60).
5. Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres.
Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari
gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis. (Maslim, tth:72).
6. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.
Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan segaja,
dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90).
7. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis yang bermakna
dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup yang
khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun orang lain
(Maslim, tth:102).
8. Retardasi mental
Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan
sehingga berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).
9. Gangguan perkembangan psikologis.
Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan fungsifungsi yang berhubungan
erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus
menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas. Yang dimaksud “yang khas”
ialah berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang
lebih ringan sering menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).
10. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak.
Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan.
Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya terlalu dini tugas atau suatu kegiatan
sebelum tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan
yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang
(Maslim, tth:136).
Dalam hal ini, penulis merujuk pada pendapat Kartini Kartono (1982:81), yang membagi
faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder), yaitu:
a) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.
b) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis
pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan, kesakitan
hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu yang
mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya. Maka
sruktur kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-pengalaman dengan cara yang
keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban psikis
ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.
c) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha pembangunan dan
modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi menyebabkan problem yang dihadapi
masyarakat modern menjadi sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat sulit. Banyak orang
mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka dengan orang lain, serta menderita
macam-macam gangguan psikis.
8
Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing mental yangsakit agar
menjadi sehat mental danmenjaga mental yang sehat agar tetap sehat. Namun sebelumnya akan
penulis paparkan terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan gangguan mental.
Upaya pencegahan
Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan mulai dari faktor yang
mempengaruhi sampai akibat yang ditimbulkan. Pada dasarnya upaya pencegahan ialah
didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah:
9
menyebabkan timbulnya kecemasan dan kesulitan dalam mengahadapi tuntutan dan
persoalan yang dapat terjadi setiap hari. (Syukur, 2000:13). Dalam ungkapan kata lain
disebutkan bahwa mereka yang tidak mempunyai ikatan status di masyarakat dan mereka
yang tidak mempunyai fungsi atau peran dalam masyarakat lebih mudah mengalami
gangguan kejiwaan. (Hawari, 1999:11). Sebagai upaya pencegahannya manusia sedapat
mungkin menghindarinya, yaitu dengan melakukan aktivitas sosial dalam masyarakat,
dan lain sebagainya.
e) Agama dan falsafah hidup.
Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang gelisah dan terganggu.
Selain itu agama juga berperan sebagai alat pencegah (preventif) terhadap kemungkinan
gangguan mental dan merupakan faktor pembinaan (konstruktif) bagi kesehatan mental.
(Daradjat, 1975:80). Dengan keyakinan beragama, berarti seseorang telah hidup dekat
dengan Tuhan serta tekun menjalankan agama. Pada akhirnya akan terwujud kesehatan
mental secara utuh. Sedangkan falsafah hidup merupakan wujud dari kumpulan prinsip
atau nilai-nilai. Sehingga setiap orang berusaha sesuai dengan ketentuannya. Dengan
demikian apabila seseorang memiliki falsafah hidup, maka akan dapat menghadapi
tantangannya dengan mudah (Fahmi, 1982:92).
f) Pengawasan diri
Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mukin melindungi diri dari
dorongan dan keinginan atau berbuat maksiat dengan mengawasi diri kita. Secara umum
orang yang wajar adalah orang yang mampu mengendalikan keinginannya dan mampu
menunda sebagian dari pemenuhan kebutuhannya, serta bersedia meninggalkan
kelezatan-kelezatan dengan segera, demi untuk mencapai keuntungan (pahala) yang
lebih lama sifatnya serta lebih kekal. (Fahmi, 1982:114). Manfaat lain dari pengawasan
diri adalah menghindarkan seseorang dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
norma dan adat yang berlaku.
10
khusus pada individu. Aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk
dan pemberian informasi.
2) Dukungan penilaian
Keluarga sebagai bimbingan umpan balik, yaitu dengan membimbing dan menengahi
pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga
diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian
3) Dukungan instrumental
Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan
penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari
kelelahan.
4) Dukungan emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta
membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi
dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian,
mendengarkan dan didengarkan.
Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku ke dalam 3 domain
(ranah), meskipun ranah tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas tetapi
pembagian tersebut dilakukan untuk tujuan suatu pendidikan adalah mengembangkan atau
meningkatkan ketiga domain (ranah) perilaku tersebut, yang terdiri dari ranah kognitif (coognitif
domain) dan ranah afektif (affective domain) dan ranah psikomotor (psychomotor domain).
Dalam perkembangan selanjutnya dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga
domain ini diukur dari pengetahuan (Knowledge), Sikap dan tanggapan (attitude), praktek dan
tindakan (Practice).
Penderita gangguan jiwa tidak mungkin mampu mengatasi masalah kejiwaanya sendiri.
Individu tersebut membutuhkan peran orang lain di sekitarnya, khususnya keluarganya. Peran
keluarga dalam kesembuhan dan kekambuhan penderita gangguan jiwa sangat penting, karena
keluargalah orang yang paling dekat dengan penderita gangguan jiwa.Pencegahan kekambuhan
atau mempertahankan penderita gangguan jiwa di lingkungan keluarga dapat terlaksana dengan
persiapan pulang yang adekuat serta mobilisasi fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di
masyarakat khususnya peran serta keluarga. (Sarafino, 2006)
BAB III
11
1. KASUS
seorang perempuan, usia 30 tahun,dengan dua orang anak pulang dari rumah sakit setelah
20 hari dirawat di rumah sakit, perempuan tersebut dirawat karena marah-marah, tertawa,
berbicara sendiri, merusak alat rumah tangga dan curiga dengan suaminya. Diagnosa medis
skizofrenia. Suami perempuan tersebut bekerja sebagai buruh di kota dan pulang seminggu
sekali. Perempuan tersebut sudah 2 kali dirawat di rumah sakit. Dirumah ia hanya tinggal dengan
kedua anaknya, 1 minggu setelah pulang kader melaporkan keperawat puskesmas bahwa
perempuan tersebut mulai marah-marah, bicara dan tertawa sediri lagi dan tidak mau minum obat
A. Pengkajian :
Satu minggu setelah pulang dari rumah sakit perempuan tersebut marah-marah, bicara
sendiri, tertawa sendiri, merusak alat rumah tangga, dan curiga dengan suaminya. Selama satu
minggu terakhir perempuan tersebut tidak minum obat.
B. Diagnosa keperawatan
Individu :
Dx : Halusinasi
Keluarga :
Kurang pengetahuan
c. Implementasi :
Individu
Keluarga
12
Merawat pasien dengan halusinasi, resiko perilakukekerasan dan penatalaksanaan
regimen terapeutik inefektif
Individu
Keluarga
Tindakan
Individu
Keluarga :
Evaluasi :
13
Individu :
Pencegahan :
Primer : pendidikan kesehatan dan melatih cara manajemen setres untuk suami dan anak-
anak pasien tersebut
BAB IV
14
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam
Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain
genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome
negatif.
Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau rentan
merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan
untuk menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak
peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah pelaksanaannya,
sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi masyarakat.
4.2 Saran
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan khusus nya mahasiswa
keperawatan agar mengerti dan bisa membantu masyarakat rentan yang belum terpenuhi secara
meksimal dengan asuhan keperawatan agregat yang baik
DAFTAR PUSTAKA
15
Anderson, E.T . 2006 . Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik , Jakarta : EGC
Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas; Konsep dan Aplikasi. Jakarta
: Salemba Medika
Smeltzer, & Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal. Bedah Brunner dan Suddarth. Jakarta
: EGC
R, Fallen. Catatan Kuliah Keperawatan Komunitas. (2010). Yogyakarta: Nuha Medika Vaughan,
2000, General Oftamology, Jakarta.
file:///C:/Users/ACER/Downloads/Askep%20Kom%20Pada%20Populasi%20Rentan%20-
%20DocFoc.com%20(1).pdf
file:///C:/Users/ACER/Downloads/kupdf.net_askep-komunitas-agregat-populasi-rentan.pdf
16